• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEKONTRUKSI Hadits-Hadits Bias Gender

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DEKONTRUKSI Hadits-Hadits Bias Gender"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

DEKONTRUKSI

Hadits-Hadits Bias Gender

Oleh: Enjang

A. Pendahuluan

Diantara issu global yang sempat menjadi agenda persoalan dewasa ini adalah masalah

gender.1 Merebaknya masalah perbedaan gender yang melahirkan ketidakadilan bahkan

kekerasan terhadap kaum perempuan, pada dasarnya merupakan konstruksi sosial dan budaya

yang terbentuk melalui proses yang panjang. Salah satu faktor penyebab – yang tidak dapat dipungkiri- yang melanggengkan konstruksi sosial-kultural yang mengakibatkan ketidak adilan

gender adalah pemahaman agama.

Agama Islam dengan ketentuan normatifnya (syari‟ah) dituding ikut bertanggung jawab

terhadap ketidak adilan gender. Kaum feminisme di dalam mengkritik aspek Islam atau pun

masyarakat Islam berdasarkan posisi mereka pada sebuah pandangan yang secure radikal asing

bagi pandangan dunia Islam dan secure tipikal bercorak moral. Mereka menuntut pembaruan

dengan standar barat Modern, yang berarti ada sebuah idealitas abstrak yang bisa dipahami dan

harus dipaksakan dengan meruntuhkan tatanan lama yang sudah dianggap mapan. Akan tetapi

kritik yang mereka lontarkan tidak ditujukan kepada sumber warisan intelektual Islam yaitu

al-Qur‟an dan sunnah melainkan terhadap warisan intelektual (tafsir) yang tentunya sangat relatif hasilnya dan subjektif sifatnya. Dari satu kurun waktu, intelektual yang lebih dominan dan pada

kurun yang lain justru emosional yang lebih ditonjolkan.2

Para feminis Muslim menyadari bahwa kondisi yang menimpa kaum perempuan

khususnya di negara-negara Islam adalah akibat dari penafsiran terhadap al-Qur‟an dan hadits yang tidak mempertimbangkan hal-hal yang menyangkut persoalan dan kepentingan kaum

perempuan. Hal ini sebagai akibat dari faktor masyarakat Islam yang menganut sistem patriarkhi,

1

Gender adalah perbedaan antara pria dan wanita yang bukan berdasarkan pada faktor biologis, bukan berdasarkan jenis kelamin (sex) sebagai kodrat Tuhan yang secure permanen berbeda, tetapi behavior differences antara pria dan wanita yang socially constructed, yaitu perbedaan yang diciptakan melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Lebih lanjut lihat, Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. ke-1, 1996, hal. 8-9.

2

(3)

disamping aspek internal para penafsir yang kebanyakan berjenis kelamin laki-laki. Sebagaimana

dikatakan Riffat Hasan:

Setelah menggaris bawahi pentingnya al-Qur‟an dan Hadits sebagai sumber utama tradisi Islam, perlu ditunjukkan bahwa selama berabad-abad sejarah Islam, sumber-sumber ini

hanya ditafsirkan oleh laki-laki muslim yang tidak bersedia melaksanakan tugaas-tugas

mendefiniskan status ontologis, teologis, sosiologis, dan eskatologis perempuan muslim.3

Permasalahan gender khususnya yang berkaitan dengan upaya perubahan atau

transformasi pranata sosial yang adil dan egaliter dimana lelaki dan perempuan dipandang

memiliki kesederajatan (equality) dan mempunyai hak yang sama atas sumberdaya ekonomi,

pendidikan, politik, dan budaya, merupakan isu penting dalam wacana pemikiran Islam

kontemporer, bahkan menjadi tuntutan secara luas di seluruh kawasan global. Tuntutan

perubahan tersebut umumnya banyak disuarakan oleh kaum perempuan yang secara defacto

tersubordinasi di bawah sistem sosial berdasarkan ideologi patriarki. Oleh karena itu, sudah

saatnya untuk kembali mengadakan reinterpretasi, revitalisasi, dekonstruksi bahkan rekonstruksi

terhadap pemahaman teks al-Qur‟an dan Hadits, dan akan lebih membanggakan apabila penafsiran teks sumber (al-Qur‟an dan hadits) dilakukan dan atau dihasilkan oleh kaum perempuan yang dianggap selama ini memiliki potensi reflektif (quwwah al-ta‟aquul) lebih

rendah dari laki-laki (nishf al-„aql).

