• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KESETARAAN GENDER DI BIDANG PEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS KESETARAAN GENDER DI BIDANG PEN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KESETARAAN GENDER DI BIDANG PENDIDIKAN SERTA PENERAPANNYA DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR DI LINGKUNGAN

SEKOLAH

Habibatul Azizah

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jurai Siwo Metro E-mail: Habibatulazizah10@gmail.com

Abstrak

Gender merupakan sebuah persoalan yang sangat menarik dan tidak akan pernah habis untuk diperbincangkan. Di dalam masyarakat, sebenarnya perbedaan gender tidaklah menjadi masalah sejauh hal tersebut tidak menimbulkan ketidakadilan gender. Begitu juga dengan kesetaraan gender yang harus diterapkan dalam kesempatan memperoleh pendidikan bagi semua orang. Proses pendidikan yang di dalamnya terdapat kegiatan belajar mengajar apabila diterapkan dengan tidak diskriminatif dan berkeadilan disadari sangat bermanfaat dalam upaya menciptakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Namun pada kenyataannya, perempuan masih banyak mengalami diskriminasi, khususnya dalam bidang pendidikan. Menghadapi situasi yang demikian itu, tentunya dibutuhkan upaya nyata dalam rangka pemajuan perempuan menuju sisrtem pendidikan yang lebih berkeadilan gender. Luasnya akses yang diberikan bagi pendidikan merupakan satu kunci untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan supaya perannya dapat ditingkatkan dalam berpartisipasi segala bidang kehidupan di masyarakat.

Kata Kunci: kesetaraan gender, pendidikan, proses belajar mengajar

Abstrack

Gender is an issue that is very interesting and will never run out for discussion. In society, the real gender difference does not matter as far as it does not lead to gender inequality. As well as gender equality should be applied in educational opportunities for everyone. The educational process in which there is a learning activity when applied to non-discriminatory and equitable realized very helpful in efforts to create equality between men and women. But in fact, many women still face discrimination, especially in education. Faced with such a situation, of course, it takes a real effort towards the advancement of women in order sisrtem more gender-equitable education. The extent of the access granted to education is a key to increasing women's empowerment can be improved so that their role in participating in all areas of life in society.

(2)

A. Pendahuluan

Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dan menjadi sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seluruh umat mausia. Salah satu bentuk pendidikan yang harus diperoleh oleh seorang anak adalah pendidikan pada jalur lembaga formal seperti sekolah. Setelah seorang anak memasuki usia sekolah, orang tua mau tidak mau harus memasukkan anaknya ke dalam sebuah lembaga pendidikan formal supaya anak tersebut memperoleh ilmu pengetahuan dan wawasan yang nantinya akan berguna bagi kehidupannya di masa yang akan datang. Hal tersebut juga dilakukan karena keterbatasan waktu dan kemampuan orang tua untuk memberikan pendidikan kepada anaknya, sehingga orang tua membutuhkan bantuan dari sekolah untuk mendidik anaknya menjadi mnusia yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur.

Namun yang masih menjadi persoalan dalam penerapan strategi belajar mengajar berbasis gender adalah masih banyaknya ditemukan bahan ajar, lingkungan, dan sebagian tenaga pendidik yang kurang responsive terhadap kesertaraan gender yang akan berdampak pada sikap dan perilaku anak yang pada akhirnya semakin meningkatkan tingkat kesenjangan gender. Selain itu, kurang adanya nilai-nilai kesetaraan gender yang tampak dalam kegiatan pembelajaran yang akan menunjang kualitas pembelajaran dan menjadikannya sebgai suatu kebutuhan.

B. Pengertian Gender

Di lingkungan masyarakat, masih banyak sekali ditemukan orang-orang yang sejatinya belum memahami makna gender yang sebenarnya. Mereka masih belum mampu membedakan secara jelas antara istilah jenis kelamin dan gender, sehingga tidak jarang mereka menganggap kedua hal tersebut sebagai sesuatu yang sama.1 Anggapan demikian tentu sangat tidak tetap, karena jenis kelamin dan gender memang memiliki pengertian yang sama sekali berbeda. Kesalahan sebagian orang dalam memahami makna gender merupakan salah satu faktor yang menyebabkan adanya sikap tidak responsif atau sulit menerima analilis gender dalam menyelesaikan suatu masalah ketidaksetaraan gender.

Kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Dalam Webster's New World Dictionary, gender didefinisikan sebagai perbedaan yang terdapat antara laki-laki dan perempuan ditinjau dari segi nilai dan tingkah laku. Dalam Women's Studies Encyclopedia

dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.2 Sehingga dapat dipahami bahwa gender sebagai

1 Zainil Ghulam, “Konsep Gender Perspektif Epistemologi Pendidikan Islam”, Tarbiyatuna, vol. 7, no. 2 (2014), p. Hlm. 2.

2 Sarifa Suhra, “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Quran dan Implikasinya Terhadap Hukum Islam”,

(3)

suatu dasar dalam menentukan pengaruh sosial dan budaya dalam membedakan antara laki-laki dan perempuan.

Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulakn bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya.3 Gender merupakan suatu bentuk rekayasa masyarakat, dan bukanlah sesuatu yang bersifat kodrati. Dalam konteks ini, gender dibedakan dari jenis kelamin yang mana jenis kelamin merupakan pembagian manusia berdasarkan sifat biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Sedangkan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan secara sosial maupun kultural. Perbedaan biologis yakni perbedaan jenis kelamin adalah kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanen berbeda. Sedangkan gender adalah perbedaan prilaku antara laki-laki dan perempuan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (laki-laki dan perempuan) melalui proses sosial dan cultural yang panjang. Jadi dapat dikatakan bahwa gender adalah penafsiran budaya terhadap perbedaan jenis kelamin. Oleh karena itu, gender pada hakikatnya lebih menekankan aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek yang berada di luar aspek biologis lainnya.4 Misalnya perempuan dianggap lemah lembut, cantik, keibuan dan sebagainya. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa dan sebagainya. Sifat-sifat tersebut tidaklah kodrati, karena tidak abadi dan dapat berubah. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan dan sebagainya. Sementara ada juga perempuan yang kuat, rasional, perkasa dan sebagainya. Oleh karena itu, gender dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat dapat berubah. Singkatnya, gender membicarakan laki-laki dan perempuan dari sudut pandang yang non biologis.5

Gender merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi antara laki-laki dan perempuan untuk mewujidkan tatanan masyarakat sosial sesuai dengan keinginan masyarakat itu sendiri.6 Jadi, gender dapat dikatakan sebagai sebuah perangkat dalam melakukan pengukuran terhadap persoalan mengenai laki-laki dan perempuan terutama mengenai hal-hal yang terkait dengan peran mereka dalam masyarakat.

Isu gender mencuat ketika disadari bahwa perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan telah melahirkan ketidak adilan dalam berbagai bentuk diskriminasi.7 Misalnya seperti pemiskinan dalam bidang ekonomi, kurang mumpuni dalam urusan politik, atau anggapan negatif bagi

3 Hulwati, “Memahami Kesetaraan Gender dalam Fiqh: Analisis Teori Evolusi Kontinuitas Fiqh”, Jurnal

Ilmiah Kajian Gender, vol. 5, no. 1 (2015), p. Hlm. 377.

4 Djamila Lasaiba, “Membangun Pendidikan Berperspektif Gender”, Horizon Pendidikan, vol. 8, no. 1 (2013), p. Hlm. 109.

5 Zainal Abidin, “Kesetaraan Gender dan Emansipasi Perempuandalam Pendidikan Islam”, Tarbawiyah, vol. 12, no. 1 (2015), p. Hlm. 4.

6 Harum Natasha, “Ketidaksetaraan Gender Bidang Pendidikan: Faktor Penyebab, Dampak, dan Solusi”,

marwah, vol. 12, no. 1 (2013), p. Hlm. 54.

7 Suhra, “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Quran dan Implikasinya Terhadap Hukum Islam”, p. Hlm.

(4)

perempuan. Perempuan dianggap hanya mampu bergelut dengan dapur, sumur, kasur, serta maraknya kekerasan terhadap perempuan yang bermuara pada perbuatan tidak adil yang dibenci oleh Allah swt.

