• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN IJAB KABUL PERNIKAHAN DENGAN SISTEM PERHITUNGAN WAKTU (Studi Kasus Desa Jetak, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang) - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PELAKSANAAN IJAB KABUL PERNIKAHAN DENGAN SISTEM PERHITUNGAN WAKTU (Studi Kasus Desa Jetak, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang) - Test Repository"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN IJAB KABUL PERNIKAHAN DENGAN

SISTEM PERHITUNGAN WAKTU

(Studi Kasus Desa Jetak, Kecamatan Getasan,

Kabupaten Semarang)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar

Strata 1 (S-1) Sarjana Syari’ah

Oleh:

KHUSEIN ALI MOCHAMMAD

NIM: 21109004

JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH (AS)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

MOTTO

Artinya: Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan

apapun yang lain. tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia.

tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala penentuan,

dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.

“Man Jadda Wa Jadda”

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis mampu melampaui

berbagai proses dalam menyusun skripsi ini dengan judul PELAKSANAAN

IJAB KABUL PERNIKAHAN DENGAN SISTEM PERHITUNGAN

WAKTU (Studi Kasus Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten

Semarang) guna memenuhi tugas untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam

ilmu syari’ah pada jurusan Syari’ah STAIN Salatiga.

Pada kesempatan ini penulis sampaikan rasa hormat dan ucapan

terimakasih terutama kepada:

A. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd. selaku Ketua Stain Salatiga.

B. Bapak Benny Ridwan, M.Hum. selaku Ketua Jurusan Syari’ah dan Ekonomi

Islam.

C. Bapak Sukron Ma’mun, S.HI., M.Si. selaku Ketua Program Studi Ahwal

Al-Syakhsiyah Jurusan Syari’ah.

D. Bapak Prof. Dr. H. Muh Zuhri MA. selaku pembimbing skripsi yang telah

meluangkan waktu semata-mata membimbing dan mengarahkan penulis

dalam menyusun hingga terselesaikannya skripsi.

E. Bapak Ibu Dosen STAIN Salatiga. Khususnya dosen jurusan syari’ah yang

telah mencurahkan ilmunya selama penulis belajar di STAIN Salatiga.

F. Bapak Trimo selaku Kepala Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten

Semarang yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian di Desa

Jetak.

G. Bapak Ibu yang selalu mendo’akan dan memberi semangat yang tiada

(8)

Demikian skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan segala

keterbatasan dan kemampuan penulis sehingga skripsi ini jauh dari

kesempurnaan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya

dan bagi para pembaca pada umumnya.

Penulis,

Khusein Ali M

(9)

ABSTRAK

Muhammad, Khusein Ali. PELAKSANAAN IJAB KABUL PERNIKAHAN

DENGAN SISTEM PERHITUNGAN WAKTU (Studi Kasus Desa

Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang). Skripsi jurusan

Syari’ah. Program Ahwal Al Syakhsiyyah STAIN Salatiga. Pembimbing Prof. Dr. H. Muh Zuhri MA.

Kata kunci: Pelaksanaan Ijab Kabul dan Sistem Hitungan Waktu

Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui alasan-alasan persepsi masyarakat di desa Jetak dalam menggunakan ikatan waktu dalam pelaksanaan ijab kabul pernikahan. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah 1) Bagaimana pendapat para pelaku, para tokoh agama dan tokoh masyarakat mengenai pelaksanaan ijab kabul pernikahan dengan sistem perhitungan waktu? 2) Bagaimana hukum pelaksanaan ijab kabul pernikahan dengan sistem perhitungan waktu berdasarkan ilmu fiqh? Penelitian ini mempunyai tujuan yaitu untuk mengetahui alasan masyarakat jawa menggunakan sistem hitungan waktu dalam melaksanakan ijab kabul pernikahan. Untuk mengetahui persepsi atau tanggapan dari tokoh masyarakat dan tokoh agama masyarakat jawa khususnya di desa Jetak kecamatan Getasan kabupaten Semarang terhadap pelaksanaan ijab kabul pernikahan dengan sistem perhitungan waktu. Untuk mengetahui konsep penggunaan sistem perhitungan waktu dalam pelaksanaan ijab kabul pernikahan masyarakat Jawa muslim dalam perspektif ilmu fikih .

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Berdasarkan dari penelitian kebanyakan alasan masyarakat menggunakan tradisi tersebut yaitu peninggalan para leluhur yang harus dilestarikan dan juga untuk menghindari malapetaka dalam acara pernikahan nanti dan mendapat kemantapan dalm pelaksanaan ijab kabul penikahan. Namun ada juga alasan yang mengikuti saran dari orang tuanya atau dari kakeknya.

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………. i

LOGO ………... ii

PENGESAHAN ………... iii

HALAMAN NOTA PEMBIMBING ………..……….... iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ……… v

MOTTO ……….. vi

PERSEMBAHAN ………. vii

KATA PENGANTAR ………... vii

ABSTRAK ………. ix

DAFTAR ISI ……… x

DAFTAR LAMPIRAN ………... xiv

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Fokus Penelitian ……….. 8

C. Tujuan Penelitian ……….... 9

D. Kegunaan Penelitian ………... 9

E. Telaah Pustaka ……… 10

F. Penegasan Istilah ……….... 12

G. Metode Penelitian ……… 13

(11)

BAB II: KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Perkawinan ……….. 20

B. Dasar Hukum Perkawinan ………. 23

C. Rukun dan Syarat Perkawinan ……….. 26

D. Akad Nikah dan Syarat-Syarat Ijab Kabul ………. 29

a) Kata-Kata Dalam Ijab Kabul ……… 31

b) Ijab Kabul Bukan Dengan Bahasa Arab ………... 32

c) Ijab Kabul Orang Bisu ………. 33

d) Ijab Kabulnya Orang Yang Ghaib (Tidak Hadir) ………. 33

E. Hikmah Nikah ……… 34

F. Upacara Pengantin Adat Jawa ………. 36

G. Menentukan Hari Pernikahan ………. 40

1. Memilih Hari dan Bulan Yang Baik ……… 42

2. Memilih Pasaran dan Waktu Yang Baik ………... 45

H. Penggunaan Hitungan atau Memilih Hari Baik Dalam Islam …... 48

I. Pengertian ‘Urf ……….. 52

J. Macam-Macam ‘Urf ………... 53

K. Syarat-Syarat ‘Urf ………. 54

(12)

1. Letak Geografis ………. 57

2. Keadaan Administratif ………. 58

3. Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat ………. 59

4. Tingkat Pendidikan ……….. 61

B. Praktek Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan dengan Sistem Perhitungan Waktu ……….... 62

1. Persepsi Masyarakat Tentang Ijab Kabul Pernikahan dengan Sistem Perhitungan Waktu ……….. 62

2. Alasan Masyarakat Menggunakan Waktu dalam Pelaksanaa Ijab Kabul Pernikahan ………. 64

3. Cara Menentukan Waktu-Waktu Yang Baik dalam Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan Di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang ……….... 65

4. Persepsi Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat Tentang Ijab Kabul Pernikahan dengan Sistem Perhitungan Waktu ….…………. 69

BAB IV: ANALISIS A. Analisis Penggunaan Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan dengan Sistem Perhitungan Waktu Dalam Tinjauan Ilmu Fiqh ……… 72

B. Analisis Praktek Menghitung atau Memilih Waktu Baik ………. 78

(13)

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ………. 82

1. Alasan-Alasan Para Pelaku Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan Dengan

Sistem Perhitungan Waktu ………….………... 82

2. Persepsi Para Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat Tentang Pelaksanaan

Ijab Kabul Penikahan Dengan Sistem Perhitungan

Waktu ………. 83

3. Ilmu Fikih Tentang Tradisi Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan Dengan

Sistem Perhitungan Waktu ... 83

B. Saran ……….. 84

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

SURAT REKOMENDASI

SURAT KETERANGAN DESA

DATA KELURAHAN

SKK

LEMBAR KONSULTASI

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam pandangan Islam, manusia dan makhluk yang ada di alam

semesta merupakan ciptaan Allah SWT. Manusia diciptakan oleh Allah

lengkap dengan pasangannya. Secara naluriah mereka mempunyai keterkaitan

kepada lawan jenis. Untuk merealisasikan keterkaitan tersebut menjadi

hubungan yang benar maka harus melalui pernikahan.

Perkawinan adalah peristiwa besar dalam kehidupan manusia. Dengan

jalan ini, hubungan yang mulanya haram menjadi halal. Implikasinya pun

besar dan beragam. Perkawinan adalah sarana awal mewujudkan sebuah

tatanan masyarakat, karena keluarga peran dalam kehidupan masyarakat. Jika

unit-unit keluarga baik dan berkualitas, bisa dikatakan bangunan masyarakat

yang diwujudkan akan kokoh dan baik.

