• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUNYI BAHASA DAN TATA BUNYI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BUNYI BAHASA DAN TATA BUNYI"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

“BUNYI BAHASA DAN TATA BUNYI”

Disusun Untuk Memenuhi Matakuliah Analisis Kesalahan Bahasa Peserta Didik Tahun Akademik

2016/2017

Dosen Pengampuh : Siti Fatonah, M. Pd.

Disusun oleh:

Tenri S. Asmayanti (14.601020.047) Elsa Melinda (14.601020.0473)

JJURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN

(2)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan, rahmat dan karuniaNya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Bunyi Bahasa dan Tata Bunyi”. makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Analisis Kesalahan Bahasa, kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai waktu yang telah di tentukan.

Tiada gading yang tak retak. Penyusun menyadari makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena memiliki banyak kekurangan baik dalam hal isi maupun teknik penulisan. Oleh sebab itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penyusun dan pembaca.

Tarakan, 04 Oktober 2016 Penyusun,

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...iii

BAB I PENDAHULUAN...1

A. LATAR BELAKANG...1

B. RUMUSAN MASALAH...1

C. TUJUAN...1

BAB II PEMBAHASAN...2

1. PENGERTIAN BUNYI BAHASA...2

2. BUNYI BAHASA DAN TATA BUNYI BAHASA INDONESIA...5

BAB III PENUTUP...26

A. KESIMPULAN...26

B. SARAN...26

(4)

BAB I PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Kegiatan berbahhasa manusia selain secara lisan juga melalui tulisan. Bunyi bahasa yang pada awalnya terwujud dalam bentuk bunyi akan terwujud dalam bentuk lambing bunyi yang biasa disebut dengan huruf. Dalam hal itu harus kita sadari bahwa huruf sebagai wakil dari bunyi atau sebagai lambing bunyi tidak akan mampu mewakili secara lengkap dan sempurna pada saat ini Bahasa Indonesia digunakan oleh hampir seluruh rakyat Indonesia. Bahasa Indonesia adalah Bahasa resmi dan Bahasa pertama yang disepakati sebagai bahasa nasional kita.

Karena hal inilah kami akan memaparkan tentang bunyi Bahasa dan tata bunyi dalam Bahasa Indonesia yang didalamnya akan membahas tentang bagaimana sebuah kata atau huruf bisa keluar dari alat ucap serta apa saja bagian-bagian dari tata bunyi Bahasa Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan bunyi bahasa? 2. Apa saja cakupan dari bunyi bahasa?

3. Apa saja yang termasuk dalam tata bunyi Bahasa Indonesia? C.TUJUAN

1. Mengetahui pengertian bunyi bahasa? 2. Mengetahui cakupan dari bunyi bahasa?

(5)

BAB II PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN BUNYI BAHASA

Getaran udara yang masuk ke telinga dapat berupa bunyi atau suara. Getaran udara yang dinamakan bunnyi itu dapat terjadi karena dua benda atau lebih bergesekan atau berbenturan. Bunyi sebagai getaaran udara dapat dapat pula merupakan hasil yang dibuat oleh alat ucap manusia seperti pita suara, lidah, dan bibir. Bunyi bahasa dibuat oleh manusia untuk mengungkapkan sesuatu. Bunyi bahasa dapat terwujud dalam nyanyian atau dalam tuturan.

1.1 Bunyi yang dihasilkan oleh Alat ucap Manusia

Dalam pembentukan bunyi bahasa ada tiga factor utama yang terlibat, yakni sumber tenaga, alat ucap yang menimbulkan getarn, dan rongga pengubah getaran. Proses pembentukan bunyi bahasa dimulai dengan memanfaatkan pernapasan sebagai sumber tenaganya. Pada saat kita mengeluarkan napas, paru-paru kita menghembuskan tenaga yang berupa arus udara. Arus udara itu dapat mengalami perubahan pada pita suara. Yang terletak pada pangkal tenggorokan atau laring. Arus udara dari paru-paru itu dapat membuka kedua pita suara yang merapat hingga menghasilkan ciri-ciri bunyi tertentu. Gerakan membuka dan menutup pita suara itu menyebabkan udara di sekitar pita suara itu bergetar. Perubahan bentuk saluran suara yang terdiri dari atas rongga faring, rongga mulut, dan rongga hidung menghasilkan bunyi bahasa yang berbeda-beda. Udara dari paru-paru dapat keluar melalui rongga hidung, rongga mulut, atau lewat rongga mulut dan rongga hidung secara bersamaan. Bunyi bahasa yang arus udaranya keluar melalui mulut disebut bunyi oral;

bunyi bahasa yang yang keluar dari hidung disebut bunyi sengau atau bunyi nasal. Bunyi bahasa yang arus udaranya sebagian keluar melalui mulut dan sebagian dari hidung disebut bunyi yang disengaukan atau dinasalisasi.

