• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Modal Sosial - Modal Sosial Sistem Bagi Hasil Dalam Beternak Sapi Pada Masyarakat Desa Purwosari Atas, Kecamatan Dolok Batu Naggar, Kabupaten Simalungun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Modal Sosial - Modal Sosial Sistem Bagi Hasil Dalam Beternak Sapi Pada Masyarakat Desa Purwosari Atas, Kecamatan Dolok Batu Naggar, Kabupaten Simalungun"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Modal Sosial

Modal sosial merupakan gambaran organisasi sosial sebagai jaringan-

jaringan, norma-norma, dan kepercayaan yang dapat berkoordinasi dan

bekerjasama dalam mencapai suatu keuntungan bersama seperti yang dilakukan

dalam usaha peternakan sapi. Modal sosial merupakan suatu dimensi budaya dari

kehidupan ekonomi yang sangat menentukan dalam keberhasilan suatu bidang

ekonomi masyarakat lemah. Konsep modal sosial menjadi salah satu komponen

penting untuk menunjang model pembangunan manusia. Karena dalam modal ini,

manusia ditempatkan sebagai subjek penting yang menentukan arah

penyelenggaraan pembangunan (fukuyama 1995).

Fukuyama (1995) menilai modal sosial dibentuk dan ditranmisikan

melalui mekanisme kultural, seperti agama, tradisi, dan kebiasaan-kebiasaan

historis. Mekanisme kultural tersebut membentuk nilai-nilai bersama dalam

menghadapi masalah bersama dalam komunitas. Analisi modal sosial dapat

mengacu pada komponen-komponen modal sosial antara lain komponen

mekanisme kultural, saling percaya, pranata dan norma-norma yang dimiliki

bersama dan jaringan sosial yang ada. Sehingga dalam sistem gaduh sapi

kebanyakan pemilik sapi dan pemelihara sapi adalah kerabat dekat, keluarga, dan

tetangga yang memiliki tingkat modal sosial yang lebih dalam dan lebih mengikat

antara yang satu dengan lainnya.

Keberadaan modal sosial ini digunakan dan dimanfaatkan dalam

(2)

sumber-sumber peluang bisnis usaha penggaduhan sapi dalam melakukan

hubungan kepada para pemilik sapi yang ingin menggaduhkan sapi yang mereka

miliki. Dengan cara tersedianya jaringan-jaringan sosial yang akan muncul diikuti

dengan norma-norma serta nilai-nilai yang akan berlaku dalam proses

pemeliharaan sapi yang dimiliki oleh para pemilik sapi . Serta dapat menjunjung

tinggi tingkat kepercayaan yang semakin erat antara pemilik sapi dan pemelihara

sapi ( penggaduh sapi) yang pada akhirnya menuju pada masyarakat sejahtera

pada tingkat perekonomian peternak.

Modal sosial adalah salah satu konsep baru yang digunakan untuk

mengukur kualitas hubungan dalm komunitas, organisasi, dan masyarakat. Ada

beberapa tokoh yang berperan dalam memeperkenalkan konsep modal sosial

dalam karya-karya mereka seperti Putnam, Bourdieu, Coleman dan Sabatini 2005.

Menurut Putnam (1993, 1996, 2000) menyatakan:

“modal sosial mengacu pada esensi dari organisasi sosial seperti trust, norma, jaringan sosial, yang memungkinkan pelaksanaan kegiatan lebih terkoordinasi, dan anggota masyarakat dapat berpartisipasi dan bekerjasama secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan bersama, dan mempengaruhi produktifitas secara individual maupun secara berkelompok”.

Sependapat dengan Putnam , Bourdieu (1998) menyatakan:

“bahwa modal sosial sebagai sumber daya yang dimiliki seseorang ataupun sekelompok orang dengan memanfaatkan jaringan, atau hubungan yang terlembaga dan ada saling mengakui antar anggota yang terlibat didalamnya”.

Dari defenisi di atas ada dua hal yang perlu mendapat perhatian dalam

memahami modal sosial yaitu pertama: sumber daya yang saling dimiliki

seseorang berkaitan dengan keanggotaan dalam kelompok dan jaringan sosial.

