• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Pekerja Rumahan Belaj (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perlindungan Hukum Pekerja Rumahan Belaj (1)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Perlindungan Hukum Pekerja Rumahan: Belajar dari Proses

Penyusunan Kabijakan di Daerah Istimewa Yogyakarta

Susilo Andi Darma

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Jl. Sosio Justisia No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta

+62274 512781 ext. 2205, anhdie@ugm.ac.id

Abstrak

Pekerja/Buruh rumahan juga merupakan warga negara yang berhak atas kehidupan dan penghidupan yang layak. Praktik kerja rumahan muncul karena globalisasi dan perkembangan industrialitasi. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, apakah dapat melindungi kepentingan pekerja/buruh rumahan? Walaupun istilah Pekerja/Buruh tidak membeda-bedakan pekerja/buruh itu sendiri. Berdasarkan kondisi tersebut, menarik untuk mengkaji bagaimana perlindungan hukum bagi pekerja/buruh rumahan. Penulisan ini dibuat dari proses penyusunan kebijakan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penulisan ini merupakan penelitian Normatif dengan menggunakan data sekunder sebagai sumber utama. Penelitian Normatif dilaksanakan untuk meneliti asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa Undang-Undang Ketenagakerjaan belum dapat memberikan perlindungan hukum kepada pekerja/buruh rumahan dan berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pemerintah daerah dapat menyusun kebijakan mengenai pekerja/buruh rumahan berdasarkan tugas penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan terutama dalam rangka menampung kondisi khusus daerah

Kata Kunci: Pekerja/buruh rumahan; Penyusunan; Perlindungan hukum.

PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pancasila merupakan Dasar Negara Republik Indonesia yang melandasi semua aspek dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai esensial yang terkandung di dalam Pancasila yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Berdasarkan esensi tersebut sudah seharusnya manusia sebagai mahluk Tuhan mendasarkan segala perbuatannya pada apa yang tercantum di dalam Pancasila. Manusia seharusnya merasa selalu diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa, semua tindak tanduknya harus berperi-kemanusiaan, mengedepankan Persatuan, mengedepankan kepentingan banyak orang (Rakyat) dan Keadilan.

(2)

Penjelasan umum Undang-Undang Ketenagakerjaan menyatakan pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Hak-hak dan perlindungan tersebut juga semestinya diberikan kepada Pekerja/Buruh Rumahan.

Globalisasi menyebabkan memunculkan berbagai macam sifat dari pekerjaan. Pekerjaan-pekerjaan yang telah ada sebagian sekarang dikerjakan di rumah. Praktik kerja rumahan belakangan ini semakin marak seiring dengan perkembangan industrialisasi di Indonesia. Praktik ini berlangsung dalam sistem yang dikenal dengan istilah putting out system. Pekerja melakukan kerja-kerja yang merupakan bagian dari keseluruhan proses produksi barang atau jasa. Akan tetapi, bedanya pekerja melakukan pekerjaan tersebut di rumahnya. Pekerjaan yang diperoleh biasanya melalui perantara ataupun dapat secara langsung dari Pemberi Kerja. Pekerja/Buruh yang melakukan Praktik sedemikian rupa dapat disebut sebagai Pekerja/Buruh Rumahan.1

Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terdapat Pekerja/Buruh Rumahan. Berdasarkan Hasil Survei yang dilakukan oleh salah satu LSM di Yogykarta di 2 (dua) kabupaten dan 1 (satu) kota, jumlah Pekerja/Buruh Rumahan sebanyak 1.243 (seribu dua ratus empat puluh tiga)2. Apabila berdasarkan sektor kegiatan/industri, hasil survei yang dilakukan oleh ILO di Yogyakarta, Pekerja/Buruh Rumahan terdapat di sektor pengolahan makanan, tekstil (pemintalan, tenun, pencelupan), pakaian jadi (menjahit baju), kulit, barang kulit dan alas kaki, pengolahan kayu, bambu dan rotan, furnitur, dan manufaktur lain.3

Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak secara spesifik mengatur mengenai pekerja rumahan. Selain itu, Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak pernah memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur mengenai ketenagakerjaan kecuali yang diamanatkan melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 12 Undang-Undang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa tenaga kerja merupakan urusan wajib pemerintah yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Selanjutnya Pasal 24 untuk melaksanakan urusan wajib pemerintahan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar, Kementerian atau Lembaga pemerintah non kementerian bersama Pemerintah Daerah melakukan pemetaan urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar dan urusan pemerintahan pilihan yang menjadi prioritas setiap daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Selain itu, pembentukan/penyusunan suatu peraturan perundang-undangan harus memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Konvensi ILO mengenai Kerja Rumahan No. 177 Tahun 1996 (Konvensi 177) salah satu aturan yang

1

APINDO DAN ILO Jakarta, 2013, Panduan Praktik yang Baik untuk Mempekerjakan Pekerja Rumahan bagi Pengusaha, ILO Jakarta, Jakarta.

2 Hasil Penelitian yang dilakukan oleh YASANTI, tahun 2017 di Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul,

dan Kota Yogyakarta.

3 Proyek ILO MAMPU, 2015, Akses ke lapangan kerja dan pekerjaan yang layak untuk perempuan,

(3)

mengatur mengenai Pekerja/Buruh Rumahan. Akan tetapi Konvensi 177 ini belum diratifikasi oleh Indonesia, sehingga tidak mengikat bagi Indonesia.

Berdasarkan kondisi tersebut, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berusaha untuk mengantisipasi permasalahan Praktik Pekerja/Buruh Rumahan dengan menyusun kebijakan mengenai Pekerja/Buruh Rumahan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah.4 Pertanyaan yang kemudian timbul adalah bagaimanakah perlindungan hukum bagi pekerja/buruh rumahan, belajar dari proses penyusunan kebijakan di Daerah Istimewa Yogyakarta.

METODE

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.5

Berdasarkan dari sudut tujuan penelitian hukum, penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian normatif dilaksanakan untuk meneliti asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum.6 Penelitian

ini meneliti mengenai sinkronisasi hukum dengan teori yang ada dan perbandingan hukum untuk memberikan gambaran nyata terhadap hubungan kausalitas antara subjek hukum dengan penjatuhan sanksi pidana terhadapnya di beberapa peraturan perundang-undangan.

Secara umum, di dalam penelitian biasanya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat yang disebut sebagai data primer dan bahan pustaka yang disebut sebagai data sekunder.7 Berdasarkan sifat dan tujuan penelitian, maka penelitian ini merupakan penelitian yang hanya menggunakan data sekunder sebagai sumbernya.

Data sekunder meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.8

ANALISA DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan konvensi ILO no 177 Tahun 1996 tentang Kerja Rumahan menyatakan bahwa “Kerja rumahan adalah pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang, yang kemudian

4

Ketentuan Pasal 14 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

5 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, Hlm.43 6 Ibid. hlm. 51.

7 Ibid.

(4)

disebut sebagai buruh rumahan, (i) di rumahnya atau tempat lain pilihannya, selain tempat kerja pemberi kerja; (ii) untuk mendapatkan upah; (iii) yang menghasilkan suatu produk atau jasa sebagaimana yang ditetapkan oleh pemberi kerja.

Definisi yang diberikan oleh ILO tersebut dapat ditarik pola hubungan antara pemberi kerja dan pekerja adalah sebatas pemberian pekerjaan dan upah kepada seorang pekerja yang kemudian dilaksanakan di luar perusahaan pemberi pekerjaan. Dengan demikian proses produksi barang atau jasa tersebut dilakukan tanpa adanya supervisi dan pengawasan dari pemberi kerja. Kriteria dan kualitas pekerjaan didasarkan atas kesepakatan pemberi kerja dan pekerja, sementara bagaimana dan dimana mengerjakannya terserah dari pekerja tersebut (biasanya di rumah masing-masing; oleh karena kenapa kemudian disebut pekerja/ buruh rumahan).

