• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Dampak Adopsi Inovasi Program Biogas Pada Petani Di Kabupaten Sukoharjo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Dampak Adopsi Inovasi Program Biogas Pada Petani Di Kabupaten Sukoharjo"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

ANALISIS DAMPAK ADOPSI INOVASI PROGRAM BIOGAS

PADA PETANI DI KABUPATEN SUKOHARJO

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Guna Mempereoleh Derajat Sarjana Pertanian

di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta

Jurusan/Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian (PKP)

Disusun Oleh :

Dina Dwi Eastriati

H 0407031

Dosen Pembimbing:

1. Ir. Sugihardjo, MS

2. D. Padmaningrum, SP, MSi

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Biogas berasal dari kata bios artinya hidup sedangkan gas adalah sesuatu

yang keluar dari tungku atau dari perapian atau tabung, yang dihasilkan oleh

makhluk hidup melalui proses tertentu. Proses yang dimaksud adalah proses

fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob atau bakteri yang

hidup dalam kondisi kedap udara. Biogas memiliki sifat mudah terbakar,

sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah

atau Liquid Protelum Gas (LPG) untuk memasak dan untuk penerangan

(Muryanto, 2006).

Bahan baku utama pembuat biogas adalah limbah yang berasal dari

bahan organik, namun hanya bahan organik yang homogen yang dapat

menghasilkan biogas seperti kotoran ternak. Hasil kotopran yang dihasilkan

dari dua ekor sapi sebanyak 1,4 kg/hari sudah dapat digunakan sebagai bahan

baku pembuatan biogas. Kotoran dua ekor sapi juga dapat menghasilkan 0,46

kg gas LPG; 0,52 liter minyak diesel (solar); 0,8 litergasoline (bensin); 1.1

liter alkohol; 1,4 kg batubara; 4.7 kWh listrik dan 3,5 kg kayu bakar.

Pengembangan biogas mulai mendapat perhatian baik dari pemerintah

maupun masyarakat setelah dikeluarkannya kebijakan pemerintah dalam

mengurangi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). BBM pada tahun 2011

mengalami kelonjakan harga yang sangat tinggi, BBM dan LPG mengalami

kenaikan harga sampai Rp. 81.000/12 kg, minyak tanah menjadi mahal yaitu

sekitar Rp. 7.000/ltr, dan pupuk juga mengalami kelangkaan. Akibat adanya

kelonjakan harga maka pemerintah mulai mencanangkan teknologi biogas

yang ramah lingkungan dan memiliki banyak manfaat baik yang langsung

maupun tidak langsung. Manfaat langsung yang dapat dirasakan yaitu sebagai

sumber energi untuk memasak, penghasil pupuk organik siap pakai, sebagai

sumber energi untuk penerangan. Manfaat tidak langsungnya yaitu

(3)

commit to user

sanitasi lingkungan dan keindahan, meningkatkan pendapatan usaha serta

mendukung kebijakan pengurangan subsidi BBM.

Melihat manfaat biogas yang begitu besar maka dari Badan Lingkungan

Hidup Sukoharjo mendukung program biogas dengan cara memperkenalkan

dan memberikan pelatihan mengenai biogas kepada petani. Materi tersebut

berupa pengenalan mengenai biogas, manfaat, cara pembuatan instalasi biogas

dan cara kerja untuk menghasilkan biogas. Prinsip pembuatan instalasi biogas

adalah menampung limbah organik yang berupa kotoran ternak, kemudian

memproses limbah tersebut dan mengambil gasnya. Hasilnya dimanfaatkan

sebagai sumber energi serta menampung sisa hasil pemrosesan yang dapat

dipergunakan sebagai pupuk organik. Dalam proses ini dibutuhkan tiga tabung

yaitu tabung penampung bahan baku, tabung pemroses/pencerna/digester dan

tabung penampung sisa hasil pemrosesan. Bahan pembuat tabung dapat

berasal dari bata merah, plastik, drum bekas baik dari seng atau dari plastik.

Sosialisasi program biogas mengakibatkan terjadinya proses adopsi

inovasi baru di Kabupaten Sukoharjo. Adanya pengaruh penerapan teknologi

biogas akan menimbulkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam suatu

sistem sosial sehingga akan timbul dampak. Dampak yang ditimbulkan dari

adanya teknologi baru tidak selalu menguntungkan, adapula kerugian yang

dirasakan. Keuntungan yang dirasakan dengan menerapkan teknologi biogas

pada daerah yang memiliki peternakan dapat memberikan keuntungan

ekonomis apabila dilakukan perancangan yang tepat dari segi teknis dan

operasionalnya. Keuntungan lain yang akan dirasakan pemerintah dengan

menggalakkan program biogas yaitu dapat meminimalisir pengeluaran untuk

pembelian minyak mentah serta bahan bakan bakar minyak yang harganya

semakin melonjak tinggi. Biogas di sisi lain juga memberikan konsekwensi

bagi petani yaitu perawatan yang dilaksanakan secara rutin agar instalansi

tidak mudah rusak.

Program biogas di Kabupaten Sukoharjo merupakan program bantuan

(4)

commit to user

mengenai energi alternatif yang dilaksanakan sejak tahun 2007 dan tersebar di

12 kecamatan.

B. Rumusan Masalah

Biogas yang dilaksanakan di Kabupaten Sukoharjo merupakan suatu

inovasi yang dilakukan sebagai optimalisasi terhadap kegiatan pemanfaatan

sumber daya alam potensial di lingkungan masyarakat serta pengefektifan

energi. Program biogas di Kabupaten Sukoharjo sudah dilaksanakan sejak

tahun 2007. Teknologi biogas merupakan energi alternatif yang ramah

lingkungan dan dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar

minyak yang mahal. Tentunya kegiatan ini diharapkan akan berdampak positif

bagi pengguna sehingga nantinya diharapkan terjadi perubahan terencana

menuju kondisi kehidupan yang lebih diharapkan dengan memanfaatkan

segala sumber daya yang dimiliki. Kegiatan awal yang dilakukan adalah

meyakinkan masyarakat agar beralih dari penggunaan BBM ke biogas yang

ramah lingkungan.

Inovasi ini diharapkan dapat diterima oleh masyarakat yang berlanjut

dengan menerapkan teknologi tersebut pada skala rumah tangga. Secara

teoritis menurut Rogers dalam Hanafi (1987) mengatakan bahwa dalam suatu

program penerapan teknologi kemungkinan akan terjadi penerimaan atau

penolakan terhadap inovasi tersebut. Penerimaan atau penolakan suatu inovasi

adalah suatu keputusan yang dibuat oleh seseorang, jika menerima inovasi

maka akan menggunakan ide atau gagasan baru. ”Baru” dalam ide inovatif

tidak berarti harus baru sama sekali.

Seperti halnya dalam pengaplikasian teknologi biogas, dimungkinkan

ada kendala yaitu dana yang dibutuhkan untuk pembuatan instalasi sangatlah

besar (untuk kontruksi instalasi biogas yang terbuat dari batu bata bisa

mencapai 12 juta, instalasi yang terbuat dari drum biayanya sebesar

Rp 2.000.000,00 dan yang terbuat dari plastik Rp 500.000,00) sedangkan dana

yang disediakan oleh pemerintah terbatas. Selain itu publikasi mengenai

teknologi biogas hanya sebatas pada pengembangan dari penemu teknologpi

(5)

commit to user

Lingkungan Hidup sehingga untuk masyarakat umum tidak mengetahui akan

adanya inovasi teknologi baru. Dari kendala selama ini diharapkan ke

depannya pemerintah lebih memperhatikan kemunculan dari

teknologi-teknologi baru yang menguntungkan bagi negara sehingga nantinya dapat

menjadi alternatif pengganti untuk penghasil energi. Dari adanya kendala

yang ditimbulkan maka adopsi inovasi biogas kemungkinan menimbulkan

dampak positif ataupun dampak negatif.

Berdasarkan uraian tersebut, belum banyaknya penelitian mengenai

dampak dari adopsi suatu inovasi maka penelitian ini mengangkat

permasalahan-permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana adopsi inovasi program biogas pada petani di Kabupaten

Sukoharjo?

2. Bagaimana dampak ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan akibat dari

adanya adopsi inovasi biogas pada petani di Kabupaten Sukoharjo?

C. Tujuan Penelitian

Selaras dengan permasalahan yang dirumuskan diatas, maka penelitian

ini bertujuan untuk :

1. Mengkaji adopsi inovasi program biogas pada petani di Kabupaten

Sukoharjo.

2. Mengkaji dampak ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan yang

diakibatkan dari adanya adopsi biogas pada petani di Kabupaten

Sukoharjo.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah:

1. Bagi peneliti, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di

Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bagi pemerintah dan instansi terkait, diharapkan dapat menjadi bahan

pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang terkait dengan bidang

(6)

commit to user

3. Bagi petani, dapat memanfaatkan program yang telah diberikan

pemerintah ataupun instansi yang terkait.

