commit to user
i
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN EKSPLOITASI
SEKSUAL KOMERSIAL TERHADAP ANAK-ANAK
DI KOTA SURAKARTA
(Studi Kasus Anak-anak Jalanan Banjarsari di Kota Surakarta)
SKRIPSI
Disusun Guna Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan Ilmu Administrasi
Disusun Oleh :
ANDHIKA SARI PUTRI
D0108033
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
Telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Panitia Penguji Skripsi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Mengetahui,
Dosen Pembimbing
commit to user
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Telah Diuji dan Disahkan Oleh Panitia Penguji Skripsi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Pada hari :
Tanggal :
Panitia Penguji:
1. Drs. Sonhaji, M.Si ( ...)
NIP.19591206 198803 1 004 Ketua
2. Drs.Muchtar Hadi, M.Si (...)
NIP. 19530320 198503 1 002 Sekretaris
3. Dra. Hj. Lestariningsih, M.Si (...)
NIP. 19531009 198003 2 003 Penguji
Mengetahui,
Dekan
Prof. Drs. Pawito, Ph.D NIP. 19540805 198503 1 002 Jumat
commit to user
iv
MOTTO
“ Allah mengangkat orang-orang beriman di antara kamu dan juga orang-orang yang dikaruniai ilmu pengetahuan hingga beberapa derajat ”
(al-Mujadalah : 11)
“Hidup adalah kegelapan jika tanpa hasrat dan keinginan. Dan semua hasrat-keinginan adalah buta, jika tidak disertai pengetahuan. Dan pengetahuan adalah
hampa jika tidak diikuti pelajaran. Dan setiap pelajaran akan sia-sia jika tidak disertai cinta ”
(Khalil Gibran)
“ Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang dan sabar “ (Khalifah Umar)
“Bekerja dengan rasa cinta, ikhlas dan tanggung jawab, berarti menyatukan diri dengan diri kalian sendiri, dengan diri orang lain dan kepada Tuhan”
commit to user
v
! !
" # ! ! ! !
# ! ! !
! ! # !
$
" # !
% $
& ' (# ! !
!
!$ ! ! ! !
! !
! !
commit to user
vi
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
limpahan rahmat, nikmat dan anugrahNya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan
dengan baik.
Penyusunan skripsi yang berjudul “Implementasi Kebijakan
Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Terhadap Anak-anak di Kota
Surakarta (Studi Kasus Anak-anak Jalanan Banjarsari di Kota Surakarta)” ini
merupakan tugas akhir penulis dalam menyelesaikan studi dan memenuhi salah satu
syarat untuk mendapatkan gelar sarjana sosial di Program Studi Ilmu Administrasi
Negara, Jurusan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP),
Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta.
Dalam kesempatan ini dengan segenap ketulusan dan kerendahan hati,
penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu,
mengarahkan dan memberi dorongan hingga tersusunnya skripsi ini. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dra. Hj. Lestariningsih, M.Si selaku Pembimbing, yang senantiasa memberi
bimbingan, arahan, dan motivasi dengan sabar dan ikhlas sehingga penulis
mampu menyelesaikan skripsi ini.
2. Drs. H. Muchtar Hadi, M.Si selaku Pembimbing Akademik, terima kasih atas
bimbingan akademis yang telah diberikan selama ini.
3. Prof. Pawito, Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret.
4. Drs. Is Hadri Utomo, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.
5. Segenap dosen jurusan Ilmu Administrasi yang telah memberikan pengetahuan
dan pemikirannya selama penulis menempuh studi.
6. Drs. A. Fahrudin, HS, selaku Kepala Sub Bidang Pengembangan Perlindungan
Anak BAPERMAS PP, PA dan KB yang telah memberikan bantuan, informasi,
commit to user
vii
7. Sumilir Wijayanti, selaku Koordinator Divisi Layanan Tim Pelayanan Terpadu
bagi Perempuan dan Anak (PTPAS) Kota Surakarta yang telah memberikan
bantuan, informasi, dan semua hal yang penulis butuhkan demi kelancaran
skripsi ini.
8. Rita Hastuti, selaku Koordinator Program untuk Bidang Perlindungan Anak
Yayasan KAKAK (Kepedulian untuk Konsumen Anak).
9. Anak-anak Jalanan (Korban ESKA) Banjarsari yang banyak memberikan
informasi dalam penyusunan skripsi ini.
10.Adekku Rafli untuk dukungan, bantuan, keusilannya dan doa yang diberikan.
11.Mas Nardi untuk dukungan, bantuan, semangat dan doa yang diberikan.
12.Semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam proses penyusunan
skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan dan kemampuan dalam
skripsi ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi
semua pihak. Amin.
Surakarta, Juli 2012
commit to user
B. Ekploitasi Seksual Komersial Anak ……...
C. Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Anak...
D. Pendampingan dan Pembinaan Korban Eksploitasi Seksual Komersial
commit to user
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian………...………..…..
1. Implementasi Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial
Terhadap Anak-anak di Kota Surakarta…...
1.1. Proses Implementasi Kebijakan Penanggulangan Eksploitasi
Seksual Komersial di Kota Surakarta………
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Penangulangan
Eksploitasi Seksual Terhadap Anak di Kota Surakarta………..
commit to user
x BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………
B. Saran……….
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
102
commit to user
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel IV.1 :
Tabel IV.2 :
Tabel IV.3 :
Tabel IV.4 :
Tabel IV.5 :
Tabel IV.6
Jumlah Prostitusi Anak di Surakarta Berdasarkan Tingkat Pendidikan…
Jumlah Prostitusi Anak di Surakarta Berdasarkan Aktivitas….…………
Anak Korban ESKA di Surakarta Tahun 2007……….
Anak Korban ESKA di Surakarta Tahun 2009……..………..
Pengelompokan Anak Korban ESKA………..
Matrik Penilaian Faktor-faktor dalam Proses Implementasi
Penanggulangan Eksploitasi Seksual Terhadap Anak-anak di Kota
Surakarta pada 5 Indikator……….
62
63
64
65
65
commit to user
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar II.1 : Model Implementasi Kebijakan George C. Edward III ... 18
Gambar II.2 : Model Implementasi Kebijakan Merilee S. Grindle... 19
Gambar II.3 : Model Implementasi Kebijakan Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier ... 20
Gambar II.4 : Model Implementasi Kebijakan Donals S. Van Meter dan Carl E. Van Horn... 21
Gambar III.3: Model Analisis Interaktif Miles dan Huberman... 53
Gambar IV.1 : Sosialisasi ... 69
Gambar IV.2 : Sosialisasi Penghapusan ESKA di SMK 6……….. 70
Gambar IV.3 : Sosialisasi Penghapusan ESKA di SMK 3 ... 70
Gambar IV.4 : Sosialisasi Penghapusan ESKA di SMP 5 ... 74
Gambar IV.5 : Kegiatan Workshop Penguatan Kapasitas PT PAS……….. . 87
commit to user
xiii
ABSTRAK
Andhika Sari Putri. D0108033. Implementasi Kebijakan Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Terhadap Anak-anak di Kota Surakarta (Studi Kasus Anak-anak Jalanan Banjarsari di Kota Surakarta). Skripsi. Administrasi Negara.Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 2012. 108 Halaman.
