BAB II
TINJAUAN UMUM MASYARAKAT DAN KESENIAN BATAK TOBA
2.1 Geografi Batak Toba
Batak merupakan salah sat
108 yang terletak di
Toba atau yang sering disebut dengan istilah Tanah Batak, meliputi wilayah yang
cukup luas, yang terdiri dari: Daerah Tepi Danau Toba, Pulau Samosir, Dataran
Tinggi Toba, dan Silindung, Daerah Pegunungan Pahae, dan Habinsaran. Wilayah
ini luasnya lebih kurang 10.000 km2 dan berada pada ketinggian 700-2.300 m di
atas wilayah ini luasnya lebih kurang 10.000 km2 dan berada pada ketinggian
700-2.300 meter di atas permukaan laut.109
Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah:
secara umum letak geografi dan etnografi masyarakat Sumatera Utara dalam
108
Muhammad Takari dkk “Masyarakat Kesenia DiIndonesia:Masyarakat Dan Kesenian Sumatera Utara”, Studia Kultura, Fakultas Sastra,Universitas Sumatera Utara, 2008. Pada masa penjajahan Belanda, di Sumatera Utara terdapat dua provinsi (afdeeling), yaitu Sumatera Timur dan Tapanuli. Ada perbezaan pengertian antara Sumatera Utara dengan Sumatera Timur. Wilayah Sumatera Timur (Oostkust van Sumatra dalam Bahasa Belanda atau East Coast of Sumatra
dalam Bahasa Inggeris) mencakup Provinsi Sumatera Utara sekarang di luar Tapanuli, ditambah daerah Bengkalis Provinsi Riau-secara budaya termasuk pula Tamiang Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Lebih jauh lihat Blink, Sumatra's Oostkust: In Here Opkomst en Ontwikkelings Als Economisch Gewest, (s'Gravenhage: Mouton & Co., 1918), pp. 1 dan 9. Kini Sumatera Utara adalah salah satu dari 33 Provinsi di Indonesia, yang terdiri dari 26 Kabupaten dan Kota, yaitu: (1) Kabupaten Asahan, (2) Kabupaten Batubara, (3) Kabupaten Dairi, (4) Kabupaten Deli Serdang, (5) Kabupaten Humbang Hasundutan, (6) Kabupaten Karo, (7) Kabupaten Labuhan Batu, (8) Kabupaten Langkat, (9) Kabupaten Mandailing Natal, (10) Kabupaten Nias, (11) Kabupaten Nias Selatan, (12) Kabupaten Pakpak-Dairi Bharat, (13) Kabupaten Samosir, (14) Kabupaten Serdang Bezagai, (15) Kabupaten Simalungun, (16) Kabupaten Tapanuli Selatan, (17) Kabupaten Tapanuli Tengah, (18) Kabupaten Tapanuli Utara, (19) Kabupaten Toba Samosir, (20) Kota Binjai, (21) Kota Medan, (22) Kota Padang Sidempuan, (23) Kota Pematangsiantar, (24) Kota Sibolga, (25) Kota Tanjung Balai dan (26) Kota Tebing Tinggi.
109
konteks pemerintahan Republik Indonesia dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: (1)
delapan etnik setempat yang terdiri dari: Melayu, Karo, Simalungun,
Pakpak-Dairi-Dairi, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir, dan Nias; (2) etnik
pendatang dari Nusantara: Minangkabau, Aceh, Banjar, Jawa; serta (3) etnik
pendatang dari luar negeri: Tionghoa, Tamil, Benggali, dan Eropa.
Pada masa sekarang sebagian besar masyarakat Sumatera Utara,
menerima cara pembagian kelompok-kelompok etnik setempat ke dalam delapan
kategori, seperti yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia. Keberadaan etnik
setempat dijelaskan oleh Goldsworthy sebagai berikut.
The three major [North] Sumatran ethnic groups are the Batak, coastal Malay and Niasan... North Sumatrans often divide the indigenous (that is, non-immigrant) population of the province into nine more narrowly defined ethnic groups (suku-suku)... The broad Batak ethnic group is ussually divided into six main communities-Pakpak-Dairi, Toba, Angkola-Sipirok, Mandailing, Karo and Simalungun. All six groups have a broadly similar social organisation (patrilineal, exogamus dans) and related languages, but important social, religious and lingu istic differences also divide them. The sharpest linguistic division is between the Karo/Pakpak-Dairi Dairi groups in the north and west and the Toba/Mandailing/Angkola-Sipirok groups in the south. The Simalungun group falls between the two extreme points of contrast”.
Tiga kelompok etnik besar Sumatera Utara adalah Batak, Melayu Pesisir,
dan Nias. Orang-orang Sumatera Utara biasanya dibagi ke dalam sembilan
populasi setempat (yaitu mereka yang bukan imigran), yang biasa disebut dengan
suku-suku. Kelompok etnik Batak yang lebih luas, biasanya dibagi pada lima
komunitas utama, antara lain: Karo, Pakpak-Dairi, Batak Toba, Simalungun,
yang sama, yaitu berdasar pada sistem patrilineal dan klen yang eksogamus.110
Kebanyakan masyarakat Batak Toba mempunyai suatu kebiasaan untuk
merantau (meninggalkan kampung halaman). Hal ini disebabkan berbagai faktor,
di antaranya untuk mencari kehidupan yang lebih layak, pendidikan dan biasanya
orang Batak yang sukses diperantauan akan memanggil orang Batak yang
mempunyai kedekatan dengan yang satu marga
Mereka mempunyai sistem sosial, religi, dan linguistik yang berbeda. Perbedaan
linguistik paling jelas adalah antara kelompok Karo dan Pakpak-Dairi di utara dan
Barat dengan kelompok Toba, Mandailing, Angkola, dan Sipirok di Selatan.
Simalungun berada di antara dua sistem linguistik ini.
111
atau tondong (yang masih ada
hubungan family) untuk diberikan pekerjaan, dalam hal ini bisa dikarenakan oleh
falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya
yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut
yaitu Somba Marhula-hula, Manat Mardongan Tubu, Elek Marboru.
Nalom Siahaan mengatakan di rantau suku Batak selalu peduli dengan
identitas sukunya, seperti berusaha mendirikan perhimpunan semarga atau
sekampung dengan tujuan untuk menghidupkan ide-ide adat budayanya. Suku
110
Yang dimaksud klen eksogamus adalah sistem kemasyarakatan dalam sebuah suku, yang norma pemilihan pasangan hidupnya berasal dari kelompok luar tertentu. Lihat Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1993:400). Dalam konteks masyarakat Batak, klen yang sama dilarang kawin.
111Kompas
Batak mengadakan pertemuan secara berkala dalam bentuk adat ataupun
silaturahmi.112
Si Raja Batak mempunyai dua putra, yang sulung bernama Guru Tatea Bulan dan adiknya Raja Isumbaon. Si Guru yaitu Tatea
2.2 Asal-Usul Masyarakat Batak Toba
Karena minimnya data-data yang tertulis mengenai asal-usul masyarakat
Batak Toba, dalam mengaji tentang asal-usul masyarakat Batak Toba maka
penulis mengacu dari tiga hal, yaitu: (1) Pengertian Batak; (2) Catatan sejarah
mengenai Batak, dan; (3) Kisah/cerita yang berkembang pada masyarakat Batak
Toba atau mitologi tentang lahirnya suku Batak, juga dikarenakan bila dikaji lebih
dalam, khususnya pada awal terjadinya marga dalam masyarakat Batak Toba,
merupakan suatu hal yang sangat rumit, karena erat sekali hubungannya antara
mitos dan sejarah penyebaran masyarakat Batak Toba itu sendiri. Berdasarkan
mitos dan sejarah, dapat dikatakan bahwa menurut persepsi mereka pada
umumnya setiap individu dalam masyarakat Batak Toba merupakan keturunan Si
Raja Batak, seperti tercermin dalam tulisan Napitupulu (1964:84).
Dewa Mulajadi Na Bolon mengirim putrinya Si Boru Deak Parujar turun ke bumi. Ia kawin dengan Dewa Odap-odap dan melahirkan anak kembar manusia, satu lelaki Si Raja Ihat Manisia dan satu perempuan Si Boru Ihat Manisia. Mereka berdua, walau bersaudara, kawin dan lahirlah beberap anaknya. Salah seorangputeranya bernama Si Raja Batak, yang menjadi leluhur seluruh suku Batak. Kampung kediamannya bernama Sianjur Mula-mula dekat kaki gunung Pusuk Buhit disebelah Barat Pulau Samosir. Setelah Si Raja Batak meninggal, arwahnya menetap di atas Gunung Pusuk Buhit.
112
Bulan ahli dalam ilmu sihir dan Sang Raja, adiknya ahli dalam ilmu hukum adat. Guru Tatea Bulan mempunyai lima putra dan empat putri. Kelima puteranya adalah: (1) Raja Biak-biak (Raja Uti), (2) Tuan Saribu Raja, (3) Limbong Mulana, (4) Sagala Raja, dan (5) Silau raja (Malau Raja). Nama dari keempat puterinya, sebagai berikut: (1) Si Boru Paromas (Si Boru Anting-anting Sabungan), (2) Si Boru Parema, (3) Si Boru Bindinglaut, dan (4) Nan Tinjo. Raja Isumbaon mempunyai tiga orang putra, yaitu: (1) Sorimangaraja, (2) Raja Asiasi, (3) Sangkar Somalidang (Langka Somalidang).
