Yusnanik Bakhtiar
Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Lhokseumawe Nangro Aceh Darussalam
Abstract:Sexual crime recently has become a phenomenon. It occurs not only in adults but also on children. Many factors contribute to it. It may happen anywhere, either in the neighborhood, on the street, or at the school. The sexual crime that occurs on children will be an obstacle on children’s psychological behavior, who are victims of the sexual violence. Act Number 23 of 2002 on the Child Protection is still not effectively enacted to fight against the sexual crime on children. Limitation about child and the ineffectiveness of this Act to ensnare the perpetrators of the sexual violence on children is also an obstacle in providing legal protection. A light sentence does not provide a deterrent effect on the offenders. It can be seen from the increasing number of the sexual crime that occurs on children. An effort to prevent the sexual crime can also be done by promulgating and socializing legislations and regulations that protect children as the victims of violence and by monitoring, reporting and sanctioning. Furthermore, everyone is prohibited to place, to let, to do, to order, and to involve in the violence. Then, the role of parents is very important in providing protection to children, especially in providing protection against crime of sexual crime on children.
Keywords:protection, sexual crime, children, criminological analysis
Abstrak: Kekerasan seksual akhir-akhir ini telah menjadi fenomena, tidak hanya terjadi pada orang dewasa justru kekerasan seksual ini terjadi pada anak-anak. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual. Kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja, baik di lingkungan tempat tinggal, jalanan, maupun di sekolah. Kekerasan seksual yang dilakukan terhadap anak tentu saja akan berdampak pada psikologis perilaku anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual tersebut. Terkait dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak masih belum efektif dalam upaya penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak. Parameter tentang anak dan belum efektifnya Undang-Undang ini menjerat para pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak juga menjadi kendala dalam memberikan perlindungan hukum. Ancaman hukuman yang ringan, tidak memberikan efek jera terhadap pelaku. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan angka kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak. Dalam upaya pencegahan terhadap kekerasan seksual ini juga dapat dilakukan dengan cara penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan Perundang-Undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan dan pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi. Di samping itu, setiap orang dilarang menempatkan membiarkan, melakukan, menyuruh, melakukan atau turut serta melakukan kekerasan. Di samping itu, peran serta orang tua yang sangat penting dalam memberikan perlindungan terhadap anak-anak terutama dalam memberikan perlindungan terhadap tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Pendahuluan
Kekerasan seksual akhir-akhir ini telah menjadi fenomena, tidak hanya ter-jadi pada orang dewasa justru kekerasan seksual ini terjadi pada anak-anak. Banyak faktor yang menyebabkan ter-jadinya kekerasan seksual. Faktor pe-nyebab terjadinya kekerasan seksual ini tidak hanya dipicu oleh perilaku korban tetapi juga dipicu oleh perilaku pelaku dan juga dilatarbelakangi oleh masa lalu pelaku.
Kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja, baik di lingkungan tempat tinggal, jalanan, maupun di sekolah. Sekolah maupun lingkungan tempat ting-gal seharusnya tempat yang aman bagi anak-anak, namun justru di tempat ter-sebut dapat terjadinya kekerasan seksual. Pelaku kekerasan seksual ini dapat di-lakukan oleh orang-orang terdekat dan orang yang mengenal korban dengan baik.
Kekerasan seksual yang dilakukan terhadap anak-anak tentu saja akan ber-dampak pada psikologis perilaku anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual tersebut. Oleh sebab itu, kekera-san seksual yang dilakukan terhadap anak-anak tersebut harus menda-patkan sanksi yang tegas terhadap pelaku. Sanksi tegas tersebut tentu saja di atur di dalam peraturan perundang-undangan yang laku di Indonesia, khususnya yang ber-kaitan dengan hukum pidana.
Perlindungan terhadap anak-anak dari kekerasan seksual dituangkan di da-lam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dari uraian tersebut maka penulis membahas mengenai kekerasan seksual pada anak-anak dalam kajian hukum pidana.