Perlindungan terhadap hak-hak anak sudah diatur di dalam UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002. Kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap anak juga seharusnya dihilangkan. Surakarta sendiri tingkat eksploitasi seksual komersial terhadap anak-anak sudah semakin memprihatinkan, untuk menanggulangi hal tersebut maka dibuatnya Perda No 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial terhadap anak, dalam lingkup pendampingan dan pembinaan korban ESKA, diharapkan mampu menanggulangi hal tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan dan faktor apa saja yang menyebabkan anak-anak rentan menjadi korban ESKA.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang dilaksanakan di
Daerah Banjarsari. Teknik pemilihan informan yang digunakan adalah purposive
sampling dan snowball sampling. Teknik pengumpulan data yaitu dengan cara wawancara, observasi dan ditambah dengan dokumentasi. Sedangkan untuk validitas data dilakukan dengan trianggulasi data. Teknik analisis data menggunakan model analisis interaktif.
Hasil penelitian dapat diketahui, bahwa pelaksanaan penanggulangan ESKA ada 3 tahapan,yaitu tahapan yang pertama adalah sosialisasi dari pemerintah kepada masyarakat, tahapan yang kedua adalah Rencana Aksi Kota (RAK), tahapan yang
terakhir adalah pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang berhubungan untuk
commit to user
xiv
ABSTRACT
Andhika Sari Putri. D0108033. Implementation of Mitigation Policies Against Commercial Sexual Exploitation of Children in Surakarta (Case study in Gading Market Surakarta). Skipsi. Public Administration. Faculty of Social and Political Sciences. Sebelas Maret University. Surakarta. 2012. 104 pages.
The protection of children's rights are entered in the Child Protection Act No. 23 of 2002. Violence and sexual exploitation of children should also be eliminated. In Surakarta own level of commercial sexual exploitation of children is even more alarming, to do about it then made law No. 3 of 2006 on Prevention of Commercial Sexual Exploitation of children, mentoring and coaching within the scope of CSEC victims, should be able to overcome it. The purpose of this study to find out how the implementation and what are the factors that cause children vulnerable to CSEC.
This study is a qualitative descriptive study conducted at the Regional Banjarsari. Selection technique used is purposive sampling informant and snowball sampling. Technical data collection techniques is by way of interviews, observations, and coupled with the documentation. As for the validity of data is done by triangulation of data. Techniques of data analysis using interactive analysis model.
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Anak merupakan tumpuan harapan bangsa, negara, masyarakat, dan
juga keluarga, sehingga harus diperlakukan khusus agar dapat tumbuh dan
berkembang secara wajar baik fisik, mental maupun rohaninya. Kenyataan
yang terjadi, kesejahteraan dan perlindungan hak-hak anak masih sangat
rendah, masih banyak anak-anak yang tereksploitasi baik secara ekonomi
(menjadi pekerja anak, anak jalanan) ataupun eksploitasi seksual (menjadikan
anak-anak sebagai pelacur). Maraknya eksploitasi seksual terhadap anak
disebabkan oleh berbagai faktor, selain itu dapat terjadi karena desakan dari
berbagai pihak Semakin banyaknya anak-anak dilacurkan (sebagai salah satu
bentuk eksploitasi seksual anak) menunjukkan semakin meningkatnya
eksploitasi terhadap anak.
Deklarasi dan Agenda Stokholm untuk Menentang Eksploitasi
Seksual Komersial Anak (ESKA) merupakan instrument yang pertama
mendefinisikan ESKA. Deklrasi ini telah diadopsi oleh 122 pemerintah pada
pelaksanan Kongres Dunia Pertama menentang ESKA yang diadakan di
Stocholm, Swedia tahun tahun 1996. Deklarasi ini mendefenisikan ESKA
sebagai berikut :
commit to user
anak merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern.”
Defenisi di atas jelas bahwa melalui ekspolitasi seksual komersial
anak, seorang anak tidak hanya menjadi sebuah obyek seks tetapi juga
sebagai sebuah komoditas yang membuatnya berbeda dalam rehabilitasi
maupun pemulihannnya dan reintegrasi dengan keluarga atau masyarakat.
ESKA adalah penggunaan seorang anak untuk tujuan-tujuan seksual guna
mendapatkan uang, barang atau jasa bagi pelaku eksploitasi, perantara atau
agen dan orang-orang lain yang mendapatkan keuntungan dari eksploitasi
seksual pada anak tersebut. ESKA sendiri adalah Eksploitasi Seksual
Komersial Anak dimana didalamnya ada tiga bentuk yaitu pornografi,
prostitusi/pelacuran, dan perdagangan anak untuk tujuan seksual Hal ini
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak dan elemen kuncinya adalah
bahwa pelanggaran ini muncul melalui berbagai bentuk transaksi komersial
dimana satu atau berbagai pihak mendapatkan keuntungan.
Laporan Jaap E Doek, Unicef, dan End Child Prostitution Child
Pornography and The Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) menyebutkan, perdagangan perempuan dan anak untuk eksploitasi seksual di
Asia mengorbankan 30 juta orang, termasuk untuk prostitusi.
(http://www.menegpp.go.id/index.php). Setiap tahun diperkirakan ada
100.000 anak dan perempuan yang diperdagangkan di Indonesia.
Diperkirakan juga bahwa 30 persen perempuan yang terlibat dalam pelacuran
di Indonesia masih berumur di bawah 18 tahun dengan 40.000-70.000 anak
commit to user
seks anak telah memicu terjadinya perdagangan seks anak secara global
sedangkan kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, diskriminasi serta
keinginan untuk memiliki sebuah kehidupan yang lebih baik membuat
anak-anak menjadi rentan. Anak-anak-anak sangat rentan untuk diperdagangkan untuk
tujuan seks karena mereka seringkali kurang berpendidikan, lebih mudah
untuk dimanfaatkan karena kekuasaan yang besar atau dapat ditipu oleh
orang yang telah dewasa. Anak-anak juga mungkin merasa wajib untuk
membantu menafkahi keluarga mereka atau lari dari situasi keluarga yang
sulit dan bisa dijual atau pergi ke luar negeri untuk mendapatkan pekerjaan.
Di Indonesia, kemiskinan, penerimaan sosial terhadap buruh anak, kurangnya
pencatatan kelahiran, praktek-praktek tradisional seperti pernikahan dini dan
kurangnya pendidikan bagi anak perempuan merupakan faktor-faktor yang
memfasilitasi terjadinya perdagangan manusia, terlebih-lebih semakin
tingginya angka eksploitasi seksual komersial terhadap anak-anak.
Anak-anak usia 15-18 tahun dari Indonesia diperdagangkan ke
Malaysia, Hong Kong dan Singapura untuk tujuan seksual, banyak dari
mereka yang diperdagangkan dari Indonesia melalui Kepulauan Riau,
Kalimantan dan Sulawesi ke daerah-daerah wisata di Malaysia dan
Singapura. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak, berdasarkan data
yang dikumpulkan dari 23 propinsi, tercatat ada lebih dari 2.000 kasus
perdagangan anak di Indonesia pada tahun 2007, sebagian besar melalui
Batam (400 kasus) dan Jakarta dari daerah-daerah pengirim di Jawa,
commit to user
praktek-praktek ESKA menurut pandangan dari Komite Hak Anak PBB
disambut baik rencana aksi nasional penghapusan ESKA periode 2002-2007.
Namun, komite merasa khawatir UU yang ada tidak memberikan
perlindungan yang efektif dan bahwa anak-anak korban ESKA sering tidak
mendapatkan perlindungan dan atau bantuan pemulihan yang efektif. Komite
juga merasa prihatin tentang kurangnya informasi mengenai bagaimana
Rencana Aksi Nasional dilaksanakan di tingkat propinsi dan kabupaten.
