• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Penyakit Graves pada Kehamilan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengelolaan Penyakit Graves pada Kehamilan"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Alamat Korespondensi email:

Pengelolaan Penyakit Graves pada Kehamilan

Laurentius A. Pramono,

1

Nanang Soebijanto

2

1Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia

2Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP Fatmawati, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK

Hipertiroid pada kehamilan memiliki konsekuensi buruk bagi ibu dan janin. Hipertiroid yang tidak diobati akan meningkatkan risiko terjadinya preeklampsia, gagal jantung, krisis tiroid, hingga kematian ibu. Salah satu penyebab tersering hipertiroidisme pada kehamilan adalah penyakit Graves. Pemantauan klinis dan laboratorium yang cermat menjadi tuntutan pada pengelolaan penyakit Graves pada kehamilan. Kerjasama yang baik antara internis dan obstetri-ginekologis diharapkan meminimalisasi komplikasi kehamilan dan persalinan. Berikut ini dipaparkan kasus penyakit Graves pada kehamilan.

Kata kunci: Hipertiroid, kehamilan, penyakit Graves

ABSTRACT

Hyperthyroidism in pregnancy has several unfavourable consequences for mother and foetus. Untreated hyperthyroidism increases the risk of pre-eclampsia, congestive heart failure, thyroid storm, and maternal death. The most common cause for hyperthyroidism in pregnancy is Graves’ disease. Clinical and laboratory close monitoring is mandatory in management of Graves’ disease in pregnancy. Good team work between internist and obstetrician can hopefully minimize pregnancy and labour complications. A case of Graves’ disease in pregnancy will be presented. Laurentius A. Pramono, Nanang Soebijanto.. Management of Graves Disease in Pregnancy

Keywords: Graves’ disease, hyperthyroidism, pregnancy

PENDAHULUAN

Disfungsi tiroid cukup sering ditemukan pada kehamilan.1 Prevalensi terjadinya

hipertiroidisme pada kehamilan di Amerika Serikat adalah 0,1-0,4% dengan etiologi yang tersering adalah penyakit Graves.1 Secara

global, hipertiroidisme terjadi pada 0,05-3% dari seluruh kehamilan.2 Penyakit Graves

termasuk dalam kelompok penyakit autoimun yang angka kejadiannya berkisar 1-2 per 1000 kehamilan.1 Hingga kini belum ada data

nasional mengenai gangguan tiroid pada kehamilan.

Selama kehamilan, terjadi perubahan fisiologis kelenjar tiroid.1,3 Perubahan fisiologis

yang penting adalah peningkatan kadar TBG (thyroxine binding globulin) hingga pertengahan masa kehamilan. Peningkatan TBG meningkatkan kadar tiroksin total (T4 total) padahal kadar hormon bebas (T4 bebas/free T4) tetap. Oleh karena itu, untuk mengetahui status tiroid pasien selama kehamilan diperlukan pemeriksaan T4

bebas, sedangkan pemeriksaan T4 total tidak dianjurkan. Sementara itu, kadar TSH cenderung turun pada trimester pertama kehamilan karena adanya peningkatan kadar β-HCG (human chorionic gonadotropin) yang mempunyai struktur molekul mirip dengan TSH. β-HCG juga menstimulasi kelenjar tiroid untuk mensekresikan T4 bebas dan menyebabkan gejala hipertiroidisme. Kondisi tersebut dinamakan gestational transient thyrotoxicosis (GTT).1,3,4 Pengelolaan penyakit

Graves pada kehamilan membutuhkan pemantauan klinis dan laboratorium yang cermat dengan harapan dapat menghindari komplikasi hipertiroid yang tidak diobati bagi ibu dan janin. Di sisi lain, penggunaan antitiroid yang berlebihan dapat berdampak hipotiroid pada janin.

Kasus berikut ini adalah kasus penyakit Graves pada kehamilan. Penyakit Graves didiagnosis sebelum kehamilan anak pertama dengan gejala struma difus dan klinis toksik disertai oftalmopati kedua mata. Pasien memiliki

riwayat pengobatan buruk, tidak terkontrol, dan tidak teratur mengonsumsi obat antitiroid.

Kasus ini diharapkan dapat menjadi awal yang baik untuk mempelajari penanganan hipertiroidisme (khususnya penyakit Graves) pada kehamilan.

