• Tidak ada hasil yang ditemukan

kepastian hukum pembiayaan dengan jamina

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "kepastian hukum pembiayaan dengan jamina"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

KEPASTIAN HUKUM PEMBIAYAAN DENGAN JAMINAN HAK

TANGGUNGAN UNTUK TANAH YANG BELUM TERDAFTAR

Ketua

Desy Artha Pertiwi, S.H.,M.Kn NIDN. 0222128503

Anggota

Betha Rahmasari, SH, MH. NIDN. 0216068502

(2)

DAFTAR ISI

1. Pengertian dan Dasar Hukum Bank Umum... 6

2. Pengertian dan Dasar Hukum Bank Syariah... 6

3. TinjauanUmumPerjanjian/Akad... 7

B. Tinjauan Umum Tentang HakTanggungan... 8

1. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Tanggungan... 8

2. Hubungan Hak Tanggungan dan hypotek... 9

BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT………. 25

A. Tujuan Penelitian... 25

B. Manfaat Penelitian... 25

BAB IV METODE PENELITIAN... 27

A. Jenis Penelitian... 27

B. Sumber data... 27

C. Alat Penelitian dan cara Pengumpulan data... 30

D. Jalannya Penelitian... 31

E. Analisis data... 32

F. Hambatan penelitian... 32

G. Cara mengatasi Hambatan penelitian... 32

BAB V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 33

A. Kepastian hukum pembiayaan dengan jaminan hak tanggungan untuk tanah yang belum terdaftar... 33

B. Hambatan pada akad pembiayaan dengan jaminan Hak Tangungan untuk tanah yang belum terdaftar... 43

BAB VI. RENCANA PENELITIAN TAHAP BERIKUTNYA... 45

BAB VII PENUTUP... 46

A. Kesimpulan... 46

B. Saran... 46

DAFTAR PUSTAKA... 47

(3)

Ringkasan

Penelitian dengan judul aspek kepastian hukum pembiayaan dengan jaminan Hak Tangungan untuk tanah yang belum terdaftar mengkaji menganai (1) Aspek kepastian hukum pembiayaan dengan jaminan hak tanggung untuk tanah yang belum terdaftar (2) hambatan pada akad pembiayaan dengan jaminan Hak Tanggungan untuk tanah yang belum terdaftar di bank syariah dan Lembaga Pembiayaan.

Penelitian ini bersifat yuridis empiris. Penelitian ini dilaksanakan di Bank Syariah atau Lembaga Keuangan Syariah di Kota Metro, dengan responden Legal Staf Bank Syariah, Notaris & PPAT yang menjadi rekanan Bank, Kepala Seksi Pendaftaran Tanah ATR/BPN yang diambil dengan cara purposive sampling. Data hasil penelitian diklasifikasikan menjadi data kualitatif untuk menghasilkan data deskriftif-analisis, hasil penelitian dianalisis kemudian dideskripsikan.

Bank Syariah dalam pelaksanaan pembiayaan mengunakan pola kemitraan akan tetapi sama seperti bank-bank konvensional dihadapkan pada resiko. Salah satu resiko yang tidak mudah untuk diperhitungkan adalah aspek hukum dalam pemberian pembiayaan. Tanah merupakan barang jaminan untuk pembayaran utang yang paling disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit/pembiayaan. Salah satu bentuk pengikatan barang jaminan yang diatur dalam ketentuan yang berlaku adalah Hak Tanggungan.

Berdasarkan pembahasan diatas disimpulkan bahwa untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak dalam pelaksanaan akad pembiayaan untuk tanah yang belum terdaptar yang dijadikan jaminan pada perjanjian/akad pembiayaan, harus terlebih dahulu didafarkan/dibuat sertifikat tanda bukti haknya yang dapat diproses sekaligus bersamaan dengan pelaksanaan akad pembiayaan. Untuk memberikan kepastian hukum tersebut Notaris/PPAT membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak ditandatangani Akad. Sebaiknya sebelum dilakukan/dilaksanakan perjanjian/akad pembiayaan masyarakat/nasabah mendaftarkan tanahnya/ membuat sertifikat. Hal ini berguna untuk mempermudah proses akad pembiayaan sekaligus menghemat biaya. Untuk tanah yang belum terdaftar dapat dibuat sertifikat dengan mengikuti program pendaftaran tanah yang di laksanakan atas prakasa pemerintah melalui kementrian ATR/BPN.

