• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer Kontemporer

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer Kontemporer"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN : 2338-0357 Volume III, NOMOR III, April 2014

Syahadah

Jurnal Keislaman dan peradaban

Epistemologi Corak Tafsir Sufistik

Lenni Lestari, S.Th.I, M.Hum.

Corak Teologis-Filosofis dalam Penafsiran Al-Qur’an

Ridhoul Wahidi, M.A. dan Amaruddin Asra, M.A.

Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer:Telaah Konsep Kunci Tafsir al-Bayni li al-Qur’an al-Karim karya ‘Aisyah Abdul Rahman Bint al-Syati’

Fadhli Lukman

Pola Baru Dalam Corak Tafsir Fikih

(Telaah atas Pemikiran Tafsir Abdullah Ahmad An Na’im)

Muhammad Makmun-Abha

Sebab-Sebab Kesalahan dalam Tafsir

Abd. Halim, M.Hum

Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indragiri Tembilahan

Indragiri Hilir – Riau

Jln. Baharudin Jusuf No. 10 Tembilahan 29200 Telp : 0768-324918, Fax : 0768-22418. Hp. 0853 56200 444

(2)

41

Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer ... Fadhli Lukman

Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer:

Telaah Konsep Kunci Tafsir al-Bayni li al-Qur’an

al-Karim karya ‘Aisyah Abdul Rahman Bint al-Syati’

Fadhli Lukman

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Alumnus Ponpes Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi

Abstrak

Tulisan ini membahas tentang Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer:Telaah Konsep Kunci Tafsir Bayni li Qur’an al-Karim karya ‘Aisyah Abdul Rahman Bint al-Syati’. Diantara karakter-isti tafsir ini adalah Bint Syati’ sebagai seorang Muslim memandang Alquran sebagai kitab ibadah agama yang dibaca, sementara sebagai akademisi ia menekankan pendekatan sastra untuk mengungkap

makna terdalam dari bayan Alquran. Tafsir bagi Bint Syati’ adalah

upaya untuk mengungkap makna objektif Alquran sebagaimana orang Arab pada zamannya memahaminya. Oleh sebab itu ia meng-kritisi tafsir yang didasari kepada data-data ekstra-Qur’ani. Metode yang ia gunakan terlihat bawa Bint Syati’ menempatkan wahyu dan

akal pada posisi yang seimbang.

A. Pendahuluan

Tafsir memiliki umur setua Alquran. Karena manusia diberi otoritas untuk menafsir Alquran, maka ia terus berkembang sepan-jang zaman. Saat ini bisa diidentifikasi sejumlah aliran tafsir, yang informasi lebih lengkap dapat ditemukan dalam diskursus sejarah tafsir. Abdul Mustaqim memberikan klasifikasi periodik untuk mengidentifikasi keragaman tafsir tersebut, mulai dari era formatif dengan nalar quasi-kritis, era afirmatif dengan nalar ideologis, dan era reformatif dengan nalar kritis. Dengan klasifikasi ini, Mustaqim mengidentifikasi karakteristik paling menonjol pada masing-masing periode.1

Perkembangan tafsir dalam dialektikanya dengan perkemban-gan situasi empiris berperan besar dalam pergeseran dan keraga-man tafsir. Jika pada periode awal para sahabat enggan menafsirkan Alquran menggunakan ra’y, secara perlahan-lahan tafsir bi al-ra’y

hid-1 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LkiS, 2010), hal.

31.

up dan berkembang luas yang dibuktikan dengan kategorisasi lan-jutan dari para mufassir, yaitu kategori mazmum (tafsir yang tercela) dan mahmud (tafsir yang terpuji). Pada era afirmatif, keragaman tafsir dibentuk oleh perbedaan mazhab yang menajam, sementara era re-formatif bergerak berlawanan, menghindari bias-bias mazhab ini.2