B. Ragam Permasalahan

Di dalam Islam, pranata sosial yang adil dan egaliter dimana laki-laki dan perempuan

memiliki kesederajatan (equality) atas sumberdaya ekonomi, pendidikan, politik dan budaya,

sama sekali bukan merupakan gagasan yang asing. Dalam berbagai tempat al-Qur‟an menyatakan kesejajaran atau kesederajatan (equality, egalitarian) antar kaum laki-laki dan kaum

perempuan.4

3

Fatma Mernissi dan Riffat Hasan, Setara di hadapan Tuhan, terj. Team, LSPPA, Yogyakarta: Yayasan Prakasa, 1995, hal. 70.

4

(4)

Namun sebagaimana yang disinyalir oleh Iqbal, terdapat suatu kesalahan yang dilakukan

oleh para ulama dalam memberikan penafsiran terhadap teks keagamaan (terutama al-Qur‟an).5 Produk penafsiran para ulama mengenai teks-teks yang berkaitan dengan poligami, kesaksian

wanita dan warisan, seakan-akan memberikan kesan bahwa al-Qur‟an mengsubordinasikan dan mendiskriminasikan kaum perempuan. Demikian pula teks-teks keagamaan (al-Qur‟an dan Hadits) yang berkaitan dengan masalah kepemimpinan wanita, ruang gerak perempuan (karir

publik), wanita dan mesjid, aqiqah, keamanan wanita, ibadah, akal dan keagamaan, wanita dan

neraka, wanita dan seni-budaya serta teks yang berkaitan dengan penciptaan atau asal kejadian

perempuan, ditafsirkan oleh kebanyakan ulama dengan kesimpulan yang sama bersifat

diskriminatif dan subordinatif.

Kecenderungan ini, selain disebabkan oleh ketidakmemadaian metodologis dalam

penafsiran teks-teks keagamaan, juga karena dipengaruhi oleh cara pandang masyarakat yang

didominasi laki-laki (androsentris) dan nilai-nilai sosial yang didasarkan pada idiologi patriarki.

Sehingga cenderung merupah pesan unuversal al-Qur‟an tentang masyarakat yang secara gender adil dan egaliter. Karenanya, imperiorisasi, eksploitasi, penindasan dan perendahan harkat

perempuan, seakan mendapat legitimasi agama. Dengan kata lain, atas nama agama, hak-hak

ekonomi, pendidikan, politik dan budaya mereka dipasung. Bahkan dalam wacana pemikiran

Islam kontemporer, masih banyak dari kalangan ulama yang memberi fatwa larangan wanita

untuk menjadi presiden.

Kenyataan ini membawa implikasi sosio-politis yang selalu membatasi ruang gerak

perempuan. Secara propetis, kehidupan politik atau penyelenggaraan kekuasaan yang

menempatkan wanita secara tidak proporsional, menurut Iqbal tidak akan pernah mencapai

kebaikan dan kesempurnaan. Iqbal menyatakan bahwa sendi bangsa dan negara adalah keluarga.

Selama nilai wanita yang sesungguhnya belum dapat dipahami, maka kehidupan berbangsa tetap

tidak akan sempurna. Dan selama wanita dianggap separuh laki-laki dalam harta pusaka

(warisan), serta perempat laki-laki dalam perkawinan, baik keluarga maupun negara tidak akan

dapat diperbaiki.6

Oleh karena itu, diperlukan upaya dekontruksi dan rekontruksi teerhadap pemikiran

keagamaan yang cenderung diskriminatif, androsentris dan misoginis, sehingga pesan

(5)

keagamaan tentang masyarakat yang secara gender adil dan egaliter menjadi pertimbangan

dalam merumuskan kebijakan aktual, khususnya yang berkenaan dengan pemberdayaan kaum

perempuan.