(4)

PRAKATA

Assalamualaikum wr. Wb

Segala Puji bagi Allah yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah nya sehingga peneliti dapat merampungkan laporan kemajuan Penelitian Dosen Pemula ini. Shalawat dan Salam kami curahkan kepada bimbingan Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membawa ummatnya dari zaman jahiliyyah kezaman yang terang benerang seperti saat ini.

Dengan ini penulis pun mengucapkan terimasih kepada Kementerian Ristek dan Teknologi yang telah memberikan kesempatan kepada kami tim peneliti untuk dapat berpartisipasi dalam SKIM Penelitian Dosen Pemula agar banyak belajar dan mengembangkan disiplin ilmu yang ada. Teriring dengan ini pula kami sembahkan terimasih kepada Rektor Universitas Muhammadiyah Metro Bapak H.Prof. Karwono, M.Pd, Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Metro H. Hadri Abunawar S.H.,M.H., dan Ketua Program Studi Ilmu Hukum Shofwan Taufiq SHI, MSI yang telah membantu penelitin dalam proses penelitian ini di Universitas Muhammadiyah Metro. Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui bagaimana kepastian hukum pembiayaan dengan jaminan hak tanggungan untuk tanah yang belum terdaftar. Dan untuk mengetahui hambatan pada akad pembiayaan dengan jaminan Hak Tangungan untuk tanah yang belum terdaftar.

Hormat Kami

(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perbankan dalam kehidupan suatu negara adalah salah satu Agent Pembangunan (agent of development). Hal ini dikarenakan adanya fungsi utama dari perbankan itu sendiri yaitu sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayan. Fungsi ini lazim disebut sebagai intermediasi perbankan. (Anshori,Abdul Ghofur ; 2008 : 3)

Perjanjian kredit atau akad pembiayaan merupakan salah satu sumber dana bagi usaha mengerakan sektor-sektor riil dalam pembangunan. Untuk mendapatkan pembiayaan, seseorang (calon debitur) dapat mengajukan permohonanan kepada bank dan Lembaga Pembiayaan.

Pada tahun 1998 diundangkanlah Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam undang-undang yang baru ini secara tegas dikatakan bahwa sektor perbankan di Indonesia terdiri dari dua macam, yaitu Bank Konvensional dan Bank berdasarkan Prinsip Syariah baik pada bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat.

Landasan pokok bagi pemberian kredit perbankan diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang berbunyi sebagai berikut :

1. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

2. Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuanan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

(6)

debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Bank umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (Pasal 8). Ketentuan tersebut lebih menekankan kepada bank untuk perlu adanya jaminan bagi kredit yang disalurkan kepada nasabah (debitur).

Dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang menginginkan pelayanan jasa perbankan syariah di Indonesia, maka pada tahun 2008 pemerintah membentuk Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 sangat diperlukan sejalan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi yang berlandasakan pada nilai keadilan, kebersamaman, pemerataan dan kemanfaatan.

Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008, Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah wajib melaksanakan prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian adalah salah satu asas terpenting yang wajib diterapkan atau dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan kegiatan usahanya guna menghindari sengketa dikemudian hari.

Perbankan syariah sebagai sub sistem dari perbankan nasional, dalam menerapkan prinsip kehati-hatian dan asas-asas pembiayaan yang sehat diwujudkan dalam hal antara lain dengan adanya jaminan atau agunan (collateral) dari nasabah debitur. Jaminan atau agunan ini berfungsi untuk mendukung keyakinan bank atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi pembiayaan yang diterimanya sesuai dengan yang diperjanjikan.

(7)

pokoknya, perjanjian penjaminan ini dapat berupa penjaminan yang bersifat materiil ataupun kebendaan maupun imateriil atau perorangan. Salah satu bentuk pengikatan barang jaminan yang diatur dalam ketentuan yang berlaku adalah Hak Tanggungan, sebagaimana diatur dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Konsekuensi Yuridis dari Perjanjian accesoir adalah keberadaan perjanjian jaminan mempunyai akibat hukum sebagai berikut, pertama, adanya (timbulnya) bergantung pada perjanjian pokok. Kedua, hapusnya juga tergantung dari perjanjian pokok. Ketiga, jika perjanjian pokoknya batal, maka perjanjian ikutannya juga batal. Keempat, perjanjian tambahan ikut beralih dengan beralihnya perjanjian pokok. (Khoidin, M. ; 2017 : 37).