ILUSTRASI KASUS

Seorang perempuan berusia 25 tahun kontrol di poliklinik Penyakit Dalam dengan hamil anak kedua usia kehamilan aterm (39-40 minggu); riwayat penyakit tiroid sejak tiga tahun. Sejak tiga tahun yang lalu, mata kiri pasien menonjol ke luar, kering, kemerahan, diikuti sedikit penonjolan mata kanan, saat tidur kedua mata tidak dapat menutup rapat. Pasien juga merasakan adanya pembesaran leher, disertai keluhan berdebar-debar, gemetar, dan tremor, tidak tahan udara panas, banyak berkeringat, dan emosi tidak stabil. Nafsu makan meningkat namun berat badan menurun. Pasien pertama kali berobat ke dokter spesialis mata dan dicurigai

(2)

oftalmopati akibat penyakit tiroid. Pasien dirujuk ke poliklinik Penyakit Dalam rumah sakit rujukan di Jakarta.

Pasien kemudian berobat ke poliklinik Endokrin rumah sakit rujukan di Jakarta, mendapat propiltiourasil (PTU) dan propranolol. Awalnya obat diminum teratur, namun sejak kehamilan anak pertama, pasien menghentikan minum obat atas keinginan sendiri. Dua tahun yang lalu, anak pertama pasien lahir melalui persalinan normal, sempat diskrining fungsi tiroid dan dikatakan normal, tumbuh kembang normal. Setelah masa nifas lewat, pasien tidak kontrol dan tidak teratur minum obat antitiroid. Mata kiri semakin menonjol dan buram, sedangkan mata kanan membaik.

Saat awal kehamilan anak kedua ini, pasien tidak kontrol dengan melakukan pemeriksaan laboratorium ataupun minum obat antitiroid. Saat usia kehamilan tiga bulan, pasien mengalami kontraksi dan ancaman keguguran. Hasil pemeriksaan laboratorium hormon tiroid meningkat, diberikan terapi PTU dan propranolol, namun kepatuhan pengobatan tetap buruk. Seminggu lalu pasien mengalami kontraksi lagi dan masuk perawatan IGD Obstetri Ginekologi. Hasil USG Kebidanan didapatkan kondisi janin presentasi kepala, tunggal, hidup, sesuai usia kehamilan. Persalinan direncanakan satu minggu lagi. Pasien disarankan kembali ke poliklinik Kebidanan/ Kandungan dan Penyakit Dalam serta pemeriksaan hormon-hormon tiroid dalam prosedur rawat jalan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tidak ada berdebar-debar, gemetar, diare, ataupun berkeringat banyak. Pasien mengeluh pandangan mata kiri buram. Tekanan darah batas normal, abdomen sesuai usia kehamilan. Pada ekstremitas didapatkan akral hangat, lembap, tidak ada tremor, namun didapatkan edema minimal kedua tungkai.

Saat kontrol poliklinik, pasien hanya membawa hasil pemeriksaan fungsi tiroid 6 bulan lalu (saat usia kehamilan 3 bulan), yaitu fT4 3,65

(normal 0,89-1,76), fT3 11,1 (normal 2,3-4,2), dengan TSHs 0,006 (normal 0,35-5,5). EKG satu minggu lalu menunjukkan irama sinus takikardia (100 kali per menit).

Pasien didiagnosis sebagai penyakit Graves pada kehamilan G2P1A0 (39-40 minggu) dengan gejala oftalmopati Graves (kriteria NOSPECS: Sight Loss). Pasien dianjurkan melakukan pemeriksaan fT4 dan TSH ulang, serta mendapat PTU 2 x 100 mg dan propranolol 3 x 10 mg. Pasien dianjurkan untuk rawat inap di bangsal Kebidanan/Kandungan untuk menjalani proses persalinan dalam minggu tersebut (Gambar 1 dan 2).

Gambar 1. Leher pasien menunjukkan struma difus

Gambar 2. Mata pasien menunjukkan Oftalmopati

Graves

DISKUSI

Kasus ini merupakan kasus klasik penyakit Graves pada kehamilan, yaitu struma difus disertai klinis toksik tiroid dan oftalmologi Graves.

Penyakit Graves merupakan penyebab tersering terjadinya hipertiroidisme pada kehamilan, sehingga manajemen terapi hipertiroidisme pada kehamilan perlu dipahami.