Berikut ini beberapa penafsiran baru terhadap teks-teks keagamaan (al-Qur‟an dan al -Hadits) yang berkaitan dengan masalah poligami, kesaksian wanita, waris, kepemimpinan,

penciptaan dan ruang geraknya.

1. Masalah Poligami

Tentang hak poligami, Fazlur Rahman mengomentarinya bahwa para ulama cenderung

lebih menekankan aspek legal formalnya dalam mengambil kesimpulan dan mengabaikan ideal

moral sebagai pesan universalnya. Menurut Rahman, legal formal spesifiknya memang

menunjukkan kebolehan untuk melakukan poligami, tetapi ideal moralnya adalah keadilan.

Lebih lanjut Rahman menjelaskan bahwa secara sosio-historis ayat poligami berkaitan

dengan masalah para pengampu anak yatim yang mengalahgunakan kekayaan mereka, sehingga

al-Qur‟an mengecam dengan menuntut untuk memberikan harta anak yatim tersebut dan tidak menukar yang baik dengan yang buruk serta tidak memakan harta mereka.

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik denga yang buruk dan janganlah kamu memakan harta bersama hartamu. Sesungguhnya

hal itu merupakan dosa yang besar”.7

Dalam Surat yang sama ayat 126, al-Qur‟an menyatakan bahwa para pengnampu ini lebih baik mengawini gadis-gadis yatim itu jika mereka telah dewasa daripada mengembalikan

kekayaan mereka lantaran ingin menikmatinya. Jadi dalam ayat 3 surat An-Nisa‟, al-Qur‟an menyatakan bahwa jika para pengampu ini tidak dapat berlaku adil terhadap kekayaan

gadis-gadis yatim dan mereka bersikeras untuk mengawininya, maka mereka boleh mengawininya

sampai empat, dengan syarat mereka dapat berlaku adil terhadap istri-istri mereka. Tetapi jika

mereka tidak berlaku adil, hendaklah mengawini seorang saja dari gadis-gadis itu.

7

(6)

“Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu

takut untuk berlaku tidak adil, maka kawinilah seorang saja…”

Namun dalam ayat 129 surat an-Nisa‟, dinyatakan secara tegas ketidakmungkinan untuk dapat berlaku adil diantara para istri.

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berkalu adil diantara istri-istrimu walaupun

kamu sangat berkeinginan keras untuk berbuat demikian…”

Pernyataan al-Qur‟an tersebut tampak seakan bertentangan atau kontradiktif. Disatu sisi ada izin untuk menikahi gadis-gadis itu hingga empat dengan syarat adil, disisi lain ada semacam

deklarasi kategoris (pernyataan keniscayaan) bahwa keadilan diantara istri-istri tidak akan

sanggup dilaksanakan.

Terhadap masalah ini, para fuqaha hanya mengambil legal formal atau hukum

spesifiknya yaitu izin poligami, sementara menurut Rahman, berlaku adil sebagai prinsip

universal (ideal moral) harus mendapat perhatian dan memiliki kepentingan yang lebih mendasar

ketimbang legal spesifik yang mengizinkan poligami. Sama halnya dsengan masalah institusi

perbudakan dalam al-Qur‟an, memang al-Qur‟an menerimanya karena tidak mungkin dihilangkan dengan begitu saja. Tetapi al-Qur‟an sangat menyarankan untuk mencapai ideal moralnya (berlaku adil) yang harus diperjuangkan masyarakat seperti menyarankan untuk

pembebasan budak.8

2. Masalah Kesaksian Wanita

Masalah kesaksian bagi perempuan juga, harus dilihat dari latar sosiologis dan

historisnya. Al-Qur‟an menyebutkan kesaksian bagi perempuan dua orang (untuk saksi) agar saling mengingatkan jika lupa,9 karena didasarkan pada latar sosiologis perempuan ketika itu

yang tidak terbiasa dengan urusan utang piutang atau transaksi-transaksi keuangan. Maka

8

QS. Al-Balad [90]: 13; Al-Ma‟idah [5]: 89 dan Al-Mujadalah [58]: 3. Lihat, Fazlur Rahman, Tema Pokok

Al-Qur‟an terj. Anas Mahyuddin, (Bandung, Pustaka, 1983), hal. 60-70

9

(7)

perubahan masayarakat sekarang di mana perempuan banyak yang terjun dan menggeluti

masalah-masalah transaksi keuangan, dapat dipandang sama kuatnya dengan kesaksian laki-laki.

