PELAKSANAAN IJAB KABUL PERNIKAHAN DENGAN
SISTEM PERHITUNGAN WAKTU
(Studi Kasus Desa Jetak, Kecamatan Getasan,
Kabupaten Semarang)
S K R I P S I
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar
Strata 1 (S-1) Sarjana Syari’ah
Oleh:
KHUSEIN ALI MOCHAMMAD
NIM: 21109004
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH (AS)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA
MOTTO
Artinya: Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan
apapun yang lain. tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia.
tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala penentuan,
dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
“Man Jadda Wa Jadda”
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis mampu melampaui
berbagai proses dalam menyusun skripsi ini dengan judul PELAKSANAAN
IJAB KABUL PERNIKAHAN DENGAN SISTEM PERHITUNGAN
WAKTU (Studi Kasus Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang) guna memenuhi tugas untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam
ilmu syari’ah pada jurusan Syari’ah STAIN Salatiga.
Pada kesempatan ini penulis sampaikan rasa hormat dan ucapan
terimakasih terutama kepada:
A. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd. selaku Ketua Stain Salatiga.
B. Bapak Benny Ridwan, M.Hum. selaku Ketua Jurusan Syari’ah dan Ekonomi
Islam.
C. Bapak Sukron Ma’mun, S.HI., M.Si. selaku Ketua Program Studi Ahwal
Al-Syakhsiyah Jurusan Syari’ah.
D. Bapak Prof. Dr. H. Muh Zuhri MA. selaku pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu semata-mata membimbing dan mengarahkan penulis
dalam menyusun hingga terselesaikannya skripsi.
E. Bapak Ibu Dosen STAIN Salatiga. Khususnya dosen jurusan syari’ah yang
telah mencurahkan ilmunya selama penulis belajar di STAIN Salatiga.
F. Bapak Trimo selaku Kepala Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian di Desa
Jetak.
G. Bapak Ibu yang selalu mendo’akan dan memberi semangat yang tiada
Demikian skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan segala
keterbatasan dan kemampuan penulis sehingga skripsi ini jauh dari
kesempurnaan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya
dan bagi para pembaca pada umumnya.
Penulis,
Khusein Ali M
ABSTRAK
Muhammad, Khusein Ali. PELAKSANAAN IJAB KABUL PERNIKAHAN
DENGAN SISTEM PERHITUNGAN WAKTU (Studi Kasus Desa
Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang). Skripsi jurusan
Syari’ah. Program Ahwal Al Syakhsiyyah STAIN Salatiga. Pembimbing Prof. Dr. H. Muh Zuhri MA.
Kata kunci: Pelaksanaan Ijab Kabul dan Sistem Hitungan Waktu
Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui alasan-alasan persepsi masyarakat di desa Jetak dalam menggunakan ikatan waktu dalam pelaksanaan ijab kabul pernikahan. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah 1) Bagaimana pendapat para pelaku, para tokoh agama dan tokoh masyarakat mengenai pelaksanaan ijab kabul pernikahan dengan sistem perhitungan waktu? 2) Bagaimana hukum pelaksanaan ijab kabul pernikahan dengan sistem perhitungan waktu berdasarkan ilmu fiqh? Penelitian ini mempunyai tujuan yaitu untuk mengetahui alasan masyarakat jawa menggunakan sistem hitungan waktu dalam melaksanakan ijab kabul pernikahan. Untuk mengetahui persepsi atau tanggapan dari tokoh masyarakat dan tokoh agama masyarakat jawa khususnya di desa Jetak kecamatan Getasan kabupaten Semarang terhadap pelaksanaan ijab kabul pernikahan dengan sistem perhitungan waktu. Untuk mengetahui konsep penggunaan sistem perhitungan waktu dalam pelaksanaan ijab kabul pernikahan masyarakat Jawa muslim dalam perspektif ilmu fikih .
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Berdasarkan dari penelitian kebanyakan alasan masyarakat menggunakan tradisi tersebut yaitu peninggalan para leluhur yang harus dilestarikan dan juga untuk menghindari malapetaka dalam acara pernikahan nanti dan mendapat kemantapan dalm pelaksanaan ijab kabul penikahan. Namun ada juga alasan yang mengikuti saran dari orang tuanya atau dari kakeknya.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………. i
LOGO ………... ii
PENGESAHAN ………... iii
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ………..……….... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ……… v
MOTTO ……….. vi
PERSEMBAHAN ………. vii
KATA PENGANTAR ………... vii
ABSTRAK ………. ix
DAFTAR ISI ……… x
DAFTAR LAMPIRAN ………... xiv
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1
B. Fokus Penelitian ……….. 8
C. Tujuan Penelitian ……….... 9
D. Kegunaan Penelitian ………... 9
E. Telaah Pustaka ……… 10
F. Penegasan Istilah ……….... 12
G. Metode Penelitian ……… 13
BAB II: KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Perkawinan ……….. 20
B. Dasar Hukum Perkawinan ………. 23
C. Rukun dan Syarat Perkawinan ……….. 26
D. Akad Nikah dan Syarat-Syarat Ijab Kabul ………. 29
a) Kata-Kata Dalam Ijab Kabul ……… 31
b) Ijab Kabul Bukan Dengan Bahasa Arab ………... 32
c) Ijab Kabul Orang Bisu ………. 33
d) Ijab Kabulnya Orang Yang Ghaib (Tidak Hadir) ………. 33
E. Hikmah Nikah ……… 34
F. Upacara Pengantin Adat Jawa ………. 36
G. Menentukan Hari Pernikahan ………. 40
1. Memilih Hari dan Bulan Yang Baik ……… 42
2. Memilih Pasaran dan Waktu Yang Baik ………... 45
H. Penggunaan Hitungan atau Memilih Hari Baik Dalam Islam …... 48
I. Pengertian ‘Urf ……….. 52
J. Macam-Macam ‘Urf ………... 53
K. Syarat-Syarat ‘Urf ………. 54
1. Letak Geografis ………. 57
2. Keadaan Administratif ………. 58
3. Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat ………. 59
4. Tingkat Pendidikan ……….. 61
B. Praktek Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan dengan Sistem Perhitungan Waktu ……….... 62
1. Persepsi Masyarakat Tentang Ijab Kabul Pernikahan dengan Sistem Perhitungan Waktu ……….. 62
2. Alasan Masyarakat Menggunakan Waktu dalam Pelaksanaa Ijab Kabul Pernikahan ………. 64
3. Cara Menentukan Waktu-Waktu Yang Baik dalam Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan Di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang ……….... 65
4. Persepsi Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat Tentang Ijab Kabul Pernikahan dengan Sistem Perhitungan Waktu ….…………. 69
BAB IV: ANALISIS A. Analisis Penggunaan Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan dengan Sistem Perhitungan Waktu Dalam Tinjauan Ilmu Fiqh ……… 72
B. Analisis Praktek Menghitung atau Memilih Waktu Baik ………. 78
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ………. 82
1. Alasan-Alasan Para Pelaku Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan Dengan
Sistem Perhitungan Waktu ………….………... 82
2. Persepsi Para Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat Tentang Pelaksanaan
Ijab Kabul Penikahan Dengan Sistem Perhitungan
Waktu ………. 83
3. Ilmu Fikih Tentang Tradisi Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan Dengan
Sistem Perhitungan Waktu ... 83
B. Saran ……….. 84
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
SURAT REKOMENDASI
SURAT KETERANGAN DESA
DATA KELURAHAN
SKK
LEMBAR KONSULTASI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam pandangan Islam, manusia dan makhluk yang ada di alam
semesta merupakan ciptaan Allah SWT. Manusia diciptakan oleh Allah
lengkap dengan pasangannya. Secara naluriah mereka mempunyai keterkaitan
kepada lawan jenis. Untuk merealisasikan keterkaitan tersebut menjadi
hubungan yang benar maka harus melalui pernikahan.
Perkawinan adalah peristiwa besar dalam kehidupan manusia. Dengan
jalan ini, hubungan yang mulanya haram menjadi halal. Implikasinya pun
besar dan beragam. Perkawinan adalah sarana awal mewujudkan sebuah
tatanan masyarakat, karena keluarga peran dalam kehidupan masyarakat. Jika
unit-unit keluarga baik dan berkualitas, bisa dikatakan bangunan masyarakat
yang diwujudkan akan kokoh dan baik.