‘Aisyah ‘Abd al-Rahman Bint al-Syati’ (selanjutnya: Bint Sya-ti’) telah muncul menjadi tokoh penting dalam sejarah tafsir kon-temporer, atau era reformatif jika menggunakan klasifikasi Abdul Mustaqim. Dengan dua jilid al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim

maka nama Bint Syati’ adalah nama yang tidak boleh diabaikan. Kitab ini berawal dari kegelisahannya tentang sedikitnya upaya para ulama untuk melakukan karya komprehensif terhadap Alquran yang menekankan kearabannya, dalam artian penggunaan pendekatan sastra yang lebih mumpuni. Tafsir-tafsir terdahulu ia klaim tidak be-gitu berhasil mengungkap bayan dari Alquran. Ketika para pakar sas-tra disibukkan dengan mengkaji sya’ir-sya’ir klasik Arab, mereka jus-tru meninggalkan Alquran yang notabene kitab sastra Arab terbesar. Dari pengakuan tersebut, maka tafsir Bint Syati’ dapat digolongkan kepada tafsir kontemporer dengan kecenderungan sastra.3

Artikel ini akan membahas pemikiran Bint Syati’ terkait kon-sep-konsep inti seputar Alquran dan tafsir. Untuk itu, artikel ini akan difokuskan pada pemikiran Bint Syati’ pada empat hal: Alquran, Tafsir, Takwil, dan posisi akal terhadap wahyu. Metode yang digu-nakan adalah deskriptif-analitis. Deskriptif digudigu-nakan untuk me-maparkan apa yang dikatakan oleh Bint Syati’ seputar tema terkait, dan analitis untuk mengungkap hal-hal terdalam dari hal tersebut. Pada beberapa hal, Bint Syati’ tidak mendeklarasikan secara eksplisit apa bagaimana pandangannya seputar tema-tema yang diinginkan. Untuk itu, penulis akan menganalisis pernyataan-pernyataan Bint Syati’ untuk kemudian dikaitkan dengan tema yang diinginkan. Menimbang minimnya data biografi dibutuhkan dalam tema dan metode yang digunakan artikel ini, maka riview biografi Bint Syati’

2 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, hal. 65.

3 Kolega Bint Syati’ sesama didikan Amin Khulli bahkan menilai bahwa metode sastra adalah satu-satunya metode yang paling relevan untuk menafsirkan

Alquran. Lihat Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nas (Beirut: Markaz al-Saqafi

(3)

42 Jurnal Syahadah

Vol. 2, No. 1, April 2014 43

Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer ... Fadhli Lukman

tidak akan dilakukan.

B. Alquran menurut Bint Syati’

Bagaimanakah pandangan Bint Syati’ mengenai Alquran? Un-tuk menjelaskan hal ini, klasifikasi bisa dimanfaatkan antara Bint Syati’ sebagai Muslim dan dia sebagai akademisi. Dalam pengantar

al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim, ia menyebut 4:

Pernyataan Bint Syati’ di atas memperlihatkan bagaimana ia tumbuh dalam keluarga yang taat beragama. Ia terbiasa membaca Alquran dengan penuh perasaan dan kekhusyu’an. Itu berarti, seb-agai seorang Muslim Bint Syati’ memandang Alquran sebseb-agai kitab liturgis, kitab ibadah dalam Agama. Oleh sebab itu, Alquran men-jadi sebuah kitab suci yang menempati posisi yang khas bagi umat Muslim, dan diperlakukan secara khas pula. Ia berbeda dari kitab-kitab lainnya. Para ulama telah mengonsep adab dan tata tertib un-tuk mendekati Alquran. Ia harus ditempatkan di tempat yang layak, dihormati, dijaga, dan dibaca dalam kondisi fisik yang bersih. Sejum-lah hadis melaporkan fadilah membaca Alquran, motivasi membaca atau menghafal Alquran, dan sebagainya. Tema ini ditemukan dalam sejumlah literatur, seperti tulisan al-Nawawi yang berjudul al-Tibyan fi Adabi Hamalat al-Qur’an. Dalam buku ini, al-Nawawi menuliskan sejumlah hadis yang bersandar kepada Rasulullah, dan beberapa di-antaranya kepada Sahabat atau Ulama kenamaan, yang menjelaskan cara terbaik untuk berinteraksi dengan Alquran.5

Bint Syati’ dalam hal ini meyakini bahwa Alquran adalah kitab wahyu. Perilaku khas yang ditunjukkan oleh Muslim terha-dap Alquran, sebagaimana Bint Syati’ juga mengakuinya,

dilatar-4 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim (Cairo: Dar al-Ma’arif,

1990), hal. 1: 14.