(6)

udara tidak tersekat oleh pita suara, maka bunyi bahasa yang dihasilkan akan terasa “ringan”. Macam bunyi bahasa yang pertama itu umumnya dinamakan

bunyi bersuara, sedangkan yang kedua disebut bunyi tak bersuara.

Perbedaan kedua macam bunyi itu dapat dirasakan jika kita menutup kedua lubang telinga rapat-rapat sambil mengucapkan bunyi seperti [p] yang dibandingkan dengan [b]. pada waktu kita mengucapkan [b] terasa getaran yang lebih besar ditelinga. Disamping itu, pita suara dapat juga dirapatkan sehingga udara tersekat. Bunyi yang dihasilkan disebut bunyi hambat glottal [?].

(gambar alat ucap)

1.2 Vokal dan Konsonan

Bunnyi bahasa dibagi menjadi dua kelompok: 1) Vokal

Vokal adalah bunyi bahasa yang arus udaranya tidak mengalami rintangan dan kualitasnya ditentukan oleh tga factor:

a. Tinggi-rendahnya posisi lidah b. Bagian lidah yang dinaikkan

c. Bentuk bibir pada pembentukan vokal itu.

Pada saat vokal diucapkan, lidah dapat dinaikkan atau diturunkan bersama rahang, bagian lidah yang dinaikkan atau diturunkan itu adalh bagian depan, tengah, atau belakang. Jika kita gambarkan dalam bentuk bagan, raganagn vokal adalah sebgai berikut.

(7)

Bunyi konsonan dibuat dengan cara yang berbeda. Pada pelafalan konsonan ada tiga factor yang terlibat:

a. Keadaan pita suara

b. Penyentuhan atau pendekatan berbagai alat ucap c. Cara alat ucap bersentuhan dan berdekatan.

Berdasarkan cara artikulasinya, bahasa dibagi menjadi beberapa macam. Bila udara dari paru-paru dihambat secara total, maka bunyi yang dihasilkan dengan cara artikulasi semacam itu dinamakan bunyi hambat. Bunyi [p] dan [b] adalah bunyi hambat, tetapi [m] bukan bunyi hambat karena udara mengalir lewat hidung. Apabila arus udara melewati saluran yang sempit, maka akan terdengar bunyi desis yang disebut bunyi Frikatif, misalnya [f] dan [s]. apabila ujung lidah bersentuhan dengan gusi dan udara keluar melalui samping lidah, maka bunyi tersebut disebut bunyi lateral [l]. kalau ujung lidah menyentuh tempat yang sama berulang-ulang disebut bunyi getar [r].

1.3 Diftong

Diftong adalah vokal yang berubah kualitasnya pada saat pengucapannya. Dalam sistem tulisan diftong biasa dilambangkan oleh dua huruf vokal. Kedua huruf vokal itu tidak dapat dipisahkan. Bunyi [au], [oi] dan [ai]. Diftong berbeda dari deretan vokal tiap-tiap vokal pada deretan vokal mendapat hembusan napas yang sama atau hmpir sama;kedua vokal itu termasuk dua suku kata yang berbeda. Bunyi deretan au dan ai pada kata daun dan main. 1.4 Gugus Konsonan

Gugus konsonan adalah deretan dua konsonan atau lebih yang tergolong dalam satu suku kata yang sama. Bunyi [pr] pada kata praktik adalah gugus konsonan; demikian pula dengan [pl] pada plastic, [tr] pada sastra. Pemisahan bunyi pada kata itu adalah prak-tik, plas-tik, dan sas-tra.

(8)

konsonan. Contoh lain dari deretan dua konsonan yang bukan gugus konsonan adalah pt pada cipta, ks pada aksi.

1.5 Fonem dan Grafem

Fonem harus dibedakan dari grafem. Fonem merujuk ke bunyi bahasa, sedangkan grafem merujuk ke huruf atau gabungan huruf sebagai satuan pelambangan fonem dalam sistem ejaan. Fonem biasa dilambangkan dengan huruf dalam penulisannya, sering tidak tampak perbedaannya dari grafem misalnya, kata pagi terdiri dari empat huruf p, a, g, I. tiap-tiap huruf itu merupakan grafem yakni <p>, <a>, <g>, <i> dan tiap-tiap grafem itu melambangkan fonem yang berbeda yakni /p/, /a/, /g/, /i/. akan tetapi, banyak kata yang tidak memiliki kesamaan seperti itu. Kata hangus masing-masing terdiri atas enam huruf: h, a,n, g, u, dan s. Dari segi bunyi, kata hangus terdiri atas lima fonem yakni, /h/, /a/, /ƞ/, /u/, dan /s/.