(3)

orang tersebut memobilitasi hubungan dan jaringan dalam kelompok atau dengan

orang lain di luar kelompoknya. Kedua, kualitas hubungan antara aktor lebih

penting dari pada hubungan dalam kelompok.

Bourdieu melihat bahwa jaringan sosial tidak bersifat alami, melainkan

dibentuk melalui strategi investasi yang berorientasi kepada pelembagaan

hubungan kelompok yang dapat dipakai sebagai sumber untuk meraih

keuntungan.

Coleman melengkapi kajian Bourdieu dengan melihat modal sosial

berdasarkan fungsinya. Menurutnya :

“Modal sosial mencakup dua hal dasar yaitu modal sosial mencakup aspek tertentu dari struktur sosial dan modal sosial memfasilitasi pelaku (aktor) bertindak dalam struktur tersebut”.

Fukuyama (1999) menambahkan norma-norma informal dapat mendorong

kerjasama antara dua atau beberapa orang. Norma-norma yang mengandung

modal sosial memiliki ruang lingkup yang cukup luas, mulai dari nilai-nilai

resiprokal antar teman sampai dengan yang sangat kompleks dan mengandung

nilai-nilai keagamaan. Berdasarkan defenisi tersebut, modal sosial dapat

disimpulkan sebagai jaringan dan nilai-nilai sosial yang dapat memfasilitasi

individu dan komunitas untuk mencapai tujuan bersama secara efektif dan efisien.

Empat unsur utama dalam modal sosial adalah trust ( kepercayaan ),

norms ( norma ), network (jejaring), reciprocity ( hubungan timbal balik).

1. Trust (kepercayaan) merupakan komponen penting dari adanya

masyarakat. Trust dapat mendorong seseorang untuk bekerja sama dengan

orang lain untuk memunculkan aktivitas ataupun tindakan bersama yang

(4)

yang sangat penting yang kemudian memunculkan modal sosial.

Fukuyama (2002) menyatakan:

“trust sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, perilakukoperatif yang muncul dari dalam diri sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama anggota komunitas tersebut”.

2. Unsur terpenting kedua dari modal sosial adalah reciprocity ( hubungan

timbal balik ) yang merupakan tindakan bersama yang ditujukan dengan

saling memberi respon. Reciprocity dapat dijumpai dalam bentuk

memberi, saling menerima, saling membantu, yang dapat muncul dari

interaksi sosial ( Soetomo, 2006:87 ).

3. Unsur yang ketiga adalah seperangkat norma dan tata nilai dalam

bertindak. Norma merupakan satu identitas khusus yang mampu

membentuk modal sosial ( social capital ). Norma merupakan pedoman

berprilaku bagi antar individu dan apa yang mesti mereka lakukan . Selain

itu, norma merupakan sebuah alat penjaga keutuhan eksistensi masyarakt

tertentu. Suatu masyarakat akan disebut eksistensinya tinggi jika mereka

memiliki norma yang berlaku dan disepakati bersama. Apabila tidak ada

maka tidak ada masyarakat melainkan hanya sekumpulan benda.

Sedangkan nilai merupakan sesuatu yang dihargai, dibanggakan,

dijunjung tinggi dan ingin diperoleh manusia dalam hidupnya yang dapat

berkembang sewaktu-waktu ( Prof.Dr.Notonegoro ).

4. Unsur yang terkahir adalah network atau jaringan sosial yang merupakan

hubungan diantara para pelaku anggota masyarakat atau organisasi sosial.

Jaringan sekelompok orang yang dihubungkan oleh perasaan simpati dan

(5)

dibentuk karena berasal dari daerah yang sama, kesamaan kepercayaan

politik atau agama, hubungan geneologis, dan lain-lain. Jaringan sosial

tersebut diorganisasikan menjadi sebuah institusional yang memberikan

perlakuan khusus terhadap mereka yang dibentuk oleh jaringan untuk

mendapatkan modal sosial dari jaringan tersebut ( Pratikno dkk:8 ).