5 Al-Nawawi, al-Tibyan fi Adabi Hamalat al-Qur’an (Jeddah: Haramayn, t.t)

belakangi oleh keyakinan bahwa Alquran adalah kitab wahyu. Ia adalah kalam Tuhan, dan karena itu ia harus dihormati sebagaimana manusia menghormati Tuhan. Sebagai wahyu dan kalam Tuhan, Alquran adalah kitab yang dibaca ketika shalat dan doa. Ia sendiri juga menekankan dirinya sebagai kitab yang dibaca pada ayat yang pertama diturunkan.

Dengan demikian, Bint Syati’ sangat meninggikan makna dari Alquran. Pandangannya mengenai makna Alquran sejalan dengan teori noumena dan phenoumena dalam ranah filsafat, bahwasanya makna Alquran adalah noumena dan tafsir adalah phenoumena. Itu berarti bahwa tafsir tidak akan pernah menyamai Alquran. Bagi Bint Syati’, penjelasan dari tafsir hanya menempati syarh dan taqrib, bu-kan mumasalah atau taraduf terhadap Alquran.6

Hal ini sejalan dengan pandangan fenomenologi tentang Alquran yang menyatakan Alquran sebagai scripture, kitab suci. Wil-fred Cantwel Smith menyebut bahwa sebuah kitab bisa menjadi

scripture dengan memandang hubungan antara kitab terkait dengan manusia yang meyakininya, yang dalam hal ini hubungan Alquran dengan Muslim umumnya atau Bint Syati’ khususnya. Smith me-nyebut bahwa sebuah kitab bisa menjadi suci tergantung kepada bagaimana umatnya bertindak terhadapnya.7 Pandangan ini menilai

kitab suci dari dua arah, dari kitab terkait dan dari manusia penga-nutnya. Maka, dalam konsepsi itu, Bint Syati’ telah memperlihatkan bahwa ia meyakini Alquran sebagai sebuah scripture, kitab suci.

Namun begitu, Bint Syati’ dalam kutipan di atas juga menye-but bahwa ia belum memahami bayan Alquran hingga dia terlibat dalam kajian tentang nusus. Bagian ini adalah bagaimana Bint Syati’ memandang Alquran dalam kompetensinya sebagai akademisi. Se-bagai akademikis, dalam pengantar tafsirnya, Tafsir al-Bayan, Bint Syati’ menyebut Alquran adalah kitab bahasa Arab terbesar (al-kitab al-‘arabiyah al-akbar).8 Frasa tersebut sepertinya berasal dari Amin

al-Khulli, guru sekaligus suaminya, yang oleh M. Nurchalis Setiawan

6 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 2: hal 9.

7 Wilfred Cantwell Smith, Kitab Suci Agama-agama terj. Dede Iswadi (Jakarta: Teraju, 2005), p. 12-23

(4)

44 Jurnal Syahadah

Vol. 2, No. 1, April 2014 45

Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer ... Fadhli Lukman

diterjemahkan dengan ‘kitab sastra Arab terbesar’.9

Cara pandang Bint Syati’ terhadap Alquran sebagai akademisi, dari kutipan di atas, terlihat melengkapi cara pandangnya sebagai seorang Muslim. Sebagai seorang Muslim, hal yang terpenting dalam Alquran adalah sebagai kitab untuk ibadah, untuk diresapi dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Akan tetapi, sebagai aka-demisi orientasi pengungkapan bayan lah yang menjadi ciri khasnya. Itu berarti cara akademik ini berkaitan dengan bagaimana cara Bint Syati’ mengungkap bayan tersebut. Pembicaraan ini kemudian akan berkaitan dengan aktifitas menafsirkan ayat Alquran.

Sebagaimana disampaikan di awal pendahuluan Tafsir al-Bayani li al-Qur’an, metode yang digunakan oleh Bint Syati’ adalah metode sastra. Pada satu sisi ia melihat perkembangan studi sastra Arab pada ranah sya’ir-sya’ir klasik, akan tetapi pada sisi lain metode yang sama cenderung mengabaikan Alquran sebagai kitab berbahasa Arab terbesar.

