commit to user
ANALISIS DAMPAK ADOPSI INOVASI PROGRAM BIOGAS
PADA PETANI DI KABUPATEN SUKOHARJO
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Guna Mempereoleh Derajat Sarjana Pertanian
di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta
Jurusan/Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian (PKP)
Disusun Oleh :
Dina Dwi Eastriati
H 0407031
Dosen Pembimbing:
1. Ir. Sugihardjo, MS
2. D. Padmaningrum, SP, MSi
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Biogas berasal dari kata bios artinya hidup sedangkan gas adalah sesuatu
yang keluar dari tungku atau dari perapian atau tabung, yang dihasilkan oleh
makhluk hidup melalui proses tertentu. Proses yang dimaksud adalah proses
fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob atau bakteri yang
hidup dalam kondisi kedap udara. Biogas memiliki sifat mudah terbakar,
sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah
atau Liquid Protelum Gas (LPG) untuk memasak dan untuk penerangan
(Muryanto, 2006).
Bahan baku utama pembuat biogas adalah limbah yang berasal dari
bahan organik, namun hanya bahan organik yang homogen yang dapat
menghasilkan biogas seperti kotoran ternak. Hasil kotopran yang dihasilkan
dari dua ekor sapi sebanyak 1,4 kg/hari sudah dapat digunakan sebagai bahan
baku pembuatan biogas. Kotoran dua ekor sapi juga dapat menghasilkan 0,46
kg gas LPG; 0,52 liter minyak diesel (solar); 0,8 litergasoline (bensin); 1.1
liter alkohol; 1,4 kg batubara; 4.7 kWh listrik dan 3,5 kg kayu bakar.
Pengembangan biogas mulai mendapat perhatian baik dari pemerintah
maupun masyarakat setelah dikeluarkannya kebijakan pemerintah dalam
mengurangi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). BBM pada tahun 2011
mengalami kelonjakan harga yang sangat tinggi, BBM dan LPG mengalami
kenaikan harga sampai Rp. 81.000/12 kg, minyak tanah menjadi mahal yaitu
sekitar Rp. 7.000/ltr, dan pupuk juga mengalami kelangkaan. Akibat adanya
kelonjakan harga maka pemerintah mulai mencanangkan teknologi biogas
yang ramah lingkungan dan memiliki banyak manfaat baik yang langsung
maupun tidak langsung. Manfaat langsung yang dapat dirasakan yaitu sebagai
sumber energi untuk memasak, penghasil pupuk organik siap pakai, sebagai
sumber energi untuk penerangan. Manfaat tidak langsungnya yaitu
commit to user
sanitasi lingkungan dan keindahan, meningkatkan pendapatan usaha serta
mendukung kebijakan pengurangan subsidi BBM.
Melihat manfaat biogas yang begitu besar maka dari Badan Lingkungan
Hidup Sukoharjo mendukung program biogas dengan cara memperkenalkan
dan memberikan pelatihan mengenai biogas kepada petani. Materi tersebut
berupa pengenalan mengenai biogas, manfaat, cara pembuatan instalasi biogas
dan cara kerja untuk menghasilkan biogas. Prinsip pembuatan instalasi biogas
adalah menampung limbah organik yang berupa kotoran ternak, kemudian
memproses limbah tersebut dan mengambil gasnya. Hasilnya dimanfaatkan
sebagai sumber energi serta menampung sisa hasil pemrosesan yang dapat
dipergunakan sebagai pupuk organik. Dalam proses ini dibutuhkan tiga tabung
yaitu tabung penampung bahan baku, tabung pemroses/pencerna/digester dan
tabung penampung sisa hasil pemrosesan. Bahan pembuat tabung dapat
berasal dari bata merah, plastik, drum bekas baik dari seng atau dari plastik.
Sosialisasi program biogas mengakibatkan terjadinya proses adopsi
inovasi baru di Kabupaten Sukoharjo. Adanya pengaruh penerapan teknologi
biogas akan menimbulkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam suatu
sistem sosial sehingga akan timbul dampak. Dampak yang ditimbulkan dari
adanya teknologi baru tidak selalu menguntungkan, adapula kerugian yang
dirasakan. Keuntungan yang dirasakan dengan menerapkan teknologi biogas
pada daerah yang memiliki peternakan dapat memberikan keuntungan
ekonomis apabila dilakukan perancangan yang tepat dari segi teknis dan
operasionalnya. Keuntungan lain yang akan dirasakan pemerintah dengan
menggalakkan program biogas yaitu dapat meminimalisir pengeluaran untuk
pembelian minyak mentah serta bahan bakan bakar minyak yang harganya
semakin melonjak tinggi. Biogas di sisi lain juga memberikan konsekwensi
bagi petani yaitu perawatan yang dilaksanakan secara rutin agar instalansi
tidak mudah rusak.
Program biogas di Kabupaten Sukoharjo merupakan program bantuan
commit to user
mengenai energi alternatif yang dilaksanakan sejak tahun 2007 dan tersebar di
12 kecamatan.
B. Rumusan Masalah
Biogas yang dilaksanakan di Kabupaten Sukoharjo merupakan suatu
inovasi yang dilakukan sebagai optimalisasi terhadap kegiatan pemanfaatan
sumber daya alam potensial di lingkungan masyarakat serta pengefektifan
energi. Program biogas di Kabupaten Sukoharjo sudah dilaksanakan sejak
tahun 2007. Teknologi biogas merupakan energi alternatif yang ramah
lingkungan dan dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar
minyak yang mahal. Tentunya kegiatan ini diharapkan akan berdampak positif
bagi pengguna sehingga nantinya diharapkan terjadi perubahan terencana
menuju kondisi kehidupan yang lebih diharapkan dengan memanfaatkan
segala sumber daya yang dimiliki. Kegiatan awal yang dilakukan adalah
meyakinkan masyarakat agar beralih dari penggunaan BBM ke biogas yang
ramah lingkungan.
Inovasi ini diharapkan dapat diterima oleh masyarakat yang berlanjut
dengan menerapkan teknologi tersebut pada skala rumah tangga. Secara
teoritis menurut Rogers dalam Hanafi (1987) mengatakan bahwa dalam suatu
program penerapan teknologi kemungkinan akan terjadi penerimaan atau
penolakan terhadap inovasi tersebut. Penerimaan atau penolakan suatu inovasi
adalah suatu keputusan yang dibuat oleh seseorang, jika menerima inovasi
maka akan menggunakan ide atau gagasan baru. ”Baru” dalam ide inovatif
tidak berarti harus baru sama sekali.
Seperti halnya dalam pengaplikasian teknologi biogas, dimungkinkan
ada kendala yaitu dana yang dibutuhkan untuk pembuatan instalasi sangatlah
besar (untuk kontruksi instalasi biogas yang terbuat dari batu bata bisa
mencapai 12 juta, instalasi yang terbuat dari drum biayanya sebesar
Rp 2.000.000,00 dan yang terbuat dari plastik Rp 500.000,00) sedangkan dana
yang disediakan oleh pemerintah terbatas. Selain itu publikasi mengenai
teknologi biogas hanya sebatas pada pengembangan dari penemu teknologpi
commit to user
Lingkungan Hidup sehingga untuk masyarakat umum tidak mengetahui akan
adanya inovasi teknologi baru. Dari kendala selama ini diharapkan ke
depannya pemerintah lebih memperhatikan kemunculan dari
teknologi-teknologi baru yang menguntungkan bagi negara sehingga nantinya dapat
menjadi alternatif pengganti untuk penghasil energi. Dari adanya kendala
yang ditimbulkan maka adopsi inovasi biogas kemungkinan menimbulkan
dampak positif ataupun dampak negatif.
Berdasarkan uraian tersebut, belum banyaknya penelitian mengenai
dampak dari adopsi suatu inovasi maka penelitian ini mengangkat
permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana adopsi inovasi program biogas pada petani di Kabupaten
Sukoharjo?
2. Bagaimana dampak ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan akibat dari
adanya adopsi inovasi biogas pada petani di Kabupaten Sukoharjo?
C. Tujuan Penelitian
Selaras dengan permasalahan yang dirumuskan diatas, maka penelitian
ini bertujuan untuk :
1. Mengkaji adopsi inovasi program biogas pada petani di Kabupaten
Sukoharjo.
2. Mengkaji dampak ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan yang
diakibatkan dari adanya adopsi biogas pada petani di Kabupaten
Sukoharjo.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah:
1. Bagi peneliti, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di
Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bagi pemerintah dan instansi terkait, diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang terkait dengan bidang
commit to user
3. Bagi petani, dapat memanfaatkan program yang telah diberikan
pemerintah ataupun instansi yang terkait.