Perkawinan termasuk salah satu bentuk ibadah. Tujuan perkawinan

bukan saja untuk menyalurkan kebutuhan biologis, tetapi juga untuk

menyambung keturunan dalam naungan rumah tangga yang penuh kedamaian

dan cinta kasih. Setiap remaja yang telah memiliki kesiapan lahir batin

(16)

lajang. Menurut ajaran agama Islam, menikah adalah menyempurnakan

agama oleh karena itu, barang siapa yang menuju kepada suatu pernikahan,

maka ia telah berusaha menyempurnakan agamanya, dan berarti dia pula telah

berjuang untuk kesejahteraan masyarakat. Membantu terlaksananya suatu

pernikahan, demikian pula merupakan ibadah yang tidak tenilai

pahalanya.(Hariwijaya, 2005:1) seperti dalam hadist Nabi yang diriwayatkan

oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim:

ﺹ ِﷲ ُﻝْﻮ�ُﺳَﺭ ﱠﺩَﺭ :َﻝﺎ�َﻗ ٍﺹﺎ�ﱠﻗَﻭ ﻰ�ِﺑَﺍ ِﻦ�ْﺑ ِﺪْﻌ�َﺳ ْﻦَﻋ َﻥِﺫَﺍ ْﻮ�َﻟ َﻭ َﻞ�ﱡﺘَﺒﱠﺘﻟﺍ ٍﻥْﻮ�ُﻌْﻈَﻣ ِﻦ�ْﺑ َﻥﺎ�َﻤْﺜُﻋ ﻰ�َﻠَﻋ

ﻢﻠﺴﻣ ﻭ ﻯﺭﺎﺨﺒﻟﺍ ﻭ ﺪﻤﺣﺍ .ﺎَﻨْﻴَﺼَﺘ ْﺧﻻَ ُﻪَﻟ

Artinya: Dan Sa’ad bin Abu Waqqash ia berkata, “Rasulullah SAW

pernah melarang ‘Utsman bin Madh’un membujang dan kalau sekiranya

Rasulullah mengijinkannya tentu kami berkebiri”. (HR. Ahmad, Bukhari dan

Muslim)

Hadits Rasulullah SAW :

ﱠﻭَﺰَﺘَﻴْﻠَﻓ َﺓَءﺎَﺒﻟْﺍ ُﻢُﻜْﻨِﻣ َﻉﺎَﻄَﺘْﺳﺍ ِﻦَﻣ ِﺏﺎَﺒﱠﺸﻟﺍ َﺮَﺸْﻌَﻣ ﺎَﻳ :ﺹ ِﷲ ُﻝْﻮُﺳَﺭ َﻝﺎَﻗ :َﻝﺎَﻗ ٍﺩْﻮُﻌْﺴَﻣ ِﻦْﺑﺍ ِﻦَﻋ ، ْﺝ

ْﻠِﻟ ُﻦَﺼ ْﺣَﺍ َﻭ ِﺮَﺼَﺒْﻠِﻟ ﱡﺾَﻏَﺍ ُﻪﱠﻧِﺎَﻓ ﺔﻋﺎﻤﺠﻟﺍ .ٌءﺎَﺟِﻭ ُﻪَﻟ ُﻪﱠﻧِﺎَﻓ ِﻡْﻮﱠﺼﻟﺎِﺑ ِﻪْﻴَﻠَﻌَﻓ ْﻊِﻄَﺘْﺴَﻳ ْﻢَﻟ ْﻦَﻣ َﻭ .ِﺝْﺮَﻔ

Artinya: Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda,

“Hai para pemuda, barangsiapa diantara kamu yang sudah mampu menikah,

(17)

pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum

mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa itu baginya (menjadi)

pengekang syahwat”. (HR. Jamaah)

Dalam setiap pelaksanaan perkawinan pasti ada suatu syarat atau pun

rukun yang harus dilaksanakan, Apabila salah satu rukun atau syarat tidak

terlaksana akan membuat tidak sahnya suatu perkawinan. Rukun yang paling

pokok dalam perkawinan, ridhonya laki-laki dan perempuan dan persetujuan

mereka untuk mengikat hidup berkeluarga. Karena perasaan ridho dan setuju

bersifat kejiwaan yang tak dapat dilihat dengan mata kepala, karena itu harus

ada perlambangan yang tegas untuk menunjukkan kemauan mengadakan

ikatan bersuami istri. Perlambangan itu diutarakan dengan kata-kata oleh

kedua belah pihak yang mengadakan aqad.

Pernyataan pertama sebagai menunjukkan kemauan untuk membentuk

hubungan suami istri disebut “ijab”. Dan pernyataan kedua yang dinyatakan

oleh pihak yang mengadakan aqad berikutnya untuk menyatakan rasa ridho

dan setujunya disebut “qabul”. (Sayyid, 1980:53)

Dalam masyarakat Jawa khususnya pada masyarakat Desa Jetak

Keceamatan Getasan Kabupaten Semarang dalam suatu pernikahan dalam

pelaksanaannya sebagian besar masyarakatnya masih menggunakan

(18)

biasanya mereka menganggap atau menyebutnya dengan istilah Islam

kejawen. Dalam penikahan pun di desa itu masih digunakan hitung-hitungan

hari dan waktu.

Agama Islam memandang semua waktu, hari, bulan, dan tahun adalah

waktu yang baik. Tidak ada waktu atau hari sial ataupun hari keramat, namun

sebagian masyarakat Jawa masih berpegang teguh terhadap ajaran nenek

moyang yang percaya terhadap hari-hari sial atau waktu-waktu sial. Tathayyur

(menganggap sial) adalah tindakan yang tidak berlandaskan ilmu atau realita

yang benar. Karena Islam masuk di Indonesia setelah ajaran Hindu dan Budha

maka orang-orang Jawa masih mempunyai kepercayaan tentang ajaran Hindu

maupun Budha yang berupa tradisi-tradisi dan sebagian besar orang jawa

masih menggunakan kepercayaan yang turun temurun dari zaman dahulu

misalnya dalam masyarakat di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten

Semarang yang masih menggunakan acara ijab qabul pernikahan dengan

waktu-waktu yang tepat. Mereka tidak berani melanggar tradisi-tradisi

tersebut walaupun mereka tidak tahu apa yang terjadi kalau tradisi-tradisi itu

dilanggar. Waktu-waktu itu dihitung berdasarkan tanggal kelahiran dari kedua

calon mempelai. Diluar waktu-waktu yang di tentukan maka tidak akan

dilaksanakan ijab qabul pernikahan tersebut, karena apabila tradisi tidak

dipatuhi mengakibatkan keluarga tidak harmonis, pernikahan tidak lancar, dan

(19)

beragama tidak boleh atas dasar keturunan atau warisan leluhur yang

Artinya: Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang

telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya

mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami".

"(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu

tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".(Departemen

Agama Republik Indonesia, 1989:41)

Dan dalam Islam semua hari ataupun waktu itu baik, tidak ada hari sial

atau hari keberuntungan, seperti dalam Al Qur’an surat Yunus ayat 5:

Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan

bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi

perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan

(20)

dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada

orang-orang yang mengetahui. (Departemen Agama Republik Indonesia, 1989:306)

Dalam hadist Rosulullah SAW yang di riwayatkan oleh Imam Muslim,

seseorang yang mendatangi dukun atau paranormal ibadahnya tidak akan

diterima selama 40 hari seperti dalam hadist di bawah ini:

َﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُ ﱠﷲ ﻰﱠﻠَﺻ ﱢﻲِﺒﱠﻨﻟﺍ ْﻦَﻋ َﻢﱠﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُ ﱠﷲ ﻰﱠﻠَﺻ ﱢﻲِﺒﱠﻨﻟﺍ ِﺝﺍَﻭْﺯَﺃ ِﺾْﻌَﺑ ْﻦَﻋ َﺔﱠﻴِﻔَﺻ ْﻦَﻋ َﻝﺎَﻗ َﻢﱠﻠ

ًﺔَﻠْﻴَﻟ َﻦﻴِﻌَﺑْﺭَﺃ ٌﺓ َﻼَﺻ ُﻪَﻟ ْﻞَﺒْﻘُﺗ ْﻢَﻟ ٍءْﻲَﺷ ْﻦَﻋ ُﻪَﻟَﺄَﺴَﻓ ﺎًﻓﺍﱠﺮَﻋ ﻰَﺗَﺃ ْﻦَﻣ

Artinya: Dari Shafiyah, puteri Abu Ubaid dari salah seorang istri

Rasulullah SAW, dari Nabi Muhammad, bahwasanya beliau telah bersabda,

"Barang siapa mendatangi juru ramal {dukun}, kemudian ia bertanya sesuatu

kepadanya, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam" (HR.