Bahkan mungkin lebih profesional ketimbang laki-laki yang tidak pernah menggeluti masalah

transaksi keuangan. Di samping itu, latar sosiologis perempuan pada era Islam awal tidak banyak

dilibatkan dalam masalah kesaksian, jadi sebenarnya dengan adanya gagasan kesaksian

perempuan, al-Qur‟an sekaligus mengangkat martabat perempuan.

3. Masalah Waris

Fenomena hak waris juga mirip dengan fenomena kesaksian dalam al-Qur‟an. Secara sosio-kultural, pada masa pra Islam perempuan itu tidak pernah mendapat bagian warisan (harta

pusaka) karena kedudukannya yang sangat hina dan dipandang merendahkan martabat keluarga.

Jika mendengar kelahiran anaknya adalah perempuan, maka muka mereka merah padam karena

malu dan terkadang mengubur hidup-hidup.10 Selain itu, secara historis dalam sistem kesukuan

(kabilah) bangsa Arab, perempuan tidak menerima waris karena dipandang akan mengakibatkan

disequilibrium ekonomi di kalangan kabilah yang mempunyai anak perempuan.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam sistem kabilah atau kesukuan Arab, hubungan antar

kabilah sangat mendapat perhatian untuk memperkuat posisi kekuatan kabilahnya. Untuk itu,

suatu kabilah selalu menikahkan anak perempuannya dengan kabilah yang lain. Pada saat ayah

perempuan tersebut meninggal, anak perempuan tidak mendapat hak waris karena kabilah yang

mempunyai harta akan dirugikan dan menguntungkan kabilah suaminya. Oleh karenanya,

pemberian waris dapat menngakibatkan disequilibrium ekonomi dalam suatu kabilah.

Dengan kehadiran Islam, perempuan diangkat harkat kemanusiaannya melalui pemberian

hak waris, separuh bagian laki-laki. Gagasan yang dapat diambil dari pemberlakuan hak waris ini

adalah prinsip atau semangat moral universal al-Qur‟an tentang keadilan dan egalitarianisme. Dengan demikian, baik hak waris maupun kesaksian harus dipertimbangkan secara moral,

intelektual dan kultural pada masyarakat yang terus mengalami percepatan transformasi

sosio-budaya.

4. Masalah Kepemimpinan Wanita

10

(8)

Mengenai diskursus kepemimpinan perempuan yang bersumber pada teks al-Qur‟an surat an-Nisa‟ [4]:34 ( ), banyak cendikiawan atau pemikir muslim kontemporer memberikan apresiasi dan penafsiran yang agak berbeda

dengan apresiasi dan penafsiran para ulama klasik. Quraish Shihab misalnya menafsirkan kata

al-rijal” dalam teks di atas, bukan dalam pengertian laki-laki secara umum, tetapi hanya ditujukan kepada suami. Karena menurut Quraish Shihab, konsideran perintah tersebut seperti

ditegaskan pada lanjutan ayat di atas adalah karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian

harta untuk istri-istri mereka. Seandainya yang dimaksud dengan kata “al-rijal” adalah kaum laki-laki secara umum, maka konsiderannya tidak demikian.11

Secara linguistik, kata “qawwamuna” dalam teks di atas juga, tidak hanya berarti pelindung, pemelihara, penanggung jawab, mempunyai sifat lebih unggul, berkuasa dan

pemimpin perempuan tetapi juga dapat diartikan pencari nafkah atau yang menyediakan

kebutuhan hidup. Menurut Riffat Hassan, apa yang dinyatakan dalam ayat di atas adalah bahwa

laki-laki harus mempunyai kemampuan mencari nafkah.12

Kesimpulan yang dapat diambil dari teks di atas juga bahwa, memang secara garis besar

al-Qur‟an menghendaki adanya pembagian kerja dan pembedaan fungsi antara laki-laki dan perempuan untuk mencari nafkah dan berdiri sendiri di bidang ekonomi; tetapi ayat di atas tidak

menunjuk adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara hakiki. Al-Qur‟an hanya membedakannya secara fungsional. Sebab jika misalnya seorang istri yang mapan dalam bidang

ekonomi memberikan sumbanngannya untuk kepentingan rumah tangga, maka keunggulan

suami sebagai manusia, ia tidak memiliki keunggulan dibandingnkan dengan istrinya.13