Tanah merupakan barang jaminan untuk pembayaran utang yang paling disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit/pembiayaan. Sebab tanah pada umumnya, mudah dijual, harganya terus meningkat, mempunyai tanda bukti hak, sulit digelapkan dan dapat dibebani hak tanggungan yang memberikan hak istimewa kepada kreditor. Hak Tanggungan merupakan bentuk jaminan baru yang tertuju atas benda tidak bergerak terdiri atas dua macam, yaitu berupa tanah bukan tanah.

Hutang yang dijamin dengan hak tanggungan dapat berupa hutang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat permohonan eksekusi hak tanggungan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian hutang-piutang lain yang menimbulkan peringkatan.

Didalam praktik, sebelum dibuat akta pemberian hak tanggungan seringkali didahului pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungan. Surat kuasa membebankan hak Tanggungan ini dimaksudkan untuk memudahkan krediturnya selaku pemegang hak tanggungan dalam melakukan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan. untuk tanah yang belum terdaftar atau belum bersertifikat tidak dapat langung dibebani Hak Tangungan, sementara pendaftaran atau pensertifikatan memakan waktu yang lama. tidak semua bank atau lembaga pembiayaan mau menerima jaminan tanah

Yang belum bersertifikat. Pemberian pembiayaan untuk tanah yang belum befikat juga perlu adanya kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak.

(8)

dengan jaminan tanah yang belum terdaftar memiliki karakteristik yang berbeda. Sesuai dengan tema tersebut maka dirumuskan judul :Kepastian Hukum Pembiayaan Dengan Jaminan Hak Tanggungan Untuk Tanah Yang Belum Terdaftar Pada Lembaga Keuangan Syariah di Kota Metro.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Aspek kepastian hukum pembiayaan dengan jaminan hak tanggung untuk tanah yang belum terdaftar?

2. Apa hambatan pada pelaksanaanakad pembiayaan dengan jaminan Hak Tanggungan untuk tanah yang belum terdaftar di bank/Lembaga Pembiayaan?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana kepastian hukum pembiayaan dengan jaminan hak tanggungan untuk tanah yang belum terdaftar.

2. Untuk mengetahui hambatan pada akad pembiayaan dengan jaminan Hak Tangungan untuk tanah yang belum terdaftar.

(9)

D. Manfaat Penelitian

Kegunaan / manfaat penelitian adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis hasil penelitian yang dilaksanakan dapat memberikan sumbanganpemikiranbagi pengembangan ilmu hukum padaumumnyadan pengembangan ilmu hukum Agraria serta praktek perbankan pada khususnya. Karena hasil penelitian ini nantinya dapat dijadikan referensi/bahan ajar dalam bidang Hukum agraria, khususnya bab-bab mengenai Hak Tanggungan. Sehingga mahasiswa ataupun para pihak yang berkepentingan dapat memiliki gambaran umum tentang akad pembiayaan, pemberian hak tanggungan, mengkaji akta yang berkaitan dengan pembiayaan di perbankan. Dan bagi praktisi perbankan, Notaris dapat dijadikan acuan didalam praktek.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, menambah wawasan pengetahuan dan pemahaman mengenai aspek kepastian hukum Apa saja yang harus diperhatikan untuk memberikan perlindungan hukum bagi para pihak sekaligus menerapkan prinsip kehati-hatian (Prudential Principle).

E. Ruang Lingkup Penelitian

(10)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Bank dan Lembaga Pembiayaan 1. Pengertian Bank Umum

Pengertian Bank Umum berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sifat dan jasa yang diberikan adalah umum, dalam arti dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada. Begitupula dengan wilayah operasionalnya dapat dilakukan diseluruh wilayah Indonesia, bahkan keluar negeri (Cabang). Bank Umum sering disebut juga Bank Komersil.

2. Pengertian Bank Syariah

Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang dimaksud dengan Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

Kegiatan Usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah secara teknis operasional berkaitan dengan produk-produknya mendasarkan pada Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan dan Penyaluran Dana serta Layanan Jasa Bank Syariah, serta Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/14/DPbS Jakarta, 17 Maret 2009 Perihal Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.

(11)

Disamping melibatkan hukum Islam dan pembebasan transaksi dari mekanisme bunga (interes free), posisi unik lainnya dari Bank Syariah dibandingkan Bank Konvensional adalah diperbolehkan Bank Syariah melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-finance dan perdagangan (trading). Hal ini berkenaan dengan sifat dasar transaksi Bank Syariah yang merupakan investasi dan jual beli serta sangat beragamnya pelaksanaan pembiayaan yang dapat dilakukan bank syariah, seperti pembiayaan dengan prinsip murabahah (jual beli), ijarah (sewa) atau ijarah waiqtina (sewa beli) dan lain-lain.