C. Pengertian Strategi Belajar Mengajar

Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan kualitas manusia seutuhnya, adalah misi pendidikan yang menjadi tanggung jawab professional setiap guru.8 Guru tidak cukup hanya menyampaikan materi pengetahuan kepada siswa di kelas tetapi dituntut untuk meningkatkan kemampuan guna mendapatkan dan mengelola informasi yang sesuai dengan kebutuhan profesinya. Mengajar bukan lagi usaha untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, melainkan juga usaha menciptakan sistem lingkungan yang membelajarkan peserta didik agar tujuan pengajaran dapat tercapai secara optimal. Mengajar dalam pemahaman ini memerlukan suatu strategi belajar mengajar yang sesuai. Mutu pengajaran tergantung pada pemilihan strategi yang tepat dalam upaya mengembangkan kreativitas dan sikap inovatif subjek didik. Untuk itu perlu dibina dan dikembangkan kemampuan professional guru untuk mengelola program pengajaran dengan strategi belajar yang kaya dengan variasi.

Strategi belajar mengajar meliputi rencana, metode dan perangkat kegiatan yang direncanakan untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu. Untuk melaksanakan strategi tertentu diperlukan seperangkat metode pengajaran.9 Strategi dapat diartikan sebagai “rencana kegiatan untuk mencapai sesuatu”. Sedangkan metode ialah “cara untuk mencapai sesuatu”. Untuk melaksanakan suatu strategi digunakan seperangkat metode pengajaran tertentu. Dalam pengertian demikian maka metode pengajaran menjadi salah satu unsur dalam strategi belajar mengajar. Unsur seperti sumber belajar, kemampuan guru dan siswa, media pendidikan, materi pengajaran, organisasi, waktu yang tersedia, kondisi kelas dan lingkungan merupakan unsur-unsur yang mendukung strategi belajar-mengajar.

Strategi belajar mengajar adalah di antara cara yang dapat digunakan oleh guru untuk dapat mengaktifkan peserta didik. Guru diharapkan mengembangkan atau mencari strategi lain yang dipandang lebih tepat. Sebab pada dasarnya tidak ada strategi yang paling ideal. Masing-masing strategi mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri.

D. Kesenjangan gender yang Muncul dalam Proses Pendidikan

Perilaku yang tampak di dalam lingkungan sekolah dapat dijadikan indikator sejauh mana kesetaraan gender talah diterapkan di sekolah tersebut. Misalnya interaksi antara guru dengan murid

8 Mad Sa’i, “Pendidikan Islam dan Gender”, Islamuna, vol. 2, no. 1 (2015), p. Hlm. 121.

(5)

atau murid dengan murid baik di dalam kelas maupun di luar kelas, pada saat pelajaran berlangsung maupun ketika jam istirahat akan menampakkan konstruksi gender yang selama ini dibangun. Selain itu, penataan tempat duduk di dalam ruang kelas dan penataan barisan ketika upacara juga tidak terlepas dari hal tersebut. Siswa laki-laki selalu ditempatkan dalam posisi yang menentukan, misalnya memimpin organisasi kesiswaan, menjadi ketua kelas, memimpin jalannya diskusi dan lain sebagainya.10 Hal tersebut menunjukkan adanya kesenjangan gender yang muncul dalam proses pembelajaran di sekolah.