Pekerjaan rumahan muncul karena adanya tuntutan efisiensi dari sisi perusahaan, sementara disisi lain terdapatnya angkatan kerja (terutama wanita ibu rumah tangga) yang bisa flesibel bekerja di waktu luang. Dua situasi ini yang kemudian mendorong perkembangan munculnya angkatan pekerja rumahan. Demikian secara filosofis bahwa relasi pengusaha dengan pekerja rumahan merupakan simbiose mutualisme. Oleh karena mereka harus sama-sama menjaga prinsip itu sehingga tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. Oleh karenanya penting untuk menghindarkan satu pihak mengambil keuntungan dalam relasi tersebut, sementara pihak yang lainnya dirugikan (simbiose parasitisme).

Pada prinsipnya Undang-Undang Ketenagakerjaan memberikan perlindungan kepada semua pekerja/buruh yang ada. Pasal 1 angka 3, menyebutkan bahwa Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Memang Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak secara eksplisit menyebut istilah Pekerja/Buruh Rumahan, akan tetapi berdasarkan pengertian tersebut, Pekerja/Buruh Rumahan termasuk di dalam istilah Pekerja/Buruh yang dimaksud dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dengan demikian, sudah seharusnya Pekerja/Buruh rumahan juga memiliki hak-hak ketenagakerjaan dasar seperti: Perjanjian kerja, jam kerja, upah, usia minimum, keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan dan jaminan sosial, perlakuan setara dan non diskriminatif, kebebasan berorganisasi dan membuat kesepakatan kerja bersama, dan lain sebagainya. Jika publik saja tidak melihat keberadaan Pekerja/Buruh rumahan, maka hampir bisa dipastikan bahwa mayoritas hak-hak dasar mereka sebagai pekerja masih banyak terabaikan.

(5)

hukum. Pada hakekatnya kepentingan mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya.9

Berdasarkan pendapat Sudikno, terdapat kepentingan dari kelompok Pekerja/buruh Rumahan untuk dipenuhinya kepentingannya sehingga perlu untuk diakui. Kembali kepada pertanyaan di awal, untuk dapat mengetahui apakah Undang-Undang Ketenagakerjaan cukup untuk memberikan perlindungan. Hasil penelitian yang dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta, pola hubungan pekerja/buruh rumahan dengan pemberi kerja10 (pengusaha11 dan perantara12) dapat terdiri dari beberapa bentuk, pola pertama yaitu pengusaha dengan pekerja/buruh rumahan dan pola kedua yaitu pengusaha, perantara, dengan pemberi kerja. Dari pola kedua, perantara bisa terdiri dari satu perantara tetapi bisa lebih dari beberapa perantara. Apabila mendasarkan pada pengertian hubungan kerja, hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.13 Berdasarkan pengertian tersebut, pola yang terjadi di antara pengusaha dengan pekerja/buruh rumahan atau pun pola antara pengusaha, perantara, dengan pekerja/buruh rumahan tetap didasarkan pada suatu perjanjian, baik perjanjian tertulis maupun perjanjian lisan. Dari hasil penelitian juga menunjukkan, perjanjian yang terjadi antara pemberi kerja dengan pekerja/buruh rumahan sebagian besar merupakan perjanjian berbentuk lisan. Apabila berdasarkan Undang-undang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis maupun tidak tertulis serta perjanjian kerja yang disyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.14 Terutama perjanjian yang

disyaratkan secara tertulis yaitu perjanjian kerja waktu tertentu.15 Perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 ayat (1). Dengan demikian pekerjaan yang menjadi objek dari perjanjian antara pemberi kerja dengan pekerja/buruh rumahan tidak dapat diperjanjikan secara lisan. Hal ini kontra prestasi dengan hasil penelitian yang ada, sehingga harus dibuat aturan baru mengenai bentuk dari perjanjian kerja rumahan.