Keempat unsur utama modal sosial dapat dilihat secara aktual dalam

berbagai bentuk kehidupan dengan menggunakan konsep modal sosial seperti

yang dinyatakan oleh ( Soetomo,2006:90 ):

“Dalam pandangannya modal sosial dapat dilihat dalam dua kategori, fenomena struktural, dan kognitif. Kategori struktural merupakan modal sosial yang terkait dengan beberapa bentuk organisasi sosial khusus peranan, aturan, precedent, dan prosedur yang dapat membentuk jaringan yang luas bagi kerjasama dalam bentuk tindakan bersama yang saling menguntungkan”.

Modal sosial dalam kategori kognitif diderivasi dari proses mental dan

hasil pemikiran yang diperkuat oleh budaya dan ideologi khususnya norma, nilai,

sikap, kepercayaan yang memberikan kontribusi bagi tumbuhnya kerjasama

khususnya dalam bentuk tindakan bersama yang saling menguntungkan. Bentuk-

bentuk aktualisasi modal dalam fenomena struktural maupun kognitif itulah yang

perlu digali dari dalam kehidupan masyarakat selanjutanya dikembangkan dalam

usaha pengingkatan taraf hidup dan kesejahteraan.

Komponen modal sosial tersebut menjelaskan, pada level nilai, kultur,

kepercayaan dan persepsi modal sosial bisa berbentuk simpati, rasa kewajiban,

rasa percaya, resiprositas,dan pengakuan timbal balik. Pada level institusi bisa

berbentuk keterlibatan umum sebagai warga negara, asosiasi, jaringan. Pada level

(6)

kelompok. Tampak jelas bahwa modal sosial bisa memberikan kontrobusi

tersendiri bagi terjadinya integrasi sosial (Sortomo 2006).

2.2.Interaksi Sosial

Menurut Gillin dan Soeharjo Seokamto ( 2007: 55-56):

“Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar orang-perorang, antar kelompok- kelompok manusia, maupun antar orang-perorang dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi dimulai pada saat itu misalnya mulai dari menegur, berjabat tangan, saling berbicara, bahkan mungkian berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk- bentuk interaksi sosial. Walaupun orang-orang yang bertemu muka tersebut saling berbicara atau saling menukar tanda-tanda, interaksi sosial telah terjadi, karena masing-masing sadar akan adanya pihak lain yang menyebutkan perubahan-perubahandalam perasaan maupun syaraf orang- orang yang bersangkutan, yang disebabkan oleh misalnya bau keringat, minyak wangi, suara berjalan, dll.Semua itu menimbulakan kesan didalam pikiran seseorang, yang kemudian, menentukan tindakan apa yang akan dilakukan (Soerjono Soekamto)”.

Interaksi sosial terjadi apabila dalam masyarakat terjadi kontak sosial

dalam satu komunitas. Interkasi terjadi dua orang atau kelompok saling bertanya

atau pertemuan antara individu dengan kelompok dimana komunitas terjadi

diantara kedua belah pihak. Kontak sosial dalam komunitas merupakan syarat

mutlak dalam proses interaksi sosial, sehingga tanpa kedua unsur ini sangatlah

mustahil jika interaksi dapat terjadi dengan baik. Interaksi sosial dimaksud

sebagai pengaruh timbal balik antara individu dengan golongan di dalam usaha

mereka untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya dalam usaha untuk

mencapai tujuannya (Abu Ahmadi 2007:10).

Menurut Soleman B.Taneko ada beberapa bentuk interaksi sosial yang

(7)

1. Kerjasama

Kerjasama merupakan usaha bersama antara individu atau kelompok

untuk mencapai satu tujuan bersama. Proses terjadinya kerjasama lahir apabila

diantara individu dan kelompok yang bertujuan memiliki satu tujuan yang sama

yang ingin mereka capai. Begitu pula apabila individu atau kelompok merasa

adanya ancaman dan bahaya dari luar, maka proses kerjasama ini akan bertambah

kuat diantara mereka.

2. Persaingan

Persaingan adalah proses sosial, dimana individu atau kelompok berjuang

dan bersaing untuk mencari keuntungan pada bidang-bidang kehidupan yang

menjadi pusat perhatian umum dengan cara menarik perhatian publik dan dengan

mempertajam prasangka yang telah ada namun tanpa menggunakan ancaman atau

kekerasan.