Pembahasan
Hukum Pidana dan Tindak pidana Membuat atau memberikan defi-nisi atau membuat rumusan mengenai hukum pidana yang berlaku secara umum sangat sulit sekali, dan sampai sekarang-pun belum ada definisi hukum pidana yang berlaku secara umum. Menurut Pompe, hukum pidana adalah semua atu-ran hukum yang menentukan perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dijatuhi pidana, dan apakah macam-macam pida-na itu. Sedangkan Simons memberikan definisi hukum pidana adalah perintah-perintah dan larangan-larangan yang di-adakan oleh negara dan diancam dengan suatu nestapa (pidana), barang siapa yang tidak mentaatinya, semua aturan yang menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan semua aturan untuk me-ngadakan (menjatuhi) dan menjalankan pidana tersebut. Van Hamel memberikan definisi hukum pidana adalah semua dasar dan aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan
keterti-ban hukum (rechtsorde) yaitu dengan
melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar
larangan-larang-an tersebut.1 Di samping itu, Pompe
membuat rumusan hukum pidana sama halnya dengan hukum tata negara, hukum perdata dan lain-lain bagian dari hukum, biasanya diartikan sebagai suatu ke-seluruhan dari peraturan-peraturan yang sedikit banyak bersifat umum yang di-abstrakkan dari keadaan-keadaan yang
bersifat konkret.2 Rineka Cipta, Jakarta, hal. 7-8 .
2
hukum formil. Menurut Profesor Van Hamel, hukum pidana material itu menunjukkan asas-asas dan peraturan-peraturan yang mengaitkan pelanggaran hukum itu dengan hukuman; sedangkan hukum pidana formal menunjukkan bentuk-bentuk dan jangka-jangka waktu yang mengikat pemberlakuan hukum pidana material. Hukum pidana juga dibagi ke dalam hukum pidana yang
dikodifikasi (gecodificeerd), misal Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer
dan hukum pidana yang tidak
dikodifikasi (niet gecodificeerd) seperti
peraturan pidana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan atau per-aturan-peraturan yang bersifat khusus. Hukum pidana juga dapat dibagi ke
da-lam bagian umum (algemene deel) dan
bagian khusus (bijzonder deel). Bagian
umum memuat asas-asas umum atau apa
yang juga disebut algemene leerstukken,
sehingga pada dasarnya ia hanya terbatas pada apa yang telah diatur di dalam Buku Ke I KUHP; sedangkan bagian khusus itu memuat masalah kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran baik yang di kodifikasi maupun yang tidak di kodifi-kasi.3
Pidana merupakan pemberian de-rita berupa sanksi dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang ketika me-lakukan kesalahan. Tujuan dari pidana itu sendiri adalah untuk memberikan efek jera kepada pelaku dengan cara pemberi-an spemberi-anksi (nestapa) kepada pelaku keja-hatan. Dengan adanya sanksi pidana ma-ka diharapma-kan seseorang ama-kan takut untuk melakukan perbuatan yang dilarang di dalam perundang-undangan.
3Ibid
, hal. 10-12.
Menurut G. Peter Hoefnagels, tu-juan pidana adalah untuk penyelesaian
konflik (conflict resolution) dan
mempe-ngaruhi para pelanggar dan orang-orang lain ke arah perbuatan yang kurang sesuai
atau melampaui batas hukum (influencing
offenders and possibly other than offen-ders toward more or less law conforming behavior). Sedangkan fungsi pidana me-nurut Emile Durkheim adalah mencipta-kan kemungkinan bagi pelepasan emosi-emosi yang ditimbulkan atau
diguncang-kan oleh adanya kejahatan (the function
of punishment is to create a possibility for the release of emotions that are arroused by the crime).4
Ada beberapa jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang telah diputuskan bersalah. Jenis pidana ini tercantum di dalam Pasal 10 KUHP. Jenis pidana ini juga berlaku bagi delik yang tercantum diluar KUHP, kecuali ketentuan Undang-Undang itu menyim-pang (Pasal 103 KUHP). Jenis Pidana dibagi ke dalam pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana tambahan hanya di-jatuhkan jika pidana pokok didi-jatuhkan kecuali dalam hal tertentu. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, pidana tutupan (KUHP terjemahan BPHN, ber-dasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946). Pidana tambahan berupa penca-butan hak-hak tertentu, perampas-an barperampas-ang-barperampas-ang tertentu, dperampas-an
peng-umuman putusan hakim.5
4
Muladi dan Barda Nawawi, 2005, Teori dan Kebijakan Pidana, PT Alumni, Bandung, hal. 20-21.
5
Kekerasan Seksual pada Anak-Anak dalam Kajian Kriminologis Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Kekerasan seksual yang terjadi pada anak merupakan salah satu wujud bahwa anak-anak berada dalam posisi yang rentan. Kekerasan seksual merupa-kan pencerminan terhadap kegagalan hu-kum dalam melindungi hak-hak anak.