4. Bagi peneliti lain, dapat dijadikan referensi informasi untuk meneliti lebih

(7)

commit to user

I. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Adopsi dan Inovasi

Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Hanafi (1981) mengemukakan

bahwa adopsi adalah proses perubahan baik berupa pengetahuan

(cognitive), sikap (affective), maupun ketrampilan (psikomotorik) pada diri

seseorang setelah menerima pesan yang disampaikan oleh penyuluh

kepada sasarannya, untuk mengadopsi suatu inovasi memerlukan jangka

waktu tertentu sampai terjadi adopsi. Inovasi menurut Hanafi (1981)

merupakan gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh

seseorang. Ide tersebut betul-betul baru atau tidak, jika diukur dengan

selang waktu sejak digunakannya atau ditemukannya pertama kali.

Kebaruan inovasi itu diukur secara subyektif, menurut pandangan individu

yang menangkapnya.

Inovasi adalah suatu gagasan, metode atau obyek yang dianggap

sebagai sesuatu yang baru tetapi tidak selalu merupakan hasil dari

penelitian mutakhir (Van Den Ban dan Hawkin, 1999).

Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa pengertian inovasi tidak

hanya terbatas pada benda atau barang hasil dari produksi saja tetapi

mencakup idiologi, kepercayaan, sikap hidup, informasi, perilaku atau

gerakan-gerakan menuju kepada proses perubahan di dalam segala bentuk

tata kehidupan masyarakat. Dengan demikian pengertian inovasi dapat

diperluas menjadi ’’sesuatu ide, perilaku, produk, informasi dan

praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima dan digunakan atau

diterapkan atau dilaksanakan oleh sebagian masyarakat dalam suatu

lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya

perubahan-perubahan disegala aspek kehidupan masyarakat demi selalu

terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu hidup individu dan seluruh warga

masyarakat yang bersangkutan’’.

(8)

commit to user

Menurut Lionberger dalam Mardikanto (1996), beberapa faktor yang

mempengaruhi seseorang untuk mengadopsi inovasi meliputi :

a. Luas usahatani, semakin luas usaha biasanya semakin cepat

mengadopsi, karena memiliki kemampuan ekonomi yang baik.

b. Tingkat pendapatan, seperti halnya tingkat luas usahatani, petani

dengan tingkat pendapatan yang semakin tinggi biasanya akan semakin

cepat mengadopsi inovasi.

c. Keberanian mengambil resiko, sebab pada tahap awal biasanya tidak

selalu beerhasil seperti yang diharapkan karena itu individu yang

memiliki keberanian mengambil resiko biasanya lebih inovatif.

d. Umur, semakin tua (diatas 50 tahun), biasanya semakin lamban

mengadopsi inovasi, dan cenderung hanya melaksanakan

kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan masyarakat setempat.

e. Tingkat partisipasinya dalam kelompok/organisasi di luar

lingkungannya sendiri. Partisipasi petani didefinisikan sebagai ekspresi

yang berwujud perilaku petani dalam menampilkan dirinya pada

kegiatan atau segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingannya.

Sebagai perilaku tentunya partisipasi itu timbul karena adanya persepsi

terhadap kegiatan tersebut, tertanam pada setiap petani melalui proses

sosialisasi dalam interaksi sosial yang terjadi di masyarakat tersebut.

Warga masyarakat yang suka bergabung dengan orang-orang di luar

sistem sosialnya sendiri, umumnya lebih inovatif disbanding mereka

yang hanya melakukan kontak pribadi dengan masyarakat setempat.

f. Aktivitas mencari informasi atau ide-ide baru.

g. Sumber informasi yang dimanfaatkan dapat beerupa lembaga

pendidikan/perguruan tinggi, lembaga penelitian, dinas-dinas terkait,

media massa, tokoh masyarakat petani setempat maupun dari luar,

maupun lembaga-lembaga komersial.

Soekartawi (1988) mengatakan bahwa cepat tidaknya proses adopsi

inovasi sangat tergantung dari karakter dari responden. Beberapa hal

(9)

commit to user

a. Umur

Makin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu

apa yang belum mereka ketahui, sehingga mereka berusaha untuk lebih

cepat melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka masih

belum berpengalaman dalam soal adopsi inovasi tersebut. Lebih lanjut

dikatakan oleh Soetrisno (1998) bahwa sebagian besar petani di

Indonesia berusia sekitar 25 sampai dengan 54 tahun, sementara

Mardikanto (1996) mengatakan bahwa semakin tua (diatas 50 tahun)

biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi.

b. Pendidikan

Mereka yang berpendidikan tinggi adalah relatif lebih cepat dalam

melaksanakan adopsi inovasi. Begitupula sebaliknya mereka yang

berpendidikan rendah, mereka agak sulit untuk melaksanakan adopsi

inovasi dengan cepat. Sedangkan menurut Hernanto (1984) tingkat

pendidikan petani baik formal maupun non formal akan mempengaruhi

cara berpikir yang diterapkan pada usahataninya yaitu dalam

rasionalitas usahanya dalam memanfaatkan setiap kesempatan

ekonomi yang ada. Suhardiyono (1992) menjelaskan bahwa para ahli

pendidikan mengenal sumber pengetahuan, yaitu :

1) Pendidikan informal

Adalah proses pendidikan yang panjang diperoleh dan

dikumpulkan oleh seseorang, berupa ketrampilan, sikap hidup dan

segala sesuatu yang diperoleh dari pengalaman pribadi sehari-hari

dari kehidupannya di dalam masyarakat.

2) Pendidikan formal

Adalah struktur dari suatu sistem pelajaran yang kronologis dan

berjenjang lembaga pendidikan mulai dari prasekolah sampai

(10)

commit to user

3) Pendidikan non formal

Adalah pengajaran sistematis yang diorganisir dari luar sistem

pendidikan formal bagi sekelompok orang untuk memenuhi

keperluan khusus. Salah satu contoh pendidikan non formal ini

adalah penyuluhan pertanian.

c. Sistem kepercayaan tertentu (diagtotisme)

Makin tertutup suatu sistem sosial dalam masyarakat dalam sentuhan

luas, misalnya sentuhan teknologi, maka makin sulit pula anggota

masyarakatnya untuk melakukan adopsi inovasi.

d. Karakteristik psikologi

Karakteristik psikologi dari calon adopter anggota masyarakat

disekitarnya juga menentukan cepat tidaknya suatu adopsi inovasi. Bila

karakter itu mendukung situasi yang memungkinkan adanya adopsi

inovasi, maka proses adopsi inovasi itu akan berjalan lebih cepat.

Lionberger dalam Mardikanto (1996) mengemukakan beberapa faktor

yang mempengaruhi kecepatan seseorang untuk mengadopsi inovasi :

a. Tingkat pendapatan, petani dengan tingkat pendapatan semakin tinggi

biasanya akan cepat mengadopsi inovasi. Penerimaaan usahatani atau

pendapatan akan mendorong petani untuk kegiatan produktif (biaya

produksi periode selanjutnya), biaya konsumtif (untuk pangan, papan,

kesehatan, pendidikan, rekreasi dan pajak), pemeliharaan investasi

serta tabungan dan investasi. Adapun biaya hidup tersebut diperoleh

dari berbagai sumber, antara lain dari sumber usahatani sendiri, sumber

usaha lain di bidang pertanian seperti halnya upah tenaga kerja pada

usahatani lain dan pendapatan dari luar usahatani (Hernanto, 1993)

b. Tingkat partisipasinya dalam kelompok atau organisasi di luar

lingkungannya sendiri. Warga masyarakat yang suka bergabung

dengan orang-orang di luar sistem sosialnya sendiri, umumnya lebih

inovatif dibanding mereka yang hanya melakukan kontak pribadi

(11)

commit to user

c. Beraktivitas mencari informasi dan ide-ide baru. Golongan masyarakat

yang aktif mencari informasi dan ide-ide baru, biasanya lebih inovatif

dibanding orang-orang yang pasif apalagi yang selalu skeptic terhadap

sesuatu yang baru.

d. Sumber informasi yang dimanfaatkan. Golongan yang inovatif,

biasanya banyak memanfaatkan beragam sumber informasi, seperti

lembaga pendidikan, lembaga penelitian, dinas-dinas terkait, media

massa, tokoh masyarakat setempat maupun dari luar lembaga-lembaga

komersial (pedagang). Golongan yang kurang inovatif umumnya

hanya memanfaatkan informasi dari tokoh-tokoh setempat dan relatif

sedikit memanfaatkan informasi dari media massa.

Menurut Madigan dalam Cruz (1987) petani yang mencapai

pendidikan lebih tinggi mempunyai tingkat adopsi yang lebih tinggi

daripada mereka yang mencapai tingkat pendidikan yang lebih rendah.

Seorang agen pembaharu mendapatkan hasil yang terbaik ketika

berhadapan dengan orang yang tingkat pendidikannya lenih tinggu.

Proses adopsi inovasi merupakan proses mental yang terjadi pada

petani pada saat menghadapi suatu inovasi yaitu proses penerapan suatu

ide baru sejak diketahui sampai proses penerapan. Pada proses adopsi akan

terjadi perubahan perilaku sasaran dan dipengaruhi oleh banyak faktor

serta selalu terkait antara satu dengan yang lainnya (Junaidi, 2007).