3. Konflik

Konflik merupakan proses sosial dimana individu ataupun kelompok

menyadari perbedaan-perbadaan, misalnya dalam ciri badaniah, emosi, unsur-

unsur kebudayaan, pola-pola perilaku, prinsip, politik, ideologi, maupun

kepentingan dengan pihak lain. Perbedaan ciri tersebut dapat mempertajam

perbedaan yang ada hingga menjadi suatu pertentangan atau pertikaian dimana

pertikaian itu sendiri dapat menghasilkan ancaman dan kekerasan fisik.

4. Perdamaian

Akomodasi merupakan proses sosial dengan dua makna, pertama adalah

proses sosial yang menunjukan pada suatu keadaan yang seimbang dalam

(8)

hubungannya dengan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam

masyarakat tersebut. Kedua adalah suatu proses yang sedang berlangsung dimana

akomodasi menampakkan suatu proses untuk merendahkan suatu pertentangan

yang terjadi didalam masyarakat, baik pertentangan yang terjadi diantara individu,

kelompok dan masyarakat maupun dengan norma dan nilai yang ada

dimasyarakat.

Soehaji Soekamto menyatakan bahwa pada dasarnya ada dua bentuk

umum dari interaksi sosial , yaitu asosiatif dan disosiatif ( Soleman B.Taneko

1984:115):

“Suatu interaksi sosial yang asosiatif merupakan proses yang menunjukan pada suatu kerjasama, sedangkan bentuk interaksi disosiatif dapat di artikan sebagai suatu perjuangan melawan seseorang atau kelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu”.

2.3. Tinjauan Umum Skala Usaha Ternak Sapi

Usaha peternakan khususnya di Indonesia masih dikelola secara

taradisional, yang bercirikan dengan usaha hanya sebagai usaha keluarga atau

sebagai usaha sampingan. Menurut Soehaji ( Saragih:2000 ), tipologi usaha

peternakan dibagi berdasarkan skala usaha dan tingkat pendapatan peternak,

dan dan diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok berikut:

1. Peternakan sebagai usaha sambilan, dimana ternak sebagai usaha sambilan

untuk mencukupi kebutuhan sendiri ( subsistence ), dengan tingkat

pendapatan usaha ternak kurang dari 30%.

2. Peternakan sebagai cabang usaha, dimana peteni peternak mengusahakan

(9)

usaha, dengan tingkat pendapatan dari usaha ternak 30-70% (semi

komersial atau usaha terpadu)

3. Peternakan sebagai usaha pokok, dimana peternakan mengusahakan ternak

sebagai usaha pokok dan komoditi pertanian lainnya sebagai usaha

sambilan ( single komodity), dengan tingkat pendapatan usaha ternak 70-

100%.

4. Peternakan sebagai usaha sendiri, dimana komoditas ternak diusahakan

secara khusus (specialized farming) dengan tingkat pendapatan usaha

ternak 100% ( komoditi pilihan).

Ternak sapi merupakan jenis usaha yang dilakukan dalam sekala besar

khususnya di Indonesia. Ternak sapi memiliki manfaat yang lebih luas dan

bernilai ekonomis tinggi jika dibandingkan dengan ternak lainnya. Usaha ternak

sapi merupakan usaha yang lebih menarik sehingga mudah merangsang

pertumbuhan usahanya. Hal ini bisa di buktikan dengan perkembangan usaha

peternakan sapi yang ada di Indonesia jauh lebih maju jika dibandingkan dengan

ternak lain, seperti kerbau, babi, domba dan kambing. Peternakan sapi yang ada di

Indonesia semuanya adalah peternakan rakyat atau keluarga yang merupakan

usaha sambilan dan cabang usaha, yang belum bisa memenuhi permintaan daging

berkualitas. Hal ini dapat terjadi karena pengelolaannya yang masih sangat

tradisional.

Usaha ini belum dilakukan sebagai mata pencaharian utama, sehingga

tidak di kelola sebagai penghasil daging. Keadaan industri peternakan seperti ini

mempengaruhi kualitas daging yang di hasilkan dan pada gilirannya berpengaruh

(10)

kenyataan sikap konsumen yang pada umumnya belum selektif terhadap

mutu/kualitas daging yang dibelinya. Selera konsumen daging terhadap marbling

(perlemakan), warna dan keempukan, belum begitu tinggi (Azis dalam Bidiarti,

2000).