Kekerasan merupakan salah satu tindak pidana yang diatur di dalam Undang-Undang. Kekerasan seksual da-pat terjadi pada siapa saja dan pelakunya bisa siapa saja, tidak jarang pelakunya adalah orang-orang yang berada di sekitar lingkungan tempat tinggal korban. Secara yuridis, apa yang dimaksud dengan ke-jahatan kekerasan tidak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hanya saja di dalam Bab IX Pa-sal 89 KUHP menyebutkan bahwa mem-buat orang pingsan atau memmem-buat orang tidak berdaya disamakan dengan meng-gunakan kekerasan. Dengan demikian da-pat dikatakan bahwa kejahatan kekerasan adalah kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan fisik. Kekerasan tidak hanya berupa kekerasan fisik tetapi juga meliputi kekerasan secara seksual. Tindak kekerasan, termasuk di dalamnya kekerasan seksual dapat dikategorikan se-bagai tindak pidana.
Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah setiap manusia yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan pe-ngertian anak menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah termasuk anak yang
masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
Banyak faktor yang dapat menye-babkan terjadinya kekerasan seksual ter-hadap anak-anak. Faktor terjadinya keke-rasan seksual ini dilatarbelakangi oleh berbagai sebab yang kompleks yang saling berkaitan satu sama lain. Kebera-daan korban secara tidak langsung juga dapat mempengaruhi terjadinya kekeras-an seksual pada kekeras-anak-kekeras-anak. Keterkaitkekeras-an antara korban dan pelaku serta hubungan yang dekat dan interaksi yang sering juga merupakan salah satu pemicu pelaku me-lakukan kekerasan seksual terhadap kor-ban.
Berkaitan denga peran korban, Steven Schafer mengemukakan beberapa tipe korban yang dikaitkan dengan
per-tanggungjawaban yaitu:6
a. Unrelated victims, yaitu mereka yang tidak mempunyai hubungan apapun dengan penjahat, kecuali jika si pen-jahat telah melakukan kepen-jahatan ter-hadapnya. Pada tipe ini tanggung-jawab sepenuhnya terletak di tangan si penjahat.
b. Provocative victims, yaitu mereka yang melakukan sesuatu terhadap pe-laku dan konsekuensinya mereka menjadi korban. Korban merupakan pelaku utama. Pertanggungjawaban terletak pada dua pihak yaitu pelaku dan korban.
c. Precipitative victims, yaitu perilaku korban yang tanpa disadari mendo-rong pelaku untuk berbuat jahat. Pertanggungjawaban terletak pada pelaku.
d. Biologically weak victims, yaitu me-reka yang mempunyai bentuk fisik
6
dan mental tertentu yang mendorong orang melakukan kejahatan terhadap-nya. Yang bertanggung jawab adalah masyarakat dan pemerintah.
e. Socially weak victims: mereka yang tidak diperhatikan oleh masyarakat sebagai anggota, seperti kaum imi-gran dan kaum minoritas. Pertang-gungjawaban terletak pada pelaku
dan masyarakat.
f. Self victimizing victims: mereka yang menjadi korban pemerkosaan karena diri sendiri, seperti kecanduan narko-tika, homo seksual dan judi. Pertang-gungjawaban sepenuhnya terletak pa-da korban.
g. Political victims: mereka yang men-derita karena lawan politiknya. Pada tipe ini tidak ada yang dapat diper-tanggung jawabkan.
Dalam pelaksanaan penegakan
hukum terhadap tindak pidana kekerasan seksual pada anak-anak ini telah diberi-kan oleh aparat penegak hukum sesuai dengan kewenangan masing-masing da-lam proses peradilan pidana, mulai dari laporan kekerasan seksual yang terjadi sampai dengan putusan pengadilan. Na-mun demikian, tentu saja ini belum cukup membantu anak-anak korban kekerasan seksual tersebut, sehingga di samping pe-negakan hukum yang dapat dikenakan terhadap pelaku, bimbingan dan pemulih-an trauma harus dilakukpemulih-an terhadap kor-ban kekerasan seksual ini.
Terkait dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlin-dungan Anak, upaya penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak masih belum efektif. Parameter tentang anak dan belum efektifnya undang-undang ini menjerat para pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak juga menjadi kendala dalam memberikan perlindungan hukum.
Ancaman hukuman yang ringan, tidak mem-berikan efek jera terhadap pelaku. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan angka ke-kerasan seksual yang terjadi pada anak-anak.
Jika ditelusuri lebih mendalam, dampak terhadap anak-anak korban ke-kerasan seksual tidak hanya dapat dirasa-kan dalam jangka pendek. Efek jangka panjang dari kekerasan yang dialami korban juga akan menjadi pelaku ketika mereka menjadi dewasa, apabila korban tidak dibimbing secara baik. Hukuman
maksimalpun dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tidak diberikan kepada pelaku kekerasan seksual ini. Undang-undang ini lebih menfokuskan kepada pelaku anak-anak, sementara per-lindungan terhadap hak-hak korban anak belum diakomodasi oleh undang-undang ini dengan baik.
ayah, paman, kakak, dan tetangga di seki-tar rumah.