Selanjutnya membicarakan mengenai jam kerja, upah, dan keselamatan dan kesehatan kerja. Mengenai jam kerja berdasarkan hasil penelitian pekerja/buruh rumahan bekerja tidak berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (7 jam sehari untuk 6 hari kerja atau 8 jam sehari untuk 5 hari kerja). Pekerja/buruh rumahan menganggap pekerjaan rumahan merupakan pekerjaan sampingan. Jam kerja pekerja/buruh rumahan juga tidak tentu, pekerja/buruh rumahan dapat bekerja kapan pun selama yang bersangkutan dapat menyelesaikan pekerjaannya sesuai waktu yang telah ditentukan, sehingga sangat fleksibel. Sebagai contoh, pekerja/buruh rumahan yang bekerja pada bagian mengemas barang, dapat

9

Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, Hlm. 41-43.

10 Periksa Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 11 Periksa Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

12 Berdasarkan hasil penelitian, perantara dapat orang-perseorangan atau persekutuan sehingga

dapat pula dikualifikasi sebagai pengusaha sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 5.

13 Periksa Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 14 Periksa Pasal 51 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

(6)

dalam satu hari bekerja selama lebih dari 12 jam. APINDO dan ILO telah membuat buku panduan bagi pengusaha yang akan mempekerjakan pekerja/buruh rumahan. Berdasarkan buku panduan tersebut, waktu kerja yang direkomendasikan yaitu ekuivalen dengan 40 jam per minggu, dan apabila melebihi waktu kerja (lembur) maka tidak boleh lebih dari 14 jam per minggu. Sehingga dalam seminggu beban kerja maksimal seorang pekerja rumahan adalah setara dengan 54 jam kerja (termasuk lembur).16 Rekomendasi yang disampaikan oleh APINDO dan ILO dapat menimbulkan permasalahan baru. Permasalahan pertama yaitu terkait lamanya waktu kerja karena terkesan tidak terdapat batasan bekerja dalam satu hari kemudian permasalahan selanjutnya yaitu apabila melewati batas waktu kerja (lembur), belum terdapat mekanisme atau tata cara perhitungan upah lembur. Dengan demikian masih perlu dipertimbangkan mengenai jam kerja yang proporsional dan sesuai dengan karakteristik pekerjaan rumahan.

Upah merupakan isu yang sensitif untuk diperbincangkan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Kuloprogo, sebagian besar pekerja/buruh rumahan diupah di bawah ketentuan upah minimum. Berdasarkan Pasal 91 ayat (1) Undang-undang Ketengakerjaan, pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan. Studi dari Iriyani dan Wiyanto17 menemukan fakta bahwa pekerja rumahan sebagai salah satu wujud pemberdayaan SDM yang dianggap efisien bagi perusahaan kecil seperti UMKM, tapi itu kurang manusiawi kepada pekerja atau buruh sendiri karena sistem ini jauh dari layak untuk kesejahteraan para pekerja ini. Sistem yang dianggap ekonomis untuk pengusaha adalah pengusaha tidak perlu mengeluarkan uang untuk agama tunjangan hari raya (THR), Jamsostek, gaji tetap, tunjangan kesehatan, dan tunjangan lain seperti yang harus diberikan kepada karyawan resmi. Penulis ingin menggarisbawahi sistem yang dianggap ekonomis, dengan adanya pekerja/buruh rumahan pengusaha setidaknya diuntungkan dari kesempatan membayar upah di bawah ketentuan dan keuntungan lain sebagaimana disebutkan dari studi tersebut. Dengan demikian perlu dipikirkan formulasi upah yang tepat bagi pekerja/buruh rumahan.