3. Tinjauan Umum tentang Lembaga Pembiayaan

B. TinjauanUmumTentangPerjanjian/Akad Pembiyaan

1. Perjanjian Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata

2. Perjanjian Menurut Hukum Islam a. Pengertian Perjanjian

Secara etimologis perjanjian dalam bahasa Arab diistilahkan dengan Mu’ahadah Itiffa atau akad. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah kontrak, perjanjian atau persetujuan yang artinya adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih. Di dalam Al-Qur’an setidaknya ada 2 (dua) istilah yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu akad (al-aqadu) dan kata ‘ahd, Al-Qur’an memakai kata pertama dalam arti perikatan atau perjanjian, sedangkan kata yang kedua dalam Al-Qur’an berati masa, pesan, penyempurnaan, dan janji atau perjanjian. (Anshori, Abdul Ghofur ; 19 : 2006).

(12)

Sedangkan pengertian akad menurut Samsul Anwar adalah “pertemuan ijab dan qabul sebagai persyaratan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.”

Menurut Abdul Ghofur Anshori istilah akad dapat disamakan dengan istilah perikatan atau verbintenis, sedangkan kata Al-ahdu dapat dikatakan sama dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yang dapat diartikan sebagai suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan pihak lain. Dengan demikian dari rumusan akad diatas diindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus setelah akad secara efektif mulai diberlakukan.

b. Keabsahan Perjanjian Menurut Hukum Islam

Dalam hukum Islam untuk terbentuknya suatu akad yang sah dan mengikat haruslah dipenuhi rukun akad yaitu unsur-unsur untuk membentuk sesuatu, sehingga akad itu terwujud dan syarat akad yang merupakan syarat-syarat agar unsur akad dapat terwujud, karena tanpa adanya syarat-syarat akad unsur akad tidak akan dapat membentuk akad. (Anwar, Syamsul ; 95 : 2007)

Rukun dan Syarat akad adalah sebagai berikut : 1. Rukun akad sendiri ada 4 (empat) yaitu :

a) Para pihak yang membuat akad (al -‘aqidan). b) Pernyataan kehendak para pihak (shiqatul -‘aqd). c) Objek akad (mahallul -‘aqd).

d) Tujuan akad (maudhu’ al -‘aqd). 2. Syarat akad terdiri dari :

a) Pihak yang berakad : (1)Cakap Hukum.

(2)Sukarela (ridha), tidak dalam keadaan dipaksa/terpaksa/dibawah tekanan. b) Objek yang diperjual belikan :

(1) Tidak termasuk yang diharamkan/dilarang. (2) Bermanfaat.

(3) Penyerahannya dari penjual ke pembeli dapat dilakukan. (4) Merupakan hak milik penuh pihak yang berakad.

(5) Sesuai spesifikasinya antara yang diserahkan penjual dan yang diterima pembeli.

(13)

(1) Harus jelas dan disebutkan secara spesifik dengan siapa berakad,

(2) Antara ijab qabul (serah terima) harus selaras baik dalam spesifikasi barang maupun harga barang yang disepakati.

(3) Tidak mengandung klausul yang bersifat menggantungkan keabsahan transaksi pada hal/kejadian yang akan datang.

(4) Tidak membatasi waktu, misal : saya jual ini kepada anda untuk jangka waktu 12 bulan setelah itu milik saya kembali.

Untuk dapat membuat perjanjian yang sah maka untuk rukun pertama harus dipenuhi 2 (dua) syarat akad yaitu tamyiz dan berbilang, untuk rukun ke 2 (dua) juga harus dipenuhi dua syarat yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan qabul, dengan kata lain tercapainya kata sepakat, dan kesatuan majelis akad. Untuk rukun ketiga harus dipenuhi tiga syarat, yang pertama objek itu dapat diserahkan, tertentu dan dapat ditentukan dan objek dapat ditransaksikan, rukun ke empat memerlukan satu syarat yaitu tidak bertentangan dengan syarak.(Anwar, Syamsul ; 96 ; 2007).

c. Asas-Asas Hukum Perjanjian Islam

Ada delapan Asas yang dikenal dalam melakukan perjanjian dengan hukum Islam yang antara lain : (Syamsul, Anwar ; 82 : 2007)

1) Asas Ibahah ; adalah asas Hukum Islam dalam bidang muamalat secara umum dimana pada asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya.