Muslim Juz 4 Bab 39 No. 2230:1751)

Orang yang percaya pada dukun akan terjerumus kedalam

perbuatan-perbuatan yang syirik. Padahal agama Islam melarang seseorang untuk

menyekutukan Allah atau berbuat syirik. Seperti dalam hadist Rosulullah

SAW:

َﻘَﻓ َﻢﱠﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُ ﱠﷲ ﻰﱠﻠَﺻ ِ ﱠﷲ ِﻝﻮُﺳَﺭ َﺪْﻨِﻋ ﺎﱠﻨُﻛ َﻝﺎَﻗ ِﻪﻴِﺑَﺃ ْﻦَﻋ َﺓَﺮْﻜَﺑ ﻲِﺑَﺃ ُﻦْﺑ ِﻦَﻤ ْﺣﱠﺮﻟﺍ ُﺪْﺒَﻋ َﻻَﺃ َﻝﺎ

ْﻭَﺃ ِﺭﻭﱡﺰﻟﺍ ُﺓَﺩﺎَﻬَﺷَﻭ ِﻦْﻳَﺪِﻟﺍَﻮْﻟﺍ ُﻕﻮُﻘُﻋَﻭ ِ ﱠﻟﺎِﺑ ُ ﺍَﺮْﺷِ ِْﺍ ﺎًﺎ َﻼَﺎ ِﺮِﺮﺎَﺒَﻜْﻟﺍ ِﺮَﺒْﻛَﺄِﺑ ْﻢُﻜُﻜﱢﺒَﻧُﺃ َﻥﺎَﻛَﻭ ِﺭﻭﱡﺰﻟﺍ ُﻝْﻮَﻗ

(21)

Artinya: Dari Abdurahman bin Abu Barkah, dari ayahnya

radhiyallahu 'anhu ia berkata, "Kami pernah berada di sisi Rasulullah

shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda, "Maukah engkau aku

beritahukan tiga dosa terbesar? Ada tiga (yaitu) Menyekutukan Allah,

durhaka terhadap kedua orang tua dan kesaksian dusta atau ucapan dusta"

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan itu sambil bersandar,

kemudian beliau duduk. Tak henti-hentinya beliau mengulangi ucapannya,

sehingga kami mengharapkan, "Semoga beliau diam."(HR. Muslim)

َﻞﻴِﻗ ِﺕﺎَﻘِﺑﻮُﻤْﻟﺍ َﻊْﺒﱠﺴﻟﺍ ﺍﻮُﺒِﻨَﺘْﺟﺍ َﻝﺎَﻗ َﻢﱠﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُ ﱠﷲ ﻰﱠﻠَﺻ ِ ﱠﷲ َﻝﻮُﺳَﺭ ﱠﻥَﺃ َﺓَﺮْﻳَﺮُﻫ ﻲِﺑَﺃ ْﻦَﻋ َﻝﻮُﺳَﺭ ﺎَﻳ

ﱢﻖ َﺤْﻟﺎِﺑ ﱠﻻِﺇ ُ ﱠﷲ َﻡﱠﺮَﺣ ﻲِﺘﱠﻟﺍ ِﺲْﻔﱠﻨﻟﺍ ُﻞْﺘَﻗَﻭ ُﺮ ْﺤﱢﺴﻟﺍَﻭ ِ ﱠﻟﺎِﺑ ُ ْﺮﱢﺸﻟﺍ َﻝﺎَﻗ ﱠﻦُﻫ ﺎَﻣَﻭ ِ ﱠﷲ ِﻢﻴِﺘَﻴْﻟﺍ ِﻝﺎَﻣ ُﻞْﻛَﺃَﻭ

ِﺕﺎَﻨِﻣْﺆُﻤْﻟﺍ ِﺕ َﻼِﻓﺎَﻐْﻟﺍ ِﺕﺎَﻨِﺼ ْﺤُﻤْﻟﺍ ُﻑْﺬَﻗَﻭ ِﻒْﺣﱠﺰﻟﺍ َﻡْﻮَﻳ ﻲﱢﻟَﻮﱠﺘﻟﺍَﻭ ﺎَﺑﱢﺮﻟﺍ ُﻞْﻛَﺃَﻭ

Artinya: Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwasanya

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Hindarilah tujuh perkara

yang mencelakakan" Beliau ditanya, "Wahai Rasulullah! Apa tujuh perkara

itu?" Beliau bersabda, "(yaitu) Menyekutukan Allah, sihir, membunuh orang

yang diharamkan oleh Allah kecuali terdapat alasan yang dibenarkan,

memakan harta riba, makan harta anak yatim, lari dari medan perang dan

menuduh zina terhadap perempuan yang baik yang menjaga kehormatan

dirinya serta beriman.(HR. Muslim)

Dilihat dari tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Jetak yang

(22)

tentang tradisi-tradisi yang tidak ada dasarnya dalam ajaran agama islam,

maka peneliti akan meneliti tentang tradisi perkawinan. Tetapi dalam

penelitian ini peneliti mengambil judul “ PELAKSANAAN IJAB KABUL

PERKAWINAN DENGAN SISTEM PERHITUNGAN WAKTU (Studi

Kasus Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang).

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka yang

menjadi objek masalah dalam penelitian ini adalah

1. Bagaimana pendapat para pelaku, para tokoh agama dan tokoh

masyarakat tentang pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan sistem

perhitungan waktu?

2. Bagaimana konsep penggunaan sistem perhitungan pelaksanaan ijab

kabul pernikahan masyarakat jawa muslim dalam perspektif ilmu fiqh?

3. Bagaimana hukum pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan sistem

perhitungan waktu?

C. Tujuan Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai

(23)

1. Untuk mengetahui pendapat para pelaku, para tokoh agama dan

tokoh masyarakat tentang pelaksanaan ijab kabul perkawinan

dengan sistem perhitungan waktu.

2. Untuk mengetahui konsep penggunaan sistem perhitungan

pelaksanaan ijab kabul pernikahan masyarakat jawa muslim dalam

perspektif ilmu fiqh

3. Untuk mengetahui hukum pelaksanaan pelaksanaan ijab kabul

perkawinan dengan sistem perhitungan waktu.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pembaca tahu bagaimana pendapat-pendapat para pelaku

pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan sistem perhitungan

waktu.

2. Pembaca tahu persepsi para tokoh agama dan tokoh masyarat

mengenai pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan sistem

perhitungan waktu di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten

Semarang.

3. Pembaca tahu hukum pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan

(24)

E. Telaah Pustaka

Tradisi merupakan suatu karya cipta manusia. Sepanjang ia tidak

bertentangan dengan inti ajaran agama, tentunya Islam akan

membenarkannya. Kita bisa bercermin bagaimana walisongo tetap

melestarikan tradisi jawa yang tidak melenceng dari ajaran Islam.(Yazid,

2005:249)

Aqidah yang murni adalah landasan pokok bagi tegaknya masyarakat

Islam. Sedangkan tauhid merupakan inti sari aqidah itu, Ia adalah keseluruhan

jiwa-jiwa Islam. Perang terhadap berbagai keyakinan jahiliyah yang

dikembangkan oleh paham keberhalaan yang sesat merupakan suatu

keniscayaan, demi menyucikan masyarakat muslim dari debu-debu syirik dan

sisa-sisa kesesatan.(Qardhawi, 2007:333)

Tradisi-tradisi yang ada di pulau Jawa tersebut masih saja berkembang

di zaman modern seperti saat ini dan di lingkungan masyarakat muslim.

Penelitian yang menyangkut tentang tradisi-tradisi di pulau jawa telah

dilakukan oleh peneliti yang bernama Mikdad Musa Mubaroq dengan judul

Fiqh Lingkungan Sesajen Kali Dan Kearifan Lokal (Studi Kasus di Desa

Warangan, Muneng Warangan, Pakis, Magelang). Penelitian ini mengkaji

(25)

Penelitian yang dilakukan oleh Ariyanto dengan judul Penggunaan

Petungan Masyarakat Jawa Muslim Dalam Ritual Pernikahan (Studi Kasus di

Desa Reksosari, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang). Penelitiannya itu

membahas tentang perhitungan untuk memperoleh hari, tanggal dan bulan

yang baik dan tidak baik untuk melaksanakan ritual pernikahan. Sehingga

penelitian ini masih membahas hari, tanggal dan bulan secara menyeluruh.