Anak yang dilacurkan tidak hanya berada di kota-kota besar, akan
tetapi mereka juga ada di kota-kota kecil. Di Surakarta sendiri praktek ESKA
juga tidak kalah mengkhawatirkan. Kota Surakarta atau yang lebih dikenal
dengan sebutan Solo dilihat dari kesatuan geografis, sosial, ekonomi dan
kultural merupakan kota yang strategis dan sebagai pusat kegiatan dalam
lingkup regional Jawa Tengah. Posisi ini selain berpotensi untuk peningkatan
dan akselerasi pembangunan kota juga berpotensi menimbulkan
permasalahan-permasalahan sosial sebagaimana yang terjadi di kota-kota
lainnya. Kota Solo sendiri tidak luput dari praktek-praktek yang mengarah
kepada pelanggaran hak asasi anak. Salah satunya ialah praktik ESKA
(Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak). Praktik ini kian marak di
Surakarta. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian
Kependudukan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
(PPK LPPM) Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), sebanyak 164
anak di kota Solo, mulai usia 12 hingga 17 tahun, dinyatakan sebagai korban
commit to user
korban trafficking ini meningkat dalam 4 tahun terakhir. Itu didasarkan
perbandingan dengan hasil penelitian yang sama pada 2004.
Kebanyakan anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual di
kota Surakarta adalah mereka yang hidup di jalanan yang sangat rentan
terhadap kejahatan seksual. Kehidupan yang bebas sebagai anak jalanan serta
kurangnya perhatian dari orang tua yang menyebabkan “suburnya” praktik
eksploitasi seksual tersebut. Menurut ECPAT, prostitusi anak karena
eksploitasi seksual terjadi karena kemiskinan, disfungsi keluarga, pendidikan
rendah, pengangguran, penghasilan kurang, tradisi, dan peningkatan
kebutuhan perempuan muda pada industri seks. Terdapat juga beberapa
faktor yang menyebabkan terjadinya eksploitasi seksual komersial terhadap
anak di Surakarta adalah faktor keluarga dan teman dekat, sosiokultural ,
serta pengalaman seksual dini.Himpitan ekonomi juga menjadi salah satu hal
yang mendasar atau factor utama dari eksploitasi seksual di kota Surakarta.
Dari sebab-sebab tersebut, kemiskinan merupakan faktor utama dan
kontributor terbesar kasus eksploitasi seks pada anak dan kunci yang
mendorong mereka berprofesi menjadi anak jalanan. Dari pengamatan
penulis melalui pra survey yang dilakukan, kebanyakan anak-anak jalanan
biasanya kumpul ialah Terminal Tirtonadi, Gilingan, Alun-alun Kidul,
Perempatan Jebres dll. Peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat
merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian serius dari
berbagai pihak. Perhatian ini tidak semata-mata terdorong oleh besarnya
commit to user
buruk di mana kelompok ini belum mendapatkan hak-haknya bahkan sering
terlanggar, sehingga mereka sangat rentan mendapat praktik kekerasan
seksual di jalanan.
Sangat disadari bahwa untuk mengatasi masalah ESKA tidak bisa
dilakukan atau ditangani oleh salah satu institusi yang terkait. Dibutuhkan
kerjasama dari beberapa pihak pemerintah kota serta lembaga-lembaga
swasta, dan berbagai komponen masyarakat sipil. Upaya pemerintah untuk
menanggulangi ESKA melalui tindakan pencegahan tampak pada beberapa
kegiatan yang dilaksanakan oleh Bapermas P3AKB misalnya dengan
mengadakan kegiatan sosialisasi/penyuluhan PNBAI (Program Nasional Bagi
Anak Indonesia) serta kampanye publik yang diadakan setiap hari Anak
Nasional pada tanggal 23 Juli. Pelaksanaan sosialisasi juga dilakukan di
tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang anak-anaknya rentan
menjadi korban ESKA. Namun sejauh ini upaya tersebut belum sepenuhnya
berhasil karena hingga saat ini mereka belum sepenuhnya menyadari resiko
dari apa yang mereka lakukan (melakukan hubungan seks usia dini) dan
masih melakukan aktivitas seksual.
Meningkatnya angka praktik ESKA di Surakarta ternyata tidak hanya
mendapat perhatian dari lembaga pemerintah saja, akan tetapi juga mendapat
perhatian yang serius dari sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
yang peduli terhadap Perlindungan Konsumen Anak di Surakarta. LSM ini
bernama Yayasan KAKAK (Kepedulian Untuk Konsumen Anak). Dari data
commit to user
lebih ada 110 anak yang dapat dijangkau dan didampingi dan kebanyakan
dari mereka adalah usia sekolah. Sementara untuk tahun 2009 menjangkau
dan mendampingi 29 yang dilacurkan yang terdiri dari 25 adalah perempuan
dan 4 laki-laki. Sedangkan selama Januari-Juni 2010 menjangkau 16 anak
yang semuanya adalah perempuan. (Arsip Yayasan Kakak). Jadi dapat
disimpulkan untuk periode tahun 2005- Juni 2010 Yayasan Kakak dapat
menjangkau dan mendampingi 156 anak korban ESKA.
Korban ESKA tidak hanya terjadi di kalangan anak yang rentan
menjadi korban. Terlebih-lebih anak jalanan yang hidup keras di jalanan,
seringkali mengalami kekerasan, salah satunya adalah kekerasan seksual
komersial. Badan-badan dari Pemerintah seperti BAPERMAS, PP, PA dan
KB (Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perlindungan anak, Perlindungan
Perempuan dan Keluarga Berencana) yang menangani kasus anak-anak yang
menjadi korban ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak) di kota
Surakarta. Pemerintah sendiri sering mengadakan sosialisasi ke beberapa
sekolah, yaitu SMP 5, SMA 1, SMK 3, SMK 6 dll di kota Surakarta.
Penelitian tentang ESKA di Surakarta menghasilkan sebuah
kesimpulan, bahwa kasus ESKA yang terjadi di Solo adalah anak korban
perdagangan untuk tujuan seksual, sebanyak 27 kasus. Sebagian besar anak
menjadi korban ESKA untuk pertama kali saat berusia 16 tahun. Pada usia
16 tahun atau rentang usia dikisaran ini merupakan usia yang paling rawan
bagi seorang anak. Proses pencarian identitas diri seorang anak selalu
teman-commit to user
teman sebayanya . Teman-teman sebaya akan sangat mempengaruhi dalam
membentuk pola pikir dan perilaku seorang anak. Tempat berlangsungnya
aktivitas seksual anak pertama sekali hingga terjebak ESKA sebagian besar
di lingkungan kost / kontrakan yang didiami oleh responden sendiri maupun
pacar/teman, sebagian di rumah/tempat tinggal korban, sebagian di Kafe,
hotel, di jalanan, di kebun, bahkan ada yang di luar kota, Malang dan Jogja.
http://www.eska.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=75
&Itemid=43
Sungguh memprihatinkan melihat kondisi ini, terlebih Kota Surakarta
adalah salah satu kota yang pada tahun 2006 memulai program Kota Layak
Anak harus terkontaminasi dengan menjamurnya fenomena ESKA
(Eksploitasi Seksual Komersial Anak). Selain itu angka-angka di atas harus
dilihat dalam konteks fenomena gunung es artinya kasus yang terlihat di
permukaan hanyalah sebagian kecil saja dari kejadian yang sebenarnya.