C. Tafsir dan Takwil

Bint Syati’ terkesan acak menggunakan istilah tafsir dan ta’wil

dalam tafsirnya. Mengenai metode penafsiran yang ia tempuh dalam

al-Tafsir al-Bayani, ia menggunakan istilah tafsir, sementara untuk menjelaskan makna ayat dalam penjelasan demi penjelasan ia ter-kadang menggunakan istilah ta’wil. Oleh sebab itu, dalam hal ini penulis bergerak lebih lanjut dari pandangan bahwa bagi Bint Syati’,

tafsir dan ta’wil adalah dua hal yang sama, dan oleh sebab itu untuk kesederhanaan penulisan, penulis menggunakan hanya kata tafsir

saja dalam makalah ini.

Dalam pandangannya mengenai tafsir, Bint Syati’ mengemu-kakan10:

9 Nur Khalis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: eLSAQ, 2006), hal. 3.

Sahiron Syamsuddin, dalam tesisnya menyebutkan bahwa per-nyataan di atas adalah definisi Bint Syati’ terhadap tafsir. Ia menye-butkan bahwa “Bint Syati’ defines tafsir as an attempt to understand the Qur’an that consist in explaining and claryfing the text by using interpretive as opposed to synonymous language.”11 Namun begitu, penulis lebih

me-nilai hal itu adalah penjelasan Bint Syati’ mengenai ontologi tafsir. Sebagaimana yang disampaikan di atas, bahwa Bint Syati’ begitu me-ninggikan makna Alquran, dan manusia hanya bisa mencapai mak-na tafsir. Dalam pandangannya, tafsir tidak akan menempati makmak-na Alquran ‘ala wajh al-mumusalah wa al-taraduf, melainkan hanya seb-agai penjelas dan pengungkapan makan terdekat.

Dengan pernyataan tersebut, Bint Syati’ telah membuka relati-vitas kebenaran tafsir. Ia seakan menyatakan bahwa kebenaran uta-ma ada pada Alquran, sementara tafsir tidak akan mencapai uta-makna hakikat dari Alquran. Dalam konteks relativitas tersebutlah kiranya Bint Syati’ mengapresiasi sekaligus mengkritisi setumpuk tafsir yang telah diwarisi oleh generasi pendahulu.

امو

Demikianlah Bint Syati’ menghargai peninggalan dari para pendahulu.12 Lebih lanjut, hal itu dibuktikan dengan banyaknya ia

merujuk pendapat para mufassir tersebut dalam al-Tafsir al-Bayani-nya. Namun begitu, ia mengkritisi tafsir-tafsir tersebut. Ia secara tegas me-nyebutkan bahwa sesekali ia harus menolak pandangan dari mufassir

klasik tersebut. Dalam An Examination of Bint Syati’’s Method of Inter-preting the Qur’an, Sahiron Syamsuddin merinci poin-poin kritik Bint Syati’ terhadap kitab tafsir klasik, yang secara umum bisa dijelaskan

11 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s Method of Interpreting the

Qur’an (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999), hal. 8.

(5)

46 Jurnal Syahadah

Vol. 2, No. 1, April 2014 47

Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer ... Fadhli Lukman

dengan istilah penggunakan materi extra Qur’an dalam tafsir.13 Bint

Syati’ terlihat sangat menekankan peran tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an. Lebih lanjut, Syamsuddin membagi kritik Bint Syati’ terhadap tafsir klasik kepada dua kelompok besar, yaitu tendentious interpreta-tion (penafsiran tendensius) pada satu kelompok dan tafsir al-mutakal-laf serta i’jaz-misoriented interpretation pada kelompok lain. Untuk ke-lompok pertama, terdapat beberapa poin turunan yaitu penggunaan isra’iliyat, orientasi teologis, mistik, filosofis, dan tafsir saintis.14

Meskipun penyebaran Isra’iliyat15 telah dilarang pertengahan

abad kedua hijriah oleh sejumlah tabi’in seperti A’masy dan Sufyan al-Tawri, penggunaannya alih-alih berkembang justru semakin pop-uler. Sejumlah tafsir bi al-riwayat tidak bersih dari pengaruh isra’iliyat. Bint Syati’ termasuk sarjana kontemporer yang mengkritisi penggu-naan riwayat isra’iliyat. Ia menegaskan bahwa tidaklah tepat untuk menafsirkan Alquran dengan basis isra’iliyat. Ia, menurut catatan Sa-hiron Syamsuddin, memperluas cakupan makna dari isra’iliyat, bu-kan terbatas kepada informasi dari tradisi Yahudi dan Nasrani yang masuk kepada tafsir, melainkan setiap informasi detail tafsir yang tidak ada di dalam Alquran. Sebagai contoh, detail informasi menge-nai ‘Ad dan Samud tidak ditemukan dalan Bible dan Taurat, namun Bint Syati’ masih menyebutnya sebagai isra’iliyat. Bagi Syamsuddin, tanggapan Bint Syati’ ini merupakan upayanya untuk menjaga kon-sistensi terhadap penggunaan metode sastra (literary analysis) untuk menafsirkan Alquran.16