Selain itu, dengan masih banyaknya ditemukan bahan ajar, lingkungan dan guru yang belum responsive gender, akan berdampak pada pembentukan sikap dan perilaku anak yang akhirnya akan memperbesar ketimpangan gender.11 Misalnya, dalam buku ajar siswa banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Sebut saja gambar seorang pilot selalu identik dengan laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot dianggap sebagai pekerjaan yang memerlukan kecakapan dan kekuatan yang hanya dimiliki oleh laki-laki. Sementara gambar seorang guru yang sedang mengajar selalu identik dengan sosok perempuan karena tugas seorang guru antara lain adalah mengasuh dan mendidik yang dianggap hanya dapat dilakukan oleh kaum perempuan.12 Ironisnya, siswa juga melihat bahwa mayoritas gurunya berjenis kelamin perempuan sementara kepala sekolah kebanyakan berjenis kelamin laki-laki. Selain itu belum terlihat adanya nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender yang memadai dalam kegiatan-kegiatan yang mampu menunjang kualitas pembelajaran dan menjadikannya sebagai suatu kebutuhan. Diantara aspek yang menunjukkan adanya bias gender dalam pendidikan dapat dilihat pada perumusan kurikulum dan juga rendahnya kualitas pendidikan. Implementasi kurikulum pendidikan sendiri terdapat dalam buku ajar yang digunakan di sekolah-sekolah.13 Realitas yang ada, dalam kurikulum pendidikan (agama ataupun umum) masih terdapat banyak hal yang menonjolkan laki-laki dibandingkan perempuan. Dengan kata lain, kurikulum yang memuat bahan ajar bagi siswa belum bernuansa netral gender baik dalam gambar ataupun ilustrasi kalimat yang dipakai dalam penjelasan materi. Rendahnya kualitas pendidikan diakibatkan oleh adanya diskriminasi gender dalam dunia pendidikan. Ada empat aspek yang disorot oleh Departemen Pendidikan Nasional mengenai permasalahan gender dalam dunia pendidikan yaitu akses, partisipasi, proses pembelaran dan penguasaan. Yang dimaksud dengan aspek akses adalah fasilitas pendidikan yang sulit dicapai. Di lingkungan masyarakat yang masih tradisional, umumnya orang tua segan mengirimkan anak perempuannya ke sekolah yang jauh karena mengkhawatirkan kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu

10 Khozin, Pengarusutamaan Gender (Gender Mainstreaming) dalam Pendidikan Islam, vol. 14, no. 2 (2011), p. Hlm. 73.

11Ibid., p. Hlm. 75.

12 Mohamad Hafid, “Islam dan Gender”, Islamuna, vol. 1, no. 1 (2014), p. Hlm. 20.

(6)

banyak anak perempuan yang ‘terpaksa’ tinggal di rumah. Belum lagi beban tugas rumah tangga yang banyak dibebankan pada anak perempuan membuat mereka sulit meninggalkan rumah. Akumulasi dari faktor-faktor ini membuat anak perempuan banyak yang cepat meninggalkan bangku sekolah.14

Kesenjangan gender juga nampak dalam proses belajar mengajar, seperti kalimat-kalimat yang mengandung bias gender misalnya: Ibu memasak, Ani mencuci piring, Ayah pergi ke kantor, menegaskan bahwa adanya kesenjangan gender.15 Seperti halnya hubungan guru dengan siswanya yang bias gender misalnya permintaan untuk mencuci taplak meja yang ada di kelas menjadi tugas siswa perempuan.

E. Urgensi Kesetaraan Gender Dalam Penerapan Strategi Belajar Mengajar

Terwujudnya kesetaraan gender dapat ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, dengan demikian mereka akan memiliki akses dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional dan memperoleh manfaat setara.16 Dalam memenuhi kesetaraan dan keadilan gender, maka diperlukan suatu dasar yang mampu menghantarkan setiap individu untuk mampu memahami dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang gender sehingga tidak akan memiliki sikap bias gender. Dasar tersebut ialah pendidikan. Di mana pendidikan sangat berperan penting dalam merubah pola pikir seorang anak atau peserta didik termasuk perilakunya yang dianggap bias gender, oleh karena itu perlunya menciptakan suatu pendidikan berwawasan gender dalam pembangunan pendidikan yang memiliki peran dan fungsi stategis. Proses pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik terkait kesetaraan gender harus diberikan sejak dini, agar kedepannya mereka tidak akan memiliki sikap yang diskriminatif terhadap orang-orang disekelilingnya. Orang tua dapat berperan dalam hal ini, dengan cara membimbing, mengajarkan dan memberikan pengetahuan tentang gender pada anak. Namun, yang tidak kalah penting adalah peran guru di dekolah yang sangat strategis untuk menanamkan sikap kesetaraan gender, hal tersebut bermanfaat agar ketika mereka tumbuh dewasa mereka dapat bersikap responsif terhadap diskriminasi gender.