Masyarakat akan berpartisipasi dalam suatu inovasi apabila mereka

merasa aktivitas tersebut penting. Cara agar hal ini dapat diterima secara

efektif adalah masyarakat sendiri dapat menentukan suatu kegiatan dan

menentukan seberapa penting hal tersebut bagi mereka dari pada orang

luar mengatakan apa yang harus mereka lakukan. Salah satu kunci dalam

suksesnya mengatur suatu komunitas adalah pemilihan suatu inovasi

(Jim Ife, 1995).

Adopsi teknologi baru hanya dapat berkembang secara cepat apabila

masyarakat atau petani yang menerima memiliki dasar pendidikan/

(12)

commit to user

Menurut Rogers dan Shoemaker (1973) dalam Mardikanto (1993)

menyatakan bahwa proses adopsi pasti melalui tahapan-tahapan sebelum

masyarakat mau menerima atau menerapkan dengan keyakinannya sendiri,

tahapan-tahapan adopsi :

a. Awarenes atau tahap kesadaran yaitu dimana seseorang mengetahui

adanya ide-ide baru tetapi kekurangan informasi mengenai hal itu.

b. Interest atau tahap menaruh minat yaitu dimana seseorang mulai

menaruh minat terhadap inovasi dan mencari informasi lebih banyak

mengenai inovasi tersebut.

c. Evaluation atau tahap penilaian yaitu dimana seseorang mengadakan

penilaian terhadap ide baru tersebut dihubungkan dengan situasi

dirinya sendiri saat ini dan masa mendatang dan menentukan

mencobanya atau tidak.

d. Trial atau tahap percobaan yaitu dimana seseorang menerapkan ide-ide

baru tersebut dalam skala kecil untuk menentukan kegunaannya,

apakah sesuai dengan keadaan dirinya.

e. Adoption atau tahap menerapkan yaitu dimana seseorang

menggunakan ide-ide tersebut secara tetap dalam skala yang luas.

2. Dampak dan Konsekwensi

a. Dampak

Suratmo (2002) mengatakan bahwa dampak diartikan sebagai

adanya suatu benturan antara dua kepentingan, yaitu kepentingan

pembangunan proyek dengan kepentingan usaha melestarikan kualitas

lingkungan yang baik. Dampak di sini tidak hanya dampak negatif

tetapi juga dampak positif. Dampak yang diduga tersebut merupakan

perbedaaan nilai lingkungan atau nilai suatu sumberdaya di masa yang

akan datang antara lingkungan tanpa proyek dan lingkungan dengan

proyek.

Menurut Soemarwoto (2001), mengatakan bahwa dampak

(13)

commit to user

Aktivitas tersebut dapat bersifat ilmiah, baik kimia, fisik, maupun

biologi. Aktivitas dapat pula dilakukan oleh manusia.

Adanya ANDAL (Analisis Dampak Lingkungan) akan

menimbulkan keuntungan bagi masyarakat, yaitu :

1) Dapat mengetahui rencana pembangunan di daerahnya, hingga

dapat mempersiapkan diri di dalam penyesuaian kehidupan apabila

diperlukan.

2) Mengetahui perubahan lingkungan di masa sesudah proyek

dibangun hingga dapat memanfaatkan kesempatan yang dapat

menguntungkan dirinya dan menghindarkan diri dari kerugian yang

dapat diderita akibat adanya proyek.

3) Turut serta dalam pembangunan di daerah sejak dari awal

khususnya di dalam memberikan masukan informasi atau ikut

langsung di dalam membangun dan menjalankan proyek.

4) Pemahaman hal ikhwal mengenai proyek secara jelas akan ikut

menghindarkan timbulnya kesalahpahaman hingga dapat

menggalang kerjasama yang saling menguntungkan.

5) Mengetahui hak dan kewajiban di dalam hubungan dengan proyek

tersebut khususnya hak dan kewajiban di dalam ikut menjaga dan

mengelola kualitas lingkungan.

Menurut Gunarwan (1993) mengatakan bahwa terdapat

pendugaan dampak yaitu dari aspek ekonomi, diantaranya :

1) Dalam masyarakat sering terdapat hal-hal yang merupakan masalah

yang kritis dan sensitif bagi masyarakat setempat dan hal tersebut

akan berbeda di tempat lain. Hal-hal tersebut harus diketahui

karena dampak yang akan terjadi merupakan hal yang kritis dan

sensitif akan selalu dinilai dampak besar.

2) Komponen-komponen dalam aspek ini perlu dikategorikan

keadaannya ke dalam keadaan yang baik, marginal dan kritis.

Penilaian dampak pada komponen yang berbeda keadaannya akan

(14)

commit to user

3) Dampak tidak langsung juga dapat besar pada aspek sosial

ekonomi baik yang datang dari aspek fisik, biologi maupun sosial

budaya sehingga perlu pendugaan dampak tak langsung secara

cermat.

4) Dampak yang perlu diperhatikan adalah yang terjadi berurutan.

Misalnya meningkatnya pendapatan akan menimbulkan

peningkatan gizi makanan, kemudian akan meningkatkan

kesehatan dan juga meningkatnya permintaan akan barang,

pendidikan dan jasa lainnya. Dampak pada satu komponen sosial

ekonomi juga dapat menimbulkan dampak hubungan antar manusia

sehingga dapat menimbulkan perpindahan mata pencaharian,

perpindahan tempat pemukiman, mobilitas dan lainnya.

5) Pada aspek ekonomi belum banyak model matematika yang dapat

digunakan untuk Amdal.

Sudhartho (1997) mengatakan bahwa dampak sosial muncul

ketika terdapat aktivitas proyek, program atau kebijaksanaan yang

akan diterapkan pada suatu masyarakat. Bentuk intervensi ini (karena

aktivitas biasanya selalu datang dari luar masyarakat) mempengaruhi

keseimbangan pada suatu sistem masyarakat. Pengaruh ini bisa positif

bisa pula negatif. Hal ini dapat dapat diuji dari nilai, norma, aspirasi

dan kebiasaan dari masyyarakat yang bersangkutan.

Dari aspek budaya yang perlu diteliti dalam Amdal menurut

Suratmo (1993) adalah :

1) Keadaan struktur penduduk, termasuk jumlah, kepadatan,

keanekaragaman penduduk, serta pola mobilitas penduduk.

2) Perikehidupan sehari-hari, adat istiadat, tatacara, interaksi intra dan

antar kelompok masyarakat, system kepercayaan, keanekaragaman

tatanilai dan norma.

3) Sikap, nilai dan persepsi terhadap lingkungannya dan kehidupan

(15)

commit to user

4) Distribusi kekuasaan, sistem stratifikasi sosial, diferensi dan

diversifikasi dalam masyarakat.

5) Integrasi dari berbagai kelompok masyarakat.

6) Sejarah budaya yang patut dipelihara.

7) Keadaan dan sistem kekuasaan.

Dari segi lingkungan menurut Suratmo (1993) menyatakan

bahwa lingkungan yang digunakan dalam analisis dampak lingkungan

ialah lingkungan hidup. Pengertian lingkungan hidup dapat diartikan

sebagai segala sesuatu di sekitar suatu obyek yang saling

mempengaruhi.

b. Konsekwensi

Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi (1987) menyatakan bahwa

konsekwensi adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam suatu

sistem sosial sebagai hasil pengadopsian atau penolakan suatu inovasi.

Invensi dan difusi yang menjadi perantara menuju tujuan akhir adalah

konsekwensi yang berupa perubahan sosial.

Suatu kondisi yang timbul karena ketidakpastian dengan peluang

kejadian tertentu yang jika terjadi akan menimbulkan konsekuensi

tidak menguntungkan. Lebih jauh lagi resiko pada proyek adalah

“suatu kondisi pada proyek yang timbul karena ketidakpastian dengan

peluang kejadian tertentu yang jika terjadi akan menimbulkan

konsekuensi fisik maupun finansial yang tidak menguntungkan bagi

tercapainya sasaran proyek, yaitu biaya, waktu, mutu proyek”.

(Ibrahimi, 2010)

Terdapat pembagian konsekwensi menurut tingkat dimana

konsekwensi diinginkan atau tidak tergantung pada bagaimana inovasi

mempengaruhi sistem sosial dan mempengaruhi adopter berdasarkan

Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi (1987) yaitu :

a) Konsekwensi fungsional adalah akibat-akibat yang diinginkan dari

penyebaran suatu inovasi dalam suatu sistem sosial. Suatu inovasi

(16)

commit to user

individu tertentu dalam sistem dan kefungsionalan konsekwensi

suatu inovasi juga bergantung pada waktu.

Contoh : Meningkatnya produksi pertanian merupakan salah satu

tipe konsekwensi yang diinginkan dari pengadopsian

inovasi-inovasi pertanian dan dengan penaksiran sekitar 50% varians

dalam produksi pertanian menemukan suatu keinovatifan yang

memberikan sumbangan unik dalam meningkatkan hasil.

b) Konsekwensi disfungsional adalah efek-efek yang tak diinginkan.