Fisiologi Tiroid pada Kehamilan

Pada kehamilan, terjadi beberapa perubahan fisiologis menyangkut fungsi dan status tiroid, yaitu pada ekskresi iodium, kadar TBG, dan akibat peningkatan HCG. Pada usia kehamilan awal, GFR (glomerular filtration rate) meningkat sehingga klirens iodium bertambah. Hal ini akan mengurangi kadar iodium organik dalam darah. Kelenjar tiroid mengompensasi kondisi tersebut dengan cara meningkatkan aktivitas TSH. Konsekuensinya dapat terbentuk struma pada kehamilan dengan angka tangkapan iodium yang tinggi.1

Kadar TBG (thyroxine binding globulin) meningkat karena adanya stimulasi estrogen, yang meningkat sebanyak dua kali lipat pada minggu ke-16 sampai 20 dan menetap selama kehamilan. Peningkatan TBG meningkatkan kadar T4 dan T3 total, tetapi kadar fT4 dan fT3 tetap normal. Oleh sebab itu, pemeriksaan fungsi tiroid selama kehamilan lebih akurat bila dinilai dari kadar fT4.1,4

HCG memiliki struktur alfa dan beta. Beta HCG mempunyai persamaan struktur dengan TSH. HCG memiliki aktivitas dalam stimulasi tiroid. Pada kehamilan, kadar HCG meningkat, puncaknya ≤100.000 pada minggu 8-12 kehamilan, dan bertahan pada nilai 10.000-20.000 sampai melahirkan. Pada kehamilan, umumnya pengaruh HCG terhadap fungsi tiroid tidak bermakna. Bila kadar HCG lebih tinggi daripada batas normal, dapat terjadi gangguan fungsi tiroid. Kadar HCG yang tinggi akan meningkatkan kadar fT4 dan fT3 serta menekan kadar TSH. Kelainan yang bisa muncul adalah gestasional transient thyrotoxicosis (GTT).1

Selain perubahan kadar TBG dan HCG, perubahan parameter tiroid pada kehamilan adalah:

„ T4 dan T3 total meningkat seiring peningkatan TBG,

„ fT4 dan fT3 normal (normal tinggi). Pada HCG ≥100.000, fT4 dan fT3 akan meningkat dan otomatis TSH tertekan. „ TSH pada trimester I subnormal (0,2-0,5)

dan pada trimester II dan III kembali ke normal lagi (0,5-5).

(3)

pasca-melahirkan).

Penyakit Graves pada Kehamilan

Hipertiroidisme pada kehamilan paling sering disebabkan oleh penyakit Graves. Selain penyakit Graves, penyakit lain penyebab terjadinya hipertiroidisme pada kehamilan adalah gestational transient hyperthyroidism, goiter toksik multinoduler, adenoma soliter toksik, tiroiditis subakut, dan struma

ovarium. Penyakit Graves dapat mengalami eksaserbasi saat kehamilan trimester pertama dan post-partum. Dengan pengobatan dan pemantauan yang tepat, kondisi ibu dan janin dapat terkendali. Bila pengelolaan tidak tepat, risikonya adalah gagal jantung maternal, lahir prematur, dan kematian janin (abortus).3,4

Membedakan penyakit Graves dengan kehamilan normal sering tidak mudah. Gejala

klinis tirotoksikosis pada kehamilan sering tumpang tindih dengan kehamilan normal, dapat ditemukan adanya palpitasi, tidak tahan udara panas, dan kulit lebih hangat. Gejala yang sangat khas adalah struma, oftalmopati, palpitasi, dan penurunan berat badan meskipun makan banyak. Pada pemeriksaan fisik ditemukan oftalmopati, struma difus, tremor, dan kulit lembap.1,5

Tes diagnostik hipertiroidisme pada kehamilan adalah fT4 dan TSH. Pada hipertiroidisme kehamilan, khususnya penyakit Graves, kadar fT4 meningkat, disertai kadar TSH yang rendah. Namun pada kehamilan normal sekalipun, dapat juga ditemukan kadar TSH yang rendah pada trimester pertama kehamilan. Pemeriksaan anti-TPO dan antrimikrosomal antibodi (AMA) sangat penting bagi penyakit tiroid autoimun. Pada penyakit Graves ditemukan adanya peningkatan kadar anti-TPO dan AMA.5

Efek fisiologis HCG yang menyebabkan penurunan kadar TSH dan peningkatan TBG sangat penting untuk dipertimbangkan. Konsentrasi TSH pada akhir trimester I kehamilan dapat mencapai kadar 0,03. Dengan demikian, kadar TSH yang rendah saja tidak cukup untuk mendiagnosis hipertiroidisme pada kehamilan. Konsentrasi TBG yang tinggi akan menggeser keseimbangan hormon tiroid bebas dan total, sehingga selama kehamilan pemeriksaan total T4 tidak disarankan, lebih dianjurkan pemeriksaan kadar fT4.5