Sememntara tentang hadits yang menyatakan bahwa tidak akan berhasil suatu kaum jika

dipimpin oleh wanita ( ) dipandang sebagai bersifat kondisional,

latar sosiologis hadits itu muncul, ketika Rasulullah mengetahui bahwa masyarakat Persia

mengangkat putri Kisra sebagai penguasa mereka, yang pada suatu saat wanita tersebut pernah

dikirimi surat oleh Rasul untuk masuk Islam, tetapi ia malah merobeknya. Sehingga Rasulullah

bersabda: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada

11

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 314

12

Wardah Hafidz, Islam dan Gerakan Perempuan, dalam jurnal Islamika, kerjasama Mizan dan Missi, No. 6, 1995, hal. 103

13

(9)

perempuan”. Hadits ini sekali lagi bersifat kondosional yang hanya berlaku pada saat itu atau

pada saat lain dalam kontek yang sama.

5. Masalah Penciptaan Wanita

Teks keagamaan (al-Qur‟an) tentang penciptaan perempuan yang kerapkali dijadikan rujukan dan menimbulkan pemahaman yang diskriminatif adalah QS. An-Nisa‟ [4]: 1

“Wahai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (nafs wahidah)dan daripadanya, Allah ciptakan pasangannya…”.

Para ulama tafsir seperti Ibnu Abas memahami kata “nafs” dalam teks tersebut adalah

Adam dan “jauzaha” (pasangannya) dengan Hawa.14 Menurut al-Maraghi, mayoritas ulama

sepakat bahwa yang dimaksud dengan nafs adalah Adam dan jauzaha adalah Hawa.15 Bahkan

At-Thabari dalam Majma al-Bayan fi Tafsir al-Qur‟an menyebutkan bahwa seluruh ulama tafsir

sepakat mengartikan kata nafs dengan Adam.

Pemahaman tersebut diperkuat oleh beberapa hadits tentang penciptaan Hawa dari tulang

rusuk Adam yang bengkok. Misalnya hadits yang menyatakan bahwa:

“Allah menciptakan Adam seorang diri di Surga, kemudian Tuhan memberikan kantuk

kepada Adam, lalu Tuhan mengambil salah satu dari tulang rusuk Ada sebelah kiri adam ada

yang mengatakan sebelah kanan dan Allah menciptakan dari tulang rusuk tersebut Hawa”.16

Hadits lalin yang sering dijadikan rujukan juga adalah:

14

Fakhru Razi, Tafsir Fakhru Razi, jil.8, jil. 15 (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), hal. 90

15

Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jil. 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), hal. 175

16

(10)

“Sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Engkau tidak akan dapat meluruskannya dengan cara apapun. Apabila engkau ingin menikmatinya, maka

engkau dapat menikmatinya dengan membiarkan bengkok. Dan apabila engkau berusaha

meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Dan mematahkannya adalah talak”

(HR. Muslim).17

Serta hadits:

“Saling pesan memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka

diciptakkan dari tulang rusuk (bengkok) yang unggul, apabila engkau berusaha

meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya, dan apabila engkau membiarkannya

terus menerus bengkok, maka saling berpesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan”

(HR. Bukhari dan Muslim).18

Dari beberapa keterangan teks keagamaan (Qur‟an dan Hadits) di atas, para ulama

menarik kesimpulan bahwa Hawa (kaum perempuan) diciptakan dari Adam (kaum laki-laki).