Sebagaimana telah disebutkan dalam pengertian kerja rumahan yang diberikan oleh ILO, salah satu ciri kerja rumahan adalah pekerjaan dikerjakan tidak di perusahaan melainkan di rumah dari pekerja atau tempat lain selain tempat yang disediakan oleh pengusaha. Berkaitan dengan hal tersebut, ada kewajiban dari pemberi kerja yang secara a contrario dapat ditemukan pada Pasal 86 ayat (1) huruf a Undang-undang Ketenagakerjaan. Pasal tersebut menyebutkan setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan: a.

16 Apindo & ILO, 2013, Panduan Praktik yang baik untuk mempekerjakan Pekerja Rumahan bagi

Pengusaha, e-book,

http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_234307.pdf, Hlm. 7, diakses 7 September 2017

17 Iriani, N.I. & Wiyanto, H.S.L. (2016). Pemberdayaan Kelompok Pekerja: Rumahan Melalui Pembinaan

(7)

keselamatan dan kesehatan kerja. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, kebanyakan pekerja/buruh rumahan mengerjakan pekerjaannya tanpa menggunakan alat perlindungan diri, bekerja seadanya sesuai dengan kebiasaan yang ada. Kondisi ini muncul karena kekurang pahaman pekerja/buruh rumahan terhadap arti pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja. Diperparah lagi dari kurangnya kepedulian pengusaha menjadikan persoalan ini belum dianggap penting. Terkait hal tersebut, Pemerintah DIY dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja berusaha memfasilitasi dengan pemberian pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja. Kondisi seperti ini, pemerintah daerah harus mengambil kebijakan untuk dapat mengatasi permasalahan. Sebagaimana diketahui, bahwa pemerintah sebagai penyeimbang kedudukan antara pekerja/buruh dengan pengusaha sudah seharusnya memberikan perlindungan hukum bagi para pihak khususnya bagi pekerja/buruh. Dengan demikian, kebijakan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja yang seharusnya menjadi kewajiban dari pemberi kerja dilaksanakan oleh pemerintah.

Begitu pula untuk permasalahan tidak diberikannya jaminan sosial terhadap pekerja/buruh rumahan pemberi kerja. Permasalahan jaminan sosial timbul karena ada belum adanya keseragaman program yang diikuti dan masih banyaknya masyarakat yang belum menjadi peserta dari jaminan sosial yang ada. Belum adanya keseragaman dikarenakan masih terdapat program jaminan sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah yang sifatnya cuma-cuma.18 Kepesertaan dari jaminan sosial yang ada, dalam hal ini BPJS Kesehatan, menunjukkan sudah sebagian besar masyarakat DIY menjadi peserta BPJS Kesehatan.19 Permasalahan mengenai kepesertaan BPJS ini juga bermuara pada hubungan kerja yang terjalin di antara para pihak cenderung sementara, sehingga hal ini dapat menjadi kerugian bagi pemberi kerja. Selain itu, apa bila pekerja/buruh rumahan tidak bekerja lagi maka siapa yang berkewajiban meneruskan iuran kepesertaan. Berdasarkan hasil penelitian, pekerja/buruh rumahan berasal dari masyarakat yang kualifikasikan pada peserta penerima bantuan iuran.

Berdasarkan beberapa hal yang menjadi objek perlindungan di atas, dapat dirumuskan bahwa, Undang-Undang Ketenagakerjaan belum melindungi pekerja/buruh rumahan. Dengan demikian Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat mengaturnya dalam suatu peraturan daerah (Pergub atau Perda).

Pembentukan suatu peraturan perundangan-undangan tidaklah tanpa menggunakan suatu pedoman. Apabila menilik pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, oleh sebab itu semua produk hukum yang merupakan dasar dari pelaksanaan suatu kewenangan pemerintah haruslah berdasarkan hukum. Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan pedoman dalam membuat suatu produk hukum.

18 Masih ada Balai Penyelenggara Jaminan Kesehatan Sosial yang dibentuk berdasarkan Peraturan

Gubernur No. 97 Tahun 2015 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi, Uraian Tugas dan Fungsi serta Tata Kerja Unit Pelaksanan Teknis pada Dinas Kesehatan.