2) Asas Kebebasan ber-Aqad ; adalah suatu asas dimana setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat pada nama-nama yang telah ditentukan dalam Undang-Undang syariah dan memasukkan klausul apa saja kedalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya sejauh tidak berakibat makan harta sesama dengan cara batil.

3) Asas Konsensualisme ; adalah asas yang menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu.

4) Asas Janji itu Mengikat ; adalah suatu asas yang menyatakan bahwa janji itu mengikat dan harus dipenuhi.

(14)

keseimbangan antara apa yang diterima dengan apa yang harus dipenuhi diantara para pihak.

6) Asas Kemaslahatan ; adalah akad yang dibuat dengan tujuan kemaslahatan bagi para pihak dan tidak boleh menimbulkan kerugian atau keadaan yang memberatkan.

7) Asas Amanah ; adalah asas dimana para pihak harus beritikat baik dalam bertransaksi dan juga tidak mengeksploitasi mitranya.

8) Asas Keadilan ; adalah asas yang hendak diwujudkan oleh semua hukum.Dalam hukum Islam keadilan merupakan perintah Al-Qur’an dan merupakan sendi setiap perjanjian yang dibuat.

3. Berakhirnya Perjanjian

Dalam Hukum Islam berakhirnya perjanjian dapat terjadi karena berakhirnya akad atau karena diputus oleh salah satu pihak (fasak), secara umum fasak dalam Hukum Islam meliputi : ( Anwar, Syamsul ; 340 : 2007).

a. Terminasi akad berdasarkan kesepakatan (al-aqalah)

Suatu akad (perjanjian), Apabila telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya sesuai dengan ketentuan hukum, maka akad tersebut menjadi mengikat. Daya ikat tersebut menunjukan arti bahwa akad bersangkutan tidak dapat diubah atau bahkan diputuskan oleh para pihak yang telah menyetujuinya secara sepihak berdasarkan kehedak sepihak. Namun dapat pula dilakukan pemutusan akad berdasarkan kesepakatan para pihak (al-iqalah).

b. Terminasi akad terkait pembayaran urbun dimuka

Adalah suatu akad disertai semacam tindakan hukum para pihak yang memberikan kemungkinan kepada masing-masing untuk memutus akad bersangkutan secara sepihak dengan memikul suatu kerugian tertentu.

c. Terminasi akad karena salah satu pihak menolak melaksanakannya. Adalah permintaan terminasi akad (fasakh) dari salah satu pihak karena pihak lain tidak melaksanakan prestasinya.

(15)

Apabila tidak dilaksanakannya perikatan oleh salah satu pihak disebabkan oleh alasan eksternal, maka akad batal dengan sendirinya tanpa putusan hakim karena akad mustahil untuk dilaksanakan.

Sedangkan menurut pendapat Abdul Ghofur Anshori, dalam kontek hukum Islam, perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan berakhir jika dipenuhi tiga hal sebagai berikut :

1) Berakhirnya masa berlaku perjanjian/akad

Biasanya dalam sebuah perjanjian telah ditentukan erat kapan suatu perjanjian akan berakhir, sehingga dengan lampaunya waktu maka secara otomatis perjanjanjian akan berakhir, kecuali kemudian ditentukan oleh para pihak.

2) Dibatalkan oleh pihak yang berakad

Hal ini biasanya terjadi jika ada salah satu pihak yang melanggar ketentuan perjanjian, atau salah satu pihak mengetahui jika dalam pembuatan perjanjian terdapat unsur kekhilafan atau penipuan.

Kekhilafan bisa menyangkut objek perjanjian (error in objecto), maupun mengenai orangnya (error in persona).

3) Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia

Hal ini berlaku pada perikatan untuk berbuat sesuatu, yang membutuhkan adanya kompentensi khas. Sedangkan jika perjanjian dibuat dalam hal memberikan sesuatu, katakanlah dalam bentuk uang/barang maka perjanjian tetap berlaku bagi ahli warisnya. Sebagai contohnya ketika orang yang membuat perjanjian pinjam uang, kemudian meninggal maka kewajiban untuk mengembalikan hutang kewajiban ahli waris.

