• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketidakjelasan keududukan TAP MPR oleh p

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ketidakjelasan keududukan TAP MPR oleh p"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Makalah Hukum Tata Negara III

Eksistensi TAP MPR Pasca Berlakunya UU No. 12 Tahun 2011

Disusun Oleh : Fikra Abdul Razaq F (1133.006.021)

Fakultas Hukum

(2)

Daftar Isi

Daftar Isi

. . . ii

Bab 1 : Pendahuluan

A. Latar Belakang

. . . 1

B.

Pokok Masalah

. . . 4

Bab II : Pembahasan

. . . 5

Bab III : Penutup

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sekitar 7 tahun yang lalu pembentuk Undang-undang (DPR dan Pemerintah) mengeluarkan atau tidak memasukan Tap MPR sebagai salah satu jenis dan Hierarkie Peraturan Perundang – undangan di Indonesia dan hal itu sebagai mana tertuang dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011. Dikeluarkannya atau tidak memasukan Tap MPR sebagai salah satu jenis dan Hierarkie Peraturan Perundang – undangan tersebut tidak banyak diperdebatkan meskipun sangat esensial bagi tertip dan kehidupan hukum di Indonesia.

Soal tata susunan ( Hierarkies ) norma hukum sangat berpengaruh pada kehidupan hukum suatu negara. Susunan norma hukum dari negara manapun juga termasuk Indonesia selalu berlapis–lapis atau berjenjang. Sejak Indonesia merdeka dan ditetapkannya UUD 1945 sebagai Konstitusi, maka sekaligus terbentuk pula sistem norma hukum negara Indonesia.

Dalam kaitannya dengan sistem norma hukum di Indonesia itu, maka Tap MPR merupakan salah satu norma hukum yang secara hierarkis kedudukannya dibawah UUD 1945. Meskipun secara Hierarkis Tap MPR kedudukannya dibawah UUD 1945, namun Tap MPR selain masih bersifat umum secara garis besar dan belum diletakan oleh sanksi pidana maupun sanksi pemaksa. Kemudian baik UUD maupun Tap MPR dibuat atau ditetapkan oleh lembaga yang sama, yakni MPR. Dalam hubungan ini keberadaan Tap MPR setingkat lebih rendah dari UUD 1945 pada dasarnya bisa dipahami dengan mengedepankan fungsi – fungsi yang dimiliki MPR.

Dalam konteksnya dengan sistem norma hukum di indonesia tersebut, berdasarkan Tap MPRS No.XX/MPRS/1966 dalam lampiran II-nya tentang tata urutan Peraturan Perundang – undangan Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebagai berikut :

(4)

Demikian pula halnya setelah reformasi dan setelah UUD 1945, Tap MPR tetap ditempatkan sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang – undangan yang kedudukannya dibawah UUD 1945, walaupun ada perubahan atas jenis Peraturan Perundang – undangan. Hal ini sebagai mana ditungangkan dalam Tap MPR Nomor III/MPR/2000 yang menyebutkan tata urutan peraturan perundang – undangan sebagai berikut :

1. UUD 1945

Dari kedua Tap MPR tersebut terlihat, bahwa jenis dan tata urutan Peraturan Perundang – undangan Tap MPR tetap dipandang sebagai suatu Peraturan Perundang – undangan yang penting. Tetapi entah kenapa, keberadaan Tap MPR “dihilangkan” atau dikeluarkan dari jenis dan tata urutan Peraturan Perundang – undangan di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004. Dalam hubungan ini, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 menyebutkan tata urutan Peraturan Perudang – undangan sebagai berikut :

1. UUD 1945 2. UU/Perppu 3. PP

4. Perpres 5. Perda

(5)

satu dasar dari pembentukan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004. Tetapi anehnya dalam penjelasan disebutkan bahwa pembentukan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 itu guna memenuhi perintah ketentuan Pasal 6 Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang sumber hukum tertip hukum.

Disisi lain,apa yang terjadi pada pembentukan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yang mengeluarkan Tap MPR dari tata urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai mana telah ditetapkan dalam Tap MPR Nomor III/MPR/2000 jelas memperlihatkan ketidak konsistenan pembentukan Undang-undang dalam membentuk suatu Undang-undang dengan memperhatikan ketentuan yang sudah ada, apalagi berupa suatu Peraturan Perundang – undangan yang lebih tinggi kedudukannya dari Undang-undang.