Sekolah merupakan suatu lembaga pendidikan yang yang disediakan oleh pemerintah dan dikondisikan bagi anak yang tujuannya tidak hanya untuk memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi juga sekolah diharapkan mampu menyiapkan peserta didik yang memegang teguh nilai-nilai etika

14 Dina Ampera, “Kajian Kesetaraan Gender dalam Pendidikan Di Sekolah Dasar Mitra PPL PGSD”, Jurnal

Tabularasa PPS UNIMED, vol. 9, no. 2 (2012), p. Hlm. 232.

15 Veronika Incing, Willy Tri Hardianto, and Sugeng Rusmiwari, “Kesenjangan Gender (Perempuan) dalam

Mendapatkan Pendidikan pada Masyarakat Pedesaan”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, vol. 2, no. 1 (2013), p. Hlm. 38.

(7)

dan moral guna memasuki kehidupan bermasyarakat.17 Sekolah yang responsif gender, yaitu suatu sekolah responsif gender dimana aspek akademik, sosial, lingkungan fisik, maupun lingkungan masyarakatnya memperhatikan secara seimbang kebutuhan spesifik laki-laki maupun perempuan. Lingkungan sekolah diartikan sebagai tempat yang ada berada di sekitar sekolah mulai dari halaman, kelas, lapangan olah raga labolatorium dan fasilitas lainnya. Kelas merupakan salah satu tempat/ruang tempat belajar yang ditempati paling lama setiap harinya ketika anak anak berada di sekolah. Lingkungan akan sangat mempengaruhi cara pandang dan situasi kondusif tidaknya terhadap anak.

Kesetaraan gender telah menjadi wacana publik yang terbuka, sehingga hampir tidak terdapat sudut kehidupan manapun yang tidak tersentuh wacana ini. Gender telah manjadi perspektif baru yang tengah diperjuangkan untuk menjadi kontrol bagi kehidupan sosial, sejauh mana prinsip keadilan, penghargaan martabat manusia, dan perlakuan yang sama terhadap laki-laki dan perempuan. Upaya penyadaran akan kesetaraan gender ditempuh dengan harapan membantu kaum perempuan itu sendiri dalam menemukan jati diri dan peranannya di tengah-tengah masyarakat yang terus berubah. Berbicara mengenai gender bukanlah karenaingin menyalahi kodrat tetapi justru mengembalikan kodrat peda proporsi dan fungsi sosialnya bagaimana kesetaraan telah berlaku bagi kaum laki-laki dan perempuan.

F. Analisis Kesetaraan Gender Dalam Penerapan Strategi Belajar Mengajar

Kesetaraan gender adalah sebuah tujuan utama untuk menciptakan kesejahteraan dan membangun keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.18 Kesetaraan gender merupakan kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesamaan serta hak-haknya sebagai manusia, supaya mampu berperan dan berpartisipasi aktif dalam berbagai aspek kehidupan. Misalnya, politi, hukum, ekonomi, sosial, pendidikan, dan lain sebagainya.

Jika sekolah memilih jalan untuk tidak hanya menjadi penyangga nilai-nilai, melainkan menyeru pemikiran-pemikiran baru yang lebih produktif dengan mengikuti perkembangan zaman, maka sudah menjadi tugas sekolah untuk tidak membiarkan kesenjangan gender berlaku dalam masyarakat sekolah tersebut. Sekolah harus bersikap kritis dengan mengajak masyarakat sekolah dan masyarakat sekitar untuk mulai mengubah pola pikir sekaligus mengimplementasikannya menjadi suatu tindakan yang lebih berpihak pada keadilan gender.

Proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara kesuluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Guru sebagai bagian dari tenaga kependidikan memiliki kedudukan yang sangat penting dalam pencapaian tujuan pendidikan di sekolah. Profesionalisme

