• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN HUKUM PERTAMBANGAN MINERAL dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERKEMBANGAN HUKUM PERTAMBANGAN MINERAL dan "

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN HUKUM PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA TERKAIT DENGAN LAHIRNYA

UNDANG UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

Oleh:

Rafki Rahmat, MY.,SH

(Mahasiswa Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum UNAND, NIM: 1320112001)

A. LATAR BELAKANG

Indonesia adalah negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya alam Indonesia berasal dari pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan, peternakan, perkebunan serta pertambangan dan energi. Pertambangan menjadi salah satu aspek andalan yang harus dikelola secara baik oleh Indonesia untuk kesejahteraan rakyatnya. Pertambangan dilakukan dengan mengeksplorasi mineral yang terkandung di bumi Indonesia. Selain mineral, batubara menjadi salah satu komoditas hasil eksplorasi pertambangan yang cukup memberikan kontribusi besar bagi pemasukan negara dalam sektor non pajak.

Mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan1.

Kekayaan alam tak terbarukan yang dimaksud diatas, meliputi emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi, batu bara dan lain-lain dengan

(2)

potensi masing-masingnya yang sangat berlimpah di bumi Indonesia. Timah misalnya, dengan produksi 78 ribu ton/ tahun, Indonesia adalah penghasil timah nomor dua dunia. Nikel dengan produksi 96 ribu ton/ tahun, Indonesia adalah penghasil nomor lima di dunia. Tembaga dengan 842 ribu ton/ tahun adalah nomor lima dunia dan untuk batu bara dan emas Indonesia adalah nomor 7 dunia2.

Keberadaan mineral dan batubara dapat menjadi salah satu tolok ukur kemandirian dan kemajuan suatu bangsa. Rata-rata negara dengan kekayaan mineral dan batubara yang tinggi, cenderung akan menjadi negara yang maju dan sejahtera. Namun, hal ini harus diiringi dengan pengelolaan yang baik menyeluruh terhadap kekayaan mineral tersebut. Pengelolaan yang buruk seperti rendahnya teknologi pengolahan ataupun lemahnya aturan terkait pengelolan sumber daya mineral ini akan mengakibatkan negara yang kaya akan mineral dan batubara tersebut hanya sebagai tamu dinegaranya sendiri, karena hanya akan menjadi sumber eksplorasi bagi pihak-pihak asing ataupun ilegal. Dengan karakteristik kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang sangat penting dan terkait hajat hidup orang banyak tersebut maka diperlukan kepastian berusaha dan kepastian hukum di dunia pertambangan mineral dan batubara.

Kepastian hukum di bidang pertambangan terutama dalam rangka melindungi hasil pertambangan dari upaya pengeksplorasian secara masif tanpa adanya upaya peningkatan nilai tambah oleh perusahaan penambangan. Pentingnya peningkatan nilai tambah dari pemanfaatan mineral nasional telah menjadi kesadaran Founding Father kita. Oleh karena itu, melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Founding father telah menetapkan garis-garis dasar pengelolaan sumber daya mineral tersebut. Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai

(3)

hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Pada ayat (3) ditegaskan lagi, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”3.

Pasal 33 UUD 1945, ini mengamanatkan penguasaan kekayaan alam oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Meskipun demikian, terdapat berbagai pandangan tentang bagaimana mengimplementasikan cita-cita tersebut. Pandangan yang mendukung pemanfaatan sektor minerba untuk memperkuat industri domestik mempunyai argumentasi bahwa industri nasional masih perlu mendapat dukungan ketersediaan bahan baku dalam jumlah yang memadai dan harga yang murah. Selain itu, ekspor minerba dalam bentuk raw material tidak memberikan value added yang signifikan terhadap perekonomian nasional selain penerimaan devisa dalam jangka pendek.

Di lain pihak, pandangan dari kalangan eksportir dan produsen minerba mempunyai argumentasi bahwa industri dalam negeri belum mampu menyerap seluruh produksi pertambangan minerba, baik karena kurangnya fasilitas peleburan dan pemurnian (smelter) atau fasilitas pengolahan di sisi yang lebih hilir4. Polemik seperti inilah yang turut mengiringi lahirnya Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

B. RUMUSAN MASALAH

3 Lihat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

(4)

1. Tinjauan yuridis terhadap Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba)?.

2. Perkembangan Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara terkait Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara?.