19 Star Jogja, 24 Agustus 2017, Belum Semua Warfa di Daerah Istimewa Yogyakarta jadi Peserta BPJS

Kesehatan,

(8)

Hal demikian serupa dengan penjelasan umum dari Undang-Undang Pembentukan Peraturan undangan. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan didasarkan pada pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus dilakukan beradasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.20 Penjelasan Pasal 5 tersebut, Asas kejelasan tujuan yaitu bahwa setiap

pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Asas kelembagaan atau pejabat yang tepat adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Asas kesesuain antara jenis, hierarki, dan materi

muatan adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar

memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai jenis dan hierarki peraturan undangan. Asas dapat dilaksanakan adalah setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perperundang-undangan-perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Asas kedayagunaan dan

kehasilgunaan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena benar-benar

dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta Bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Dan asas keterbukaan adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat

transparan dan terbuka.

Berdasarkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, penyusunan kebijakan terkait pekerja rumahan/buruh rumahan memiliki kejelasan tujuan yaitu sebagai solusi atas permasalahan di bidang ketenagakerjaan terutama yang menimpa pekerja rumahan/buruh rumahan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini dilakukan untuk

20 Ketentuan Pasal 5 Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

(9)

mengupayakan perlindungan serta peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh rumahan.21 Asas selanjutnya mengenai bahwa peraturan yang disusun harus dibuat oleh lembaga negara

atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang.

Undang-undang Ketenagakerjaan tidak memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah provinsi untuk menjabarkan lebih lanjut mengenai materi yang diaturnya. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa berdasarkan Pasal 12, tenaga kerja merupakah urusan wajib pemerintah yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Akan tetapi, berdasarkan Pasal 24 Undang-undang Pemerintahan Daerah, dalam melaksanakan urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar Kementerian atau Lembaga pemerintah nonkementerian bersama, Pemerintah Daerah melakukan pemetaan urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar dan urusan pemerintahan pilihan yang menjadi prioritas setiap daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Berdasarkan Undang-undang Pemerintahan Daerah tersebut, maka Pemerintah daerah terkait Urusan Wajib Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar hanya menunggu/pasif dari kementerian atau lembaga pemerintah non kementerian melakukan pemetaan.

Undang-undang No. 23 Tahun 1948 Jo. UU No. 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan memberikan kewenangan bagi pengawas ketenagakerjaan untuk mengawasi berlakunya Undang-Undang dan peraturan perburuhan pada khususnya, mengumpulkan

bahan-bahan keterangan tentang soal-soal hubungan kerja dan keadaan perburuhan dalam arti yang seluas-luasnya guna membuat undang-undang dan peraturan-peraturan perburuhan lainnya; dan menjalankan pekerjaan lainnya sesuai dengan peraturan-peraturan

perundang-undangan. Tetapi mengenai kewenangan kedua belum ada peraturan pelaksana yang jelas yang mengatur bagaimana kewenagan tersebut dilaksanakan. Dengan demikian, Pemerintah Provinsi Daerah DI Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah mempunyai kewenangan untuk mengurusi masalah tenaga kerja selama urusan tersebut menjadi prioritas Provinsi DI Yogyakarta.

Asas Kesesuaian Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan. Berdasarkan asas tersebut,

Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak pernah mengatur mengenai jenis peraturan perundangan seperti apa yang dapat mengatur lebih lanjut mengenai ketentuan-ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Berdasarkan materi muatan, materi muatan suatu peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten atau kota berisi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus

daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.22

Kebijakan mengenai Pekerja/Buruh Rumahan ini dapat diatur dengan Peraturan Gubernur karena Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat mengganggap ini adalah kewenangan Pemerintah untuk mengatur daerahnya. Dengan demikian, karena adanya potensi

21 Sekretariat Daerah, Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat dan Kemasyarakatan, 2017, Kerangka

Acuan Kerja: Program Penyusunan Kebijakan Pembangunan, Hlm. 1.

