Promosi Pariwisata Nasional Tidak Berorientasi Hasil dan Fantasi
Oleh: VENANSIUS RADITYA BENITO*
Bukan hanya sekali ini saja keikutsertaan perwakilan Indonesia dalam kontestasi kecantikan internasional (atau semacam Miss Universe ) menuai protes dari kelompok masyarakat. Beberapa kali, dalam ingatan kita, salah satu ormas bercorak agama yang high rate di dunia maya, rajin melayangkan protes terhadap prosesi tersebut. Namun, kali ini ada yang berbeda. Protes tersebut justru berasal dari tokoh pemuka adat setempat, yang merasa pakaian adat yang digunakan oleh sang kontestan, sebagai busana dalam kompetisinya mendatang, di ajang Miss Grand International 2016 disalahgunakan; dan ini sepertinya lebih menarik untuk kita bahas.
Dari salah satu media berita daring, tegarnews.com, Ketua Umum Lembaga Musyawarah Masyarakat Adat ‘Gunom Ragom’ Marga Bungamayang Sungkay, Lampung,
Anshori Djausal, melayangkan protesnya terhadap penayangan foto dari Runner Up Putri
Indonesia, Ariska Putri Pertiwi, yang mewakili Indonesia dalam ajang Miss Grand Internasional
2016. Adapun foto yang dimaksud ialah karena Ariska menggunakan busana dengan
simbol-simbol adat Lampung, namun dalam pose memperlihatkan bagian pahanya yang
terbuka. Selain itu, rancangan busana yang digarap oleh Dinand Fariz━atau lebih dikenal
sebagai penggagas Jember Fashion Carnaval tersebut━tidak sesuai dari pakem busana adat
Lampung.
melekat dengan identitas kebangsaan kita. Sebab Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara, berasal dari identitasnya yang sangat beragam━yakni kesukuan, seperti halnya kesadaran awal nasional yang terbentuk lewat Kongres Pemuda 88 tahun silam ━namun tetap dibingkai dalam kesatuan dan persatuan. Di samping itu, ditandai dengan peristiwa tersebut yang kini kita kenal dengan sebutan Sumpah Pemuda, komunitas pemuda daerah sejak saat itu telah bertranformasi menuju kedewasaan bersikapnya untuk mencapai jembatan kemerdekaan.
Maka, adalah hal yang wajar apabila wacana atas fenomena kebudayaan populer atau modernitas saat ini, kembali pada pemahaman yang utuh dan mendalam mengenai kebudayaan asli Indonesia. Dengan harapan agar himbauan semacam ini tidak hanya diserap oleh segelintir orang yang dalam praktiknya sehari-hari menjaga kelestarian kebudayaan dan sumber daya nasional, melainkan oleh segenap warga negara Indonesia.
Budaya dan Formulasi Jaman Modernitas
Kebudayaan dalam masyarakat tidak begitu saja ada dengan sendirinya. Koentjaraningrat, 2009, menyebutkan bahwa kebudayaan itu sendiri merupakan sebuah hasil dari cipta, rasa, karsa, dan karya manusia yang diperoleh melalui proses belajar. Jadi, dalam hal membentuk dan membangun sebuah budaya yang dapat diterima menjadi asas peradaban memerlukan pikiran jernih, hati yang tulus, tekad yang bulat, dan semangat berkerja keras.
yang telah berlangsung sejak lampau.
Tahap pendewasaan kesukuan di Indonesia sendiri ditandai lewat peristiwa Sumpah Pemuda 1928, yaitu dengan cita-cita luhur akan kemerdekaan martabat bangsa yang kemudian disebut sebagai tanah air, bahasa, dan bangsa Indonesia. Pun demikian, dalam fondasi awalde jure
-nya, UUD 1945, negara bangsa ini tetap mengakui kebudayaan lama dan asli sebagai
kebudayaan bangsa supaya dikembangkan dan diperkaya dalam rangka mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Oleh sebab itu, modernitas dalam kesadaran ke-Indonesia-annya bukan serta merta memisahkan diri dengan masa lampau dan merasa berbesar diri sebagai makhluk penentu sejarah semata, dengan dalih rasional dan bergantung pada keilmuan dan teknologi, serta nilai-nilai universal. Inilah yang sering terjadi dengan budaya populer kita belakangan hari. Maka, bukan hal yang mengagetkan pula jika kaum intelektual, pemimpin politik, atau pembaharu moral dan sosial beranggapan bahwa masyarakat awam sekalipun semestinya berurusan dengan sesuatu yang lebih mencerahkan atau berfaedah ketimbang budaya populer yang berkompetisi dengan pasar semata.
Konsep Diri dan Komunal Humas Pariwisata
dari anggapan
Ibu Tien Soeharto yang bertitik tolak dari moral dan tidak bermoralnya ajang ini.
Di samping ajang kecantikan dewasa ini dianggap sebagai medium promosi pariwisata, sekiranya dengan semangat jaman yang telah berubah pun kita tidak dapat menutup mata akan kebebasan individu yang pernah dipenggal di masa Orde Baru. Akan tetapi, oleh Windemere yang juga dikutip oleh Heidegger dikatakan setidaknya kebenaran bukanlah sesuatu yang melulu disempitkan pada apa yang faktual, yang dalam arti bahwa manusia hidup dengan hasrat, tujuan, dan kepribadian yang unik. Dengan mengakui sifat-sifat kemanusiaan tadi, akan ada pula pengakuan pada cara manusia berhubungan dan mempengaruhi realitas di sekitarnya, termasuk kelompok dalam sistem besar dan sub-sub sistemnya.
Perlu diingat bahwa ajang-ajang kecantikan dimanapun ia diselenggarakan selalu menempatkan kontestan dalam identitas kulturalnya. Keterwakilan peserta dalam ajang internasional pun membawa misi nasional. Dengan begitu, Arika, dalam profilnya yang tertera di halaman missgrandinternational.com, tidak bisa hanya sekedar mengejar ambisi pribadinya semata; demikian juga Dinand Fariz selaku perancang busana. Siapapun perwakilan Indonesia dan apapun kontesnya, sepatutnya sadar akan kontruksi idiil dan operasioniil falsafah kebangsaan dan kenegaraan Indonesia; Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasi.
Kesemua bahasan diatas barangkali dapat dikatakan sebagai rekontruksi kesadaran kita kembali. Tentu kita berharap, sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dikandung oleh Ibu Pertiwi, bukanlah sebuah display yang menawarkan kegadisan dan kemolekannya saja. Lebih dari itu, kita berdaulat di atas kaki sendiri.
*) Penulis adalah Mahasiswa Program Sarjana Ilmu Politik, Universitas Brawijaya;