Menurut ( Wiliamson dan Payne dalam Rivai,2009 ), setidaknya ada tiga

tipe dalam peternakan sapi di daerah tropis yaitu peternakan rakyat atau

subsistem, peternakan spesialis, produsen skala besar. Purawirokusumo (1990)

menyatakan bahwa berdasarkan tingkat produksi, macam teknologi yang

digunakan, dan banyaknya hasil yang dipasarkan, maka usaha peternakan di

Indonesia dapat digolongkan ke dalam tiga bentuk, yaitu:

1. Usaha yang bersifat tradisional, yang diwakili oleh petani dangan lahan

sempit, yang mempunyai 1-2 ekor ternak.

2. Usaha backyard yang diwakili oleh peternak sapi perah yang

menggunakan teknologi seperti kandang, manajemen, pakan komersial,

bibit unggul,dan lain-lain.

3. Usaha komersial adalah usaha yang benar-benar menerapkan prinsip-

prinsip ekonomi antara lain untuk keuntungan maksimum.

2.4. Sistem Gaduh Sapi Dengan Bagi Hasil

Sistem gaduh sapi secara umum mirip dengan sistem paruhan atau bagi

hasil. Menurut Scheltema (1985) menyatakan:

(11)

,

Pada prinsipnya sistem bagi hasil dalam peternakan sapi tidak lepas dari modal

komunitas yang berada di lingkungan tersebut. ( Hasbullah 2006 ) menyatakan:

“Bahwa konsep pembangunan harus memiliki modal komunitas didalamnya yang terdiri dari : (a) Modal Manusia ( human capital ) berupa kemampuan personal seperti pendidikan, pengetahuan,kesehatan, keahlian dan keadaan terkait lainnya; (b) modal sumberdaya alam ( natural capital) seperti perairan laut; ( c ) Modal Ekonomi Produktif ( produced economic capital ) berupa aset ekonomi dan finansial serta aset lainnya, dan Modal Sosial ( sosial capital ) berupa norma/nilai, kepercayaan ( trust ) dan partisipasi dalam jaringan”.

Sedangkan Mosher dalam Tarigan (1996), Menyatkan:

“Bahwa bagi hasil adalah kerjasama yang diikat dengan perjanjian bagi hasil 50%-50%. Sistem ini banyak di lakukan karena kemiskinan dan kesukaran mendapatkan modal usaha yang memaksa seseorang untuk menerima nasibnya mengerjakan tanah atau memelihara ternak yang bukan miliknya sendiri”.

Penggaduhan ternak adalah keadaan dimana seseorang dapat memlihara

ternak sapi yang diperolehnya dari orang lain dengan disertai suatu aturan tertentu

tentang pembiayaan dengan pembagian hasilnya. Mereka yang memelihar ternak

orang lain atau pihak lainnya dengan sistem menggaduh ini, selanjutnya disebut

penggaduh ( peternak penggaduh), sedangkan di lain pihak adalah pemilik ternak

(Muhzi 1984).

Menurut (Sajogyo dalam Siswijono,1992), pada sensus pertanian 1983

menunjukakan bahwa penerapan persyaratan bagi hasil sangat bervariasi. Bahkan

Sinaga dan (Kasryno dalam Siswijono,1992) menyatakan bahwa dalam satu

komunitas pun sering dijumpai penerapan persyaratan aturan sistem bagi hasil

yang berbeda. Variasi yang dimaksud mencakup pembagian hasil serta pembagian

sarana produksi. Besarnya bagian untuk menggaduh sapi sangatlah beragam,

misalnya besarnya berkisar antara 1, 1, 1 2 dari nilai pertambahan bobot badan

(12)

selama pemeliharaannya. Dari hasil penelitian (Simatupang dalam Lole,1995),

ditemukan bahwa bagian untuk penggaduhan sebesar 2 3dari pertumbuhan bobot

badan sapi, sedangkan pada pola tradisional bahagi penggaduh sapi sebesar 1 dari

2

pertambahan nilai modal usaha.

