Antara Sentimen Moralis dan Humanis:Kontestasi Wacana dalam Gerakan
LGBT 1
Pendahuluan
Membahas mengenai topik agama dan LGBT di Indonesia, bukanlah suatu
perkara yang mudah. Indonesia yang akhir-akhir ini marak mengenai pemberitaan
pro-kontra LGBT, tidak bisa terlepas dari mayoritas penduduk Indonesia yang
memeluk agama. Keberadaan agama di Indonesia selain sebagai institusi dan penjaga
sistem moral, juga sebagai wahana dalam pembentukan wacana yang hadir di ruang
publik. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai perjalanan LGBT dari sebuah fakta
sosial menjadi sebuah gerakan sosial, dan bagaimana berbagai macam pihak dan
aktor melihat fenomena tersebut dalam kerangka kontestasi wacana. Dalam tulisan ini
pula, kontestasi wacana dapat—meskipun secara sederhana—kita bagikan kedalam
dua kelompok yakni sentimen moralis, dengan sentimen humanis, yang tiap-tiapnya
mengorganisasikan diri dan melegitimasi wacana yang diyakininya masing-masing.
Sebelum melihat konteks terkini mengenai keberadaan LGBT di Indonesia
perlu kiranya kita melihat beberapa aspek historis. Boellstroff (2005) memaparkan
bagaimana sebenarnya konsep mengenai homoseksualitas telah hadir dalam
masyarakat tradisional Indonesia yang ia sebut sebagai ‘indegeneous
homosexualities’. Hal ini dapat dilihat dalam salah satu aspek kebudayaan yang ada
di Indonesia seperti halnya Bissu di Bugis, Sulawesi, dan tokoh Gemblak dalam Reog
di Ponorogo, Jawa dalam kerangka analisa ‘Ethnolocality’ (Boellstroff, 2005:43). Di
dalam masyarakat Indonesia yang lebih kontemporer kemudian, istilah Waria
1 Ditulis oleh Algonz Dimas B. Raharja,Afifatus Zuraidah,Made Ayu Ariska, Maulana Ilhami Fawdi,
(wanita-pria) terdengar jauh lebih akrab di telinga kita dan bagaimana masyarakat
merespon keberadaannya cenderung lebih terbuka, dalam media massa seperti televisi
dan radio misalnya seorang yang berparas atau berperilaku serupa atau menyerupai
Waria memiliki nilai jual yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan seorang yang
‘normal’. Respon yang cukup terbuka tersebut akan memiliki respon yang berbanding
terbalik bila disandingkan dengan istilah LGBT.
LGBT: Benturan Psikologis dan Moral Sosial
“Psychologically relevant to religious based rejection of sexual minorities is selection bias among some traditionally conservative religious populations.”
(Lewis and Isiah Marshall,2012:42)2
Tekanan berbagai pihak terhadap Kelompok LGBT (Lesbian, Gay,
Biseksual, dan Transgender) pada waktu-waktu ini membuat polemik di sana-sini.
Hal ini tentu saja menuai pro dan kontra. Pada umumnya masyarakat melihat atau
menanggapi Kelompok LGBT dari kacamata religius (agama) yang secara jelas
memang menolak hal itu melalui kitab-kitab suci mereka. Namun tidak sedikit pula
yang memberi simpati dan tidak menyudutkan para Kelompok LGBT dengan dasar
humanisme. Tentu saja penekanan ini menjadi hambatan bagi para Kelompok LGBT
dalam berkembang dan menjalani kehidupan sebagai warga negara yang sah. Hal ini
tentu berdampak pada penerimaan masyarakat yang baru dewasa ini melakukan
penolakan. Dampak terparah adalah hak-hak hidup mereka tergerus oleh pelecehan
dan perlakuan kasar, baik secara verbal maupun fisik. Media pun menjadi alat
penekan yang masif akhir-akhir ini. Kesempatan dan ruang hidup Kelompok LGBT
menjadi terdiskriminasi.
2Lewis, Michele K. and Isiah Marshall.2012. LGBT Psychology Research Perspectives and People of
African Descent. New York:Springer
“Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang
langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.” (UU 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, Bab I Pasal 1 ayat 3)
Berdasarkan penjelasan UU HAM di atas dapat dilihat bahwa diskriminasi
terhadap seseorang berdasarkan jenis kelamin merupakan tindakan yang melanggar
hak hidup seseorang itu. LGBT sendiri secara psikologis menjadi minoritas seksual,
yang mungkin masih dianggap tabu secara umum. Padahal hal ini telah berlangsung
secara alami dan sejak lama.
“LGBT bukan penyakit. Dulu kita melihatnya sebagai kelainan, sekarang
variasi kehidupan saja. Dalam biologi, enggak ada yang enggak normal. Semua hanya variasi,” ujar dr. Roslan Yuni Haslan, SpBS3
Kemudian ahli psikologis yang menambahkan pendapatnya tadi dengan
tegas berusaha mengaitkan fenomena biologis yang terdapat dikehidupan masyarakat.
Faktor biologis yang disampaikan ini seperti pengetahuan dasar atas apa yang
sekarang fenomena sosial ini sedang berlangsung. Orang tua yang menginginkan
anak dari buah cintanya, adalah harapan banyak semua pasangan suami istri dimana
sebagai eksistensi/pengakuan terhadap apa yang dihadapkan dengan kehidupan sosial
dimana jika memiki keturunan adalah sesuatu yang memiliki pengakuan sosial
3 Maharani, Dian. 2016. Neurolog:LGBT Bukan Kelainan atau Penyakit. Dimuat dalam
http://health.kompas.com/read/2016/02/10/111500023/Neurolog.LGBT.Bukan.Kelainan.atau.Penyakit (diunduh pada 27 Februari 2016)
sendiri. Karena jika tidak memiliki keturunan ataupun tidak produktif dalam
keturunan maka akan ada keberbedaan pengakuan sosial dalam kehidupan.