C. ISI DAN PEMBAHASAN

1. Tinjauan yuridis terhadap Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba)?.

Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tertib, dan dinamis dalam lingkungan yang merdeka, bersahabat, dan damai5. Pembangunan Hukum Nasional tidak dapat dipisahkan dari perjalanan sejarah perkembangan tataran yang berlaku pada masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan karena pembentukan suatu tatanan hukum sangat dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat, budaya, dan berbagai faktor lainnya6. Salah satu faktor yang paling berpengaruh yaitu tatanan hukum adat yang telah berlaku jauh sebelum Indonesia merdeka.

Begitupun halnya dengan pembangunan hukum agraria. Reformasi hukum agraria di Indonesia sebagai negara yang merdeka dimulai dengan dikeluarkannya Undang Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). UUPA ini lahir dari

5 Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

(5)

semangat adopsi nilai-nilai hukum adat kedalam tataran sistem hukum agraria nasional. Hal ini ditegaskan didalam pasal 5 UUPA, “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perUndang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.

Konsepsi hukum tanah nasional secara utuh diambil dari konsepsinya hukum adat, yang oleh Boedi Harsono dikatakan bahwa Konsepsi Hukum Tanah nasional adalah komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung kesamaan. Konsepsi ini masih relevan ( dan harus tetap) dipertahankan untuk masa kini maupun untuk masa yang akan datang, oleh karena konsepsi ini merupakan penjabarandari sila-sila pancasila dibidang pertanahan serta harus dijabarkan lebih lanjut dalam politik Pertanahan Nasional sebagaimana yang digariskan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 7.

Agraria sendiri berasal dari bahasa latin ‘agre’ berarti tanah atau sebidang tanah. Pengertian Agraria meliputi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya (Pasal 1 ayat (2). Sementara itu pengertian bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah), tubuh bumi di bawahnya serta berada di bawah air (Pasal 1 ayat (4) jo pasaal 4 ayat (1)8. Tanah sendiri menurut Jazim Hamidi, adalah benda permukaan bumi yang menyimpan kekayaan untuk mencukupi kebutuhan hidup dan kehidupan manusia perorangan dan dalam

(6)

kelompok (ekonomi)9. Mineral dan batubara dapat dikelompokkan kedalam kekayaan yang tersimpan didalam tanah. Dengan demikian, mineral dan batubara merupakan obyek kajian dari hukum agraria.

Upaya pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi mineral tambang pada awalnya ditempuh melalui UUPA. Namun, UUPA ini, dikemudian hari tidak cukup mengakomodir peraturan terkait mineral dan batubara ini karena UU ini lebih memfokuskan pembahasan agraria dalam lingkup agraria yang berada diatas tanah sedangkan agraria dibawah tanah dalam hal ini barang tambang mineral belum terlalu diatur, sehingga kemudian pemerintah melahirkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang dikemudian hari dirubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Lebih lanjut, diuraikan lagi dalam aturan pelaksanaannya, diantaranya yaitu: Permen ESDM No. 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral.

Perubahan mendasar yang terjadi pada perubahan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 menjadi Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 adalah perubahan dari sistem kontrak karya dan perjanjian menjadi sistem perijinan, sehingga Pemerintah tidak lagi berada dalam posisi yang sejajar dengan pelaku usaha dan menjadi pihak yang memberi ijin kepada pelaku usaha di industri pertambangan mineral dan batubara.

Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara lahir sebagai bentuk usaha pemerintah dalam mengelola kekayaan mineral dan batubara di bumi Indonesia. Didalam UU ini dinyatakan yang dimaksud dengan Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian,

(7)

pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca- tambang.

Selanjutnya dinyatakan mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.

Tujuan dibentuknya Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dinyatakan yaitu: menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing, menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup, menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri, mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional, meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat; dan menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara10.

Namun, tidak sejalan dengan tujuan tersebut, Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ini justru malah melahirkan berbagai permasalahan baru dan mempertajam pertentangan masalah lama. Mulai dari persoalan Wilayah

(8)

Pertambangan11(WP), lelang Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), larangan ekspor hasil tambang mentah, hingga pelarangan sementara penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang baru untuk komoditas logam dan batubara.