Menyikapi hal tersebut sebenarnya Pemerintah Kota Surakarta telah
menetapkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial. Diantaranya bertujuan untuk
mencegah, membatasi, mengurangi adanya kegiatan eksploitasi seksual
komersial, melindungi dan merehabilitasi korban eksploitasi seksual serta
menindak dan memberikan sanksi kepada pelaku sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial itu sendiri, tertuang beberapa
commit to user
Pendampingan korban eksploitasi, (2) Rehabilitasi dan Reintegrasi korban
eksploitasi, (3) Koordinasi dan Pembinaan korban eksploitasi. Akan tetapi
untuk lebih spesifik di dalam melakukan penelitian ini, penulis hanya akan
membahas atau hanya membatasi mengenai penanggulangan eksploitasi
seksual komersial yaitu dalam hal Pendampingan dan Pembinaan korban
eksploitasi seksual komersial. Di dalam Perda Nomor 3 Tahun 2006 itu
sendiri, juga tertuang upaya pemerintah dalam menanggulangi
penanggulangan eksploitasi seksual komersial, diantaranya (1) Penertiban
perijinan usaha yang rentan terhadap kegiatan eksploitasi seksual komersial,
(2) Pemberian sanksi terhadap pelaku. Akan tetapi wujud upaya tersebut
belum sepenuhnya efektif, dengan melihat praktek yang ada sekarang ini.
Pada dasarnya munculnya Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial di kota Surakarta merupakan
penyempurnaan dan tindak lanjut dari SK Walikota Surakarta Nomor
462/78/1/2006 Tentang Rencana Aksi Kota (RAK) penghapusan Eksploitasi
Seks Komersial Anak (ESKA) kota Surakarta dan Peraturan Daerah Nomor 1
Tahun 1975 Tentang Pemberantasan Tuna Susila yang sudah tidak efektif
lagi berlaku karena tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Bahkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, disebutkan dalam Pasal 4 UU No. 23 Tahun 2002 tentang hak dari
anak yang menyebutkan bahwa : “Setiap anak berhak untuk dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai
commit to user
dari kekerasan dan diskriminasi”. Sangat ironis sekali melihat fakta
yang ada sekarang ini, bahwa anak yang seharusnya mendapat
perlindungan dari kekerasan dan tindakan asusila, malah menjadi obyek
eksploitasi seksual yang kian hari kian marak dan malah menjadi
ladang subur sebagai “pekerjaan” dan kasusnya seperti fenomena
gunung es, yang kasusnya hanya terlihat beberapa di permukaan saja.
Upaya hukum telah dilakukan dengan adanya sosialisasi kebijakan
yang terkait dengan perlindungan anak dan anak-anak yang dilacurkan.
Seperti Konvensi Hak Anak oleh PBB Tahun 1989 yang telah diratifikasi
Indonesia pada 1990, UU No 1 tahun 2000 (Tanggal 8 Maret 2000) tentang
Konvensi ILO 1999 No. 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Pekerja Anak,
Keppres No. 40 Tahun2004 tentang Ranham 2004-2009 tentang
Memasukkan agenda ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak Anak
tentang PerdaganganAnak, Pornografi Anak dan Prostitusi Anak (2005) dan
Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan anak dalam
konflik bersenjata (2006), Keppres No. 59 Tahun2002 tentang Rencana Aksi
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.
UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002. Juga ada Keppres No.59
Tahun 2002 mengenai Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Aturan lainnya, Keppres No.87 Tahun 2002
mengenai Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual
commit to user
Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, dan banyak lagi
lainnya(.http://lppm.uns.ac.id/sirine/penelitian.php?act=detail&idp=17)
Maka dari itu permasalahan kasus eksploitasi komersial yang lebih
banyak melibatkan anak-anak di bawah umur sangat penting diperhatikan.
Akan tetapi sejauh ini, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak dan Perda Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial yang seharusnya digunakan
untuk melindungi anak-anak dari tindak kejahatan bahkan ironisnya dari
tindakan perdagangan anak serta eksploitasi seksual, ternyata masih belum
mampu mengatasi laju pertambahan jumlah anak-anak yang terjebak pada
eksploitasi seksual komersial yang secara signifikan bertambah terus tiap
tahunnya, khususnya di Kota Surakarta. Berkaitan dengan hal di atas maka
penulis tertarik untuk lebih lanjut mengetahui Implementasi Penanggulangan
Eksploitasi Seksual Komersial di Kota Surakarta berdasarkan Perda Nomor 3
Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial dengan
studi kasus anak-anak jalanan di kecamatan Banjarsari kota Surakarta yang
commit to user
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Implementasi Penanggulangan Eksploitasi Seksual
Terhadap Anak-anak di Kota Surakarta berdasarkan Perda Nomor 3
Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial?
2. Faktor-Faktor apa sajakah yang mempengaruhi Implementasi Perda
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual
Komersial?
C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan, maka tujuan yang ingin
dicapai pada penelitian ini adalah :
1. Secara umum untuk mengetahui implementasi pelaksanaan Perda
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual
Komersial di Kota Surakarta.
2. Untuk mengetahui berbagai faktor-faktor yang mempengaruhi
Implementasi Perda Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan
Eksploitasi Seksual Komersial
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam pelaksanaan
commit to user
D.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Secara individual penelitian ini untuk melengkapi prasyarat gelar
sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Secara umum hasil penelitian diharapkan mampu memberikan
masukan dan sumbangan pikiran bagi berbagai pihak yang nantinya
dapat mengurangi tingginya angka eksploitasi seksual terhadap
anak-anak.
3. Secara teoritis penelitian ini dapat melengkapi penelitian selanjutnya
commit to user
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Implementasi Kebijakan
Tahap implementasi dalam lingkaran proses kebijakan publik,
menempati posisi yang penting, karena kebijakan akan dikatakan berhasil
atau tidak tergantung pada implementasinya. Implementasi adalah proses
untuk memastikan terlaksananya suatu kebijakan dan tercapainya
kebijakan tersebut. Impelementasi juga dimaksudkan menyediakan sarana
untuk membuat sesuatu dan memberikan hasil yang bersifat praktis
terhadap sesama. Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial
dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus
diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan.
Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya policy
makers untuk memengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia
memberikan pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran. Untuk
kebijakan yang sederhana, implementasi hanya melibatkan satu badan
yang berfungsi sebagai implementor. Dalam berbagai system politik,
kebijakan publik diimplementasikan oleh badan-badan pemerintah.
(Subarsono 2005 : 87-88)
Ripley dan Franklin berpendapat bahwa implementasi adalah apa
yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas
commit to user
nyata (tangible output). Istilah implementasi menunjuk pada sejumlah
kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan
program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat pemerintah.
(Budi Winarno 2008 : 145)
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah
kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk
mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang
ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau
melalui formulasi kebijakan turunan dari kebijakan publik tersebut.
Kebijakan publik dalam bentuk Undang-undang atau Perda adalah jenis
kebijakan publik yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau yang
sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang
bisa langsung operasional antara lain Keppres, Inpres, Kepmen, Keputusan
Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas, dan lain-lain. Riant Nugroho (
2008: 494-495).
Definisi Implementasi secara eksplisit mencakup tindakan oleh
individu/ kelompok privat (swasta) dan publik yang langsung pada
pencapaian serangkaian tujuan terus menerus dalam keputusan kebijakan
yang telah ditetapkan sebelumnya.
commit to user dengan lebih ringkas menyebutkan :
“Dalam bentuk lebih umum, penelitian dalam implementasi menetapkan apakah organisasi dapat membawa bersama jumlah orang dan material dalam unit organisasi secara kohesif dan mendorong mereka mencari cara untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.”
Dengan adanya kebijakan implementasi, yang merupakan bentuk
konkret dari konseptualisasi dalam kebijakan formulasi, tidak secara
otomatis merupakan garansi berjalannya suatu program dengan baik. Oleh
karena itu suatu kebijakan implementasi pada umumnya satu paket dengan
kebijakan pemantauan atau monitoring. Mengingat kebijakan
implementasi adalah sama peliknya dengan kebijakan formulasi, maka
perlu diperhatikan berbagai faktor yang akan mempengaruhinya.