Kesimpulan ini, kemudian melahirkan cara pandang sekunder terhadap perempuan yang

menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Menanggapi penafsiran terhadap teks-teks

keagamaan yang cenderung diskriminatif di atas, para ulama kontemporer mengambil

pemahaman minoritas ulama tafsir yang memahami teks al-Qur‟an surah al-Nisa‟ [4] : 1 secara berbeda.

Menurut sebagian ulama, kata nafs dalam ayat tersebut bukan dimaksudkan sebagai

person atau individu tertentu (Adam), tetapi sebagai jenis. Hal ini didasarkan pada ungkapan

Rasulullah bahwa yang dimaksud dengan wa khalaqa minha jauzaha adalah bahwa Allah

menciptakan istri Adam dari jenis manusia yang sama.19

Al-Qaffal yang dikutif oleh Al-Maraghi, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan teks

al-Qur‟an surah an-Nisa‟[4]: 1 tersebut adalah bahwa Allah menciptakan kamu (manusia) dari

17

Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, jil. 8, Kitab Nikah, bab al-Washiyat bi al-Nisa‟, hal. 57

18

Shahih Muslim, ibid, hal. 58; al Qasthalani, Irsyad al-Syarh Shahih Bukhari, Kitab Nikah, bab. Al-Washot bi

al-Nisa‟, (Beirut: Dar al-Fikr), hal. 509

19

(11)

nafs wahidat dan menjadikan dari jenisnya (yang sama) pasangannya yaitu manusia yang sama

dalam kemanusiaannya.20 Abu Hayyan juga menulis bahwa yang dimaksud dengan dhamirha” dalam teks “minha” bukan kembali kepada nafs, tetapi kembali kepada thin (tanah) sebagai unsur pembentuk Adam. Dengan demikian, wa khalaqa minha jauzaha artinya bahwa Hawa diciptakan

dari tanah yang dari tanah itu Allah menciptakan Adam.21

Pemahaman di atas diperkuat oleh teks-teks al-Qur‟an yang lain seperti QS. At-Taubah {9}: 128; An-Nahl [16]: 72; Ar-Rum [30]: 21 dan As-Syura [42]:11. Menurut Ar-Raghib

al-Asfahani, yang dimaksud dengan min anfusikum dalam teks-teks di atas adalah min jinsikkum

atau dari jenis kamu. Dari beberapa keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa yang

dimaksud dengan nafs dalam teks QS. An- Nisa‟[4]: 1 adalah bukan Adam, tetapi jenis Adam yaitu manusia.

Terhadap pandangan mayoritas ulama yang memahami kata nafs dengan Adam,

Al-Maraghi dan Thabaththaba‟i mengomentarinya, bahwa pemahaman tersebut tidak mengambil

alasan (dalil) dari teks keagamaan (al-Qur‟an), melainkan sebagai tasliman, penyelamatan atau rasionalisasi dari asumsi bahwa Adam merupakan bapak manusia (Abu Basyar) yang juga tidak

terdapat dalam teks keagamaan (al-Qur‟an) melainkan lahir dari tradisi Bibel. Sementara teks keagamaan yang bersumber pada hadits tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam

sebelah kiri yang bengkok, sebagian ulama mengomentarinya bahwa yang dimaksudkan bukan

makna hakiki melainkan makna majazi. Hal ini dapat dilihat dari teks hadits berikut:

“Sesungguhnya perempuan itu seperti tulang rusuk yang bengkok, apabila engkau hendak

meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Apabila engkau membiarkannya tetap

bengkok, maka engkau akan dapat menikmatinya” (HR. Bukhari, Muslilm dan Turmidzi).22

Dengan demikian, pesan moral yang dapat diambil adalah bahwa laki-laki harus bersifat

hormat dan santun atau bijaksana terhadap kaum perempuan karena memiliki karakter dan

kecenderungan yang berbeda, yang jika tidak disadari akan dapat mengantarkan kaum laki-laki

(12)

bersifat tidak wajar.23 Bahkan menurut M. Abduh dan Riffat Hassan, hadits tentang penciptaan

Hawa dari tulang rusuk Adam yang bengkok bertentangan dengan al-Qur‟an tentang penciptaan manusia dan lebih mirip dengan kitab kejadian 2:18-33; 3:20 yang berkembang dalam tradisi