Tujuan pemberian perlindungan terhadap anak yaitu untuk menjamin ter-penuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan ber-partisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekeras-an dkekeras-an diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,
ber-akhlak mulia dan sejahtera.7 Mengenai
perlindungan terhadap anak-anak ini ter-tuang di dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.
Pengaturan mengenai korban juga tercantum di dalam Pasal 18 dimana se-tiap anak yang menjadi korban berhak mendapat pendampingan dari seorang pe-nasehat hukum/advokat dan bantuan lain-nya seperti bimbingan seorang psikolog. Di samping orang tua, negara, pemerintah dan masyarakat juga bertanggungjawab dalam memberikan perlindungan ter-hadap anak-anak.
Mengenai kekerasan seksual ter-hadap anak ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 59 berbunyi:
“Pemerintah dan lembaga negara
lainnya berkewajiban dan ber-tanggung jawab memebrikan per-lindungan khusus terhadap anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan ter-isolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjual-an dan perdagangan, anak korban
7
Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 107.
kekerasan baik fisik dan/atau
mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan
salah dan penelantaran”.
Dalam Pasal 59 ini juga dijelas-kan mengenai tanggungjawab pemerintah dan masyarakat dalam melindungi anak-anak diantaranya adalah anak korban ke-kerasan seksual. Perlindungan ini tidak hanya mengenai pendampingan oleh se-orang advokat tetapi juga pendampingan dalam proses pemulihan psikologis bagi anak-anak. Sehingga rasa trauma yang di-alami anak tidak akan memberi dampak buruk bagi kehidupannya di masa yang akan datang.
Perlindungan khusus terhadap
anak-anak korban kekerasan seksual ini diatur di dalam Pasal 64 ayat (3), per-lindungan tersebut meliputi perper-lindungan dari pemberitaan identitas media massa dan untuk menghindari labelisasi ter-hadap korban. Pemberian jaminan kesela-matan dan perlindungan bagi saksi kor-ban baik secara fisik maupun mental.
Upaya pencegahan terhadap ke-kerasan fisik, psikis dan seksual diatur di dalam Pasal 69 yaitu dapat dilakukan me-lalui upaya penyebarluasan dan sosiali-sasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan dan pemantauan, pe-laporan dan pemberian sanksi. Di samping itu, setiap orang dilarang me-nempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh, melakukan atau turut serta melakukan kekerasan.
Undang-Undang ini lebih menekankan pemberian perlindungan kepada pelaku anak-anak.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa kekerasan seksual terhadap anak dapat terjadi di-mana saja dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Pelaku umumnya adalah orang yang berinteraksi secara intens dengan korban, seperti ayah, kakek, paman, kakak, dan tetangga dan tidak jarang juga guru dapat menjadi pelaku kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak didik di sekolah.
Perlindungan terhadap anak kor-ban kekerasan seksual pada anak-anak diatur di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan. Perlindungan ini tidak hanya diberikan oleh orang tua maupun wali tetapi pemerintah dan masyarakat juga harus berperan serta dalam memberikan per-lindungan terhadap anak-anak korban kekerasan seksual tersebut. Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual khu-susnya anak-anak belum terakomo-dasi
dengan baik oleh Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlin-dungan Anak. Oleh sebab itu, upaya pencegahan terhadap kekerasan seksual ini juga dapat dilakukan dengan cara penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan
peraturan perundang-undangan yang
melindungi anak korban tindak ke-kerasan, pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi. Di samping itu, setiap orang dilarang menempatkan, mem-biarkan, melakukan, menyuruh, melaku-kan atau turut serta melakumelaku-kan kekerasan. Tidak kalah pentingnya, peran serta orang tua sangat diperlukan dalam mem-berikan perlindungan terhadap anak-anak, terutama dalam memberikan
per-lindungan terhadap tindak pidana ke-kerasan seksual terhadap anak-anak.
Daftar Bacaan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lem-baran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indo-nesia Nomor 4235).
Bakhtiar, Yusnanik, 2014, Kriminologi,
Unimal Press, Lhokseumawe.
Darma, Made, 1996, Kriminologi, Raja
Grafindo Persada.
Farid, Abidin , A.Z dan Hamzah, A,
2006, Bentuk-Bentuk Khusus
Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum Penitensier, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum
Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Muladi dan Barda Nawawi, 2005, Teori
dan Kebijakan Pidana, PT Alum-ni, Bandung.
Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum
Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.
Syamsuddin, Aziz, 2011, Tindak Pidana
Khusus, Sinar Grafika, Jakarta.
Waluyadi, 2009, Hukum Petlindungan