Tekanan yang diberikan kepada Kelompok LGBT dengan berbagai dalil
merupakan tindakan yang tidak humanis. Bahkan jika semua itu dilakukan dengan
alasan bahwa LGBT merupakan tindakan amoral maka anti-tesis yang diberikan
kepada mereka harus bermoral, bukan malah menyudutkan dan menekan
perkembangan Kelompok LGBT dalam melanjutkan hak hidup. Mereka juga berhak
atas pemberdayaan dan pembangunan sumber daya manusia. Berhak atas
perlindungan dan pendidikan, serta pekerjaan. Penekanan semacam ini tentunya
menghambat Kelompok LGBT yang berpotensi menjadi riskan untuk tetap bertahan
di Indonesia. Bila para ahli yang kebetulan juga Kelompok LGBT ini memilih untuk
berkarya di luar negeri tentunya menjadi suatu kerugian tersendiri bagi Indonesia.
Akhirnya, melalui sudut pandang humanisme dapat dilihat bahwa
memperlakukan Kelompok LGBT dengan cara-cara purba merupakan hal yang sudah
tidak relevan di era ini. Sudut pandang agama yang begitu sempit memungkinkan
terjadinya penindasan yang seolah-olah dihalalkan, tapi humanisme harus menjadi
penyelamat sehingga secara nalar logis dan nurani yang lebih luas mampu
menampung kegelisahan Kelompok LGBT dalam menjalani hidup. Melalui hal itu
tentunya hambatan akan pembangunan masyarakat;khususnyaKelompok LGBT;
dapat dihilangkan. Sehingga tidak perlu lagi ada ketimpangan sumber daya dan
diskriminasi kerja serta pendidikan dalam kehidupan berbangsa di Indonesia ini. Hal
ini semata untuk memanusiakan mereka, karena pada dasarnya mereka juga manusia
yang sama dengan orang-orang yang menindas mereka itu, hal ini senada dengan apa
yang disampaikan olehMagnis-Suseno dalam opini di Harian Kompas4 (2016) dan
kaitannya dengan memanusiakan manusia (Magnis-Suseno, 21:2001).
Secara moral memang harusnya kita melindungi mereka yang minoritas
secara seksual sehingga mereka dapat hidup selayaknya kita. Jadi, tekanan terhadap
4
Perkawinan Sejenis Tak Berdasar. (Februari 2016) Harian Kompas hlm. 6.
Kelompok LGBT harus dihilangkan agar tidak ada diskriminasi-diskriminasi yang
justru akan memicu konflik horizontal, dan malah menurunkan kualitas
pemberdayaan masyarakat.
Moralitas, Humanisme, dan Agama: Saling Silang Kuasa dalam Memandang
LGBT
Dalam tatanan moral dan sosial sendiri, manusia yang memiliki tindakan
atau perilaku yang berbeda di bandingkan dengan masyarakat lain pada umumnya,
dianggap sesuatu yang menyalahi aturan. Tuhan sendiri menciptakan manusia yang
berbeda-beda adalah untuk menyederhanakan dan disamaratakan (karena ini konsep
kuasa Tuhan), jika dibandingkan kuasa selain Tuhan, maka selalu saja dianggap
berbeda, misal anak kecil berbeda dengan orang dewasa padahal sama-sama manusia
dan memiliki hak..
Perlakuan yang sifatnya mendiskriminasi sesama kelompok yang tidak
mendapat pembenaran sering sekali menemui titik buntu, tidak terciptanya ruang
publik yang tersedia untuk saling memunculkan eksistensinya dengan tidak saling
menjatuhkan dan mencari salahnya kelompok lainnya. Salah satu potongan ayat
Al-Qur’an sendiri berusaha menjelaskan dan menjadi pembenar dalam pembahasan
tentang siapa sebenarnya yang salah dan benar.Dan ini menyadarkan kita bahwa tidak
semua perlakuan diskriminasi yang tujuannya adalah sebagai keseragaman untuk
yang lebih baik adalah konsep imajiner, dan itu merupakan impian semata.
Salah satu ayat Al-Qur’an mengenai ketidakberpihakan ini tercantum dalam
surat Al-Hujarat ayat 11, yang artinya:
mengolok-olokan perempuan lain, boleh jadi perempuan yang diperolok-olokan lebih baik pada perempuan yang mengolok-olok. Dan janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.
Jika dikaji dari sudut pandang agama maka LGBT tidak sesuai dengan nilai dan
norma, sehingga orang yang LGBT dipandang sebelah mata dan bahkan mendapatkan
diskriminasi karena mereka melawan rezim moral yang dibangun oleh agama.
Namun, ada hal yang berbeda ketika LGBT dikaji dari sudut pandang sosial budaya.
Ada pemahaman yang salah kaprah tentang LGBT merupakan tindakan kriminal,
yang sejatinya tidak benar. Mereka memutuskan untuk menjadi salah satu dari LGBT
adalah karena keputusan dirinya dengan jiwanya, dirinya dengan diri dan jiwa orang
lain, hal tersebut atas dasar kesadaran dan saling tahu. Akan berbeda kasus lagi jika
ada unsur paksaan dan merugikan salah satu pihak, sebut saja seperti sodomi.
