Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah wujud dari pengelolaan keuangan negara yang menjadi cara Pemerintah untuk mengatur pengeluaran dan penerimaan negara. Tujuan penyusunan APBN tersebut adalah dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabilitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum. APBN terdiri dari bagian pendapatan, belanja, dan hibah. Pendapatan Negara berasal dari penerimaan perpajakan, penerimaan Negara bukan pajak (PNBP), serta hibah.
Penerimaan Negara bukan pajak merupakan salah satu jenis pendapatan Negara yang asalnya bukan dari sektor penerimaan perpajakan. PNBP dipungut atau ditagih oleh Instansi Pemerintah dengan perintah UU atau PP atau penunjukan dari Menteri Keuangan, berdasarkan Rencana PNBP yang dibuat oleh Pejabat Instansi Pemerintah tersebut. PNBP yang telah dipungut atau ditagih tersebut kemudian disetorkan ke kas negara dan wajib dilaporkan secara tertulis oleh Pejabat Instansi Pemerintah kepada Menteri Keuangan dalam bentuk Laporan Realisasi PNBP Triwulan yang disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan setelah triwulan tersebut berakhir. Untuk satker yang berstatus Badan Layanan Umum, tidak seluruh PNBP harus disetor ke kas negara, namun boleh dikelola sendiri oleh satuan kerja yang bersangkutan dengan catatan siap dan sanggup diaudit.
Dalam LRA, PNBP disajikan sesuai dengan klasifikasi PNBP yang diatur dalam UU APBN, yakni :
1. Penerimaan Sumber Daya Alam
Penerimaan SDA ini terdiri dari SDA migas dan nonmigas. SDA nonmigas. Penerimaan SDA Nonmigas merupakan penerimaan yang berasal dari hasil pemanfaatan sumber daya alam di luar minyak dan gas bumi. Sumber penerimaan SDA nonmigas meliputi:
a. Pendapatan pertambangan mineral dan batu bara; b. Pendapatan kehutanan;
c. Pendapatan perikanan; dan d. Pendapatan panas bumi. 2. Bagian Pemerintah atas Laba BUMN
Pendapatan BUMN yang disetor ke kas negara merupakan laba bersih setelah pajak yang dihasilkan oleh BUMN dan perseroan terbatas lainnya, termasuk penerimaan dividen dari Perseroan terbatas dengan kepemilikan saham Pemerintah minoritas seperti PT Freeport dan PT Sucofindo.
3. PNBP Lainnya
Kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak meliputi:
1. penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah; 2. penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam;
3. penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan; 4. penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah;
5. penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi;
6. penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah; 7. penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-undang tersendiri.
Pengelompokan PNBP ini kemudian ditetapkan dalam PP No. 22 Tahun 1997 yang telah diubah dengan PP No. 52 Tahun 1998 dengan menjabarkan jenis-jenis PNBP yang berlaku umum di semua Kementerian / Lembaga, sebagai berikut :
Penerimaan kembali anggaran (sisa anggaran rutin dan sisa anggaran pembangunan); Penerimaan hasil penjualan barang/kekayaan Negara;
Penerimaan hasil penyewaan barang/kekayaan Negara; Penerimaan hasil penyimpanan uang negara (jasa giro);
Penerimaan ganti rugi atas kerugian negara (tuntutan ganti rugi dan tuntutan perbendaharaan);
Penerimaan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemerintah; Penerimaan dari hasil penjualan dokumen lelang.
Apabila jenis PNBP belum tercakup dalam jenis-jenis PNBP ini, kecuali yang telah diatur dengan Undang-undang, dapat ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak ditetapkan dengan memperhatikan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, biaya penyelenggaraan kegiatan Pemerintah sehubungan dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan, dan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat. Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak ditetapkan dalam Undang-undang atau Peraturan Pemerintah yang menetapkan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan.
Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997, sebagian dana dari suatu jenis PNBP dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis PNBP tersebut oleh instansi yang menghasilkan penerimaan tersebut. Kegiatan tertentu dimaksud meliputi kegiatan: penelitian dan pengembangan teknologi, pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelatihan, penegakan hukum, pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu, serta pelestarian sumber daya alam.
penggunaan PNBP untuk belanja K/L. Akibatnya, proporsi pagu penggunaan PNBP memengaruhi fleksibilitas dalam pengalokasian anggaran.
Di sisi lain, pendapatan negara bukan pajak dari badan layanan umum digunakan 100% untuk kegiatan BLU itu sendiri sehingga PNBP dari BLU tersebut tidak dapat digunakan untuk menambah kapasitas fiskal. Transaksi PNBP BLU sifatnya hanya “numpang lewat” dalam postur APBN, karena keluar masuknya pendapatan BLU dan belanja BLU melalui rekening BLU itu sendiri. Pencantuman transaksi BLU di dalam postur APBN bisa menimbulkan kesalahan penafsiran terutama jika kita berbicara mengenai kapasitas fiskal. Sebagai contoh: peningkatan pendapatan PNBP dari BLU akan menambah besaran belanja (belanja BLU meningkat) dan akan berdampak pada alokasi anggaran pendidikan yang turut menjadi lebih tinggi. Padahal pendapatan negara dari BLU tersebut dikembalikan seluruhnya kepada BLU dan tidak dapat digunakan untuk belanja yang lain. Dengan asumsi defisit yang tetap maka untuk menjaga 20% anggaran pendidikan karena adanya tambahan belanja BLU tersebut akan mengorbankan anggaran non-pendidikan dalam postur APBN.