Dengan adanya inovasi yang semakin penting, semakin maju dan

semakin modern sehingga agen pembaru menginginkan agar inovasi

itu diadopsi lebih cepat oleh anggota sosial, sehingga akan

menghasilkan konsekwensi.

3. Petani

Petani adalah seseorang yang bergerak di bidang pertanian utamanya

dengan cara melakukan pengelolaan tanah dengan tujuan untuk

menumbuhkan dan memelihara tanaman (seperti padi, bunga, buah dan

lain lain), dengan harapan untuk memperoleh hasil dari tanaman tersebut

untuk digunakan sendiri ataupun menjualnya kepada orang lain. Mereka

juga dapat menyediakan bahan mentah bagi industri, seperti serealia untuk

minuman beralkohol, buah untuk jus, dan wol untuk penenunan dan

pembuatan-pakaian (Wikipedia, 2010).

Soejitno dalam Mardikanto (2009) menyatakan bahwa selaras

dengan pengertiannya yang menjadi sasaran penyuluhan pertanian

terutama adalah petani pengelola usahatani dan keluarganya, yaitu bapak

tani, ibu tani, dan pemuda/ pemudi atau anak-anak petani.

Petani sebagai orang yang menjalankan usahatani mempunyai peran

yang jamak (multiple roles) yaitu sebagai manajer, sebagai juru tani dan

sebagai kepala keluarga. Sebagai kepala keluarga petani dituntut untuk

dapat memberikan kehidupan yang layak dan mencukupi kepada semua

(17)

commit to user

dengan kemampuan mengelola usahatani akan sangat dipengaruhi oleh

faktor didalam dan diluar pribadi petani itu sendiri yang sering disebut

karakteristik sosial ekonomi (Mosher, 1981).

Kay dan William (1999) mengemukakan bahwa peranan di bidang

pertanian selalu menjadi faktor yang utama dalam kelangsungan hidup

manusia. Oleh karena itu terdapat beberapa seseorang (petani) bekerja di

bidang pertanian, yaitu antara lain sebagai berikut :

a. Tenaga kerja tidak hanya pada kegiatan dilapang tetapi dalam sector

pertanian yang luas, sangat diperlukan tenaga terampil dalam

pembuatan mesi-mesin pertanian, peralatan pertanian, serta staf ahli di

bidang peternakan.

b. Bekerja di bidang pertanian menjadi menarik dan diminati banyak

orang karena memberikan harapan bagi petani akan hasil panen yang

nantinya akan diperoleh.

c. Hasil yang diperoleh dari bekerja di bidang pertanian tidak kalah

pentingnya (keuntungan) disbanding dengan bekerja di bidang non

pertanian.

d. Teknologi yang tersedia hanya dalam ukuran atau skala minimum

sehingga ini mendorong petani untuk memperluas produksi dengan

biaya-biaya tetap menyangkut teknologi secara ekonomis dan efisien.

4. Biogas

a. Pengertian Biogas

Biogas merupakan sebuah proses produksi gas bio dari material

organik sperti kotoran hewan, kotoran manusia atau sampah direndam

dalam air dan disimpan di dalam tempat tertutup atau anaerob (tanpa

oksigen dari uara). Proses degradasi material organik ini tanpa

melibatkan oksigen disebut anaerobik digestion. Gas yang dihasilkan

sebagian besar (lebih 50 % ) berupa metana. Material organik yang

terkumpul pada digester (reaktor) akan diuraiakan menjadi dua tahap

(18)

commit to user

Biogas merupakan gas yang berasal dari berbagai macam limbah

organik seperti sampah biomassa, kotoran manusia, kotoran hewan

dapat dimanfaatkan menjadi energi melalui proses anaerobik

digestion. Proses ini merupakan peluang besar untuk menghasilkan

energi alternatif sehingga akan mengurangi dampak penggunaan

bahan bakar fosil. (Suriawiria, 2005)

Biogas sebagian besar mengandung gas metana (CH4) dan karbon

dioksida (CO2), dan beberapa kandungan yang jumlahnya kecil

diantaranya hydrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH3) serta

hydrogen dan (H2), nitrogen yang kandungannya sangat kecil. Energi

yang terkandung dalam biogas tergantung dari konsentrasi metana

(CH4). Semakin tinggi kandungan metana maka semakin besar

kandungan energi (nilai kalor) pada biogas, dan sebaliknya semakin

kecil kandungan metana semakin kecil nilai kalor. (Muryanto,

Pramono, Suprapto, Ekaningtyas, dan Sudadiyono, 2006).

b. Persyaratan bahan baku dan suhu lingkungan

Adapun pendapat dari berbagai sumber Amaru,K., M. Abimayu, DY.

Sari, dan I. Kamelia (2004) mengatakan sebelum merencanakan untuk

membuat alat penghasil biogas, perlu diketahui terlebih dahulu

prasyarat yang perlu dipenuhi. Hal ini penting diperhatikan agar

kerugian tidak terjadi dikemudian hari setelah alatnya dibuat.

Persyaratan yang penting diperhatikan antara lain :

1) Ketersediaan kotoran ternak

Ketersediaan kotoran ternak merupakan syarat yang mutlak harus

dipenuhi. Ketersediaan dalam hal ini tidak hanya berarti

jumlahnya yang mencukupi tetapi juga kelangsungannya

(kontinuitas). Di daerah yang banyak peternakan, hal ini tidak

menjadi masalah karena kotoran mudah diperoleh dalam jumlah

(19)

commit to user

2) Kesesuaian suhu udara

Hal ini penting diperhatikan karena suhu merupakan salah satu

syarat aktifnya bakteri biogas. Suhu yang paling baik untuk

berlangsungnya proses pembentukan biogas ada;lah sekitar

32-37°C. Suhu udara yang terlalu rendah ataupun tinggi kurang baik

untuk pembentukan biogas. Bahkan suhu di bawa 15°C, kecil

kemungkinan terbentuknya biogas. Jika penurunan suhu udaranya

tidak begitu besar, suhu di dalam penghasil biogas masih dapat

dipertahankan dengan mengubur alat tersebut di dalam tanah atau

menimbunnya dengan tumpukan jerami.

c. Persyaratan terbentuknya biogas

Agar proses terbentuknya biogas berjalan sesuai yang diharapkan,

artinya dapat menghasilkan gas methan, maka diperlukan

persyaratan-persyaratan tertentu (Setiawan, 1996) :

1) C/N Rasio, kandungan unsur C (karbon) dan N (nitrogen) yang

dikenal dengan C/N Rasio antara 20 – 25.

2) Kandungan air, bahan baku yang paling baik untuk menghasilkan

biogas adalah bahan yang mengandung 7 – 9 % bahan kering (BK)

atau kandungan airnya 93 – 99 % air.

3) Jasad renik/mikro organisma, Bakteri pembentuk asam antara lain:

Pseudomonas, Escherichia, Flavobacterium, dan Alcaligenes yang

mendegradasi bahan organik menjadi asam-asam lemak.

Selanjutnya asam-asam lemak didegradasi menjadi biogas yang

sebagian besar adalah gas methan oleh bakteri methan antara lain:

Methanobacterium, Methanosarcina, dan Methanococcus.

4) Udara (oksigen), persyaratan yang penting dalam proses

pembuatan biogas, adalah tidak diperlukannya udara sama sekali

(anaerob).

5) Temperatur, proses fermentasi anaerobik dapat berlangsung pada

kisaran 5°C sampai 55°C, sedangkan temperatur optimumnya

(20)

commit to user

6) Derajat Keasaman (pH), kondisi pH paling optimal untuk aktivitas

bakteri ini berkisar antara 6,8 sampai 8.

7) Pengadukan, maksud pengadukan adalah agar bahan baku menjadi

homogen sehingga dapat diproses dengan cepat. Baku yang sukar

dicerna, seperti lignin akan membentuk lapisan kerak pada

permukaan cairan, lapisan ini dapat dipecah dengan alat pengaduk.

8) Bahan penghambat, bahan yang menghambat pertumbuhan

mikroorganisme antara lain, logam berat seperti tembaga,

cadmium, dan kromium. Selain itu desinfektan, deterjen dan

antibiotik.

d. Manfaat dari biogas

Produk akhir dari biogas adalah gas metan yang dapat dimanfaatkan

untuk mendukung kehidupan masyatrakat. Manfaat tersebut ada yang

bersifat langsung dapat digunakan sebagai sumber energy maupun

manfaat tidak langsung yang dapat mendukung sektor lain seperti

lingkungan hidup dan konservasi sumber daya alam dan lain-lain.

1) Manfaat Langsung

a) Sebagai sumber energi untuk memasak

Biogas yang diproduksi oleh satu unit instalansi biogas

dapat digunkan sebagai sumber energi untuk memasak. Satu

unit biogas yang menggunakan bahan baku kotoran ternak

3-4 ekor sapi, mampu menghasilkan biogas setara dengan 3

liter minyak tanah/hari. Produksi biogas ini diperkirakan

mampu untuk memenuhi kebutuhan energi memasak satu

rumah tangga pedesaan dengan 5 anggota keluarga.