Stereotip terhadap pelaku LGBT mengakibatkan ruang mobilitas sosial bagi pelaku
LGBT semakin sempit, karena kurang diterima oleh kalangan masyarakat pada
umumnya. Semakin banyak kelompok yang menentang adanya LGBT di Indonesia
maka akan semakin banyak juga kelompok yang akan membela hak-hak Kelompok
LGBT.
Secara moral agama, perilaku seksual menyimpang seperti LGBT merupakan
suatu dosa yang berat. LGBT merupakan penyakit sosial yang harus dienyahkan.
Setidaknya hal ini jauh berbeda jika dibandingkan perjuangan aktivis LGBT di
negara-negara Barat yang berujung pada legalisasi perilaku dan gerakan LGBT.
Sebagai negara Timur yang masih dibelenggu dogma agama yang kuat tentu saja
sesama jenis di Amerika Serikat pada 26 Juni 20155 maka gerakan LGBT di
Indonesia juga memiliki nyawa baru untuk memperjuangkan hak mereka, meski
hanya sebatas hak hidup untuk diakui oleh masyarakat. Tapi tidak hanya hal itu yang
terjadi di Indonesia, gerakan penolakan pun mulai gencar dilakukan setelah saat itu.
Pertentangan antara kedua gerakan baik yang pro maupun yang kontra LGBT, bahkan
terjadi pada ranah dunia maya. Bahkan ranah dunia nyata yang konon lebih
manusiawi justru membawa topik ini hingga ke arah pendidikan tinggi. Hal ini terjadi
ketika Menteri Ristekdikti menyatakan bahwa LGBT tidak boleh masuk ke ranah
kampus6. Pernyataan ini menyusul adanya sebuah lembaga swadaya yang menjadi
ruang advokasi bagi kesetaraan gender di Universitas Indonesia pada waktu itu.
Namun, pernyataan ini justru mendapat perlawanan bagi para pendukung LGBT yang
menganggap ucapan menteri tersebut naif. Betapa tidak, bagaimana cara mereka
mencegah LGBT masuk kampus? Hal itu nampak sangat utopis karena LGBT
dianggap seperti hal yang harus diidentifikasi secara khusus sebelum penerimaan
mahasiswa baru. Hal ini tentu akan sangat sulit dan jelas merusak hak asasi mereka
para Kelompok LGBT yang hendak mengenyam pendidikan.
"Homosexuality is clearly a social illness, a morally evil trend that must be eliminated, not a human right to be protected” (Boellstorff, 2005:575)7
Boellstorff menulis bahwa para tokoh-tokoh Islam menolak secara mutlak
perihal LGBT pada umatnya. Sehingga hal itu menyebabkan tidak ada ruang untuk
mereka diterima sebagai umat beragama Islam. Hal itu dikarenakan dalam konteks
Indonesia LGBT langsung berada pada ranah dosa, bukan hak asasi yang harus
5
Robert, Dan and Siddiqui, Sabrina. 2015.Gay Marriage Declared Legal Across the US In Historic
Supreme Court Ruling. On
http://www.theguardian.com/society/2015/jun/26/gay-marriage-legal-supreme-court(diunduh pada 20 Maret 2016, pukul 10.13 WIB)
6Hermawan, Bayu. 2016. Menristek Dikti: LGBT tak Boleh Masuk Kampus. On http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/01/23/o1ethv354-menristek-dikti-lgbt-tak-boleh-masuk-kampus (diunduh pada 20 Maret 2016, pukul 10.20 WIB)
7 Boellstorff, Tom. 2005. “Between Religion and Desire: Being Muslim and Gay in Indonesia” dalam
American Anthropologist, New Series, Vol. 107, No. 4 (Dec., 2005), hlm. 575-585.
diperjuangkan. Perbedaan pola pikir antara agama dan humanitas mungkin menjadi
penyebab hal ini. Pandangan umum yang diterima di Indonesia adalah bahwa
seksualitas bersifat terberi sehingga tidak dapat diubah. Pandangan tersebut
mendapatkan legitimasi dari ajaran agama maupun budaya sehingga kelompok orang
yang seksualitasnya tidak sejalan dengan konsep tersebut yakni kelompok LGBT
dianggap sebagai abnormal, mendapatkan perlakuan buruk baik dalam bentuk
diskriminasi maupun kekerasan.Perbedaan dua sudut pandang tentang seksualitas
tersebut dapat dirinci sebagai berikut,
Esensialisme Social Constructionism Seks Laki-laki dan perempuan Laki-laki, perempuan, interseks,
transgender
Gender Feminin, maskulin Feminin, maskulin, androgynous,
undifferentiated
Orientasi Seksual Heteroseksual Heteroseksual, homoseksual, biseksual Sumber: Divisi Litbang dan Pendidikan Komnas Perempuan
Gerakan LGBT
Gerakan LGBT mulai berkembang pada akhir tahun 1960-an melalui berbagai
pengorganisasian dari kelompok transgender atau waria. Berbagai aliansi mereka
gunakan untuk mendapatkan ruang sosial dikalangan masyarakat normal, diantaranya
gerakan pro-demokrasi dan HAM. Dengan berbagai upaya yang mereka lakukan dari
advokasi sampai mendapatkan dukungan kuat dari tingkat nasional bahkan pendanaan
dari UNDP, kini kelompok LGBT sudah mulai unjuk gigi untuk setara dengan
individu atau masyarakat normal lainnya. Hal tersebut terbukti dengan adanya
Nusa Dua, Bali, Indonesia pada bulan Juni 2013, dialog tersebut merupakan hasil dari
prakarsa ‘Being LGBT in Asia: A Participatory Review and Analysis of the Legal and
Social Environment for Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender (LGBT) Persons and Civil Society’ yang didampingi oleh UNDP dan USAID. Tujuan dari dialog
tersebut adalah untuk mempelajari berbagai pengalaman yang dialami oleh LGBT
dari sudut pandang pengembangan dan hak asasi manusia. Jika dikaji dari sudut
pandang agama maka banyak menimbulkan kelompok yang menentang.