Menurut Ripley & Franklin (1986, 54) dalam penelitian Wahyu
Nurhardjatmo, M.Si, ada dua hal yang menjadi fokus perhatian dalam
penelitian implementasi, yaitu compliance (kepatuhan) dan what’s
happening? (apa yang terjadi).
Kepatuhan menunjuk pada apakah para implementor patuh
terhadap prosedur / standard aturan yang telah di tetapkan. Sementara
untuk “what’s happening” mempertanyakan bagaimana proses
implementasi itu dilakukan, hambatan apa yang muncul, apa yang berhasil
commit to user
Menurut Anderson (1979, 68) penelitian Wahyu Nurhardjatmo,
M.Si, ada 4 aspek yang perlu dikaji dalam implementasi kebijakan, yaitu:
1. Siapa yang mengimplementasikan
2. Hakekat dari proses administrasi
3. Kepatuhan, dan
4. Dampak dari pelaksanaan kebijakan
Model-Model Implementasi (Subarsono. Analisis Kebijakan Publik.
2005)
a. Model George C. Edwards III (1980)
Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi 4
variabel :
1. Komunikasi
Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus
ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target groups) sehingga
akan mengurangi distorsi implementasi. Tujuan dan sasaran
kebijakan harus jelas, apabila tidak diketahui oleh kelompok
sasaran, akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.
2. Sumberdaya
Sumberdaya adalah factor penting untuk implementasi kebijakan
agar efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal di kertas
commit to user
3. Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh
implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis.
4. Struktur Birokrasi
Stuktur Birokrasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi
kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap
organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar.
Gambar II.1
Model Implementasi KebijakanGeorge C. Edward III
b. Model Merilee S. grindle (1980)
Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle dipengaruhi oleh
dua variable besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan
implementasi (context of implementation).
Komunikasi
Sumber daya
Implementasi Sikap
commit to user
Isi Kebijakan mencakup : (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran
atau target groups termuat dalam isi kebijakan; (2) jenis manfaat yang
diterima oleh target groups; (3) sejauhmana perubahan yang diinginkan
dari sebuah kebijakan; (4) apakah letak sebuah program sudah tepat; (5)
apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan
rinci; (6) apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang
memadai
Variable Lingkungan Kebijakan mencakup : (1) seberapa besar kekuasaan,
kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para actor dalam
implementasi kebijakan; (2) karakteristik institusi dan rejim yang sedang
berkuasa; (3) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.
Gambar II.2
Model Implementasi Kebijakan Merilee S. Grindle
Tujuan yang
commit to user
c. Model Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983)
Menurut Mazmanian dan Sabatier, ada tiga kelompok variable yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni : (1) karakteristik dari
masalah; (2) karakteristik kebijakan atau undang-undang; (3) variable
lingkungan.
Gambar II.3
Model Implementasi Kebijakan Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier
Mudah / tidaknya Masalah 2. Digunakannya teori kausal yang memadai 3. Ketepatan alokasi sumber daya
4. Keterpadan hierarki dalam dan diantara lembaga pelaksana
5. Aturan – aturan keputusan dari badan pelaksana
6. Rekrutmen pejabat pelaksana 7. Akses formal pihak luar
Variabel diluar Kebijaksanaan yang Mempengaruhi Proses Implementasi
1. Kondisi sosio – ekonomi dan teknologi 2. Dukungan publik
3. Sikap dan sumber – sumber yang dimiliki kelompok pemilih
4. Dukungan dari pejabat atasan
5. Komitmen dan keterampilan kepemimpinan pejabat – pejabat pelaksana
Tahap – tahap Dalam Proses Implementasi ( Variabel Tergantung)
Keputusan Dampak output Perbaikan Output kebijakan kelompok sasaran Dampak nyata kebijakan mendasar Dari badan-badan terhadap output output sebagaimana dalam Pelaksana kebijakan kebijakan dipersepsi undang –
commit to user
d. Model Donals S. Van Meter dan Carl E. Van Horn (1975)
Menurut Meter dan Horn, ada lima variable yang memengaruhi kinerja
implementasi, yakni : (1) standar dan sasaran kebijakan; (2) sumberdaya;
(3) komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas; (4) karakteristik
agen pelaksana; (5) kondisi social, ekonomi dan politik; (6) disposisi
implementor.
Gambar II.4
Model Implementasi Kebijakan Donals S. Van Meter dan Carl E. Van Horn
e. Model G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (1983)
Untuk menganalisis implementasi program-program pemerintah yang
bersifat desentralistis, ada empat kelompok variable yang dapat
mempengaruhi kinerja dan dampak suatu program, yakni : (1) kondisi
lingkungan; (2) hubungan antar organisasi; (3) sumberdaya organisasi Komunikasi antar organisasi
dan kegiatan pelaksanaan
Ukuran dan tujuan kebijakan
Karakteristik badan pelaksana
Disposisi pelaksana
Kinerja Implementasi
commit to user
untuk implementasi program; (4) karakteristik dan kemampuan agen
pelaksana.
f. Model David L. Weimer dan Aidan R. Vining (1999)
Dalam pandangan Weimer dan Vining, ada tiga kelompok variable besar
yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu program,
yakni : (1) logika kebijakan; (2) lingkungan tempat kebijakan
dioperasikan; (3) kemampuan implementor kebijakan.
B. Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA)
ESKA adalah singkatan dari Eksploitasi Seksual Komersial Anak.
ECPAT Internasional (2001) mendefinisikan ESKA sebagai sebuah
pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut
berupa kekerasan seksual oleh orang dewasa dengan pemberian imbalan
kepada anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Sederhananya
anak diperlakukan sebagai objek seksual dan komersial. Ini adalah
perwujudan dari kerja paksa dan perbudakan modern terhadap anak. Sebab
tak jarang anak-anak dipaksa, mengalami kekerasan fisik dan trauma.
Eksploitasi Seksual Komersial Anak adalah penggunaan anak untuk tujuan
seksual dengan imbalan tunai atau dalam bentuk lain antara anak, pembeli
jasa seks, perantara atau agen dan pihak lain yang memperoleh keuntungan
dari perdagangan seksualitas anak tersebut. Ada tiga bentuk yaitu
prostitusi anak, pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan
commit to user
(http://eska.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=75&I temid=4)
Deklarasi dan Agenda Stokholm untuk Menentang Eksploitasi
Seksual Komersial Anak (ESKA) merupakan instrument yang pertama
mendefinisikan ESKA. Deklrasi ini telah diadopsi oleh 122 pemerintah
pada pelaksanan Kongres Dunia Pertama menentang ESKA yang diadakan
di Stocholm, Swedia tahun tahun 1996. Deklarasi ini mendefenisikan
ESKA sebagai berikut :
“Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak.
Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan sebagai objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi seksual komersial anak merupakan sebuah bentuk penggunaan, pemaksaan dan kekerasan terhadap anak dan kekerasan seksual terhadap anak dan untuk tujuan kerja paksa dan bentuk perbudakan seks lainnya.”
Defenisi di atas jelas bahwa melalui ekspolitasi seksual komersial
anak, seorang anak tidak hanya menjadi sebuah obyek seks tetapi juga
sebagai sebuah komoditas yang membuatnya berbeda dalam rehabilitasi
maupun pemulihannnya dan reintegrasi dengan keluarga atau masyarakat.
ESKA adalah penggunaan seorang anak untuk tujuan-tujuan seksual guna
mendapatkan uang, barang atau jasa bagi pelaku eksploitasi, perantara atau
agen dan orang-orang lain yang mendapatkan keuntungan dari eksploitasi
hak-commit to user
hak anak dan elemen kuncinya adalah bahwa pelanggaran ini muncul
melalui berbagai bentuk transaksi komersial dimana satu atau berbagai
pihak mendapatkan keuntungan. Adanya faktor keuntungan ini
membedakan antara ESKA dengan kekerasan seksual anak karena dalam
kekerasan seksual anak tidak ada keuntungan komersial walaupun
eksploitasi seksual juga merupakan sebuah kekerasan seksual.