Mengenai orientasi teologis, Bint Syati’ menyayangkan ma-suknya perdebatan teologis dalam penafsiran Alquran. Mazhab teologis yang ia kritisi diantaranya qadariyah dan jabariyah yang ber-tolakbelakang dalam menafsirkan Alquran. Mereka mengutip argu-men-argumen, baik yang rasional maupun skriptural, yang sesuai dengan pandangan sekte teologis mereka. Pada sisi lain, jika

men-13 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal 8.

14 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal. 13.

15 Isra’iliat secara massif mempengaruhi kitab-kitab tafsir klasik seperti tafsir al-Tabari dan tafsir Muqatil bin Sulayman. Lihat Fadhli Lukman, “The Rising of Isra’iliyat in Early Exegetical Work and the Effect” Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis edisi Juli 2010.

16 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal. 17.

emukan ayat yang bertentangan dengan pandangan teologis mereka, dianggap mutasyabih dan oleh sebab itu dita’wil supaya menghasilkan kesimpulan yang kembali mendukung pandangan masing-masing mazhab. Bint Syati’ menyebut bahwa tidak layak untuk menerima beberapa ayat dan menolak ayat lainnya, karena sesungguhnya kes-atuan Alquran berasal dari Allah.17

Kritik lainnya juga disampaikan Bint Syati’ terhadap tafsir isyari yang termanifestasi pada tafsir sufi dan tafsir falsafi. Tafsir sim-bolik (al-tasir al-isyari), yaitu upaya hermeneutis yang bergantung ke-pada upaya untuk memahami isyarat yang tersembunyi dari ekspresi Alquran, adalah topik yang diperdebatkan. Tafsir model ini dikem-bangkan oleh mufassir yang memiliki kepakaran dalam pengetahuan dan pengalaman mistik maupun dalam pemikiran filsafat. Pendeka-tan ini berasal dari luar Islam, dan oleh sebab itu ia juga bersifat Qur’ani. Dalam bentuk yang lebih modern, pendekatan extra-Qur’ani lainnya juga digunakan oleh tafsir saintifik (tafsr al-‘ilmi) sep-erti yang diperkenalkan oleh Tantawi Jawhari, Hanafi Ahmad, dan Mustafa Mahmud. Bint Syati’ dalam hal ini percaya bahwa Alquran adalah buku keagamaan, bukan buku filsafat atau sains. Oleh sebab itu, ia menekankan bahwa setiap ayat Alquran hanya memiliki satu makna, dan harus ditafsirkan sesuai dengan bagaimana bangsa Arab pada masa Rasulullah memahaminya. Dengan itu, ia lantas menolak penafsiran simbolik terhadap Alquran.18

Mengkritisi tafsir-tafsir terdahulu dalam beberapa aspek, Bint Syati’ menawarkan metode penafsiran sekaligus produk tafsirnya, yai-tu al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim. Sebagaimana disampaikan di muka, tafsir Bint Syati’ adalah tafsir sastra (literary analysis) dengan bertumpu pada keyakinan bahwa setiap ayat Alquran saling menaf-sirkan dan oleh sebab itu memasukkan hal ekstra-Qur’ani adalah ter-larang. Pendekatan ini dilatarbelakangi pandangannya bahwa sejauh ini para ahli sastra Arab disibukkan mempelajari sya’ir-sya’ir klasik, namun melupakan kitab sastra Arab terbesar, yaitu Alquran.19

17 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal. 19.

18 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal. 25.