Kekeliruan mengeluarkan Tap MPR dari jenis dan tata urutan Peraturan Perundang – undangan sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 itu akhirnya disadari pembentuk Undang-undang. Hal itu ditandai dengan di undangkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 yang diundangkan tanggal 12 Agustus 2011 lalu yang memasukkannya kembali Tap MPR sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang – undangan. Meskipun Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 dalam pertimbangannya menyebutkan dalam konsederan adanya kekurangan pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, namun sebenarnya lebih tepat kalau disebut adanya kekeliruan dalam menyusun dan membentuk Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, khususnya berkaitan dengan dikeluarkannya Tap MPR sebagai salah satu jenis dan dari susunan Peraturan Perundang – undangan. Dalam hubungan ini Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 menyebutkan tata urutan Peraturan Perundang – undangan sebagai berikut :

(6)

kekuatan hukumnya lebih kuat dari Undang-undang. Tetapi disisi lain, dengan dipecahnya kedudukan Peraturan daerah yang tadinya dalam Tap MPR Nomor III/MPR/2000 hanya disebut Perda saja tanpa membedakan Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota. Dengan dipecahnya Perda menjadi Perda Provinsi dan dibawahnya Perda Kabupaten/ Kota, maka tentu keberadaan Perda Kabupaten/ Kota lebih rendah kedudukannya dari Perda Provinsi dan sekaligus mengandung makna Perda Kabupaten/ Kota tidak boleh bertentangan dengan Perda Provinsi. Sebelumnya dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 dan sejalan dengan tp MPR Nomor III/MPR/2000 kedudukan Perda Provinsi maupun Perda Kabupaten/ Kota berada dalam satu kotak dan tidak Hierarkis, maka secara tidak langsung terkait dengan persoalan regulasi dalam implementasi otonomi daerah. Persoalan ini tentu menjadi masalah sendiri dan akan kita bahas dalam kesempatan lain.

Kembali ke soal 1 Tap MPR yang sudah dimasukan kembali kedalam tata urutan Peraturan Perundang – undangan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011. Suatu hal yang baru dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah adanya Peraturan lain selain dari jenis dan Hierarkie Peraturan Perundang – undangan yang sudah disebutkan. Peraturan lain tersebut yakni mencakup Peraturan yang ditetapkan MPR, DPR, MA, MK, BPK, KY, BI, Menteri, Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UU, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kota, Bupati/ Walikota, Kepala Desa, atau Setingkat. Kedudukan dan kekuatan hukum dari peraturan yang dibentukan lembaga – lembaga/ instansi tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang – undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

(7)

dan Hierarkienya diletakkan dibawah UUD 1945. Dan hal ini sebenarnya bukan materi baru, melainkan adanya kelalaian dan kealfaan dalam membentuk dan menyusun Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004. Sebab sudah terang adanya dalam Tap MPR Nomor III/MPR/2000 sudah ditetapkan Tap MPR sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang – undangan yang kedudukannya setingkat dibawah UUD 1945. Jadi dimasukannya kembali Tap MPR sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang – undangan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 sesungguhnya bukanlah penambahan materi baru, melainkan memperbaiki kesalahan pembentuk Undang-undang dalam menyusun dan membentuk Undang-undang sebelumnya yang digantikan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011.

Dalam ketentuan umum Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011:

Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan merupakan pelaksanaan dari perintah Pasal 22A Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan Undang – Undang diatur lebih lanjut dengan Undang – Undang.” Namun, ruang lingkup materi muatan Undang – Undang ini diperluas tidak saja Undang – Undang tetapi mencakup pula Peraturan Perundang – undangan lainnya, selain Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Undang – undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan didasarkan pada pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang ini merupakan penyempurnaan terhadap kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yaitu antara lain:

a. Materi dari Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum;

b. Teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten;

(8)

d. Penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan sistematika.

Sebagai penyempurnaan terhadap Undang – Undang sebelumnya, terdapat materi muatan baru yang ditambahkan dalam Undang – Undang ini, yaitu antara lain:

a. Penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang – undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah Undang–undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Perluasan cakupan perencanaan Peraturan Perundang – undangan yang tidak hanya untuk Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Perundang–undangan lainnya;

c. Pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang–undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–undang;

d. Pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan Undang–undang atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota;

e. Pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang – undangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan Peraturan Perundang–undangan; dan

f. Penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I Undang–undang ini.