Bibel. Abduh menyatakan: “Andaikan kisah kejadian Adam dan Hawa tersebut tidak tercantum

dalam kitab perjanjian lama, maka pasti pendapat yang menyatakan bahwa wanita diciptakan

dari tulang rusuk Adam, tidak akan pernah terlintas dalam benak seorang muslim.24

Disamping kritik matan terhadap teks hadits di atas, pemikir Islam kontemporer Fatima

Mernisi melakukan kritik sanad dengan mengatakan bahwa munculnya hadits-hadits semacam

itu, sangat dipengaruhi oleh bias kultural patriarkis yang melekat pasca masyarakat Islam awal.

Fatima Mernisi mengajukan kritik terhadap Abu Hurairah yang dipandang terpengnaruhi bias

kultural tersebut. Pijakan yang dijadikan dasar kritik Fatima adalah pertama, dalam masyarakat

Islam awal yang demikian (patriarkis), Abu Hurairah justru tidak memiliki pekerjaan yang

menunjukkan maskulinitas (kelelakiannya). Ia mengisi sebagian waktunya untuk membantu di

rumah-rumah para wanita. Dengan demikian, ketidaksukaan Abu Hurairah terhadap wanita

mendapat penjelasannya.

Kedua, Abu Hurairah terbukti pernah meriwayatkan hadits secara salah. Kritik ini

pertama kali justru datang dari „Aisyah istri Rasulullah yang keccerdasanya diakui sendiri oleh

Rasulullah. Ketika Abu Hurairah meriwayatkan hadits yang berbunyi: “Tiga hal yang membawa bencana yaitu, rumah, wanita, dan kuda”, menurut „Aisyah, Abu Hurairah tidak mendengar

ucapan Rasulullah secara lengkap. Abu Hurairah masuk ke dalam mesjid persis pada waktu

Rasulullah mengucapkan kalimat di atas, yang sebenarnya merupakan kalimat terakhir. Padahal

menurut „Aisyah, konteks kalimat tersebut sangat berbeda. Rasulullah saat itu sedang

menggambarkan betapa salahnya pendapat kaum Yahudi yang mengatakan bahwa tiga hal

tersebut (rumah, wanita dan kuda) menjadi sebab terjadinya bencana.25

23

Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, Op. Cit., hal. 300

24

Lihat, Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar,(Mesir al-Qahirah Dar al-Manar, 1367 H.), jil. IV, hal. 33; dan lihat juga tulisan Riffat Hassan, Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam, Sejajar dihadapan Allah?, Jurnal UQ, vol. 1 th. 1990, hal. 53

25

(13)

Dalam konteks yang lain, „Aisyah juga pernah menngkritik Abu Hurairah karena

melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadits tentang perempuan yang diadzab karena

kucinng. „Aisyah menganggap Abu Hurairah tidak menghapalnya secara tepat.26

6. Masalah Ruang Gerak Wanita

Teks al-Qur‟an yang sering dijadikan rujukan sebagai ayat yang membatasi ruang gerak perempuan hanya di rumah saja adalah surat al-Ahjab[33]: 33 yang berbunyi:

“Dan hendaklah kamu (wanita) tetap di rumah-rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu”.

Menurut Sayyid Qutb istilah “wa qama” dalam teks wa qama fi buyutikunna wa tabarruj

al jahiliyatberarti “berat”, mantap dan menetap. Menurutnya, ayat ini bukan berarti mereka tidak

boleh meninggalkan rumah, tetapi hanya mengisyaratkan bahwa rumah tangga merupakan tugas

pokoknya.

C. Penutup

Ajaran Islam mengakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan,

akan tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan (discrimination) yang menguntungkan satu

pihak dan merugikan pihak lainnya. Adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan

dimaksudkan untuk mendukung misi ajaran, yaitu terciptanya hubungan harmonis yang didasari

rasa kasih sayang (mawaddah wa rahmah) dilingkungan sebagai cikal bakal terwujudnya

komunitas ideal dilingkungan.