(6)

48 Jurnal Syahadah

Vol. 2, No. 1, April 2014 49

Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer ... Fadhli Lukman

D. Posisi Akal terhadap Wahyu

Berkaitan dengan posisi akal dari wahyu, Bint Syati’ sendiri tidak menjelaskan bagaimanakah konsepsinya mengenai hal terse-but. Oleh sebab itu, dalam hal ini digunakan bagaimana cara dia melakukan penafsiran sebagai alat ukur. Untuk itu, bagian ini per-tama sekali akan meriview metode penafsiran yang ia lakukan dan menganalisis bagaimana dia menempatkan akal terhadap wahyu.

Dalam tesisnya, Sahiron Syamsuddin menggunakan dua kata kunci untuk menjelaskan metode penafsiran Alquran. Kedua kata kunci tersebut adalah tafsir al-mawdu’i (cross-referential interpretation)20 dan irtibat al-ayat wa al-suwar (interconnection between verses and chapters).21 Terkait irtibat, pandangan Bint Syati’ sejalan dengan pan-dangan Mustansir Mir dengan ide bahwa satu surat memiliki satu ide (the sura as a unity). Sebagai contoh, surat al-‘Adiyat bagi Bint Syati’ membicarakan satu tema dan setiap ayat membicarakan tema tersebut.22 Terkait tafsir mawdu’i, ia menyatakan23:

امو

Pernyataan Bint Syati’ di atas secara jelas memperlihatkan bah-wa metode yang ia gunakan adalah tafsir al-mawdu’i. Tema tersebut membicarakan satu tema tema dengan mekanisme mengumpulkan semua ayat yang terkait. Hanya saja, metode ini tidak sama dengan

20 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal. 40.

21 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal. 68.

22 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal. 74.

23 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 1: hal. 17.

prinsip al-Qur’an yufassiru ba’duhu ba’da yang lebih identik dengan tafsir tahlili yang memperlakukan surat demi surat secara atomistik dan terpisah-pisah. Pada sisi lain, Tafsir Bint Syati’ berusaha men-gungkap setiap ayat yang dikumpulkan menjadi satu pada siyaq yang tepat—untuk itu ia menggunakan pola tartib nuzuli sebagai kerangka analisis—untuk mengungkap original meaning teks, sebagaimana para pendengar pertama Alquran ketika ia diwahyukan. Oleh sebab itu-lah Sahiron Syamsuddin menerjemahkan tanawul al-mawdu’i pada pernyataan Bint Syati’ di atas dengan objective comprehension dan membandingkannya dengan pandangan beberapa hermeneut terkait upaya untuk mengungkap makna original atau makna historis.

Berkaitan dengan itu Nur Kholis Setiawan menyebut bahwa metode yang digunakan oleh Bint Syati’ bisa dijelaskan dalam dua langkah penting yang merupakan modifikasi dan pengembangan model yang di gagas oleh al-Khuli. Kedua hal tersebut adalah peneli-tian terhadap makna leksikal kosa kata al-Qur’an yang kemudian di jadikan sebagai sarana untuk mengetahui makna yang di kehendaki dalam konteks pembicaraan ayat pada satu sisi dan pelibatan semua ayat yang berbicara tentang satu topik tertentu yang sama pada sisi lain. Langkah kedua ini merupakan bentuk pemberian “kesempa-tan” agar al-Qur’an berbicara mengenai dirinya sendiri.24

Oleh sebab itu, dalam tafsirnya, unsur ma hawla al-nas, digu-nakan mekanisme tartib nuzuli dengan memperhatikan asbab al-nuzul. Berkaitan dengan sabab al-nuzul, ia berpeganan pada kaidah “al-‘ibrah bi ‘umum al-lafz, la bi khusus al-sabab, illa an yata’ayyana bi al-khusus didalilin sarihin aw qarinatin bayyinatin.”25 Sebab turunnya ayat, bagi

Bint Syati’, bukanlah sesuatu yang menyebabkan suatu ayat turun (bukan tujuan utama diturunkannya ayat), atau bukan merupakan sebab turunnya sebuah surat dalam pengertian sebab-akibat.26

Sementara dilalat al-alfaz dilandasi dengan kesadaran tinggi bahwa Alquran diturunkan dengan bahasa Arab. Karenanya, un-sur sense of arabicity (zauq) dalam menentukan makna hakiki dan