Eksploitasi seksual terhadap anak ternyata mempunyai dampak
yang sangat besar terutama dampak terhadap kesehatan fisik maupun
psikis anak tersebut. Hal tersebut dipertegas dengan penjelasan Allison
Phinncy (dalam jurnal Trafficking Of Women And Children For Sexual
Exploitation In The Americas, 2007 :34) :
commit to user
eksploitasi seksual dapat merusak perkembangan anak dan remaja.)
C. Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Anak
Menurut Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006, pengertian
penanggulangan adalah upaya yang dilakukan secara bertahap untuk
mencegah terjadinya eksploitasi seksual komersial. Upaya
penanggulangan itu sendiri tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah saja,
akan tetapi selain peran pemerintah terdapat pula peran serta keluarga dan
masyarakat yang ikut berparan serta dalam menangani kasus eskploitasi
seksual komersial yang menimpa anak-anak yang tertuang dalam
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 di Kota Surakarta tentang
Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial. Peran masyarakat
dilakukan oleh orang-perorangan, lembaga social kemasyarakatan,
lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan,
badan usaha dan media massa.
Pemerintah sendiri di dalam upaya penanggulangan terhadap
kegiatan eksploitasi seksual komersial dilakukan dengan (1) Penertiban
perijinan usaha yang rentan terhadap kegiatan eksploitasi seksual
komersial, (2) Pemberian sanksi terhadap pelaku.
Di dalam pasal 29 Perda Nomor 3 Tahun 2006, penanggulangan
commit to user
1. Kegiatan penindakan dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja.
2. Pendidikan dan pelatihan keterampilan klien dilaksanakan oleh
instansi yang membidangi Pendidikan dan instansi yang membidangi
Ketenagakerjaan.
3. Penyaluran tenaga siap kerja oleh instansi yang membidangi
ketenagakerjaan
Selain hal tersebut, penanggulangan dilakukan dengan memberikan
pendampingan dan pembinaan terhadap para korban eksploitasi seksual.
Hal tersebut dilakukan oleh pemerintah dalam upaya untuk lebih menekan
anak-anak yang menjadi korban ekslpoitasi supaya tidak kembali masuk
lagi ke jalan yang salah.
D. Pendampingan dan Pembinaan Korban Eksploitasi Seksual
Komersial Anak
Pendampingan dan pembinaan bagi para krban ESKA memang
sangat perlu diperhatikan. Pendampingan yang dilakuan oleh pemerintah
ternyata juga tidak hanya bekerjasama hanya dengan LSM yang
menangani kasus tersebut, akan tetapi keluarga korban juga, teman dekat
korban, diharapkan untuk dapat memberikan pendampingan kepada para
korban. Bahkan hukumpun juga turut serta memberikan perlindungan
apabila dibutuhkan, akan tetapi juga sangat jarang dilakukan, karena sebisa
mungkin pemerintah tidak menggunakan langkah hukum untuk menangani
commit to user
korban, bukan sebagai pelaku yang harus ditindaklanjuti dengan proses
hukum. Hukum diberikan hanya sebatas perlindungan saja kepada para
korban eksploitasi, itu juga apabila memang dibutuhkan.
Pembinaan yang dilakukan pemerintah yaitu dengan cara
memberikan pelatihan atau ketrampilan bagi anak-anak yang menjadi
korban ESKA tersebut. Pembinaan yang dilakukan dengan cara
memberikan modal untuk mengasah ketrampilan yang dimiliki anak,
supaya mereka tidak tenggelam lagi di dunia ESKA.
Pendampingan lebih mengarah kepada Recovery terhadap
anak-anak itu sendiri. Banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk
menangani permasalahan tersebut. Akan tetapi tidak selamanya
pemerintah dapat melakukan hal tersebut apabila tidak ada kemauan dari
para korban tesebut untuk lepas dari jaring eksploitasi seksual.
E. Anak Jalanan
Fenomena sosial anak jalanan atau biasa yang disebut dengan
“Anjal” adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih ada yang memiliki
hubungan dengan keluarganya, tapi ada juga yang sudah tidak sama sekali
ada hubungan dengan keluarganya. Anak Jalanan, terutama terlihat nyata
di kota-kota besar setelah dipicu krisis ekonomi di Indonesia. Hasil kajian
Departemen Sosial tahun 1998 di 12 kota besar, melaporkan jumlah anak
commit to user
yang baru turun ke jalan sejak tahun 1998. Secara nasional diperkirakan
sebanyak 60.000-75.000 anak jalanan dan 60 persen putus sekolah serta 80
persen masih ada hubungan dengan keluarganya, serta sebanyak 18 persen
adalah anak jalanan perempuan yang beresiko tinggi terhadap kekerasan
seksual, perkosaan, kahamilan diluar nikah dan terinfeksi PMS serta
HIV/AIDS. Umumnya anak jalanan hampir tidak mempunyai akses
terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan dan perlindungan, keberadaan
mereka ditolak oleh masyarakat dan sering mengalami penggarukan
(sweeping) oleh pemerintah kota setempat.
Secara khusus, anak jalanan menurut PBB adalah “ anak yang
menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan untuk bekerja, bermain
atau beraktivitas lain” (dalam Dwi Astutik, 2005: 14). Sugeng Rahayu
(dalam Dwi Astutik, 2005: 15) berpendapat lain bahwa “anak jalanan
adalah anak-anak yang berusia di bawah 21 tahun yang berada di jalanan
untuk mencari nafkah dengan berbagai cara (tidak termasuk pengemis,
gelandangan, bekerja di toko/kios)”. Menurut Soedijar (dalam Dwi
Astutik, 2005: 15), “anak jalanan adalah anak-anak yang berusia 7-15
tahun, bekerja di jalanan dan tempat umum lainnya yang dapat
membahayakan keselamatan dirinya”. Dalam UU No 4 Tahun 1979
tentang kesejahteraan anak: anak adalah seorang yang belum mencapai
usia 21 tahun atau belum menikah. Umumnya anak jalanan bekerja
commit to user
sampah. Tidak jarang anak-anak jalanan tersebut menghadapi resiko
kecelakaan lalu lintas, pemerasan, perkelahian, dan kekerasan seksual.
Kondisi anak jalanan di kota surakarta dapat kita ketahui melalui
pengamatan yang telah dilakukan oleh peneliti. Alasan anak-anak ini turun
ke jalan sebagian besar karena masalah ekonomi. Selain itu, juga terdapat
alasan lain yang mempengaruhi mereka harus turun ke jalan seperti
permasalahan keluarga, permasalahan keluarga itu sendiri memiliki
berbagai variasi, antara lain: diperlakukan tidak adil oleh orang tuanya,
kondisi disharmoni keluarga (perceraian orang tua dan brokenhome).
Anak-anak yang miskin tidak dapat melanjutkan sekolah, karena adanya
batasan biaya dari orang tua mereka yang tidak mampu karena biaya
sekolah terlalu mahal. Hal tersebut memaksa mereka anak-anak turun ke
jalan untuk bekerja sebagai pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan
pemulung. Bahkan tidak jarang banyak juga anak-anak perempuan yang
menjadi pekerja seks komersil.