Terdapat dua antibodi tiroid yang meningkat pada penyakit Graves, yaitu thyroid anti-microsomal antibodies (thyroid peroxidase antibodies, anti-TPO) dan thyroid stimulating hormone receptor antibodies (TRAb). Dua TRAb yang dapat diperiksa adalah TSI ( thyroid-stimulating immunoglobulin) dan TBII (thyroid binding inhibitory immunoglobulin). Semua pemeriksaan autoimun ini meningkat pada penyakit Graves dan tidak meningkat pada

gestasional thyrotoxicosis (dapat membedakan penyakit Graves dengan gestasional thyrotoxicosis). Evaluasi laboratorium dilakukan dalam interval waktu 3-4 minggu.5

(4)

mengindikasikan adanya disfungsi tiroid pada janin.5

Secara ringkas, uji fungsi tiroid pada kehamilan dimulai dengan pemeriksaan TSH, dilanjutkan dengan fT4. Dari dua pemeriksaan di atas, diagnosis dapat diarahkan pada hipotiroidisme subklinis, hipotiroidisme primer, hipertiroidisme subklinis, hipertiroidisme, dan T3-toksikosis.3,4

Berikut adalah bagan alur uji fungsi tiroid pada kehamilan (Diagram).

PENATALAKSANAAN

Pengobatan hipertiroidisme pada kehamilan penting untuk menghindari komplikasi ibu, janin, dan neonatus. Tujuan terapi hipertiroidisme pada kehamilan adalah menormalkan fungsi tiroid dengan dosis obat antitiroid paling minimal. Pengobatan ditargetkan agar kadar fT4 terdapat pada nilai batas atas normal.3 Dosis obat yang terlalu

tinggi dapat menyebabkan hipotiroidisme dan struma pada janin. Pemantauan berkala setiap 2 minggu pada awal terapi dan setiap 4 minggu bila target eutiroid sudah tercapai. Terapi obat anti-tiroid sebaiknya tidak dihentikan sebelum kehamilan 32 minggu sebab dapat berisiko terjadi relaps.3

Dua obat anti-tiroid yang efektif dan aman untuk mengendalikan hipertiroidisme pada kehamilan, yaitu propiltiourasil (PTU) dan metimazol.4,6 Keduanya menekan sintesis

Diagram. Bagan alur uji fungsi tiroid pada kehamilan

hormon tiroid dengan cara menghambat organifikasi iodium di dalam kelenjar tiroid. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah aplasia kutis pada janin ibu hamil yang menggunakan metimazol. Namun secara umum, keduanya aman digunakan pada kehamilan.3 Pada trimester I lebih dianjurkan

untuk menggunakan PTU karena terdapat risiko kelainan kongenital yang pernah dilaporkan pada penggunaan metimazol; setelah kehamilan 12 minggu metimazol dapat digunakan terutama bila khawatir terhadap efek samping hepatotoksik dalam penggunaan PTU pada ibu. Risiko hipotiroid pada janin akibat kedua obat tidak berbeda.7

Dosis awal obat PTU adalah 150-450 mg per hari (dibagi dalam 3 dosis), sedangkan dosis metimazol 20-40 mg per hari (dibagi dalam 2 dosis). Perbaikan klinis akan tampak sesudah beberapa minggu terapi, fungsi tiroid akan normal dalam 3-7 minggu. Perbaikan klinis yang dimaksud adalah kenaikan berat badan dan berkurangnya takikardi, sehingga dosis obat anti-tiroid dapat diturunkan menjadi separuh. Kehamilan sendiri sebenarnya mempengaruhi perjalanan penyakit Graves karena peningkatan hormon progesteron menekan fungsi limfosit, sehingga mengurangi keaktifan autoimun penderita Graves. Hal itu ditandai dengan penurunan kebutuhan obat anti-tiroid seiring peningkatan usia kehamilan, namun dapat meningkat kembali setelah 3 bulan

pasca-melahirkan.7 Bila terjadi eksaserbasi atau

perburukan klinis, maka dosis obat anti-tiroid dapat dinaikkan kembali. Kebanyakan pasien tidak membutuhkan pengobatan anti-tiroid lagi setelah kehamilan di atas 26-28 minggu. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah ikterus kolestatik dan agranulositosis. Pasien dengan gejala hipermetabolik mendapat obat penyekat beta, seperti atenolol dan propranolol, selama beberapa hari.3-5

Baik PTU maupun metimazol dapat melewati sawar plasenta, jika dalam dosis besar dapat menyebabkan struma dan hipotiroidisme pada janin. Pada ibu menyusui, obat anti-tiroid dapat terus diberikan bila dosis PTU <150-200 mg per hari atau metimazol <10 mg per hari. Bayi juga perlu dipantau kadar TSH-nya agar mengetahui pengaruh obat yang diberikan.3,4