Dengan demikian, satu keluarga yang sebelumnya

menggunakan minyak tanah untuk memasak, maka dengan

pemanfaatan biogas dapat menghemat penggunaan nyak

tanah 3 liter/hari. Manfaat biogas sebagai sumber bahan

bakar pengganti minyak tanah dapat diperbesar sesuai dengan

(21)

commit to user

Perhitungan jumlah sapi yang dibutuhkan untuk satu

rumah tangga sebagai berikut. Satu keluarga dengan anggot

keluarga sebanyak 5 orang, kebutuhan biogas yang khusus

untuk memasak adalah sebesar 1,25 m³/hari atau 0,25

m³/hari/orang. Sedangkan tiapa ekor sapi per hari

menghasilkan kotoran sebanyak 10 kg, yang berpotensi dapat

menghasilkan 1,36 m³ biogas, sehingga untuk satu keluarga

membutuhkan 4 ekor sapi, drengan perhitungan perolehan

kotoran ternak sejumlah 40 kg/hari dan akan menghasilkan

biogas sejumlah 1,44 m³/hari. (Sembiring, 2005).

b) Sebagai sumber penerangan

Biogas dapat dimanfaatkan untuk penerangan dengan

cara yang sama seperti pemanfaatan untuk memasak, artinya

kompor sebagai titik akhir penggunaan biogas diganti dengan

lampu. Lampu yang digunakan adalah lampu yang dirancang

khusus, atau lampu petromak yang dimodifikasi. Perbedaaan

lampu ini terletak pada ada tidaknya tabung penampung

biogas sebelum dibakar. Pada lampu yang dirancang untuk

biogas tidak menggunakan tabung penampung, sedangkan

pada lampu petromak yang dimodifikasi, tabung yang sudah

ada dimanfaatkan sebagai tempat penampung biogas.

c) Penghasil pupuk organik siap pakai

Manfaat langsung dari penerapan biogas adalah dapat

menyediakan pupuk organik siap pakai dalam jumlah banyak

sesuai dengan kapasitas digester yang dibangun dan jumlah

bahan baku yang digunakan. Yang dimaksud adalah jika

kotoran ternak tidak dapat langsung digunakan langsung

sebagai pupuk organik, namun perlu menunggu hingga 2

bulan. Apabila kotoran ternak langsung digunakan pupuk

maka tanaman akan mati. Berbeda dengan kotoran yang

(22)

commit to user

diambil gasnya) dapat langsung digunakan sebagai pupuk

organik.

2) Manfaat tidak langsung

a) Mengurangi efek gas rumah kaca

Penerapan biogas dapat membantu pengembangan

sistem pertanian dengan mendaur ulang kotoran ternak untuk

memproduksi biogas dan diperoleh hasil samping berupa

pupuk organik dengan mutu yang baik. Penerapan biogas

dapat mengurangi emisi gas methan yang dihasilkan pada

dekomposisi bahan organik yang diproduksi dari sector

pertanian dan peternakan, karena kotoran sapi tidak dibiarkan

terdekomposisi secara terbuka melainkan difermentasi

menjadi energi biogas.

Gas methan termasuk gas rumah kaca (green housegas),

bersama gas karbondioksida memberikan efek rumah kaca

yang menyebabkan terjadinya fenomena pemanasan global.

Pengurangan gas methan secara local dengan

mengembangkan biogas dapat berperan upaya penyelesaian

permasalahan global efek rumah kaca.

Pemanfaatan biogas dalam mengurangi efek rumah

kaca melalui tiga cara. Pertama biogas memberikan substitusi

dari bahan bakar fosil untuk memasak dan penerangan.

Kedua melalui fermentasi, metahan dirubah menjadi

karbodioksida sehingga mengurangi jumlah methan yang ada

diudara. Ketiga penerapan biogas akan berdampak pada

lestarinya hutan karena penebangan dapat dikurangi. Dengan

lestarinya hutan maka karbondioksoida yang ada diudara

akan diserap oleh hutan dan diproses melalui fermentasi yang

akan menghasilkan oksigen yang berperan untuk melawan

(23)

commit to user

b) Mengurangi polusi bau

Pengembangan biogas mempunyai sifat ramah

lingkungan. Ramah lingkungan disini memiliki pengertian

bahwa penerapan biogas dapat menghilangkan bau yang tidak

sedap. Sebagai contoh, kotoran sapi yang awalnya

mempunyai bau yang tidak sedap, setelah dimanfaatkan

sebagai bahan baku biogas maka hasil akhir dari proses

tersebut merupakan pupuk organik yang tidak berbau.

c) Meningkatkan sanitasi lingkungan dan keindahan

Kotoran ternak dan limbah organik lain apabila tidak

dikelola dengan baik dan berserakan dimana-mana, maka

dapat mengganggu keindahan dan berdampak negatif

terhadap kesehatan warga di lingkungannya. Disamping itu

terdapat kemungkinan bahwa kotoran ternak banyak

mengandung racun dan bakteri Colly yang membahayakan

bagi kesehatan manusia dan lingkungannya. Dengan

penerapan biogas, dampak negative tersebut dapat dikurangi

dan dihilangkan.

d) Mendukung kebijakan pengurangan subsidi BBM

Penerapan biogas di lapangan yaitu ditingkat rumah

tangga petani dalam jumlah banyak dalam satu kawasan

dapat mendukung kebijakan pengurangan subsidi BBM.

e. Cara Kerja Biogas

1) Tahap Penampungan, pengenceran dan pengadukan, pemasukan

bahan baku

Tahap ini terjadi pada tabung penampung bahan baku.

Bahan baku yang diencerkan dengan menambah air hingga

perbandingan antara bahan padat dan cair kira-kira 1:1.

Pengadukan dilakukan sampai merata. Bahan-bahan yang tidak

berguna dan diperkirakan menganggu proses pembuatan biogas

(24)

commit to user

Bahan tersebut dimasikkan ke dalam tabung pemroses atau

degester.

2) Tahap pemrosesan, pengambilan dan pemanfaatan biogas

Tahap ini berlangsung pada tabung pencerna/

pemroses/degester. Bahan baku yang telah diencerkan dan sudah

dibersihkan dari bahan-bahan yang diperkirakan mengganggu

proses terjadinya buogas, dimasukkan ke dalam tabung digester.

Biogas yang dihasilkan berwarna biru dan mempunyai bau yang

khas. Adanya bau ini terkadang member kesan yang tidak higienis

terhadap masakan yang dimasak menggunakan biogas, sebenarnya

tidak masalah. Jadi apabila akan menggunakan biogas untuk

keperuan memasak perlu disiapkan dahulu api pembakarnya

misalnya korek api kemudian dibuka saluran biogasnya sehingga

gas keluar langsung terbakar dan tidak ada bau yang tersebar.

3) Tahap pengambilan sisa limbah setelah diambil gasnya

Tahap ini terjadi pada tabung penampung sisa limbah

setelah diambil gasnya. Sisa bahan yang diambil merupakan sisa

dari limbah yang telah diambil gasnya oleh bakteri methan atau

bakteri biogas, yang bentuknya seperti lumpur. Sisa bahan ini

masih mempunyai kandungan N tinggi. Bahan pembuat biogas

misalnya kotoran ternak memiliki kandungan nitrogen (N) tinggi

disamping C,H dan O. Selama berlangsungnya proses pembuatan

biogas, unsur-unsur yang digunakan adalah unsur-unsur C,H, dan

O dalam bentuk CH4 dan O2, sedangkan unsur nitrogen tetap

bertahandalam sisa bahan.

Oleh karena itu, sisa hasil pemrosesan biogas merupakan

pupuk organik yang kaya nitrogen yang siap pakai dan

mempunyai sifat tidak berbau. Sifat tidak berbau ini, mempunyai

(25)

commit to user B. Kerangka Berfikir

Inovasi pengembangan biogas asal kotoran sapi merupakan salah satu

upaya pemerintah Sukoharjo untuk mengolah limbah ternak (kotoran ternak)

menjadi sesuatu yang bermanfaat. Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari

proses penguraian bahan-bahan organik oleh microorganisme pada kondisi

tanpa udara (anaerob). Inovasi penggunaan biogas diarahkan agar petani mau

beralih dari penggunaan minyak tanah, gas elpiji, kayu bakar ke biogas.

Adapun secara teoritis, manfaat dari biogas untuk petani antara lain

tumbuhnya upaya perbaikan cara berternak agar semakin produktif terutama

dalam pengelolaan kandang dan pengolahan kotoran sapi, memperoleh produk

tambahan berupa pupuk berbentuk padat dan cair yang dapat digunakan

sendiri atau dijual ke petani lainnya sehingga dapat menjadi sumber

penerimaan baru. Manfaat lain yang nantinya juga akan dirasakan bagi

pemerintah yaitu berkurangnya beban anggaran negara terhadap biaya

konsumsi energi khususnya subsidi pada harga BBM.