4. Bagi peneliti lain, dapat dijadikan referensi informasi untuk meneliti lebih
commit to user
I. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Adopsi dan Inovasi
Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Hanafi (1981) mengemukakan
bahwa adopsi adalah proses perubahan baik berupa pengetahuan
(cognitive), sikap (affective), maupun ketrampilan (psikomotorik) pada diri
seseorang setelah menerima pesan yang disampaikan oleh penyuluh
kepada sasarannya, untuk mengadopsi suatu inovasi memerlukan jangka
waktu tertentu sampai terjadi adopsi. Inovasi menurut Hanafi (1981)
merupakan gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh
seseorang. Ide tersebut betul-betul baru atau tidak, jika diukur dengan
selang waktu sejak digunakannya atau ditemukannya pertama kali.
Kebaruan inovasi itu diukur secara subyektif, menurut pandangan individu
yang menangkapnya.
Inovasi adalah suatu gagasan, metode atau obyek yang dianggap
sebagai sesuatu yang baru tetapi tidak selalu merupakan hasil dari
penelitian mutakhir (Van Den Ban dan Hawkin, 1999).
Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa pengertian inovasi tidak
hanya terbatas pada benda atau barang hasil dari produksi saja tetapi
mencakup idiologi, kepercayaan, sikap hidup, informasi, perilaku atau
gerakan-gerakan menuju kepada proses perubahan di dalam segala bentuk
tata kehidupan masyarakat. Dengan demikian pengertian inovasi dapat
diperluas menjadi ’’sesuatu ide, perilaku, produk, informasi dan
praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima dan digunakan atau
diterapkan atau dilaksanakan oleh sebagian masyarakat dalam suatu
lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya
perubahan-perubahan disegala aspek kehidupan masyarakat demi selalu
terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu hidup individu dan seluruh warga
masyarakat yang bersangkutan’’.
commit to user
Menurut Lionberger dalam Mardikanto (1996), beberapa faktor yang
mempengaruhi seseorang untuk mengadopsi inovasi meliputi :
a. Luas usahatani, semakin luas usaha biasanya semakin cepat
mengadopsi, karena memiliki kemampuan ekonomi yang baik.
b. Tingkat pendapatan, seperti halnya tingkat luas usahatani, petani
dengan tingkat pendapatan yang semakin tinggi biasanya akan semakin
cepat mengadopsi inovasi.
c. Keberanian mengambil resiko, sebab pada tahap awal biasanya tidak
selalu beerhasil seperti yang diharapkan karena itu individu yang
memiliki keberanian mengambil resiko biasanya lebih inovatif.
d. Umur, semakin tua (diatas 50 tahun), biasanya semakin lamban
mengadopsi inovasi, dan cenderung hanya melaksanakan
kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan masyarakat setempat.
e. Tingkat partisipasinya dalam kelompok/organisasi di luar
lingkungannya sendiri. Partisipasi petani didefinisikan sebagai ekspresi
yang berwujud perilaku petani dalam menampilkan dirinya pada
kegiatan atau segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingannya.
Sebagai perilaku tentunya partisipasi itu timbul karena adanya persepsi
terhadap kegiatan tersebut, tertanam pada setiap petani melalui proses
sosialisasi dalam interaksi sosial yang terjadi di masyarakat tersebut.
Warga masyarakat yang suka bergabung dengan orang-orang di luar
sistem sosialnya sendiri, umumnya lebih inovatif disbanding mereka
yang hanya melakukan kontak pribadi dengan masyarakat setempat.
f. Aktivitas mencari informasi atau ide-ide baru.
g. Sumber informasi yang dimanfaatkan dapat beerupa lembaga
pendidikan/perguruan tinggi, lembaga penelitian, dinas-dinas terkait,
media massa, tokoh masyarakat petani setempat maupun dari luar,
maupun lembaga-lembaga komersial.
Soekartawi (1988) mengatakan bahwa cepat tidaknya proses adopsi
inovasi sangat tergantung dari karakter dari responden. Beberapa hal
commit to user
a. Umur
Makin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu
apa yang belum mereka ketahui, sehingga mereka berusaha untuk lebih
cepat melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka masih
belum berpengalaman dalam soal adopsi inovasi tersebut. Lebih lanjut
dikatakan oleh Soetrisno (1998) bahwa sebagian besar petani di
Indonesia berusia sekitar 25 sampai dengan 54 tahun, sementara
Mardikanto (1996) mengatakan bahwa semakin tua (diatas 50 tahun)
biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi.
b. Pendidikan
Mereka yang berpendidikan tinggi adalah relatif lebih cepat dalam
melaksanakan adopsi inovasi. Begitupula sebaliknya mereka yang
berpendidikan rendah, mereka agak sulit untuk melaksanakan adopsi
inovasi dengan cepat. Sedangkan menurut Hernanto (1984) tingkat
pendidikan petani baik formal maupun non formal akan mempengaruhi
cara berpikir yang diterapkan pada usahataninya yaitu dalam
rasionalitas usahanya dalam memanfaatkan setiap kesempatan
ekonomi yang ada. Suhardiyono (1992) menjelaskan bahwa para ahli
pendidikan mengenal sumber pengetahuan, yaitu :
1) Pendidikan informal
Adalah proses pendidikan yang panjang diperoleh dan
dikumpulkan oleh seseorang, berupa ketrampilan, sikap hidup dan
segala sesuatu yang diperoleh dari pengalaman pribadi sehari-hari
dari kehidupannya di dalam masyarakat.
2) Pendidikan formal
Adalah struktur dari suatu sistem pelajaran yang kronologis dan
berjenjang lembaga pendidikan mulai dari prasekolah sampai
commit to user
3) Pendidikan non formal
Adalah pengajaran sistematis yang diorganisir dari luar sistem
pendidikan formal bagi sekelompok orang untuk memenuhi
keperluan khusus. Salah satu contoh pendidikan non formal ini
adalah penyuluhan pertanian.
c. Sistem kepercayaan tertentu (diagtotisme)
Makin tertutup suatu sistem sosial dalam masyarakat dalam sentuhan
luas, misalnya sentuhan teknologi, maka makin sulit pula anggota
masyarakatnya untuk melakukan adopsi inovasi.
d. Karakteristik psikologi
Karakteristik psikologi dari calon adopter anggota masyarakat
disekitarnya juga menentukan cepat tidaknya suatu adopsi inovasi. Bila
karakter itu mendukung situasi yang memungkinkan adanya adopsi
inovasi, maka proses adopsi inovasi itu akan berjalan lebih cepat.
Lionberger dalam Mardikanto (1996) mengemukakan beberapa faktor
yang mempengaruhi kecepatan seseorang untuk mengadopsi inovasi :
a. Tingkat pendapatan, petani dengan tingkat pendapatan semakin tinggi
biasanya akan cepat mengadopsi inovasi. Penerimaaan usahatani atau
pendapatan akan mendorong petani untuk kegiatan produktif (biaya
produksi periode selanjutnya), biaya konsumtif (untuk pangan, papan,
kesehatan, pendidikan, rekreasi dan pajak), pemeliharaan investasi
serta tabungan dan investasi. Adapun biaya hidup tersebut diperoleh
dari berbagai sumber, antara lain dari sumber usahatani sendiri, sumber
usaha lain di bidang pertanian seperti halnya upah tenaga kerja pada
usahatani lain dan pendapatan dari luar usahatani (Hernanto, 1993)
b. Tingkat partisipasinya dalam kelompok atau organisasi di luar
lingkungannya sendiri. Warga masyarakat yang suka bergabung
dengan orang-orang di luar sistem sosialnya sendiri, umumnya lebih
inovatif dibanding mereka yang hanya melakukan kontak pribadi
commit to user
c. Beraktivitas mencari informasi dan ide-ide baru. Golongan masyarakat
yang aktif mencari informasi dan ide-ide baru, biasanya lebih inovatif
dibanding orang-orang yang pasif apalagi yang selalu skeptic terhadap
sesuatu yang baru.
d. Sumber informasi yang dimanfaatkan. Golongan yang inovatif,
biasanya banyak memanfaatkan beragam sumber informasi, seperti
lembaga pendidikan, lembaga penelitian, dinas-dinas terkait, media
massa, tokoh masyarakat setempat maupun dari luar lembaga-lembaga
komersial (pedagang). Golongan yang kurang inovatif umumnya
hanya memanfaatkan informasi dari tokoh-tokoh setempat dan relatif
sedikit memanfaatkan informasi dari media massa.
Menurut Madigan dalam Cruz (1987) petani yang mencapai
pendidikan lebih tinggi mempunyai tingkat adopsi yang lebih tinggi
daripada mereka yang mencapai tingkat pendidikan yang lebih rendah.
Seorang agen pembaharu mendapatkan hasil yang terbaik ketika
berhadapan dengan orang yang tingkat pendidikannya lenih tinggu.