Keteraturan sosial yang tumbuh dalam masyarakat pada umumnya adalah
ketika laki-laki dan perempuan hidup bersama dari ikatan yang pasti dan jelas,
kemudian mereka mempunyai keturunan. Hal tersebut juga didukung dengan adanya
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1974 pasal 1 yang berbunyi
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dari pasal tersebut
sudah jelas bahwa suatu ikatan pernikahan yang syah adalah ketika beda lawan jenis
bukan sesama jenis.
Pernikahan pasangan sejenis atau LGBT memang belum bisa dilegalkan di
Indonesia. Hal ini berkebalikan dengan yang terjadi di Amerika, dimana pernikahan
dengan pasangan sejenis sudah dilegalkan bulan Juni 2015 kemarin yang banyak
menuai pro dan kontra.Adanya kelompok-kelompok yang berpihak pada LGBT
bukan berarti mereka juga LGBT, kelompok tersebut hanya membantu kelompok
LGBT untuk mendapatkan perlindungan dan membuka wawasan global masyarakat
tentang LGBT agar toleransi tumbuh bersamaan dengan penerimaan.
Mendiskriminasi bukanlah jalan membuat kelompok LGBT lantas hilang dan
kembali pada kodratnya karena hal tersebut malah akan menjadi pemantik konflik.
Apa yang dianggap salah di kalangan masyarakat normal belum tentu salah di
kelompok LGBT dan semua itu membutuhkan toleransi. Menurut Ryff dalam Ryan
dan Deci (2001; Arum; 2013), seseorang dikatakan bahagia atau sejahtera kondisi
mampu membangun dan menjaga hubungan baik dengan orang lain (positive relation
with others), mampu menciptakan konteks lingkungan sekitar sehingga bisa
memuaskan kebutuhan dan hasrat diri sendiri (enviromental mastery), mampu
membangun kekuatan individu dan kebebasan (autonomy), memiliki dinamika
pembelajaran sepanjang hidup dan berkelanjutan mengembangkan kemampuan diri
(personal growth), dan memiliki tujuan hidup yang menyatukan usaha dan tantangan
yang dihadapi (purpose in life).
Isu mengenai LGBT yang sekarang ini mulai menguat menyebabkan banyak
advokasi yang dilakukan oleh kelompok LGBT, organisasi LGBT terutama
menyediakan ruang untuk dukungan satu sama lain (psikososial dan ekonomi) serta
kegiatan berkelompok (Laporan LGBT Nasional Indonesia). Semangat
non-diskriminasi yang terjadi di Indonesia terhadap hak-hak Kelompok LGBT dibuktikan
dengan dirumuskannya buku “The Yogyakarta Principles” buku ini berisikan 29
prinsip yang bersangkutan dengan hak-hak yang bisa didapatkan oleh Kelompok
LGBT hak-hak tersebut adalah:
Prinsip 1 : Hak untuk penikmatan HAM secara Universal
Prinsip 2 : Hak atas kesetaraan dan non diskriminasi
Prinsip 3 : Hak atas pengakuan di mata hukum
Prinsip 4 : Hak untuk hidup
Prinsip 5 : Hak atas keamanan seseorang
Prinsip 6 : Hak atas privasi
Prinsip 7 : Hak atas kebebasan dan kesewenang-wenangan terhadap
perampasan kesewenang-wenangan terhadap perampasan
kebebasan.
Prinsip 8 : Hak atas pengadilan yang adil
Prinsip 9 : Hak untuk mendapatkan perlakuan manusiawi selama dalam
tahanan
Prinsip 10 : Hak atas kebebasan dari siksaan dan kekejaman, perlakuan atau
Prinsip 11 : Hak atas perlindungan dari semua bentuk eksploitasi, penjualan,
dan perdagangan manusia
Prinsip 12 : Hak untuk bekerja
Prinsip 13 : Hak atas keamanan sosial dan atas tindakan perlindungan sosial
lainnya.
Prinsip 14 : Hak untuk mendapatkan standar kehidupan yang layak
Prinsip 15 : Hak atas perumahan yang layak
Prinsip 16 : Hak atas pendidikan
Prinsip 17 : Hak atas pencapaian tertinggi standar pendidikan
Prinsip 18 : Hak perlindungan atas kekerasan medis
Prinsip 19 : Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi
Prinsip 20 : Hak atas kebebasan berkumpul dengan damai dan berasosiasi
Prinsip 21 : Hak atas kebebasan berfikir, memiliki kesadaran dan agama
Prinsip 22 : Hak atas kebebasan untuk berpindah
Prinsip 23 : Hak untuk mencari perlindungan
Prinsip 24 : Hak untuk menemukan keluarga
Prinsip 25 : Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik
Prinsip 26 : Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya
Prinsip 27 : Hak untuk memajukan HAM
Prinsip 28 : Hak atas pemulihan dan ganti rugi yang efektif
Prinsip 29 : Akuntabilitas
Buku ini ditandatangani olehs beberapa peneliti yang peduli terhadap hak-hak
Kelompok LGBT, menurut mereka “sexual orientation and gender identity are
integral to every person’s dignity and humanity and must not be the basis for discrimination or abuse”. Keberadaan komunitas LGBT di Indonesia memang
bukanlah sebuah hal yang baru. Banyak komunitas-komunitas LGBT yang telah
berdiri selama bertahun-tahun, namun tidak begitu terdengar suaranya di kalangan
tahun 2015 ini mulai banyak komunitas yang muncul ke permukaan dan mulai berani
untuk membuka diri di depan umum, namuntak sedikit pula komunitas baru yang
bermunculan demi melantangkan dukungan terhadap hak-hak atas para LGBT.