1.6 Fonem segmental dan Suprasegmental

Fonem vokal dan konsonan merupakan fonem segmental karena dapat diruas-ruas. Fonem tersebut biasanya terwujud bersama-sama dengan ciri suprasegmental seperti tekanan, jangka dan nada. Di samping ketiga ciri itu, pada untaian terdengar pula ciri suprasegmental lain, yakni intonasi dan ritme. 1.7 Suku Kata

Suku kata adalah bagian kata yang diucapkan dalam satu hembusan napas dan biasanya terdiri dari beberapa fonem. Beberapa contoh suku kata adalah sebagai berikut.

Pergi → per-gi Ambil → am-bil

2. BUNYI BAHASA DAN TATA BUNYI BAHASA INDONESIA

2.1 Vokal dalam Bahasa Indonesia

(9)

Fonem /i/ adalah fonem tinggi-depan dengan kedua bibir agak terentang ke samping. Fonem /u/ merupakan vokal tinggi tetapi meninggi di belakang lidah. Vokal diucapkan dengan kedua bibir agak maju dan sedikit membundar.

Fonem /é/ dibuat dengan daun lidah dinaikkan tetapi agak lebih rendah dari fonem/i/. Vokal sedang-depan diiringi dengan bentuk bibir yang netral, artinya tidak terentang dan juga tidak membundar.

Bentuk bibir untuk /o/ kurang bundar jika dibandingkan dengan /u/. Lain halnya dengan /é/, dan /o/, fonem /e/ adalah vokal sedang-tengah. Bagian lidah yang agak dinaikkan adalah bagian tengah dan bentuk bibir netral. Satu-satunya vokal rendah dalam bahasa Indonesia adalah /a/ dan merupakan vokal tengah. Vokal /a/ diucapkan dengan bagian tengah lidah agak merata dan mulut terbuka lebar.

(10)

Tiap vokal memiliki alofon atau variasi. Pada umumnya alofon setiap fonem mengikuti pola berikut: lidah yang berada pada posisi tertentu bergerak ke atas atau ke bawah sehingga posisinya hampir berhimpitan dengan posisi untuk vokal yang ada di atas atau dibawahnya. Jika digambarkan dalam bagan, alofon fonem seperti diatas.

Fonem /i/, fonem ini memiliki dua alofon, yaitu [i] dan [I]. fonem /i/ dilafalkan [i] jika terdapat pada: 1(1) suku kata buka, (2) suku kata tutup yang berakhir dengan fonem /m/, /n/, atau /ƞ/ dan juga mendapat tekanan yang lebih keras daripada suku kata lain.

Fonem /e/, fonem ini memiliki dua alofon, yaitu [e] dan [ԑ]. Fonem /e/ dilafalkan [e] jika terdapat: (1) suku kata buka, dan (2) suku itu tidak diikuti oleh suku yang mengandung alofon [ԑ]. Jika suku yang mengikutinya mengandung [ԑ], /e/ pada suku kata buka itu menjadi [ԑ]. Fonem /e/ juga dilafalkan [ԑ] jika terdapat pada suku kata tertutup akhir.

Fonem /ɘ/, fonem ini memiliki satu alofon yakni [ɘ]. Alofon itu terrdapat pada suku kata buka dan suku kata tutup.

[i] [u]

/i/ /u/

[I] [U]

[e] [o]

/e/ /o/

(11)

Fonem /u/, fonem ini memiliki dua alofon, yaitu [u] dan [U]. fonem /u/ dilafalkan [u] jika terdapat pada: (1) suku kata buka, atau (2) suku kata tutup yang berakhir dengan /m/, /n/, atau /ƞ/ dan suku ini mendapat tekanan yang keras.

Fonem /a/, fonem ini hanya memiliki satu alofon yakni [a].

Fonem /o/, fonem /o/ memiliki dua alofon yakni [o] dan [ͻ]. Fonem /o/ dilafalkan [o] jika tedapat pada: (1) suku kata buka dan (2) suku kata itu tidak diikuti oleh suku lain yang mengandung alofon [ͻ]. Fonem /o/ dilafalkan [ͻ] jika terdapat pada suku kata tutup atau suku kata buka yang diikuti oleh suku yang mengandung [ͻ].

2.1.2 Diftong

Dalam bahasa Indonesia terdapat tiga buah diftong yakni /ay/, /aw/, dan /oy/ yang masing-masingnya ditulis: ai, au, dan oi. Diftong merupakan deret dua vokal yang tidak dapat dipisahkan.

Diftong : amboi am-boi, santai san-tai, harimau ha-ri-mau Deret vokal biasa : dia di-a, soal so-al, kue ku-e

2.2 Konsonan dalam Bahasa Indonesia

(12)

Cara Artikulasi Daerah Artikulasi Bilabial Labiodental Dental/

(13)

pita suara. Konsonan /p/, misalnya, adalah konsonan hambat bilabial tak bersuara, sedangkan /j/ adalah konsonan afrikat palatal bersuara.