Proses adopsi inovasi merupakan proses mental yang terjadi pada
petani pada saat menghadapi suatu inovasi yaitu proses penerapan suatu
ide baru sejak diketahui sampai proses penerapan. Pada proses adopsi akan
terjadi perubahan perilaku sasaran dan dipengaruhi oleh banyak faktor
serta selalu terkait antara satu dengan yang lainnya (Junaidi, 2007).
Masyarakat akan berpartisipasi dalam suatu inovasi apabila mereka
merasa aktivitas tersebut penting. Cara agar hal ini dapat diterima secara
efektif adalah masyarakat sendiri dapat menentukan suatu kegiatan dan
menentukan seberapa penting hal tersebut bagi mereka dari pada orang
luar mengatakan apa yang harus mereka lakukan. Salah satu kunci dalam
suksesnya mengatur suatu komunitas adalah pemilihan suatu inovasi
(Jim Ife, 1995).
Adopsi teknologi baru hanya dapat berkembang secara cepat apabila
masyarakat atau petani yang menerima memiliki dasar pendidikan/
commit to user
Menurut Rogers dan Shoemaker (1973) dalam Mardikanto (1993)
menyatakan bahwa proses adopsi pasti melalui tahapan-tahapan sebelum
masyarakat mau menerima atau menerapkan dengan keyakinannya sendiri,
tahapan-tahapan adopsi :
a. Awarenes atau tahap kesadaran yaitu dimana seseorang mengetahui
adanya ide-ide baru tetapi kekurangan informasi mengenai hal itu.
b. Interest atau tahap menaruh minat yaitu dimana seseorang mulai
menaruh minat terhadap inovasi dan mencari informasi lebih banyak
mengenai inovasi tersebut.
c. Evaluation atau tahap penilaian yaitu dimana seseorang mengadakan
penilaian terhadap ide baru tersebut dihubungkan dengan situasi
dirinya sendiri saat ini dan masa mendatang dan menentukan
mencobanya atau tidak.
d. Trial atau tahap percobaan yaitu dimana seseorang menerapkan ide-ide
baru tersebut dalam skala kecil untuk menentukan kegunaannya,
apakah sesuai dengan keadaan dirinya.
e. Adoption atau tahap menerapkan yaitu dimana seseorang
menggunakan ide-ide tersebut secara tetap dalam skala yang luas.
2. Dampak dan Konsekwensi
a. Dampak
Suratmo (2002) mengatakan bahwa dampak diartikan sebagai
adanya suatu benturan antara dua kepentingan, yaitu kepentingan
pembangunan proyek dengan kepentingan usaha melestarikan kualitas
lingkungan yang baik. Dampak di sini tidak hanya dampak negatif
tetapi juga dampak positif. Dampak yang diduga tersebut merupakan
perbedaaan nilai lingkungan atau nilai suatu sumberdaya di masa yang
akan datang antara lingkungan tanpa proyek dan lingkungan dengan
proyek.
Menurut Soemarwoto (2001), mengatakan bahwa dampak
commit to user
Aktivitas tersebut dapat bersifat ilmiah, baik kimia, fisik, maupun
biologi. Aktivitas dapat pula dilakukan oleh manusia.
Adanya ANDAL (Analisis Dampak Lingkungan) akan
menimbulkan keuntungan bagi masyarakat, yaitu :
1) Dapat mengetahui rencana pembangunan di daerahnya, hingga
dapat mempersiapkan diri di dalam penyesuaian kehidupan apabila
diperlukan.
2) Mengetahui perubahan lingkungan di masa sesudah proyek
dibangun hingga dapat memanfaatkan kesempatan yang dapat
menguntungkan dirinya dan menghindarkan diri dari kerugian yang
dapat diderita akibat adanya proyek.
3) Turut serta dalam pembangunan di daerah sejak dari awal
khususnya di dalam memberikan masukan informasi atau ikut
langsung di dalam membangun dan menjalankan proyek.
4) Pemahaman hal ikhwal mengenai proyek secara jelas akan ikut
menghindarkan timbulnya kesalahpahaman hingga dapat
menggalang kerjasama yang saling menguntungkan.
5) Mengetahui hak dan kewajiban di dalam hubungan dengan proyek
tersebut khususnya hak dan kewajiban di dalam ikut menjaga dan
mengelola kualitas lingkungan.
Menurut Gunarwan (1993) mengatakan bahwa terdapat
pendugaan dampak yaitu dari aspek ekonomi, diantaranya :
1) Dalam masyarakat sering terdapat hal-hal yang merupakan masalah
yang kritis dan sensitif bagi masyarakat setempat dan hal tersebut
akan berbeda di tempat lain. Hal-hal tersebut harus diketahui
karena dampak yang akan terjadi merupakan hal yang kritis dan
sensitif akan selalu dinilai dampak besar.
2) Komponen-komponen dalam aspek ini perlu dikategorikan
keadaannya ke dalam keadaan yang baik, marginal dan kritis.
Penilaian dampak pada komponen yang berbeda keadaannya akan
commit to user
3) Dampak tidak langsung juga dapat besar pada aspek sosial
ekonomi baik yang datang dari aspek fisik, biologi maupun sosial
budaya sehingga perlu pendugaan dampak tak langsung secara
cermat.
4) Dampak yang perlu diperhatikan adalah yang terjadi berurutan.
Misalnya meningkatnya pendapatan akan menimbulkan
peningkatan gizi makanan, kemudian akan meningkatkan
kesehatan dan juga meningkatnya permintaan akan barang,
pendidikan dan jasa lainnya. Dampak pada satu komponen sosial
ekonomi juga dapat menimbulkan dampak hubungan antar manusia
sehingga dapat menimbulkan perpindahan mata pencaharian,
perpindahan tempat pemukiman, mobilitas dan lainnya.
5) Pada aspek ekonomi belum banyak model matematika yang dapat
digunakan untuk Amdal.
Sudhartho (1997) mengatakan bahwa dampak sosial muncul
ketika terdapat aktivitas proyek, program atau kebijaksanaan yang
akan diterapkan pada suatu masyarakat. Bentuk intervensi ini (karena
aktivitas biasanya selalu datang dari luar masyarakat) mempengaruhi
keseimbangan pada suatu sistem masyarakat. Pengaruh ini bisa positif
bisa pula negatif. Hal ini dapat dapat diuji dari nilai, norma, aspirasi
dan kebiasaan dari masyyarakat yang bersangkutan.
Dari aspek budaya yang perlu diteliti dalam Amdal menurut
Suratmo (1993) adalah :
1) Keadaan struktur penduduk, termasuk jumlah, kepadatan,
keanekaragaman penduduk, serta pola mobilitas penduduk.
2) Perikehidupan sehari-hari, adat istiadat, tatacara, interaksi intra dan
antar kelompok masyarakat, system kepercayaan, keanekaragaman
tatanilai dan norma.
3) Sikap, nilai dan persepsi terhadap lingkungannya dan kehidupan
commit to user
4) Distribusi kekuasaan, sistem stratifikasi sosial, diferensi dan
diversifikasi dalam masyarakat.
5) Integrasi dari berbagai kelompok masyarakat.
6) Sejarah budaya yang patut dipelihara.
7) Keadaan dan sistem kekuasaan.
Dari segi lingkungan menurut Suratmo (1993) menyatakan
bahwa lingkungan yang digunakan dalam analisis dampak lingkungan
ialah lingkungan hidup. Pengertian lingkungan hidup dapat diartikan
sebagai segala sesuatu di sekitar suatu obyek yang saling
mempengaruhi.
b. Konsekwensi
Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi (1987) menyatakan bahwa
konsekwensi adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam suatu
sistem sosial sebagai hasil pengadopsian atau penolakan suatu inovasi.
Invensi dan difusi yang menjadi perantara menuju tujuan akhir adalah
konsekwensi yang berupa perubahan sosial.
Suatu kondisi yang timbul karena ketidakpastian dengan peluang
kejadian tertentu yang jika terjadi akan menimbulkan konsekuensi
tidak menguntungkan. Lebih jauh lagi resiko pada proyek adalah
“suatu kondisi pada proyek yang timbul karena ketidakpastian dengan
peluang kejadian tertentu yang jika terjadi akan menimbulkan
konsekuensi fisik maupun finansial yang tidak menguntungkan bagi
tercapainya sasaran proyek, yaitu biaya, waktu, mutu proyek”.
(Ibrahimi, 2010)
Terdapat pembagian konsekwensi menurut tingkat dimana
konsekwensi diinginkan atau tidak tergantung pada bagaimana inovasi
mempengaruhi sistem sosial dan mempengaruhi adopter berdasarkan
Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi (1987) yaitu :
a) Konsekwensi fungsional adalah akibat-akibat yang diinginkan dari
penyebaran suatu inovasi dalam suatu sistem sosial. Suatu inovasi
commit to user
individu tertentu dalam sistem dan kefungsionalan konsekwensi
suatu inovasi juga bergantung pada waktu.