Teknologi biogas akan menimbulkan suatu dampak. Dampak tersebut

akan dirasakan oleh pengguna yang dapat dilihat dari aspek ekonomi, sosial,

budaya, dan lingkungan. Dilihat dari aspek ekonomi akan mengurangi beban

pengeluaran biaya kehidupan rumah tangga, sebagai contoh kebutuhan 1

kepala keluarga petani terhadap pemakaian minyak tanah sebanyak 2 liter/hari

atau 730 liter/tahun sedangkan harga minyak tanah 1 liter Rp 7000,00/liter. Ini

berarti pengguna reaktor biogas mendapat keuntungan sebesar

Rp 5.110.000,00. Pengembangan biogas juga memberi peluang untuk

menambah pendapatan dari hasil penjualan kompos/pupuk organik. Dari 1

ekor sapi perah dapat diperoleh kompos sekitar 2500kg/tahun, apabila asumsi

harga kompos Rp 400/kg, maka penghasilan per tahun/ekor Rp1.000.000,00,

maka dengan menggunakan biogas petani mendapatkan tambahan pendapatan

dan penghematan minyak tanah sebesar Rp 6.110.000,00.

Dampak pengguna dilihat dari segi sosial yaitu bagaimana respon

(26)

commit to user

dalam menerima inovasi baru dengan mengikuti pertemuan kelompok guna

mengetahui tahapan-tahapan dalam pembuatan biogas atau justru sebaliknya.

Apabila dilihat dari segi budaya maka akan dilihat dari sudut

kepercayaan. Adakalanya suatu daerah atau masyarakat tidak mau menerima

segala sesuatu yang berhubungan dengan inovasi baru sehingga perlu adanya

pendekatan. Pendekatan itu bisa dari personal maupun kelompok sehingga

nantinya jika berhasil akan berdampak pada perubahan budaya.

Penerapan biogas dari segi lingkungan akan sangat berdampak sekali

dengan adanya teknologi biogas yaitu membantu mengurangi emisi gas

methan (CH4) yang dihasilkan pada dekomposisi bahan organik yang

diproduksi dari sektor pertanian dan peternakan karena kotoran sapi tidak

dibiarkan terdekomposisi secara terbuka melainkan difermentasi menjadi

energi biogas. Gas methan merupakan gas rumah kaca (green housegas)

bersama dengan gas karbondioksida memberikan efek rumah kaca yang

menyebabkan terjadinya fenomena pemanasan global. Dengan pengembangan

biogas dapat berperan positif dalam penyelesaian permasalahan global efek

rumah kaca. Dampak lain yang dirasakan yaitu biogas memiliki sifat ramah

lingkungan. Ramah lingkungan disini mempunyai pengertian bahwa

penerapan biogas dapat menghilangkan bau tidak sedap. Sebagai contoh

kotoran sapi yang awalnya mempunyai bau yang tidak sedap, setelah

dimanfaatkan sebagai bahan baku biogas maka hasil akhir dari proses tersebut

merupkan pupuk organik yang tidak berbau.

Tidak hanya dampak positif yang dirasakan dari adanya biogas tetapi

adapula dampak negatif yang dirasakan oleh ptani. Dampak tersebut berupa

penggunaan biogas yang digunakan untuk enam rumah tangga sehingga

mengakibatkan energi gas yang dihasilkan tidak begitu besar. Perawatan yang

begitu sulit juga menjadi faktor penghambat dalam penerapan biogas, jika ada

kerusakan pada instalasi hanya orang yang ahli yang dapat memperbaiki

sehingga membuat instalasi biogas tidak dugunakan lagi.

Berdasarkan adanya dampak yang dirasakan baik dampak positif

(27)

commit to user

terhadap inovasi pengembangan biogas di Kabupaten Sukoharjo. Analisis

dampak tersebut merupakan ungkapan dari masing-masing pengguna

mengenai kepuasan pada program biogas dan kemanfaatan pada umumnya.

Dari uraian di atas, kerangka berpikir yang dapat dibangun adalah

sebagai berikut :

Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir Analisis Dampak Adopsi Inovasi

Program Biogas Pada Petani Di Kabupaten Sukoharjo.

C. Pembatasan Masalah

1. Adopsi inovasi biogas dilihat dari penerapan teknologi biogas yang

meliputi pengoperasian dan pemeliharaan instalasi.

2. Dampak yang dirasakan pada petani dilihat dari ekonomi, sosial, budaya

dan lingkungan dari program biogas.

3. Petani yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah petani yang

menggunakan teknologi biogas dengan jenis limbah ternak dan yang

memiliki jumlah terbanyak dari jenis penerima baik dari individual

maupun kelompok di Kabupaten Sukoharjo.

D. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

1. Adopsi inovasi biogas adalah penerapan teknologi biogas oleh seluruh

petani responden yang terdiri dari proses pengoperasian dan pemeliharaan

instalansi biogas yang dapat dikategorikan menurut masing-masing aspek,

yakni :

· Pengetahuan : tahu atau tidak tahu

· Ketrampilan : sesuai atau tidak sesuai

Dampak dari program biogas pada petani. dilihat dari :

1. Ekonomi

2. Sosial

3. Budaya

4. Lingkungan

(28)

commit to user

a. Proses pengoperasian terdiri dari tiga tahap, yaitu :

1) Tahap penampungan, pengenceran dan pengadukan, pemasukan

bahan baku adalah tahap awal sebelum pembentukan biogas yang

terjadi pada tabung penampung bahan baku, diukur melalui 4

pertanyaan yang menjadi indikator.

2) Tahap pemrosesan, pengambilan dan pemanfaatan biogas adalah

tahap pemrosesan bahan baku hingga terbentuk gas yang dapat

dimanfaatkan oleh petani responden. Tahapan ini berlangsung pada

tabung pencerna/ pemroses/ digester, diukur melalui 11 pertanyaan

yang menjadi indikator.

3) Tahap pengambilan sisa limbah adalah tahap akhir dari pemrosesan

biogas yang berupa sisa limbah yang telah diambil gasnya. Sisa

limbah tersebut dapat digunakan sebagai pupuk organik. Tahapan

ini berlangsung pada tabung penampung sisa limbah, diukur

melalui 5 pertanyaan yang menjadi indikator.

b. Pemeliharaan instalasi biogas adalah pemeliharaan yang dilakukan

untuk menjaga agar instalasi tidak cepat rusak dan umur instalasi dapat

bertahan lama, diukur melalui 5 pertanyaan yang menjadi indikator.

2. Dampak adopsi inovasi biogas adalah akibat yang dirasakan oleh seluruh

petani responden setelah mengadopsi biogas. Analisis dari dampak adopsi

inovasi biogas dapat dilakukan dengan menyimpulkan dampak ekonomi,

sosial, budaya dan lingkungan terhadap seluruh petani responden dan

mengkategorikannya ke dalam 2 kategori, yakni :

· Ada dampak

· Tidak ada dampak.

Dampak adopsi inovasi biogas terdiri dari :

a. Dampak ekonomi adalah akibat dari adanya inovasi teknologi biogas

yang berpengaruh terhadap pengeluaran rumah tangga sebelum dan

sesudah menggunakan biogas.

b. Dampak sosial adalah akibat masuknya teknologi biogas yang

(29)

commit to user

c. Dampak budaya adalah akibat perilaku petani yang berkembang dari

adanya teknologi biogas sehingga berpengaruh terhadap pola pikir

yang nantinya mengubah kebiasaan yang ada pada petani.

d. Dampak lingkungan adalah akibat perubahan kondisi lingkungan dari

(30)

commit to user

1

III. METODE PENELITIAN

A. Metode Dasar Penelitian

Metode dasar penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif.

Metode deskriptif merupakan kegiatan yang bertujuan untuk menjelaskan,

merinci, atau membuat diskripsi terhadap suatu gejala atau obyek yang

diteliti. Dalam arti sempit, penelitian diskriptif diartikan sebagai penelitian

yang hanya menunjukkan gambaran, uraian, atau rincian tentang gejala atau

obyek yang diteliti. Sementara dalam arti luas, penelitian diskriptif juga lebih

jauh menceritakan hubungan atau keterkaitan antar gejala (variabel), serta

seberapa jauh terdapat kesepakatan atas hasil-hasil yang disampaikan

(Mardikanto, 2001). Deskripsi ini dilakukan dengan cara deskripsi kuantitatif

yang pengukurannya dengan menggunakan ukuran kuantitatif.

Penelitian ini menggunakan teknik survai yaitu pengamatan atau

penyelidikan yang kritis untuk mendapatkan keterangan yang sebenarnya dan

baik terhadap suatu persoalan tertentu dan di dalam suatu daerah. Teknik

survai ini mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuisioner

sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun dan Effendi, 2006).

B. Penentuan Lokasi

Lokasi penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sukoharjo. Melalui

Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sukoharjo program biogas diterapkan

karena di Kabupaten Sukoharjo terdapat petani yang menggunakan biogas

dengan bahan baku yang berasal dari kotoran ternak.

C. Metode Penentuan Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang

ciri-cirinya akan diduga ( Singarimbun dan Effendi, 2006 ). Populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh petani yang menggunakan biogas dengan

(31)

commit to user

bahan baku yang berasal dari kotoran ternak dan jenis penerima baik

secara individu maupun kelompok.