Selain dari kalangan pembentuk Undang-undang ada juga yang berpendapat tentang Kedudukan Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan memang mengundang kritik dari akademisi. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Jimly

Asshiddiqie menyatakan sebenarnya penempatan Tap MPR di atas Undang-undang adalah

keliru. Menurutnya, Tap MPR seharusnya sederajat dengan Undang-undang sehingga bisa dibatalkan jika bertentangan dengan konstitusi melalui pengujian ke MK.

Pendapat senada juga dikemukakan Pengajar Ilmu Peraturan Perundang-undangan

Universitas Indonesia Sonny Maulana Sikumbang menilai masuknya Tap MPR ke dalam

hierarki merupakan langkah mundur. Karena, menurut Sonny, dahulu Tap MPR sudah dikeluarkan dari hierarki peraturan perundang – undangan.

Mengenai kedudukan Tap MPR Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran

Prof. Sri Soemantri pernah berpendapat bahwa setelah amandemen UUD 1945 terjadi

(9)

negara tertinggi dan tidak akan ada lagi bentuk hukum yang rakyat, maka Presiden bukan lagi sebagai mandataris MPR sehingga untuk selanjutnya tidak boleh ada lagi Tap yang memberikan mandat ke presiden. MPR, menurutnya, tidak berwenang membuat ketetapan yang bersifat mengatur, tapi sebatas ketetapan MPR yang bersifat beshicking.

Maka berdasarkan uraian dan penjelasan diatas tersebut, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang lebih mendalam mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang secara khusus membahas tentang kedudukan Tap MPR dalam Hierari Perundang – undangan dan eksistensi kembalinya Tap MPR dalam Undang-undnang Nomor 12 Tahun 2011.

B. POKOK PERMASALAHAN

1. Masih perlukah Tap MPR masuk dalam hierarki peraturan perundang – undangan yang telah dibentuk, dan dimana letak Tap MPR dalam Hirearki ?

2. Siapakah yang dapat menguji Tap MPR ini jika bertentangan dengan UUD 1945 ?

Kerangka teoretis :

Definisi pokok yang disampaikan dalam pembahasan topik ini, tidak disampaikan seluruhnya. Akan tetapi, dirumuskan esensi terpenting yang ada dalam pembahasan sebagaimana berikut ni.

1. Hukum ( menurut J.T.C Simorangir S.H ) adalah peraturan – peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan – peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukum.

2. Hukum Tata Negara ( menurut A.V. Dicey ) adalah semua aturan yang secara langsung atau tak langsung mempengaruhi pembagian dan penyelenggaraan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.

(10)

umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang – undangan.

4. Asas keadilan ( menurut Aristoteles ) adalah ada 2 jenis asas keadilan. Asas keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada tiap–tiap orang menurut hak dan kewajibannya, sedangkan Keadilan commutatif adalah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat kewajiban perseorangan.

Kerangka Konseptual :

Undang-Undang Dasar 1945

Dalam aturan tambahan menyebutkan : Pasal I

Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sementara dan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang majelis permusyawaratan rakyat tahun 2003.

Pasal 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Pembentukan Peraturan Perundang – undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang – undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.

2. Peraturan Perundang – undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh negara atau pejabat yang berwenang melalui lembaga prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang – undangan.

(11)

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang adalah Peraturan Perundang – undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.

5. Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang–undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang–Undang sebagaimana mestinya.

6. Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang–undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang–undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

7. Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang–undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.

8. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota dengan persetujuan bersama Bupati/ Walikota.

9. Tap MPR ( penjelasan pasal 7 (1) huruf b UU No.12 Tahun 2011 ) adalah yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.

Kesimpulan 1

(12)

yang berdasarkan kesejahteraan rakyat dan TAP MPR soal pendidikan. Sekarang problemnya ketika ada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yang mengeluarkan TAP MPR dari hirarkis perundang-undangan kita, sehingga TAP MPR tidak dilihat lagi. Tapi patut kita syukuri bahwa tahun 2011 lalu ada dikoreksi dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, ternyata bangsa ini masih membutuhkan TAP-TAP tersebut, kita masih membutuhan semangat reformasi melalui TAP MPR, karena banyak elemen masyarakat yang menilai bahwa reformasi kita ini salah kaprah, kebablasan .

b. Letak keberadaan Tap MPR menurut pandapat kelompok kami sudah seharusnya setingkat lebih rendah di bawah UUD 1945 dan setingkat lebih tinggi dari Undang-undang. Karena dalam sejarah TAP MPR sendiri, ada TAP MPR yang lahir berdasarkan pesan-pesan public, , misalnya tidak ada lagi KKN, harus membangun ekonomi yang berdasarkan kesejahteraan rakyat dan TAP MPR soal pendidikan.