Adapun penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Isro’i mengambil

judul Larangan Menikah Pada Bulan Muharram Dalam Perspektif Hukum

Islam (Studi Kasus di Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten

Boyolali). Penelitiannya ini berisi tentang larangan menikah pada bulan

Muharram dikarenakan pernikahan yang dilakukan di bulan tersebut akan

banyak mendapatkan halangan. Dan bulan suro’ adalah bulan keramat. Tetapi

para ulama di desa tesebut menjelaskan bahwa menikah pada bulan itu

merupakan bulan yang dimuliakan oleh Allah Swt, dan dalam pelaksanaannya

pun belum pernah ada kejadian-kejadian aneh yang terjadi. Dalam hukum

Islam pun tidak pernah membeda-bedakan bulan atau hari-hari ketika akan

melakukan sesuatu hal. Sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan lebih

khusus tentang “PELAKSANAAN IJAB KABUL PERKAWINAN

DENGAN SISTEM PERHITUNGAN WAKTU”.

Setelah meninjau dari beberapa penelitian-penelitian yang telah

(26)

Jawa. Maka disini penulis akan meneliti tentang tradisi jawa yang berkaitan

dengan perkawinan tetapi dalam penelitian ini nanti lebih spesifik yaitu

masalah ijab qabulnya, dengan judul “PELAKSANAAN IJAB KABUL

PERKAWINAN DENGAN SISTEM PERHITUNGAN WAKTU (Studi

Kasus di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang)”.

F. Penegasan Istilah

Untuk mendapatkan kejelasan judul diatas, penulis perlu memberikan

penegasan dan batasan terhadap istilah-istilah. Istilah-istilah tersebut adalah:

1. Nikah adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk

bersuami istri (dengan resmi).(Poerwadarminta, 2006:800)

Kawin adalah perjodohan laki-laki dan perempuan mejadi suami

istri. (Poerwadarminta, 2006:531-532)

Pernikahan adalah perbuatan nikah; upacara perkawinan.(Fajri dan

Senja :590)

2. Ijab adalah ikrar penyerahan dari pihak pertama

Kabul adalah ikrar penerimaan dari pihak suami.(Syarifuddin,

2006:61)

3. Waktu adalah sekalian rentetan saat yang telah lampau, sekarang,

(27)

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan jenis penelitian

Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah field

research (penelitian lapangan) yaitu penelitian terjun langsung kelapangan

guna mengadakan penelitian pada objek yang dibahas yaitu bagaimana

tata cara seseorang menetukan waktu-waktu yang baik untuk

melangsungkan ijab kabul dan mengetahui persepsi masyarakat, selain itu

penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, karena dalam penelitian ini

bertujuan untuk mengungkap gejala secara menyeluruh melalui

pengumpulan data di lapangan dan memanfaatkan dari peneliti sebagai

instrument kunci.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk

memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian

misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistic dan

dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu

konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode

ilmiah.(Moleong, 2009:6)

Sedangkan dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan

sosiologis yang digunakan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan ijab

kabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu masyarakat Jawa

(28)

Semarang dan penentuan waktu yang baik untuk pelaksanaan serta

akibat-akibat yang ditimbulkan pasca ijab kabul perkawinan.

Yang dimaksud pendekatan sosiologis adalah melakukan

penyelidikan dengan cara melihat fenomena masyarakat atau peristiwa

social, politik dan budaya untuk memahami hukum yang berlaku di

masyarakat.(Soekanto, 1986:4-5)

2. Kehadiran peneliti

Dalam penelitian ini kehadiran peneliti merupakan hal yang utama

dan penting karena seorang peneliti secara langsung mengumpulkan data

yang ada dilapangan. Sedangkan status peneliti dalam hal mengumpulkan

data diketahui oleh informan secara jelas guna menghindari kesalah

pahaman antara peneliti dan informan.

3. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian berada di Desa Jetak Kecamatan Getasan

Kabupaten Semarang. Karena para masyarakat masih percaya dengan

adanya waktu-waktu yang baik untuk melaksanakan ijab qabul

pernikahan. Sehingga hal ini menjadi menarik untuk ditelit. Dan sampai

saat ini pun mereka masih melaksanakan kebiasaan yang mereka percayai

(29)

4. Sumber data

Data yang penulis pergunakan dalam penulisan skripsi ini

meliputi:

a. Data premier yang merupakan data yang pokok atau utama yang

digunakan dalam penulisan skripsi. Dalam hal ini data di peroleh

dari para pelaku yang melangsungkan ijab qabul perkawinan

dengan sistem perhitungan waktu yang terjadi di Desa Jetak.

b. Data sekunder merupakan data tambahan atau data yang digunakan

untuk melengkapi data premier. Data sekunder biasanya berwujud

data dokumentasi atau data laporan yang tersedia. Dalam hal ini

peneliti menggunakan buku-buku primbon atau buku kejawen

sebagai sumber data resmi serta buku fiqh dan juga buku lainnya

yang berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder dalam

penelitian ini juga dapat diperoleh dari tokoh-tokoh masyarakat,

tokoh-tokoh agama maupun masyarakat umum yang tinggal

disekitar orang-orang yang melaksanakan ijab qabul perkawinan

dengan sistem perhitungan waktu.

5. Prosedur pengumpulan data

Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar

(30)

suatu proses pengadaan data premier untuk keperluan penelitian.(Nazir,

1988:21)

Peneliti menggunakan beberapa metode yaitu:

a. Metode observasi atau pengamatan langsung

Pengumpulan data dengan observasi langsung adalah cara

pengambilan data dngan menggunakan mata tanpa ada pertolongan

alat standar lain untuk keperluan tersebut.(Nazir, 1988: 212)

Metode ini penulis gunakan sebagai langkah awal untuk

mengetahui keadaan serta kondisi mengenai objek penelitian.

b. Metode wawancara

Metode wawancara ini digunakan untuk memperoleh

beberapa jenis data dengan teknik komunikasi secara langsung

(Surakhmad, 1990:74). Wawancara ini dilakukan dengan acuan

catatan mengenai pokok masalah yang akan di tanyakan. Sasaran

wawancara adalah para pelaku perkawinan yang menggunakan

ijab qabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu. Maupun

keluarga yang melaksanakan perkawinan serta masyarakat Desa

Jetak.

c. Metode dokumentasi

Mencari data mengenai beberapa hal baik yang berupa

(31)

Getasan Kabupaten Semarang. Metode ini digunakan sebagai

pelengkap memperoleh data.

6. Analisi data

Setalah data tekumpul semua maka penulis menentukan bentuk

analisa terhadap data-data tersebut.

Analisa data merupakan bagian yang amat penting dalam metode

ilmiah, karena dengan analisalah data tersebut dapat diberi arti dan makna

yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian.(Nazir, 1988:405)

Analisis data yang digunakan analisis deskriptif penyelidikan yang

menuturkan, menggambarkan, menganalisa dan mengklasifikasikan

penyelidikan dengan teknik survey, interview dan observasi.(Surakhmad,

1990:139)

7. Pengecekan keabsahan data

Disini penulis menggunakan triangulasi (menggunakn beberapa

sumber, metode, teori) sebagai teknik. Dimana pengertiannya adalah

teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain

dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek

(32)

8. Tahap-tahap penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap. Tahap pertama

yaitu pra lapangan, dimana peneliti melakukan penelitian untuk

menetukan topik penelitian, mencari informasi tentang ada atau tidaknya

pelaksanaan ijab qabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu.

Tahap kedua peneliti terjun langsung kelapangan untuk menggali

informasi dan mencari data dari informan, yaitu dengan observasi,

wawancara dan dokumentasi. Tahap akhir pembuatan laporan penelitian

dengan cara menganalisis data dari informan dan juga memaparkan

dengan narasi deskriptif.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab yang saling berkaitan

yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, fokus

penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah,

metode penelitian, telaah pustaka, dan sistematika penulisan.

BAB II: Kajian pustaka yang menjelaskan tentang pengertian ijab qabul,

pengertian perkawinan, dan juga tahap-tahap penentuan ijab qabul

(33)

BAB III: Tetang hasil penelitian yaitu praktek ijab qabul dalam perkawinan

dengan sistem perhitungan waktu, alasan-alasan pelaku

menggunakan terikatnya waktu dan tidak terikatnya waktu dalam

pelaksanaan ijab qabul. Gambaran umum penduduk Desa Jetak dan

persepsi tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam pelaksanaan ijab

kabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu

BAB IV: Analisis tentang praktek pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan

sistem perhitungan waktu. Analisis alasan-alasan pelaku

menggunakan sistem perhitungan waktu dan tidak menggunakan

sistem perhitungan waktu dalam pelaksanaan ijab qabul. Analisis

persepsi tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam pelaksanaan ijab

kabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu.

BAB V: Penutup berisi tentang kesimpulan dan saran.