Masalah tersebut di atas berawal dari pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) seperti IUP Eksplorasi, IUP Operasi Produksi dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang diberikan oleh pemerintah, baik kepada badan hukum, koperasi dan perseorangan. Selama ini, para pihak yang mengelola pertambangan selalu hanya mengejar bagaimana mengoptimalkan pengelolaan tambang untuk penerimaan negara. Jika upaya tersebut tetap berlanjut tanpa memperhatikan aspek-aspek lain, maka akan terjadi ketimpangan dengan sektor-sektor lain yang berkaitan12.

2. Perkembangan Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara terkait Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara?.

Dilihat dari sisi penerimaan negara, kegiatan ekstraksi dan eksploitasi sumberdaya alam (SDA) telah memberikan peran penting dalam pembiayaan pembangunan di Indonesia selama ini. Sebagai gambaran, perkembangan ekspor Indonesia pada tahun 2007, dimana sektor pertambangan menyumbang devisa sebesar $.11.884.904.619 dari total $.114.100.890.751 (10, 42%). Pada tahun 2008, meningkat lagi menjadi $.14.906.165.178 dari total nilai pemasukan devisa tahun 2008

11 Wilayah Pertambangan, sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010, merupakan wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari rencana tata ruang nasional. Wilayah Pertambangan terdiri dari wilayah yang dapat diusahakan dan wilayah yang belum dapat diusahakan. Wilayah yang dapat diusahakan meliputi : Wilayah Pencadangan Negara (WPN), Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).

(9)

sebesar $.137.020.424.402 (10,88%)13. Diluar sektor migas, sektor pertambangan ini hanya dikalahkan oleh sektor industri dalam hal menyumbang pemasukan devisa bagi negara disektor ekspor. Dengan demikian, sektor ekpoitasi ini menjadi lahan yang sangat produktif bagi sumber pemasukan keuangan negara.

Walaupun kontribusi sektor minerba dalam paparan di atas terlihat cukup besar, namun sebenarnya sektor ini memiliki potensi kontribusi yang lebih tinggi lagi jika terdapat nilai tambah yang lebih melalui proses pengolahan di dalam negeri. Yang dimaksud dengan peningkatan nilai tambah adalah pengolahan menjadi produk yang lebih hilir sepanjang rantai nilai.

Hal ini tentu membuat sektor pertambangan menjadi primadona bagi pemegang kepentingan, baik itu pemerintah sendiri sebagai penguasa dalam konsep hak menguasai negara14, swasta, maupun investor lokal maupun luar negeri. Dalam hal ini negara sebagai penguasa atas bumi, air dan udara akan menjalankan kewenangannya dalam menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara.

Konsep hak menguasai tanah oleh Negara yang berlaku saat ini sendiri bukanlah muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil dari suatu proses perkembangan terus-menerus. Demikian pun halnya dengan pertambangan15. Tambang-tambang yang penting untuk Negara akan diurus oleh Negara sendiri16.

Lahirnya Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah bagian dari usaha

13 http://www.kemenperin.go.id/statistik/peran.php?ekspor=1, diakses pada tanggal 27 Maret 2014

14 Hal ini telah dikemukan oleh Budi Harsono dalam bukunya Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaanya, Djambatan, hal 234, yaitu: Berdasar pasal 2 UUPA dan penjelasannya tersebut, menurut konsep UUPA, pengertian “dikuasai” oleh Negara bukan berarti “dimiliki”, melainkan hak yang memberi wewenang kepada Negara untuk menguasai.

15 Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogjakarta, 1978, hal 17

(10)

pemerintah mengelola eksploitasi dari pertambangan mineral dan batubara. Namun, kehadiran Undang-undang ini justru melahirkan polemik baru. Pro dan kontra bermunculan dalam menyikapi kehadiran Undang-undang ini. Terutama terkait dengan pasal 102 dan 103.

Pasal 102, menyatakan, “Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara”. Pasal 103 berbunyi:

1. Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. 2. Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainnya.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah”.

(11)

tambang mineral logam sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini”.