Operasi tiroidektomi perlu dilakukan hanya pada pasien dengan dosis pemberian anti-tiroid yang sangat besar (PTU >600 mg), alergi obat anti-tiroid, pasien tidak taat berobat, dan struma sangat besar. Terapi iodium radioaktif merupakan kontraindikasi pada kehamilan sebab dapat melewati plasenta dengan risiko terapi iodium radioaktif berupa hipotiroidisme pada bayi dan retardasi mental.3,4

Hipertirodisme pada Janin dan Neonatus Pada perempuan dengan penyakit Graves yang sudah mendapat terapi ablasi tiroid, kadar TSI-nya masih tetap tinggi meskipun secara klinis pasien sudah eutiroid. Selama kehamilan, TSI dapat melewati plasenta dan terikat dengan reseptor TSH tiroid janin. Kondisi ini dapat merangsang kelenjar tiroid janin dan menyebabkan hipertiroidisme yang ditandai dengan pertumbuhan janin terhambat dan takikardia janin. Hipertiroidisme janin diterapi dengan pemberian obat anti-tiroid pada ibu hamil. Setelah dilahirkan, jarang terjadi hipertirodisme pada neonatus. Kadar TSI yang tinggi pada kehamilan trimester III dapat menjadi prediktor bagi hipertiroidisme pada janin dan neonatus.3,4 Kondisi ini diharapkan

menjadi perhatian bagi dokter penyakit dalam, kebidanan-kandungan, dan pediatri yang merawat ibu dan bayi.

SIMPULAN

(5)

kebidanan-DAFTAR PUSTAKA :

1. Kariadi SHKS. Disfungsi tiroid pada kehamilan. In: Djokomoeljanto, editor. Buku ajar tiroidologi klinik. Semarang: Pusat Penerbit Diponegoro; 2007.

2. Alamdari S, Azizi F, Dekshad H, Sarvhadi F, Amouzegar A, Mehran L. Management of hyperthyroidsm in pregnancy; comparison of recommendations of American Thyroid Association and Endocrine Society. J Thyroid Res. 2013; Article ID 878467:1-7.

3. Semiardji G. Penatalaksanaan hipertiroidisme dan hipotiroidisme pada kehamilan. Naskah lengkap penatalaksanaan penyakit-penyakit tiroid bagi dokter. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit; 2008.

4. Soebardi S. Hipertiroidisme pada kehamilan. Jakarta Endocrine Meeting; 2010.

5. Purnamasari D, Subekti I, Adam JMF, Tahapary D. Indonesian clinical practice guidelines for the management of thyroid dysfunction during pregnancy. JAFES Journal. 2013;28(1);18-20.

6. Vinssenberg R, Boogard E, Wely M, Post JA, Fliers E, Bisschop PH, et al. Treatment of thyroid disorders before conception and in early pregnancy: A systematic review. Hum Rep Update. 2012;18(4);360-73.

7. Purnamasari D. Kontroversi tata laksana hipertiroid dalam kehamilan. Jakarta Endocrine Meeting; 2012.

kandungan. Berbagai perubahan fisiologis tiroid pada ibu hamil harus dipahami untuk menentukan suatu kondisi termasuk

fisiologis atau patologis. Pemantauan klinis serta laboratorium (fT4 dan TSH) yang baik serta dosis obat anti-tiroid yang tepat akan

Gambar

Gambar 1. Leher pasien menunjukkan struma difus

Referensi

Dokumen terkait

batang grafit pensil 2B sebagai anoda dan platina sebagai katoda. Hasil yang diperoleh dari metode elektrolisis kemudian difiltrasi menggunakan pompa filtrasi vakum untuk

c. Sebanyak 4 nama yang telah dibakukan TNPNR ternyata bukan pulau, maka perlu dilakukan penghapusan data tersebut dari gasetir nasional. Terdapat 8 pulau yang sudah termasuk

1) Bab I Pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, metode

Berdasarkan hasil pengambilan keputusan yang dilakukan pada tanggal 23 Maret 2021 bahwa PT Taliabu Godo Maogena ditetapkan “MEMENUHI” standar Verifikasi Legalitas

Kandungan amilosa mempengaruhi pola absorpsi airnya, beras dengan amilosa tinggi relatif lebih mudah menyerap air dibanding beras amilosa rendah pada suhu kurang

[r]

adalah prinsip harga murah atau gelap, gelap artinya kita membuat nilai tambah yang luar biasa hingga menjadi gelap, banyak orang yang tidak begitu peduli meskipun harganya

AKMAL Padang Kandis, 50 Kota, pada tanggal 10 Oktober SMKN 1 Kecamatan Guguak Teknik Mekanik