Pasangan konsonan hambat /p/-/b/, /t/-/d/, dan /k/-/g/, selain memiliki pebedaan dalam daerah artikulasinya, juga mempunyai kesamaan dalam pembentukannya, yakn /p/, /t/, dan /k/ dibentuk dengan pita suara tak bergetar, sedangkan /b/, /d/, dan /g/ dengan pita suara yang bergetar. Karena itu, tiga konsonan yang pertama itu dinamakan konsonan tak bersuara, sedangkan ketiga yang lain disebut konsonan bersuara.

Konsonan hambat bilabial /p/ dan /b/ dilafalkan dengan bibir atas dan bibir bawah terkatup rapat sehingga udara dari paru-paru tertahan untuk sementara waktu sebelum katupan itu dilepaskan.

Contoh:

/pola/ pola /bola/ bola /lapar/ lapar /kabar/ kabar

Konsosnan hambat alveolar /t/ dan /d/ umunya dilafalkan dengan ujung lidah ditempelkan pada gusi. Udara dari paru-paru sebelum dilepaskan. Karena dipengaruhi bahasa daerah, ada pula orang yang melafalkan kedua konsosnan itu dengan melafalkan ujung atau daun lidah pada bagian belakang gigi atas sehingga terciptalah bunyi dental dan bukan alveolar. Perbedaan daerah artikulasi itu tidak penting dalam tata bunyi bahasa Indonesia.

Contoh:

/tari/ tari /dari/ dari

/pantai/ pantai /pandai/ pandai

(14)

Contoh:

/kalah/ kalah /galah/ galah

/akar/ akar /agar/ agar

Dalam bahasa Indonesia terdapat enam konsonan frikatif, lima tak bersuara, yakni /f/, /s/, / /, /x/, dan /h/, dan satu yang bersuara, yakni /z/. Konsonan frikatif labiodental /f/, artinya, konsonan itu dibuat dengan bibir bawah didekatkan pada bagian bawah gigi atas sehingga udara dari paru-paru dapat melewati lubang yang sempit antara gigi dan bibir yang menimbulkan bunyi desis. Sebagian orang sukar melafalkan bunyi ini dan menggantinya dengan bunyi /p/.

Contoh:

/fakultas/ /pakultas/ fakultas /lafal/ /lapal/ lafal

Penggantian /f/ dengan /p/ hendaklah dihindari.

Dalam tulisan, ada kalanya /f/ dilambangkan dengan huruf v. Contoh:

/faria/ varia /fisa/ visa

Konsonan frikatif alveolar /s/ dihasilkan dengan menempelkan ujung lidah pada gusi atas sambil melepaskan udara lewat samping lidah sehingga menimbulkan bunyi desis.

Contoh:

(15)

/nanas/ nanas

Konsonan frikatif alveolar /z/ dibentuk dengan cara pembentukan /s/, tetapi dengan pita suara yang bergetar.

Contoh:

/zeni/ zeni Bandingkan /seni/ seni /rezim/ rezim

Konsonan frikatif palatal tak bersuara /š/ dibentuk dengan menempelkan depan lidah pada langit-langit keras, tetapi udara dapat melewati samping lidah dan menimbulkan bunyi desis.

Contoh:

/šak/ syak Bandingkan /sak/ sak

/šah/ syah /sah/ sah

Konsonan frikatif velar /x/ dibentuk dengan mendekatkan punggung lidah ke langit-langit lunak yang dinaikkan agar udara tidak keluar melalui hidung. Udara dilewatkan celah yang sempit keluar rongga mulut.

Contoh:

/xas/ khas Bandingkan /kas/ kas /axir/ akhir

Konsonan frikatif glottal /h/ dibentuk dengan melewatkan arus udara di antara pita suara yang menyempit sehingga menimbulkan bunyi desis, tanpa dihambat di tempat lain.

Contoh:

(16)

/paha/ paha

Dalam bahasa Indonesia terdapat dua konsonan afrikat. Satu tak bersuara, yakni /c/ dan satu bersuara, yakni /j/

Konsonan afrikat palatal /c/ dilafalkan dengan dauh lidah ditempelkan pada langit-langit keras dan kemudian dilepas secara perlahan sehingga udara depan lewat dengan menimbulkan bunyi desis. Sementara itu, pita suara dalam keadaan tidak bergetar. Konsosnan palatal /j/ dibentuk dengan cara yang sama dengan pembentukan /c/, tetapi pita suara dalam keadaan bergetar. Contoh:

/cari/ cari /jari/ jari

/acar/ acar /ajar/ ajar

Kelompok konsonan nasal terdiri atas /m/, /n/, /ǹ/, dan /ŋ/. Keempat konsonan nasal itu bersuara.

Konsonan nasal bilabial /m/ dibuat dengan kedua bibir dikatupkan, kemudian udara dilepas melalui rongga hidung.

Contoh:

/makan/ makan /simpan/ simpan

Konsonan nasal alveolar /n/ dihasilkan dengan cara menempelkan ujung lidah pada gusi untuk menghambat udara dari paru-paru. Udara itu kemudian dikeluarkan lewat rongga hidung.