C. TinjauanUmum Tanah danPendaftaran Tanah 1. Pengertian Pendaftaran Tanah.

Tujuan pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria: antara lain, menjamin kepastian hak bagi seluruh rakyat Indonesia oleh karena itu, ada perintah pendaftaran tanah (Pasal 19, 23, 32,38 UUPA) Ketentuan Pokok Pendaftaran Tanah dalam UUPA.

a. Umum:

(16)

1) Tujuan: untuk menjamin kepastian hak; 2) Penyelenggara: pemerintah;

3) Daerah : di seluruh wilayah Indonesia;

4) Juklak: menurut ketentuan Peraturan Pemerintah (dulu: PP 10 Tahun1961; sekarang: PP 24 Tahun1997). Pasal 19 (2) mengenai kegiatan Pendaftaran Tanah, yang meliputi:

a) pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah;

b) pendaftaran: hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c) pemberian surat tanda bukti hak.

Pasal 19 ayat (3), penyelenggaraan-pelaksanaannya, dengan mengingat: (1) keadaan negara dan masyarakat;

(2) keperluan lalu-lintas sosial ekonomi;

(3)kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri; Pasal 19 (4), pembiayaan:

biaya pendaftaran tanah akan diatur di dalam Peraturan Pemerintah, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya tersebut.

Peraturan Pemerintah 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Merupakan peraturan pelaksanaan Pasal 9 UUPA, dan mengatur secara terperinci hal-hal yang berkaitan dengan pendaftaran tanah di Indonesia. Peraturan Pemerintah 24 Tahun 1997 ini, kemudian diatur secara lebih rinci lagi dalam Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PeraturanPemerintahNomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.Pokok-Pokok Pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor24 Tahun 1997. Pengertian Pendaftaran Tanah: (Pasal 1) adalah rangkaian kegiatanyang dilakukan Pemerintah secara terus menerus, berkesinarnbungan dan teratur;

a. meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajlan serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalarn bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun;

(17)

Catatan:

1) data fisik tanah: keterangan mengenai letak, batas, dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya;

2) data yuridis tanah: keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.

Objek pendaftaran tanah: Pasal meliputi:

a) bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan HM, HGU, HGB dan HP; b) tanah hak pengelolaan;

c) tanah wakaf; d) HMSRS;

e) hak tanggungan; f) tanah negara catatan:

1) tanah negara yang didaftar adalah tanah negara dalam arti sempit atau tanah negara bebas atau tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Pendaftaran tanah negara dilakukan dengan mencatatnya dalam daftar tanah dan tidak diterbitkan sertifikat.

2) tanah ulayat, menurut Peraturan Menteri AgrariaTahunKepala BPN No. 5 Tahun 1999, setelah meialui proses identifikasi bisa didaftar dalam register tanah di Kantor Pertanahan, dan tidak/tanpa diterbitkan atau tanpa disertai sertifikat.

Asas-asas Pendaftaran Tanah ( Pasal 2 UUPA) :

a. Sederhana: ketentuan pokok maupun prosedur Pendaftaran Tanah mudah dipahami.

b. Aman: penyelenggaraan Pendaftaran Tanahharus teliti dan cermat sehingga hasilnya memberi jaminan kepastian hak;

(18)

d. mutakhir: data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir; untuk itu maka ada kewajiban mendaftar dan mencatat perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari;

e. terbuka: data PendaftaranTanahsecara berkesinambungan dan dipelihara dan disimpan di kantor BPN dan masyarakat dapat memperoleh keterangan mengertai data yang benar setiap saat.

2. Tujuan Pendaftaran Tanah : Pasal 3 UUPA :

a. memberikan kepastian hak dan perlidungan hak kepada pemegang Hak Atas Tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan; untuk itu maka diberikan sertifikat kepada pemegang hak.

b. menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan ketika mengadakan perbuatan hak mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar; untuk itu maka berlaku asas terbuka untuk umum untuk kepentingan penyajian data, maka dibuat daftar umum, yang terdiri atas peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah dan daftar nama.

Kegiatan Pendaftaran Tanah (Pasal 11 UUPA) meliputi : 1) Pendaftaran Tanah untuk pertama kali (initial registration):

pengertian: kegiatan pendaftaran yang dilakukan terhadap objek Pendaftaran Tanahyang belum didaftar berdasar PP 10 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai suatu atau beberapa objek Pendaftaran Tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa Tahun kelurahan secara individual atau masal atas permintaan pihak yang berkepentingan.

(19)

pemegang hak yang telah didaftar.Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dapat dilakukan dengan cara: sistematik dan sporadik

(a)sistematik : Pendaftaran Tanah yang dilakukan pertama kali secara serentak meliputi semua bidang tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan;diselenggarakan atas prakarsa pemerintah berdasarkan suatu rencana kerja jangka panjang dan Tahunan;dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Kepala BPN.