Tabel 3.1. Jumlah Petani Yang Mendapat Bantuan Program Biogas

Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sukoharjo, 2010

2. Sampel

Dalam penelitian ini., petani sampel diambil dari masing-masing

kecamatan yang memperoleh bantuan program biogas dengan empat

jumlah terbesar untuk masing-masing petani penerima, baik individu

maupun kelompok. Jumlah petani sampel untuk penerima individu

diambil secara sensus sedangkan untuk jenis penerima kelompok

diambil tiga kelompok dengan jumlah anggota terbanyak, informasi

didapat dari tiga pengurus dan dua anggota sehingga diperoleh jumlah

(32)

commit to user

Tabel 3.2. Sampel Petani Responden

No Jenis

Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sukoharjo, 2010

D. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Data primer dalam penelitian ini meliputi identitas responden, adopsi

inovasi biogas dan dampak dari teknologi biogas. Sumber data primer

adalah petani responden.

2. Data sekunder dalam penelitian ini adalah monografi kabupaten dan data

jumlah petani responden. Sumber data sekunder adalah Badan

Lingkungan Hidup dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Kabupaten Sukoharjo.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan:

1. Wawancara, wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat dalam

pengembangan pemanfaatan kotoran ternak khususnya di Kabupaten

Sukoharjo. Pihak tersebut adalah petani responden yang menggunakan

biogas serta petugas penyuluh yang menangani biogas.

2. Obervasi, teknik observasi dilakukan dengan mengadakan pengamatan

langsung terhadap obyek yang akan diteliti sehingga diperoleh gambaran

yang jelas mengenai obyek yang akan diteliti. Obyek yang diamati adalah

pengoperasian dan pemeliharaan instalasi serta dampak yang diraskan

(33)

commit to user

3. Pencatatan, teknik pencatatan dilakukan dengan mencatat hasil wawancara

pada kuisioner dan mencatat data sekunder dari instansi yang terkait

dengan penelitian. Instasi yang terkait meliputi Badan Lingkungan Hidup

dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sukoharjo.

F. Metode Analisis Data

Untuk menganalisis dampak dari adopsi inovasi program biogas di

Kabupaten Sukoharjo digunakan analisis tabulasi frekuensi (Siegel, 1997).

Analisis tabulasi frekuensi adalah menggambarkan karakteristik sampel

(34)

commit to user

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

A. Keadaan Geografis

Kabupaten Sukoharjo merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah.

Kabupaten Sukoharjo secara geografis terletak antara 110042’ sampai dengan

1100338’ Bujur Timur di antara 7049’sampai dengan 7032’ Lintang Selatan.

Kabupaten Sukoharjo dengan luas 46.666 Ha atau sekitar 1,43% luas wilayah

Propinsi Jawa Tengah. Menurut penggunaan lahan terdiri dari lahan sawah

sebesar 45,62% (21.287 Ha) dan lahan bukan sawah sebesar 54,38%

(25.379 Ha). Adapun secara rinci batas-batas wilayah dari Kabupaten

Sukoharjo adalah sebagai berikut :

Sebelah utara : Kota Surakarta dan Kabupaten Karanganyar

Sebelah timur : Kabupaten Karanganyar

Sebelah selatan : Kabupaten Gunung Kidul (DIY) dan Kabupaten Wonogiri

Sebelah barat : Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten

Secara administrasi Kabupaten Sukoharjo terbagi menjadi 12 kecamatan

yaitu Weru, Bulu, Tawangsari, Sukoharjo, Nguter, Bendosari, Polokarto,

Mojolaban, Grogol, Baki, Gatak, Kartasura dan terdiri dari 167

Desa/Kelurahan. Kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Polokarto yaitu

6.218 Ha (13%), sedangkan yang paling kecil adalah Kecamatan Kartasura

seluas 1.923 Ha (4%) dari luas kabupaten Sukoharjo. Berdasarkan Kantor

Pertanahan, ketinggian tanah di Kabupaten Sukoharjo berada pada 83 mdpl

hingga 693 mdpl. Banyaknya hari dan curah hujan selama tahun 2010 relatif

sama dengan tahun sebelumnya. Selama tahun 2010, curah hujan tertinggi di

Kecamatan Tawangsari sebanyak 4.721 mm, untuk hari hujan terbanyak

terdapat di Kecamatan Sukoharjo sebanyak 176 hari. Adapun luas dan

ketinggian masing-masing kecamatan dapat dilihat dalam Tabel 4.1.

(35)

commit to user

Sumber : Data Kabupaten Sukoharjo Dalam AngkaTahun 2010

Wilayah kecamatan yang terluas adalah kecamatan Polokarto seluas

62,18 m2 dan kecamatan tesempit adalah kecamatan Kartasura seluas 19,23

m2. Ketinggian tanah kecamatan yang paling tinggi adalah kecamatan

Kartasura yaitu 125 mtr dpl dan yang paling rendah adalah kecamatan Grogol

yaitu 93 mtr dpl.

B. Keadaan Penduduk

Keadaan penduduk di suatu daerah menggambarkan kondisi sosial

ekonomi penduduk di daerah tersebut. Berikut ini adalah data keadaan

penduduk di Kabupaten Sukoharjo berdasarkan pada data BPS pada Tahun

2010.

1. Kepadatan Penduduk

Kepadatan penduduk di Kabupaten Sukoharjo dibedakan menjadi

dua macam yaitu kepadatan penduduk geografis dan kepadatan penduduk

agraris. Kepadatan penduduk geografis adalah perbandingan jumlah

penduduk dengan luas wilayah per km2, sedangkan kepadatan penduduk

agraris adalah perbandingan jumlah penduduk dengan luas lahan

pertanian. Kabupaten Sukoharjo dengan luas 46.666 Ha atau seluas 46,666

(36)

commit to user

Sukoharjo berjumlah 846.978 jiwa. Kepadatan penduduk geografis dan

agraris adalah sebagai berikut ini.

Kepadatan Penduduk Geografis 18.149 666

Berdasarkan perhitungan di atas maka dapat diketahui kepadatan

penduduk geografis di Kabupaten Sukoharjo sebesar 18.149 jiwa/ km2.

Kepadatan penduduk agraris sebesar 39 jiwa/ ha.

2. Keadaan Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin

Keadaan penduduk berdasarkan produktivitasnya dapat dilihat dari

umur. Penduduk menurut umur dapat digambarkan menurut jenjang yang

berhubungan dengan kehidupan produktif manusia penduduk

diklasifikasikan sebagai usia belum produktif (0-14 tahun), usia produktif

(15-64 tahun), dan usia non produktif (berumur lebih dari 64 tahun)

(Mantra, 2003). Jumlah penduduk secara keseluruhan di Kabupaten

Sukoharjo sebanyak 846.978 jiwa, sedangkan jumlah penduduk laki-laki

di Kabupaten Sukoharjo adalah sebesar 419.438 jiwa dan jumlah

penduduk perempuan 427.540 jiwa.

Adapun klasifikasi penduduk di Kabupaten Sukoharjo menurut

(37)

commit to user

Tabel 4.2. Penduduk Kabupaten Sukoharjo Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2010

Sumber : Data Kabupaten Sukoharjo Dalam AngkaTahun 2010

Dari tabel 4.2, mengenai jumlah penduduk menurut umur dan jenis

kelamin di Kabupaten Sukoharjo tahun 2010, menunjukkan bahwa

penduduk terbesar yaitu pada usia 30-34 tahun, yaitu sebesar 8,36 % atau

sejumlah 70.786 jiwa. Umur 30-34 tahun tergolong dalam usia produktif

dalam pengertian secara umum mampu bekerja atau berproduktivitas,

sehingga penduduk yang memasuki usia produktif mampu memberikan

kontribusi terhadap pembangunan sosial, ekonomi, dan budaya di

Kabupaten Sukoharjo.

Penduduk yang berusia 60 tahun atau lebih dari 60 tahun sejumlah

97.779 jiwa atau sebesar 11,56 %. Usia tersebut termasuk dalam kategori

usia non produktif, sehingga kisaran usia tersebut akan menurunkan

kemampuan fisik dan mental untuk mampu bekerja, dengan demikian

penduduk dengan kelompok umur tersebut menjadi beban tanggungan

bagi kelompok usia produktif. Jumlah usia produktif yaitu penduduk

(38)

commit to user

non produktif yaitu penduduk dengan kelompok usia 0-14 dan 60 tahun ke

atas sebesar 301.620 jiwa.

Angka beban tanggungan (ABT) di Kabupaten Sukoharjo adalah

sebagai berikut :

Berdasarkan perhitungan Angka Beban Tanggungan tersebut

diketahui besarnya Angka Beban Tanggungan yaitu sebesar 55,31. Artinya

dalam setiap 100 penduduk usia produktif menanggung 55 penduduk usia

non produktif. Angka Beban Tanggungan di Kabupaten Sukoharjo

tergolong sedang karena dalam 100 penduduk usia produktif harus

menanggung 55 penduduk usia non produktif. Jumlah penduduk yang

produktif atau bekerja lebih banyak daripada jumlah penduduk yang non

produktif atau tidak bekerja sehingga penduduk yang produktif harus

mampu memenuhi kebutuhannya sendiri maupun kebutuhan bagi usia non

produktif yang menjadi tanggungan mereka, baik kebutuhan primer

maupun kebutuhan yang lain. Penduduk usia non produktif di Kabupaten

Sukoharjo umumnya sudah menjadi tanggungan dalam keluarga

masing-masing, sehingga hal ini tidak begitu mempengaruhi tingkat kesejahteraan

penduduk dari jumlah penduduk usia non produktif atau usia lansia.