Kelompok LGBT yang banyak mendapat label dari masyarakat ini mencoba
untuk mengubah stigma tersebut dengan mendirikan komunitas-komunitas yang
dapat menjadi wadah untuk sosialisasi kesehatan (terutama untuk penyakit
HIV/AIDS) dan berbagi pengalaman sehingga mereka tidak merasa sendirian dengan
keadaannya. Komunitas-komunitas ini juga berani mendukung kelompok LGBT agar
mereka bangga dakan keadaannya serta sadar akan hak-hak mereka sebagai manusia,
selain itu mereka juga kerap melaksanakan kampanye untuk menyadarkan
masyarakat bahwa LGBT bukanlah penyakit dan berperang untuk menyingkirkan
diskriminasi dari orang-orang sekitar.
Salah satu komunitas LGBT tertua dan terbesar di Indonesia adalah GAYa
NUSANTARA.8Organisasi yang didirikan pada tanggal 1 Agustus 1987 oleh Dede Oetomo di Surabayaini kemudian diperbarui menjadi Yayasan GAYa NUSANTARA
pada 27 Juni 2012 melalui pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM.Sejak
awal didirikan, komunitas ini memperjuangkan kepedulian masyarakat terhadap
hak-hak kesetaraan LGBT. Tidak hanya itu, GAYa NUSANTARA juga melakukan
penelitian, publikasi dan pendidikan dalam HAM, seks, gender dan seksualitas,
kesehatan dan kesejahteraan seksual.9
8
Tentang GAYa NUSANTARA.dalamhttps://gayanusantara.or.id/about/(diunduh pada 8 April 2016,
pukul 10.40 WIB)
9 Vision & Mission. GAYa NUSANTARA. dalamhttps://gayanusantara.or.id/about/vision-mission/
Pro dan Kontra Keberadaan LGBT
Keberadaan kelompok yang dianggap ‘meresahkan dan masalah’ dalam gaya
bersosial masyarakat di Indonesia ini menjadi salah satu isu yang sedang lagi
hangat-hangatnya. Potret-potret yang diakui masyarakat berfikiran praktis memiliki sikap
kebersimpangan dalam kehidupan sesame manusia. Dalam kasus ini ada pendapat
yang lebih condong keberpihakan atau pro dengan alasan-alasan dan kepeningan
tertentu, dan adapula yang kontra dengan alasan-alasan yang rasional tapi bersifat
memaksa. Pengakuan sebagai seseorang yang dianggap biasa dalam kehidupan
adalah ketika tak ada yang berbeda dari apa yang pernah dilihat. Disini sempat
menimbulkan pemberitaan yang intrik, karena ada yang mendalihkan bahwa ini
adalah masalah yang sangat radikal dan tidak tertolerir.Sehingga ada diskusi yang
pernah digelar oleh Serikat Jurnalistik untuk Keberagaman atau Sejuk tentang
“Radikalisme dan LGBT, Mana Ancaman Yang Lebih Serius”.10
Jujur dari pernyataan ‘sangat radikal’ yang pernah disampaikan dalam diskusi
tersebut, beberapa beranggapan bahwa radikalisme sendiri beda dengan isu LGBT,
namun perdebatan tersebut tidak serta merta menemui titik temu dimana sebagai
penengahnya. Ada yang berpendapat bahwa sikap radikal sendiri merupakan sikap
yang sangat tidak setuju dan tidak tolerir akan merusak sistem yang sudah terjalin
seperti biasanya. Sikap yang katanya ‘merusak’ sistem ini ternyata sempat di tepis
oleh pendapat dari ahli psikologi, dimana LGBT sendiri merupakan suatu ‘fakta
sosial’ yang ada dalam sistem sosial, dengan kata lain bisa saja fakta sosial ini
merusak, dan bisa saja memperbaiki.Perlakuan terhadap orang yang berkaitan dengan
LGBT sendiri sangat diskriminasi dan sangat tidak manusiawi.Dengan kata lain,
10
Tulisan Yons Achmad, tentang “Pro-Kontra LGBT dalam masyarakat” , Diskusi ini mencoba menjelaskan kritik dari beberapa media yang berusaha menekuni persoalan-persoalan kritis hingga mendapat bebrapa kecaman dari pihak-pihak terkait, karena komentar-komentar dan kritiknya tidak menuai konsistensi. Kritik ini di ambil dari surat kabar harian slah satu Indonesia. Dalam http://islamedia.id/jadi-corong-pro-lgbt-begini-cara-kompas-tv-menggiring-opini/ (diakses pada7 April 2016, pukul 13:09 WIB)
Tuhan juga ikut melegitimasi dari konsep takdir secara tidak sengaja. Disini kami
tidak ingin menunjukan bahwa ajaran yang telah disampaikan adalah sebuah
kesalahan, hanya saja ajaran tersebut sebenarnya belum selesai dan kita diharapkan
dapat belajar dari apa yang sudah terjadi sebelumnya.Jika berbicara mengatas
namakan Tuhan atau agama, maka yang muncul adalah pembenaran dari yang
salah.Fenomena sosial yang terjadi bukan karena salah pengaturan Tuhan, melainkan
ini terjadi karena Tuhan istilahnya sudah berkehendak, terlepas dari fungsi Tuhan
sendiri sebagai penguasa yang esa.