17 Dwi Edi Wibowo, “Peran Ganda Perempuan dan Kesetaraan Gender”, Muwazah, vol. 3, no. 1 (2011), p. Hlm. 357.

(8)

seorang guru dalam proses belajar mengajar sangat berperan untuk menentukan kualitas dari kegiatan belajar mengajar, sehingga guru harus diupayakan untuk mendapatkan akses terhadap pengetahuan-pengatahuan dan pendidikan gender terlebih dahulu. Praktik yang baik dalam pengembangan guru untuk mendukung kesetaraan gender berarti melengkapi pemahaman guru terkait kesetaraan gender di kelas, di lingkungan sekolah dan sekitarnya, dan dalam masyarakat umumnya. Untuk mencapai hal ini, guru perlu memiliki kemampuan untuk mempromosikan pemahaman ini di kelas dan mengembangkan strategi dan solusi praktis dalam mengatasi berbagai tantangan pembelajaran yang dihadapi murid laki-laki maupun perempuan. Jika seorang guru atau pendidik sudah mendapatkan akses yang cukup terhadap pengetahuan gender, maka komitmen yang akan dijadikan sebagai landasan dalam membangun pendidikan gender akan jauh lebih mudah dicapai. Apabila guru sudah memiliki sikap responsif terhadap kesetaraan gender maka melalui proses pembelajaran di kelas, dalam pembuatan soal, serta penerapan berbagai strategi belajar mengajar di kelas ia akan menciptakan iklim pembelajaran berbasis kesetaraan gender dengan sendirinya.

Namun terdapat suatu hal yang tidak kalah penting bahwa kesetaraan gender dalam penerapan strategi belajar mengajar di dalam kelas maupun di lingkungan sekolah bikan berarti mengharuskan jumlah laki-laki dan perempuan harus sama, tidak pula memperlakukan siswa laki-laki dan siswa perempuan sama persis, kesetaraan gender tidak hanya memihak kaum perempuan saja. Kesetaraan gender hakikatnya ingin memberikan kesempatan yang sama kepada siswa laki-laki dan siswa perempuan untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan untuk mencapai potensi masing-masing.

Kesetaraan gender dalam proses pembelajaran memerlukan keterlibatak Depdiknas sebagai pengambil kebijakan di bidang pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru. Dalam hal ini, diperlukan standarisasi buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya kesetaraan dan keadilan gender dalam pendidikan melalui proses pembelajaran yang peka gender.

(9)

memperlakukan murid laki-laki dan perempuan secara adil dalam strategi belajar mengajar yang tengah dilakukan.

Kesetaraan gender dalam strategi belajar mengajar mencakup pengalaman murid laki-laki dan perempuan di sekolah ketika mengikuti proses belajar mengajar.19 Berbagai pengalaman ini terkait dengan perlakuan yang setara oleh guru, kurikulum, buku teks, media belajar, materi pembelajaran yang tanggap gender, dan juga lingkungan belajar dan hasil pembelajaran.

Membangun kesadaran gender di lingkungan pendidikan terutama pada saat proses pembelajaran berlangsung bukanlah pekerjaan yang mudah.20 Dalam kaitan inilah maka proses belajar mengajar dalam lembaga pendidikan memainkan peranan penting dalam menetukan arah pembangunan, terutama sebagai tolak ukur untuk melihat apakah pembangunan di bidang pendidikan dapat melahirkan keadilan gender baik pada tataran penyiapan sumber daya manusia atau perlakuan terhadap sumber daya manusia. Strategi belajar mengajar dalam proses pembelajaran sebagai media belajar memiliki implikasi sebagai agen sosialisasi nilai-nilai atau fenomena-fenomena dalam masyarakat, salah satunya gender. Sebagai suatu sistem, strategi pembelajaran memiliki berbagai komponen yang berperan dan berinteraksi dengan komponen lain dalam mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Dalam proses pembelajarannya gender disosialisaikan lewat pengaplikasian berbagai strategi belajar, penjelasan, metode, hingga buku ajar yang dipakai. Buku ajar mempunyai implikasi psikologis yang besar bagi peserta didik sehingga penting diketahui nilai-nilai gender yang termuat, untuk meminimalisir diskriminasi gender yang ada di dalamnya. Buku ajar juga harus mampu menyajikan suatu objek secara terurut bagi keperluan pembelajaran dan memberikan sentuhan nilai-nilai afektif, sosial, dan kultural yang baik agar dapat secara menyeluruh menjadikan peserta didik bukan hanya dapat mengembangkan kemampuan kognitifnya, tetapi juga afektif dan psikomotoriknya. Sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan buku ajar yang implementatif terhadap kurikulum yang berlaku, sudah seharusnya buku ajar yang digunakan saat ini juga berperspektif gender. Buku ajar yang berwawasan gender harus mampu menunjukkan peran gender. Buku ajar yang baik seyogyanya menampilkan dan menonjolkan peran yang dilakukan perempuan dan laki-laki sesuai dengan status, lingkungan, budaya, dan struktur masyarakatnya, yang ditampilkan baik dalam bentuk ilustrasi gambar maupun deskripsi kalimat yang terdapat pada setiap mata pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah.21