Contoh : Meningkatnya produksi pertanian merupakan salah satu
tipe konsekwensi yang diinginkan dari pengadopsian
inovasi-inovasi pertanian dan dengan penaksiran sekitar 50% varians
dalam produksi pertanian menemukan suatu keinovatifan yang
memberikan sumbangan unik dalam meningkatkan hasil.
b) Konsekwensi disfungsional adalah efek-efek yang tak diinginkan.
Dengan adanya inovasi yang semakin penting, semakin maju dan
semakin modern sehingga agen pembaru menginginkan agar inovasi
itu diadopsi lebih cepat oleh anggota sosial, sehingga akan
menghasilkan konsekwensi.
3. Petani
Petani adalah seseorang yang bergerak di bidang pertanian utamanya
dengan cara melakukan pengelolaan tanah dengan tujuan untuk
menumbuhkan dan memelihara tanaman (seperti padi, bunga, buah dan
lain lain), dengan harapan untuk memperoleh hasil dari tanaman tersebut
untuk digunakan sendiri ataupun menjualnya kepada orang lain. Mereka
juga dapat menyediakan bahan mentah bagi industri, seperti serealia untuk
minuman beralkohol, buah untuk jus, dan wol untuk penenunan dan
pembuatan-pakaian (Wikipedia, 2010).
Soejitno dalam Mardikanto (2009) menyatakan bahwa selaras
dengan pengertiannya yang menjadi sasaran penyuluhan pertanian
terutama adalah petani pengelola usahatani dan keluarganya, yaitu bapak
tani, ibu tani, dan pemuda/ pemudi atau anak-anak petani.
Petani sebagai orang yang menjalankan usahatani mempunyai peran
yang jamak (multiple roles) yaitu sebagai manajer, sebagai juru tani dan
sebagai kepala keluarga. Sebagai kepala keluarga petani dituntut untuk
dapat memberikan kehidupan yang layak dan mencukupi kepada semua
commit to user
dengan kemampuan mengelola usahatani akan sangat dipengaruhi oleh
faktor didalam dan diluar pribadi petani itu sendiri yang sering disebut
karakteristik sosial ekonomi (Mosher, 1981).
Kay dan William (1999) mengemukakan bahwa peranan di bidang
pertanian selalu menjadi faktor yang utama dalam kelangsungan hidup
manusia. Oleh karena itu terdapat beberapa seseorang (petani) bekerja di
bidang pertanian, yaitu antara lain sebagai berikut :
a. Tenaga kerja tidak hanya pada kegiatan dilapang tetapi dalam sector
pertanian yang luas, sangat diperlukan tenaga terampil dalam
pembuatan mesi-mesin pertanian, peralatan pertanian, serta staf ahli di
bidang peternakan.
b. Bekerja di bidang pertanian menjadi menarik dan diminati banyak
orang karena memberikan harapan bagi petani akan hasil panen yang
nantinya akan diperoleh.
c. Hasil yang diperoleh dari bekerja di bidang pertanian tidak kalah
pentingnya (keuntungan) disbanding dengan bekerja di bidang non
pertanian.
d. Teknologi yang tersedia hanya dalam ukuran atau skala minimum
sehingga ini mendorong petani untuk memperluas produksi dengan
biaya-biaya tetap menyangkut teknologi secara ekonomis dan efisien.
4. Biogas
a. Pengertian Biogas
Biogas merupakan sebuah proses produksi gas bio dari material
organik sperti kotoran hewan, kotoran manusia atau sampah direndam
dalam air dan disimpan di dalam tempat tertutup atau anaerob (tanpa
oksigen dari uara). Proses degradasi material organik ini tanpa
melibatkan oksigen disebut anaerobik digestion. Gas yang dihasilkan
sebagian besar (lebih 50 % ) berupa metana. Material organik yang
terkumpul pada digester (reaktor) akan diuraiakan menjadi dua tahap
commit to user
Biogas merupakan gas yang berasal dari berbagai macam limbah
organik seperti sampah biomassa, kotoran manusia, kotoran hewan
dapat dimanfaatkan menjadi energi melalui proses anaerobik
digestion. Proses ini merupakan peluang besar untuk menghasilkan
energi alternatif sehingga akan mengurangi dampak penggunaan
bahan bakar fosil. (Suriawiria, 2005)
Biogas sebagian besar mengandung gas metana (CH4) dan karbon
dioksida (CO2), dan beberapa kandungan yang jumlahnya kecil
diantaranya hydrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH3) serta
hydrogen dan (H2), nitrogen yang kandungannya sangat kecil. Energi
yang terkandung dalam biogas tergantung dari konsentrasi metana
(CH4). Semakin tinggi kandungan metana maka semakin besar
kandungan energi (nilai kalor) pada biogas, dan sebaliknya semakin
kecil kandungan metana semakin kecil nilai kalor. (Muryanto,
Pramono, Suprapto, Ekaningtyas, dan Sudadiyono, 2006).
b. Persyaratan bahan baku dan suhu lingkungan
Adapun pendapat dari berbagai sumber Amaru,K., M. Abimayu, DY.
Sari, dan I. Kamelia (2004) mengatakan sebelum merencanakan untuk
membuat alat penghasil biogas, perlu diketahui terlebih dahulu
prasyarat yang perlu dipenuhi. Hal ini penting diperhatikan agar
kerugian tidak terjadi dikemudian hari setelah alatnya dibuat.
Persyaratan yang penting diperhatikan antara lain :
1) Ketersediaan kotoran ternak
Ketersediaan kotoran ternak merupakan syarat yang mutlak harus
dipenuhi. Ketersediaan dalam hal ini tidak hanya berarti
jumlahnya yang mencukupi tetapi juga kelangsungannya
(kontinuitas). Di daerah yang banyak peternakan, hal ini tidak
menjadi masalah karena kotoran mudah diperoleh dalam jumlah
commit to user
2) Kesesuaian suhu udara
Hal ini penting diperhatikan karena suhu merupakan salah satu
syarat aktifnya bakteri biogas. Suhu yang paling baik untuk
berlangsungnya proses pembentukan biogas ada;lah sekitar
32-37°C. Suhu udara yang terlalu rendah ataupun tinggi kurang baik
untuk pembentukan biogas. Bahkan suhu di bawa 15°C, kecil
kemungkinan terbentuknya biogas. Jika penurunan suhu udaranya
tidak begitu besar, suhu di dalam penghasil biogas masih dapat
dipertahankan dengan mengubur alat tersebut di dalam tanah atau
menimbunnya dengan tumpukan jerami.
c. Persyaratan terbentuknya biogas
Agar proses terbentuknya biogas berjalan sesuai yang diharapkan,
artinya dapat menghasilkan gas methan, maka diperlukan
persyaratan-persyaratan tertentu (Setiawan, 1996) :
1) C/N Rasio, kandungan unsur C (karbon) dan N (nitrogen) yang
dikenal dengan C/N Rasio antara 20 – 25.
2) Kandungan air, bahan baku yang paling baik untuk menghasilkan
biogas adalah bahan yang mengandung 7 – 9 % bahan kering (BK)
atau kandungan airnya 93 – 99 % air.
3) Jasad renik/mikro organisma, Bakteri pembentuk asam antara lain:
Pseudomonas, Escherichia, Flavobacterium, dan Alcaligenes yang
mendegradasi bahan organik menjadi asam-asam lemak.
Selanjutnya asam-asam lemak didegradasi menjadi biogas yang
sebagian besar adalah gas methan oleh bakteri methan antara lain:
Methanobacterium, Methanosarcina, dan Methanococcus.
4) Udara (oksigen), persyaratan yang penting dalam proses
pembuatan biogas, adalah tidak diperlukannya udara sama sekali
(anaerob).
5) Temperatur, proses fermentasi anaerobik dapat berlangsung pada
kisaran 5°C sampai 55°C, sedangkan temperatur optimumnya
commit to user
6) Derajat Keasaman (pH), kondisi pH paling optimal untuk aktivitas
bakteri ini berkisar antara 6,8 sampai 8.
7) Pengadukan, maksud pengadukan adalah agar bahan baku menjadi
homogen sehingga dapat diproses dengan cepat. Baku yang sukar
dicerna, seperti lignin akan membentuk lapisan kerak pada
permukaan cairan, lapisan ini dapat dipecah dengan alat pengaduk.
8) Bahan penghambat, bahan yang menghambat pertumbuhan
mikroorganisme antara lain, logam berat seperti tembaga,
cadmium, dan kromium. Selain itu desinfektan, deterjen dan
antibiotik.
d. Manfaat dari biogas
Produk akhir dari biogas adalah gas metan yang dapat dimanfaatkan
untuk mendukung kehidupan masyatrakat. Manfaat tersebut ada yang
bersifat langsung dapat digunakan sebagai sumber energy maupun
manfaat tidak langsung yang dapat mendukung sektor lain seperti
lingkungan hidup dan konservasi sumber daya alam dan lain-lain.