(10)

permasalahan mengenai Pekerja/Buruh Rumahan maka Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta dapat menyusun Kebijakan mengenai Pekerja/Buruh Rumahan.

Asas dapat dilaksanakan, bahwa suatu peraturan perundang-undangan harus

memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di masyarakat. Setelah mengadakan beberapa kali Focus of Discussion, salah satu hal yang menjadi perhatian dalam penyusunan peraturan perundang-undangan adalah kesiapan pemerintah dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut, terutama kesiapan lembaga dan masyarakat yang akan menjadi sasaran dari pelaksanaan peraturan perundang-undangan tersebut. Sebagaimana disampaikan, bahwa isu mengenai Pekerja/Buruh Rumah belum banyak tersentuh oleh pengambil kebijakan. Hal ini dapat dilihat dari ketiadaan data statistik resmi, kurangnya informasi tentang kondisi Pekerja/Buruh Rumahan, serta belum adanya kesamaan kesepakatan bersama diantara pengambil kebijakan tentang status buruh rumahan yang sering kali rancu dengan pekerja mandiri, pekerja rumah tangga atau bahkan orang yang melakukan kegiatan untuk mengisi waktu.23

Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan, bahwa peraturan perundang-undangan

dibuat karena benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat. Pada prinsipnya penyusunan kebijakan Pekerja/buruh Rumahan memang sangat dibutuhkan karena selama ini hak-hak Pekerja/Buruh Rumahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan belum sepenuhnya dipenuhi.24 Dengan tersusunnya kebijakan tersebut maka kebijakan tersebut dapat bermanfaat bagi Pekerja/Buruh Rumahan. Dengan demikian, Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan dari kebijakan tersebut terpenuhi.

Asas Kejelasan Rumusan, kebijakan Pekerja/Buruh Rumahan disusun dengan

memperhatikan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta Bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Beberapa Peraturan Perundang-undangan yang menjadi acuan utama antara lain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Asas Keterbukaan, selama ini pembahasan mengenai Pekerja/Buruh Rumahan belum

dibahas secara komprehensif yang melibatkan semua stakeholder yang akan terkena dampak dari kebijakan ini. Selain itu, diperlukan perencanaan dan kajian yang lebih mendalam mengenai permasalahan Pekerja/Buruh Rumahan. Selama ini belum ada kajian yang secara menyeluruh yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya apabila kebijakan ini telah didukung dengan kajian yang komprehensif maka perlu diperhatikan proses pengesahan atau penetapan, pengundangan harus transparan dan terbuka.

(11)

Berdasarkan analisis peraturan perundang-undangan yang dikemukakan, maka Undang-undang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa kebijakan tenaga kerja sebagai urusan wajib pemerintah yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar belum dapat dilaksanakan karena Pemerintah Daerah hanya pasif menunggu pemetaan dari kementerian atau lembaga pemerintahan non kementerian. Selain itu, tidak ada pendelegasian atau pemandatan kepada pemerintah daerah terkait penyusunan peraturan perundangan di bawah undang-undang berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Pengawasan Perburuhan, memberikan wewenang kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan untuk mengumpulkan bahan-bahan keterangan tentang soal-soal hubungan kerja dan keadaan perburuhan dalam arti yang seluas-luasnya guna membuat undang-undang dan peraturan-peraturan perburuhan lainnya, akan tetapi belum ada pengaturan lebih lanjut terkait wewenang tersebut. Berdasarkan Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik maka penyusunan Kebijakan Pekerja Rumahan belum dapat dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh tidak terpenuhinya Asas Dapat Dilaksanakan dan Asas Keterbukaan. Akan tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah, dapat menyusun Kebijakan Daerah mengenai Pekerja/Buruh Rumahan dalam bentuk Peraturan Gubernur karena Pemerintah Daerah dapat mengganggap hal ini merupakan kewenangan daerah untuk mengatur daerahnya.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis bahwa Undang-Undang Ketengakerjaan belum dapat memberikan perlindungan kepada Pekerja/buruh rumahan dan berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undang-Undangan, Pemerintah daerah dapat menyusun kebijakan mengenai pekerja/buruh rumahan berdasarkan tugas penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan terutama dalam rangka menampung kondisi khusus daerah. Penyusunan kebijakan harus melibatkan sebanyak mungkin pihak yang akan terkena dampak dari kebijakan tersebut dan dalam proses penyusunannya, pemerintah harus memperhatikan syarat formil dan syarat materil pembentukan suatu peraturan perundang-undangan serta memperhitungkan dampak sosial yang mungkin timbul dari kebijakan tersebut.