(34)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Perkawinan

Perkawinan atau pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan

berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun

tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah Swt., sebagai

jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan

hidupnya.(Tihami dan Sohari, 2010:6)

Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab

disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai

dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al

Qur’an dan hadist nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al Qur’an

dengan arti kawin, (Syarifuddin, 2006:35)seperti dalam Surat An Nisa’ ayat 3:



Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap

(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka

(35)

kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah)

seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah

lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Departemen Agama Republik

Indonesia, 1989:115)

Demikian pula dengan kata za-wa-ja dalam Al Qur’an dalam arti

kawin, seperti pada Surat Al Ahzab ayat 37:

...

Artinya: Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap

Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak

ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak

angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan

keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti

terjadi.(Departemen Agama Republik Indonesia, 1989:673)

Nikah, menurut bahasa: al jam’u dan al dhamu yang artinya kumpul.

Makna nikah (zawaj) baiasa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya

akad nikah. Juga bisa diartikan (wath’ual-zaujah) bermakna menyetubuhi

istri. Definisi yang hampir sama dengan diatas juga di kemukakan oleh rahmat

(36)

merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja “nakaha”, sinonimnya

“tazawwaja” kemudian di terjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai

perkawinan. Kata nikah sering juga dipergunakan sebab telah masuk dalam

bahasa Indonesia.

Beberapa penulis juga terkadang menyebut pernikaha dengan kata

perkawinan. Dalam bahasa Indonesia, “perkawinan” berasal dari kata

“kawin”, yang menurut bahasa, artinya membentuk keluarga dengan lawan

jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh”. Istilah kawin

digunakan secara umum, untuk tumbuhan, hewan, dan manusia, dan

menunjukkan proses generative secara alami. Berbeda dengan itu, nikah

hanya digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan secara hukum

nasional, adat istiadat, dan terutama menurut agama. Makna nikah adalah ikad

atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab (pernyataan

penyerahan dari pihak perempuan) dan qabul (pernyataan penerimaan dari

pihak lelaki). Selain itu nikah bisa juga diartikan sebgai bersetubuh.(Tihami

dan Sohari, 2010:7)

Perkawinan adalah pangkal pembentukan rumah tangga yang menjadi

sendi masyarakat. Undang-undang kutara Manawa memang menyediakan

peratura-peraturan sipil yang bertalian dengan kehidupan rumah tangga,

seperti tukon (mahar), perkawinan, perceraian dan pewarisan.(Muljana,

(37)

Adapun pengertian perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 adalah

ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami

istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam kompilasi

hukum Islam perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad

yang sengat kuat atau mitssaqanghalidzan untuk mentaati perintah Allah Swt.

dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Al Qur’an menjuluki pernikahan dengan mitsaqan ghalizhan, janji

yang sangat kuat. Ini mengisyaratkan bahwa pernikahan itu merupakan

perjanjian serius antara mempelai pria (suami) dengan mempelia perempuan

(istri). Karena pernikahan yang sudah dilakukan itu harus dipertahankan

kelangsungannya. Sungguhpun talak (perceraian) itu dimungkinkan

(dibolehkan) dalam Islam, tetapi Rosulullah Saw. menjulukinya sebagai

perbuatan halal yang dibenci Allah. Da itulah pula sebabnya mengapa dalam

akad nikah harus ada saksi minimal dua orang, disamping wali nikah

meskipun tentang status hukumnya apakah dia sebagai rukun atau hanya

tergolong syarat sah nikah tetap diperdebatkan oleh para ulama

(38)

B. Dasar Hukum Perkawinan

Hukum Nikah (Perkawinan), yaitu hukum yang mengatur hubungan

antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan

biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat

perkawinan tersebut, (Tihami dan Sohari, 2010:8) di dalam Al Qur’an ada

beberapa dasar hukum perkawinan, Seperti halnya dalam Al Qur’an surat

An-Nuur 32:

Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu,

dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang

lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin

Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas

(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.(Departemen Agama Republik

Indonesia, 1989:549)

(39)



Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang

telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah

menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang

biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah

yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama

lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu

menjaga dan mengawasi kamu.(Departemen Agama Republik Indonesia,

1989:114)

Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang

membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya

tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal perkawinan itu

adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai

sunnah Allah dan sunnah rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum

asal perkawinan itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat dikatakan

bahwa melangsungkan akad perkawinan disuruh oleh agama dan dengan telah

berlangsungnya akad perkawinan itu, maka pergaulan laki-laki dan

(40)

Perkawinan yang sunnatullah pada dasarnya adalah mubah tergantung

pada tingkat kemaslahtannya. Oleh karena itu, perkawinan yang asalnya

mubah, dapat berubah menurut ahkamal-khamsah (hukum yang lima) sesuai

perubahan keadaan, (Tihami dan Sohari, 2010:10) yaitu:

1. Nikah wajib. Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang

akan menambah taqwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah

mampu, yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari

perbuatan haram. Kewajiban ini tidak akan terlaksana kecuali dengan

nikah.

2. Nikah haram. Nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya

tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga melaksanakan

kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan

kewajiban batin seperti mencampuri istri.

3. Nikah sunnah. Nikah disunnahkan bagi orang-orang yang sudah

mampu tetapi ia masih sanggup mengendaliakn dirinya dari perbuatan

haram, dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik dari pada

membujang karena membujang tidak diajarkan oleh islam.

4. Nikah mubah, yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah

dan dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia belum

(41)

Lepas dari hukum pernikahan yang beraneka ragam ini, yang pasti

pada satu sisi Nabi Muhammad Saw. menganjurkan para pemuda yang

memiliki kemampuan biaya hidup supaya melakukan pernikahan; sementara

pada sisi yang lain, Nabi melarang keras umat Islam melakukan tabattul

(membujang selamanya).(Amin, 2005:93)

C. Rukun Dan Syarat Perkawinan

Rukun dan syarat perkawinan menentukan suatu perbuatan hukum,

terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari

segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal

bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara

perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam

arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.

Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah

sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang

mengujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berbeda di luarnya

dan merupakan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan

dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi

rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria

(42)

Pernikakan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad lain

yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan

akad.(Tihami dan Sohari, 2010:8) Adapun rukun nikah adalah:

1. Mempelai laki-laki;

2. Mempelai perempuan;

3. Wali;

4. Dua orang saksi;

5. Shighat ijab Kabul.

Dari lima rukun nikah tersebut yang paling penting ialah Ijab Kabul

antara yang mengadakan dan menerima akad sedangakan yang dimaksud

syarat perkawinan adalah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun

perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi dan Ijab

Kabul.

Syarat-syarat suami

1) Laki-laki

2) Bukan mahram dari calon istri

3) Tidak terpaksa atas kemauan sendiri

4) Orangnya tertentu, jelas orangnya

(43)

Syarat-syarat istri

1) Perempuan

2) Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram,

tidak sedang dalam iddah

3) Merdeka, atas kemauan sendiri

4) Jelas orangnya

5) Tidak sedang berihram

Syarat-syarat wali

1) Laki-laki

2) Baligh

3) Waras akalnya

4) Tidak dipaksa

5) Adil

6) Tidak sedang ihram

Syarat-syarat saksi

1) Laki-laki

2) Baligh

3) Waras akalnya

(44)

5) Dapat mendengar dan melihat

6) Bebas, tidak dipaksa

7) Tidak sedang mengerjakan ihram

8) Memahami bahasa yang dipergunakan Ijab Kabul

Dari uraian di atas menjelaskan bahwa akad nikah atau perkawinan

yang tidak dapat memenuhi syarat dan rukunnya menjadi perkawinan tersebut

tidak sah menurut hukum.

D. Akad Nikah Dan Syarat-Syarat Ijab Kabul

Rukun yang pokok dalam perkawinan, ridhonya laki-laki dan

perempuan dan persetujuan mereka untuk mengikat hidup berkeluarga.

Karena perasaan ridho dan setuju bersifat kejiwaan yang tak dapat dilihat

dengan mata kepala, karena itu harus ada perlambangan yang tegas untuk

menunjukkan kemauan untuk mengadakan perikatan bersuami istri.

Perlambangan itu diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang

mengadakan akad.(Sayyid, 1980:53)

Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang

melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah

penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari

pihak kedua (Syarifuddin, 2006:61). Ijab qabul merupakan satu senyawa yang

(45)

pengucapannya selalu disyaratkan harus dilakukan secara berdampingan

dalam arti tidak boleh terselang atau diselang dengan hal-hal lain yang tidak

memiliki hubungan dengan proses ijab qabul.(Amin, 2005:54)

Untuk terjadinya aqad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada

suami istri haruslah memenuhi syarat-syarat (Sayyid, 1980:53), sebagai

berikut:

1. Calon pengantin laki-laki dan wali calon pengantin perempuan

sudah tamyiz. Bahwa orang yang melakukan akad nikah harus

sudah mumayyiz atau tepatnya telah dewasa dan berakal sehat.