Oleh karena itu, kualitas individual antara laki-laki dan perempuan dihadapan Tuhan

tidak dibedakan karena jenis kelaminnya (laki-laki atau perempuan). Karena keduanya

dihadapan Tuhan sama-sama berpotensi untuk memperoleh derajat kesadaran manusia yang

paripurna (takwa), maka spesifikasi biologis dan anatomis (sex) yang bersifat kodrati tidak dapat

dijadikan alasan untuk membeda-bedakan, apalagi dijadikan alat untuk melakukan

26

(14)
(15)

Daftar Pustaka

1. Abu Hayyan, Bahru al-Mihith fi Tafsir, juz 3, Beirut: Dar al-Fikr, 1992.

2. Al-Qasthalani, Irsyad al-Syarh Shahih Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr

3. Al-Mubar Kafury, Tuhfat al-Ahwadi bi al-Syarh Jami‟ al-Tirmidzi, jilid 4, Beirut: Dar

al-Fikr

4. Fatima Mernissi dan Riffat Hasan, Setara di hadapan Tuhan, terj. Team, LSPPA,

Yogyakarta: Yayasan Prakasa, 1995.

5. Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur‟an terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1983.

6. Fakhru Razi, Tafsir Fakhru Razi, jilid.8 dan jilid. 15, Beirut: Dar al-Fikr, 1990.

7. Fatima Mernisi, Wanita Menurut Islam, Bandung: Pustaka, 1994.

8. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

Cet. ke-1, 1996.

9. Muhammad Iqbal, Dr., Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, terj. Ali

Audah (et.al.), Jakarta: Tintamas, 1966

10.M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, Bandung: Mizan, 1998.

11.Wardah Hafidz, Islam dan Gerakan Perempuan, dalam jurnal Islamika, kerjasama Mizan

dan Missi, No. 6, 1995.

12.Mushthafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid. 2, Beirut: Dar al-Fikr, 1992.

13.Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Mesir al-Qahirah Dar al-Manar, jilid IV,

14.Riffat Hassan, Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam, Sejajar dihadapan Allah?,

Jurnal UQ, vol. 1 th. 1990.

15.Sachiko Murata, The Tao of Islam, terj. Rahmani Astuti dan MS Nasrullah, Bandung:

Mizan, 1996.

16.Shohih Muslim

(16)

18. Thabaththaba‟i, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur‟an, juz. 4, Beirut: Dar al-Fikr, tt,.

19.Yusuf Qardhawi, Dr., Bagaimana Memahami Hadits Nabi Saw, terj. Muhammad

(17)

DEKONTRUKSI Hadits-Hadits Bias Gender

MAKALAH

Disusun Sebagai Salah Satu Tugas

Pada Mata Kuliah Ulum al-Hadits

Oleh ENJANG

Dosen Pembimbing

(18)

PROGRAM PASCASARJANA

KONSENTRASI STUDI MASYARAKAT ISLAM IAIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

Referensi

Dokumen terkait

yang dinormalisasi dengan cara membagi jumlah piksel bin warna dengan jumlah total piksel pada suatu citra, yang mana telah dijelaskan pada bab 2 butir 2.6. Histogram

(3) Untuk kelancaran penyaluran pupuk bersubsidi di Lini IV ke petani atau Kelompok Tani sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten

Pendekatan fenomenologi menggunakan pola pikir subjektivisme yang tidak hanya memandang masalah dari suatu gejala yang tampak, akan tetapi berusaha menggali makna

Dari hasil penelitian ini diperoleh hasil teh hitam kualitas 1 (BOP) memiliki kadar katekin yang lebih besar dibandingkan dengan teh hitam kualitas 8 (BP 2)

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penyebab lebih rendahnya riap pohon di hutan rawa dibandingkan di darat adalah bukan karena masalah air, tetapi adalah

Heaven and earth cry out Your name Nations rise up and seek Your face And Your kingdom is established As I live to know You more Now I will never be the same Spirit of God my

Evaluasi berdasarkan fitur utama website (Tabel 1) dimaksudkan untuk menilai sejauh mana fitur-fitur utama atau fitur dasar pada website mudah dilihat, digunakan, dan

3)表示画面サイズ(小画面/大画面):CRTモニタ上の画像を35mmカメラで撮影する