Dalam teknik pembelajaran ada yang menjadikan pendidik memiliki peran utama dalam penyajian materi pembelajaran dan ada juga yang menekankan media hasil teknologi modern

19 M. Hajir Mutawakkil, Keadilan Islam dalam Persoalan Gender, vol. 12, no. 1 (2014), p. Hlm. 69.

20 Ernita Dewi, “Kesetaraan Gender dalam Islam: Sudut Pandang Al-Quran dan Hadis”, Substantia, vol. 16, no. 2 (2014), p. Hlm. 269.

(10)

seperti televisi, kaset, internet, blog, dan beberapa media lainnya.22 Sehingga dalam usaha memberikan pendidikan berperspektif gender berbagai hal dapat berperan di dalamnya.

Pembelajaran yang responsif gender, kurikulum dan pembelajaran nyang mengacu pada proses pembelajaran yang senantiasa memberikan perhatian seimbang bagi kebutuhan khusus baik bagi laki-laki maupun perempuan.23 Pembelajaran yang responsif gender tersebut mengharuskan kepada guru untuk memperhatikan berbagai pendekatan belajar yang memenuhi kaidah kesetaraan dan keadilan gender, baik melalui proses pembelajaran, hasil belajar, interaksi belajar mengajar, pengelolaan kelas, maupun dalam evaluasi. Atau dengan kata lain, konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa/siswi yang mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat yang sama bagi peserta didik laki-laki dan perempuan.24

G. Simpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa menciptakan sebuah kesetaraan gender di bidang pendidikan, khususnya mennerapkan hal tersebut dalam proses pembelajaran bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Namun, bukan berarti hal tersebut tidak dapat diupayakan pengaplikasiannya. Proses pembelajaran yang berwawasan kesetaraan dan keadilan gender perlu ditingkatkan karena masih terdapat berbagai gejala bias gender di sekolah. Laki-laki cenderung masih ditempatkan pada posisi yang lebih menguntungkan dalam keseluruhan proses pendidikan. Muatan buku-buku pelajaran yang mengungkap status dan fungsi perempuan dalam keluarga dan mayarakat belum sepenuhnya peka gender dan memuat konsep kesetaraan gender tersebut tentu akan berpengaruh dalam memelihara, dan meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender di dalam proses pendidikan. Sehingga sangat diperlukan peran dari pemerinth selaku instansi yang memiliki kewenangan dalam membuat kebijakan, agar menjadikan pendidikan sebagai suatu wadah bagi masyarakat dalam memperoleh wawasan mengenai kesetaran gender.

Penerapan kesetaraan gender dalam proses pembelajaran di lingkungan sekolah dapat dibenahi dengan cara mengikutsertakan peran serta seluruh anggota masyarakat sekolah terutama guru ketika sedang berlangsung proses pembelajaran untuk dapat menjadikan seluruh siswa berperan aktif dan ikut serta dalam setiap kegiatan tanpa dibatasi oeh perbedaan jenis kelamin.

22 Dedi Wahyudi, Pengembangan Multimedia Pembelajaran Interaktif Pendidikan Akhlak dengan Program

Prezi (Studi di SMP Muhammadiyah 2 Mlati Sleman Tahun Ajaran 2013-2014), p. Hlm. 5.

23 Mursidah, “Pendidikan Berbasis Kesetaraan dan Keadilan Gender”, Muwazah, vol. 5, no. 2 (2013), p. Hlm. 278.

24 Ampera, “Kajian Kesetaraan Gender dalam Pendidikan Di Sekolah Dasar Mitra PPL PGSD”, p. Hlm.

(11)

REFERENSI

Abidin, Zainal, “Kesetaraan Gender dan Emansipasi Perempuandalam Pendidikan Islam”,

Tarbawiyah, vol. 12, no. 1, 2015.