Itulah sebabnya mengapa orang gila dan anak kecil yang belum

bisa membedakan antara perbuatan yang benar dan salah serta

perbuatan yang manfaat dan mudarat, akad nikah tidak dianggap

sah. Dalam rangka persyaratan mumayyiz inilah fiqh munakahat

dan undang-undang perkawinan selalu saja mencantumkan batas

minimal usia kawin (nikah).

2. Ijab qabul dalam satu majlis maksudnya, akad nikah dilakukan

dalam satu majelis, dalam konteks pengertian harus beriringan

antara pengucapan (ikrar) ijab dan qabul. Dalam kalimat lain, ikrar

ijab qabul tidak boleh diselingi dengan aktivitas atau pernyatan

lain yang tidak ada relevansinya dengan kelangsungan akad nikah

(46)

3. Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab, kecuali

kalau lebih baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukkan

pernyataan persetujuannya lebih tegas.

4. Para pihak yang melakukan akad nikah (mempelai suami atau

yang mewakili dan mempelai perempuan atau wali atau yang

mewakilinya) harus mendengar secara jelas dan memahami

maksud dari ikrar atau pernyataan yang disampaikan

masing-masing pihak. Jika salah satu pihak apalagi keduanya tidak

memahami akad yang dilakukan lebih-lebih jika terjadi

pertentangan antara keduanya tentang akad yang mereka lakukan,

akad nikah dianggap tidak sah.

a) Kata-kata dalam Ijab Qabul

Di dalam melakukan ijab qabul haruslah dipergunakan kata-kata yang

dapat dipahami oleh masing-masing pihak yang melakukan akad nikah

sebagai menyatakan kemauan yang timbul dari kedua belah pihak untuk

nikah, dan tidak boleh menggunakan kata-kata yang samar atau

kabur.(Sayyid, 1980:55)

b) Ijab Qabul Bukan dengan Bahasa Arab

Para ahli fiqh sependapat, ijab qabul boleh dilakukan dengan bahasa

(47)

satunya tidak tahu bahasa Arab. Mereka berbeda pendapat bagaimana bila

kedua belah pihak paham bahasa Arab dan bisa melaksanakan ijab qabulnya

dengan bahasa ini.

Ibnu Qudamah dalam kitab Mughni mengatakan: bagi orang yang

mampu mempergunakan bahasa Arab dan ijab qabulnya, tidak sah

menggunakan selain bahasa Arab. Demikianlah salah satu dari pendapat

Imam Syafi’i. menurut Imam Abu Hanifah boleh, sebab ia telah menggunakan

kata-kata tertentu yang dipergunakan dalam ijab qabul sebagaimana juga

dalam bahasa Arab. Tapi bagi kami (Ibnu Qudamah) tidak menggunakan

kata-kata Arab “nikah dan tazwij”, padahal ia mampu, hukumnya tidak sah.

Adapun orang yang tidak pandai bahasa Arab ia boleh menggunakan

bahasanya sendiri, karena bahasa lain memang ia tidak mampu, sehingga

kewajibannya menggunakan lafadz Arab gugur, seperti bagi orang yang bisu.

Tetapi ia perlu menggunakan lafadz lain yang khusus yang maknanya sama

dengan lafadz Arab yang digunakan dalam ijab qabul, dan bagi orang yang

tidak pandai berbahasa Arab tidak wajib mempelajari kata-kata ijab qabul

bahasa Arab ini. Tetapi Abu Khatthab berkata: ia wajib belajar, sebab bahasa

Arab termasuk syarat sahnya ijab qabul, yang karena itu bagi orang yang

mampu wajib mempelajarinya, seperti halnya dengan mengucapkan takbir

shalat.(Sayyid, 1980:57)

(48)

Ijab qabul orang bisu sah dengan isyaratnya, bilamana dapat

dimengerti, sebagaimana halnya dengan akad jual belinya yang sah dengan

jalan isyaratnya, karena isyaratnya itu mempunyai makna yang dapat

dimengerti. Tetapi kalau salah satu pihaknya tidak memahami isyaratnya, ijab

qabul tidak sah, sebab yang melakukan ijab qabul hanyalah antara dua orang

yang bersangkutan itu saja. Masing-masing pihak yang berijab qabul wajib

dapat mengerti apa yang dilakukan oleh pihak lainnya.(Sayyid, 1980:59)

d) Ijab Qabulnya Orang yang Gaib (Tidak Hadir)

Bilamana salah seorang dari pasangan pengantin tidak ada tetapi tetap

mau melanjutkan akad nikahnya, maka wajiblah ia mengirim wakilnya atau

menulis surat kepada pihak lainnya meminta diakad nikahkan, dan pihak yang

lain ini jika memang mau menerima hendaklah dia menghadirkan para saksi

dan membaca isi suratnya kepada mereka, atau menunjukkan wakilnya

kepada mereka dan mempersaksikan kepada mereka didalam majlisnya bahwa

akad nikahnya telah diterimanya. Dengan demikian qabulnya dianggap masih

dalam satu majlis.(Sayyid, 1980:59)

E. Hikmah Nikah

Islam menganjurkan dan menggembirakan kawin sebagaimana

(49)

masyarakat dan seluruh umat manusia. (Sayyid, 1980:18) Adapun hikmah

nikah adalah:

1. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan

keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana

jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia

yang mengalami goncang dan kacau serta menerobos jalan yang

jahat.

Dan kawinilah jalan alami dan biologis yang paling baik dan

sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluriah seks ini.

Dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara

dari melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang

yang halal. Seperti yang diisyaratkan oleh firman Allah QS.

Ar-Ruum: 21

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia

menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya

kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan

dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang

demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang

(50)

2. Kawin, jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia,

memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta

memelihara nasab yang oleh islam sangat diperhatikan.

3. Naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi

dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula

perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayang yang merupakan

sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.

4. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak

menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat

bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan cekatan bekerja, karena

dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya, sehingga ia

akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat

memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi.

5. Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur

rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan

batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam menangani

tugas-tugasnya.

Dengan perkawinan di antaranya dapat membuahkan tali

kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan

(51)

ditopang dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling menunjang lagi saling

menyayangi akan merupakan masyarakat yang kuat lagi bahagia.

F. Upacara Pengantin Adat Jawa

Hingga sekarang kebanyakan perkawinan di Jawa masih diatur oleh

orang tua mempelai wanita maupun pria. Bahkan kalau seorang anak laki-laki

berpikiran sendiri tentang gadis mana yang akan dinikahinya, ia akan

melaksanakan maksudnya dengan bantuan orang tua, kalau ia bisa

meyakinkan mereka bahwa pilihannya memang bijaksana. Ini masih

merupakan pola yang berlaku di banyak kalangan yang masih tradisional dan

“kolot”, tetapi pola percintaan yang romantis mulai menjadi gangguan yang

makin sering dan terus terjadi di zaman sekarang.(Geertz, 1981: 69) Ketika

jodoh sudah menghampiri, maka pantaslah bila disambut dengan gembira hati

dan suka ria atas anugrah tuhan tersebut. Sebagai calon laki-laki harus

berhati-hati dalam bersikap, bertutur kata dan berpikiran agar kekasih berhati-hati calon

pasangan anak calon laki-laki tidak tersinggung atau marah dan merubah

keputusannya. Betapapun, kehadirannya dalam lingkungan keluarga calon

laki adalah baru. Hal ini perlu banyak penyesuaian baik bagi calon

laki-laki, bagi dia, bagi keluarga besar calon pengantin. Tata cara dan adat

tradisional sudah mengajari, bagaimana memperlakukan orang lain, keluarga

orang lain dan masyarakat lain dalam suatu tatanan upacara adat yang agung,

(52)

Babat alas artinya membuka hutan untuk merintis membuat lahan.