1) Manfaat Langsung
a) Sebagai sumber energi untuk memasak
Biogas yang diproduksi oleh satu unit instalansi biogas
dapat digunkan sebagai sumber energi untuk memasak. Satu
unit biogas yang menggunakan bahan baku kotoran ternak
3-4 ekor sapi, mampu menghasilkan biogas setara dengan 3
liter minyak tanah/hari. Produksi biogas ini diperkirakan
mampu untuk memenuhi kebutuhan energi memasak satu
rumah tangga pedesaan dengan 5 anggota keluarga.
Dengan demikian, satu keluarga yang sebelumnya
menggunakan minyak tanah untuk memasak, maka dengan
pemanfaatan biogas dapat menghemat penggunaan nyak
tanah 3 liter/hari. Manfaat biogas sebagai sumber bahan
bakar pengganti minyak tanah dapat diperbesar sesuai dengan
commit to user
Perhitungan jumlah sapi yang dibutuhkan untuk satu
rumah tangga sebagai berikut. Satu keluarga dengan anggot
keluarga sebanyak 5 orang, kebutuhan biogas yang khusus
untuk memasak adalah sebesar 1,25 m³/hari atau 0,25
m³/hari/orang. Sedangkan tiapa ekor sapi per hari
menghasilkan kotoran sebanyak 10 kg, yang berpotensi dapat
menghasilkan 1,36 m³ biogas, sehingga untuk satu keluarga
membutuhkan 4 ekor sapi, drengan perhitungan perolehan
kotoran ternak sejumlah 40 kg/hari dan akan menghasilkan
biogas sejumlah 1,44 m³/hari. (Sembiring, 2005).
b) Sebagai sumber penerangan
Biogas dapat dimanfaatkan untuk penerangan dengan
cara yang sama seperti pemanfaatan untuk memasak, artinya
kompor sebagai titik akhir penggunaan biogas diganti dengan
lampu. Lampu yang digunakan adalah lampu yang dirancang
khusus, atau lampu petromak yang dimodifikasi. Perbedaaan
lampu ini terletak pada ada tidaknya tabung penampung
biogas sebelum dibakar. Pada lampu yang dirancang untuk
biogas tidak menggunakan tabung penampung, sedangkan
pada lampu petromak yang dimodifikasi, tabung yang sudah
ada dimanfaatkan sebagai tempat penampung biogas.
c) Penghasil pupuk organik siap pakai
Manfaat langsung dari penerapan biogas adalah dapat
menyediakan pupuk organik siap pakai dalam jumlah banyak
sesuai dengan kapasitas digester yang dibangun dan jumlah
bahan baku yang digunakan. Yang dimaksud adalah jika
kotoran ternak tidak dapat langsung digunakan langsung
sebagai pupuk organik, namun perlu menunggu hingga 2
bulan. Apabila kotoran ternak langsung digunakan pupuk
maka tanaman akan mati. Berbeda dengan kotoran yang
commit to user
diambil gasnya) dapat langsung digunakan sebagai pupuk
organik.
2) Manfaat tidak langsung
a) Mengurangi efek gas rumah kaca
Penerapan biogas dapat membantu pengembangan
sistem pertanian dengan mendaur ulang kotoran ternak untuk
memproduksi biogas dan diperoleh hasil samping berupa
pupuk organik dengan mutu yang baik. Penerapan biogas
dapat mengurangi emisi gas methan yang dihasilkan pada
dekomposisi bahan organik yang diproduksi dari sector
pertanian dan peternakan, karena kotoran sapi tidak dibiarkan
terdekomposisi secara terbuka melainkan difermentasi
menjadi energi biogas.
Gas methan termasuk gas rumah kaca (green housegas),
bersama gas karbondioksida memberikan efek rumah kaca
yang menyebabkan terjadinya fenomena pemanasan global.
Pengurangan gas methan secara local dengan
mengembangkan biogas dapat berperan upaya penyelesaian
permasalahan global efek rumah kaca.
Pemanfaatan biogas dalam mengurangi efek rumah
kaca melalui tiga cara. Pertama biogas memberikan substitusi
dari bahan bakar fosil untuk memasak dan penerangan.
Kedua melalui fermentasi, metahan dirubah menjadi
karbodioksida sehingga mengurangi jumlah methan yang ada
diudara. Ketiga penerapan biogas akan berdampak pada
lestarinya hutan karena penebangan dapat dikurangi. Dengan
lestarinya hutan maka karbondioksoida yang ada diudara
akan diserap oleh hutan dan diproses melalui fermentasi yang
akan menghasilkan oksigen yang berperan untuk melawan
commit to user
b) Mengurangi polusi bau
Pengembangan biogas mempunyai sifat ramah
lingkungan. Ramah lingkungan disini memiliki pengertian
bahwa penerapan biogas dapat menghilangkan bau yang tidak
sedap. Sebagai contoh, kotoran sapi yang awalnya
mempunyai bau yang tidak sedap, setelah dimanfaatkan
sebagai bahan baku biogas maka hasil akhir dari proses
tersebut merupakan pupuk organik yang tidak berbau.
c) Meningkatkan sanitasi lingkungan dan keindahan
Kotoran ternak dan limbah organik lain apabila tidak
dikelola dengan baik dan berserakan dimana-mana, maka
dapat mengganggu keindahan dan berdampak negatif
terhadap kesehatan warga di lingkungannya. Disamping itu
terdapat kemungkinan bahwa kotoran ternak banyak
mengandung racun dan bakteri Colly yang membahayakan
bagi kesehatan manusia dan lingkungannya. Dengan
penerapan biogas, dampak negative tersebut dapat dikurangi
dan dihilangkan.
d) Mendukung kebijakan pengurangan subsidi BBM
Penerapan biogas di lapangan yaitu ditingkat rumah
tangga petani dalam jumlah banyak dalam satu kawasan
dapat mendukung kebijakan pengurangan subsidi BBM.
e. Cara Kerja Biogas
1) Tahap Penampungan, pengenceran dan pengadukan, pemasukan
bahan baku
Tahap ini terjadi pada tabung penampung bahan baku.
Bahan baku yang diencerkan dengan menambah air hingga
perbandingan antara bahan padat dan cair kira-kira 1:1.
Pengadukan dilakukan sampai merata. Bahan-bahan yang tidak
berguna dan diperkirakan menganggu proses pembuatan biogas
commit to user
Bahan tersebut dimasikkan ke dalam tabung pemroses atau
degester.
2) Tahap pemrosesan, pengambilan dan pemanfaatan biogas
Tahap ini berlangsung pada tabung pencerna/
pemroses/degester. Bahan baku yang telah diencerkan dan sudah
dibersihkan dari bahan-bahan yang diperkirakan mengganggu
proses terjadinya buogas, dimasukkan ke dalam tabung digester.
Biogas yang dihasilkan berwarna biru dan mempunyai bau yang
khas. Adanya bau ini terkadang member kesan yang tidak higienis
terhadap masakan yang dimasak menggunakan biogas, sebenarnya
tidak masalah. Jadi apabila akan menggunakan biogas untuk
keperuan memasak perlu disiapkan dahulu api pembakarnya
misalnya korek api kemudian dibuka saluran biogasnya sehingga
gas keluar langsung terbakar dan tidak ada bau yang tersebar.
3) Tahap pengambilan sisa limbah setelah diambil gasnya
Tahap ini terjadi pada tabung penampung sisa limbah
setelah diambil gasnya. Sisa bahan yang diambil merupakan sisa
dari limbah yang telah diambil gasnya oleh bakteri methan atau
bakteri biogas, yang bentuknya seperti lumpur. Sisa bahan ini
masih mempunyai kandungan N tinggi. Bahan pembuat biogas
misalnya kotoran ternak memiliki kandungan nitrogen (N) tinggi
disamping C,H dan O. Selama berlangsungnya proses pembuatan
biogas, unsur-unsur yang digunakan adalah unsur-unsur C,H, dan
O dalam bentuk CH4 dan O2, sedangkan unsur nitrogen tetap
bertahandalam sisa bahan.
Oleh karena itu, sisa hasil pemrosesan biogas merupakan
pupuk organik yang kaya nitrogen yang siap pakai dan
mempunyai sifat tidak berbau. Sifat tidak berbau ini, mempunyai
commit to user B. Kerangka Berfikir
Inovasi pengembangan biogas asal kotoran sapi merupakan salah satu
upaya pemerintah Sukoharjo untuk mengolah limbah ternak (kotoran ternak)
menjadi sesuatu yang bermanfaat. Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari
proses penguraian bahan-bahan organik oleh microorganisme pada kondisi
tanpa udara (anaerob). Inovasi penggunaan biogas diarahkan agar petani mau
beralih dari penggunaan minyak tanah, gas elpiji, kayu bakar ke biogas.