2.2.1 Pengertian batak
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Batak mempunyai dua arti, yang
pertama adalah orang-orang dari sub-etnis yang tinggal di Provinsi Sumatera
Utara dan arti yang kedua adalah (sastra) petualang, pengembara, sedang
memBatak berarti berpetualang, pergi mengembara, menyamun, merampok dan
arti dari pemBatak adalah perampok/penyamun.
Pengertian kata Batak sampai sekarang belum dapat dijelaskan dengan
pasti dan memuaskan. Menurut J. Warneck, Batak berarti “penunggang kuda yang
lincah” tetapi menurut H.N. Van dier Tuuk Batak berarti ‘kafir’, dan ada juga
yang mengartikan ‘budak-budak yang bercap atau ditandai’.113 Leo Joosten114
113
Andar M Lumbantobing, 1996. Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak. Jakarta: PT, BPK Gunung Mulia.
114
Leo Joosten, 2008. Kamus Indonesia Batak Toba. Medan: Penerbit Bina Media Perintis.
berpendapat Batak: yang non-jau; orang yang bukan
bangsa-halak jau; adat dan hukum suku-habatahon. Dari beberapa pendapat di
atas tidak dapat menjelaskan dan memastikan apa atau yang mana arti Batak yang
kata Batak tanggapannya mungkin orang yang dekat dengan adat dan hukum suku
yang tinggal/berasal dari Sumatera Utara.
2.2.2 Sejarah batak
Karena Catatan mengenai sejarah asal-usul suku bangsa Batak tidak
banyak ditemukan, sehingga sulit untuk memperkirakan kapan sebenarnya suku
bangsa Batak mulai mendiami wilayah Sumatera Utara sekarang. Di bawah ini
penulis mencoba mengurutkan secara ringkas beberapa catatan sejarah yang
umumnya telah dikutip berbagai penulis, yang dapat membuat suatu prediksi
tentang asal-usul masyarakat Batak yang akan penulis kemukakan sebagai berikut.
Brahma Putro mengemukakan bahwa pada jaman batu terjadi perpindahan
bangsa dari Tiongkok Selatan ke Hindia Belakang, dan bangsa-bangsa Hindia
Belakang terdesak dan banyak pindah ke selatan, antara lain Campa, Siam,
Kamboja. Lalu bertebaran ke Nusantara setelah melalui Malaya, dan sebahagian
mereka-mereka ini masuk ke Pulau Sumatera termasuk wilayah Sumatera Utara
sekarang. Menurut Brahma Putro bangsa Batak berasal dari bangsa-bangsa
Hindia Belakang setelah melalui malaya.115
Tentang kapan waktu perpindahan ini Brahma Putro juga mengutip
berbagai pendapat, di antaranya pendapat G. Gerrad, V. H. Geldern, Kern, Mhd.
Yamin, sebagai berikut: Menurut G. Gerrad, perpindahan itu terjadi dalam dua
gelombang, gelombang pertama kira-kira 1500 tahun sebelum Masehi, yang
disebut ras Proto Malay (Melayu Tua), dan gelombang kedua terjadi kira-kira
115
1000 tahun sebelum Masehi, yang disebut ras Deutro Malay (Melayu Muda).
V.H. Geldern mengatakan, perpindahan pertama terjadi 2000 tahun sebelum
Masehi, dan perpindahan kedua terjadi kira-kira 300 tahun sebelum Masehi.
Kern menyebutkan, perpindahan ras Proto Malay terjadi kira-kira 4000
tahun sebelum Masehi, dan perpindahan ras Deutro Malay, terjadi kira-kira 2000
tahun sebelum Masehi. Mhd. Yamin, sependapat dengan teori Kern, yang
menyebutkan bahwa perpindahan pertama terjadi kira-kira 4000 tahun sebelum
Masehi, dan perpindahan kedua terjadi kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi.
Dari berbagai uraian pendapat di atas, penulis berpendapat bahwa suku
bangsa Batak telah lama mendiami wilayah Sumatera Utara namun tidak diketahui
kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli.
Kemungkinan bahwa suku bangsa Batak adalah termasuk berasal dari
bangsa-bangsa Hindia Belakang atau ras Proto Melayu (Melayu Tua), karena desakan dari
ras Deutro Melayu maka melakukan migrasi ke daerah pedalaman Sumatera
Utara, sehingga suku bangsa Batak lebih banyak mendiami wilayah pegunungan
dan pedalaman, sedang wilayah pesisir pantai didiami oleh suku bangsa Melayu
yang kemungkinan besar adalah ras Deutro Malay.
Beberapa pendapat lainnya, seperti seorang putra Batak Toba yang pernah
menjadi pendeta di berbagai gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang
tertarik juga mendalami sejarah, Andar M. Lumbantobing mengutip pendapat
yang mengemukakan sebagai berikut.
daerah pedalaman ini terdapat pengaruh agama Mahayana, yang murid-muridnya, oleh dunia ilmu pengetahuan masa kini, diakui sebagai nenek moyang suku Batak yang kini mendiami daerah itu”.116
Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa
bangsa Batak, dan ada juga yang menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak
berasal dari
tarombo (silsilah)117 orang Batak, yang mengatakan bahwa nenek moyang suku bangsa Batak adalah satu yaitu Si Raja Batak. Dari Si Raja Batak inilah
berkembang sub-sub suku Batak yang mengembara ke wilayah-wilayah teritorial
di atas sejalan dengan perkembangan pemukiman baru atau perkotaan yang
semakin meluas. Setiap pembukaan kampung baru biasanya diiringi dengan
penabalan marga baru terhadap orang yang membuka perkampungan tersebut.
Cara ini terutama dilaksanakan di lingkungan sub-sub suku Batak Toba, sehingga
dengan demikian jumlah marga di lingkungan suku Batak Toba adalah relatif
lebih banyak.118
Dari pendapat di atas maka berbanding terbalik jika dibandingkan dengan
pendapat yang mengatakan adanya perpindahan dua gelombang yaitu Proto
Malay dan Deutro Malay yang telah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun
sebelum Masehi. Jika diurut dari tarombo Batak tersebut, yaitu Raja
116
Andar M Lumbantobing,1996. Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
117
Leo Joosten, 2008. Kamus Indonesia Batak Toba. Medan: Penerbit Bina Media Perintis, h. 246.
118
Sisingamangaraja ke XII salah satu keturunan Si Raja Batak yang merupakan
generasi ke-19 (wafat 1907).
Ada juga yang membuat suatu rekayasa sejarah dengan menggabungkan
mitos dan data yang dibuat. Di antara pendapat yang ada golongan ini
mengemukakan bahwa Si Raja Batak dan rombongannya datang dari Thailand,
terus ke Semenanjung Malaysia lalu menyeberang ke Sumatera dan menghuni
Sianjurmulamula, lebih kurang 8 km arah Barat Pangururan, di pinggiran Danau
Toba sekarang. Versi lain mengatakan, bahwa Si Raja Batak datang dari India
melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke selatan hingga bermukim di
pinggir Danau Toba.119
… Orang Batak adalah penutur
Pendapat yang mengatakan dari sisi bahasa dan bukti-bukti arkeologi yang
menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah
berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia, dapat kita lihat pada kutipan berikut.
diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatra Utara di jaman logam. Pada abad ke-6, pedagang-pedagang pesisir Barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang
119
Richard Sinaga, 1997. Leluhur Marga Batak, Dalam Sejarah, Silsilah dan Legenda.
oleh pedagang Tamil dari pesisir Sumatera… Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari
Barus,120
Raja Sisingamangaraja I sampai Raja Si Singamangaraja IX tidak
diketahui kapan wafatnya dan dimana makamnya. Raja-raja ini setelah
mempunyai keturunan dan merasa sudah ada penggantinya pergi merantau dan
Piso Gaja Dompak tidak dibawanya. Mereka dipastikan telah wafat adalah melalui
tanda-tanda alam yaitu ada cabang dari Hariara Namarmutiha yang patah. Kalau
ada cabang Hariara ini yang patah berarti ada anggota keluarga yang meninggal
dan kalau cabang utama yang patah berarti Raja Si Singamangaraja telah tiada.
Hariara Namarmutiha ini dikenal juga sebagai Hariara Tanda dan sampai
sekarang masih tumbuh di Bakara. Dari latar belakang Sejarah Batak yang
mengatakan bahwa Si Raja Batak adalah seorang aktivis kerajaan dari Timur
Danau Toba (Simalungun sekarang) atau dari Selatan Danau Toba (Portibi) atau
dari Barat Danau Toba (Barus) yang mengungsi ke pedalaman, akibat terjadi
konflik dengan orang-orang Tamil di Barus, yang terdesak akibat serangan
Mojopahit. Hal ini diperkirakan berdasarkan batu tertulis (prasasti) di Portibi
bertahun 1208 yang dibaca Nilakantisasi (Guru Besar Purbakala dari Madras,
India) yang menjelaskan bahwa pada tahun 1024 Kerajaan Cola dari India
menyerang Sriwijaya yang menyebabkan bermukimnya 1.500 orang Tamil di
Barus. Pada tahun 1275 Mojopahit menyerang Sriwijaya, hingga menguasai
daerah Pane, Haru, dan Padang Lawas.