Kehidupan anak-anak jalanan di Kota Surakarta secara jelas dapat
ditemui di berbagai wilayah kota, seperti: Perempatan Manahan, Terminal
Bus Titonadi, Gilingan, Perempatan Giri Mulyo, Perempatan Ngemplak,
Stasiun Kereta Api Solo Balapan, Perempatan Timuran, Perempatan
Gemblekan, daerah Pasar Gading, Perempatan Warung Miri, Perempatan
Panggung dan daerah belakang Panggung Motor, Taman Jurug, Stasiun
commit to user
tersebut berada di tempat “mangkalnya” untuk bekerja guna mendapatkan
uang yang hasilnya untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Adanya beberapa faktor penarik dan pendorong yang
mengakibatkan semakin banyaknya anak-anak jalanan di kota Surakarta.
Menurut BKSN (dalam Dwi Astuti 2005: 25) faktor penarik terjadinya
anak jalanan antara lain :
1) Kehidupan jalanan yang menjanjikan, dimana anak mudah
mendapatkan uang, anak bisa bermain dan bergaul dengan bebas.
2) Diajak teman.
3) Adanya peluang di sektor informal yang tidak terlalu
membutuhkan modal dan keahlian.
Faktor pendorong pada umumnya berasal dari hubungan dalam
keluarga, permasalahan ekonomi pada keluarga yang membuat anak ikut
bekerja membantu orang tua mereka. Akan tetapi selain masalah lingkup
dalam keluarga, faktor yang berasal dari masyarakat juga memberikan
kontribusi bagi maraknya fenomena anak jalanan. Perkembangan pesat
pembangunan di kota-kota besar menawarkan berbagai kemudahan hidup
sehingga timbul arus urbanisasi yang cenderung tak terkendali.
Orang-orang desa yang masuk ke kota membiarkan bahkan menyuruh
anak-anaknya mencari nafkah dengan berbagai cara untuk meringankan hidup.
Selain faktor-faktor di atas, faktor kesempatan dari masyarakat juga turut
commit to user
sebagai tukang semir sepatu, penjual koran, pengamen, pedagang asongan
hadir karena masyarakat memang membutuhkan dan memberi kesempatan
kepada mereka.
Masalah Anak Jalanan adalah permasalahan yang krusial tidak
habis-habisnya untuk dibicarakan, seakan-akan sebuah kehampaan belaka
apabila menanganinya akan menemukan sebuah lingkaran setan, karena
masalah Anak jalanan akan melibatkan masalah ekonomi, kondisi
mentalitas masyarakat dan lingkungan dimana anak itu berada. Satu orang
Anak jalanan dibina dapat terentaskan akan muncul 2 (dua) Anak atau
lebih yang berprofesi sebagai Anak jalanan, dan juga karena Kota Solo
adalah interland dari daerah sekitarnya maka semakin hari Anak Jalanan
tidak semakin berkurang malah semakin bertambah. Pemerintah Kota
Surakarta akan menangani membina serta melindungi Anak Jalanan
dengan mengadakan Aksi Kota Penghapusan Anak Jalanan agar Kota Solo
kondusif sebagai Kota Layak Anak. Akan tetapi sepertinya hal tersebut
akan sangat sulit untuk dilakukan, dikarenakan factor utama dari
keberadaan anak-anak jalanan itu sendiri adalah factor kemiskinan yang
menjadi “suburnya” anak-anak jalan di Kota Surakarta.
F. Kategori Anak Jalanan
Anak jalanan yang turun ke jalan mempunyai latar belakang yang
berbeda-beda dari anak yang satu dengan yang lainnya. Hingga anak
jalanan yang ada di jalan tersebut tidak bisa disamakan begitu saja. Akan
commit to user
anak biasa yang tidak menjadi anak jalanan. Oleh karena itu, anak jalanan
tersebut dapat dibedakan ke dalam bebrapa kategori.
Anak jalanan dapat dibdakan mnjadi dua kelompok yaitu :
1) Children of the street ( anak-anak yang tumbuh dari jalanan ), seluruh waktunya dihabiskan di jalanan. Adapun ciri dari
anak-anak ini biasanya tinggal dan bekerja di jalamnan
(living and working in th stret), tidak mempunyai rumah dan jarang atau bahkan tidak prnah kontak dengan keluarga
mereka. Mereka biasanya berasal dari keluarga yang
mempunyai konflik keluarga, misalnya ayah-ibunya cerai,
penyiksaan orang tuanya dan konflik-konflik lainnya.
Mereka lebih suka berpindah-pindah tempat, dari tempat
satu ke tempat lainnya atau mobile, karena mereka tidak
mempunyai tempat tinggal. Masalah yang banyak dan
kebebasan yang mereka alami karena tinggal di jalanan dan
tanpa ada yang mendampinginya. Jumlah mereka lebih
sedikit dibandingkan kelompok anak jalanan lainnya,
diperkirakan 10-15% dari seluruh populasi anak jalanan.
2) Children on the street (anak-anak yang ada di jalanan), yakni anak-anak yang hanya berada sesaat di jalanan. Di
dalam kelompok ini sendiri terdapat dua kelompok anak
jalanan, yakni anak dari luar kota dan anak yang tinggal
commit to user
kota, mereka biasanya mengontrak rumah secara
bersama-sama di satu lingkungan tertentu dan penghuninya adalah
teman satu daerah sendiri. Mereka tidak berskolah lagi dan
ikut ke kota karena ajakan teman-teman atau orang yang
lebih dewasa. Motivasi mreka adalah ekonomi, jarang
konflik, walaupun memang ada. Anak jalanan yang tinggal
dengan orang tua mereka, biasanya pulang hanya sebulan
sekali untuk menyerahkan uang penghasilannya kepada
orang tua mereka.
G. Penyebab-Penyebab Terjadinya ESKA
Ada banyak faktor yang memungkinkan terjadinya eksploitasi
seksual komersial terhadap anak-anak. Walaupun karakteristik setiap
daerah tidak persis sama, secara umum faktor-faktor yang memungkinkan
terjadinya ESKA terbagi atas faktor pendorong dan faktor penarik.
ECPAT mendaftar faktor-faktor resiko tersebut di dalam buku
pedomannya.
Factor-faktor pendorong, antara lain :
1. Kondisi ekonomi khususnya kemiskinan di pedesaan yang
diperberat oleh kebijakan pembangunan ekonomi dan
penggerusan di sektor pertanian.
2. Tanggung jawab anak untuk mendukung keluarga.
commit to user
4. Pertumbuhan jumlah anak gelandangan.
5. Tiadanya kesempatan pendidikan.
6. Tiadanya kesempatan kerja.
7. Kelangkaan peraturan/hukum dan penegakan hukum.
8. AIDS-meninggalnya pencari nafkah keluarga sehingga anak
terpaksa masuk ke perdagangan seks.
Factor-faktor penarik, antara lain :
1. Jaringan kriminal yang mengorganisir industri seks dan merekrut
anak-anak.
2. Pihak berwenang yang korup sehingga terlibat dalam
perdagangan seks anak.
3. Permintaan dari industri seks mancanegara yang menciptakan
perdagangan seks anak dan perempuan secara internasional.
4. Pernikahan yang diatur di mana pengantin anak perempuan
terkadang akan dijual ke rumah bordil setelah menikah.
5. Kehadiran militer yang menciptakan kebutuhan terhadap
pelacuran anak.