Ampera, Dina, “Kajian Kesetaraan Gender dalam Pendidikan Di Sekolah Dasar Mitra PPL PGSD”,

Jurnal Tabularasa PPS UNIMED, vol. 9, no. 2, 2012.

Arsyad, Jamaluddin, “Islam dan Kesetaraan Gender”, Tajdid, vol. 13, no. 2, 2014.

Dahri, Nurdeni, “Kesadaran Gender yang Islami”, marwah, vol. 13, no. 2, 2014.

Dewi, Ernita, “Kesetaraan Gender dalam Islam: Sudut Pandang Al-Quran dan Hadis”, Substantia, vol. 16, no. 2, 2014.

Efianingrum, Ariefa, “Pendidikan dan Pemajuan Perempuan : Menuju Keadilan Gender”, Fondasia, 2008.

Ghulam, Zainil, “Konsep Gender Perspektif Epistemologi Pendidikan Islam”, Tarbiyatuna, vol. 7, no. 2, 2014.

Hafid, Mohamad, “Islam dan Gender”, Islamuna, vol. 1, no. 1, 2014.

Hulwati, “Memahami Kesetaraan Gender dalam Fiqh: Analisis Teori Evolusi Kontinuitas Fiqh”,

Jurnal Ilmiah Kajian Gender, vol. 5, no. 1, 2015.

Incing, Veronika, Willy Tri Hardianto, and Sugeng Rusmiwari, “Kesenjangan Gender (Perempuan) dalam Mendapatkan Pendidikan pada Masyarakat Pedesaan”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, vol. 2, no. 1, 2013.

Khozin, Pengarusutamaan Gender (Gender Mainstreaming) dalam Pendidikan Islam, vol. 14, no. 2, 2011.

Lasaiba, Djamila, “Membangun Pendidikan Berperspektif Gender”, Horizon Pendidikan, vol. 8, no. 1, 2013.

Mursidah, “Pendidikan Berbasis Kesetaraan dan Keadilan Gender”, Muwazah, vol. 5, no. 2, 2013.

Mutawakkil, M. Hajir, Keadilan Islam dalam Persoalan Gender, vol. 12, no. 1, 2014.

Natasha, Harum, “Ketidaksetaraan Gender Bidang Pendidikan: Faktor Penyebab, Dampak, dan Solusi”, marwah, vol. 12, no. 1, 2013.

Sa’i, Mad, “Pendidikan Islam dan Gender”, Islamuna, vol. 2, no. 1, 2015.

Solichin, Mohammad Muchlis, “Pendidikan Agama Islam Berbasis Kesetaraan Gender”, Tadris, vol. 1, no. 1, 2006.

Suhra, Sarifa, “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Quran dan Implikasinya Terhadap Hukum Islam”, Jurnal Al-Ulum, vol. 13, no. 2, 2013.

(12)

Referensi

Dokumen terkait

Pematangan ( ripening ) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1 adalah proses yang mengubah dadih-dadih (keju mentah) segar menjadi keju yang penuh dengan

Karaktenstik keluarga, dukungan keluarga, pengetahuan serta persepsi ibu terhadap anak ASO temyata tidak bemubungan signifikan dengan strategi koping yang digunakan

Adapun tujuan pada praktikum ini adalah Membuat larutan natrium hidroksida (NaOH) yang dibakukan dengan larutan asam oksalat (H2C2O4) dengan indikator fenolftalein,

Justeru, adalah diharapkan agar dapatan kajian ini menyediakan sumber maklumat kepada guru- guru sejarah untuk menerapkan penggunaan teknik Peer Instruction dengan sumber sejarah

Secara keseluruhannya melalui hasil daripada penganalisaan data yang diperolehi melalui ujian yang diberikan terhadap atlet Lumba Basikal, penyelidik merumuskan

Metode Vernam Cipher merupakan algoritma berjenis symmetric key kunci yang digunakan untuk melakukan enkripsi dan dekripsi yang menggunakan kunci yang

Permasalahan berikutnya muncul pada penempatan kerja karyawan, yaitu tidak sesuainya pekerjaan yang diminati karyawan dengan penempatan kerja yang sudah ditetapkan