Contoh:

(17)

Konsonan nasal palatal /ǹ/ dibentuk dengan menempelkan depan lidah pada langit-langit keras untuk menahan udara dari paru-paru. Udara yang terhambat itu kemudian dikeluarkan melalui rongga hidung sehingga terjadi persengauan. Konsonan nasal palatal /ǹ/ seolah-olah terdiri atas dua bunyi, /n/ dan /y/, tetapi kedua bunyi ini telah luluh menjadi satu.

Contoh:

/ǹiur/ nyiur /taǹa/ tanya

Konsonan nasal velar /ŋ/ dibentuk dengan menempelkan belakang lidah pada langit-langit lunak dan udara kemudian dilepas melalui hidung.

Contoh:

/ŋaray/ ngarai /karaŋan/ karangan

Konsonan getar alveolar /r/ dibentuk dengan menempelkan ujung lidah pada gusi, kemudian menghembuskan udara sehingga lidah tersebut secara berulang-ulang menempel pada dan lepas dari gusi. Sementara itu, pita suara dalam keadaan bergetar.

Contoh:

/raja/ raja /gardu/ gardu

Konsonan lateral alveolar /l/ dihasilkan dengan menempelkan daun lidah pada gusi dan mengeluarkan udara melewati samping lidah. Sementara itu, pita suara dalam keadaan bergetar.

(18)

/lama/ lama /malam/ malam

Dalam bahasa Indonesia ada dua fonem yang termasuk semivokal, yakni /w/ dan /y/. Bunyi semivokal itu dibentuk tanpa penghambatan arus udara sehingga menyerupai pembentukan vocal, tetapi dalam suku kata kedua bunyi itu tak pernah menjadi inti suku kata. Kedua fonem semivokal itu dibentuk dengan pita suara dalam keadaan bergetar.

Semivokal bilabial /w/ dilafalkan dengan mendekatkan kedua bibir tanpa menghalangi udara yang dihembuskan dari paru-paru.

Contoh:

/waktu/ waktu

/awal/ awal

Semivokal palatal /y/ dihasilkan dengan mendekatkan depan lidah pada langit-langit keras, tetapi tidak sampai menghambat udara yang keluar dari paru-paru.

Contoh:

/yatim/ yatim 2.2.1 Alofon Konsonan

Seperti halnya dengan vocal, tiap fonem konsonan mempunyai pula alofon yang dalam banyak hal ditentukan oleh posisi fonem tersebut dalam kata atau suku kata.

(19)

Sebaliknya, alofon [pʾ] adalah alofon tak lepas; artinya, kedua bibir tertutup untuk beberapa saat sebelum pembentukan bunyi berikutnya. Alofon itu terdapat pada posisi akhir suku kata. Pada umumnya alofon seperti itu terdapat pada akhir kata pula.

Fonem /b/. Fonem /b/ hanya mempunyai satu alofon, yakni [b] yang posisinya selalu mengawali suku kata. Di dalam kata, posisinya dapat juga di tengah.

Fonem /t/. Fonem /t/ mempunyai dua alofon: [t] dan [tʾ]. Seperti halnya dengan [p], [t] adalah alofon yang lepas, yang pada pembentukannya ujung lidah menyentuh gusi tetapi lidah itu segera dilepaskan. Sebaliknya alofon [tʾ] dibuat dengan ujung lidah masih tetap melekat pada gusi untuk beberapa saat. Alofon [t] terdapat pada awal suku kata, sedangkan [tʾ] pada akhir suku kata.

Fonem /d/. Fonem /d/ hanya mempunyai satu alofon, yakni [d] yang posisinya selalu diawal suku kata. Seperti halnya dengan <b>, pada akhir kata <d> dilafalkan [tʾ], tetapi berubah menjadi [d] jika diikuti oleh akhiran yang mulai dengan vokal.

(20)

Fonem /s/. Fonem /s/ mempunyai satu alofon, yakni [s] yang terdapat pada awal atau akhir suku kata.

Fonem /z/. Fonem /z/ mempunyai atu alofon, yakni [z] yang terdapat pada awal suku kata.

Fonem /š/. Fonem /š/ mempunyai satu alofon, yakni /š/ yang terdapat hanya pada awal suku kata.

Fonem /x/. Fonem /x/ mempunyai satu alofon, yakni [x] yang terdapat pada awal dan akhir suku kata.

Fonem /h/. Fonem /h/ mempunyai du alofon, yakni [h] dan [h]. Alofon [h] tidak bersuara, sedangkan [h] bersuara. Di antara dua vokal, banyak orang yang melafalkan /h/ sebagai [h]. Di posisi lain /h/ dilafalkan sebagai [h].