Pilihan-pilihan banyak disediakan tergantung dari sudut dan pihak mana kita
berada.Kami rasa semua studi tentang sesuatu yang diperdebatkan selalu saja
menemui titik dimana kita bakal berpihak, mungkin karena kamitidak sepenuhnya
percaya terhadap posisi yang dianggap netral.Dalam isu ini misalnya, pihak-pihak
yang senantiasa menjadi penengah ialah ‘media’. Meskipun kami kurang sepakat
sepenuhnya dengan fungsi media hari ini yang masih menjaga netralitas.
Pernyataan-pernyataan yang disusun sebagai upaya penjelasan tentang siapa LGBT danapa yang
sebenarnya Kelompok LGBT lakukan, kini dibalik menjadi pertanyaan-pertanyaan
kritis yang sebenarnya sudah tertera jawabannya dalam pernyataan tersebut.
Perlakuan yang bersifat ‘tekanan, memaksa, diskriminatif, dan provokatif’
merupakan sarana eksistensi balik dari kelompok-kelompok yang sebenarnya
memiliki posisi yang sama dengan kelompok LGBT, yaitu sama-sama minoritas dan
saling kompetitif dipanggung media dan kehidupan sosial. Sikap kompetisi dalam
ajang unjuk pengakuan keberadaan mereka juga ternyata bersifat tidak sportif, saling
menjatuhkan dalam arti berusaha mencari kelemahan kelompok lain dengan
perlakuan provoatif, sehingga yang terjadi ialah bentuk saling mengisi
mendiskriminasikan akhirnya tersebar luas kepermukaan publik. Dengan pengakuan
dan mendalihkan bahwa LGBT menyalahi aturan, menyalahi norma dalam kehidupan
sosial.Dalam hal ini sudut pandang antropologis yang kami bawa hendak memberi
Kasus Pesantren Waria
Di Indonesia sendiri terdapat pondok pesantren yang secara khusus
menampung para waria (transgender) untuk belajar ilmu agama. Pesantren Al-Fatah
terletak di Notoyudan, Yogyakarta11, berdiri pada 8 Juli 2008. Dengan berlatar
belakang bencana gempa Yogyakarta pada tahun 2006 mereka membentuk ruang
untuk belajar agama dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Bahkan ada seorang
ulama yang membimbing mereka yaitu K.H. (alm) Hamrulie Harun, M.Sc12 bersama
Alm. Ibu Maryani yang merupakan seorang waria mencetuskan untuk mengadakan
acara doa bersama dengan para waria lainnya. Saat itu doa bersama dihadiri oleh 200
orang waria serta beberapa orang pemuka agama. Sejak saat itu tercetuslah ide untuk
membuat pesantren Al-Fatah yang dikhususkan untuk para waria, sebab Maryani
memang merupakan seorang yang sering mengikuti pengajian oleh K.H. Hamrulie
Harun, M,Sc. Maryani memiliki kesadaran penuh terhadap keberadaannya sebagai
umat beragama Islamdan beruntung kala itu ia bertemu dengan ustad tersebut yang
tidak membeda-bedakan dan tidak menghakimi dirinya dengan orang-orang ‘normal’
lainnya.
Pada awal didirikan, pesantren Senin-Kamis tersebut hanya diikuti oleh
sedikit santri, namun belakangan pesantren tersebut sudah diikuti oleh lebih dari 20
orang. Maryani memberi pemahaman bahwa sebagai manusia, waria juga memiliki
hak untuk beribadah dan menjalankan kewajibannya pada agama dan Tuhannya.
Pesantren tersebut juga didirikan dengan uang pribadi Maryani, ia menyisihkan uang
11Zakaria, Anang. 2013. Pesantren Waria Yogyakarta Satu-satunya di Dunia. Dimuat dalam
https://gaya.tempo.co/read/news/2013/11/24/205532048/pesantren-waria-yogyakarta-satu-satunya-di-dunia (diakses pada 9 April 2016, pukul 16.11 WIB)
12 Wahyudi, Herman. 2010. Pesantren Waria; Realitas Lain di Balik Gempa Jogja 2006. Dimuat
dalam http://www.kompasiana.com/the_udiezindonesia/pesantren-waria-realitas-lain-di-balik-gempa-jogja-2006_55005be1a333117c6f510c59 (diunduh pada 10 Maret 2016, pukul 10.36 WIB)
sedikit demi sedikit dari hasilnya membuka salon kecantikan dan berjualan nasi di
daerah rumahnya tersebut.
Selain menggelar pengajian rutin, pesantren waria juga memiliki agenda
tahunan. Saat Ramadhan tiba, mereka rutin menggelar tarawih, tadarus Al-Quran,
hingga sahur dan berbuka bersama. Menjelang Idul Fitri, mereka lantas berziarah
bersama ke makam keluarga dan waria yang sudah meninggal. Tak hanya itu,
Maryani juga telah menjalankan ibadah umroh pada tahun 2012, meski jalan yang
harus ditempuhnya untuk dapat pergi ke tanah suci tidaklah mudah13.