3. Keadaan Penduduk Menurut Jenis Kelamin

Penduduk Kabupaten Sukoharjo berjumlah 846.978 jiwa, yang

terdiri dari 419.438 penduduk laki-laki dan 427.540 penduduk perempuan.

Berdasarkan angka tersebut, maka dapat dihitung sex ratio. Sex ratio

adalah perbandingan jumlah penduduk laki-laki dengan jumlah penduduk

perempuan, Jika sex ratio kurang dari 100 maka jumlah penduduk laki-laki

lebih sedikit dari jumlah penduduk perempuan. Jika sex ratio sama dengan

100 maka jumlah penduduk laki-laki sama dengan jumlah penduduk

(39)

laki-commit to user

laki lebih banyak dari penduduk perempuan. Adapun perhitungan sex ratio

adalah sebagai berikut ini :

Sex ratio = Jumlah penduduk laki-laki x 100

Jumlah penduduk perempuan

= 419.438 x 100 = 98,10 = 98 427. 540

Berdasarkan perhitungan di atas diketahui besarnya sex ratio sebesar

98, artinya dalam setiap 100 orang penduduk laki-laki terdapat 98 orang

penduduk perempuan. Jumlah penduduk perempuan lebih banyak

dibandingkan jumlah penduduk laki-laki meskipun dengan selisih yang

tidak besar. Apabila angka SR (Sex Ratio) di bawah 100, maka dapat

menimbulkan berbagai masalah, dimana berarti di wilayah tersebut

kekurangan penduduk laki-laki, sehingga berakibat terjadinya kekurangan

tenaga kerja laki-laki untuk melaksanakan pembangunan atau masalah lain

yang berhubungan dengan perkawinan. Hal ini dapat terjadi apabila di

suatu daerah banyak penduduk laki-laki yang meninggalkan daerah atau

kematian banyak terjadi pada penduduk laki-laki (Mantra, 2003).

Angka sex ratio dapat digunakan untuk mengetahui jumlah tenaga

kerja yang tersedia. Pada umumnya, pekerjaan di bidang pertanian lebih

banyak peran kaum laki-laki, namun tidak menutup kemungkinan kaum

perempuan juga berperan dalam bidang pertanian. Umumnya kaum

perempuan lebih banyak berperan dalam hal menggarap lahan sawah

dengan kecenderungan melakukan pekerjaan yang lebih ringan dari

pekerjaan kaum laki-laki, seperti menanam, menyebar benih dan

memelihara tanaman (membersihkan gulma). Tenaga kerja wanita di

Kabupaten Sukoharjo tidak hanya di sektor pertanian saja melainkan di

beberapa sektor seperti industri, pedagang, dan wiraswasta.

4. Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan faktor penting dalam menunjang kelancaran

(40)

commit to user

akan mudah untuk mengadopsi suatu inovasi baru sehingga akan

memperlancar proses pembangunan. Sebaliknya masyarakat yang

memiliki tingkat pendidikan rendah akan sulit untuk mengadopsi suatu

inovasi baru sehingga dalam hal ini akan mempersulit pembangunan.

Tingkat pendidikan di suatu wilayah menjadi cerminan keadaan suatu

wilayah, karena biasanya penduduk dengan tingkat pendidikan tinggi akan

lebih mudah menerima dan menganalisis suatu inovasi. Orang yang

berpendidikan tinggi cenderung berpikir lebih rasional dan umumnya lebih

mudah menerima pembaharuan. Keadaan penduduk di Kabupaten

Sukoharjo menurut pendidikan dapat dilihat dalam tabel 4.3

Tabel 4.3. Keadaan Penduduk menurut Tingkat Pendidikan di Kabupaten Sukoharjo

Jenjang Pendidikan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

Tidak/Belum Pernah Sekolah 56.557 9,04

Tidak/Belum Tamat SD 60.882 9,73

Tamat SD/MI 135.333 21,63

Sumber : Data Kabupaten Sukoharjo Dalam AngkaTahun 2010

Berdasarkan tabel 4.3 mengenai keadaan penduduk menurut tingkat

pendidikan di Kabupaten Sukoharjo menunjukkan bahwa sebesar 9,04 %

tidak/belum pernah sekolah. Penduduk yang tidak/belum tamat SD sebesar

9,73 %, tamat SD/MI sebesar 21,63 %, tamat SLTP/MTS sebesar 22,81 %,

tamat SLTA/MA sebesar 27,95 %, tamat Akademi/Diploma sebesar

2,69 % dan tamat Perguruan Tinggi sebesar 6,15 %. Dari data tersebut,

dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan penduduk di Kabupaten

Sukoharjo dapat dikatakan sedang, karena rendahnya persentase penduduk

yang tidak bersekolah. Banyaknya penduduk yang menyadari kebutuhan

akan pentingnya pendidikan, akan membuat penduduk untuk

(41)

commit to user

pendidikan masyarakat yang tinggi, akan berpengaruh terhadap sikap

mereka terhadap perubahan dalam hal sosial, budaya dan ekonomi serta

adanya inovasi yang berkembang di tengah masyarakat.

C. Keadaan Pertanian dan Peternakan

Kabupaten Sukoharjo merupakan salah satu kabupaten penyangga

pangan di Jawa Tengah, sehingga produktivitas tanaman pangan terutama

padi terus dipacu. Keadaan pertanian di Kabupaten Sukoharjo meliputi

penggunaan lahan pertanian, dan kelembagaan pertanian.

1. Penggunaan Lahan Pertanian

Kegiatan pertanian mempunyai peranan penting dalam memenuhi

kebutuhan pangan. Kondisi pertanian yang baik harus didukung dengan

ketersediaan lahan pertanian yang cukup, inovasi atau teknologi yang tepat

guna dan sumber daya manusia yang baik. Luas penggunaan lahan

pertanian di Kabupaten Sukoharjo dapat dilihat pada tabel 4.4.

Tabel 4.4. Luas Penggunaan Lahan Pertanian di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2010

Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase(%)

a. Tanah Sawah

Sumber: Data Kabupaten Sukoharjo Dalam AngkaTahun 2010

Penggunaan lahan pertanian di Kabupaten Sukoharjo yang terbesar

adalah perkebunan yaitu seluas 25.237 Ha yang menghasilkan kelapa,

tebu, kapuk dan mete. Luas penggunaan lahan di Kabupaten Sukoharjo

untuk lahan sawah berpotensi untuk budidaya tanaman padi.

2. Keadaan Peternakan

Peternakan di Kabupaten Sukoharjo diusahakan sebagai tabungan

atau usaha sampingan. Hewan ternak dapat dimanfaatkan untuk

pemenuhan kebutuhan gizi seperti daging dan telur yang merupakan

sumber protein hewani. Hewan ternak dapat dimanfaatkan tenaganya

Gambar

Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir Analisis Dampak Adopsi Inovasi
Tabel 3.1. Jumlah Petani Yang Mendapat Bantuan Program Biogas
Tabel 3.2. Sampel  Petani Responden
Tabel 4.1. Luas dan Ketinggian Tanah menurut Kecamatan di Kabupaten  Sukoharjo Tahun 2010
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini menyatakan bahwa usulan PKM Teknologi saya dengan judul : “Implementasi Sistem Biogas dari Kotoran Hewan Ternak untuk Menanggulangi Kelangkaan LPG dan

Padahal limbah bekas media jamur merang tersebut dengan penambahan kotoran ternak hasil fermentasi biogas melalui sentuhan teknologi sederhana dengan penambahan

Penelitian yang akan dilakukan meliputi penentuan produktivitas biogas dan efektifitas bioreaktor dalam menghasilkan biogas dengan bahan baku kotoran sapi menggunakan model

[1] bio-slurry atau hasil samping biogas berasal dari kotoran ternak yang dicampur dengan air yang telah melalui proses fermentasi yang terjadi di dalam digester biogas

Pembuatan biogas dapat dilakukan dengan menggunakan bahan dasar berupa kotoran ternak, di samping murah dan mudah didapat, ada manfaat ganda yang dapat diperoleh dari

Hasil kegiatan menunjukkan bahwa kegiatan sosialisasi dengan tema pemanfaatan kotoran ternak sapi menjadi biogas mendapatkan respon yang baik dari semua

Bahan baku (raw material) reaktor biogas adalah kotoran ternak yang komposisi padat cairnya sesuai yaitu 1 berbanding 3. Pada peternakan sapi perah komposisi padat cair

Bahan baku yang biasa dijadikan biogas adalah kotoran ternak, air dan limbah limbah yang dihasilkan dari produk samping pertanian dan pemanfaatan batang pohon pisang dapat dijadikan