Pada kata tertentu, /h/ kadang-kadang dihilangkan. Dalam untaian tuturan / h/ diakhir kata kadang-kadang tidak diucapkan.

Fonem /c/. Fonem /c/ mempunyai satu alofon, yakni c] yang terdapat pada awal suku kata.

Fonem /j/. Fonem /j/ juga hanya mempunyai satu alofon, yakni [j]. Seperti halnya dengan [c], [j] hanya menduduki posisi awal pada suku kata; pada beberapa kata serapan, /j/ pada akhir suku kata diucapkan sebagai [j] atau diganti dengan [t].

Fonem /m/. Fonem /m/ mempunyai satu alofon, yakni [m] yang terdapat pada awal atau akhir suku kata.

Fonem /n/. Fonem /n/ mempunyai satu alofon, yakni [n] yang terdapat pada awal atau akhir suku kata.

(21)

Fonem /ń/ yang diikuti fonem /j/, /c/, atau /š/ di dalam ejaan dilambangkan oleh <n>, seperti pada panjang [pańjaŋ].

Fonem /ŋ/. Fonem /ŋ/ mempunyai satu alofon, yakni [ŋ] yang terdapat pada awal atau akhir suku kata.

Fonem /r/. Fonem /r/ mempunyai satu alofon, yakni [r]. Alofon [r] terdapat pada awal dan akhir suku kata dan diucapkan dengan getaran pada lidah yang menempel di gusi. Pada orang-orang tertentu, [r] dapat bervariasi dengan [R], bunyi getar uvular.

Fonem /l/. Fonem /l/ mempunyai satu alofon, yakni [l] yeng terdapat pada awal atau akhir suku kata.

Huruf konsonan rangkap ll pada Allahdilafalkan sebagai [l], yaitu bunyi [l] yang berat yang dibentuk dengan menempelkan ujung lidah pada gusi sambil menaikkan belakang lidah ke langit-langit lunak atau menariknya kea rah dinding faring.

Fonem /w/. Fonem /w/ mempunyai satu alofon, yakni [w]. Pada awal suku kata, bunyi [w] berfungsi sebagai konsonan, tetapi pada akhir suku kata [w] berfungsi sebagai bagian diftong.

Fonem /y/. Fonem /y/ mempunyai satu alofon, yakni [y]. Pada awal suku kata, /y/ berperilaku sebagai konsonan, tetapi pada akhir suku kata berfungsi sebagai bagian dari diftong.

2.2.2 Struktur Suku Kata, Kata, dan Gugus Konsonan

(22)

b) VK ar-ti, ber-il-mu c) KV pa-sar, ka-il d) KVK pak-sa, pe-san e) KVKK teks-til, mo-dern f) KVKKK krops

g) KKV slo¬-gan, kon-tra h) KKVK trak-tor, kon-trak i) KKKV stra-te-gi, stra-ta j) KKKVK struk-tur k) KKVKK kom-pleks 2.2.3 Pemenggalan Kata

Pemenggalan kata berhubungan dengan kata sebagai satuan tulisan, sedangkan penyukuan kata bertalian dengan kata sebagai satuan bunyi bahasa. Pemenggalan tidak selalu berpedoman pada lafal kata. Misalnya, afiks pada kata dapat kita penggal walaupun tidak cocok dengan pelafalannya.

Faktor lain, yang penting pula, adalah kesatuan pernapasan pada kata tersebut. Marilah kita ambil beberapa contoh. Kata seperti nakal, jika dilihat dari segi pola sukunya kelihatannya layak untuk dipenggal menjadi nak dan al karena dalam bahasa Indonesia pola suku kata KVK (nak) dan VK (al) memang ada.

(23)

melainkan dengan kal. Karena itu, pemisahan yang benar adalah na-kal dan bukan nak-al.

Kata walaupun dan maukah sama-sama memiliki urutan vokal au. Namun, walaupun tidak dapat dipenggal menjadi wala-upun, sedangkan maukah dapat menjadi ma-ukah. Alasannya ialah bahwa au dalam walaupun merupakan diftong, sedangkan au dalam maukah hanya merupakan deretan dua vokal biasa aja.

Kata berani dapat dipenggal menjadi be-rani atau bera-ni, tetapi tidak dapat menjadi ber-ani atau beran-I karena di samping factor kesatuan napas, bentuk ber dan I masing-masing bukanlah awalan dan akhiran. Sebaliknya, kata berempat harus kita pisah menjadi ber-empat atau berem-pat dan tidak menjadi be-remberem-pat karena ber di sini merupakan awalan yang tentunya menimbulkan gangguan bila dipisahkan unsur-unsurnya.

Kita harus pula menghindari pemenggalan pada akhir kata yang hanya terdiri atas satu huruf saja. Dengan demikian, meliputi, misalnya, dapat dipenggal menjadi me-liputi, tetapi tidak boleh menjadi meliput-I karena huruf –i menjadi berdiri sendiri.