24 M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur‘an Kitab Sastra Terbesar, hlm. 37-39

25 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 2: hal. 9

26 Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut : Mansyurah

al-‘Asr al-Hadis: 1973), hal. 77; al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut : Dar

(7)

50 Jurnal Syahadah

Vol. 2, No. 1, April 2014 51

Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer ... Fadhli Lukman

majazi adalah hal yang penting. Kemudian, ayat-ayat yang terkum-pul disimterkum-pulkan secara induktif. Tahap terakhir adalah upaya un-tuk mendapatkan rahasia-rahasia yang tersembunyi di dalam objek kajian. Dengan mengikuti makna implisit dan eksplisit dari sebuah ayat, ditentukan signifikansi ayat tersebut. Metodenya adalah den-gan meneliti kembali pendapat para mufassir, mengadakan seleksi terhadap pemikiran mereka, menerima yang sesuai dengan tujuan tersebut, dan mengabaikan yang menjurus kepada israilliyyat, fana-tisme madzhab, dan kerancauan penafsiran (bida’ al-ta’wil).27

Selain itu, Bint Syati’ menekankan, sebagaimana penolakan-nya terhadap tafsir isyari, bahwa setiap kata dalam Alquran hanya memiliki satu makna. Oleh sebab itu, ia mengatakan bahwa kalimat ataupun frasa dalam Alquran yang secara sepintas telihat sama se-benarnya memiliki perbedaan-perbedaan yang cukup berarti sesuai konteksnya. Sebagai contoh kata aqsama dan halafa, keduanya sama-sama berarti sumpah, akan tetapi ternyata keduanya memiliki im-plikasi berbeda. Kata aqsama selalu di gunakan untuk sumpah yang konsisten, sedangkan halafa di gunakan untuk menunjuk sumpah yang masih di langgar.28

Dalam metode tafsirnya, terlihat Bint Syati’ terobsesi untuk mengungkap makna objektif dari wahyu. Hal ini terungkap dari be-berapa hal yaitu kritik tajamnya terhadap unsur-unsur ekstra-Qur’an yang masuk kepada tafsir, klaim bahwa setiap kata dalam Alquran hanya memiliki satu makna sehingga ia menolak sinonimitas dalam Alquran, penggunaan kaidah al-‘ibrah bi ‘umum al-lafz, dan penekan-an munasabah untuk memahami makna terdalam dari ayat sesuai dengan yang dipahami oleh audien pertamanya. Beberapa alasan di atas memperlihatkan bahwa Bint Syati’ benar-benar berusaha me-mahami wahyu sebagaimana ‘Tuhan menghendakinya.’ Pada sisi lain, semua itu ia lakukan bukan dengan mengikuti bunyi literal ayat. Ia melakukan penalaran yang mendalam terhadap ayat. Kon-sep ‘surah-as-a-unity’, misalnya, memperlihatkan bahwa Bint Syati’ melakukan interpretasi bi al-ra’y untuk mengungkapnya, melalui me-kanisme pengumpulan ayat-ayat, menyeleksi riwayat-riwayat untuk menyusunnya secara tartib nuzuli, dan menemukan bayan terdalam

27 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 1: hal. 11.

28 M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur‘an Kitab Sastra ... hlm. 40

dari masing-masing ayat. Hal ini berarti bahwa meskipun Bint Syati’ terobsesi mengungkap makna original dari wahyu, ia sama sekali ti-dak mening galkan akal. Pada sisi lain, ia juga titi-dak menempatkan penalarannya mengalahkan makna wahyu, karena ia berpandangan

al-’ibrah bi ‘umum al-lafz. Itu berarti, Bint Syati’ menempatkan akal dan wahyu secara sejajar.

E. Kesimpulan

Setelah melakukan pembahasan sederhana di atas dapat dike-mukakan beberapa kesimpulan. Pertama, Bint Syati’ sebagai seorang Muslim memandang Alquran sebagai kitab ibadah agama yang di-baca, sementara sebagai akademisi ia menekankan pendekatan sas-tra untuk mengungkap makna terdalam dari bayan Alquran. Kedua, Tafsir bagi Bint Syati’ adalah upaya untuk mengungkap makna objek-tif Alquran sebagaimana orang Arab pada zamannya memahaminya. Oleh sebab itu ia mengkritisi tafsir yang didasari kepada data-data ekstra-Qur’ani. Ketiga, dalam metode yang ia gunakan terlihat bawa Bint Syati’ menempatkan wahyu dan akal pada posisi yang seimbang.