Dalam hal babat alas ini orang tua pemuda merintis seorang congkok untuk

mengetahui apakah si gadis sudah mempunyai calon atau belum. Istilah

umumnya disebut nakokake artinya menanyakan.(Bratawijaya, 1997; 139)

Kalau sang pemuda belum kenal dengan sang gadis, maka adanya

upacara nontoni. Sang pemuda diajak keluarganya datang kerumah sang gadis

pada saat itu pemuda diajak diberi kesempatan untuk nontoni sang gadis

pilihan orang tuanya. Kesempatan itu ditandai dengan kepura-puraan yang

sama kakunya; gadis itu, kaku karena malu, menghidangkan teh kepada sang

jejaka tanpa berbicara sama sekali, dan jejaka itu memandangnya dari sudut

mata (dalam kasus tradisional, ini adalah saat pertama mereka bertemu) untuk

memperoleh suatu kesan tentang dia. Kalau ia senang apa yang dilihatnya, ia

akan mengatakannya kepada orangtuanya dalam perjalanan pulang dan

pernikahan pun diatur. Upacara perkawinan itu disebut kepanggihan

(“pertemuan”) selalu diselenggarakan di rumah pengantin perempuan.(Geertz,

1981; 70)

Bila cocok artinya saling setuju, kemudian disusul dengan upacara

nglamar atau meminang. Dalam upacara nglamar keluarga pihak sang

pemuda menyerahkan barang kepada keluarga pihak sang gadis sebagai

peningset yang terdiri dari pakaian lengkap, dalam bahasa Jawanya

(53)

Menjelang hari pernikahan diadakan upacara srah-srahan atau asok

tukon yaitu pihak calon pengantin putra menyerahkan sejumlah hadiah

perkawinan kepada keluarga pihak calon pengantin putri berupaa hasil bumi,

alat-alat rumah tangga, ternak dan kandang-kandang ditambah sejumlah

uang.(Bratawijaya, 1997; 139)

Adapun rangkaian upacara adat pengantin Jawa dari awal sampai

akhir:

a. Upacara Siraman Pengantin Putra Putri

Upacara siraman ini dilangsungkan sehari sebelum akad nikah (ijab

kabul). Akad nikah dilangsungkan secara/menurut agama

masing-masing dan hal ini tidak mempengaruhi jalannya upacara

adat.(Bratawijaya, 1997; 143)

b. Upacara Midodareni

Dalam upacara midodareni pengantin putri mengenakan busana polos

artinya dilarang mengenakan perhiasan apa-apa kecuali cincin kawin.

Dalam malam midodareni itulah baru dapat dikatakan pengantin dan

sebelumnya disebut calon pengantin. Pada malam itu pengantin putra

(54)

c. Upacara Akad Nikah

Upacara akad nikah dilaksanakan menurut agamanya masing-masing.

Dalam hal ini tidak mempengaruhi jalannya upacara selanjutnya. Bagi

pemeluk agama Islam akad nikah dapat dilangsungkan di masjid atau

mendatangkan penghulu. (Bratawijaya, 1997; 147)

d. Upacara Panggih

Bagian I

Upacara balangan sedah/lempar sirih yaitu pengantin putra dan

pengantin putri saling melempar sirih, setelah itu disusul dengan

berjabat tangan tanda saling mengenal.

Bagian II

Upacara Wiji Dadi

Sebelum pengantin putra menginjak telur, pengantin putri membasuh

terlebih dahulu kedua pengantin putra.

Bagian III

Upacara sindur binayang yaitu pasangan pengantin berjalan di

belakang ayah pengantin putri, sedangkan ibu pengantin putri berjalan

dibelakang pengantin tersebut

Bagian IV

(55)

Upacara Tanem yaitu bapak pengantin putri mempersilahkan duduk

kedua pengantin dipelaminan yang bermakna bahwa bapak telah

merestui dan mengesahkan kedua pengantin menjadi suami

istri.(Bratawijaya, 1997; 148)

G. Menentukan Hari Pernikahan

Upacara khitanan dan perkawinan seperti juga pergantian tempat

tinggal dan semacamnya tampak perlu ditetapkan dengan kehendak manusia.

Tetapi disini pun penetapan secara sembarang harus dihindari dan suatu

tatanan ontologis yang lebih luas ditetapkan dengan sistem ramalan

numerologi yang di sebut petungan atau “hitungan”.(Geertz, 1981:38)

Sebagaimana dalam suatu harmoni, hubungan yang paling tepat adalah

terpastikan, tertentu, dan bisa diketahui. Demikian pula agama, seperti suatu

harmoni, adalah pada akhirnya suatu ilmu, tak peduli betapapun praktek

aktualnya mungkin lebih mendekati suatu seni. Sistem petungan memberikan

suatu jalan untuk menyatakan hubungan ini dan dengan demikian

menyesuaikan perbuatan seseorang dengan sistem itu. Petungan merupakan

cara untuk menghindarkan semacam disharmoni dengan tatanan umum alam

yang akan membawa ketidakuntungan. (Geertz, 1981:39)

Hajat pesta perkawinan merupakan bagian dari prestige dan wibawa

(56)

serta relasi secara luas. Oleh karena itu banyak hal yang harus dipikirkan.

Orang yang pertama mengawinkan anak perempuannya dinamakan mantu

sapisanan atau mbukak kawah. Sedang mantu anak bungsu dinamakan mantu

ragil atau tumplak-ponjen. Hal ini nantinya membutuhkan persyaratan

perlengkapan uba rampe tertentu, namun pada dasarnya persiapan yang harus

dilakukan sama saja.

Hari yang paling penting untuk segera dipastikan adalah upacara inti

perkawinan, yaitu ijab kabul. Ijab artinya menyatakan. Pihak orang tua

mempelai perempuan menyatakan bahwa si Anu dikawinkan dengan si Ani

dengan maskawin sejumlah tertentu. Kabul artinya menerima atau

mengabulkan. Pihak laki-laki menyatakan menerima pernyataan ijab dari

orangtua mempelai wanita di atas. Hari itu merupakan hari yang paling

penting bagi si Anu dan si Ani karena mereka bersumpah di depan orang tua

masing-masing, para saksi, penghulu dan semua hadirin. Sumpah ini dalam Al

Qur’an disebut Mitsaqan Ghaliza, artinya sumpah yang besar. Dari sumpah

itu menjadi halal semua yang tadinya diharamkan. Dari sumpah itu, tanggung

jawab orang tua mempelai perempuan jatuh sepenuhnya kepada mempelai

laki-laki, sebagai suami dan kepala rumah tangga yang baru.

Oleh karena pentingnya hal di atas, kendati semua hari baik, tapi

masyarakat Jawa umumnya memilih hari yang paling baik. Orang Jawa

(57)

upacara Ijab kabul maupun panggih. Ada beberapa hari baik yang baik untuk

ijab maupun panggih, tapi ada hari-hari yang jelek dan sangat tidak

dianjurkan untuk menyelenggarakan acara pada saat itu.

Masyarakat Jawa menyebut pesta perkawinan itu dengan mantu, yang

maksudnya mengantu-antu yang artinya saat yang ditunggu-tunggu.

Sementara pengantin dalam bahasa Jawa adalah pinanganten, yang kata

aslinya berasal dari pepatah pinang dan ganteng. Pinang terdapat pohon yang

tinggi, sementara ganten terdiri dari kapur dan sirih, terdapat pada

tumbuh-tumbuhan di tanah. Pinang dan ganten ini akhirnya menyatu dalam kunyahan

saat orang makan sirih. Istilah ini maksudnya asam di gunung garam di laut,

bertemu dalam belanga. Pengantin perempuan yang berasal dari kultur yang

jauh berbeda akan bersatu dalam sebuah harmoni keluarga yang saling

melengkapi kekurangan masing-masing sehingga tercipta keluarga bahagia.

1. Memilih Hari dan Bulan yang Baik

Dalam menentukan waktu yang baik bagi upacara ijab maupun

panggih calon mempelai itu biasanya diperhitungkan oleh para sesepuh

atau para ahli adat. Orang jawa umumnya mengenal hari-hari dan

bulan-bulan tertentu yang boleh atau tidak boleh menyelenggarakan acara

pernikahan atau pesta lainnya. Berikut ini tabel hari baik dan tidak baik

(58)

Bulan yang baik. Bulan-bulan yang cukup baik untuk acara Ijab

Kabul menurut kepercayaan Jawa adalah bulan Jumadiakhir, Rejeb,

Ruwah dan Besar. Waktu untuk acara ijab ini akan lebih baik lagi kalau di

antara bulan-bulan itu ada hari-hari selasa kliwon jum’at kliwon. Kecuali

Suro dan Pasa, bulan-bulan lain yang kurang bagus untuk ijab pun bisa

menjadi bagus kalau di bulan itu ada hari dan pasaran selasa dan jum’at

kliwon.