2.3 Ciri Suprasegmental dalam Bahasa Indonesia 2.3.1 Peranan Ciri Suprasegmental

Dalam bahasa tulisan, tanda baca mempunyai peranan yang sangat penting. Suatu klausa yang terdiri atass kata yang sama dan dalam urutan yang sama dapat mempunyai arti yang berbeda, bergantung pada tanda baca yang kita berikan. Klausa seperti Dia dapat pergi dapat merupakan suatu pernyataan jika diakhiri dengan tanda titik (.). Akan tetapi, jika diakhiri dengan tanda tnya (?), klausa itu berubah menjadi pertanyaan seperti yang dapat dilihat di bawah ini.

(24)

Dia dapat pergi?

Dalam bahasa lisan tentu tidak didapati tanda baca seperti itu. Karena itulah maka cara kita mengucapkan kata dan kalimat sangat penting. Contoh kalimat di atas yang diucapkan dengan intonasi menurun memberikan arti pernyataan, sedangkan dengan intonasi yang naik mengubah artinya menjadi pertanyaan. Dalam keadaan normal, kalimat pertanyaan Dia dapat pergi diberi aksen pada kata pergi. Akan tetapi, aksen dapat juga diberikan pada kata dapat atau dia. Dalam hal itu, informasi yang dinyatakan oleh kalimat itu berbeda dengan yang semula. Jika dapat menjadi aksen, kalimat itu mengandung informasi agar pendengar mengerti bahwa dia betul-betul dapat pergi. Jika dia mendapat aksen makna kalimat itu mengandung informasi bahwa orang lain tidak dapat pergi. Dia yang dapat pergi.

Pada tataran kata, tekanan, jangka, dan nada dalam bahasa Indonesia tidak berperan sebagai pembeda kata. Meskipun begitu, pelafalan kata yang menyimpang dalam hal tekanan, jangka, dan nada akan terasa janggal. 2.3.2 Intonasi dan Ritme

Pertama-tama kita harus membedakan pengertian intonasi dari pengertian ritme. Kita berbicara tentang ritme jika kita membahas pola pemberian aksen pada kata dalam untaian tuturan (kalimat). Pemberian aksen itu dilakukan dengan selang waktu yang sama untuk bebrapa bahasa dengan selang waktu yang berbeda untuk bebrapa bahasa yang lain. Bahasa Inggris, misalnya, mengikuti ritme yang berdasarkan jangka waktu sehingga kedua kalimat berikut

John’s /here /now

(25)

Diucapkan dengan jangka waktu yang agak sama. The professor’s mempunyai waktu pengucapan yang sama dengan John’s, in Bandung sama lamanya dengan here, dan this evening sama dengan now.

Sebaliknya, bahasa Indonesia mengikuti ritme yang berdasarkan jumlah suku kata: makin banyak suku kata, makin lama pula waktu untuk pelafalannya.

Perhatikan contoh yang berikut.

Jono /disini /sekarang

Guru besar itu /di Bandung /malam ini

Kalimat kedua pada contoh di atas dilafalkan dengan waktu yang lebih lama daripada kalimat pertama karena jumlah suku kata yang ada pada kalimat kedua itu lebih banyak daripada jumlah suku yang ada pada kalimat pertama.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, intonasi merupakan urutan pengubahan nada dalam untaian tuturan yang ada dalam suatu bahasa. Pola pengubahan nada itu membagi suatu tuturan (kalimat) dalam satuan yang secara gramatikal bermakna. Tiap-tiap pola pengubahan nada itu menyatakn informasi sintaksis tersendiri.

Bagian kalimat tempat berlakunya suatu pola perubahan nada tertentu disebut kelompok tona. Pada setiap kelompok tona terdapat satu suku kata yang terdengar menonjol yang menyebabkan terjadinya perubahan nada. Suku kata itulah yang mendapat aksen. Pada contoh berikut diperlihatkan pengubahan nada dengan angka yang ditempatkan di bawah kalimat. (3) Dia menerima uang dari ayahnya.

(26)

2- 3 2/2 1 1↓#

Pada contoh pertama perubahan nada terdapat pada kata ayahnya, sedangkan pada contoh kedua perubahan nada terjadi pada kata uang. Pada contoh berikut diperlihatkan tiga kelompok tona dalam satu kalimat. (5) Dia berbaring di kursi, sambil merokok.

2 3 /2- 3 3 / 2- 3 1 ↓#

Kelompok tona pertama pada contoh (5) itu adalah dia. Kelompok yang kedua ialah berbaring di kursi, sedangkan kelompok yang ketiga adalah sambil merokok.