(b) sporadik:kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai suatu atau beberapa objek Pendaftaran Tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa Tahun kelurahan secara individual atau masal atas permintaan pihak yang berkepentingan.

Pendaftaran untuk pemeliharaan data Pendaftaran Tanah (maintenance) : untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis didalam peta pendaftaran, daftartanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian, seperti yang terjadi karena beralihnya dibebaninya, atau berubahnya nama pemegang hak yang telah didaftar.

D. TinjauanUmumTentangHakTanggungan

1. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Tanggungan

Pada tanggal 9 April 1996 telah dundangkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang untuk selanjutnya akan disebut sebagai dan memang dalam kehidupan sehari-hari terkenal dengan sebutan Hak Tanggungan, dan undang-undangnya kita singkat menjadi Undang-Undang Hak Tanggungan.

2. Hubungan Hak Tanggungan Dengan Hipotik (Dan Credietverband)

(20)

“Dengan berlakunya undang-undang ini, ketentuan mengenaiCredietverband sebagaimana tersebut dalam staatsblad 1908 - 542 Jo staatsblad 1909 - 586 dan staatsblad 1909 - 584 sebagaimana yang telah diubah dengan staatsblad 1937 - 19010 staatsblad 1937- 191 dan ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana disebut dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. “

Kalau dari nama/judul Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 kita telah menyimpulkan objek pengaturannya seperti tersebut di atas, maka kalau kita hubungkan itu dengan kata-kata sepanjang mengenai tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi dalam Pasal 29 Undang-Undang Hak Tanggungan, kiranya bisa kita simpulkan, bahwa Undang-Undang Hak Tanggungan bermaksud untuk menggantikan hipotik, tetapi hanya sepanjang objeknya adalah tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Jadi, dengan keluarnya Undang-Undang Hak Tanggungan, lembaga hipotik tidak dinyatakan dihapus.

Adalah berlainan sekali pengaruh ketentuan Pasal 29 tersebut di atas terhadap credietverband, karena di sana dengan tegas dikatakan, bahwa ketentuan-ketentuan tentang credietverband untuk selanjutnya sudah tidak berlaku lagi. Dengan demikian, untuk selanjutnya mengenai objek jaminan hak tanggungan sudah tidak ada kaitan apa-apa dengan credietverband.

3. Objek Hipotik Sebelum Undang-Undang Hak Tanggungan

Di waktu yang lalu, hipotik objeknya adalah benda tetap sebagai jaminan dan benda tetap menurut K.U.H.Perdata meliputi benda tetap karena sifatnya, karena peruntukannya dan karena undang-undang (Pasal 506, Pasal 507 dan Pasal 508 K.U.H.Perdata).

(21)

permanen di atas tanah yang bersangkutan. (Pasal 506 sub 1 K.U.H. Perdata). Orang biasa memberikan ciri dengan akarnya menyatu dengan tanah (wortelvast) atau dipersatukan secara pemanen (nagelvast, tidak dapat dilepas tanpa merusak, Pasal 50 sub 5 anak kalimat terakhir K.U.H. Perdata).

Benda tetap karena peruntukannya adalah benda-benda, yang menurut sifatnya sebenarnya merupakan benda bergerak, tetapi benda tersebut oleh pemiliknya dalam pemakaiannya dihubungkan dengan tetap. Di sini tidak disyaratkan, bahwa benda tersebut dipersatukan dengan tanah sedemikian sehingga tidak bisa dilepas tanpa merusak karena kalau benda itu dipersatukan secara demikian, maka benda tersebut termasuk dalam benda tetap karena sitatnya. Yang biasa dikemukakan sebagai contoh adalah mesin-mesin dalam pabrik.

Benda tetap menurut undang-undang adalah hak-hak kebendaan atas benda tetap sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 508 K.U.H. Perdata.

Di luar benda tetap sebagaimana yang disebutkan di atas, yang juga menjadi objek hak jaminan hipotik adalah kapal-kapal Indonesia yang mempunyai ukuran paling sedikit 20 m3

(dua puluh meter kubik) (Pasal 314 K.U.H.D.).

4. Objek Hak Tanggungan

Objek hak tanggungan sebagaimana yang kita simpulkan dan judul Undang-Undang Hak Tanggungan mendapat penegasannya dalam Pasal 4 Undang-Undang Hak Tanggungan, yang mengatakan bahwa:

a. Hak atas tanah yang dapat dibebani dengan hak tanggungan adalah: 1) Hak Milik

2) Hak Guna Usaha 3) Hak Guna Bangunan

b. Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani dengan hak tanggungan.