2.2.3 Mitologi suku batak toba
Setiap suku dan marga memiliki kisah tentang asal-usulnya, masyarakat
Batak Toba juga memiliki cerita yang berkembang di masyarakat tentang
asal-usulnya, khususnya tentang terjadinya marga dalam masyarakat Batak Toba
merupakan suatu hal yang rumit, karena erat sekali hubungannya dengan mite121
Masyarakat Batak Toba, baik secara peribadi maupun berkelompok mengakui adanya kuasa di luar kuasa manusia. Dalam menghormati kuasa tersebut mereka mempunyai cara penyembahan yang berbeda sesuai dengan kesanggupan memahami makna kuasa tersebut. Motif setiap penghormatan ditujukan untuk mendapat perlindungan agar terhindar dari bahaya, sama ada bahaya alam, penyakit menular maupun serangan binatang buas. Demikian pula untuk maksud mendapat restu, baik
dan juga tentang sejarah penyebaran masyarakat Batak Toba. Namun
sebagaimana sifat dari tradisi lisan dalam perkembangannya sering suatu cerita
memiliki variasi di masyarakat, sehingga semakin lama akan semakin sulit untuk
mendapatkan sumber awalnya, dan semakin berbeda dengan cerita aslinya.
121
dalam perkawinan maupun usaha mencari rezeki dilaksanakan menerusi pemujaan.122
Tidak dijelaskan Raja Ihat Manisia kawin dengan siapa, ia mempunyai 3 anak laki-laki: Raja Miok Miok, Patundal Na Begu
Berikut ini disampaikan salah satu ringkasan cerita tentang asal-usul
masyarakat Batak yang dikutip dari tulisan Lumbantobing (1996).
Konon di atas langit (banua ginjang, nagori atas) adalah seekor ayam yang bernama Manuk Manuk Hullambujati berbadan besar, mempunyai paruh yang terbuat dari besi dan taji yang terbuat dari tembaga, telurnya sebesar periuk tanah. Manuk-Manuk Hulambujati memiliki 3 butir telur. Setelah menetas dia memberi nama yang pertama Tuan Batara Guru, yang kedua Ompu Soripada, dan yang ketiga Ompu Tuan Mangalabulan, ketiganya adalah lelaki.
Setelah ketiga putranya dewasa, ia merasa bahwa mereka memerlukan seorang pendamping wanita. Manuk-Manuk Hulambujati kembali memohon dan Mulajadi Na Bolon mengirimkan 3 wanita cantik: Siboru Pareme untuk istri Tuan Batara Guru, yang melahirkan 2 anak laki-laki diberi nama Tuan Sori Muhammad, dan Datu Tantan Debata Guru Mulia dan 2 anak perempuan kembar bernama Si Boru Sorbajati dan Si Boru Deakparujar. Anak kedua Manuk-Manuk Hulambujati, Tuan Soripada diberi istri bernama Siboru Parorot yang melahirkan anak laki-laki bernama Tuan Sorimangaraja sedangkan anak ketiga, Ompu Tuan Mangalabulan, diberi istri bernama Siboru Panuturi yang melahirkan Tuan Dipangat Tinggi Sabulan.
Si Boru Deak parujar anak dari Tuan Batara Guru lebih senang tinggal di Banua Tonga (bumi), Mulajadi Na Bolon mengutus Raja Odap Odap untuk menjadi suaminya dan mereka tinggal di Sianjur Mula Mula di kaki Gunung Pusuk Buhit (Pulau Samosir). Dari perkawinan mereka lahir 2 anak kembar: Raja Ihat Manisia (laki-laki) dan Boru Itam Manisia (perempuan).
122
dan Aji Lapas Lapas. Raja Miok Miok tingga di Sianjur Mula Mula, karena 2 saudaranya pergi merantau karena mereka berselisih paham.
Raja Miok Miok mempunyai anak laki-laki bernama Engbanua, dan 3 cucu dari Engbanua yaitu: Raja Ulung, Raja Bonang Bonang dan Raja Jau. Sedangkan Raja Bonang Bonang (anak ke-2) memiliki anak bernama Raja Tantan Debata, dan anak dari Tantan Debata inilah disebut Si Raja Batak, yang menjadi leluhur orang Batak, dan berdiam di Sianjur Mula Mula, di Kaki Gunung Pusuk Buhit Pulau Samosir.
Banyak cerita dengan berbagai versi tentang leluhur orang Batak, tetapi
perbedaannya tidak begitu jauh, yang semua tujuan ceritanya mengatakan bahwa
Si Raja Bataklah yang dianggap merupakan nenek moyang suku bangsa Batak.
Ada juga beberapa mitos yang kebanyakan tujuan penulisannya untuk
kalangan sendiri, seperti tulisan yang berjudul Dinasti Raja Pulo Morsa Rea
(Sumatera) Dan Dinasti Raja Batak: Partukoan Habatahon123 (Partohab), yang dalam tulisan ini mewakili masa Aek Nasumar (Banjir besar),124 kemudian Dinasty Pulo Mangala Tuan Bitara Raja Tuntungan Pulo Morsa Rea yang mana
pada masa ini mewakili 6000 taon a.s.t.K andorang so tubu Kristus (6000 tahun
sebelum masehi) hingga sampai kepada Dinasti Pulo Morsa Raja Batahan Jonggi
Nabolon (Raja Batak Parjolo) yaitu Raja Batak Pertama mewakili 1800 andorang
so tubu Kristus (1800 tahung sebelum masehi). Ada perbedaan untuk penyebutan
nama raja sebagai perbandingan untuk “silsilah sibagot ni pohan”.
123
Disusun kembali oleh: Tombang Lumbangaol, yang memang tujuan penulisannya ditujukan untuk kalangan sendiri.
124
2.3 Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba
Dalihan Na Tolu adalah
Batak. Dalihan Natolu merupakan suatu kerangka yang meliputi
hubungan-hubungan kerabat
kelompok. Orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak
dilahirkan hingga meninggal dalam tiga posisi yang disebut Dalihan Na Tolu,
istilah Dalihan Na Tolu selalu diartikan atau diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi Tiga Tungku Sejerangan atau Tungku Nan Tiga.
Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang
mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat
digunakan berbeda dengan kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan
dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki
empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi. Inilah yang
dipilih
antara sesama yang bersaudara, dengan hula-hula dan boru. Perlu keseimbangan
yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan
tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula,
pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu. Dalihan Na Tolu
dianalogikan dengan tiga tungku masak di dapur tempat menjerangkan periuk.
pihak semarga (in group); (2) pihak yang menerima istri (wife receiving party);
(3) pihak yang memberi istri (giving party).125
Ketiga unsur penting dalam kekerabatan masyarakat Batak tersebut yaitu:
Hula-hula yaitu kelompok orang yang posisinya “di atas”, yang berasal dari
keluarga marga pihak istri. Sebagai suatu wujud penghormatan terhadap
kelompok ini pada masyarakat Batak dikenal dengan sebutan “Somba
marhula-hula” yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh
keselamatan dan kesejahteraan. Dongan Tubu yaitu kelompok orang-orang yang
posisinya “sejajar”, yaitu: teman/saudara semarga
126
Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur.
Untuk menjaga keseimbangan tersebut haruslah menyadari bahwa semua orang
akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan
tubu dapat kita lihat kedudukan ketiga hal tersebut di atas, yaitu hula-hula, boru
dan dongan sabutuha pada upacara adat bisa menjadi berganti. Posisi hula-hula yang harus tetap akrab dan
kompak, yang dalam masyarakat Batak Toba dikenal dengan sebutan “manat
mardongan tubu”, artinya tetap menjaga persaudaraan agar terhindar dari
perseteruan. Unsur kekerabatan yang ketiga adalah Boru, yaitu kelompok
penerima istri, yang dalam suatu acara adat posisinya adalah sebagai “pekerja”,
sehingga dalam masyarakat Batak Toba dikenal sebutan “elek marboru” yang
artinya harus memperhatikan, membujuk dan mengayomi kelompok penerima
istri ini, karena merekalah yang akan bekerja apabila ada suatu acara adat/pesta.
125
N Siahaan 1982. Adat Dalihan Natolu Prinsip dan Pelaksanaannya. Jakarta: Penerbit Grafindo, h. 35.
126
pada saat lain mungkin menjadi boru, demikian juga halnya dengan boru yang
bisa menjadi hula-hula. Dengan demikian setiap kelompok masyarakat Batak
Toba akan menduduki ke-3 fungsi dalihan na tolu ini, yaitu hula-hula, boru dan
dongan sabutuha.
Dalihan Na Tolu
Dalihan Natolu adalah suatu kerangka yang meliputi hubungan-hubungan
kerabat
adalah merupakan kerangka dasar kekerabatan. Nilai inti
kekerabatan dalam masyarakat Batak menjadi unsur utama yang dapat terwujud
dalam pelaksanaan adat, selain itu juga terlihat pada tutur sapa dan bersikap
karena nilai kekerabatan atau keakraban berada di tempat yang tinggi bagi aturan
kehidupan masyarakat Batak Toba.
Dengan perkawinan maka terjadilah suatu ikatan dan integrasi di antara tiga pihak
yang disebut tadi, seperti tiga tungku di dapur yang besar. Cukup banyak fungsi
adat ini bagi masyarakat pendukungnya, di antaranya patuduhan holong yang
artinya menunjukkan kasih sayang di antara sesama yang penuh sopan
santun/etika. Dari fungsinya yang penuh kehikmatan maka adat Dalihan Na Tolu
dapat diterima oleh setiap masyarakat Batak Toba, sekali pun mereka
berbeda-beda agama atau kasta.127
Dalihan Na Tolu bukanlah mengenai agama atau kasta karena setiap orang
Batak memiliki ketiga posisi tersebut. Perbedaan agama dan kasta tidak terlalu
berpengaruh, mereka yang menganut agama Islam, Kristen, Katolik, Budha dan
127Kompas
yang kaya atau miskin kadang-kadang begitu erat kaitannya, hal ini dikarenakan
konsep adat telah terbentuk sejak mulai lahirnya kelompok masyarakat yang
identitas utamanya adalah adanya marga, sejauh ini tidak ada orang Batak Toba
tanpa marga, karena dengan marga itu orang Batak akan setia terhadap ketentuan
adatnya di mana pun mereka berada.