Dalam bagi hasil usaha ternak, Scheltema (1985) menyatakan:

“Bahwa perjanjian-perjanjian dengan pembagian keuntungan dapat dibagi seperti berikut : perjanjian-perjanjian dengan penyerahan ternak kepada seseorang selama waktu tertentu untuk dipelihara dengan maksud untuk kemudian dijual dan dibagi keuntungannya, atau nilainya diperkirakan pada awal dan akhir perjanjian dan nilai tambah atau nilai kurangnya dibagi, dan perjanjian-perjanjian di mana anak-anak ternak yang dilahirkan dijual dan keuntungannya dibagi. Lebih lanjut menurut Scheltema (1985) kecuali syarat pembagian, dalam bagi usaha ternak yang penting ialah arti ekonominya, bagaimana pengaturannya, siapa yang menaggung risiko bila terjadi kematian, pencurian, dan kehilangan karena hal lari, dalam hal ini juga terdapat banyak variasi”.

Muhzi (1985) menyatakan bahwa pada pokoknya pemilik ternak di

bedakan dalam dua macam yaitu pemerintah dan non pemerintah dengan

demikian terdapat suatu perbedaan yang sangat pokok dalam pembagian hasilnya

sehingga memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap pendapatan yang

diperoleh petani dalam satu-satuan tertentu.

Bentuk kerja sama dalam sistem bagi hasil atau sistem gaduh secara

umum melibatkan peternak yang kekurangan modal atau peternak miskin. Mereka

umumnya tidak memiliki ternak sendiri atau kalaupun ada hanya dalam jumlah

yang kecil saja. Dalam keadaan demikian, petani merasa kesulitan karena

dihadapkan pada berbagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan. Oleh karena

itu, upaya alternatif yang relevan adalah pengembangan intensifikasi penggunaan

lahan usaha tani, misalnya usaha penggemukan ternak sapi. Hal ini dapat diterima

(13)

Tetapi salah satu kendala utama untuk pengembangan usaha ternak tersebut

adalah keterbatasan modal usaha, khususnya untuk pengadaan ternak bakalan baik

untuk bibitan maupun untuk digemukkan ( Simatupang 1993).

Selain itu, yang perlu mendapat perhatian khusus adalah tentang faktor-

faktor sosial ekonomi (fisik dan non-fisik) yang mempengaruhi besar kecilnya

bagian bagi hasil yang diterima oleh para peternak penggaduh sapi. Hal ini

penting diketahui sebab ketentuan bagi hasil yang formal belum ada, sehingga

dapat menjadi bahan rekomendasi dalam rangka menghindari terjadinya

Referensi

Dokumen terkait

Seseorang penderita penyakit gastritis akan mengalami keluhan nyeri pada lambung, mual, muntah, lemas, kembung, dan terasa sesak, nyeri pada ulu hati, tidak ada nafsu makan,

Dengan demikian, tercapailah tujuan awal peneliti untuk mendesain ulang batik Cimahi dengan cara mengolah motif dalam lembaran tekstil dengan menggunakan teknik

Nilai R-square pada persamaan ini adalah 0,742 yang berarti bahwa semua variabel independent yaitu umur, biaya bahan baku, keanggotaan koperasi, lama usaha, tingkat

Adapun kerangka pikir penggunaan strategi pembelajaran snowball throwing berbantu media TTS untuk meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa dapat dilihat pada

Dalam penilitian ini ada dua kelas yang diberikan perlakuan berbeda yaitu kelas eksperimen yang diajarkan dengan model pembelajaran Process Oriented Guided

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengkaji faktor-faktor penyebab migrasi Suku Batak Toba Asal Tapanuli Utara (Sumatera Utara) Tahun 1965-1975 ke Kelurahan

Maka permasalahan yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini adalah Kriteria apakah yang dipakai pihak bank untuk menentukan debiturnya telah melakukan wanprestasi dan

Pada rencana asuhan kala IV menurut Pusat Pengembangan Keperawatan Carolus (2004), yaitu periksa fundus setiap 15 menit pada jam pertama dan setiap 30 menit