Acknowledgment

(12)

Daftar Pustaka

APINDO DAN ILO Jakarta, 2013, Panduan Praktik yang Baik untuk Mempekerjakan Pekerja Rumahan bagi Pengusaha, ILO Jakarta, Jakarta;

Iriani, N.I. & Wiyanto, H.S.L. (2016). Pemberdayaan Kelompok Pekerja: Rumahan Melalui Pembinaan Kewirausahaan dalam Upaya Mengentaskan Kemiskinan. JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 5 Nomor 3;

Proyek ILO MAMPU, 2015, Akses ke lapangan kerja dan pekerjaan yang layak untuk perempuan, ILO Jakarta, Jakarta;

Sekretariat Daerah Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat dan Kemasyarakatan, 2017, Kerangka Acuan Kerja: Program Penyusunan Kebijakan Pembangunan, Sekretaris Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta;

Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta; Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta;

Apindo & ILO, 2013, Panduan Praktik yang baik untuk mempekerjakan Pekerja Rumahan bagi Pengusaha, e-book, http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_234307.pdf, diakses 7 September 2017;

Star Jogja, 24 Agustus 2017, Belum Semua Warga di Daerah Istimewa Yogyakarta jadi Peserta BPJS Kesehatan, http://www.starjogja.com/2017/08/24/belum-semua-warga-di-daerah-istimewa-yogyakarta-jadi-peserta-bpjs-kesehatan/, diakses 7 September 2017;

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Undang-undang No. 23 Tahun 1948 Jo. UU No. 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan (Lembaran Negara RI Tahun 1951 No. 4)

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara RI Tahun 2003 No. 39, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4279);

Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara RI Tahun 2011 No. 82, Tambahan Lembaran Negara RI No. 5234); Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah cabang merupakan karakter yang sangat mempengaruhi produksi kedelai.Semakin banyak jumlah cabang diketahui semakin tinggi pula produksi.Pada penelitian ini

Untuk mengetahui kualitas media pembelajaran berbasis android dengan Program Adobe Flash CS5.5 untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa SMP Kelas VIII pada

Pengambilan sampel air dilakukan dengan cara mengambil 1,5 liter air dan dimasukan ke dalam botol kaca steril, adapun pengambilan sampel air minum isi ulang sumber air pasca

Begitu juga dengan sifat-sifat yang telah disepakati atau kesesuaian produk untuk aplikasi tertentu tidak dapat disimpulkan dari data yang ada dalam Lembaran Data Keselamatan

Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa, kualitas madu dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah berdasarkan

Suatu kondisi emosional karyawan dengan adanya kesesuaian atau ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan, apabila harapan yang ada pada individu dapat terjadi

BLMSK adalah ritual penggantian kain kelambu/kain mori (luwur) yang digunakan untuk membungkus nisan, cungkup, makam, serta bangunan di sekitar makam Sunan Kudus. Puncak

Dengan merepresentasikan data visual yang digambarkan pada materi kebaharian tersebut terdapat bentuk-bentuk yang ditampilkan yaitu bahwa dalam data visual sebagai data