Dilihat dari konteks penafsiran hukum, pasal 102 dan 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 ini, memang mengamanatkan pelarangan ekspor bahan tambang mentah keluar negeri sejak tanggal 12 Januari 2014. Hal ini lah yang mendapat tantangan dari pelaku industri pertambangan mineral dan batubara di Indonesia. Mereka menyatakan tidak siap dan belum memiliki teknologi pengolahan dan pemurnian hasil tambang sehingga ditakutkan tidak dapat beroperasi dikarenakan terikat aturan tersebut. Salah satu persoalan krusial dari penerapan UU Minerba ini adalah tentang nasib 800.000 tenaga kerja yang akan menganggur akibat aturan ini. Baik tenaga kerja yang terlibat langsung maupun yang tidak langsung dalam bisnis pertambangan minerba ini17.

Kenyataan ini tentu tidak sejalan dengan cita-cita lahirnya Undang-Undang ini, yaitu guna meningkatkan nilai ekonomi dari hasil tambang Indonesia agar meningkatkan pendapatan negara dari sektor tambang. Pelarangan ekspor bahan mentah guna melindungi eksploitasi berlebihan tanpa nilai pada sektor mineral dan batubara ini padahal salah satu point penting penyebab dilahirkannya Undang-undang ini. Namun, adanya kepentingan pemodal asing dan industri luar negeri dalam sektor tambang ini menyebabkan sektor tambang riskan dipolitisir.

Jika dilihat permasalahan ini secara holistik, sebenarnya larangan ekspor mineral mentah tidak dapat dikatakan kebijakan yang tergesa-gesa. Sejak ditetapkan pada tanggal 12 Januari 2009, UU Minerba tersebut telah menetapkan larangan ekspor terhadap bahan tambang mentah, namun karena aturan pelaksanaannya belum lahir sehingga larangan ini baru berlaku efektif melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1

(12)

Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang diundangkan pada tanggal 11 Januari 2014. Dengan demikian, mulai 12 Januari 2014 pelaku industri pertambangan di Indonesia sudah tidak dapat lagi mengekspor bahan tambang mentah keluar negeri. Jika mengekspor bahan tambang maka harus sudah diolah terlebih dahulu di dalam negeri agar memberikan nilai tambah. Kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dimaksudkan, antara lain, untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang dari produk, tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan negara. Belum lagi dengan pengolahan itu akan menghidupkan industri tambang di dalam negeri.

Jepang yang relatif tidak mempunyai sumber daya alam, semisal tambang ini, tetapi dengan kehebatan ilmu dan teknologinya justru menjadi “penguasa tambang”. Indonesia mengekspor bahan mentah dengan harga relatif murah kemudian mereka mengekspor ke Indonesia setelah bahan tambanng mentah diolah di industri negeri matahari terbit dalam bentuk berbagai produk atau barang seperti alat-alat elektronik, otomotif, mesin, dan berbagai barang kebutuhan lainnya dengan harga yang tinggi18.

Intinya, larangan ekspor bahan mentah ini sebenarnya justru memberikan manfaat yang besar bagi bangsa Indonesia, baik dari segi pendapatan ke negara karena harga jual bahan ekspor lebih tinggi yang otomatis royalti yang diterima pemerintah juga akan lebih meningkat.

Namun, pihak yang kontra tentu tidak dengan mudah mnerima keinginan pemerintah tersebut dan melalui Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (APEMINDO), PT Harapan Utama Andalan dan PT Pelayaran Eka Ivanajasa serta Koperasi “TKBM Kendawangan Mandiri, dkk

(13)

mengajukan permohonan pengujian terhadap pasal 102 dan 103 Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 kepada Mahkamah konstitusi dengan registrasi Perkara Nomor 10/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dengan dasar gugatan sebagai berikut:

1. Pemohon berpendapat bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tidak memuat larangan ekspor biji (raw material atau core), namun hanya memuat kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri serta meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara;

2. Kebijakan larangan ekspor biji (raw material atau core) dari pemerintah berubah-ubah sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum, dan hal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945

3. Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 22A dan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 apabila dimaknai adanya larangan ekspor biji (raw material atau core)

4. Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 apabila dimaknai adanya larangan ekspor biji (raw material atau core);

(14)

D. PENUTUP 1. Kesimpulan

Lahirnya Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara membawa harapan dan semangat baru bagi dunia pertambangan mineral dan batubara Indonesia. Namun, dilain pihak, masih terdapat berbagai permasalahan pelik yang terkandung didalam UU Minerba tersebut, salah satunya adalah permasalahan yang terkandung dalam pasal 102 dan 103 mengenai larangan ekspor bahan tambang mentah ke luar negeri.