Sedangkan hari-hari yang tidak boleh dipakai untuk mengadakan

pernikahan yaitu:

Hari Pada bulan

Senin, selasa Besar, Sura, Sapar

Rabu, kamis Mulud, Rabi’ulakhir, Jumadilakhir

Jum’at Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah

Sabtu, minggu Pasa, Syawal, Dzulka’idah

Adapun tanggal-tanggal yang sebaiknya dihindari untuk

mengadakan pernikahan secara umum adalah sebagai berikut:

Tanggal Bulan

06-10 Besar

11-06 Sura

01-20 Sapar

10-20 Mulud

(59)

01-11 Jumadilawal

10-14 Jumadilakhir

02-14 Rejeb

12-13 Ruwah

09-20 Pasa

10-20 Sawal

12-13 Dulka’idah

Bulan dan hari yang tidak baik untuk akad nikah

BULAN HARI

Dzulkaidah, jumadilawal Senen kliwon

Besar, jumadilakhir Selasa legi

Sura, rejeb Rabu pahing

Sapar, ruwah Kamis pon

Rabiulawal, puasa Jumat wage

Rabiulakhir, syawal Sabtu kliwon

Sumber: Kitab Primbon Jawa Betaljemur Adammakna

Bulan yang baik dan bulan yang tidak baik menurut buku primbon

jawa:

a) Sura : Jangan dilanggar, karena kalau dilanggar akan mendapat

(60)

b) Sapar : Boleh dilanggar, walau akan kekurangan dan banyak

hutang.

c) Rabiulawal : Jangan dilanggar, karena salah satu akan

meninggal.

d) Rabiulakhir : Boleh dilanggar, walau sering digunjingkan dan

dicacimaki.

e) Jumadilawal : Boleh dilanggar, walau sering tertipu,

kehilangan dan banyak musuh.

f) Jumadilakhir : Kaya akan harta benda.

g) Rejeb : Selamat, serta banyak anak.

h) Ruwah : Selamat dan selalu damai.

i) Puasa : Jangan dilanggar, akan mendapat kecelakaan besar.

j) Sawal : Boleh dilanggar, walau sering kekurangan dan banyak

hutang.

k) Dulkaidah : Jangan dilanggar, karena akan sering sakit.

l) Besar : Kaya, dan mendapat kebahagiaan.

Dari beberapa bulan baik dan tidak baik diatas ada beberapa

catatan yaitu bulan Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah dan Besar jika memiliki

hari Selasa Kliwon akan baik untuk hajad nikah. Terlebih baik lagi jika

dalam bulan tersebut, ada hari Jum’at Kliwon. Jika tidak memiliki hari

(61)

untuk hajad nikah. Seandainya terpaksa lebih baik dilakukan pada bulan:

Sapar, Rabiulawal, Jumadilawal atau Sawal, asalkan bulan itu ada hari

Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon.(Soemodidjojo, tt:21)

2. Memilih Pasaran dan Waktu yang Baik

Selain hari dan bulan, ada waktu baik yang harus di sesuaikan

dengan pasaran lahir bagi seorang calon pengantin putri di bawah ini

daftar pasaran dan waktu yang baik untuk Ijab Kabul:

a. Pengantin putri yang lahir pon jangan ijab kabul pukul 11.00-13.00

b. Pengantin putri yang lahir wage jangan ijab kabul pukul

09.00-11.00

c. Pengantin putri yang lahir kliwon jangan ijab kabul pukul

06.00-08.00

d. Pengantin putri yang lahir legi jangan ijab kabul sore pukul

15.00-17.00

e. Pengantin putri yang lahir pahing jangan ijab kabul pukul

13.00-15.00

Selain waktu yang dilarang tersebut, adalah waktu yang baik untuk

menyelenggarakan ijab kabul. Waktu-waktu yang dilarang tersebut adalah

waktu naas, yang akan berakibat kurang baik bila dilanggar.(Harawijaya,

(62)

Sedangkan dalam kitab primbon Jawa betaljemur adammakna

menentukan waktu yang baik dalam pelaksanaan ijab kabul adalah sebagai

berikut:

Hari Siang Pada Jam Malam Pada Jam

Ahad 07.00-14.00 24.00

Senin 11.00 21.00-04.00

Selasa 08.00-15.00 18.00-01.00

Rabu 12.00 22.00-05.00

Kamis 09.00-16.00 19.00-02.00

Jumat 06.00-13.00 23.00

Sabtu 10.00-18.00 20.00-03.00

Table diatas merupakan waktu-waktu yang baik untuk

melangsungkan ijab kabul pernikahan sampai acara peernikahannya.

Selain waktu yang tertera dalam table merupakan waktu-waktu yang tidak

dianjurkan untuk melangsungkan ijab kabul Kabul

pernikahan.(Soemodidjojo, 1994:25)

Di dasar sistem yang cukup berbelit-belit ini terletak konsep

metafisis orang Jawa yang fundamental: cocog. Cocog berarti sesuai,

sebagaimana kesesuaian kunci sama dengan gembok, obat mujarab

(63)

persesuaian seorang pria dengan wanita yang dinikahinya (kalau tidak,

mereka bercerai).

Kalau anda sepakat dengan pendapat saya, kita cocog; kalau

pakaian yang saya pakai sesuai dengan kedudukan kelas saya, pakaian itu

cocog; kalau arti nama saya sesuai dengan watak saya (dan kalau nama itu

membawa keberuntungan), ia dikatakan cocog juga. Dalam pengertian

yang paling abstrak dan luas, dua hal yang terpisah akan cocog apabila

koinsidensi mereka membentuk suatu pola yang estetis. Ia menyatakan

secara tidak langsung suatu pandangan kontrapuntal terhadap alam raya

dimana yang penting hubungan alamiah antara apa yang dimiliki oleh dua

elemen yang terpisah ruang, waktu dan motivasi manusiawi.(Geertz,

1981:39) Waktu larangan tersebut tidak mengikat secara laangsung, tetapi

menurut pengalaman ilmubudi dan ilmutiten yan dimiliki oleh para orang

tua pendahulu kita sangatlah besar pengaruhnya. Sehebat-hebat manusia,

sesakti-sakti manusia, tetap memiliki kelemahan, kekurangan dan saat

yang naas atau pengapesan. Menghindari waktu pengapesan, merupakan

do’a selamat dunia akhirat.(Harawijaya, 2004:32)

H. Penggunaan Hitungan Atau Memilih Hari Baik Dalam Islam

Agama Islam terdapat pula hari-hari baik atau bulan-bulan tertentu

(64)

tersendiri. Namun, waktu-waktu tertentu digunakan dalam melakukan

puasa seperti: Dzulhijjah, hari Arafah, bulah Ramadhan dam bulan

Muharram.

Bukhari, Abu Daud, Tirmizdi dan Ibnu Majjah meriwayatkan dari

Ibnu Abbas: Rasulullah Saw bersabda: tidak ada hari-hari yang paling

dicintai oleh Allah untuk beramal shaleh kecuali sepuluh hari pertama (di

bulan Dzulhijjah) ini.

Para sahabat bertanya-tanya wahai Rasulullah, tidak dengan jihad

di jalan Allah? Nabi menjawab: tidak pula jihad di jalan allah, kecuali

dengan orang yang berjuang dengan jiwa dan hartanya, meski semua itu

tidak akan kembali.(Abdussalam, 2004:177)

Dalam Islam tidak ada bulan-bulan yang sial, semua bulan dalam

Islam masing-masing memiliki keutamaan, namun dikalangan masyarakat

Jawa kadang menganggap bulan-bulan tertentu sebagai bulan yang sial,

sehingga mereka takut untuk melakukan suatu keperluan.

Orang-orang awam biasa menulis ayat-ayat tentang keselamatan di

atas secarik kertas, misalnya ayat “salamun ‘ala nuh fil ‘alamin” pada hari

rabu terakhir bulan safar, kemudin meletakkannya di dalam bejana untuk

diminum airnya dan untuk mencari keberkahannya karena mereka

Gambar

Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 3.2 Jumlah Perangkat Desa/ Kelurahan
Tabel 3.5 Jumlah Sarana Ibadah
Tabel 3.6 Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Jetak
+3

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas nikmat dan karunianya yang diberikan kepada penulis selama menulis skripsi ini,

2) Untuk durasi 2 jam frekuensi pengangkatan yang diijinkan 9,55 kg dengan frekuensi pengangkatan 1 angkatan/menit dan batas beban maksimum yang diijinkan adalah 17,2

Terus menerus berusaha untuk memperoleh umpan balik faktor internal dan eksternal (Lasa HS, 2001: 9). Dari beberapa pendapat tentang evaluasi di atas, dapat dipahami bahwa evaluasi

Kota Pagar Alam Ogan Komering Ulu Selatan6. Ogan Komering

Disiplin merupakan salah satu karakteristik yang sangat penting untuk dimiliki setiap individu siswa, yang harus dipelajari oleh seorang guru. Disiplin dapat didefinisikan

Ekonomi adalah bagaimana orang menjatuhkan pilihan yang tepat untuk memanfaatkan sumber daya produktif, (tanah, tenaga kerja, barang-barang modal, mesin dan pengetahuan tehnik)

PENGARUH PENGGUNAAN BAHAN BELAJAR MANDIRI E-MODUL TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN SELF-DIRECTED LEARNING DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN SIMULASI DIGITAL..

Stadion baru Kota Bekasi yang sedang dibangun terletak di wilayah Rawa Tembaga, dahulu kawasan ini termasuk dalam wilayah hijau, yang berupa rawa-rawa ……….176... Gedung