Perkawinan termasuk salah satu bentuk ibadah. Tujuan perkawinan
bukan saja untuk menyalurkan kebutuhan biologis, tetapi juga untuk
menyambung keturunan dalam naungan rumah tangga yang penuh kedamaian
dan cinta kasih. Setiap remaja yang telah memiliki kesiapan lahir batin
lajang. Menurut ajaran agama Islam, menikah adalah menyempurnakan
agama oleh karena itu, barang siapa yang menuju kepada suatu pernikahan,
maka ia telah berusaha menyempurnakan agamanya, dan berarti dia pula telah
berjuang untuk kesejahteraan masyarakat. Membantu terlaksananya suatu
pernikahan, demikian pula merupakan ibadah yang tidak tenilai
pahalanya.(Hariwijaya, 2005:1) seperti dalam hadist Nabi yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim:
ﺹ ِﷲ ُﻝْﻮ�ُﺳَﺭ ﱠﺩَﺭ :َﻝﺎ�َﻗ ٍﺹﺎ�ﱠﻗَﻭ ﻰ�ِﺑَﺍ ِﻦ�ْﺑ ِﺪْﻌ�َﺳ ْﻦَﻋ َﻥِﺫَﺍ ْﻮ�َﻟ َﻭ َﻞ�ﱡﺘَﺒﱠﺘﻟﺍ ٍﻥْﻮ�ُﻌْﻈَﻣ ِﻦ�ْﺑ َﻥﺎ�َﻤْﺜُﻋ ﻰ�َﻠَﻋ
ﻢﻠﺴﻣ ﻭ ﻯﺭﺎﺨﺒﻟﺍ ﻭ ﺪﻤﺣﺍ .ﺎَﻨْﻴَﺼَﺘ ْﺧﻻَ ُﻪَﻟ
Artinya: Dan Sa’ad bin Abu Waqqash ia berkata, “Rasulullah SAW
pernah melarang ‘Utsman bin Madh’un membujang dan kalau sekiranya
Rasulullah mengijinkannya tentu kami berkebiri”. (HR. Ahmad, Bukhari dan
Muslim)
Hadits Rasulullah SAW :
ﱠﻭَﺰَﺘَﻴْﻠَﻓ َﺓَءﺎَﺒﻟْﺍ ُﻢُﻜْﻨِﻣ َﻉﺎَﻄَﺘْﺳﺍ ِﻦَﻣ ِﺏﺎَﺒﱠﺸﻟﺍ َﺮَﺸْﻌَﻣ ﺎَﻳ :ﺹ ِﷲ ُﻝْﻮُﺳَﺭ َﻝﺎَﻗ :َﻝﺎَﻗ ٍﺩْﻮُﻌْﺴَﻣ ِﻦْﺑﺍ ِﻦَﻋ ، ْﺝ
ْﻠِﻟ ُﻦَﺼ ْﺣَﺍ َﻭ ِﺮَﺼَﺒْﻠِﻟ ﱡﺾَﻏَﺍ ُﻪﱠﻧِﺎَﻓ ﺔﻋﺎﻤﺠﻟﺍ .ٌءﺎَﺟِﻭ ُﻪَﻟ ُﻪﱠﻧِﺎَﻓ ِﻡْﻮﱠﺼﻟﺎِﺑ ِﻪْﻴَﻠَﻌَﻓ ْﻊِﻄَﺘْﺴَﻳ ْﻢَﻟ ْﻦَﻣ َﻭ .ِﺝْﺮَﻔ
Artinya: Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda,
“Hai para pemuda, barangsiapa diantara kamu yang sudah mampu menikah,
pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum
mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa itu baginya (menjadi)
pengekang syahwat”. (HR. Jamaah)
Dalam setiap pelaksanaan perkawinan pasti ada suatu syarat atau pun
rukun yang harus dilaksanakan, Apabila salah satu rukun atau syarat tidak
terlaksana akan membuat tidak sahnya suatu perkawinan. Rukun yang paling
pokok dalam perkawinan, ridhonya laki-laki dan perempuan dan persetujuan
mereka untuk mengikat hidup berkeluarga. Karena perasaan ridho dan setuju
bersifat kejiwaan yang tak dapat dilihat dengan mata kepala, karena itu harus
ada perlambangan yang tegas untuk menunjukkan kemauan mengadakan
ikatan bersuami istri. Perlambangan itu diutarakan dengan kata-kata oleh
kedua belah pihak yang mengadakan aqad.
Pernyataan pertama sebagai menunjukkan kemauan untuk membentuk
hubungan suami istri disebut “ijab”. Dan pernyataan kedua yang dinyatakan
oleh pihak yang mengadakan aqad berikutnya untuk menyatakan rasa ridho
dan setujunya disebut “qabul”. (Sayyid, 1980:53)
Dalam masyarakat Jawa khususnya pada masyarakat Desa Jetak
Keceamatan Getasan Kabupaten Semarang dalam suatu pernikahan dalam
pelaksanaannya sebagian besar masyarakatnya masih menggunakan
biasanya mereka menganggap atau menyebutnya dengan istilah Islam
kejawen. Dalam penikahan pun di desa itu masih digunakan hitung-hitungan
hari dan waktu.
Agama Islam memandang semua waktu, hari, bulan, dan tahun adalah
waktu yang baik. Tidak ada waktu atau hari sial ataupun hari keramat, namun
sebagian masyarakat Jawa masih berpegang teguh terhadap ajaran nenek
moyang yang percaya terhadap hari-hari sial atau waktu-waktu sial. Tathayyur
(menganggap sial) adalah tindakan yang tidak berlandaskan ilmu atau realita
yang benar. Karena Islam masuk di Indonesia setelah ajaran Hindu dan Budha
maka orang-orang Jawa masih mempunyai kepercayaan tentang ajaran Hindu
maupun Budha yang berupa tradisi-tradisi dan sebagian besar orang jawa
masih menggunakan kepercayaan yang turun temurun dari zaman dahulu
misalnya dalam masyarakat di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang yang masih menggunakan acara ijab qabul pernikahan dengan
waktu-waktu yang tepat. Mereka tidak berani melanggar tradisi-tradisi
tersebut walaupun mereka tidak tahu apa yang terjadi kalau tradisi-tradisi itu
dilanggar. Waktu-waktu itu dihitung berdasarkan tanggal kelahiran dari kedua
calon mempelai. Diluar waktu-waktu yang di tentukan maka tidak akan
dilaksanakan ijab qabul pernikahan tersebut, karena apabila tradisi tidak
dipatuhi mengakibatkan keluarga tidak harmonis, pernikahan tidak lancar, dan
beragama tidak boleh atas dasar keturunan atau warisan leluhur yang
Artinya: Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang
telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya
mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami".
"(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu
tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".(Departemen
Agama Republik Indonesia, 1989:41)
Dan dalam Islam semua hari ataupun waktu itu baik, tidak ada hari sial
atau hari keberuntungan, seperti dalam Al Qur’an surat Yunus ayat 5:
Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi
perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan
dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada
orang-orang yang mengetahui. (Departemen Agama Republik Indonesia, 1989:306)
Dalam hadist Rosulullah SAW yang di riwayatkan oleh Imam Muslim,
seseorang yang mendatangi dukun atau paranormal ibadahnya tidak akan
diterima selama 40 hari seperti dalam hadist di bawah ini:
َﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُ ﱠﷲ ﻰﱠﻠَﺻ ﱢﻲِﺒﱠﻨﻟﺍ ْﻦَﻋ َﻢﱠﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُ ﱠﷲ ﻰﱠﻠَﺻ ﱢﻲِﺒﱠﻨﻟﺍ ِﺝﺍَﻭْﺯَﺃ ِﺾْﻌَﺑ ْﻦَﻋ َﺔﱠﻴِﻔَﺻ ْﻦَﻋ َﻝﺎَﻗ َﻢﱠﻠ
ًﺔَﻠْﻴَﻟ َﻦﻴِﻌَﺑْﺭَﺃ ٌﺓ َﻼَﺻ ُﻪَﻟ ْﻞَﺒْﻘُﺗ ْﻢَﻟ ٍءْﻲَﺷ ْﻦَﻋ ُﻪَﻟَﺄَﺴَﻓ ﺎًﻓﺍﱠﺮَﻋ ﻰَﺗَﺃ ْﻦَﻣ
Artinya: Dari Shafiyah, puteri Abu Ubaid dari salah seorang istri
Rasulullah SAW, dari Nabi Muhammad, bahwasanya beliau telah bersabda,
"Barang siapa mendatangi juru ramal {dukun}, kemudian ia bertanya sesuatu
kepadanya, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam" (HR.