6. Permintaan dari wisatawan seks dan pedofil.
7. Ketakutan terhadap AIDS yang membuat pelanggan
commit to user
Selain faktor-faktor pendorong dan penarik di atas, tingginya angka
eksploitasi terhadap anak ini juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang
masih menjadi penyebab utama eksploitasi seksual anak, akan tetapi
ternyata ada faktor-faktor non ekonomi yang juga mendorong anak-anak
ke eksploitasi seksual komersial. Anak-anak yang paling berisiko menjadi
korban ESKA adalah mereka yang sebelumnya telah mengalami pelecehan
fisik atau seksual. Sebuah lingkungan keluarga dengan sedikit
perlindungan, dimana pengasuh tidak ada atau di mana ada tingkat
kekerasan yang tinggi atau tingginya konsumsi alkohol atau konsumsi
obat, menyebabkan anak laki-laki dan perempuan lari dari rumah,
membuat mereka sangat rentan terhadap tindak pelecehan. Diskriminasi
gender dan tingkat pendidikan pengasuh yang rendah juga menjadi faktor risiko. Anak-anak dengan kemiskinan ekstrim dan keluarga terpinggirkan
di daerah pesisir juga menjadi korban ESKA.
Seperti yang diungkapkan Prof. Vitit Muntarbhorn dalam
International Journal About Children Sexual Exploitation, 2008 :71 : “The abhorrent practices behind the commercial sexual
commit to user
fall prey to sexsual exploitation. In regard to the latter, the less positive sid of globalization and the advance of technology and communications have made it more instantaneous and widespread. The more modern side of the child sex trade includes the use of computer bulletin boards and internet to transfer child pornography worldwide, and the growth of sex tourism (Praktek-praktek dibalik eksploitasi seksual komersial anak antara lain
pemerkosaan, penculikan, perampokan, pernikahan
commit to user H. Bentuk- Bentuk ESKA
Ada 5 bentuk ESKA, yakni prostitusi anak, pornografi anak,
perdagangan anak untuk tujuan seksual, pariwisata seks anak, dan
perkawinan anak.
• Prostitusi Anak : Tindakan menawarkan pelayanan atau pelayanan langsung seorang anak untuk melakukan tindakan seksual demi
mendapatkan uang atau imbalan lain.
• Pornografi anak : Pertunjukan apapun atau dengan cara apa saja yang melibatkan anak di dalam aktivitas seksual yang nyata atau yang
menampilkan bagian tubuh anak demi tujuan-tujuan seksual.
• Perdagangan Anak untuk Tujuan Seksual : Proses perekrutan, pemindah-tanganan atau penampungan dan penerimaan anak untuk tujuan eskploitasi
seksual, yang biasanya dilakukan transaksi ke luar pulau atau bahkan
sampai ke luar negeri.
• Wisata seks anak : ESKA yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan dari suatu tempat ke tempat yang lain, dan di tempat
tersebut mereka berhubungan seks dengan anak-anak, mereka lebih
memilih anak-anak dikarenakan anak-anak masih kurang rentan terhadap
virus HIV.
• Perkawinan anak atau pernikahan dini : Pernikahan dengan anak, yakni di bawah umur 18 tahun yang memungkinkan anak menjadi korban ESKA,
commit to user
seks untuk menghasilkan uang atau imbalan lainnya (ECPAT “End Child
commit to user
Perda No 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual
a.Standar dan sasaran kebijakan (Van Meter & Van Horn)
b.Sumberdaya (Van Meter & Van Horn) c.Komunikasi antar organisasi dan penguatan
aktivitas (Van Meter & Van Horn)
d.Karakteristik agen pelaksana (Van Meter & Van Horn)
e.Disposisi implementor (Van Meter & Van Horn)
Tujuan:
a. Memberikan rasa aman, nyaman dan tenang kepada anak-anak yang menjadi korban ESKA
b. Mendampingi dan membina anak-anak yang menjadi korban ESKA
commit to user
Kerangka pemikiran di atas, dapat dijelaskan bahwa dalam
melakukan penelitian ini, dari awal penulis melihat Fenomena Eksploitasi
Seksual Komersial Anak (ESKA) yang saat ini menjadi hal yang sangat
rentan dan menakutkan bagi anak-anak dan orang tua itu sendiri, terutama
bagi anak perempuan, serta tidak menutup kemungkinan anak laki-laki
juga ikut terlibat atau menjadi korban di dalamnya,.khususnya di kota
Surakarta sendiri, oleh karena itu dengan adanya PERDA NO 3 TAHUN
2006 tentang “Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial“,
diharapkan ESKA dapat diperangi atau dihapuskan. Untuk meneliti
implementasi PERDA NO 3 TAHUN 2006 itu sendiri, terdapat tahapan
yang dilakukan oleh pemerintah, yaitu tahapan awal, tahapan RAK dan
tahapan pelaksanaan beberapa kegiatan yang berhubungan dengan
penanggulangan eksploitasi seksual terhadap anak-anak tersebut.
Untuk melihat pelaksanaan kebijakan penanggulangan ESKA di
kota Surakarta maka digunakan tahapan proses pelaksanaan dari
BAPERMAS PP, PA dan KB untuk dapat mengamati pelaksanaan
kebijakan penanggulangan ESKA mulai dari tahapan awal (sosialisasi),
tahapan Rencana Aksi Kota hingga tahapan pelaksanaan. Faktor-faktor
yang mempengaruhi proses implementasi selama pelaksanaan
penanggulangan akan diamati melalui beberapa indikator dari Model Van
Meter dan Van Horn sehingga akan didapatkan keberhasilan atau
kegagalan dari pelaksanaan kebijakan penanggulangan ESKA di kota
commit to user
Alasan penulis untuk mengambil Model Kebijakan Donals S. Van
Meter dan Carl E. Van Horn karena kebijakan penanggulangan ESKA di
kota surakarta merupakan tipe kebijakan top-down. Kebijakan tersebut
berasal langsung dari atas karena berbagai alasan dari masyarakat yang
mengakibatkan harus dibuatnya PERDA tersebut. Kebijakan top-down
merupakan proses implementasi dari sisi vertikal dan terpusat; mengikuti
struktur hierarki. Pola yang dikerjakan oleh pemerintah untuk rakyat,
dimana partisipasi lebih berbentuk mobilisasi.
Dalam pelaksanaan Model Kebijakan Donals S. Van Meter dan
Carl E. Van Horn dipengaruhi oleh lima variabel dalam mendukung proses
implementasi. Kelima variabel tersebut adalah yaitu Standar dan sasaran
kebijakan (Van Meter & Van Horn), Sumberdaya (Van Meter & Van
Horn), Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas (Van Meter &
Van Horn), Karakteristik agen pelaksana (Van Meter & Van Horn), dan
Disposisi implementor (Van Meter & Van Horn).
Kelima variabel tersebut tidak akan dapat berdiri sendiri, karena
pada dasarnya variabel-variabel tersebut merupakan satu kesatuan yang
saling mempengaruhi dan berinteraksi. Sehingga dapat dilihat
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi selama proses pelaksanaan kebijakan
commit to user
42
BAB III
METODE PENELITIAN
Metodologi penelitian merupakan salah satu faktor penting dalam suatu
penelitian, sebab metodologi penelitian ikut menunjang proses penyelesaian
permasalahan yang sedang diteliti. Menurut H.B. Sutopo (2002:35), penelitian
kualitatif melibatkan kegiatan ontologis. Data yang dikumpulkan terutama berupa
kata-kata, kalimat atau gambar yang memiliki arti lebih daripada sekedar angka.
Peneliti menekankan catatan yang menggambarkan situasi sebenarnya guna
mendukung penyajian data. Peneliti berusaha menganalisa data dengan semua
kekayaan wataknya yang penuh nuansa, sedekat mungkin dengan bentuk aslinya
seperti pada waktu dicatat.
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif yang didukung dengan data
kualitatif, yaitu proses penelitian yang sifatnya menggambarkan secara tepat
sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu dan hubungan
suatu gejala dengan gejala lain. Sebagai suatu penelitian deskriptif, penelitian ini
studi kasusnya mengarah pada pendiskripsian secara rinci dan mendalam
mengenai potret kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa