• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL TERHADAP ANAK-ANAK DI KOTA SURAKARTA (Studi Kasus Anak-anak Jalanan Banjarsari di Kota Surakarta)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL TERHADAP ANAK-ANAK DI KOTA SURAKARTA (Studi Kasus Anak-anak Jalanan Banjarsari di Kota Surakarta)"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN EKSPLOITASI

SEKSUAL KOMERSIAL TERHADAP ANAK-ANAK

DI KOTA SURAKARTA

(Studi Kasus Anak-anak Jalanan Banjarsari di Kota Surakarta)

SKRIPSI

Disusun Guna Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan Ilmu Administrasi

Disusun Oleh :

ANDHIKA SARI PUTRI

D0108033

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

ii

HALAMAN PERSETUJUAN

Telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Panitia Penguji Skripsi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Mengetahui,

Dosen Pembimbing

(3)

commit to user

iii

HALAMAN PENGESAHAN

Telah Diuji dan Disahkan Oleh Panitia Penguji Skripsi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Pada hari :

Tanggal :

Panitia Penguji:

1. Drs. Sonhaji, M.Si ( ...)

NIP.19591206 198803 1 004 Ketua

2. Drs.Muchtar Hadi, M.Si (...)

NIP. 19530320 198503 1 002 Sekretaris

3. Dra. Hj. Lestariningsih, M.Si (...)

NIP. 19531009 198003 2 003 Penguji

Mengetahui,

Dekan

Prof. Drs. Pawito, Ph.D NIP. 19540805 198503 1 002 Jumat

(4)

commit to user

iv

MOTTO

“ Allah mengangkat orang-orang beriman di antara kamu dan juga orang-orang yang dikaruniai ilmu pengetahuan hingga beberapa derajat ”

(al-Mujadalah : 11)

“Hidup adalah kegelapan jika tanpa hasrat dan keinginan. Dan semua hasrat-keinginan adalah buta, jika tidak disertai pengetahuan. Dan pengetahuan adalah

hampa jika tidak diikuti pelajaran. Dan setiap pelajaran akan sia-sia jika tidak disertai cinta ”

(Khalil Gibran)

“ Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang dan sabar “ (Khalifah Umar)

“Bekerja dengan rasa cinta, ikhlas dan tanggung jawab, berarti menyatukan diri dengan diri kalian sendiri, dengan diri orang lain dan kepada Tuhan”

(5)

commit to user

v

! !

" # ! ! ! !

# ! ! !

! ! # !

$

" # !

% $

& ' (# ! !

!

!$ ! ! ! !

! !

! !

(6)

commit to user

vi

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala

limpahan rahmat, nikmat dan anugrahNya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan

dengan baik.

Penyusunan skripsi yang berjudul “Implementasi Kebijakan

Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Terhadap Anak-anak di Kota

Surakarta (Studi Kasus Anak-anak Jalanan Banjarsari di Kota Surakarta)” ini

merupakan tugas akhir penulis dalam menyelesaikan studi dan memenuhi salah satu

syarat untuk mendapatkan gelar sarjana sosial di Program Studi Ilmu Administrasi

Negara, Jurusan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP),

Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta.

Dalam kesempatan ini dengan segenap ketulusan dan kerendahan hati,

penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu,

mengarahkan dan memberi dorongan hingga tersusunnya skripsi ini. Penulis

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dra. Hj. Lestariningsih, M.Si selaku Pembimbing, yang senantiasa memberi

bimbingan, arahan, dan motivasi dengan sabar dan ikhlas sehingga penulis

mampu menyelesaikan skripsi ini.

2. Drs. H. Muchtar Hadi, M.Si selaku Pembimbing Akademik, terima kasih atas

bimbingan akademis yang telah diberikan selama ini.

3. Prof. Pawito, Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret.

4. Drs. Is Hadri Utomo, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.

5. Segenap dosen jurusan Ilmu Administrasi yang telah memberikan pengetahuan

dan pemikirannya selama penulis menempuh studi.

6. Drs. A. Fahrudin, HS, selaku Kepala Sub Bidang Pengembangan Perlindungan

Anak BAPERMAS PP, PA dan KB yang telah memberikan bantuan, informasi,

(7)

commit to user

vii

7. Sumilir Wijayanti, selaku Koordinator Divisi Layanan Tim Pelayanan Terpadu

bagi Perempuan dan Anak (PTPAS) Kota Surakarta yang telah memberikan

bantuan, informasi, dan semua hal yang penulis butuhkan demi kelancaran

skripsi ini.

8. Rita Hastuti, selaku Koordinator Program untuk Bidang Perlindungan Anak

Yayasan KAKAK (Kepedulian untuk Konsumen Anak).

9. Anak-anak Jalanan (Korban ESKA) Banjarsari yang banyak memberikan

informasi dalam penyusunan skripsi ini.

10.Adekku Rafli untuk dukungan, bantuan, keusilannya dan doa yang diberikan.

11.Mas Nardi untuk dukungan, bantuan, semangat dan doa yang diberikan.

12.Semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam proses penyusunan

skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan dan kemampuan dalam

skripsi ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang

membangun sangat diharapkan. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi

semua pihak. Amin.

Surakarta, Juli 2012

(8)

commit to user

B. Ekploitasi Seksual Komersial Anak ……...

C. Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Anak...

D. Pendampingan dan Pembinaan Korban Eksploitasi Seksual Komersial

(9)

commit to user

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian………...………..…..

1. Implementasi Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial

Terhadap Anak-anak di Kota Surakarta…...

1.1. Proses Implementasi Kebijakan Penanggulangan Eksploitasi

Seksual Komersial di Kota Surakarta………

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Penangulangan

Eksploitasi Seksual Terhadap Anak di Kota Surakarta………..

(10)

commit to user

x BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………

B. Saran……….

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

102

(11)

commit to user

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel IV.1 :

Tabel IV.2 :

Tabel IV.3 :

Tabel IV.4 :

Tabel IV.5 :

Tabel IV.6

Jumlah Prostitusi Anak di Surakarta Berdasarkan Tingkat Pendidikan…

Jumlah Prostitusi Anak di Surakarta Berdasarkan Aktivitas….…………

Anak Korban ESKA di Surakarta Tahun 2007……….

Anak Korban ESKA di Surakarta Tahun 2009……..………..

Pengelompokan Anak Korban ESKA………..

Matrik Penilaian Faktor-faktor dalam Proses Implementasi

Penanggulangan Eksploitasi Seksual Terhadap Anak-anak di Kota

Surakarta pada 5 Indikator……….

62

63

64

65

65

(12)

commit to user

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar II.1 : Model Implementasi Kebijakan George C. Edward III ... 18

Gambar II.2 : Model Implementasi Kebijakan Merilee S. Grindle... 19

Gambar II.3 : Model Implementasi Kebijakan Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier ... 20

Gambar II.4 : Model Implementasi Kebijakan Donals S. Van Meter dan Carl E. Van Horn... 21

Gambar III.3: Model Analisis Interaktif Miles dan Huberman... 53

Gambar IV.1 : Sosialisasi ... 69

Gambar IV.2 : Sosialisasi Penghapusan ESKA di SMK 6……….. 70

Gambar IV.3 : Sosialisasi Penghapusan ESKA di SMK 3 ... 70

Gambar IV.4 : Sosialisasi Penghapusan ESKA di SMP 5 ... 74

Gambar IV.5 : Kegiatan Workshop Penguatan Kapasitas PT PAS……….. . 87

(13)

commit to user

xiii

ABSTRAK

Andhika Sari Putri. D0108033. Implementasi Kebijakan Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Terhadap Anak-anak di Kota Surakarta (Studi Kasus Anak-anak Jalanan Banjarsari di Kota Surakarta). Skripsi. Administrasi Negara.Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 2012. 108 Halaman.

Perlindungan terhadap hak-hak anak sudah diatur di dalam UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002. Kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap anak juga seharusnya dihilangkan. Surakarta sendiri tingkat eksploitasi seksual komersial terhadap anak-anak sudah semakin memprihatinkan, untuk menanggulangi hal tersebut maka dibuatnya Perda No 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial terhadap anak, dalam lingkup pendampingan dan pembinaan korban ESKA, diharapkan mampu menanggulangi hal tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan dan faktor apa saja yang menyebabkan anak-anak rentan menjadi korban ESKA.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang dilaksanakan di

Daerah Banjarsari. Teknik pemilihan informan yang digunakan adalah purposive

sampling dan snowball sampling. Teknik pengumpulan data yaitu dengan cara wawancara, observasi dan ditambah dengan dokumentasi. Sedangkan untuk validitas data dilakukan dengan trianggulasi data. Teknik analisis data menggunakan model analisis interaktif.

Hasil penelitian dapat diketahui, bahwa pelaksanaan penanggulangan ESKA ada 3 tahapan,yaitu tahapan yang pertama adalah sosialisasi dari pemerintah kepada masyarakat, tahapan yang kedua adalah Rencana Aksi Kota (RAK), tahapan yang

terakhir adalah pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang berhubungan untuk

(14)

commit to user

xiv

ABSTRACT

Andhika Sari Putri. D0108033. Implementation of Mitigation Policies Against Commercial Sexual Exploitation of Children in Surakarta (Case study in Gading Market Surakarta). Skipsi. Public Administration. Faculty of Social and Political Sciences. Sebelas Maret University. Surakarta. 2012. 104 pages.

The protection of children's rights are entered in the Child Protection Act No. 23 of 2002. Violence and sexual exploitation of children should also be eliminated. In Surakarta own level of commercial sexual exploitation of children is even more alarming, to do about it then made law No. 3 of 2006 on Prevention of Commercial Sexual Exploitation of children, mentoring and coaching within the scope of CSEC victims, should be able to overcome it. The purpose of this study to find out how the implementation and what are the factors that cause children vulnerable to CSEC.

This study is a qualitative descriptive study conducted at the Regional Banjarsari. Selection technique used is purposive sampling informant and snowball sampling. Technical data collection techniques is by way of interviews, observations, and coupled with the documentation. As for the validity of data is done by triangulation of data. Techniques of data analysis using interactive analysis model.

(15)

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Anak merupakan tumpuan harapan bangsa, negara, masyarakat, dan

juga keluarga, sehingga harus diperlakukan khusus agar dapat tumbuh dan

berkembang secara wajar baik fisik, mental maupun rohaninya. Kenyataan

yang terjadi, kesejahteraan dan perlindungan hak-hak anak masih sangat

rendah, masih banyak anak-anak yang tereksploitasi baik secara ekonomi

(menjadi pekerja anak, anak jalanan) ataupun eksploitasi seksual (menjadikan

anak-anak sebagai pelacur). Maraknya eksploitasi seksual terhadap anak

disebabkan oleh berbagai faktor, selain itu dapat terjadi karena desakan dari

berbagai pihak Semakin banyaknya anak-anak dilacurkan (sebagai salah satu

bentuk eksploitasi seksual anak) menunjukkan semakin meningkatnya

eksploitasi terhadap anak.

Deklarasi dan Agenda Stokholm untuk Menentang Eksploitasi

Seksual Komersial Anak (ESKA) merupakan instrument yang pertama

mendefinisikan ESKA. Deklrasi ini telah diadopsi oleh 122 pemerintah pada

pelaksanan Kongres Dunia Pertama menentang ESKA yang diadakan di

Stocholm, Swedia tahun tahun 1996. Deklarasi ini mendefenisikan ESKA

sebagai berikut :

(16)

commit to user

anak merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern.”

Defenisi di atas jelas bahwa melalui ekspolitasi seksual komersial

anak, seorang anak tidak hanya menjadi sebuah obyek seks tetapi juga

sebagai sebuah komoditas yang membuatnya berbeda dalam rehabilitasi

maupun pemulihannnya dan reintegrasi dengan keluarga atau masyarakat.

ESKA adalah penggunaan seorang anak untuk tujuan-tujuan seksual guna

mendapatkan uang, barang atau jasa bagi pelaku eksploitasi, perantara atau

agen dan orang-orang lain yang mendapatkan keuntungan dari eksploitasi

seksual pada anak tersebut. ESKA sendiri adalah Eksploitasi Seksual

Komersial Anak dimana didalamnya ada tiga bentuk yaitu pornografi,

prostitusi/pelacuran, dan perdagangan anak untuk tujuan seksual Hal ini

merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak dan elemen kuncinya adalah

bahwa pelanggaran ini muncul melalui berbagai bentuk transaksi komersial

dimana satu atau berbagai pihak mendapatkan keuntungan.

Laporan Jaap E Doek, Unicef, dan End Child Prostitution Child

Pornography and The Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) menyebutkan, perdagangan perempuan dan anak untuk eksploitasi seksual di

Asia mengorbankan 30 juta orang, termasuk untuk prostitusi.

(http://www.menegpp.go.id/index.php). Setiap tahun diperkirakan ada

100.000 anak dan perempuan yang diperdagangkan di Indonesia.

Diperkirakan juga bahwa 30 persen perempuan yang terlibat dalam pelacuran

di Indonesia masih berumur di bawah 18 tahun dengan 40.000-70.000 anak

(17)

commit to user

seks anak telah memicu terjadinya perdagangan seks anak secara global

sedangkan kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, diskriminasi serta

keinginan untuk memiliki sebuah kehidupan yang lebih baik membuat

anak-anak menjadi rentan. Anak-anak-anak sangat rentan untuk diperdagangkan untuk

tujuan seks karena mereka seringkali kurang berpendidikan, lebih mudah

untuk dimanfaatkan karena kekuasaan yang besar atau dapat ditipu oleh

orang yang telah dewasa. Anak-anak juga mungkin merasa wajib untuk

membantu menafkahi keluarga mereka atau lari dari situasi keluarga yang

sulit dan bisa dijual atau pergi ke luar negeri untuk mendapatkan pekerjaan.

Di Indonesia, kemiskinan, penerimaan sosial terhadap buruh anak, kurangnya

pencatatan kelahiran, praktek-praktek tradisional seperti pernikahan dini dan

kurangnya pendidikan bagi anak perempuan merupakan faktor-faktor yang

memfasilitasi terjadinya perdagangan manusia, terlebih-lebih semakin

tingginya angka eksploitasi seksual komersial terhadap anak-anak.

Anak-anak usia 15-18 tahun dari Indonesia diperdagangkan ke

Malaysia, Hong Kong dan Singapura untuk tujuan seksual, banyak dari

mereka yang diperdagangkan dari Indonesia melalui Kepulauan Riau,

Kalimantan dan Sulawesi ke daerah-daerah wisata di Malaysia dan

Singapura. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak, berdasarkan data

yang dikumpulkan dari 23 propinsi, tercatat ada lebih dari 2.000 kasus

perdagangan anak di Indonesia pada tahun 2007, sebagian besar melalui

Batam (400 kasus) dan Jakarta dari daerah-daerah pengirim di Jawa,

(18)

commit to user

praktek-praktek ESKA menurut pandangan dari Komite Hak Anak PBB

disambut baik rencana aksi nasional penghapusan ESKA periode 2002-2007.

Namun, komite merasa khawatir UU yang ada tidak memberikan

perlindungan yang efektif dan bahwa anak-anak korban ESKA sering tidak

mendapatkan perlindungan dan atau bantuan pemulihan yang efektif. Komite

juga merasa prihatin tentang kurangnya informasi mengenai bagaimana

Rencana Aksi Nasional dilaksanakan di tingkat propinsi dan kabupaten.

Anak yang dilacurkan tidak hanya berada di kota-kota besar, akan

tetapi mereka juga ada di kota-kota kecil. Di Surakarta sendiri praktek ESKA

juga tidak kalah mengkhawatirkan. Kota Surakarta atau yang lebih dikenal

dengan sebutan Solo dilihat dari kesatuan geografis, sosial, ekonomi dan

kultural merupakan kota yang strategis dan sebagai pusat kegiatan dalam

lingkup regional Jawa Tengah. Posisi ini selain berpotensi untuk peningkatan

dan akselerasi pembangunan kota juga berpotensi menimbulkan

permasalahan-permasalahan sosial sebagaimana yang terjadi di kota-kota

lainnya. Kota Solo sendiri tidak luput dari praktek-praktek yang mengarah

kepada pelanggaran hak asasi anak. Salah satunya ialah praktik ESKA

(Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak). Praktik ini kian marak di

Surakarta. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian

Kependudukan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat

(PPK LPPM) Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), sebanyak 164

anak di kota Solo, mulai usia 12 hingga 17 tahun, dinyatakan sebagai korban

(19)

commit to user

korban trafficking ini meningkat dalam 4 tahun terakhir. Itu didasarkan

perbandingan dengan hasil penelitian yang sama pada 2004.

Kebanyakan anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual di

kota Surakarta adalah mereka yang hidup di jalanan yang sangat rentan

terhadap kejahatan seksual. Kehidupan yang bebas sebagai anak jalanan serta

kurangnya perhatian dari orang tua yang menyebabkan “suburnya” praktik

eksploitasi seksual tersebut. Menurut ECPAT, prostitusi anak karena

eksploitasi seksual terjadi karena kemiskinan, disfungsi keluarga, pendidikan

rendah, pengangguran, penghasilan kurang, tradisi, dan peningkatan

kebutuhan perempuan muda pada industri seks. Terdapat juga beberapa

faktor yang menyebabkan terjadinya eksploitasi seksual komersial terhadap

anak di Surakarta adalah faktor keluarga dan teman dekat, sosiokultural ,

serta pengalaman seksual dini.Himpitan ekonomi juga menjadi salah satu hal

yang mendasar atau factor utama dari eksploitasi seksual di kota Surakarta.

Dari sebab-sebab tersebut, kemiskinan merupakan faktor utama dan

kontributor terbesar kasus eksploitasi seks pada anak dan kunci yang

mendorong mereka berprofesi menjadi anak jalanan. Dari pengamatan

penulis melalui pra survey yang dilakukan, kebanyakan anak-anak jalanan

biasanya kumpul ialah Terminal Tirtonadi, Gilingan, Alun-alun Kidul,

Perempatan Jebres dll. Peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat

merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian serius dari

berbagai pihak. Perhatian ini tidak semata-mata terdorong oleh besarnya

(20)

commit to user

buruk di mana kelompok ini belum mendapatkan hak-haknya bahkan sering

terlanggar, sehingga mereka sangat rentan mendapat praktik kekerasan

seksual di jalanan.

Sangat disadari bahwa untuk mengatasi masalah ESKA tidak bisa

dilakukan atau ditangani oleh salah satu institusi yang terkait. Dibutuhkan

kerjasama dari beberapa pihak pemerintah kota serta lembaga-lembaga

swasta, dan berbagai komponen masyarakat sipil. Upaya pemerintah untuk

menanggulangi ESKA melalui tindakan pencegahan tampak pada beberapa

kegiatan yang dilaksanakan oleh Bapermas P3AKB misalnya dengan

mengadakan kegiatan sosialisasi/penyuluhan PNBAI (Program Nasional Bagi

Anak Indonesia) serta kampanye publik yang diadakan setiap hari Anak

Nasional pada tanggal 23 Juli. Pelaksanaan sosialisasi juga dilakukan di

tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang anak-anaknya rentan

menjadi korban ESKA. Namun sejauh ini upaya tersebut belum sepenuhnya

berhasil karena hingga saat ini mereka belum sepenuhnya menyadari resiko

dari apa yang mereka lakukan (melakukan hubungan seks usia dini) dan

masih melakukan aktivitas seksual.

Meningkatnya angka praktik ESKA di Surakarta ternyata tidak hanya

mendapat perhatian dari lembaga pemerintah saja, akan tetapi juga mendapat

perhatian yang serius dari sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)

yang peduli terhadap Perlindungan Konsumen Anak di Surakarta. LSM ini

bernama Yayasan KAKAK (Kepedulian Untuk Konsumen Anak). Dari data

(21)

commit to user

lebih ada 110 anak yang dapat dijangkau dan didampingi dan kebanyakan

dari mereka adalah usia sekolah. Sementara untuk tahun 2009 menjangkau

dan mendampingi 29 yang dilacurkan yang terdiri dari 25 adalah perempuan

dan 4 laki-laki. Sedangkan selama Januari-Juni 2010 menjangkau 16 anak

yang semuanya adalah perempuan. (Arsip Yayasan Kakak). Jadi dapat

disimpulkan untuk periode tahun 2005- Juni 2010 Yayasan Kakak dapat

menjangkau dan mendampingi 156 anak korban ESKA.

Korban ESKA tidak hanya terjadi di kalangan anak yang rentan

menjadi korban. Terlebih-lebih anak jalanan yang hidup keras di jalanan,

seringkali mengalami kekerasan, salah satunya adalah kekerasan seksual

komersial. Badan-badan dari Pemerintah seperti BAPERMAS, PP, PA dan

KB (Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perlindungan anak, Perlindungan

Perempuan dan Keluarga Berencana) yang menangani kasus anak-anak yang

menjadi korban ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak) di kota

Surakarta. Pemerintah sendiri sering mengadakan sosialisasi ke beberapa

sekolah, yaitu SMP 5, SMA 1, SMK 3, SMK 6 dll di kota Surakarta.

Penelitian tentang ESKA di Surakarta menghasilkan sebuah

kesimpulan, bahwa kasus ESKA yang terjadi di Solo adalah anak korban

perdagangan untuk tujuan seksual, sebanyak 27 kasus. Sebagian besar anak

menjadi korban ESKA untuk pertama kali saat berusia 16 tahun. Pada usia

16 tahun atau rentang usia dikisaran ini merupakan usia yang paling rawan

bagi seorang anak. Proses pencarian identitas diri seorang anak selalu

(22)

teman-commit to user

teman sebayanya . Teman-teman sebaya akan sangat mempengaruhi dalam

membentuk pola pikir dan perilaku seorang anak. Tempat berlangsungnya

aktivitas seksual anak pertama sekali hingga terjebak ESKA sebagian besar

di lingkungan kost / kontrakan yang didiami oleh responden sendiri maupun

pacar/teman, sebagian di rumah/tempat tinggal korban, sebagian di Kafe,

hotel, di jalanan, di kebun, bahkan ada yang di luar kota, Malang dan Jogja.

http://www.eska.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=75

&Itemid=43

Sungguh memprihatinkan melihat kondisi ini, terlebih Kota Surakarta

adalah salah satu kota yang pada tahun 2006 memulai program Kota Layak

Anak harus terkontaminasi dengan menjamurnya fenomena ESKA

(Eksploitasi Seksual Komersial Anak). Selain itu angka-angka di atas harus

dilihat dalam konteks fenomena gunung es artinya kasus yang terlihat di

permukaan hanyalah sebagian kecil saja dari kejadian yang sebenarnya.

Menyikapi hal tersebut sebenarnya Pemerintah Kota Surakarta telah

menetapkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 Tentang

Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial. Diantaranya bertujuan untuk

mencegah, membatasi, mengurangi adanya kegiatan eksploitasi seksual

komersial, melindungi dan merehabilitasi korban eksploitasi seksual serta

menindak dan memberikan sanksi kepada pelaku sesuai dengan ketentuan

yang berlaku. Dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 Tentang

Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial itu sendiri, tertuang beberapa

(23)

commit to user

Pendampingan korban eksploitasi, (2) Rehabilitasi dan Reintegrasi korban

eksploitasi, (3) Koordinasi dan Pembinaan korban eksploitasi. Akan tetapi

untuk lebih spesifik di dalam melakukan penelitian ini, penulis hanya akan

membahas atau hanya membatasi mengenai penanggulangan eksploitasi

seksual komersial yaitu dalam hal Pendampingan dan Pembinaan korban

eksploitasi seksual komersial. Di dalam Perda Nomor 3 Tahun 2006 itu

sendiri, juga tertuang upaya pemerintah dalam menanggulangi

penanggulangan eksploitasi seksual komersial, diantaranya (1) Penertiban

perijinan usaha yang rentan terhadap kegiatan eksploitasi seksual komersial,

(2) Pemberian sanksi terhadap pelaku. Akan tetapi wujud upaya tersebut

belum sepenuhnya efektif, dengan melihat praktek yang ada sekarang ini.

Pada dasarnya munculnya Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 Tentang

Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial di kota Surakarta merupakan

penyempurnaan dan tindak lanjut dari SK Walikota Surakarta Nomor

462/78/1/2006 Tentang Rencana Aksi Kota (RAK) penghapusan Eksploitasi

Seks Komersial Anak (ESKA) kota Surakarta dan Peraturan Daerah Nomor 1

Tahun 1975 Tentang Pemberantasan Tuna Susila yang sudah tidak efektif

lagi berlaku karena tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat.

Bahkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, disebutkan dalam Pasal 4 UU No. 23 Tahun 2002 tentang hak dari

anak yang menyebutkan bahwa : “Setiap anak berhak untuk dapat

hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai

(24)

commit to user

dari kekerasan dan diskriminasi”. Sangat ironis sekali melihat fakta

yang ada sekarang ini, bahwa anak yang seharusnya mendapat

perlindungan dari kekerasan dan tindakan asusila, malah menjadi obyek

eksploitasi seksual yang kian hari kian marak dan malah menjadi

ladang subur sebagai “pekerjaan” dan kasusnya seperti fenomena

gunung es, yang kasusnya hanya terlihat beberapa di permukaan saja.

Upaya hukum telah dilakukan dengan adanya sosialisasi kebijakan

yang terkait dengan perlindungan anak dan anak-anak yang dilacurkan.

Seperti Konvensi Hak Anak oleh PBB Tahun 1989 yang telah diratifikasi

Indonesia pada 1990, UU No 1 tahun 2000 (Tanggal 8 Maret 2000) tentang

Konvensi ILO 1999 No. 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera

Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Pekerja Anak,

Keppres No. 40 Tahun2004 tentang Ranham 2004-2009 tentang

Memasukkan agenda ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak Anak

tentang PerdaganganAnak, Pornografi Anak dan Prostitusi Anak (2005) dan

Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan anak dalam

konflik bersenjata (2006), Keppres No. 59 Tahun2002 tentang Rencana Aksi

Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.

UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002. Juga ada Keppres No.59

Tahun 2002 mengenai Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk

Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Aturan lainnya, Keppres No.87 Tahun 2002

mengenai Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual

(25)

commit to user

Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, dan banyak lagi

lainnya(.http://lppm.uns.ac.id/sirine/penelitian.php?act=detail&idp=17)

Maka dari itu permasalahan kasus eksploitasi komersial yang lebih

banyak melibatkan anak-anak di bawah umur sangat penting diperhatikan.

Akan tetapi sejauh ini, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak dan Perda Nomor 3 Tahun 2006 Tentang

Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial yang seharusnya digunakan

untuk melindungi anak-anak dari tindak kejahatan bahkan ironisnya dari

tindakan perdagangan anak serta eksploitasi seksual, ternyata masih belum

mampu mengatasi laju pertambahan jumlah anak-anak yang terjebak pada

eksploitasi seksual komersial yang secara signifikan bertambah terus tiap

tahunnya, khususnya di Kota Surakarta. Berkaitan dengan hal di atas maka

penulis tertarik untuk lebih lanjut mengetahui Implementasi Penanggulangan

Eksploitasi Seksual Komersial di Kota Surakarta berdasarkan Perda Nomor 3

Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial dengan

studi kasus anak-anak jalanan di kecamatan Banjarsari kota Surakarta yang

(26)

commit to user

B.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana Implementasi Penanggulangan Eksploitasi Seksual

Terhadap Anak-anak di Kota Surakarta berdasarkan Perda Nomor 3

Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial?

2. Faktor-Faktor apa sajakah yang mempengaruhi Implementasi Perda

Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual

Komersial?

C.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan, maka tujuan yang ingin

dicapai pada penelitian ini adalah :

1. Secara umum untuk mengetahui implementasi pelaksanaan Perda

Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual

Komersial di Kota Surakarta.

2. Untuk mengetahui berbagai faktor-faktor yang mempengaruhi

Implementasi Perda Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan

Eksploitasi Seksual Komersial

3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam pelaksanaan

(27)

commit to user

D.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Secara individual penelitian ini untuk melengkapi prasyarat gelar

sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

2. Secara umum hasil penelitian diharapkan mampu memberikan

masukan dan sumbangan pikiran bagi berbagai pihak yang nantinya

dapat mengurangi tingginya angka eksploitasi seksual terhadap

anak-anak.

3. Secara teoritis penelitian ini dapat melengkapi penelitian selanjutnya

(28)

commit to user

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Implementasi Kebijakan

Tahap implementasi dalam lingkaran proses kebijakan publik,

menempati posisi yang penting, karena kebijakan akan dikatakan berhasil

atau tidak tergantung pada implementasinya. Implementasi adalah proses

untuk memastikan terlaksananya suatu kebijakan dan tercapainya

kebijakan tersebut. Impelementasi juga dimaksudkan menyediakan sarana

untuk membuat sesuatu dan memberikan hasil yang bersifat praktis

terhadap sesama. Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial

dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus

diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan.

Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya policy

makers untuk memengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia

memberikan pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran. Untuk

kebijakan yang sederhana, implementasi hanya melibatkan satu badan

yang berfungsi sebagai implementor. Dalam berbagai system politik,

kebijakan publik diimplementasikan oleh badan-badan pemerintah.

(Subarsono 2005 : 87-88)

Ripley dan Franklin berpendapat bahwa implementasi adalah apa

yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas

(29)

commit to user

nyata (tangible output). Istilah implementasi menunjuk pada sejumlah

kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan

program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat pemerintah.

(Budi Winarno 2008 : 145)

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah

kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk

mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang

ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau

melalui formulasi kebijakan turunan dari kebijakan publik tersebut.

Kebijakan publik dalam bentuk Undang-undang atau Perda adalah jenis

kebijakan publik yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau yang

sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang

bisa langsung operasional antara lain Keppres, Inpres, Kepmen, Keputusan

Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas, dan lain-lain. Riant Nugroho (

2008: 494-495).

Definisi Implementasi secara eksplisit mencakup tindakan oleh

individu/ kelompok privat (swasta) dan publik yang langsung pada

pencapaian serangkaian tujuan terus menerus dalam keputusan kebijakan

yang telah ditetapkan sebelumnya.

(30)

commit to user dengan lebih ringkas menyebutkan :

“Dalam bentuk lebih umum, penelitian dalam implementasi menetapkan apakah organisasi dapat membawa bersama jumlah orang dan material dalam unit organisasi secara kohesif dan mendorong mereka mencari cara untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.”

Dengan adanya kebijakan implementasi, yang merupakan bentuk

konkret dari konseptualisasi dalam kebijakan formulasi, tidak secara

otomatis merupakan garansi berjalannya suatu program dengan baik. Oleh

karena itu suatu kebijakan implementasi pada umumnya satu paket dengan

kebijakan pemantauan atau monitoring. Mengingat kebijakan

implementasi adalah sama peliknya dengan kebijakan formulasi, maka

perlu diperhatikan berbagai faktor yang akan mempengaruhinya.

Menurut Ripley & Franklin (1986, 54) dalam penelitian Wahyu

Nurhardjatmo, M.Si, ada dua hal yang menjadi fokus perhatian dalam

penelitian implementasi, yaitu compliance (kepatuhan) dan what’s

happening? (apa yang terjadi).

Kepatuhan menunjuk pada apakah para implementor patuh

terhadap prosedur / standard aturan yang telah di tetapkan. Sementara

untuk “what’s happening” mempertanyakan bagaimana proses

implementasi itu dilakukan, hambatan apa yang muncul, apa yang berhasil

(31)

commit to user

Menurut Anderson (1979, 68) penelitian Wahyu Nurhardjatmo,

M.Si, ada 4 aspek yang perlu dikaji dalam implementasi kebijakan, yaitu:

1. Siapa yang mengimplementasikan

2. Hakekat dari proses administrasi

3. Kepatuhan, dan

4. Dampak dari pelaksanaan kebijakan

Model-Model Implementasi (Subarsono. Analisis Kebijakan Publik.

2005)

a. Model George C. Edwards III (1980)

Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi 4

variabel :

1. Komunikasi

Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus

ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target groups) sehingga

akan mengurangi distorsi implementasi. Tujuan dan sasaran

kebijakan harus jelas, apabila tidak diketahui oleh kelompok

sasaran, akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.

2. Sumberdaya

Sumberdaya adalah factor penting untuk implementasi kebijakan

agar efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal di kertas

(32)

commit to user

3. Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh

implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis.

4. Struktur Birokrasi

Stuktur Birokrasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi

kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap

organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar.

Gambar II.1

Model Implementasi KebijakanGeorge C. Edward III

b. Model Merilee S. grindle (1980)

Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle dipengaruhi oleh

dua variable besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan

implementasi (context of implementation).

Komunikasi

Sumber daya

Implementasi Sikap

(33)

commit to user

Isi Kebijakan mencakup : (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran

atau target groups termuat dalam isi kebijakan; (2) jenis manfaat yang

diterima oleh target groups; (3) sejauhmana perubahan yang diinginkan

dari sebuah kebijakan; (4) apakah letak sebuah program sudah tepat; (5)

apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan

rinci; (6) apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang

memadai

Variable Lingkungan Kebijakan mencakup : (1) seberapa besar kekuasaan,

kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para actor dalam

implementasi kebijakan; (2) karakteristik institusi dan rejim yang sedang

berkuasa; (3) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

Gambar II.2

Model Implementasi Kebijakan Merilee S. Grindle

Tujuan yang

(34)

commit to user

c. Model Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983)

Menurut Mazmanian dan Sabatier, ada tiga kelompok variable yang

mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni : (1) karakteristik dari

masalah; (2) karakteristik kebijakan atau undang-undang; (3) variable

lingkungan.

Gambar II.3

Model Implementasi Kebijakan Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier

Mudah / tidaknya Masalah 2. Digunakannya teori kausal yang memadai 3. Ketepatan alokasi sumber daya

4. Keterpadan hierarki dalam dan diantara lembaga pelaksana

5. Aturan – aturan keputusan dari badan pelaksana

6. Rekrutmen pejabat pelaksana 7. Akses formal pihak luar

Variabel diluar Kebijaksanaan yang Mempengaruhi Proses Implementasi

1. Kondisi sosio – ekonomi dan teknologi 2. Dukungan publik

3. Sikap dan sumber – sumber yang dimiliki kelompok pemilih

4. Dukungan dari pejabat atasan

5. Komitmen dan keterampilan kepemimpinan pejabat – pejabat pelaksana

Tahap – tahap Dalam Proses Implementasi ( Variabel Tergantung)

Keputusan Dampak output Perbaikan Output kebijakan kelompok sasaran Dampak nyata kebijakan mendasar Dari badan-badan terhadap output output sebagaimana dalam Pelaksana kebijakan kebijakan dipersepsi undang –

(35)

commit to user

d. Model Donals S. Van Meter dan Carl E. Van Horn (1975)

Menurut Meter dan Horn, ada lima variable yang memengaruhi kinerja

implementasi, yakni : (1) standar dan sasaran kebijakan; (2) sumberdaya;

(3) komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas; (4) karakteristik

agen pelaksana; (5) kondisi social, ekonomi dan politik; (6) disposisi

implementor.

Gambar II.4

Model Implementasi Kebijakan Donals S. Van Meter dan Carl E. Van Horn

e. Model G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (1983)

Untuk menganalisis implementasi program-program pemerintah yang

bersifat desentralistis, ada empat kelompok variable yang dapat

mempengaruhi kinerja dan dampak suatu program, yakni : (1) kondisi

lingkungan; (2) hubungan antar organisasi; (3) sumberdaya organisasi Komunikasi antar organisasi

dan kegiatan pelaksanaan

Ukuran dan tujuan kebijakan

Karakteristik badan pelaksana

Disposisi pelaksana

Kinerja Implementasi

(36)

commit to user

untuk implementasi program; (4) karakteristik dan kemampuan agen

pelaksana.

f. Model David L. Weimer dan Aidan R. Vining (1999)

Dalam pandangan Weimer dan Vining, ada tiga kelompok variable besar

yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu program,

yakni : (1) logika kebijakan; (2) lingkungan tempat kebijakan

dioperasikan; (3) kemampuan implementor kebijakan.

B. Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA)

ESKA adalah singkatan dari Eksploitasi Seksual Komersial Anak.

ECPAT Internasional (2001) mendefinisikan ESKA sebagai sebuah

pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut

berupa kekerasan seksual oleh orang dewasa dengan pemberian imbalan

kepada anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Sederhananya

anak diperlakukan sebagai objek seksual dan komersial. Ini adalah

perwujudan dari kerja paksa dan perbudakan modern terhadap anak. Sebab

tak jarang anak-anak dipaksa, mengalami kekerasan fisik dan trauma.

Eksploitasi Seksual Komersial Anak adalah penggunaan anak untuk tujuan

seksual dengan imbalan tunai atau dalam bentuk lain antara anak, pembeli

jasa seks, perantara atau agen dan pihak lain yang memperoleh keuntungan

dari perdagangan seksualitas anak tersebut. Ada tiga bentuk yaitu

prostitusi anak, pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan

(37)

commit to user

(http://eska.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=75&I temid=4)

Deklarasi dan Agenda Stokholm untuk Menentang Eksploitasi

Seksual Komersial Anak (ESKA) merupakan instrument yang pertama

mendefinisikan ESKA. Deklrasi ini telah diadopsi oleh 122 pemerintah

pada pelaksanan Kongres Dunia Pertama menentang ESKA yang diadakan

di Stocholm, Swedia tahun tahun 1996. Deklarasi ini mendefenisikan

ESKA sebagai berikut :

“Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak.

Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan sebagai objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi seksual komersial anak merupakan sebuah bentuk penggunaan, pemaksaan dan kekerasan terhadap anak dan kekerasan seksual terhadap anak dan untuk tujuan kerja paksa dan bentuk perbudakan seks lainnya.”

Defenisi di atas jelas bahwa melalui ekspolitasi seksual komersial

anak, seorang anak tidak hanya menjadi sebuah obyek seks tetapi juga

sebagai sebuah komoditas yang membuatnya berbeda dalam rehabilitasi

maupun pemulihannnya dan reintegrasi dengan keluarga atau masyarakat.

ESKA adalah penggunaan seorang anak untuk tujuan-tujuan seksual guna

mendapatkan uang, barang atau jasa bagi pelaku eksploitasi, perantara atau

agen dan orang-orang lain yang mendapatkan keuntungan dari eksploitasi

(38)

hak-commit to user

hak anak dan elemen kuncinya adalah bahwa pelanggaran ini muncul

melalui berbagai bentuk transaksi komersial dimana satu atau berbagai

pihak mendapatkan keuntungan. Adanya faktor keuntungan ini

membedakan antara ESKA dengan kekerasan seksual anak karena dalam

kekerasan seksual anak tidak ada keuntungan komersial walaupun

eksploitasi seksual juga merupakan sebuah kekerasan seksual.

Eksploitasi seksual terhadap anak ternyata mempunyai dampak

yang sangat besar terutama dampak terhadap kesehatan fisik maupun

psikis anak tersebut. Hal tersebut dipertegas dengan penjelasan Allison

Phinncy (dalam jurnal Trafficking Of Women And Children For Sexual

Exploitation In The Americas, 2007 :34) :

(39)

commit to user

eksploitasi seksual dapat merusak perkembangan anak dan remaja.)

C. Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Anak

Menurut Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006, pengertian

penanggulangan adalah upaya yang dilakukan secara bertahap untuk

mencegah terjadinya eksploitasi seksual komersial. Upaya

penanggulangan itu sendiri tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah saja,

akan tetapi selain peran pemerintah terdapat pula peran serta keluarga dan

masyarakat yang ikut berparan serta dalam menangani kasus eskploitasi

seksual komersial yang menimpa anak-anak yang tertuang dalam

Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 di Kota Surakarta tentang

Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial. Peran masyarakat

dilakukan oleh orang-perorangan, lembaga social kemasyarakatan,

lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan,

badan usaha dan media massa.

Pemerintah sendiri di dalam upaya penanggulangan terhadap

kegiatan eksploitasi seksual komersial dilakukan dengan (1) Penertiban

perijinan usaha yang rentan terhadap kegiatan eksploitasi seksual

komersial, (2) Pemberian sanksi terhadap pelaku.

Di dalam pasal 29 Perda Nomor 3 Tahun 2006, penanggulangan

(40)

commit to user

1. Kegiatan penindakan dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja.

2. Pendidikan dan pelatihan keterampilan klien dilaksanakan oleh

instansi yang membidangi Pendidikan dan instansi yang membidangi

Ketenagakerjaan.

3. Penyaluran tenaga siap kerja oleh instansi yang membidangi

ketenagakerjaan

Selain hal tersebut, penanggulangan dilakukan dengan memberikan

pendampingan dan pembinaan terhadap para korban eksploitasi seksual.

Hal tersebut dilakukan oleh pemerintah dalam upaya untuk lebih menekan

anak-anak yang menjadi korban ekslpoitasi supaya tidak kembali masuk

lagi ke jalan yang salah.

D. Pendampingan dan Pembinaan Korban Eksploitasi Seksual

Komersial Anak

Pendampingan dan pembinaan bagi para krban ESKA memang

sangat perlu diperhatikan. Pendampingan yang dilakuan oleh pemerintah

ternyata juga tidak hanya bekerjasama hanya dengan LSM yang

menangani kasus tersebut, akan tetapi keluarga korban juga, teman dekat

korban, diharapkan untuk dapat memberikan pendampingan kepada para

korban. Bahkan hukumpun juga turut serta memberikan perlindungan

apabila dibutuhkan, akan tetapi juga sangat jarang dilakukan, karena sebisa

mungkin pemerintah tidak menggunakan langkah hukum untuk menangani

(41)

commit to user

korban, bukan sebagai pelaku yang harus ditindaklanjuti dengan proses

hukum. Hukum diberikan hanya sebatas perlindungan saja kepada para

korban eksploitasi, itu juga apabila memang dibutuhkan.

Pembinaan yang dilakukan pemerintah yaitu dengan cara

memberikan pelatihan atau ketrampilan bagi anak-anak yang menjadi

korban ESKA tersebut. Pembinaan yang dilakukan dengan cara

memberikan modal untuk mengasah ketrampilan yang dimiliki anak,

supaya mereka tidak tenggelam lagi di dunia ESKA.

Pendampingan lebih mengarah kepada Recovery terhadap

anak-anak itu sendiri. Banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk

menangani permasalahan tersebut. Akan tetapi tidak selamanya

pemerintah dapat melakukan hal tersebut apabila tidak ada kemauan dari

para korban tesebut untuk lepas dari jaring eksploitasi seksual.

E. Anak Jalanan

Fenomena sosial anak jalanan atau biasa yang disebut dengan

“Anjal” adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih ada yang memiliki

hubungan dengan keluarganya, tapi ada juga yang sudah tidak sama sekali

ada hubungan dengan keluarganya. Anak Jalanan, terutama terlihat nyata

di kota-kota besar setelah dipicu krisis ekonomi di Indonesia. Hasil kajian

Departemen Sosial tahun 1998 di 12 kota besar, melaporkan jumlah anak

(42)

commit to user

yang baru turun ke jalan sejak tahun 1998. Secara nasional diperkirakan

sebanyak 60.000-75.000 anak jalanan dan 60 persen putus sekolah serta 80

persen masih ada hubungan dengan keluarganya, serta sebanyak 18 persen

adalah anak jalanan perempuan yang beresiko tinggi terhadap kekerasan

seksual, perkosaan, kahamilan diluar nikah dan terinfeksi PMS serta

HIV/AIDS. Umumnya anak jalanan hampir tidak mempunyai akses

terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan dan perlindungan, keberadaan

mereka ditolak oleh masyarakat dan sering mengalami penggarukan

(sweeping) oleh pemerintah kota setempat.

Secara khusus, anak jalanan menurut PBB adalah “ anak yang

menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan untuk bekerja, bermain

atau beraktivitas lain” (dalam Dwi Astutik, 2005: 14). Sugeng Rahayu

(dalam Dwi Astutik, 2005: 15) berpendapat lain bahwa “anak jalanan

adalah anak-anak yang berusia di bawah 21 tahun yang berada di jalanan

untuk mencari nafkah dengan berbagai cara (tidak termasuk pengemis,

gelandangan, bekerja di toko/kios)”. Menurut Soedijar (dalam Dwi

Astutik, 2005: 15), “anak jalanan adalah anak-anak yang berusia 7-15

tahun, bekerja di jalanan dan tempat umum lainnya yang dapat

membahayakan keselamatan dirinya”. Dalam UU No 4 Tahun 1979

tentang kesejahteraan anak: anak adalah seorang yang belum mencapai

usia 21 tahun atau belum menikah. Umumnya anak jalanan bekerja

(43)

commit to user

sampah. Tidak jarang anak-anak jalanan tersebut menghadapi resiko

kecelakaan lalu lintas, pemerasan, perkelahian, dan kekerasan seksual.

Kondisi anak jalanan di kota surakarta dapat kita ketahui melalui

pengamatan yang telah dilakukan oleh peneliti. Alasan anak-anak ini turun

ke jalan sebagian besar karena masalah ekonomi. Selain itu, juga terdapat

alasan lain yang mempengaruhi mereka harus turun ke jalan seperti

permasalahan keluarga, permasalahan keluarga itu sendiri memiliki

berbagai variasi, antara lain: diperlakukan tidak adil oleh orang tuanya,

kondisi disharmoni keluarga (perceraian orang tua dan brokenhome).

Anak-anak yang miskin tidak dapat melanjutkan sekolah, karena adanya

batasan biaya dari orang tua mereka yang tidak mampu karena biaya

sekolah terlalu mahal. Hal tersebut memaksa mereka anak-anak turun ke

jalan untuk bekerja sebagai pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan

pemulung. Bahkan tidak jarang banyak juga anak-anak perempuan yang

menjadi pekerja seks komersil.

Kehidupan anak-anak jalanan di Kota Surakarta secara jelas dapat

ditemui di berbagai wilayah kota, seperti: Perempatan Manahan, Terminal

Bus Titonadi, Gilingan, Perempatan Giri Mulyo, Perempatan Ngemplak,

Stasiun Kereta Api Solo Balapan, Perempatan Timuran, Perempatan

Gemblekan, daerah Pasar Gading, Perempatan Warung Miri, Perempatan

Panggung dan daerah belakang Panggung Motor, Taman Jurug, Stasiun

(44)

commit to user

tersebut berada di tempat “mangkalnya” untuk bekerja guna mendapatkan

uang yang hasilnya untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Adanya beberapa faktor penarik dan pendorong yang

mengakibatkan semakin banyaknya anak-anak jalanan di kota Surakarta.

Menurut BKSN (dalam Dwi Astuti 2005: 25) faktor penarik terjadinya

anak jalanan antara lain :

1) Kehidupan jalanan yang menjanjikan, dimana anak mudah

mendapatkan uang, anak bisa bermain dan bergaul dengan bebas.

2) Diajak teman.

3) Adanya peluang di sektor informal yang tidak terlalu

membutuhkan modal dan keahlian.

Faktor pendorong pada umumnya berasal dari hubungan dalam

keluarga, permasalahan ekonomi pada keluarga yang membuat anak ikut

bekerja membantu orang tua mereka. Akan tetapi selain masalah lingkup

dalam keluarga, faktor yang berasal dari masyarakat juga memberikan

kontribusi bagi maraknya fenomena anak jalanan. Perkembangan pesat

pembangunan di kota-kota besar menawarkan berbagai kemudahan hidup

sehingga timbul arus urbanisasi yang cenderung tak terkendali.

Orang-orang desa yang masuk ke kota membiarkan bahkan menyuruh

anak-anaknya mencari nafkah dengan berbagai cara untuk meringankan hidup.

Selain faktor-faktor di atas, faktor kesempatan dari masyarakat juga turut

(45)

commit to user

sebagai tukang semir sepatu, penjual koran, pengamen, pedagang asongan

hadir karena masyarakat memang membutuhkan dan memberi kesempatan

kepada mereka.

Masalah Anak Jalanan adalah permasalahan yang krusial tidak

habis-habisnya untuk dibicarakan, seakan-akan sebuah kehampaan belaka

apabila menanganinya akan menemukan sebuah lingkaran setan, karena

masalah Anak jalanan akan melibatkan masalah ekonomi, kondisi

mentalitas masyarakat dan lingkungan dimana anak itu berada. Satu orang

Anak jalanan dibina dapat terentaskan akan muncul 2 (dua) Anak atau

lebih yang berprofesi sebagai Anak jalanan, dan juga karena Kota Solo

adalah interland dari daerah sekitarnya maka semakin hari Anak Jalanan

tidak semakin berkurang malah semakin bertambah. Pemerintah Kota

Surakarta akan menangani membina serta melindungi Anak Jalanan

dengan mengadakan Aksi Kota Penghapusan Anak Jalanan agar Kota Solo

kondusif sebagai Kota Layak Anak. Akan tetapi sepertinya hal tersebut

akan sangat sulit untuk dilakukan, dikarenakan factor utama dari

keberadaan anak-anak jalanan itu sendiri adalah factor kemiskinan yang

menjadi “suburnya” anak-anak jalan di Kota Surakarta.

F. Kategori Anak Jalanan

Anak jalanan yang turun ke jalan mempunyai latar belakang yang

berbeda-beda dari anak yang satu dengan yang lainnya. Hingga anak

jalanan yang ada di jalan tersebut tidak bisa disamakan begitu saja. Akan

(46)

commit to user

anak biasa yang tidak menjadi anak jalanan. Oleh karena itu, anak jalanan

tersebut dapat dibedakan ke dalam bebrapa kategori.

Anak jalanan dapat dibdakan mnjadi dua kelompok yaitu :

1) Children of the street ( anak-anak yang tumbuh dari jalanan ), seluruh waktunya dihabiskan di jalanan. Adapun ciri dari

anak-anak ini biasanya tinggal dan bekerja di jalamnan

(living and working in th stret), tidak mempunyai rumah dan jarang atau bahkan tidak prnah kontak dengan keluarga

mereka. Mereka biasanya berasal dari keluarga yang

mempunyai konflik keluarga, misalnya ayah-ibunya cerai,

penyiksaan orang tuanya dan konflik-konflik lainnya.

Mereka lebih suka berpindah-pindah tempat, dari tempat

satu ke tempat lainnya atau mobile, karena mereka tidak

mempunyai tempat tinggal. Masalah yang banyak dan

kebebasan yang mereka alami karena tinggal di jalanan dan

tanpa ada yang mendampinginya. Jumlah mereka lebih

sedikit dibandingkan kelompok anak jalanan lainnya,

diperkirakan 10-15% dari seluruh populasi anak jalanan.

2) Children on the street (anak-anak yang ada di jalanan), yakni anak-anak yang hanya berada sesaat di jalanan. Di

dalam kelompok ini sendiri terdapat dua kelompok anak

jalanan, yakni anak dari luar kota dan anak yang tinggal

(47)

commit to user

kota, mereka biasanya mengontrak rumah secara

bersama-sama di satu lingkungan tertentu dan penghuninya adalah

teman satu daerah sendiri. Mereka tidak berskolah lagi dan

ikut ke kota karena ajakan teman-teman atau orang yang

lebih dewasa. Motivasi mreka adalah ekonomi, jarang

konflik, walaupun memang ada. Anak jalanan yang tinggal

dengan orang tua mereka, biasanya pulang hanya sebulan

sekali untuk menyerahkan uang penghasilannya kepada

orang tua mereka.

G. Penyebab-Penyebab Terjadinya ESKA

Ada banyak faktor yang memungkinkan terjadinya eksploitasi

seksual komersial terhadap anak-anak. Walaupun karakteristik setiap

daerah tidak persis sama, secara umum faktor-faktor yang memungkinkan

terjadinya ESKA terbagi atas faktor pendorong dan faktor penarik.

ECPAT mendaftar faktor-faktor resiko tersebut di dalam buku

pedomannya.

Factor-faktor pendorong, antara lain :

1. Kondisi ekonomi khususnya kemiskinan di pedesaan yang

diperberat oleh kebijakan pembangunan ekonomi dan

penggerusan di sektor pertanian.

2. Tanggung jawab anak untuk mendukung keluarga.

(48)

commit to user

4. Pertumbuhan jumlah anak gelandangan.

5. Tiadanya kesempatan pendidikan.

6. Tiadanya kesempatan kerja.

7. Kelangkaan peraturan/hukum dan penegakan hukum.

8. AIDS-meninggalnya pencari nafkah keluarga sehingga anak

terpaksa masuk ke perdagangan seks.

Factor-faktor penarik, antara lain :

1. Jaringan kriminal yang mengorganisir industri seks dan merekrut

anak-anak.

2. Pihak berwenang yang korup sehingga terlibat dalam

perdagangan seks anak.

3. Permintaan dari industri seks mancanegara yang menciptakan

perdagangan seks anak dan perempuan secara internasional.

4. Pernikahan yang diatur di mana pengantin anak perempuan

terkadang akan dijual ke rumah bordil setelah menikah.

5. Kehadiran militer yang menciptakan kebutuhan terhadap

pelacuran anak.

6. Permintaan dari wisatawan seks dan pedofil.

7. Ketakutan terhadap AIDS yang membuat pelanggan

(49)

commit to user

Selain faktor-faktor pendorong dan penarik di atas, tingginya angka

eksploitasi terhadap anak ini juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang

masih menjadi penyebab utama eksploitasi seksual anak, akan tetapi

ternyata ada faktor-faktor non ekonomi yang juga mendorong anak-anak

ke eksploitasi seksual komersial. Anak-anak yang paling berisiko menjadi

korban ESKA adalah mereka yang sebelumnya telah mengalami pelecehan

fisik atau seksual. Sebuah lingkungan keluarga dengan sedikit

perlindungan, dimana pengasuh tidak ada atau di mana ada tingkat

kekerasan yang tinggi atau tingginya konsumsi alkohol atau konsumsi

obat, menyebabkan anak laki-laki dan perempuan lari dari rumah,

membuat mereka sangat rentan terhadap tindak pelecehan. Diskriminasi

gender dan tingkat pendidikan pengasuh yang rendah juga menjadi faktor risiko. Anak-anak dengan kemiskinan ekstrim dan keluarga terpinggirkan

di daerah pesisir juga menjadi korban ESKA.

Seperti yang diungkapkan Prof. Vitit Muntarbhorn dalam

International Journal About Children Sexual Exploitation, 2008 :71 : “The abhorrent practices behind the commercial sexual

(50)

commit to user

fall prey to sexsual exploitation. In regard to the latter, the less positive sid of globalization and the advance of technology and communications have made it more instantaneous and widespread. The more modern side of the child sex trade includes the use of computer bulletin boards and internet to transfer child pornography worldwide, and the growth of sex tourism (Praktek-praktek dibalik eksploitasi seksual komersial anak antara lain

pemerkosaan, penculikan, perampokan, pernikahan

(51)

commit to user H. Bentuk- Bentuk ESKA

Ada 5 bentuk ESKA, yakni prostitusi anak, pornografi anak,

perdagangan anak untuk tujuan seksual, pariwisata seks anak, dan

perkawinan anak.

Prostitusi Anak : Tindakan menawarkan pelayanan atau pelayanan langsung seorang anak untuk melakukan tindakan seksual demi

mendapatkan uang atau imbalan lain.

Pornografi anak : Pertunjukan apapun atau dengan cara apa saja yang melibatkan anak di dalam aktivitas seksual yang nyata atau yang

menampilkan bagian tubuh anak demi tujuan-tujuan seksual.

Perdagangan Anak untuk Tujuan Seksual : Proses perekrutan, pemindah-tanganan atau penampungan dan penerimaan anak untuk tujuan eskploitasi

seksual, yang biasanya dilakukan transaksi ke luar pulau atau bahkan

sampai ke luar negeri.

Wisata seks anak : ESKA yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan dari suatu tempat ke tempat yang lain, dan di tempat

tersebut mereka berhubungan seks dengan anak-anak, mereka lebih

memilih anak-anak dikarenakan anak-anak masih kurang rentan terhadap

virus HIV.

Perkawinan anak atau pernikahan dini : Pernikahan dengan anak, yakni di bawah umur 18 tahun yang memungkinkan anak menjadi korban ESKA,

(52)

commit to user

seks untuk menghasilkan uang atau imbalan lainnya (ECPAT “End Child

(53)

commit to user

Perda No 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual

a.Standar dan sasaran kebijakan (Van Meter & Van Horn)

b.Sumberdaya (Van Meter & Van Horn) c.Komunikasi antar organisasi dan penguatan

aktivitas (Van Meter & Van Horn)

d.Karakteristik agen pelaksana (Van Meter & Van Horn)

e.Disposisi implementor (Van Meter & Van Horn)

Tujuan:

a. Memberikan rasa aman, nyaman dan tenang kepada anak-anak yang menjadi korban ESKA

b. Mendampingi dan membina anak-anak yang menjadi korban ESKA

(54)

commit to user

Kerangka pemikiran di atas, dapat dijelaskan bahwa dalam

melakukan penelitian ini, dari awal penulis melihat Fenomena Eksploitasi

Seksual Komersial Anak (ESKA) yang saat ini menjadi hal yang sangat

rentan dan menakutkan bagi anak-anak dan orang tua itu sendiri, terutama

bagi anak perempuan, serta tidak menutup kemungkinan anak laki-laki

juga ikut terlibat atau menjadi korban di dalamnya,.khususnya di kota

Surakarta sendiri, oleh karena itu dengan adanya PERDA NO 3 TAHUN

2006 tentang “Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial“,

diharapkan ESKA dapat diperangi atau dihapuskan. Untuk meneliti

implementasi PERDA NO 3 TAHUN 2006 itu sendiri, terdapat tahapan

yang dilakukan oleh pemerintah, yaitu tahapan awal, tahapan RAK dan

tahapan pelaksanaan beberapa kegiatan yang berhubungan dengan

penanggulangan eksploitasi seksual terhadap anak-anak tersebut.

Untuk melihat pelaksanaan kebijakan penanggulangan ESKA di

kota Surakarta maka digunakan tahapan proses pelaksanaan dari

BAPERMAS PP, PA dan KB untuk dapat mengamati pelaksanaan

kebijakan penanggulangan ESKA mulai dari tahapan awal (sosialisasi),

tahapan Rencana Aksi Kota hingga tahapan pelaksanaan. Faktor-faktor

yang mempengaruhi proses implementasi selama pelaksanaan

penanggulangan akan diamati melalui beberapa indikator dari Model Van

Meter dan Van Horn sehingga akan didapatkan keberhasilan atau

kegagalan dari pelaksanaan kebijakan penanggulangan ESKA di kota

(55)

commit to user

Alasan penulis untuk mengambil Model Kebijakan Donals S. Van

Meter dan Carl E. Van Horn karena kebijakan penanggulangan ESKA di

kota surakarta merupakan tipe kebijakan top-down. Kebijakan tersebut

berasal langsung dari atas karena berbagai alasan dari masyarakat yang

mengakibatkan harus dibuatnya PERDA tersebut. Kebijakan top-down

merupakan proses implementasi dari sisi vertikal dan terpusat; mengikuti

struktur hierarki. Pola yang dikerjakan oleh pemerintah untuk rakyat,

dimana partisipasi lebih berbentuk mobilisasi.

Dalam pelaksanaan Model Kebijakan Donals S. Van Meter dan

Carl E. Van Horn dipengaruhi oleh lima variabel dalam mendukung proses

implementasi. Kelima variabel tersebut adalah yaitu Standar dan sasaran

kebijakan (Van Meter & Van Horn), Sumberdaya (Van Meter & Van

Horn), Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas (Van Meter &

Van Horn), Karakteristik agen pelaksana (Van Meter & Van Horn), dan

Disposisi implementor (Van Meter & Van Horn).

Kelima variabel tersebut tidak akan dapat berdiri sendiri, karena

pada dasarnya variabel-variabel tersebut merupakan satu kesatuan yang

saling mempengaruhi dan berinteraksi. Sehingga dapat dilihat

faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi selama proses pelaksanaan kebijakan

(56)

commit to user

42

BAB III

METODE PENELITIAN

Metodologi penelitian merupakan salah satu faktor penting dalam suatu

penelitian, sebab metodologi penelitian ikut menunjang proses penyelesaian

permasalahan yang sedang diteliti. Menurut H.B. Sutopo (2002:35), penelitian

kualitatif melibatkan kegiatan ontologis. Data yang dikumpulkan terutama berupa

kata-kata, kalimat atau gambar yang memiliki arti lebih daripada sekedar angka.

Peneliti menekankan catatan yang menggambarkan situasi sebenarnya guna

mendukung penyajian data. Peneliti berusaha menganalisa data dengan semua

kekayaan wataknya yang penuh nuansa, sedekat mungkin dengan bentuk aslinya

seperti pada waktu dicatat.

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

deskriptif kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif yang didukung dengan data

kualitatif, yaitu proses penelitian yang sifatnya menggambarkan secara tepat

sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu dan hubungan

suatu gejala dengan gejala lain. Sebagai suatu penelitian deskriptif, penelitian ini

studi kasusnya mengarah pada pendiskripsian secara rinci dan mendalam

mengenai potret kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa

Gambar

Tabel IV.1 :
Gambar II.1
Gambar II.2
Gambar II.3
+7

Referensi

Dokumen terkait

Secara singkat berarti guru itu menguasai bidang ilmu yang diajarkan, mempunyai ketrampilan dalam mengajar secara baik dan menyenangkan, mampu membangun relasi

Perhitungan pajak penghasilan pasal 21 yang dipotong untuk setiap bulan merupakan jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun,

[r]

Berdasarkan uji Anova regression pada perilaku me nginap di kebun dan perilaku mencari hiburan pada malam hari di luar rumah terhadap kejadian filariasis, hasil yang

Bila pada waktu yang ditentukan Saudara tidak dapat memenuhi undangan pembuktian Kualifikasi ini maka perusahaan Saudara dinyatakan “GUGUR”. Demikian Kami sampaikan atas

ILHAM FIRMAN SYAH 649001000092525 Jl.KH.Wahid Hasyim No.31 Ds.Kapuran Kec.Badegan Ponorogo MIS Sabilil Muttaqin FORMAT PEMBUKAAN REKENING BAGI SISWA PENERIMA BSM TAHAP 1(BRITAMA)

Sementara menurut Kepmenkes RI Nomor 1479/MENKES/SK/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular

Penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti memiliki perbedaan nilai sebagai berikut ; Penelitian terdahulu seperti (Ind_1) eamanan transaksi