Muslim Juz 4 Bab 39 No. 2230:1751)
Orang yang percaya pada dukun akan terjerumus kedalam
perbuatan-perbuatan yang syirik. Padahal agama Islam melarang seseorang untuk
menyekutukan Allah atau berbuat syirik. Seperti dalam hadist Rosulullah
SAW:
َﻘَﻓ َﻢﱠﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُ ﱠﷲ ﻰﱠﻠَﺻ ِ ﱠﷲ ِﻝﻮُﺳَﺭ َﺪْﻨِﻋ ﺎﱠﻨُﻛ َﻝﺎَﻗ ِﻪﻴِﺑَﺃ ْﻦَﻋ َﺓَﺮْﻜَﺑ ﻲِﺑَﺃ ُﻦْﺑ ِﻦَﻤ ْﺣﱠﺮﻟﺍ ُﺪْﺒَﻋ َﻻَﺃ َﻝﺎ
ْﻭَﺃ ِﺭﻭﱡﺰﻟﺍ ُﺓَﺩﺎَﻬَﺷَﻭ ِﻦْﻳَﺪِﻟﺍَﻮْﻟﺍ ُﻕﻮُﻘُﻋَﻭ ِ ﱠﻟﺎِﺑ ُ ﺍَﺮْﺷِ ِْﺍ ﺎًﺎ َﻼَﺎ ِﺮِﺮﺎَﺒَﻜْﻟﺍ ِﺮَﺒْﻛَﺄِﺑ ْﻢُﻜُﻜﱢﺒَﻧُﺃ َﻥﺎَﻛَﻭ ِﺭﻭﱡﺰﻟﺍ ُﻝْﻮَﻗ
Artinya: Dari Abdurahman bin Abu Barkah, dari ayahnya
radhiyallahu 'anhu ia berkata, "Kami pernah berada di sisi Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda, "Maukah engkau aku
beritahukan tiga dosa terbesar? Ada tiga (yaitu) Menyekutukan Allah,
durhaka terhadap kedua orang tua dan kesaksian dusta atau ucapan dusta"
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan itu sambil bersandar,
kemudian beliau duduk. Tak henti-hentinya beliau mengulangi ucapannya,
sehingga kami mengharapkan, "Semoga beliau diam."(HR. Muslim)
َﻞﻴِﻗ ِﺕﺎَﻘِﺑﻮُﻤْﻟﺍ َﻊْﺒﱠﺴﻟﺍ ﺍﻮُﺒِﻨَﺘْﺟﺍ َﻝﺎَﻗ َﻢﱠﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُ ﱠﷲ ﻰﱠﻠَﺻ ِ ﱠﷲ َﻝﻮُﺳَﺭ ﱠﻥَﺃ َﺓَﺮْﻳَﺮُﻫ ﻲِﺑَﺃ ْﻦَﻋ َﻝﻮُﺳَﺭ ﺎَﻳ
ﱢﻖ َﺤْﻟﺎِﺑ ﱠﻻِﺇ ُ ﱠﷲ َﻡﱠﺮَﺣ ﻲِﺘﱠﻟﺍ ِﺲْﻔﱠﻨﻟﺍ ُﻞْﺘَﻗَﻭ ُﺮ ْﺤﱢﺴﻟﺍَﻭ ِ ﱠﻟﺎِﺑ ُ ْﺮﱢﺸﻟﺍ َﻝﺎَﻗ ﱠﻦُﻫ ﺎَﻣَﻭ ِ ﱠﷲ ِﻢﻴِﺘَﻴْﻟﺍ ِﻝﺎَﻣ ُﻞْﻛَﺃَﻭ
ِﺕﺎَﻨِﻣْﺆُﻤْﻟﺍ ِﺕ َﻼِﻓﺎَﻐْﻟﺍ ِﺕﺎَﻨِﺼ ْﺤُﻤْﻟﺍ ُﻑْﺬَﻗَﻭ ِﻒْﺣﱠﺰﻟﺍ َﻡْﻮَﻳ ﻲﱢﻟَﻮﱠﺘﻟﺍَﻭ ﺎَﺑﱢﺮﻟﺍ ُﻞْﻛَﺃَﻭ
Artinya: Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwasanya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Hindarilah tujuh perkara
yang mencelakakan" Beliau ditanya, "Wahai Rasulullah! Apa tujuh perkara
itu?" Beliau bersabda, "(yaitu) Menyekutukan Allah, sihir, membunuh orang
yang diharamkan oleh Allah kecuali terdapat alasan yang dibenarkan,
memakan harta riba, makan harta anak yatim, lari dari medan perang dan
menuduh zina terhadap perempuan yang baik yang menjaga kehormatan
dirinya serta beriman.(HR. Muslim)
Dilihat dari tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Jetak yang
tentang tradisi-tradisi yang tidak ada dasarnya dalam ajaran agama islam,
maka peneliti akan meneliti tentang tradisi perkawinan. Tetapi dalam
penelitian ini peneliti mengambil judul “ PELAKSANAAN IJAB KABUL
PERKAWINAN DENGAN SISTEM PERHITUNGAN WAKTU (Studi
Kasus Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang)”.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka yang
menjadi objek masalah dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimana pendapat para pelaku, para tokoh agama dan tokoh
masyarakat tentang pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan sistem
perhitungan waktu?
2. Bagaimana konsep penggunaan sistem perhitungan pelaksanaan ijab
kabul pernikahan masyarakat jawa muslim dalam perspektif ilmu fiqh?
3. Bagaimana hukum pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan sistem
perhitungan waktu?
C. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai
1. Untuk mengetahui pendapat para pelaku, para tokoh agama dan
tokoh masyarakat tentang pelaksanaan ijab kabul perkawinan
dengan sistem perhitungan waktu.
2. Untuk mengetahui konsep penggunaan sistem perhitungan
pelaksanaan ijab kabul pernikahan masyarakat jawa muslim dalam
perspektif ilmu fiqh
3. Untuk mengetahui hukum pelaksanaan pelaksanaan ijab kabul
perkawinan dengan sistem perhitungan waktu.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pembaca tahu bagaimana pendapat-pendapat para pelaku
pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan sistem perhitungan
waktu.
2. Pembaca tahu persepsi para tokoh agama dan tokoh masyarat
mengenai pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan sistem
perhitungan waktu di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang.
3. Pembaca tahu hukum pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan
E. Telaah Pustaka
Tradisi merupakan suatu karya cipta manusia. Sepanjang ia tidak
bertentangan dengan inti ajaran agama, tentunya Islam akan
membenarkannya. Kita bisa bercermin bagaimana walisongo tetap
melestarikan tradisi jawa yang tidak melenceng dari ajaran Islam.(Yazid,
2005:249)
Aqidah yang murni adalah landasan pokok bagi tegaknya masyarakat
Islam. Sedangkan tauhid merupakan inti sari aqidah itu, Ia adalah keseluruhan
jiwa-jiwa Islam. Perang terhadap berbagai keyakinan jahiliyah yang
dikembangkan oleh paham keberhalaan yang sesat merupakan suatu
keniscayaan, demi menyucikan masyarakat muslim dari debu-debu syirik dan
sisa-sisa kesesatan.(Qardhawi, 2007:333)
Tradisi-tradisi yang ada di pulau Jawa tersebut masih saja berkembang
di zaman modern seperti saat ini dan di lingkungan masyarakat muslim.
Penelitian yang menyangkut tentang tradisi-tradisi di pulau jawa telah
dilakukan oleh peneliti yang bernama Mikdad Musa Mubaroq dengan judul
Fiqh Lingkungan Sesajen Kali Dan Kearifan Lokal (Studi Kasus di Desa
Warangan, Muneng Warangan, Pakis, Magelang). Penelitian ini mengkaji
Penelitian yang dilakukan oleh Ariyanto dengan judul Penggunaan
Petungan Masyarakat Jawa Muslim Dalam Ritual Pernikahan (Studi Kasus di
Desa Reksosari, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang). Penelitiannya itu
membahas tentang perhitungan untuk memperoleh hari, tanggal dan bulan
yang baik dan tidak baik untuk melaksanakan ritual pernikahan. Sehingga
penelitian ini masih membahas hari, tanggal dan bulan secara menyeluruh.
Adapun penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Isro’i mengambil
judul Larangan Menikah Pada Bulan Muharram Dalam Perspektif Hukum
Islam (Studi Kasus di Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten
Boyolali). Penelitiannya ini berisi tentang larangan menikah pada bulan
Muharram dikarenakan pernikahan yang dilakukan di bulan tersebut akan
banyak mendapatkan halangan. Dan bulan suro’ adalah bulan keramat. Tetapi
para ulama di desa tesebut menjelaskan bahwa menikah pada bulan itu
merupakan bulan yang dimuliakan oleh Allah Swt, dan dalam pelaksanaannya
pun belum pernah ada kejadian-kejadian aneh yang terjadi. Dalam hukum
Islam pun tidak pernah membeda-bedakan bulan atau hari-hari ketika akan
melakukan sesuatu hal. Sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan lebih
khusus tentang “PELAKSANAAN IJAB KABUL PERKAWINAN
DENGAN SISTEM PERHITUNGAN WAKTU”.
Setelah meninjau dari beberapa penelitian-penelitian yang telah
Jawa. Maka disini penulis akan meneliti tentang tradisi jawa yang berkaitan
dengan perkawinan tetapi dalam penelitian ini nanti lebih spesifik yaitu
masalah ijab qabulnya, dengan judul “PELAKSANAAN IJAB KABUL
PERKAWINAN DENGAN SISTEM PERHITUNGAN WAKTU (Studi
Kasus di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang)”.
F. Penegasan Istilah
Untuk mendapatkan kejelasan judul diatas, penulis perlu memberikan
penegasan dan batasan terhadap istilah-istilah. Istilah-istilah tersebut adalah:
1. Nikah adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk
bersuami istri (dengan resmi).(Poerwadarminta, 2006:800)
Kawin adalah perjodohan laki-laki dan perempuan mejadi suami
istri. (Poerwadarminta, 2006:531-532)
Pernikahan adalah perbuatan nikah; upacara perkawinan.(Fajri dan
Senja :590)
2. Ijab adalah ikrar penyerahan dari pihak pertama
Kabul adalah ikrar penerimaan dari pihak suami.(Syarifuddin,
2006:61)
3. Waktu adalah sekalian rentetan saat yang telah lampau, sekarang,
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan jenis penelitian
Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah field
research (penelitian lapangan) yaitu penelitian terjun langsung kelapangan
guna mengadakan penelitian pada objek yang dibahas yaitu bagaimana
tata cara seseorang menetukan waktu-waktu yang baik untuk
melangsungkan ijab kabul dan mengetahui persepsi masyarakat, selain itu
penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, karena dalam penelitian ini
bertujuan untuk mengungkap gejala secara menyeluruh melalui
pengumpulan data di lapangan dan memanfaatkan dari peneliti sebagai
instrument kunci.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistic dan
dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
ilmiah.(Moleong, 2009:6)
Sedangkan dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan
sosiologis yang digunakan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan ijab
kabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu masyarakat Jawa
Semarang dan penentuan waktu yang baik untuk pelaksanaan serta
akibat-akibat yang ditimbulkan pasca ijab kabul perkawinan.
Yang dimaksud pendekatan sosiologis adalah melakukan
penyelidikan dengan cara melihat fenomena masyarakat atau peristiwa
social, politik dan budaya untuk memahami hukum yang berlaku di
masyarakat.(Soekanto, 1986:4-5)
2. Kehadiran peneliti
Dalam penelitian ini kehadiran peneliti merupakan hal yang utama
dan penting karena seorang peneliti secara langsung mengumpulkan data
yang ada dilapangan. Sedangkan status peneliti dalam hal mengumpulkan
data diketahui oleh informan secara jelas guna menghindari kesalah
pahaman antara peneliti dan informan.
3. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian berada di Desa Jetak Kecamatan Getasan
Kabupaten Semarang. Karena para masyarakat masih percaya dengan
adanya waktu-waktu yang baik untuk melaksanakan ijab qabul
pernikahan. Sehingga hal ini menjadi menarik untuk ditelit. Dan sampai
saat ini pun mereka masih melaksanakan kebiasaan yang mereka percayai
4. Sumber data
Data yang penulis pergunakan dalam penulisan skripsi ini
meliputi:
a. Data premier yang merupakan data yang pokok atau utama yang
digunakan dalam penulisan skripsi. Dalam hal ini data di peroleh
dari para pelaku yang melangsungkan ijab qabul perkawinan
dengan sistem perhitungan waktu yang terjadi di Desa Jetak.
b. Data sekunder merupakan data tambahan atau data yang digunakan
untuk melengkapi data premier. Data sekunder biasanya berwujud
data dokumentasi atau data laporan yang tersedia. Dalam hal ini
peneliti menggunakan buku-buku primbon atau buku kejawen
sebagai sumber data resmi serta buku fiqh dan juga buku lainnya
yang berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder dalam
penelitian ini juga dapat diperoleh dari tokoh-tokoh masyarakat,
tokoh-tokoh agama maupun masyarakat umum yang tinggal
disekitar orang-orang yang melaksanakan ijab qabul perkawinan
dengan sistem perhitungan waktu.
5. Prosedur pengumpulan data
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar
suatu proses pengadaan data premier untuk keperluan penelitian.(Nazir,
1988:21)
Peneliti menggunakan beberapa metode yaitu:
a. Metode observasi atau pengamatan langsung
Pengumpulan data dengan observasi langsung adalah cara
pengambilan data dngan menggunakan mata tanpa ada pertolongan
alat standar lain untuk keperluan tersebut.(Nazir, 1988: 212)
Metode ini penulis gunakan sebagai langkah awal untuk
mengetahui keadaan serta kondisi mengenai objek penelitian.
b. Metode wawancara
Metode wawancara ini digunakan untuk memperoleh
beberapa jenis data dengan teknik komunikasi secara langsung
(Surakhmad, 1990:74). Wawancara ini dilakukan dengan acuan
catatan mengenai pokok masalah yang akan di tanyakan. Sasaran
wawancara adalah para pelaku perkawinan yang menggunakan
ijab qabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu. Maupun
keluarga yang melaksanakan perkawinan serta masyarakat Desa
Jetak.
c. Metode dokumentasi
Mencari data mengenai beberapa hal baik yang berupa
Getasan Kabupaten Semarang. Metode ini digunakan sebagai
pelengkap memperoleh data.
6. Analisi data
Setalah data tekumpul semua maka penulis menentukan bentuk
analisa terhadap data-data tersebut.
Analisa data merupakan bagian yang amat penting dalam metode
ilmiah, karena dengan analisalah data tersebut dapat diberi arti dan makna
yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian.(Nazir, 1988:405)
Analisis data yang digunakan analisis deskriptif penyelidikan yang
menuturkan, menggambarkan, menganalisa dan mengklasifikasikan
penyelidikan dengan teknik survey, interview dan observasi.(Surakhmad,
1990:139)
7. Pengecekan keabsahan data
Disini penulis menggunakan triangulasi (menggunakn beberapa
sumber, metode, teori) sebagai teknik. Dimana pengertiannya adalah
teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain
dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek
8. Tahap-tahap penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap. Tahap pertama
yaitu pra lapangan, dimana peneliti melakukan penelitian untuk
menetukan topik penelitian, mencari informasi tentang ada atau tidaknya
pelaksanaan ijab qabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu.
Tahap kedua peneliti terjun langsung kelapangan untuk menggali
informasi dan mencari data dari informan, yaitu dengan observasi,
wawancara dan dokumentasi. Tahap akhir pembuatan laporan penelitian
dengan cara menganalisis data dari informan dan juga memaparkan
dengan narasi deskriptif.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab yang saling berkaitan
yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, fokus
penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah,
metode penelitian, telaah pustaka, dan sistematika penulisan.
BAB II: Kajian pustaka yang menjelaskan tentang pengertian ijab qabul,
pengertian perkawinan, dan juga tahap-tahap penentuan ijab qabul
BAB III: Tetang hasil penelitian yaitu praktek ijab qabul dalam perkawinan
dengan sistem perhitungan waktu, alasan-alasan pelaku
menggunakan terikatnya waktu dan tidak terikatnya waktu dalam
pelaksanaan ijab qabul. Gambaran umum penduduk Desa Jetak dan
persepsi tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam pelaksanaan ijab
kabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu
BAB IV: Analisis tentang praktek pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan
sistem perhitungan waktu. Analisis alasan-alasan pelaku
menggunakan sistem perhitungan waktu dan tidak menggunakan
sistem perhitungan waktu dalam pelaksanaan ijab qabul. Analisis
persepsi tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam pelaksanaan ijab
kabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu.
BAB V: Penutup berisi tentang kesimpulan dan saran.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan atau pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan
berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun
tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah Swt., sebagai
jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan
hidupnya.(Tihami dan Sohari, 2010:6)
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab
disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai
dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al
Qur’an dan hadist nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al Qur’an
dengan arti kawin, (Syarifuddin, 2006:35)seperti dalam Surat An Nisa’ ayat 3:
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Departemen Agama Republik
Indonesia, 1989:115)
Demikian pula dengan kata za-wa-ja dalam Al Qur’an dalam arti
kawin, seperti pada Surat Al Ahzab ayat 37:
...
Artinya: Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap
Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak
ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak
angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan
keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti
terjadi.(Departemen Agama Republik Indonesia, 1989:673)
Nikah, menurut bahasa: al jam’u dan al dhamu yang artinya kumpul.
Makna nikah (zawaj) baiasa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya
akad nikah. Juga bisa diartikan (wath’ual-zaujah) bermakna menyetubuhi
istri. Definisi yang hampir sama dengan diatas juga di kemukakan oleh rahmat
merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja “nakaha”, sinonimnya
“tazawwaja” kemudian di terjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai
perkawinan. Kata nikah sering juga dipergunakan sebab telah masuk dalam
bahasa Indonesia.
Beberapa penulis juga terkadang menyebut pernikaha dengan kata
perkawinan. Dalam bahasa Indonesia, “perkawinan” berasal dari kata
“kawin”, yang menurut bahasa, artinya membentuk keluarga dengan lawan
jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh”. Istilah kawin
digunakan secara umum, untuk tumbuhan, hewan, dan manusia, dan
menunjukkan proses generative secara alami. Berbeda dengan itu, nikah
hanya digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan secara hukum
nasional, adat istiadat, dan terutama menurut agama. Makna nikah adalah ikad
atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab (pernyataan
penyerahan dari pihak perempuan) dan qabul (pernyataan penerimaan dari
pihak lelaki). Selain itu nikah bisa juga diartikan sebgai bersetubuh.(Tihami
dan Sohari, 2010:7)
Perkawinan adalah pangkal pembentukan rumah tangga yang menjadi
sendi masyarakat. Undang-undang kutara Manawa memang menyediakan
peratura-peraturan sipil yang bertalian dengan kehidupan rumah tangga,
seperti tukon (mahar), perkawinan, perceraian dan pewarisan.(Muljana,
Adapun pengertian perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam kompilasi
hukum Islam perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sengat kuat atau mitssaqanghalidzan untuk mentaati perintah Allah Swt.
dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Al Qur’an menjuluki pernikahan dengan mitsaqan ghalizhan, janji
yang sangat kuat. Ini mengisyaratkan bahwa pernikahan itu merupakan
perjanjian serius antara mempelai pria (suami) dengan mempelia perempuan
(istri). Karena pernikahan yang sudah dilakukan itu harus dipertahankan
kelangsungannya. Sungguhpun talak (perceraian) itu dimungkinkan
(dibolehkan) dalam Islam, tetapi Rosulullah Saw. menjulukinya sebagai
perbuatan halal yang dibenci Allah. Da itulah pula sebabnya mengapa dalam
akad nikah harus ada saksi minimal dua orang, disamping wali nikah
meskipun tentang status hukumnya apakah dia sebagai rukun atau hanya
tergolong syarat sah nikah tetap diperdebatkan oleh para ulama
B. Dasar Hukum Perkawinan
Hukum Nikah (Perkawinan), yaitu hukum yang mengatur hubungan
antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan
biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat
perkawinan tersebut, (Tihami dan Sohari, 2010:8) di dalam Al Qur’an ada
beberapa dasar hukum perkawinan, Seperti halnya dalam Al Qur’an surat
An-Nuur 32:
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin
Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.(Departemen Agama Republik
Indonesia, 1989:549)
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah
yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu.(Departemen Agama Republik Indonesia,
1989:114)
Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang
membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya
tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal perkawinan itu
adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai
sunnah Allah dan sunnah rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum
asal perkawinan itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa melangsungkan akad perkawinan disuruh oleh agama dan dengan telah
berlangsungnya akad perkawinan itu, maka pergaulan laki-laki dan
Perkawinan yang sunnatullah pada dasarnya adalah mubah tergantung
pada tingkat kemaslahtannya. Oleh karena itu, perkawinan yang asalnya
mubah, dapat berubah menurut ahkamal-khamsah (hukum yang lima) sesuai
perubahan keadaan, (Tihami dan Sohari, 2010:10) yaitu:
1. Nikah wajib. Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang
akan menambah taqwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah
mampu, yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari
perbuatan haram. Kewajiban ini tidak akan terlaksana kecuali dengan
nikah.
2. Nikah haram. Nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya
tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga melaksanakan
kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan
kewajiban batin seperti mencampuri istri.
3. Nikah sunnah. Nikah disunnahkan bagi orang-orang yang sudah
mampu tetapi ia masih sanggup mengendaliakn dirinya dari perbuatan
haram, dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik dari pada
membujang karena membujang tidak diajarkan oleh islam.
4. Nikah mubah, yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah
dan dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia belum
Lepas dari hukum pernikahan yang beraneka ragam ini, yang pasti
pada satu sisi Nabi Muhammad Saw. menganjurkan para pemuda yang
memiliki kemampuan biaya hidup supaya melakukan pernikahan; sementara
pada sisi yang lain, Nabi melarang keras umat Islam melakukan tabattul
(membujang selamanya).(Amin, 2005:93)
C. Rukun Dan Syarat Perkawinan
Rukun dan syarat perkawinan menentukan suatu perbuatan hukum,
terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari
segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal
bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara
perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam
arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah
sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang
mengujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berbeda di luarnya
dan merupakan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan
dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi
rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria
Pernikakan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad lain
yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan
akad.(Tihami dan Sohari, 2010:8) Adapun rukun nikah adalah:
1. Mempelai laki-laki;
2. Mempelai perempuan;
3. Wali;
4. Dua orang saksi;
5. Shighat ijab Kabul.
Dari lima rukun nikah tersebut yang paling penting ialah Ijab Kabul
antara yang mengadakan dan menerima akad sedangakan yang dimaksud
syarat perkawinan adalah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun
perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi dan Ijab
Kabul.
Syarat-syarat suami
1) Laki-laki
2) Bukan mahram dari calon istri
3) Tidak terpaksa atas kemauan sendiri
4) Orangnya tertentu, jelas orangnya
Syarat-syarat istri
1) Perempuan
2) Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram,
tidak sedang dalam iddah
3) Merdeka, atas kemauan sendiri
4) Jelas orangnya
5) Tidak sedang berihram
Syarat-syarat wali
1) Laki-laki
2) Baligh
3) Waras akalnya
4) Tidak dipaksa
5) Adil
6) Tidak sedang ihram
Syarat-syarat saksi
1) Laki-laki
2) Baligh
3) Waras akalnya
5) Dapat mendengar dan melihat
6) Bebas, tidak dipaksa
7) Tidak sedang mengerjakan ihram
8) Memahami bahasa yang dipergunakan Ijab Kabul
Dari uraian di atas menjelaskan bahwa akad nikah atau perkawinan
yang tidak dapat memenuhi syarat dan rukunnya menjadi perkawinan tersebut
tidak sah menurut hukum.
D. Akad Nikah Dan Syarat-Syarat Ijab Kabul
Rukun yang pokok dalam perkawinan, ridhonya laki-laki dan
perempuan dan persetujuan mereka untuk mengikat hidup berkeluarga.
Karena perasaan ridho dan setuju bersifat kejiwaan yang tak dapat dilihat
dengan mata kepala, karena itu harus ada perlambangan yang tegas untuk
menunjukkan kemauan untuk mengadakan perikatan bersuami istri.
Perlambangan itu diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang
mengadakan akad.(Sayyid, 1980:53)
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah
penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari
pihak kedua (Syarifuddin, 2006:61). Ijab qabul merupakan satu senyawa yang
pengucapannya selalu disyaratkan harus dilakukan secara berdampingan
dalam arti tidak boleh terselang atau diselang dengan hal-hal lain yang tidak
memiliki hubungan dengan proses ijab qabul.(Amin, 2005:54)
Untuk terjadinya aqad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada
suami istri haruslah memenuhi syarat-syarat (Sayyid, 1980:53), sebagai
berikut:
1. Calon pengantin laki-laki dan wali calon pengantin perempuan
sudah tamyiz. Bahwa orang yang melakukan akad nikah harus
sudah mumayyiz atau tepatnya telah dewasa dan berakal sehat.
Itulah sebabnya mengapa orang gila dan anak kecil yang belum
bisa membedakan antara perbuatan yang benar dan salah serta
perbuatan yang manfaat dan mudarat, akad nikah tidak dianggap
sah. Dalam rangka persyaratan mumayyiz inilah fiqh munakahat
dan undang-undang perkawinan selalu saja mencantumkan batas
minimal usia kawin (nikah).
2. Ijab qabul dalam satu majlis maksudnya, akad nikah dilakukan
dalam satu majelis, dalam konteks pengertian harus beriringan
antara pengucapan (ikrar) ijab dan qabul. Dalam kalimat lain, ikrar
ijab qabul tidak boleh diselingi dengan aktivitas atau pernyatan
lain yang tidak ada relevansinya dengan kelangsungan akad nikah
3. Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab, kecuali
kalau lebih baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukkan
pernyataan persetujuannya lebih tegas.
4. Para pihak yang melakukan akad nikah (mempelai suami atau
yang mewakili dan mempelai perempuan atau wali atau yang
mewakilinya) harus mendengar secara jelas dan memahami
maksud dari ikrar atau pernyataan yang disampaikan
masing-masing pihak. Jika salah satu pihak apalagi keduanya tidak
memahami akad yang dilakukan lebih-lebih jika terjadi
pertentangan antara keduanya tentang akad yang mereka lakukan,
akad nikah dianggap tidak sah.
a) Kata-kata dalam Ijab Qabul
Di dalam melakukan ijab qabul haruslah dipergunakan kata-kata yang
dapat dipahami oleh masing-masing pihak yang melakukan akad nikah
sebagai menyatakan kemauan yang timbul dari kedua belah pihak untuk
nikah, dan tidak boleh menggunakan kata-kata yang samar atau
kabur.(Sayyid, 1980:55)
b) Ijab Qabul Bukan dengan Bahasa Arab
Para ahli fiqh sependapat, ijab qabul boleh dilakukan dengan bahasa
satunya tidak tahu bahasa Arab. Mereka berbeda pendapat bagaimana bila
kedua belah pihak paham bahasa Arab dan bisa melaksanakan ijab qabulnya
dengan bahasa ini.
Ibnu Qudamah dalam kitab Mughni mengatakan: bagi orang yang
mampu mempergunakan bahasa Arab dan ijab qabulnya, tidak sah
menggunakan selain bahasa Arab. Demikianlah salah satu dari pendapat
Imam Syafi’i. menurut Imam Abu Hanifah boleh, sebab ia telah menggunakan
kata-kata tertentu yang dipergunakan dalam ijab qabul sebagaimana juga
dalam bahasa Arab. Tapi bagi kami (Ibnu Qudamah) tidak menggunakan
kata-kata Arab “nikah dan tazwij”, padahal ia mampu, hukumnya tidak sah.
Adapun orang yang tidak pandai bahasa Arab ia boleh menggunakan
bahasanya sendiri, karena bahasa lain memang ia tidak mampu, sehingga
kewajibannya menggunakan lafadz Arab gugur, seperti bagi orang yang bisu.
Tetapi ia perlu menggunakan lafadz lain yang khusus yang maknanya sama
dengan lafadz Arab yang digunakan dalam ijab qabul, dan bagi orang yang
tidak pandai berbahasa Arab tidak wajib mempelajari kata-kata ijab qabul
bahasa Arab ini. Tetapi Abu Khatthab berkata: ia wajib belajar, sebab bahasa
Arab termasuk syarat sahnya ijab qabul, yang karena itu bagi orang yang
mampu wajib mempelajarinya, seperti halnya dengan mengucapkan takbir
shalat.(Sayyid, 1980:57)
Ijab qabul orang bisu sah dengan isyaratnya, bilamana dapat
dimengerti, sebagaimana halnya dengan akad jual belinya yang sah dengan
jalan isyaratnya, karena isyaratnya itu mempunyai makna yang dapat
dimengerti. Tetapi kalau salah satu pihaknya tidak memahami isyaratnya, ijab
qabul tidak sah, sebab yang melakukan ijab qabul hanyalah antara dua orang
yang bersangkutan itu saja. Masing-masing pihak yang berijab qabul wajib
dapat mengerti apa yang dilakukan oleh pihak lainnya.(Sayyid, 1980:59)
d) Ijab Qabulnya Orang yang Gaib (Tidak Hadir)
Bilamana salah seorang dari pasangan pengantin tidak ada tetapi tetap
mau melanjutkan akad nikahnya, maka wajiblah ia mengirim wakilnya atau
menulis surat kepada pihak lainnya meminta diakad nikahkan, dan pihak yang
lain ini jika memang mau menerima hendaklah dia menghadirkan para saksi
dan membaca isi suratnya kepada mereka, atau menunjukkan wakilnya
kepada mereka dan mempersaksikan kepada mereka didalam majlisnya bahwa
akad nikahnya telah diterimanya. Dengan demikian qabulnya dianggap masih
dalam satu majlis.(Sayyid, 1980:59)
E. Hikmah Nikah
Islam menganjurkan dan menggembirakan kawin sebagaimana
masyarakat dan seluruh umat manusia. (Sayyid, 1980:18) Adapun hikmah
nikah adalah:
1. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan
keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana
jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia
yang mengalami goncang dan kacau serta menerobos jalan yang
jahat.
Dan kawinilah jalan alami dan biologis yang paling baik dan
sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluriah seks ini.
Dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara
dari melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang
yang halal. Seperti yang diisyaratkan oleh firman Allah QS.
Ar-Ruum: 21
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
2. Kawin, jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia,
memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta
memelihara nasab yang oleh islam sangat diperhatikan.
3. Naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi
dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula
perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayang yang merupakan
sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
4. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak
menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat
bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan cekatan bekerja, karena
dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya, sehingga ia
akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat
memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi.
5. Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur
rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan
batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam menangani
tugas-tugasnya.
Dengan perkawinan di antaranya dapat membuahkan tali
kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan
ditopang dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling menunjang lagi saling
menyayangi akan merupakan masyarakat yang kuat lagi bahagia.
F. Upacara Pengantin Adat Jawa
Hingga sekarang kebanyakan perkawinan di Jawa masih diatur oleh
orang tua mempelai wanita maupun pria. Bahkan kalau seorang anak laki-laki
berpikiran sendiri tentang gadis mana yang akan dinikahinya, ia akan
melaksanakan maksudnya dengan bantuan orang tua, kalau ia bisa
meyakinkan mereka bahwa pilihannya memang bijaksana. Ini masih
merupakan pola yang berlaku di banyak kalangan yang masih tradisional dan
“kolot”, tetapi pola percintaan yang romantis mulai menjadi gangguan yang
makin sering dan terus terjadi di zaman sekarang.(Geertz, 1981: 69) Ketika
jodoh sudah menghampiri, maka pantaslah bila disambut dengan gembira hati
dan suka ria atas anugrah tuhan tersebut. Sebagai calon laki-laki harus
berhati-hati dalam bersikap, bertutur kata dan berpikiran agar kekasih berhati-hati calon
pasangan anak calon laki-laki tidak tersinggung atau marah dan merubah
keputusannya. Betapapun, kehadirannya dalam lingkungan keluarga calon
laki adalah baru. Hal ini perlu banyak penyesuaian baik bagi calon
laki-laki, bagi dia, bagi keluarga besar calon pengantin. Tata cara dan adat
tradisional sudah mengajari, bagaimana memperlakukan orang lain, keluarga
orang lain dan masyarakat lain dalam suatu tatanan upacara adat yang agung,
Babat alas artinya membuka hutan untuk merintis membuat lahan.
Dalam hal babat alas ini orang tua pemuda merintis seorang congkok untuk
mengetahui apakah si gadis sudah mempunyai calon atau belum. Istilah
umumnya disebut nakokake artinya menanyakan.(Bratawijaya, 1997; 139)
Kalau sang pemuda belum kenal dengan sang gadis, maka adanya
upacara nontoni. Sang pemuda diajak keluarganya datang kerumah sang gadis
pada saat itu pemuda diajak diberi kesempatan untuk nontoni sang gadis
pilihan orang tuanya. Kesempatan itu ditandai dengan kepura-puraan yang
sama kakunya; gadis itu, kaku karena malu, menghidangkan teh kepada sang
jejaka tanpa berbicara sama sekali, dan jejaka itu memandangnya dari sudut
mata (dalam kasus tradisional, ini adalah saat pertama mereka bertemu) untuk
memperoleh suatu kesan tentang dia. Kalau ia senang apa yang dilihatnya, ia
akan mengatakannya kepada orangtuanya dalam perjalanan pulang dan
pernikahan pun diatur. Upacara perkawinan itu disebut kepanggihan
(“pertemuan”) selalu diselenggarakan di rumah pengantin perempuan.(Geertz,
1981; 70)
Bila cocok artinya saling setuju, kemudian disusul dengan upacara
nglamar atau meminang. Dalam upacara nglamar keluarga pihak sang
pemuda menyerahkan barang kepada keluarga pihak sang gadis sebagai
peningset yang terdiri dari pakaian lengkap, dalam bahasa Jawanya
Menjelang hari pernikahan diadakan upacara srah-srahan atau asok
tukon yaitu pihak calon pengantin putra menyerahkan sejumlah hadiah
perkawinan kepada keluarga pihak calon pengantin putri berupaa hasil bumi,
alat-alat rumah tangga, ternak dan kandang-kandang ditambah sejumlah
uang.(Bratawijaya, 1997; 139)
Adapun rangkaian upacara adat pengantin Jawa dari awal sampai
akhir:
a. Upacara Siraman Pengantin Putra Putri
Upacara siraman ini dilangsungkan sehari sebelum akad nikah (ijab
kabul). Akad nikah dilangsungkan secara/menurut agama
masing-masing dan hal ini tidak mempengaruhi jalannya upacara
adat.(Bratawijaya, 1997; 143)
b. Upacara Midodareni
Dalam upacara midodareni pengantin putri mengenakan busana polos
artinya dilarang mengenakan perhiasan apa-apa kecuali cincin kawin.
Dalam malam midodareni itulah baru dapat dikatakan pengantin dan
sebelumnya disebut calon pengantin. Pada malam itu pengantin putra
c. Upacara Akad Nikah
Upacara akad nikah dilaksanakan menurut agamanya masing-masing.
Dalam hal ini tidak mempengaruhi jalannya upacara selanjutnya. Bagi
pemeluk agama Islam akad nikah dapat dilangsungkan di masjid atau
mendatangkan penghulu. (Bratawijaya, 1997; 147)
d. Upacara Panggih
Bagian I
Upacara balangan sedah/lempar sirih yaitu pengantin putra dan
pengantin putri saling melempar sirih, setelah itu disusul dengan
berjabat tangan tanda saling mengenal.
Bagian II
Upacara Wiji Dadi
Sebelum pengantin putra menginjak telur, pengantin putri membasuh
terlebih dahulu kedua pengantin putra.
Bagian III
Upacara sindur binayang yaitu pasangan pengantin berjalan di
belakang ayah pengantin putri, sedangkan ibu pengantin putri berjalan
dibelakang pengantin tersebut
Bagian IV
Upacara Tanem yaitu bapak pengantin putri mempersilahkan duduk
kedua pengantin dipelaminan yang bermakna bahwa bapak telah
merestui dan mengesahkan kedua pengantin menjadi suami
istri.(Bratawijaya, 1997; 148)
G. Menentukan Hari Pernikahan
Upacara khitanan dan perkawinan seperti juga pergantian tempat
tinggal dan semacamnya tampak perlu ditetapkan dengan kehendak manusia.
Tetapi disini pun penetapan secara sembarang harus dihindari dan suatu
tatanan ontologis yang lebih luas ditetapkan dengan sistem ramalan
numerologi yang di sebut petungan atau “hitungan”.(Geertz, 1981:38)
Sebagaimana dalam suatu harmoni, hubungan yang paling tepat adalah
terpastikan, tertentu, dan bisa diketahui. Demikian pula agama, seperti suatu
harmoni, adalah pada akhirnya suatu ilmu, tak peduli betapapun praktek
aktualnya mungkin lebih mendekati suatu seni. Sistem petungan memberikan
suatu jalan untuk menyatakan hubungan ini dan dengan demikian
menyesuaikan perbuatan seseorang dengan sistem itu. Petungan merupakan
cara untuk menghindarkan semacam disharmoni dengan tatanan umum alam
yang akan membawa ketidakuntungan. (Geertz, 1981:39)
Hajat pesta perkawinan merupakan bagian dari prestige dan wibawa
serta relasi secara luas. Oleh karena itu banyak hal yang harus dipikirkan.
Orang yang pertama mengawinkan anak perempuannya dinamakan mantu
sapisanan atau mbukak kawah. Sedang mantu anak bungsu dinamakan mantu
ragil atau tumplak-ponjen. Hal ini nantinya membutuhkan persyaratan
perlengkapan uba rampe tertentu, namun pada dasarnya persiapan yang harus
dilakukan sama saja.
Hari yang paling penting untuk segera dipastikan adalah upacara inti
perkawinan, yaitu ijab kabul. Ijab artinya menyatakan. Pihak orang tua
mempelai perempuan menyatakan bahwa si Anu dikawinkan dengan si Ani
dengan maskawin sejumlah tertentu. Kabul artinya menerima atau
mengabulkan. Pihak laki-laki menyatakan menerima pernyataan ijab dari
orangtua mempelai wanita di atas. Hari itu merupakan hari yang paling
penting bagi si Anu dan si Ani karena mereka bersumpah di depan orang tua
masing-masing, para saksi, penghulu dan semua hadirin. Sumpah ini dalam Al
Qur’an disebut Mitsaqan Ghaliza, artinya sumpah yang besar. Dari sumpah
itu menjadi halal semua yang tadinya diharamkan. Dari sumpah itu, tanggung
jawab orang tua mempelai perempuan jatuh sepenuhnya kepada mempelai
laki-laki, sebagai suami dan kepala rumah tangga yang baru.
Oleh karena pentingnya hal di atas, kendati semua hari baik, tapi
masyarakat Jawa umumnya memilih hari yang paling baik. Orang Jawa
upacara Ijab kabul maupun panggih. Ada beberapa hari baik yang baik untuk
ijab maupun panggih, tapi ada hari-hari yang jelek dan sangat tidak
dianjurkan untuk menyelenggarakan acara pada saat itu.
Masyarakat Jawa menyebut pesta perkawinan itu dengan mantu, yang
maksudnya mengantu-antu yang artinya saat yang ditunggu-tunggu.
Sementara pengantin dalam bahasa Jawa adalah pinanganten, yang kata
aslinya berasal dari pepatah pinang dan ganteng. Pinang terdapat pohon yang
tinggi, sementara ganten terdiri dari kapur dan sirih, terdapat pada
tumbuh-tumbuhan di tanah. Pinang dan ganten ini akhirnya menyatu dalam kunyahan
saat orang makan sirih. Istilah ini maksudnya asam di gunung garam di laut,
bertemu dalam belanga. Pengantin perempuan yang berasal dari kultur yang
jauh berbeda akan bersatu dalam sebuah harmoni keluarga yang saling
melengkapi kekurangan masing-masing sehingga tercipta keluarga bahagia.
1. Memilih Hari dan Bulan yang Baik
Dalam menentukan waktu yang baik bagi upacara ijab maupun
panggih calon mempelai itu biasanya diperhitungkan oleh para sesepuh
atau para ahli adat. Orang jawa umumnya mengenal hari-hari dan
bulan-bulan tertentu yang boleh atau tidak boleh menyelenggarakan acara
pernikahan atau pesta lainnya. Berikut ini tabel hari baik dan tidak baik
Bulan yang baik. Bulan-bulan yang cukup baik untuk acara Ijab
Kabul menurut kepercayaan Jawa adalah bulan Jumadiakhir, Rejeb,
Ruwah dan Besar. Waktu untuk acara ijab ini akan lebih baik lagi kalau di
antara bulan-bulan itu ada hari-hari selasa kliwon jum’at kliwon. Kecuali
Suro dan Pasa, bulan-bulan lain yang kurang bagus untuk ijab pun bisa
menjadi bagus kalau di bulan itu ada hari dan pasaran selasa dan jum’at
kliwon.
Sedangkan hari-hari yang tidak boleh dipakai untuk mengadakan
pernikahan yaitu:
Hari Pada bulan
Senin, selasa Besar, Sura, Sapar
Rabu, kamis Mulud, Rabi’ulakhir, Jumadilakhir
Jum’at Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah
Sabtu, minggu Pasa, Syawal, Dzulka’idah
Adapun tanggal-tanggal yang sebaiknya dihindari untuk
mengadakan pernikahan secara umum adalah sebagai berikut:
Tanggal Bulan
06-10 Besar
11-06 Sura
01-20 Sapar
10-20 Mulud
01-11 Jumadilawal
10-14 Jumadilakhir
02-14 Rejeb
12-13 Ruwah
09-20 Pasa
10-20 Sawal
12-13 Dulka’idah
Bulan dan hari yang tidak baik untuk akad nikah
BULAN HARI
Dzulkaidah, jumadilawal Senen kliwon
Besar, jumadilakhir Selasa legi
Sura, rejeb Rabu pahing
Sapar, ruwah Kamis pon
Rabiulawal, puasa Jumat wage
Rabiulakhir, syawal Sabtu kliwon
Sumber: Kitab Primbon Jawa Betaljemur Adammakna
Bulan yang baik dan bulan yang tidak baik menurut buku primbon
jawa:
a) Sura : Jangan dilanggar, karena kalau dilanggar akan mendapat
b) Sapar : Boleh dilanggar, walau akan kekurangan dan banyak
hutang.
c) Rabiulawal : Jangan dilanggar, karena salah satu akan
meninggal.
d) Rabiulakhir : Boleh dilanggar, walau sering digunjingkan dan
dicacimaki.
e) Jumadilawal : Boleh dilanggar, walau sering tertipu,
kehilangan dan banyak musuh.
f) Jumadilakhir : Kaya akan harta benda.
g) Rejeb : Selamat, serta banyak anak.
h) Ruwah : Selamat dan selalu damai.
i) Puasa : Jangan dilanggar, akan mendapat kecelakaan besar.
j) Sawal : Boleh dilanggar, walau sering kekurangan dan banyak
hutang.
k) Dulkaidah : Jangan dilanggar, karena akan sering sakit.
l) Besar : Kaya, dan mendapat kebahagiaan.
Dari beberapa bulan baik dan tidak baik diatas ada beberapa
catatan yaitu bulan Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah dan Besar jika memiliki
hari Selasa Kliwon akan baik untuk hajad nikah. Terlebih baik lagi jika
dalam bulan tersebut, ada hari Jum’at Kliwon. Jika tidak memiliki hari
untuk hajad nikah. Seandainya terpaksa lebih baik dilakukan pada bulan:
Sapar, Rabiulawal, Jumadilawal atau Sawal, asalkan bulan itu ada hari
Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon.(Soemodidjojo, tt:21)
2. Memilih Pasaran dan Waktu yang Baik
Selain hari dan bulan, ada waktu baik yang harus di sesuaikan
dengan pasaran lahir bagi seorang calon pengantin putri di bawah ini
daftar pasaran dan waktu yang baik untuk Ijab Kabul:
a. Pengantin putri yang lahir pon jangan ijab kabul pukul 11.00-13.00
b. Pengantin putri yang lahir wage jangan ijab kabul pukul
09.00-11.00
c. Pengantin putri yang lahir kliwon jangan ijab kabul pukul
06.00-08.00
d. Pengantin putri yang lahir legi jangan ijab kabul sore pukul
15.00-17.00
e. Pengantin putri yang lahir pahing jangan ijab kabul pukul
13.00-15.00
Selain waktu yang dilarang tersebut, adalah waktu yang baik untuk
menyelenggarakan ijab kabul. Waktu-waktu yang dilarang tersebut adalah
waktu naas, yang akan berakibat kurang baik bila dilanggar.(Harawijaya,
Sedangkan dalam kitab primbon Jawa betaljemur adammakna
menentukan waktu yang baik dalam pelaksanaan ijab kabul adalah sebagai
berikut:
Hari Siang Pada Jam Malam Pada Jam
Ahad 07.00-14.00 24.00
Senin 11.00 21.00-04.00
Selasa 08.00-15.00 18.00-01.00
Rabu 12.00 22.00-05.00
Kamis 09.00-16.00 19.00-02.00
Jumat 06.00-13.00 23.00
Sabtu 10.00-18.00 20.00-03.00
Table diatas merupakan waktu-waktu yang baik untuk
melangsungkan ijab kabul pernikahan sampai acara peernikahannya.
Selain waktu yang tertera dalam table merupakan waktu-waktu yang tidak
dianjurkan untuk melangsungkan ijab kabul Kabul
pernikahan.(Soemodidjojo, 1994:25)
Di dasar sistem yang cukup berbelit-belit ini terletak konsep
metafisis orang Jawa yang fundamental: cocog. Cocog berarti sesuai,
sebagaimana kesesuaian kunci sama dengan gembok, obat mujarab
persesuaian seorang pria dengan wanita yang dinikahinya (kalau tidak,
mereka bercerai).
Kalau anda sepakat dengan pendapat saya, kita cocog; kalau
pakaian yang saya pakai sesuai dengan kedudukan kelas saya, pakaian itu
cocog; kalau arti nama saya sesuai dengan watak saya (dan kalau nama itu
membawa keberuntungan), ia dikatakan cocog juga. Dalam pengertian
yang paling abstrak dan luas, dua hal yang terpisah akan cocog apabila
koinsidensi mereka membentuk suatu pola yang estetis. Ia menyatakan
secara tidak langsung suatu pandangan kontrapuntal terhadap alam raya
dimana yang penting hubungan alamiah antara apa yang dimiliki oleh dua
elemen yang terpisah ruang, waktu dan motivasi manusiawi.(Geertz,
1981:39) Waktu larangan tersebut tidak mengikat secara laangsung, tetapi
menurut pengalaman ilmubudi dan ilmutiten yan dimiliki oleh para orang
tua pendahulu kita sangatlah besar pengaruhnya. Sehebat-hebat manusia,
sesakti-sakti manusia, tetap memiliki kelemahan, kekurangan dan saat
yang naas atau pengapesan. Menghindari waktu pengapesan, merupakan
do’a selamat dunia akhirat.(Harawijaya, 2004:32)
H. Penggunaan Hitungan Atau Memilih Hari Baik Dalam Islam
Agama Islam terdapat pula hari-hari baik atau bulan-bulan tertentu
tersendiri. Namun, waktu-waktu tertentu digunakan dalam melakukan
puasa seperti: Dzulhijjah, hari Arafah, bulah Ramadhan dam bulan
Muharram.
Bukhari, Abu Daud, Tirmizdi dan Ibnu Majjah meriwayatkan dari
Ibnu Abbas: Rasulullah Saw bersabda: tidak ada hari-hari yang paling
dicintai oleh Allah untuk beramal shaleh kecuali sepuluh hari pertama (di
bulan Dzulhijjah) ini.
Para sahabat bertanya-tanya wahai Rasulullah, tidak dengan jihad
di jalan Allah? Nabi menjawab: tidak pula jihad di jalan allah, kecuali
dengan orang yang berjuang dengan jiwa dan hartanya, meski semua itu
tidak akan kembali.(Abdussalam, 2004:177)
Dalam Islam tidak ada bulan-bulan yang sial, semua bulan dalam
Islam masing-masing memiliki keutamaan, namun dikalangan masyarakat
Jawa kadang menganggap bulan-bulan tertentu sebagai bulan yang sial,
sehingga mereka takut untuk melakukan suatu keperluan.
Orang-orang awam biasa menulis ayat-ayat tentang keselamatan di
atas secarik kertas, misalnya ayat “salamun ‘ala nuh fil ‘alamin” pada hari
rabu terakhir bulan safar, kemudin meletakkannya di dalam bejana untuk
diminum airnya dan untuk mencari keberkahannya karena mereka