Ketika perseteruan pro dan kontra terhadap LGBT mulai merebak di Indonesia pada
tahun 2015, pada mulanya pondok pesantren kontroversial ini tidak mendapat
penolakan secara masif. Namun, ketika deru penolakan berlatar dogma agama
terhadap keputusan legalisasi pernikahan sejenis di Amerika Serikat, banyak
ormas-ormas kemudian mengintimidasi para santri dengan dalil LGBT itu dosa, hal tersebut
berujung pada penutupan pesantren Al-Fatah.14
Salah satu ormas yang paling keras menuntut penutupan pesantren tersebut
ialah Front Jihad Islam atau FJI yang menganggap bahwa Kelompok LGBT (dalam
hal ini adalah waria di pesantren Al-Fatah) ingin mecari pengakuan keberadaan dan
legalitas berdasarkan interpretasi ayat-ayat Al Quran sehingga FJI merasa kemurnian
Islam menjadi terancam, namun berita yang ditampilkan di media berbeda dengan
kenyataan yang ada. Media menyampaikan bahwa penutupan pesantren tersebut
dilakukan karena banyaknya warga yang resah dengan kegiatan mereka, padahal pada
kenyataannya tidak ada penolakan yang signifikan dari masyarakat setempat, namun
13Mengenang, Bagaimana Alm. Ibu Maryani, Waria yang Mendirikan Ponpes Waria Berangkat
Umroh. 2016. Dimuat dalam
http://kabarlgbt.org/2016/03/19/mengenang-bagaimana-alm-ibu-maryani-waria-pendiri-ponpes-waria-berangkat-umroh/ (diakses pada 8 April 2016, pukul 11.10 WIB)
14Pesantren Waria di Yogyakarta Ditutup, LBH Protes. 2016. Dimuat pada
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/02/160225_indonesia_ponpes_waria_ditutup(dia kses pada 9 April 2016, pukul 15.05 WIB) Hasil diskusi bersama Supakitt Tropasert (mahasiswa antropologi asal Thailand yang tengah meneliti relasi gender dan Pesantren Waria di Yogyakarta) pada 9 April 2016.
Ibu Shinta (pengurus pesantren waria saat ini) tetap setuju untuk menutup
pesantrennya untuk beberapa waktu atas alasan keselamatan dan keamanan.
Kini pesantren Al-Fatah tidak melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan,
hanya ada beberapa kegiatan kesenian dan pertemuan di rumah Ibu Shinta. Kegiatan
pesantren kemudian akan diadakan kembali, namun Ibu Shinta harus mencari tempat
yang baru atas alasan keamanan dan nantinya pesantren ini akan didukung oleh NU
(Nadlatul Ulama) Yogyakarta.
Tidak hanya penolakan kasar terhadap pergerakan LGBT yang berasal dari
oknum yang berkepentingan, mudahnya jaringan informasi juga memarakkan
perseteruan antara masyarakat yang pro dan kontra terhadap LGBT. Dapat dilihat dari
berita di berbagai media sosial, tak sedikit akun yang mengatasnamakan agama yang
berani menghujat LGBT dengan cara yang justru tidak bermoral, seperti menyumpahi
dan mengejek mereka yang dianggap ‘sakit’ atau ‘abnormal’ di masyarakat. Beberapa
akun yang pro terhadap LGBT juga telah ditutup, namun pergerakan pro LGBT
masih tetap berlanjut hingga saat ini.
Dengan fenomena inilah, sesuatu bakal terjadi jika ada yang merasa
termarjinalkan dan belum dapat pengakuan dari sikap eksistensinya sebagai suatu
kelompok. Kemudian sering juga isu LGBT ini dikaitan dengan bentuk sikap
melewati kodratnya sebagai manusia ciptaan Tuhan.Sebenarnya kami percaya dengan
kodrat yang sudah diatur Tuhan, namun jika kodrat yang disampaikan seperti
gambaran fenomena LGBT diatas, kami masih kurang setuju. Karena bisa saja
banyak yang berpendapat dengan berlandaskan yang dilihat, namun tidak melihat apa
yang terjadi sebelumnya, apa yang membuat bisa seperti ini, dan bagaimana harusnya
merekea-mereka yang dianggap lebih buruk dibandingkan si pemberi perspektif.
Hal-Hal semacam ini membuat posisi Kelompok LGBT secara sudut pandang
humanis menjadi terpojok. Peran mereka dalam kehidupan menjadi semakin
dipersempit oleh ruang diskriminasi. Berbagai agama menolak LGBT dengan dasar
kitab suci dan sebagainya. Tentu saja ini bisa saja menimbulkan gejolak bagi para
negara. Potensi-potensi diri mereka menjadi ancaman yang bisa saja hilang jika terus
didiskriminasi oleh berbagai pihak.
Kesimpulan
Dalam konteks Indonesia segala perbedaan baik secara historis dan fakta
empiris memperlihatkan bahwa perbedaan bukanlah suatu hal yang baru dan
dipermasalahkan. Namun demikian, dengan hadirnya suatu fenomena global yakni
legalisasi pernikahan sesama jenis di Amerika Serikat, suatu hal yang awalnya
normal tersebut berubah menjadi polemik dan bahkan konflik. Perubahan (shifting)
diskursus atau wacana menjadi ajang kontetatif, yang mana tiap-tiap pihak meyakini
publik agar mendapatkan legitimasi. Contoh kasus penutupan Pesantren Waria di
Yogyakarta yang melibatkan pihak Islam fundamentalis yang diwakili oleh Front
Jihad disatu sisi, menyuarakan mengenai pentingnya penegakan nilai-nilai moral
yang diatur oleh agama.Dasar-dasar penolakan ialah karena gerakan tersebut
mempromosikan nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai keagamaan yakni
moralitas, sehingga LGBT adalah kegiatan yang penuh dengan dosa dan penistaan
akan agama. Sedangkan pihak kelompok LGBT di sisi lain,menyuarakan
pentingnyapenegakan nilai-nilai humanis yang diatur dalam konstitusi yang mana
mereka dapat hidup tanpa harus didiskriminasi.
Menjadi menarik apabila dalam polemik tersebut dikonseptualisasikan
kedalam kontestasi wacana antara sentimen moralis dengan sentimen humanis.
Sentimen moralis yang berbasiskan pada interpretasi teks kitab suci, harus
dihadap-hadapkan dengan sentiment humanis yang berbasiskan pada hak asasi. Kedua belah
pihak tersebut memiliki aktor-aktor yang mendukung dan melegitimasi wacana yang
didukungnya, seperti kelompok yang pro LGBT dengan dukungan dari UN,
Pesantren Waria, ataupun hasil-hasil riset akademik (biologis;psikologis) dan
legalitas hukum normatif. Kelompok yang kontra LGBT dapat dilihat dengan
besar kalangan rohaniawan di Indonesia, dan media massa dan juga media sosial yang
memiliki pandangannya dan dukungannya tersendiri mengenai wacana LGBT sendiri.
Dari sini kemudian dapat kita lihat bagaimana agama sebagai sebuah institusi
dan pemlihara sistem moral tidak serta merta mendapatkan legitimasi dan dukungan
yang penuh dari pemeluk-pemeluknya. Wacana mengenai nilai-nilai humanisme
dalam konteks kontestasi wacana LGBT memperlihatkannya sebagai wacana
tandingan atas wacana moral.Kembali pada permasalahan Indonesia, keberadaan
kelompok LGBT hingga hari ini diakui bila sebatas pada pengakuan hak-hak asasi
sebagai manusia. Namun bila kelompok LGBT tersebut berubah menjadi suatu
gerakan LGBT yang bersifat politis dengan tujuan tertentu seperti pernikahan sesama
jenis di Amerika Serikat, maka hal inilah yang kemudian menjadi permasalahan baru.
Kemudian yang menjadi penting adalah bagaimana negara mampu hadir dan berperan
dalam kontestasi wacana, negara sebagai sebuah institusi yang mengakui moralitas
dan humanitas diharapkan memiliki peran-peran yang lebih besar dan tegas, sehingga
diskriminasi diantara warga negaranya dapat dihindarkan.
Kehadiran negara ini diharapkan bisa menjadi pihak arbiter dengan basis
sekuler. Hal ini dibutuhkan agar negara bisa bebas dari intervensi institusi agama
manapun di negara ini. Setidaknya wacana kemanusiaan atau humanisme menjadi
pokok yang harus dipegang erat oleh negara alam menangani hal ini. Penghormatan
dan penghargaan terhadap kaum LGBT dapat dilakukan dengan member ruang yang
setara dengan masyarakat lain. Tentu saja untuk menghindari konflik horizontal hal
yang perlu dibatasi adalah regulasi tentang perkawinan sejenis yang memang tidak
berdasar. Menjunjung tinggi hak-hak kemanusiaan kaum LGBT merupakan tugas
besar negara ini sebagai benteng terakhir bagi kaum LGBT untuk berlindung. Peran
negara di sini dapat didasari dengan Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak
Referensi
Alston, Philip., Et al.
2011. The Yogyakarta Principles “Principles On The Application of
International Human Rights Law in Relation to Sexual Orientation and
Gender Identity”. Diunduh dari
https://www.hrw.org/news/2007/03/26/yogyakarta-principles-milestone-lesbian-gay-bisexual-and-transgender-rights (Rabu, 6 April 2016, pukul 14.34
WIB)
Boellstroff, Tom.
2005. The Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia. Princeton:
Princeton University Press.
Hermawan, Bayu.
2016. Menristek Dikti: LGBT tak Boleh Masuk Kampus. On
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/01/23/o1ethv354-menristek-dikti-lgbt-tak-boleh-masuk-kampus (diunduh pada 20 Maret 2016,
pukul 10.20 WIB)
Lewis, Michele K. and Isiah Marshall.
2012. LGBT Psychology Research Perspectives and People of African
LGBT Nasional Indonesia.
Hidup Sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional Indonesia (tinjauan dan
analisa partisipatif tentang lingkungan hukum dan sosial bagi orang dan masyarakat madani Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).
Magnis-Suseno, Frans.
2001. Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Maharani, Dian.
2016. Neurolog:LGBT Bukan Kelainan atau Penyakit. Dimuat dalam
http://health.kompas.com/read/2016/02/10/111500023/Neurolog.LGBT.Buka
n.Kelainan.atau.Penyakit (diunduh pada 27 Februari 2016)
Miranti, Nadya.
2013. Kondisi Psikologis Pada Biseksual: Studi Kasus pada Mahasiswa
Biseksual di Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
Ottosson, Daniel.
2006. LGBT World Legal Wrap Up Survey. ILGA.
Robert, Dan and Siddiqui, Sabrina.
2015. Gay Marriage Declared Legal Across the US In Historic Supreme
Court Ruling. On
http://www.theguardian.com/society/2015/jun/26/gay-marriage-legal-supreme-court (diunduh pada 20 Maret 2016, pukul 10.13
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia
Wahyudi, Herman.
2010. Pesantren Waria; Realitas Lain di Balik Gempa Jogja 2006. Dimuat
dalam
http://www.kompasiana.com/the_udiezindonesia/pesantren-waria-realitas-lain-di-balik-gempa-jogja-2006_55005be1a333117c6f510c59
(diunduh pada 10 Maret 2016, pukul 10.36 WIB)
Zakaria, Anang.
2013. Pesantren Waria Yogyakarta Satu-satunya di Dunia. Dimuat dalam
https://gaya.tempo.co/read/news/2013/11/24/205532048/pesantren-waria-yogyakarta-satu-satunya-di-dunia (diakses pada 9 April 2016, pukul 16.11