Adapun secara teoritis, manfaat dari biogas untuk petani antara lain
tumbuhnya upaya perbaikan cara berternak agar semakin produktif terutama
dalam pengelolaan kandang dan pengolahan kotoran sapi, memperoleh produk
tambahan berupa pupuk berbentuk padat dan cair yang dapat digunakan
sendiri atau dijual ke petani lainnya sehingga dapat menjadi sumber
penerimaan baru. Manfaat lain yang nantinya juga akan dirasakan bagi
pemerintah yaitu berkurangnya beban anggaran negara terhadap biaya
konsumsi energi khususnya subsidi pada harga BBM.
Teknologi biogas akan menimbulkan suatu dampak. Dampak tersebut
akan dirasakan oleh pengguna yang dapat dilihat dari aspek ekonomi, sosial,
budaya, dan lingkungan. Dilihat dari aspek ekonomi akan mengurangi beban
pengeluaran biaya kehidupan rumah tangga, sebagai contoh kebutuhan 1
kepala keluarga petani terhadap pemakaian minyak tanah sebanyak 2 liter/hari
atau 730 liter/tahun sedangkan harga minyak tanah 1 liter Rp 7000,00/liter. Ini
berarti pengguna reaktor biogas mendapat keuntungan sebesar
Rp 5.110.000,00. Pengembangan biogas juga memberi peluang untuk
menambah pendapatan dari hasil penjualan kompos/pupuk organik. Dari 1
ekor sapi perah dapat diperoleh kompos sekitar 2500kg/tahun, apabila asumsi
harga kompos Rp 400/kg, maka penghasilan per tahun/ekor Rp1.000.000,00,
maka dengan menggunakan biogas petani mendapatkan tambahan pendapatan
dan penghematan minyak tanah sebesar Rp 6.110.000,00.
Dampak pengguna dilihat dari segi sosial yaitu bagaimana respon
commit to user
dalam menerima inovasi baru dengan mengikuti pertemuan kelompok guna
mengetahui tahapan-tahapan dalam pembuatan biogas atau justru sebaliknya.
Apabila dilihat dari segi budaya maka akan dilihat dari sudut
kepercayaan. Adakalanya suatu daerah atau masyarakat tidak mau menerima
segala sesuatu yang berhubungan dengan inovasi baru sehingga perlu adanya
pendekatan. Pendekatan itu bisa dari personal maupun kelompok sehingga
nantinya jika berhasil akan berdampak pada perubahan budaya.
Penerapan biogas dari segi lingkungan akan sangat berdampak sekali
dengan adanya teknologi biogas yaitu membantu mengurangi emisi gas
methan (CH4) yang dihasilkan pada dekomposisi bahan organik yang
diproduksi dari sektor pertanian dan peternakan karena kotoran sapi tidak
dibiarkan terdekomposisi secara terbuka melainkan difermentasi menjadi
energi biogas. Gas methan merupakan gas rumah kaca (green housegas)
bersama dengan gas karbondioksida memberikan efek rumah kaca yang
menyebabkan terjadinya fenomena pemanasan global. Dengan pengembangan
biogas dapat berperan positif dalam penyelesaian permasalahan global efek
rumah kaca. Dampak lain yang dirasakan yaitu biogas memiliki sifat ramah
lingkungan. Ramah lingkungan disini mempunyai pengertian bahwa
penerapan biogas dapat menghilangkan bau tidak sedap. Sebagai contoh
kotoran sapi yang awalnya mempunyai bau yang tidak sedap, setelah
dimanfaatkan sebagai bahan baku biogas maka hasil akhir dari proses tersebut
merupkan pupuk organik yang tidak berbau.
Tidak hanya dampak positif yang dirasakan dari adanya biogas tetapi
adapula dampak negatif yang dirasakan oleh ptani. Dampak tersebut berupa
penggunaan biogas yang digunakan untuk enam rumah tangga sehingga
mengakibatkan energi gas yang dihasilkan tidak begitu besar. Perawatan yang
begitu sulit juga menjadi faktor penghambat dalam penerapan biogas, jika ada
kerusakan pada instalasi hanya orang yang ahli yang dapat memperbaiki
sehingga membuat instalasi biogas tidak dugunakan lagi.
Berdasarkan adanya dampak yang dirasakan baik dampak positif
commit to user
terhadap inovasi pengembangan biogas di Kabupaten Sukoharjo. Analisis
dampak tersebut merupakan ungkapan dari masing-masing pengguna
mengenai kepuasan pada program biogas dan kemanfaatan pada umumnya.
Dari uraian di atas, kerangka berpikir yang dapat dibangun adalah
sebagai berikut :
Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir Analisis Dampak Adopsi Inovasi
Program Biogas Pada Petani Di Kabupaten Sukoharjo.
C. Pembatasan Masalah
1. Adopsi inovasi biogas dilihat dari penerapan teknologi biogas yang
meliputi pengoperasian dan pemeliharaan instalasi.
2. Dampak yang dirasakan pada petani dilihat dari ekonomi, sosial, budaya
dan lingkungan dari program biogas.
3. Petani yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah petani yang
menggunakan teknologi biogas dengan jenis limbah ternak dan yang
memiliki jumlah terbanyak dari jenis penerima baik dari individual
maupun kelompok di Kabupaten Sukoharjo.
D. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
1. Adopsi inovasi biogas adalah penerapan teknologi biogas oleh seluruh
petani responden yang terdiri dari proses pengoperasian dan pemeliharaan
instalansi biogas yang dapat dikategorikan menurut masing-masing aspek,
yakni :
· Pengetahuan : tahu atau tidak tahu
· Ketrampilan : sesuai atau tidak sesuai
Dampak dari program biogas pada petani. dilihat dari :
1. Ekonomi
2. Sosial
3. Budaya
4. Lingkungan
commit to user
a. Proses pengoperasian terdiri dari tiga tahap, yaitu :
1) Tahap penampungan, pengenceran dan pengadukan, pemasukan
bahan baku adalah tahap awal sebelum pembentukan biogas yang
terjadi pada tabung penampung bahan baku, diukur melalui 4
pertanyaan yang menjadi indikator.
2) Tahap pemrosesan, pengambilan dan pemanfaatan biogas adalah
tahap pemrosesan bahan baku hingga terbentuk gas yang dapat
dimanfaatkan oleh petani responden. Tahapan ini berlangsung pada
tabung pencerna/ pemroses/ digester, diukur melalui 11 pertanyaan
yang menjadi indikator.
3) Tahap pengambilan sisa limbah adalah tahap akhir dari pemrosesan
biogas yang berupa sisa limbah yang telah diambil gasnya. Sisa
limbah tersebut dapat digunakan sebagai pupuk organik. Tahapan
ini berlangsung pada tabung penampung sisa limbah, diukur
melalui 5 pertanyaan yang menjadi indikator.
b. Pemeliharaan instalasi biogas adalah pemeliharaan yang dilakukan
untuk menjaga agar instalasi tidak cepat rusak dan umur instalasi dapat
bertahan lama, diukur melalui 5 pertanyaan yang menjadi indikator.
2. Dampak adopsi inovasi biogas adalah akibat yang dirasakan oleh seluruh
petani responden setelah mengadopsi biogas. Analisis dari dampak adopsi
inovasi biogas dapat dilakukan dengan menyimpulkan dampak ekonomi,
sosial, budaya dan lingkungan terhadap seluruh petani responden dan
mengkategorikannya ke dalam 2 kategori, yakni :
· Ada dampak
· Tidak ada dampak.
Dampak adopsi inovasi biogas terdiri dari :
a. Dampak ekonomi adalah akibat dari adanya inovasi teknologi biogas
yang berpengaruh terhadap pengeluaran rumah tangga sebelum dan
sesudah menggunakan biogas.
b. Dampak sosial adalah akibat masuknya teknologi biogas yang
commit to user
c. Dampak budaya adalah akibat perilaku petani yang berkembang dari
adanya teknologi biogas sehingga berpengaruh terhadap pola pikir
yang nantinya mengubah kebiasaan yang ada pada petani.
d. Dampak lingkungan adalah akibat perubahan kondisi lingkungan dari
commit to user
1
III. METODE PENELITIAN
A. Metode Dasar Penelitian
Metode dasar penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif.