Daftar Pustaka

Lukman, Fadhli. “The Rising of Isra’iliyat in Early Exegetical Work and the Effect” Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis edisi Juli 2010.

Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LkiS, 2010

Al-Nawawi. al-Tibyan fi Adabi Hamalat al-Qur’an. (Jeddah: Haramayn, t.t

al-Qattan, Manna’ Khalil. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut : Mansy-urah al-‘Asr al-Hadis: 1973.

Setiawan, Nur Khalis. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: eL-SAQ. 2006.

al-Shati’, Bint. al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim. Cairo: Dar al-Ma’arif. 1990.

(8)

52 Jurnal Syahadah

Vol. 2, No. 1, April 2014

Jakarta: Teraju, 2005.

al-Suyuti. al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut : Dar al-Fikr: 1979. Syamsuddin, Sahiron. An Examination of Bint Syati’’s Method of

Inter-preting the Qur’an. Yogyakarta: Titian Ilahi Press. 1999.

Yusran, Muhammad. Studi Kitab Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Ter-as. 2006.

Zayd, Nasr Hamid Abu. Mafhum al-Nas. Beirut: Markaz Saqafi al-‘Arabi. 2000

POLA BARU DALAM CORAK TAFSIR FIKIH

(Telaah atas Pemikiran Tafsir Abdullah Ahmad An

Na’im)

Muhammad Makmun-Abha

Mahasiswa PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

A. Pendahuluan

Kajian kritis yang dilakukan oleh para pemikir-pemikir Islam kontemporer terhadap Islam dan sumber-sumbernya mendapatkan sambutan yang beragam dari beberapa akademisi baik muslim mau-pun non-muslim. Sebenarnya penerimaan atau penolakan terhadap pemikiran yang baru tidaklahterlalu signifikan jikalau ummat Islam atau sedikitnya diantara mereka mau membuka mata dan berpikir lebih dewasa melihat realitas dan problem-problem yang dihadapi umat islam yang sebagian besar tidak sama dengan masa lalu.

Hal ini tentu dilatarbelakangi oleh semakin kompleksnya ka-sus-kasus (waqi’ah) dalam masyarakat modern yang membutuhkan jawaban yang komprehensif. Jika metode pemahaman akan sumber hukum Islam yang dalam hal ini adalah al Qur’an dan Hadits tidak lagi mampu dan memiliki relevansi dengan zaman sekarang maka secara otomatis dibutuhkan ijithad dan pemikiran-pemikiran tero-bosan yang mampu mencerahkan kembali kondisi ummat Islam.

Referensi

Dokumen terkait

Dimulai dari penen- tuan dimensi pondasi, jumlah tiang dalam kelompok pondasi, daya dukung pondasi, penurunan pondasi, daya dukung akibat beban lateral, penulangan pondasi,

Deskripsi Hasil Belajar Siswa yang Diajar dengan Menggunakan Strategi Pembelajaran Learning Starts With A Question (LSQ) pada Mata Pelajaran IPA Biologi Pokok

2.9.1 Melakukan Diagnosa ( Diagnosing ) Langkah selanjutnya pada penelitian ini adalah mendiagnosa jaringan LAN di Laboratorium Universitas Bina Darma yaitu dilakukan

Serupa dengan responden secara umum, pada mahasiswi nilai korelasi antara pembelian nyata es krim Wall’s Magnum oleh mahasiswa perempuan dengan faktor yang

internal siswa dapat mempengaruhi kedisiplinan dalam mematuhi tata tertib sekolah baik dengan pengaruh yang tinggi maupun

Sejumlah jenis jamur yang terkoleksi memiliki potensi bahan obat, bahan pangan, bahan penghasil aroma, ada yang belum teridentifikasi, sehingga kawasan ini masih masih

Semakin kental gel maka sistem gel semakin dapat menahan penguapan minyak atsiri dalam sediaan (Yuliani, 2005) sehingga dapat memperlama daya repelan gel minyak

Data yang diperoleh dari hasil uji viskositas, daya sebar, daya lekat sediaan dan uji daya repalan gel minyak atsiri bunga kenanga terhadap nyamuk Aedes aegypti