Hal ini tentu akan membawa pengaruh dan efek yang sangat besar bagi dunia pertambangan mengingat aturan ini dapat merobah pola pertambangan mineral dan batubara di Indoensia. Dengan pengolahan terlebih dahulu sebelum diekspor keluar negeri, tentu melahirkan dampak positif terhadap perekonomian dan posisi tawar industri tambang dalam negeri. Namun, dilain pihak pelaku industri pertambangan mineral dan batubara dalam negeri yang tidak setuju dengan pasal tersebut mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi guna menuntut keadilan bagi mereka yang merasa terancam dengan pemberlakuan pasal pelarangan ekspor bahan tambang mentah ke luar negeri.

2. Saran

(15)

E. DAFTAR PUSTAKA a. Media Online

1. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52b54cb0d0478/kadin -penerapan-uu-minerba-ancam-pertumbuhan-ekonomi, diakses pada tanggal 22 Maret 2014

b. Peraturan Perundang-undangan

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-pokok Agraria (UUPA);

3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan;

4. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;

5. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara 6. Permen ESDM No. 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah

Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. c. Buku

1. Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, PT.Sofmedia, Cetakan Pertama, 2009, hal 45

2. Al. Wisnubroto, Quo Vadis Tatanan Hukum Indonesia, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Pleburan: 2007

(16)

Dampaknya Terhadap Sektor Industristudi Kasus Nikel & Tembaga, Jakarta: 2012

4. Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaanya, Djambatan, 2000

5. Gatot Supramono, SH. Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia. Rineka Cipta

6. Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogjakarta, 1978 7. Jazim Hamidi, Dkk. Optik Hukum Peraturan Daerah Bermasalah,

Prestasi Pustaka, Malang: 2011

8. Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah OLeh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria), Yogyakarta, Cetakan I, 2007

9. Simon F. Sembiring, Jalan Baru Untuk Tambang: Mengalirkan Berkah bagi Anak Bangsa, Jakarta: Gramedia, 2009

(17)

POLITIK HUKUM

PERKEMBANGAN HUKUM PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA TERKAIT DENGAN LAHIRNYA

UNDANG UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

DOSEN PEMBIMBING:

Dr. SUHARIZAL, SH , M H

(18)

RAFKI RAHMAT MY, SH (NPM. 1320112001)

PROGRAM PASCA SARJANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ANDALAS

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pada mutu fisik sediaan masker gel peel off ekstrak kulit buah delima terhadap konsentrasi

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui alternatif perbandingan pendanaan antara Leasing atau Hutang jangka panjang dalam pendanaan aset

1) Tindakan penyerahan Anak kepada seseorang dilakukan untuk kepentingan Anak yang bersangkutan. 2) Tindakan perawatan terhadap Anak dimaksudkan untuk membantu orang

Tiongkok yang menjadi semakin aktif dalam ranah dunia internasional dan beberapa negara serta kawasan dianggap lebih signifikan dibandingkan pada daerah lainnya.Status Timur

Di desa Karangbanjar Bojongsari Purbalingga terdapat transaksi jual beli rambut sistem gulung yang obyeknya tidak definitif atau masih di gulungan dalam karung

Makna asosiasi dapat dihubungkan dengan waktu atau peristiwa, makna asosiasi dapatpula dihubungkan dengan tempat atau lokasi, dan makna asosiasi dapat pula dihubungkan

Pada tahap pertama, Hilmi menyampaikan, pihak Medco menargetkan untuk dapat membangun pembangkit listrik tenaga surya berkapasitas 20 megawatt (MW) dengan alokasi dana

Pada cara palpasi, saat tekanan manset melebihi tekanan sistole, aliran darah berhenti, denyut arteri radialis hilang?. Ketika tekanan manset diturunkan, mulai pada