Metode deskriptif merupakan kegiatan yang bertujuan untuk menjelaskan,
merinci, atau membuat diskripsi terhadap suatu gejala atau obyek yang
diteliti. Dalam arti sempit, penelitian diskriptif diartikan sebagai penelitian
yang hanya menunjukkan gambaran, uraian, atau rincian tentang gejala atau
obyek yang diteliti. Sementara dalam arti luas, penelitian diskriptif juga lebih
jauh menceritakan hubungan atau keterkaitan antar gejala (variabel), serta
seberapa jauh terdapat kesepakatan atas hasil-hasil yang disampaikan
(Mardikanto, 2001). Deskripsi ini dilakukan dengan cara deskripsi kuantitatif
yang pengukurannya dengan menggunakan ukuran kuantitatif.
Penelitian ini menggunakan teknik survai yaitu pengamatan atau
penyelidikan yang kritis untuk mendapatkan keterangan yang sebenarnya dan
baik terhadap suatu persoalan tertentu dan di dalam suatu daerah. Teknik
survai ini mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuisioner
sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun dan Effendi, 2006).
B. Penentuan Lokasi
Lokasi penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sukoharjo. Melalui
Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sukoharjo program biogas diterapkan
karena di Kabupaten Sukoharjo terdapat petani yang menggunakan biogas
dengan bahan baku yang berasal dari kotoran ternak.
C. Metode Penentuan Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang
ciri-cirinya akan diduga ( Singarimbun dan Effendi, 2006 ). Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh petani yang menggunakan biogas dengan
commit to user
bahan baku yang berasal dari kotoran ternak dan jenis penerima baik
secara individu maupun kelompok.
Tabel 3.1. Jumlah Petani Yang Mendapat Bantuan Program Biogas
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sukoharjo, 2010
2. Sampel
Dalam penelitian ini., petani sampel diambil dari masing-masing
kecamatan yang memperoleh bantuan program biogas dengan empat
jumlah terbesar untuk masing-masing petani penerima, baik individu
maupun kelompok. Jumlah petani sampel untuk penerima individu
diambil secara sensus sedangkan untuk jenis penerima kelompok
diambil tiga kelompok dengan jumlah anggota terbanyak, informasi
didapat dari tiga pengurus dan dua anggota sehingga diperoleh jumlah
commit to user
Tabel 3.2. Sampel Petani Responden
No Jenis
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sukoharjo, 2010
D. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Data primer dalam penelitian ini meliputi identitas responden, adopsi
inovasi biogas dan dampak dari teknologi biogas. Sumber data primer
adalah petani responden.
2. Data sekunder dalam penelitian ini adalah monografi kabupaten dan data
jumlah petani responden. Sumber data sekunder adalah Badan
Lingkungan Hidup dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Kabupaten Sukoharjo.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan:
1. Wawancara, wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat dalam
pengembangan pemanfaatan kotoran ternak khususnya di Kabupaten
Sukoharjo. Pihak tersebut adalah petani responden yang menggunakan
biogas serta petugas penyuluh yang menangani biogas.
2. Obervasi, teknik observasi dilakukan dengan mengadakan pengamatan
langsung terhadap obyek yang akan diteliti sehingga diperoleh gambaran
yang jelas mengenai obyek yang akan diteliti. Obyek yang diamati adalah
pengoperasian dan pemeliharaan instalasi serta dampak yang diraskan
commit to user
3. Pencatatan, teknik pencatatan dilakukan dengan mencatat hasil wawancara
pada kuisioner dan mencatat data sekunder dari instansi yang terkait
dengan penelitian. Instasi yang terkait meliputi Badan Lingkungan Hidup
dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sukoharjo.
F. Metode Analisis Data
Untuk menganalisis dampak dari adopsi inovasi program biogas di
Kabupaten Sukoharjo digunakan analisis tabulasi frekuensi (Siegel, 1997).
Analisis tabulasi frekuensi adalah menggambarkan karakteristik sampel
commit to user
IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
A. Keadaan Geografis
Kabupaten Sukoharjo merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah.
Kabupaten Sukoharjo secara geografis terletak antara 110042’ sampai dengan
1100338’ Bujur Timur di antara 7049’sampai dengan 7032’ Lintang Selatan.
Kabupaten Sukoharjo dengan luas 46.666 Ha atau sekitar 1,43% luas wilayah
Propinsi Jawa Tengah. Menurut penggunaan lahan terdiri dari lahan sawah
sebesar 45,62% (21.287 Ha) dan lahan bukan sawah sebesar 54,38%
(25.379 Ha). Adapun secara rinci batas-batas wilayah dari Kabupaten
Sukoharjo adalah sebagai berikut :
Sebelah utara : Kota Surakarta dan Kabupaten Karanganyar
Sebelah timur : Kabupaten Karanganyar
Sebelah selatan : Kabupaten Gunung Kidul (DIY) dan Kabupaten Wonogiri
Sebelah barat : Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten
Secara administrasi Kabupaten Sukoharjo terbagi menjadi 12 kecamatan
yaitu Weru, Bulu, Tawangsari, Sukoharjo, Nguter, Bendosari, Polokarto,
Mojolaban, Grogol, Baki, Gatak, Kartasura dan terdiri dari 167
Desa/Kelurahan. Kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Polokarto yaitu
6.218 Ha (13%), sedangkan yang paling kecil adalah Kecamatan Kartasura
seluas 1.923 Ha (4%) dari luas kabupaten Sukoharjo. Berdasarkan Kantor
Pertanahan, ketinggian tanah di Kabupaten Sukoharjo berada pada 83 mdpl
hingga 693 mdpl. Banyaknya hari dan curah hujan selama tahun 2010 relatif
sama dengan tahun sebelumnya. Selama tahun 2010, curah hujan tertinggi di
Kecamatan Tawangsari sebanyak 4.721 mm, untuk hari hujan terbanyak
terdapat di Kecamatan Sukoharjo sebanyak 176 hari. Adapun luas dan
ketinggian masing-masing kecamatan dapat dilihat dalam Tabel 4.1.
commit to user
Sumber : Data Kabupaten Sukoharjo Dalam AngkaTahun 2010
Wilayah kecamatan yang terluas adalah kecamatan Polokarto seluas
62,18 m2 dan kecamatan tesempit adalah kecamatan Kartasura seluas 19,23
m2. Ketinggian tanah kecamatan yang paling tinggi adalah kecamatan
Kartasura yaitu 125 mtr dpl dan yang paling rendah adalah kecamatan Grogol
yaitu 93 mtr dpl.
B. Keadaan Penduduk
Keadaan penduduk di suatu daerah menggambarkan kondisi sosial
ekonomi penduduk di daerah tersebut. Berikut ini adalah data keadaan
penduduk di Kabupaten Sukoharjo berdasarkan pada data BPS pada Tahun
2010.
1. Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk di Kabupaten Sukoharjo dibedakan menjadi
dua macam yaitu kepadatan penduduk geografis dan kepadatan penduduk
agraris. Kepadatan penduduk geografis adalah perbandingan jumlah
penduduk dengan luas wilayah per km2, sedangkan kepadatan penduduk
agraris adalah perbandingan jumlah penduduk dengan luas lahan
pertanian. Kabupaten Sukoharjo dengan luas 46.666 Ha atau seluas 46,666
commit to user
Sukoharjo berjumlah 846.978 jiwa. Kepadatan penduduk geografis dan
agraris adalah sebagai berikut ini.
Kepadatan Penduduk Geografis 18.149 666
Berdasarkan perhitungan di atas maka dapat diketahui kepadatan
penduduk geografis di Kabupaten Sukoharjo sebesar 18.149 jiwa/ km2.
Kepadatan penduduk agraris sebesar 39 jiwa/ ha.
2. Keadaan Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
Keadaan penduduk berdasarkan produktivitasnya dapat dilihat dari
umur. Penduduk menurut umur dapat digambarkan menurut jenjang yang
berhubungan dengan kehidupan produktif manusia penduduk
diklasifikasikan sebagai usia belum produktif (0-14 tahun), usia produktif
(15-64 tahun), dan usia non produktif (berumur lebih dari 64 tahun)
(Mantra, 2003). Jumlah penduduk secara keseluruhan di Kabupaten
Sukoharjo sebanyak 846.978 jiwa, sedangkan jumlah penduduk laki-laki
di Kabupaten Sukoharjo adalah sebesar 419.438 jiwa dan jumlah
penduduk perempuan 427.540 jiwa.
Adapun klasifikasi penduduk di Kabupaten Sukoharjo menurut
commit to user
Tabel 4.2. Penduduk Kabupaten Sukoharjo Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2010
Sumber : Data Kabupaten Sukoharjo Dalam AngkaTahun 2010
Dari tabel 4.2, mengenai jumlah penduduk menurut umur dan jenis
kelamin di Kabupaten Sukoharjo tahun 2010, menunjukkan bahwa
penduduk terbesar yaitu pada usia 30-34 tahun, yaitu sebesar 8,36 % atau
sejumlah 70.786 jiwa. Umur 30-34 tahun tergolong dalam usia produktif
dalam pengertian secara umum mampu bekerja atau berproduktivitas,
sehingga penduduk yang memasuki usia produktif mampu memberikan
kontribusi terhadap pembangunan sosial, ekonomi, dan budaya di
Kabupaten Sukoharjo.
Penduduk yang berusia 60 tahun atau lebih dari 60 tahun sejumlah
97.779 jiwa atau sebesar 11,56 %. Usia tersebut termasuk dalam kategori
usia non produktif, sehingga kisaran usia tersebut akan menurunkan
kemampuan fisik dan mental untuk mampu bekerja, dengan demikian
penduduk dengan kelompok umur tersebut menjadi beban tanggungan
bagi kelompok usia produktif. Jumlah usia produktif yaitu penduduk
commit to user
non produktif yaitu penduduk dengan kelompok usia 0-14 dan 60 tahun ke
atas sebesar 301.620 jiwa.
Angka beban tanggungan (ABT) di Kabupaten Sukoharjo adalah
sebagai berikut :
Berdasarkan perhitungan Angka Beban Tanggungan tersebut
diketahui besarnya Angka Beban Tanggungan yaitu sebesar 55,31. Artinya
dalam setiap 100 penduduk usia produktif menanggung 55 penduduk usia
non produktif. Angka Beban Tanggungan di Kabupaten Sukoharjo
tergolong sedang karena dalam 100 penduduk usia produktif harus
menanggung 55 penduduk usia non produktif. Jumlah penduduk yang
produktif atau bekerja lebih banyak daripada jumlah penduduk yang non
produktif atau tidak bekerja sehingga penduduk yang produktif harus
mampu memenuhi kebutuhannya sendiri maupun kebutuhan bagi usia non
produktif yang menjadi tanggungan mereka, baik kebutuhan primer
maupun kebutuhan yang lain. Penduduk usia non produktif di Kabupaten
Sukoharjo umumnya sudah menjadi tanggungan dalam keluarga
masing-masing, sehingga hal ini tidak begitu mempengaruhi tingkat kesejahteraan
penduduk dari jumlah penduduk usia non produktif atau usia lansia.
3. Keadaan Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Penduduk Kabupaten Sukoharjo berjumlah 846.978 jiwa, yang
terdiri dari 419.438 penduduk laki-laki dan 427.540 penduduk perempuan.
Berdasarkan angka tersebut, maka dapat dihitung sex ratio. Sex ratio
adalah perbandingan jumlah penduduk laki-laki dengan jumlah penduduk
perempuan, Jika sex ratio kurang dari 100 maka jumlah penduduk laki-laki
lebih sedikit dari jumlah penduduk perempuan. Jika sex ratio sama dengan
100 maka jumlah penduduk laki-laki sama dengan jumlah penduduk
laki-commit to user
laki lebih banyak dari penduduk perempuan. Adapun perhitungan sex ratio
adalah sebagai berikut ini :
Sex ratio = Jumlah penduduk laki-laki x 100
Jumlah penduduk perempuan
= 419.438 x 100 = 98,10 = 98 427. 540
Berdasarkan perhitungan di atas diketahui besarnya sex ratio sebesar
98, artinya dalam setiap 100 orang penduduk laki-laki terdapat 98 orang
penduduk perempuan. Jumlah penduduk perempuan lebih banyak
dibandingkan jumlah penduduk laki-laki meskipun dengan selisih yang
tidak besar. Apabila angka SR (Sex Ratio) di bawah 100, maka dapat
menimbulkan berbagai masalah, dimana berarti di wilayah tersebut
kekurangan penduduk laki-laki, sehingga berakibat terjadinya kekurangan
tenaga kerja laki-laki untuk melaksanakan pembangunan atau masalah lain
yang berhubungan dengan perkawinan. Hal ini dapat terjadi apabila di
suatu daerah banyak penduduk laki-laki yang meninggalkan daerah atau
kematian banyak terjadi pada penduduk laki-laki (Mantra, 2003).
Angka sex ratio dapat digunakan untuk mengetahui jumlah tenaga
kerja yang tersedia. Pada umumnya, pekerjaan di bidang pertanian lebih
banyak peran kaum laki-laki, namun tidak menutup kemungkinan kaum
perempuan juga berperan dalam bidang pertanian. Umumnya kaum
perempuan lebih banyak berperan dalam hal menggarap lahan sawah
dengan kecenderungan melakukan pekerjaan yang lebih ringan dari
pekerjaan kaum laki-laki, seperti menanam, menyebar benih dan
memelihara tanaman (membersihkan gulma). Tenaga kerja wanita di
Kabupaten Sukoharjo tidak hanya di sektor pertanian saja melainkan di
beberapa sektor seperti industri, pedagang, dan wiraswasta.
4. Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan faktor penting dalam menunjang kelancaran
commit to user
akan mudah untuk mengadopsi suatu inovasi baru sehingga akan
memperlancar proses pembangunan. Sebaliknya masyarakat yang
memiliki tingkat pendidikan rendah akan sulit untuk mengadopsi suatu
inovasi baru sehingga dalam hal ini akan mempersulit pembangunan.
Tingkat pendidikan di suatu wilayah menjadi cerminan keadaan suatu
wilayah, karena biasanya penduduk dengan tingkat pendidikan tinggi akan
lebih mudah menerima dan menganalisis suatu inovasi. Orang yang
berpendidikan tinggi cenderung berpikir lebih rasional dan umumnya lebih
mudah menerima pembaharuan. Keadaan penduduk di Kabupaten
Sukoharjo menurut pendidikan dapat dilihat dalam tabel 4.3
Tabel 4.3. Keadaan Penduduk menurut Tingkat Pendidikan di Kabupaten Sukoharjo
Jenjang Pendidikan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
Tidak/Belum Pernah Sekolah 56.557 9,04
Tidak/Belum Tamat SD 60.882 9,73
Tamat SD/MI 135.333 21,63
Sumber : Data Kabupaten Sukoharjo Dalam AngkaTahun 2010
Berdasarkan tabel 4.3 mengenai keadaan penduduk menurut tingkat
pendidikan di Kabupaten Sukoharjo menunjukkan bahwa sebesar 9,04 %
tidak/belum pernah sekolah. Penduduk yang tidak/belum tamat SD sebesar
9,73 %, tamat SD/MI sebesar 21,63 %, tamat SLTP/MTS sebesar 22,81 %,
tamat SLTA/MA sebesar 27,95 %, tamat Akademi/Diploma sebesar
2,69 % dan tamat Perguruan Tinggi sebesar 6,15 %. Dari data tersebut,
dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan penduduk di Kabupaten
Sukoharjo dapat dikatakan sedang, karena rendahnya persentase penduduk
yang tidak bersekolah. Banyaknya penduduk yang menyadari kebutuhan
akan pentingnya pendidikan, akan membuat penduduk untuk
commit to user
pendidikan masyarakat yang tinggi, akan berpengaruh terhadap sikap
mereka terhadap perubahan dalam hal sosial, budaya dan ekonomi serta
adanya inovasi yang berkembang di tengah masyarakat.
C. Keadaan Pertanian dan Peternakan
Kabupaten Sukoharjo merupakan salah satu kabupaten penyangga
pangan di Jawa Tengah, sehingga produktivitas tanaman pangan terutama
padi terus dipacu. Keadaan pertanian di Kabupaten Sukoharjo meliputi
penggunaan lahan pertanian, dan kelembagaan pertanian.
1. Penggunaan Lahan Pertanian
Kegiatan pertanian mempunyai peranan penting dalam memenuhi
kebutuhan pangan. Kondisi pertanian yang baik harus didukung dengan
ketersediaan lahan pertanian yang cukup, inovasi atau teknologi yang tepat
guna dan sumber daya manusia yang baik. Luas penggunaan lahan
pertanian di Kabupaten Sukoharjo dapat dilihat pada tabel 4.4.
Tabel 4.4. Luas Penggunaan Lahan Pertanian di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2010
Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase(%)
a. Tanah Sawah
Sumber: Data Kabupaten Sukoharjo Dalam AngkaTahun 2010
Penggunaan lahan pertanian di Kabupaten Sukoharjo yang terbesar
adalah perkebunan yaitu seluas 25.237 Ha yang menghasilkan kelapa,
tebu, kapuk dan mete. Luas penggunaan lahan di Kabupaten Sukoharjo
untuk lahan sawah berpotensi untuk budidaya tanaman padi.
2. Keadaan Peternakan
Peternakan di Kabupaten Sukoharjo diusahakan sebagai tabungan
atau usaha sampingan. Hewan ternak dapat dimanfaatkan untuk
pemenuhan kebutuhan gizi seperti daging dan telur yang merupakan
sumber protein hewani. Hewan ternak dapat dimanfaatkan tenaganya