2.4 Kampung dan Desa
Menurut Vergouwen, masyarakat Batak Toba mengenal beberapa kesatuan
tempat yaitu: (1) kampung, lapangan empat persegi dengan halaman yang bagus
dan kosong di tengah-tengahnya, (2) huta, “republik” kecil yang diperintah
seorang raja, (3) onan, daerah pasar, sebagai satu kesatuan ekonomi, (4) homban
(mata air), (5) huta parserahan, kampung induk dan lain-lain (Vergouwen
1964:119-141). Ditinjau dari kemasyarakatan Batak Toba, perkampungan/desa
memiliki hubungan yang erat dengan sistem marga. Pada mulanya setiap marga
bertempat tinggal di perkampungan yang disebut huta, yang biasanya juga
merupakan suatu bahagian dari huta yang dihuni oleh sekelompok induk marga
dari suatu keturunan, yang disebut toga dan gabungan beberapa unsur – unsur
marga masyarakat yang tercakup dalam suatu wilayah beberapa huta yang satu
keturunan disebut bius. Misalnya marga Hutagalung dalam cakupan bius
Tarutung, marga Simamora dalam cakupan bius Dolok Sanggul, marga
Nainggolan dalam cakupan bius Onan Runggu, marga Sinambela dalam cakupan
Dikatakan Huta jika bangunan yang didirikan di atas tanahnya sendiri,
atau bertempat tinggal di atas tanah yang telah diduduki, maka parhutaan adalah
merupakan bagian dari milik si pendiri serta keturunannya, misalnya untuk
menanyakan didia marhuta yang berarti bertempat tinggal di kampung mana,
dijawab huta atau kampung Hutagalung yang berarti marga Hutagalung yang
mendirikannya .
Seperti yang dijelaskan oleh Vergouwen, kampung merupakan lapangan
empat persegi dengan halaman yang bagus dan kosong di tengah-tengahnya.
Rumah-rumah, biasanya berbaris, berhadapan dengan barisan rumah terdapat
lumbung padi. dan setiap rumah memiliki pekarangan dapur sendiri di bagian
belakang.
2.5 Agama dan Kepercayaan
Definisi agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem
atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa
atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang
bertalian dengan kepercayaan tersebut, sedang kata agama berasal dari bahasa
Sansekerta yang berarti tradisi
Sebelum terbentuk Negara Republik Indonesia bahwa, suku-suku di
daerah-daerah sudah menganut agama dan kepercayaan asliseperti dalam
kepercayaan masyarakat Batak Purba, diyakini adanya Tuhan
Yang Maha Tinggi yang disebut Mula Jadi Nabolon. “Tuhan” itu secara
Bolon, Ompu Silaon Na Bolon, dan Tuan Pane Na Bolon yang berurut menguasai
wilayah atas: langit yang disebut banua ginjang, wilayah tengah: bumi yang
disebut banua tonga dan wilayah bawah: laut dan cahaya yang disebut banua
toru. Konsep “Tuhan” yang demikian itu menurut para ahli antropologi religi
akibat dari pengaruh Hindu yang menyusup ke dalam konsep kepercayaan asli
orang Batak.128
Pada masa itu, keagamaan orang Batak merupakan suatu konsep totalitas,
yaitu alam, komunitas, pribadi, dan sebagainya yang terjalin dalam suatu
pandangan, merupakan konsep totalitas dan juga yang tercermin dalam pembagian
alam menjadi tiga bagian dan Mulajadi Na Bolon yang diartikan sebagai Pencipta
Alam Semesta sebagai penguasa atau Bangsa Batak sudah menganut agama asli
yaitu agama Mulajadi
Menurut Pedersen pada mulanya antara tahun 2000 dan 1500 sebelum
Masehi, kebudayaan Batak di daerah selatan dan pesisir Barat Sumatera Utara
telah dikuasai oleh suatu peradaban Hindu-Budha. Tetapi kemudian, pendapat yang sudah ada sejak jaman purba. Sejak masa sebelum ada
pengaruh Hindu, orang Batak yakin akan adanya roh nenek moyang, penguasa
tanah, dan roh-roh lain yang bermukim di tempat-tempat suci.
Pengaruh agama Hindu diperkirakan lama cukup memengaruhi
perkembangan budaya Batak, dapat dilihat dari beberapa kosa kata yang diserap
dari bahasa Hindi dalam banyak kosa kata bahasa Batak seperti guru, batara,
aditia, anggara dan lain sebagainya, dan juga terdapatnya candi-candi Hindu di
Portibi, Sipamutung dan Padang Bolak.
128
tentang masuknya pengaruh Hindu-Budha ke daerah Batak lebih menonjolkan
teori kolonisasi yang lebih muda, dengan teori bahwa kolonisasi asing mungkin
secara langsung datang dari India atau dari Jawa, tetapi yang paling besar
kemungkinannya ialah dari orang-orang Melayu Minangkabau di Sumatera
Tengah-Barat.
Bangsa Batak sudah menganut agama asli yaitu agama Mulajadi yang
sudah ada sejak jaman purba sampai kemudian pada masa Sisingamangaraja-X
(sepuluh) mulai berkembang agama baru yang dianut sebagian dari Bangsa Batak
yaitu Ugamo Malim dan penganutnya disebut parmalim
Kedudukan ketiga pimpinan Ompu Palti Raja, Si Raja Lontung: Jonggi
Manaor dan Si Singamangaraja X adalah sebagai pendeta agung yang mewakili
yang Maha Kuasa dengan sebutan Malim Ni Debata dan pemimpin dari suatu . Pada masa Si
Singamangaraja X (sebelum masuknya Islam dan Kristen) kehidupan beragama
bagi masyarakat Batak Toba merupakan kesatuan yang erat dengan pemerintahan,
yang pada masa itu dipegang oleh beberapa pimpinan. Sebab walaupun secara
keseluruhan wilayah Batak Toba berpegang pada suatu tata cara adat yang sama,
tetapi masyarakatnya terbagi atas tiga harajaon yang masing-masing dipimpin
oleh Ompu Palti Raja di Samosir Selatan, yang menguasai tujuh marga dari
keturunan Si Raja Lontung: Jonggi Manaor di lembah kaki gunung Pusuk Buhit,
yang menguasai marga-marga dari keturunan Guru Tatea Bulan; dan Si
Singamangaraja X dengan wilayah yang hampir meliputi lima perenam dari
keseluruhan wilayah Batak Toba (yang mencakup Toba Holbung, Samosir Utara,
bentuk organisasi politik yang meliputi berbagai bius, yang secara genealogis dan
geografis terkelompok sebagai suatu rumpun, sesuai dengan peta hasil pola
migrasi marga-marga masyarakat Batak Toba.
Ada tiga lapisan atau unsur kepercayaan yang juga tercermin dari
ritual-ritual, yaitu: (1) Unsur theisme, berdasar pada kepercayaan akan keesaan Tuhan;
(2) Unsur kepercayaan bahwa semua benda dan gejala alamiah adalah roh atau
mengandung roh, yang disebut animisme; dan (3) Unsur kepercayaan bahwa jagat
raya ini dikuasai oleh daya-daya gaib, magis yang lewat pelaksanaan ritual dan
mantra dapat dikendalikan oleh datu, seperti penyembuhan orang sakit secara
kekuatan supra-natural.
2.5.1 Islam
Sejarah perkembangan agama telah banyak meninggalkan catatan-catatan,
agama Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia yang penyebarannya juga
sampai ke Tapanuli. Dalam kunjungannya pada tahun 1292,
melaporkan bahwa masyarakat Batak sebagai orang-orang "liar" dan tidak pernah
terpengaruh oleh agama-agama dari luar. Meskipun
Sumatera Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan
masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh
pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang
secara perlahan telah meningkatkan pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat
Batak.129
Pada abad XIX terjadi pergolakang besar di Minangkabau, di mana sebuah
mahzab Islam bercita-cita mengadakan pemurnian pelaksanaan syariat Islam.
Pemimpin-pemimpin gerakan ini menyerang pranata-pranata Minangkabau yang
banyak itu, yang bertentangan dengan ajaran Islam dan tidak hanya pranata, tetapi
juga kepala-kepala adat yang berhubungan dengan itu dan memerolah kedudukan
sosial daripadanya. Gerakan pemurnian ini mendapat sambutan baik dari
masyarakat, sehingga memperoleh dukungan yang banyak terutama dari golongan
yang tidak simpati akan tindakan dari tokoh-tokoh adat
130
Kemudian Perlawanan dari raja-raja Minangkabau dan Raja-raja
Mandailing yang dibantu oleh Belanda, pada tahun 1837 berhasil menumpas
gerakan kaum Paderi ini dengan menyerang pusat mereka yaitu Bonjol, sehingga . (Keunang, 1990: 302)
Awal abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan
melakukan pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola.
Para kepala-kepala adat yang terancam itu meminta bantuan mula-mula kepada
orang Inggris, dan juga kepada orang Belanda sesudah tahun 1824; maka
terjadilah suatu perang sengit, yang berlangsung dengan mengalami pasang surut
bagi kedua belah pihak. Kaum Paderi berhasil mempertahankan diri dan pada
tahun 1830 mereka melakukan penyerangan ke Mandailing dan berhasil
menguasai perkampungan dan masyarakat yang dijumpainya.
129
Christine Doblin, “Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi,
Minangkabau 1784-1847”. Dalam
diubah pada 10.08, 23 November 2012.
130
era baru pun mulailah di derah Batak bagian selatan, yang telah berada di bawah
pendudukan Kolonial Belanda.
Dalam melaksanakan program-programnya pemerintah Belanda
memerlukan tenaga-tenaga bantuan agar dapat mengerjakan urusan-urusan
pemerintahan, dengan dimulainya penanaman kopi secara paksa, sebagai suatu
bagian dari Culturstelsel (Sistem Tanam Paksa). Dikarenakan orang Batak
Mandailing yang memenuhi syarat tidak bersedia, sehingga diangkatlah orang
Minangkabau hampir dalam segala jabatan yang diisi oleh pribumi. Beberapa
gedung sekolah didirikan yang bertujuan untuk mendidik putra kepala-kepala adat
Batak Mandailing agar memenuhi syarat untuk penempatan dalam aparatur
pemerintahan. Guru pada sekolah-sekolah ini pun kebanyakan didatangkan dari
Minangkabau.
Para penganut ajaran agama Islam yang fanatik, orang Minangkabau ini
yang juga dihinggapi oleh semangat untuk penyebaran agama, sehingga sambil
bekerja bagi pemerintah kolonial Belanda mereka juga aktif menyebarkan agama
Islam. Dari wilayah Batak Mandailing yang berdampingan dengan wilayah Batak
Toba, masuklah pengaruh Islam ke masyarakat Batak Toba. Dapat dikatakan,
kemungkinan besar bahwa masyarakat Batak Toba yang memeluk agama Islam
mendapat pengaruh dari Batak Mandailing yang sering dianggap masih saudara
satu asal-usul. Sehingga daerah perbatasan Batak Toba yang berbatasan langsung
dengan daerah Batak Mandailing sebagian penduduknya memeluk agama Islam
sedang sebagian lagi memeluk agama Kristen misalnya pada daerah Pahae Jahe
2.5.2 Kristen
Agama Kristen merupakan agama mayoritas di Batak Toba dapat
dikatakan Kristen sebagai identitas budaya, merupakan sejarah baru
perkembangan yang sangat dinamis bagi masyarakat Batak Toba yang dimulai
pada tahun 1863, ketika misionaris dari Jerman, I.L. Nommensen131
Pada tahun 1824, dua misionaris Baptist asa
menetap di
Silindung. Sebelum itu, berabad-abad lamanya tidak pernah terpengaruh oleh
agama-agama dari luar atau tidak ada hubungan dengan dunia luar atau Bangsa
Batak terisolasi yang amat ketat dari hubungan pemahaman kebudayaan,
masyarakat Batak Toba hidup dengan gayanya sendiri dan menurut pahamnya
sendiri.
132
Pada tahun 1850,
Sebelum
kedatangan I.L. Nommensen, dua orang pengabar Injil berkebangsaan Inggris,
memasuki daerah Batak Toba tahun 1824, baru beberapa hari sampai di tanah
Batak, mereka sudah dikejar-kejar, sehingga melarikan diri meminta perlindungan
kepada pihak Belanda. Sepuluh tahun kemudian, dalam tahun 1834 dua orang
penginjil Amerika harus menebus kegiatannya dengan nyawanya karena dibunuh
(Schreiner, 2002:56).
Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen
131
Hotmaida. Hutasoit, T. Simanjuntak, 1993. I.L. Nommensen Sang Penabur Di Tanah Batak. PT BPK GUNUNG MULIA.
132
Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang
menjadi sasaran pengkristenan mereka.133
Neubronner Van Der Tuuk, bertempat tinggal di dekat pantai di Barus di
daerah pinggiran. Dalam perjalanannya ke Danau Toba hampir saja ditebus
dengan nyawanya, ketika sekelompok masyarakat Batak Toba
mengejar-ngejarnya tetapi Neubronner Van Der Tuuk berhasil melarikan diri dan ia berhasil
dapat mencapai kembali tempat tinggalnya di Barus. Van Asselt, Heine, Betz dan
Klammer yang mengadakan rapat pendeta pada 7 Oktober 1861 di Sipirok untuk
mengatur strategi PI. Kemudian dilanjutkan oleh Nommensen, Schreiber,
Johansen dkk sejak tahun 1862.
134
Masyarakat Batak Toba mulai terbuka dalam menerima agama baru,
pekerjaan para zending dan keinginan untuk merubah hidup bisa jadi
penyebabnya. Mengenai persentasi penganut agama Kristen di Batak Toba, Geertz
menuliskan: Agama Kristen telah dianut oleh kira-kira seperdua dari orang Batak;
ada juga sedikit menjadi Islam, sedangkan yang lainnya tetap memeluk apa yang
dinamakan orang Batak Toba sebagai agama perbegu, yaitu kepercayaan kepada
roh-roh.135
Sebenarnya I.L. Nommensen juga mengalami banyak kesulitan di
tahun-tahun pertama dengan kasus yang sama seperti yang dialami misionaris
133
Van der Tuuk, Bataksch Leesbok, Stukken in het Mandailingsch; Stukken in het
Dairisch. Amsterdam, 1861. Dalam
diubah pada 10.08, 23 November 2012.
134
PWT. Simanjuntak, 2011. “Berkat Sekolah Zending, Tano Batak Maju” Horas, Edisi 135. 5-20 Maret, h. 13.
135
sebelumnya, dari berbagai pihak ia mengalami berbagai hambatan dan gangguan,
berkali-kali nyawanya terancam dan jelas keberadaannya tidak di terima raja- raja.
Pasaribu Arifin, 2011 menuliskan tentang: Berita tentang Nommensen
sampai ke telinga Raja Amandari, salah satu raja dari pomparan O Sumurung dan
beliau menyuruh salah seorang pembantunya yaitu Pandjingkel Silalahi untuk
menyampaikan kepada Nommensen bahwa dia tidak di terima di Hutabagasan136
Mula-mula di Silindung, kira-kira 15-20 tahun kemudian di Dataran
Tinggi Danau Toba dan Balige dan sekitarnya. Di sekitar Danau Toba walaupun
sudah melalui perjuangan yang sengit, dengan campur tangan sebuah ekspedisi
militer Belanda dan pencaplokan daerah itu, hasilnya memuaskan bagi Zending. ,
akan tetapi karena I.L. Nommensen mempunyai wibawa dan pribadinya yang
besar dan juga karena silindung yang menjadi cita-citanya dari awal, baru ia
berdoa, “Hidup atau Mati, aku tinggal ditengah-tengah bangsa ini, berdiam
memberitakan firman-Mu.
Kemudian kesabarannya pun menuai hasil, dimulai dari Huta dame di
desa Sait Ni Huta. Huta Dame adalah perkampungan pertama yang dibangun
Nommensen untuk menampung orang Batak yang tertindas di wilayah Silindung
sekaligus menjadi pusat penyebaran agama Kristen pertama di Tanah Batak.
Dilokasi ini pula Nommensen membangun gereja Dame, yakni Gereja pertama di
Silindung yang didirikan pada tahun 1864. Sesudah itu gerakannya bertambah
cepat, sehingga agama Kristen mencapai perkembangan yang pesat di Batak
Toba.
136
Akan tetapi memang sesudah tahun 1883 Zending telah benar-benar berhasil
dengan misinya, orang Batak Toba memahami apa arti kesempatan yang diberikan
Zending dan pemerintahan Belanda kepada mereka. Keamanan dan ketertiban,
pembukaan daerah permukiman dan lahan pertanian yang baru banyak
memengaruhi taraf kehidupan masyarakat Batak Toba. Masyarakat Batak Toba
diberi kesempatan untuk dididik menduduki kedudukan-kedudukan dalam
Zending sebagai pengetua-pengetua, guru dan pendeta. (Keunang, 1990: 302)
2.5.3 Parmalim
Sebelum terbentuk Negara Republik Indonesia bahwa suku-suku di
daerah-daerah sudah menganut agama dan kepercayaan asli seperti agama
Parmalim, kemudian Pada abad ke-19 sekitar tahun 1864 suku Batak Utara
banyak menganut faham agama Kristen terutama oleh I.L. Nommensen dan faham
agama Mulajadi dari Tanah Batak berangsur-angsur hilang kemudian beralih ke
faham agama Islam dan Kristen dalam kurun waktu sekitar 140 tahun ke masa
sekarang ini, berabad-abad lamanya tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama
atau faham-faham dari luar, sejak jaman perdagangan kemenyan, sebenarnya
sudah berhubungan dengan dunia luar tanpa terpengaruh atau tak terusik oleh
faham-faham luar. Kemungkinan suku Batak mengalami masa frustrasi yang tak
teratasi pada masa Paderi sehingga menimbulkan hubungan manusia Batak yang
monotheis dengan Mulajadi Nabolon dianggap tidak mampu membendung
Tuhannya orang luar Bangsa Batak. Faham agama Islam yang sudah bercokol di
sementara kekosongan di Batak Utara menjadi Blessing in disguise
Organisasi agama Parmalim dibentuk antara tahun 1870 sampai tahun
1883 suatu reaksi dari Raja Si Singamangaraja XII untuk meneruskan sikap
hamalimon, dan yang lebih penting lagi adalah untuk menjaga keutuhan
kepercayaan asli Batak dari pengaruh agama Kristen dan perluasan administratif
Belanda. Bukti lain yang diajukan adalah keeratan hubungan antara Guru
Somalaing Pardede, yang dianggap sebagai mandat dari Raja Si Singamangaraja
XII untuk meneruskan pengorganisasi Parmalim dengan E. Modligiani
(karunia
tersembunyi) bagi Evangelisasi Kristen.
137
Akhirnya aliran Parmalim ini meningkat menjadi Parhudamdam, yang bertalian dengan penyembahan Si Singamangaraja, dan merambat iBarat api yang menggila meliputi seluruh Tanah Batak. Dalam tahun 1918 dianggap sebagai ancaman politik yang menguatirkan banyak pejabat Belanda”.
, seorang
ahli botani Katolik berkebangsaan Itali, membuat penyatuan kepercayaan Islam,
Kristen, kultus individu Si Singamangaraja dan animisme Batak dianggap sebagai
dasar dari organisasi Parmalim ini.
Pada tahun 1907 anggapan Parmalim sebagai suatu gerakan keagamaan
dan politis, melahirkan Parhudamdam yang merupakan suatu gerakan keagamaan
politis yang lebih ekstrim. “Agama baru” ini secara tidak langsung merupakan
bawahan dari Parmalim. Sehubungan dengan ini Barlett menulis:
138
137
Miodligiani, penulis buku laporan botani dan etnografi di daerah Batak yang berjudul “Fra I Bottacchi Indepedenti”, mengangkat Guru Somailing menjadi juru bicaranya. Sehingga diduga ia banyak memengaruhi sikap dan cara berfikir Somailing. Dalam Ben Marojahan Pasaribu, “Taganing Batak Toba: Suatu Kajian Dalam Konteks Gondang Sabangunan” (Universitas Sumatera Utara: Jurusan Etnomusikologi, 1986), hal. 37.
138
Terbentuknya Parhudamdam yang diilhami oleh kematian Si
Singamangaraja XII dan juga dengan adanya pembebanan pajak yang berat oleh
Belanda, penyusunan kembali pola-pola tanah milik, dan pengaruh-pengaruh
asing lainnya yang berkembang di wilayah Batak, sehingga hal-hal tersebut di atas
menimbulkan suatu mitologi yang messianis, yaitu ada kepercayaan akan
datangnya kembali Si Singamangaraja, dan suatu tema kebinasaan apokaliptis
bagi orang-orang yang tidak percaya. Tata cara ibadat Parhudamdam merupakan
paduan antara ritual-ritual gaya Parmalim dengan Islam.139
139
Ismail Manalu, 1985. Mengenal Batak. Medan: CV Kiara 1985, h. 174. Adanya pengucapan “La Illaha Illallahu” yang berulang-ulang dalam ibadat mereka, merupakan perkembangan yang sinkretis yang sudah akomodatif dalam menerima unsur-unsur agama, terutama agama Islam.
Sesudah kemerdekaan, penganut Parmalim semakin terpinggirkan. Bahkan
oleh penganut agama tertentu mereka dicitrakan sebagai si pelebegu (yang
menyembah setan, hantu). Persepsi demikian tertanam karena klaim kebenaran
agama yang masuk ke Indonesia. Tentu saja dampak dari klaim tersebut sangat
fatal bagi penganut Parmalim.
Dalam pelaksanaan ibadat parmalim, selain acara ibadat rutin setiap hari
Sabtu, hampir seluruh upacara ritual mereka dilaksanakan dengan musik, baik
dengan gondang sabangunan maupun dengan gondang hasapi. Sebutan yang
diberikan kepada yang memainkan alat-alat musik yang ada di masyarakat Batak
Toba adalah Pargonci. Selain sebutan Pargonci adalah sebutan pande atau sering
disebut dengan pande nami, dan juga Tukang nami. Sebutan pargonci atau pande
ini diberikan kepada yang memainkan ensembel Gondang Sabangunan dan
Berikut ini tulisan Pasaribu tentang kegiatan Parmalim yang dikutip dari
catatan harian Masashi Hiroshue, sebagai berikut.
Dungi marliat ma margondangi ganup ripe: manukma digondangkan ia na umpogos, hambing ia di naummora, jadi sai marpunguma nasida ganup ari mangan-mangan, ia dung lojabe manortori, ai ndang ringkot roha nasida marulaon. Ai songon ondo di dok guru nasidai: Mangulape angka parbegu I, dohot angka na Cristen I, na hita do I sogot, ninna, Huhut didok: molo dung mulak sian habuangan Guru Somalaing dohot Ompu Barnit ama pangajari I, sega ma tano on, jadi mago masude na cristen dohot parbegu I, alai sonangma ianggo hita. Ai patarma disi harajaonni rajanta Si Singamangaraja I dohot tuanta Raja Rom.140
Kemudian setiap keluarga menari berkeliling dengan iringan gondang: keluarga yang sederhana mempersembahkan ayam, dan bagi keluarga yang kaya kambing, yang dipersembahkan melalui gondang, setiap hari mereka berkumpul dan makan-makan, dan mereka terus menari hingga letih, namun mereka tidak mengindahkan pekerjaan. Sebab guru mereka pernah berkata: walaupun kaum kafir dan kristen senantiasa bekerja, kelak hasilnya akan jatuh ke tangan kita, kemudian dikatakan: apabila Guru Somalaing dan Ompu Barnit, guru kecintaan kita, sudah kembali dari pembuangan berubahlah dunia ini, lantas musnahlah semua kristen dan kafir, tetapi kalau kita akan mendapat kesenangan. Sebab jelaslah pada saat itu kerajaan dari Raja Si Singamangaraja dan Tuan Kita Raja Rom.
Terjemahannya:
141
Secara umum peribadatan Parmalim dapat dibagi atas tiga kelompok
ritual, yaitu:
140
Ben M Pasaribu, 1986. Taganing Batak Toba: Suatu Kajian Dalam Konteks Gondang Sabangunan. Medan: Universitas Sumatera Utara: Jurusan Etnomusikolog, hal. 41. Masashi Hiroshue adalah seorang warga Jepang yang menulis topik tentang Parmalim untuk disertasinya pada Australia National University.
141
1. Upacara yang wajib dilaksanakan oleh anggota penganut Parmalim dua kali
dalam setahun, yang disebut sipaha sada dan sipaha lima. Upacara sipaha
sada berlangsung selama lima hari, sedang upacara sipaha lima berlangsung
selama tiga hari.
2. Upacara yang dilaksanakan secara khusus, tanpa berpegang pada bulan-bulan
tertentu, yang pelaksanaannya merupakan kehendak dari perseorangan.
Upacara seperti ini disebut maradat, misalnya martutu aek yaitu upacara
pemandian bagi anak yang baru lahir; manggalang na paet yaitu suatu upacara
kurban setelah melaksanakan puasa selama sehari semalam; dan sebagainya.
3. Upacara yang dilaksanakan apabila seseorang ada melakukan kesalahan atau
perbuatan asusila sehingga dilaksanakan acara manopoti sala (memohon
ampun). Kepada orang yang melakukan kesalahan ini akan dikenakan aturan
yang “ingkon pajong-jongonna hau sarung marnaik, halangonna gondang
bolon” (harus mendirikan kayu sarung marnaik dan mengadakan acara
gondang).
2.5.4 Siraja batak
Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba
berakhir pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik mereka,
oleh kematian Si Singamangaraja XII kemudian sekitar tahun 1942 terbentuklah
Organisasi Si Raja Batak, merupakan suatu kenangan terhadap Si Singamangaraja
leluhur orang Batak, dan pemeliharaan adat. Perbedaan yang nyata antara
organisasi Parmalim dan Si Raja Batak adalah dasar pijakannya. Parmalim
menekankan pada hal iman sedangkan Si Raja Batak menekankan pada hal adat.
Si Raja Batak didirikan oleh Raja Patik Tampubolon yang beranggapan
bahwa tugas penganut Si Raja Batak adalah menghidupkan kembali
persekutuan-persekutuan bius melalui pengaruh adat yang berdasarkan kekuatan ilham yang
supra alamiah. Tampubolon membuat “kitab suci” dari Si Raja Batak yang disebut
Pustaha Tumbaga Holing, yang oleh Tampubolon sendiri disebut sebagai pustaha
yang berdasar pada mitos pustaha yang diberikan Mulajadi Na Bolon kepada Si
Raja Batak (nenek moyang suku bangsa Batak), dan mencoba membuktikan
melalui pustaha karangannya bahwa seluruh habatahon (dasar-dasar kehidupan
dan setelah kehidupan masyarakat Batak) adalah dasar anutan Si Raja Batak.
Tetapi Tampubolon tidak menyebut agama, melainkan “adat” sebagai inti Si Raja
Batak.
Hampir setiap dari upacara-upacara penting Si Raja Batak mempunyai
kaitan dengan pertanian. Hal ini merupakan suatu warisan dari tata aturan
parbaringin, yang senantiasa menyertakan siklus aktivitas pertanian dalam ritual
bius.
Secara umum upacara peribadatan Si Raja Batak dapat dibagi atas tiga
kelompok ritual, yaitu:
1. Upacara yang wajib dilaksanakan secara berkala dalam setahun, misalnya:
Gondang Patuat Boni Sipaha Ualu, suatu upacara sebelum menanam padi;
Sipaha Dua, upacara panen; Gondang Haroroni Habonaran Sipaha Lima,
upacara menyambut kedatangan roh kebenaran; Gondang Sahala ni Raja Si
Singamangaraja, upacara memperingati kematian Si Singamangaraja.
2. Upacara yang dilaksanakan oelah penganut Si Raja Batak yang berkenaan
dengan adat dan dalihan na tolu, misalnya: Panangkokhon Saring-saring,
upacara menggali dan menguburkan kembali tulang-belulang leluhur, dan
Gondang Debata Pasahat Tondi ni Naung Mate Matua, upacara kematian.
Upacara yang dilaksanakan oleh penganut Si Raja Batak berdasarkan
keinginan perseorangan. Hal ini disebut sinta-sinta, misalnya: Sibaran, upacara
yang dilakukan atas permintaan seseorang yang telah menderita sakit dan
mangompoi gorga, upacara peresmian rumah.
2.6 Kesenian Masyarakat Batak Toba
Kesenian masyarakat Batak Toba meliputi Seni tari dan seni suara, seni
rupa, seni sastra dan seni musik meliputi vokal dan jenis alat musik tradisional
Batak Toba kemudian ensembel gondang sabangunan dan ensembel gondang
hasapi.
2.6.1 Seni tari dan seni suara
Pada masyarakat Batak Toba ada dua kata yang dapat dianalogikan dengan
istilah tari,
a. Tumba yaitu suatu tarian bagi anak remaja, biasanya dilakukan malam hari di
dengan joting tetapi semua pemainnya berdiri dan menari bergerak seragam
sambil bernyanyi. Gerakannya didominasi gerakan tortor, tetapi ada
kombinasi gerakan hentakan kaki dan mengayun disertai menepuk lutut
dengan kedua tangan dilanjutkan dengan bertepuk tangan. Paduan gerak dan
nyanyian ini disebut Tumbas. Sementara dalam syair lagunya ada kata tumba.
Tumba adalah syairnya, embas adalah gerakannya. Pemakaian kata tumba
dipopulerkan karena embas tortor Batak semakin dihilangkan dan telah
didominasi budaya joget melayu.
b. Tortor, yang dilakukan dalam setiap upacara dengan iringan gondang
sabangunan, secara umum terlihat seperti hiburan. Akan tetapi dalam
pemikiran yang asli, kedudukan tor-tor bagi masyarakat Batak Toba tidaklah
merupakan suatu seni hiburan. Pastor A.B. Sinaga menuliskan: Pada mulanya
tortor bukanlah peragaan keindahan estetis melainkan suatu sembah kepada
Pengada Adikodrati… Tortor asli Batak bersifat sakral dan merupakan pujaan
kepada Sang Maha Tinggi (Sinaga, 1977:16-19).
Dalam pelaksanaannya pola gerak tortor dapat dibagi atas dua bagian:
- Tortor hatopan, suatu pola gerak yang sudah baku dalam setiap upacara.
Antara pria dan wanita memiliki pola-pola tersendiri. Gerakan ini biasanya
dilakukan pada setiap awal penyajian gondang, setiap penari melakukan
gerakan yang sama, menurut pola-pola yang telah baku.
- Tortor hapunjungan, tortor yang dilakukan sesuai dengan konteks
upacaranya. Dengan kata lain, fungsi tortor ini berhubungan dengan
orang yang memiliki motivasi serupa misalnya tortor untuk kaum muda,
atau tortor dalam acara sukacita, tetapi memiliki gerakan yang relatif
bebas, setiap penari bebas melakukan gerakan yang sesuai dengan
ekspresinya sepanjang masih mengikuti ritme.
Secara umum dapat dikatakan bahwa bagi masyarakat Batak Toba, tortor
sangat individual sekali, walaupun dalam tortor Batak yang asli
sebenarnya terdapat pola gerakan yang harus dipatuhi, tetapi seringkali
mereka mengabaikan hal ini.
c. Joting
Joting adalah seni suara dengan syair yang beraturan dipadukan dengan
gerakan yang seragam. Permainan joting biasanya ramai pada saat bulan
purnama usai panen raya. Dalam menyanyikan joting seseorang bernyanyi dan
diikuti banyak suara (respinsorial).
d. Andung
Andung adalah ratapan bernuansa kesedihan. Bila tangisannya diiringi dengan
suara menggelegar dan hempasan tubuh sembarang disebut dengan “angguk
bobar”.
e. Oing
Oing mirip dengan nyanyian sinden Jawa. Oing kebanyakan mengutarakan
suka duka dan pengharapan, biasanya dinyanyikan perahan dan dalam
kesendirian.
f. Dideng
g. Didang
Didang tidak disebut sebagai seni suara, tetapi merupakan sikap menyanjung
seseorang. Seorang bayi dipangku dan diayun perlahan disebut “mandidang”
dan kadang diiringi nyanyian meninabobokkan.
h. Doding
Doding adalah kepandaian merangkai kata-kata untuk menyemangati
seseorang atau kelompok orang. Doding juga adalah rangkaian kata-kata
bentuk nyanyian yang tujuannya menyemangati seseorang atau kelompok
orang. Orang tua bertepuk tangan sambil bernyanyi menyemangati anak yang
belajar berdiri termasuk juga sebagai kegiatan mandoding.
i. Ende
Ende (nyanyian) adalah syair dan irama yang dilagukan oleh pemain joting
dan tumbas.
Opera Batak adalah bentuk kegiatan teaterikal yang diiringi Gondang
Hasapi dan nyanyian (andung, ende, oing) untuk hiburan rakyat. Opera Batak
mempopulerkan kesenian andung, ende, oing, dan pemainnya sering
menampilkan (bernyanyi seperti menangis).
2.6.2 Seni rupa
Seni rupa merupakan seni yang paling tua di Batak Toba dapat dilihat dari
hasil karya seni megalitikum, yang sampai sekarang masih banyak kelihatan di
beberapa tempat di Toba seperti pada bentuk atap berbentuk tanduk kerbau, dan
Ragam seni rupa yang ada pada masyarakat Batak Toba juga mencakup
tenun, ragam hias, patung, dan berbagai bentuk lainnya. Tempat menyimpan padi
dan beberapa kegiatan desa yang menyangkut kehidupan muda-mudi, merupakan
salah satu ciri khas yang dalam penyajiannya adalah apa yang tertera pada
bangunan ruma dan sopo. Secara umum, pola-pola ragam hias tersebut dapat
dikategorikan sebagai berikut.
a. Pola berbentuk manusia, misalnya: ulu paung, singa-singa.
b. Pola berbentuk hewan, misalnya: boraspati, hoda-hoda.
c. Pola berbentuk raksasa, misalnya: jengger, jorngom.
d. Pola berbentuk tumbuhan, misalnya: hariara, sundung di langit.
e. Pola berbentuk geometris, misalnya: ipon-ipon, iran-iran.
f. Pola berbentuk kosmos, misalnya: silintong, simarogung-gung.
Selain berfungsi sebagai magis, di sisi lain seni rupa juga berfungsi dalam
upacara adat dapat dilihat dari bentuk tenunan, ulos misalnya. Pada setiap corak
atau motif ulos yang dibedakan dalam warna, pola, bahan, dan ukuran memiliki
nama-nama tersendiri. Misalnya: ragidup, abit godang, runjat, sibolang, ragi
hotang, sadum, parompa, dan sebagainya. Fungsi ulos akan disesuaikan pada
masing-masing upacara adat, nama ulos tersebut berubah menurut kepentingan
dan fungsi ulos tersebut.
Misalnya: dalam upacara memasuki rumah baru diberikan ulos mompo
jabu; dalam upacara kelahiran diberikan ulos manimpus, ulos tondi; dalam
upacara perkawinan diberikan ulos pargomgom, ulos pansamoti, ulos hela todoan,
panggabei; dalam upacara mangongkal holi diberikan ulos saput; dalam upacara
pemberian nama anak diberikan ulos mampe. Dalam aktifitas kehidupan
sehari-hari masyarakat Batak Toba, karya seni rupa mempunyai kedudukan penting
seperti hubungannya dengan religi dan adat.
2.6.3 Seni sastra
Seni sastra selain untuk keperluan komunikasi sehari-hari sejak dahulu
kala Bangsa Batak sudah mengemukakan karyacipta seni-seni sastra melalui
umpasa (pantun nasihat), umpama (Kata-kata bijak=wisewords), turi-turian
(
Umpasa, Tonggo-tonggo, Umpama adalah bahasa Sastera yang Eufemis
yang disusun secara puitis, dirangkum dengan kalimat-kalimat yang indah penuh
dengan aliterasi dan paralelisme, baik dalam bentuk: Peribahasa, Pantun, Syair,
Pepatah ataupun Sanjak,
cerita/hikayat/mitos/legenda), tonggo-tonggo (mantra), torsa-torsa
(perumpamaan), huling-huling (teka-teki) dan seni sastra ini disampaikan dalam
beberapa bentuk penyajian sastra, yang juga berfungsi untuk hiburan, sebagai
bagian dari adat, hukum dan religi yang kesemuanya mengandung kearifan
dengan tatanan nilai normatif apapun takarannya.
142
1. Umpama, suatu bentuk penyajian sastra yang bermaksud sebagai teladan
kebijaksanaan, hukum-hukum lisan, dialog-dialog resmi dalam upacara adat,
misalnya:
diantara beberapa jenis sastra ada 3 pokok Bentuk
bahasa dalam seni sastra di Batak Toba, yaitu.
142
- Songon gondang, dobung-dobung soarana, hape rumar do dibagasan.
(Terjemahannya: Seperti gendang, keras suaranya, ternyata kosong di
dalamnya).
- Matek-tek bulung pinasa, matektek tu bona. Tunda ni anakna, dohonan tu
amana (Terjemahannya: jatuh daun nangka, jatuh ke batangnya. Perbuatan
anaknya, ditanggungkan ke ayahnya). (Pasaribu, 1986:41).
2. Umpasa, suatu bentuk penyajian sastra yang dari segi bentuknya agak sulit
dibedakan dari umpama. Tetapi dari segi isinya, umpasa lebih terasa berkesan
religius, dalam arti lebih menekankan hal-hal yang bersifat rahmat, kurnia, dan
berkat, contohnya”
- Sahat-sahatni solu, sai sahatma tu bontean. Leleng hita mangolu, sai sahat
tu pangabean. (Terjemahannya: Melajulah perahu, melaju ke tepian, semoga
mempunyai umur yang panjang dan mencapai kebahagiaan/kesuksesan).
3. Tudosan, suatu bentuk penyajian sastra yang berupa perbandingan. Dalam
kaitan ini, berbagai permasalahan dalam alam dijadikan suatu bandingan
terhadap kehidupan manusia untuk menyatakan perasaan hati atau keadaan
sesuatu, misalnya:
-Togu uratni bulu, toguan uratni padang. Togu hatani uhum, toguan hatani
padan. (Terjemahannya: Kuat/teguh pun akar bamboo, lebih kuat/teguh akar
rumput (sejenis ilalang). Kuat/teguh aturan hukum, namun lebih kuat/teguh
aturan janji).
Musik tradisional yang merupakan bagian dari perkembangan musik
dunia, memiliki masing-masing karakter yang unik dan secara sosio-religius
memiliki nilai-nilai tersendiri bagi masyarakat pemilik tradisi tersebut. Dalam
religi awal atau masa pra Kristen pada masyarakat Batak Toba, musik memiliki
tempat yang sangat penting di tengah penganutnya dan pada kegiatan
keagamaanya.
Musik dalam masyarakat Batak Toba, dalam pengelompokannya tercakup
dalam dua bagian besar, yaitu: a) musik vokal, dan b) musik instrumental.
2.6.4.1 Musik vokal
Dalam musik vokal tradisional pembagian ditentukan oleh kegunaan dan
tujuan lagu tersebut dapat dilihat dari isi liriknya. Masing-masing lagu yang
disebut ende memiliki kategori tersendiri, yang secara tradisional dibagi dalam
beberapa jenis, yaitu:
1. Ende Mandideng, yaitu musik vokal yang berfungsi untuk menidurkan anak
(lullaby song).
2. Ende Sipaingot, adalah musik vokal yang berisi pesan kepada putrinya yang
akan melangsungkan pernikahan. Dinyanyikan pada saat senggang pada
hari-hari menjelang pernikahan tersebut.
3. Ende Pargaulan, adalah musik vokal yang secara umum merupakan
“solo-chorus”, dan dinyanyikan oleh kaum muda dalam waktu senggang, bisanya
4. Ende Tumba, adalah musik vokal yang khusus dinyanyikan sebagai pengiring
tarian hiburan. Penyanyi sekaligus menari dengan melompat-lompat dan
berpegangan tangan sambil bergerak melingkar. Biasanya ende tumba ini
dilakukan oleh remaja di halaman kampung yang disebut alaman pada malam
terang bulan.
5. Ende Sibaran, adalah musik vokal sebagai cetusan penderitaan yang
berkepanjangan. Penyanyinya adalah orang yang menderita tersebut, yang
menyanyi di tempat sepi.
6. Ende Pasu-pasuan, adalah musik vokal yang berkenaan dengan pemberkatan
berisi lirik-lirik tentang kekuasaan yang abadi dari Yang Maha Kuasa.
Biasanya dinyanyikan oleh orang-orang tua kepada keturunannya.
7. Ende Hata, adalah musik vokal yang berupa lirik yang diimbuhi ritem yang
disajikan secara monoton, seperti metric speech. Liriknya berupa rangkaian
pantun dengan bentuk AABB yang memiliki jumlah suku kata yang sama.
Biasanya dinyanyikan oleh kumpulan kanak-kanak yang dipimpin oleh
seseorang yang lebih dewasa atau orang tua.
8. Ende Andung, adalah vokal yang bercerita tentang riwayat hidup seseorang
yang telah meninggal, yang disajikan pada saat atau setelah disemayamkan.
Dalam ende andung, melodinya datang secara spontan sehingga penyanyinya,
haruslah penyanyi yang cepat tanggap dan terampil dalam sastra serta
menguasai beberapa motif-motif lagu yang penting untuk jenis nyanyian ini
2.6.4.2 Jenis alat musik tradisional batak toba
Pada etnik Batak Toba terdapat berbagai jenis alat-alat musik yang
dimainkan dalam bentuk ensambel, atau sebagai alat musik individual yang
dimainkan secara solo. Ragam alat musik tersebut adalah sebagai berikut.
1. Sarune Bolon yaitu, alat musik pembawa melodi yang memiliki reed ganda
(double reed). Dimainkan dengan cara mangombus marsiulakhosa (circular
breathing). Klasifikasi instrumen ini termasuk ke dalam kelompok aerophone.
Gambar 1. Sarune Bolon
2. Sarune Etek yaitu, alat musik pembawa melodi yang memiliki reed tunggal
(single reed). Klasifikasi instrumen ini termasuk dalam kelompok aerophone
yang memiliki lima lobang nada (empat disebelah atas, satu disebelah bawah)
dimainkan dengan cara mangombus marsiulak hosa (meniup dengan cara terus
menerus).
Gambar 2. Sarune Etek
3. Garantung adalah instrumen pembawa melodi yang terbuat dan kayu dan
memiliki lima bilah nada. Klasifikasi instrumen ini termasuk kedalam
sebagai pembawa ritem variabel pada lagu-lagu tertentu. Dimainkan dengan
cara memukul dengan menggunakan stick.
Gambar 3. Garantung
4. Taganing yaitu serangkaian gendang yang terdiri dari 5 buah. Disusun dalam
satu standar berturut-turut dari bentuk yang lebih besar hingga yang terkecil
berfungsi sebagai pembawa melodi dan ritme variabel pada lagu-lagu tertentu.
Klasifikasi instrumen ini termasuk kedalam kelompok membranophone.
Dimainkan dengan cara memukul kulitnya dengan palu-palu (stick).
Gambar 4. Taganing dan Gordang
5. Gordang (single headed drum), yaitu satu buah gendang yang lebih besar dari
taganing yang berperan sebagai pembawa ritem konstan maupun ritem
variabel. Instrumen ini sering disebut sebagai bass dari ansambel gondang
membranophone. Perhatikan gambar 4, gordang terletak pada posisi kiri,
dengan bentuk yang lebih besar dari taganing.
6. Odap (double headed drum), yaitu gendang dua sisi yang berperan sebagai
pembawa ritem variabel. Instrumen ini dimainkan untuk lagu-lagu tertentu
dalam gondang sabangunan dan sering digunakan ketika pawai. Klasifikasi
instrumen ini termasuk kedalam kelompok membranophone.
Gambar 5. Odap
7. Hasapi ende (plucked lute dua senar) adalah instrumen pembawa melodi dan
merupakan instrumen yang dianggap paling utama dalam ansambel gondang
hasapi. Klasifikasi instrumen ini termasuk kedalam kelompok
chordophone.Tune atau stem dari kedua senamya adalah dengan interval ters
mayor yang dimainkan dengan cara mamiltik (memetik).
Gambar 6. Hasapi Ende
8. Hasapi doal, alat musik ini sama dengan hasapi ende namun dalam
permainannya hasapi doal berperan sebagai pembawa ritme konstan. Ukuran
9. Ogung (gong), yaitu empat buah gong yang diberi nama oloan, ihutan, doal
dan panggora. Setiap ogung mempunyai ritem yang sudah konstan. Instrumen
ini berperan sebagai pembawa ritem konstan atau pembawa irama dalam
gondang sabangunan. Klasifikasi instrumen ini termasuk kedalam kelompok
idiophone.
oloan ihuta
doal panggora
Gambar 7. Ogung (gong)
10. Sulim (transverse flute), yaitu alat musik yang terbuat dari bambu, memiliki
enam lobang nada dan satu lobang tiup. Dimainkan dengan cara meniup dari
samping (side blown flute) yang dilakukan dengan meletakkan bibir secara
horizontal pada pinggir lobang tiup. Instrumen ini biasanya memainkan lagu-lagu
yang bersifat melankolis ataupun lagu-lagu sedih. Klasifikasi instrumen ini
termasuk ke dalam kelompok aerophone.
Gambar 8. Sulim
11. Talatoit (transverse flute), yaitu alat musik yang terbuat dari bambu, sering
juga disebut dengan salohat atau tulila. Dimainkan dengan cara meniup dari
samping. Mempunyai empat lubang penjarian yakni dua di sisi kiri dan dua di sisi
memainkan lagu-lagu yang bersifat melodis dan juga bersifat ritmik. Klasifikasi
instrumen ini termasuk dalam kelompok aerophone.
Gambar 9. Talatoit
12. Sordam (long flute) yang terbuat dari bambu. Dimainkan dengan cara meniup
dari ujungnya (up blown flute) dengan meletakkan bibir pada ujung bambu secara
diagonal. Memiliki enam lubang nada, yakni lima di bagian atas dan satu di
bagian bawah, sedangkan lubang tiupnya merupakan ujung dari bambu tersebut.
Gambar 10. Sordam
13.Tanggetang, yaitu alat musik yang senamya terbuat dari rotan dan peti kayu
sebagai resonator. Permainan instrumen ini bersifat ritmik atau mirip dengan gaya
permainan gong maupun gaya permainan mengnmng. Klasifikasi instrumen ini
termasuk ke dalam kelompok kordophone.