Kesimpulan 2

(13)

tahun 2003. Oleh karena itu, mandat pasal I aturan tambahan tersebut akan otomatis menjadi dasar hukum bagi TAP MPR yang masih dinyatakan berlaku berdasarkan TAP MPR Nomor I/MPR/2003. Jadi dasar pemberlakuan TAP MPR yang dinilai masih berlaku adalah TAP MPR itu sendiri, bukan peraturan perundang-undangan yang kedudukannya di bawah TAP MPR. Kedua, bila alasan dimasukannya TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah karena masih banyaknya TAP MPR yang berlaku,lalu dengan memasukannya ke dalam hierarki akan mengesahkan keberadaanya pada tingkat hierarki di bawah UUD dan di atas undang-undang, maka pemahaman yang muncul adalah undang-undang-lah yang mejadi dasar hukum keberadaan TAP MPR yang masih eksis, Undang-Undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum keberadaan TAP MPR. Secara hukum tentunya hal ini tidak logis. Bagaimana mungkin produk hukum yang lebih rendah menjadi dasar hukum pemberlakuan produk hukum yang hierarkinya lebih tinggi ? bukankan secara teori, hukum yang lebih tinggi yang semestinya menjadi landasan atau sumber bagi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.

Sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12/2011 Tap MPR dimasukkan kembali kedalam hierarki peraturan perundang-undangan. Tap MPR yang ada pada saat ini menurut pasal 2 Tap MPR 2003 ada terdapat beberapa Tap MPR yang masih berlaku dari jumlah Tap MPR yang berkisar antara 139 Tap. Dan Tap MPR yang masih berlaku tersebut adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/I966 tentang Pembubaran Partai Kornunis Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, dan Ketetapan Majelis Permusyawararan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/1999tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur. Sifat dari ketiga Tap MPR tersebut bersifat besichking (pengaturannya internal).2)

(14)

perundangan.Tap MPR menurut Prof. Dr Harun Al-Rasyid mempunyai dua fungsi yakni fungsi regelling dan besichking. Namun mengingat dari konstitusi kita yang telah merubah MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara maka tidak dimungkinkannya lagi suatu Tap MPR yang mempunyai sifat regelling, sehingga Tap MPR yang berlaku untuk sekarang ini adalah bersifat besichking saja

Saran

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku :

Sorjono Soekanto,2008.Pengantar Penelitian Hukum.Jakarta:UI PRESS. Van Apeldoorn,2009.Pengantar Ilmu Hukum.Jakarta:PT.Pradnya Paramita.

Sumber Hukum :

UUD 1945

Risalah UU No.12 Tahun 2011.

UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ( pengganti UU No.10 Tahun 2004 ).

UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Sumber Kamus :

J.C.T Simorangkir,S.H.1971.Kamus Hukum.Jakarta:Aksara Baru.

Sumber Internet :

Hukum Online.com

file:///F:/tap-mpr-kembali-masuk-dalam-tata-urutan.html

(16)

Referensi

Dokumen terkait

Pada setiap proses perkembangan kreativitas dan kemampuan berpikir anak akan berhasil ketika seorang pemibimbing dapat mengarahkan dan memberikan motivasi bagi anak untuk

Penyelenggaraan Liga Pendidikan Indonesia Tk... Fasilitasi

Penggantian nama tidak diwajibkan, akan tetapi selama tahun-tahun pertama dari masa Orde Baru, sebagian besar dari orang Indonesia keturunan Tionghoa mengganti nama mereka, karena

Watts (2003) juga menyatakan hal yang sama bahwa konservatisme merupakan salah satu karakteristik yang sangat penting dalam mengurangi biaya keagenan dan meningkatkan kualitas

Penelitian ini juga tidak mendukung Jonubi and Abad (2013) yang menyatakan tingkat literasi keuangan memiliki pengaruh positif signifikan terhadap pengelolaan simpanan

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka diambil suatu pemahaman bahwa dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 1 Angka (21) menyebutkan definisi Perjanjian Kerja Bersama adalah Perjanjian yang