Perlu dicatat bahwa kelompok tona tidak mempunyai hubungan satu lawan satu dengan satuan sintaksis. Kalimat (3) dapat saja dijadikan tiga kelompok tona dalam berbicara lambat, sehingga menjadi

(6) Dia / menerima uang / dari ayahnya. 2 3 / 2- 3 1 / 2 3 1↓#

Suku kata yang mendapat aksen dalam kelompok tona tidak dapat diramalkan karena sangat bergantung pada apa yang dianggap paling penting oleh pembicara. Pada umumnya sebutan atau (komen) tidak akan menerima aksen. Aksen biasanya diberikan pada pokok pembicaraan (topik) seperti pada contoh berikut.

(7) Amin / muridnya. 2 – 3 / 2 3 1↓#

(27)

demikian, kata yang mendapat aksen adalah Amin yang menjadi sebutan seperti pada contoh berikut.

(8) Amin / muridnya. 3 2 / 1 1 1↓#

Pengubahan nada pada suku kata yang mendapat aksen dapat bermacam-macam. Pada contoh (4) dan (8) di atas tampak bahwa intonasi kelompok tona pertama menurun. Kemungkinan lain adalah bahwa intonasi pada kelompok tona pertama meninggi. Contohnya ialah kalimat (3), (5), dan (7).

Intonasi naik dapat juga terjadi di tengah kalimat, terutama pada akhir klausa, seperti pada contoh yang berikut.

(9) Tamu yang datang tadi / kawan istri saya. 2- 3 3 / 2- 3 1↓#

Pola intonasi serupa juga terdengar pada kalimat yang menyatakan daftar, seperti contoh berikut.

(10) Dia membeli baju, / sepatu,/ dan sarung. 2- 3 3 / 2 3 3 /2 3 1↓#

Pola interaksi serupa juga tampak pada kalimat yang mengalami topikalisasi, yakni pengutamaan bagian kalimat yang dikontraskan dengan keterangannya. Bandingkan kedua contoh berikut.

(28)

Pola intonasi dalam bahasa Indonesia yang dicarakan di atas hanyalah pola umum saja. Apabila kita memperhatikan orang berbicara, akan terdengar bermacam-macam variasi intonasi untuk pola kalimat yang sama.

Titinada 4 biasanya digunakan untuk menyatakan emosi yang tinggi seperti pada orang sedang marah, kesakitan, terkejut, atau kegirangan. Contoh:

(12) Bodoh, kamu! 4 1 / 1 1↓# (13) Aduh! 2 4 ↓#

(14) Hore, kita menang!

(29)

BAB III PENUTUP

A.KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas menjelaskan tentang bagaimana proses terjadinya suatu bunyi,bunyi dapat terjadi karena adanya suatu getaran atau gesekan yang terjadi sehinngga mengeluarkan sebuah bunyi yang akan diterima oleh indera

pendengaran. Dalam tata bunyi dan bunyi bahasa terdapat beberapa bagian, salah satuny aadalah Bunyi yang Dihasilkan oleh Alat Ucap,dalam penbentukan bunyi bahasa ada tiga faktor utama yang terlibat, yakni sumber tenaga, alat ucap yang menimbulkan getaran, dan rongga pengubah getaran. Bunyi-bunyi bahasa Indonesia diuraikan berdasarkan cara bunyi-bunyi tersebut dihasilkan oleh alat ucap. , Diftong, Fonem dan Grafem, Gugus Konsonan, dan Vokal dan Konsonan. Dalam tata bunyi bahasa juga mencakup tentang ciri suprasegmental serta bagian lagi jadi dalam materi bunyi bahasa dan tata bunyi banyak mencakup beberapa bagian ilmu fonologi.

B. SARAN

(30)

DAFTAR PUSTAKA

Referensi

Dokumen terkait

Person Deixis Time Deixis Place Deixis Social Deixis Discourse Deixis. Gestural

Alasan penulis mengambil tema ini adalah untuk mengembangkan kemampuan bahasa ekspresif anak autis melalui bermain dan melalui visual learner karena anak autis lebih cepat belajar

Bukan tidak mungkin nasabah pindah ke lain bank karena pelayanan yang kurang, sehingga diperlukan hubungan yang baik antara bank dengan nasabah agar nasabah

Simpulan Penelitian: Pemberian ekstrak propolis dosis 100 dan 200 mg/kg BB/hari dapat menurunkan hitung sel mast intestinal pada tikus putih (Rattus norvegicus)

Minum adalah suatu kebutuhan pokok tubuh yang berfungsi sebagai sumber tenaga. Seperti yang biasa kita ketahui bahwa manusia itu 90% membutuhkan air. Minum juga dapat

Bidang: Seni dan Olahraga (Total JKEM bidang ini 150 menit) No. Subbidang, Program, dan Kegiatan Frek

Berdasarkan tabel di atas, kisi-kisi instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu observasi dan wawancara akan dipaparkan dalam tabel 3.2, 3.3 serta

Provokasi/ancaman/mencela pemain lawan selama pertandingan liga juga akan menyebabkan pemain yang bersangkutan dikeluarkan dari liga dan dilarang mengikuti liga untuk minimal enam