(22)

tanah yang menjadi objek hak tanggungan, sebagaimana yang disebutkan di atas, adalah hak-hak atas tanah menurut Undang-undang Pokok Agraria.

Di samping itu, menurut Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Hak Tanggungan: “Hak tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan,

tanaman, dan hasil karya yang telah ada dan akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanahnya, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan.

Jadi, selain tanah. bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanahnya dapat jadi objek hak tanggungan. Perhatikan baik-baik syarat merupakan satu kesatuan dengan tanahnya. Namun, perlu diperhatikan dengan baik, bahwa penyebutannya adalah:

“juga dapat dibebankan “pada hak atas tanah berikut” dan cara penyebutan mana kita tahu, bahwa bangunan, tanaman dan hasil karya itu hanya bisa menjadi objek hak tanggungan, kalau tanah di atas mana bangunan itu berdiri, tanaman itu tumbuh dan hasil karya itu berada, juga dijaminkan dengan hak tanggungan. Benda-benda di luar tanah, yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Hak Tanggungan tidak bisa dijaminkan dengan hak tanggungan terlepas dan tanahnya.

(23)

Adapun yang dimaksud dengan hasil karya dalam Pasal 4 ayat(4) Undang-Undang Hak Tanggungan, menurut penjelasannya, adalah misal candi, patung, gapura, relief yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan.

Dari contoh “hasil karya’ yang diberikan dalam pasal tersebut di atas, kita tahu, bahwa mesin-mesin yang ditempatkan dan dimaksudkan untuk digunakan secara permanen dalam bangunan permanen yang dijaminkan dengan hak tanggungan berlainan dengan dulu pada waktu masih digunakan lembaga hipotik sekarang tidak termasuk dalam objek hak tanggungan.

5. Tujuan Undang-Undang Hak Tanggungan

(24)

simak lebih teliti, maka di luar perbedaan-perbedaan tertentu ada banyak sekali persamaan antara keduanya. Janji-janji yang biasa atau selalu diperjanjikan dalam hipotik, juga diberikan pengaturannya di dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, hanya saja di sini ditambah dengan janji-janji baru. Akan tetapi, janji-janji yang baru pun yang ditambahkan tersebut sebagian merupakan janji-janji yang ditambahkan pada lembaga hipotik di negeri belanda dan karenanya kalau kita boleh menduga, Undang-undang Hak Tanggungan mengambil oper dan ketentuan hipotik di negeri Belanda. Sehubungan dengan hal tersebut, mengingat bahwa kita belum banyak mempunyai pengalaman dalam pelaksanaan Undang-Undang Hak Tanggungan dan belum mempunyai yurispudensi tetap mengenai segi-segi hukum Undang-Undang Hak Tanggungan, maka untuk sementara sepanjang tidak bertentangan dengan bunyi dan maksud serta tujuan Undang-Undang Hak Tanggungan kita masih akan menafsirkan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Hak Tanggungan menurut pengalaman dan yurisprudensi hipotik. Dan karena di depan kita telah membahas banyak segi hipotik, maka untuk pembahasan bagian-bagian tertentu dan Undang-Undang Hak Tanggungan yang mengatur hal yang sama dengan hipotik, kita tidak perlu membahasnya lagi, tetapi cukup dengan merevisinya kebagian hipotik.

Lalu, mengingat bahwa untuk Undang-Undang Hak Tanggungan penulis telah menyusun 2 (dua) buku, yaitu Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, bagian I dan II, maka di sini kita akan membahas yang pokok-pokok saja, sedang untuk tinjauan yang lebih rinci pembaca dipersilakan membaca buku-buku tersebut.

6. Ciri-Ciri Hak Tanggungan

Ciri-ciri hak tanggungan bisa kita lihat dalam Pasal 1 sub 1 Undang-Undang Hak Tanggungan, suatu pasal yang hendak memberikan perumusan tentang hak tanggungan, yang antara lain menyebutkan ciri:

(25)

memberikan suatu kedudukan yang lebih baik kepada kreditur yang memperjanjikannya. Lebih baik di sini diukur dan kreditur-kreditur yang tidak memperjanjikan hak jaminan khusus yaitu para kredit konkuren, yang pada asasnya berkedudukan sama tinggi, sehingga mereka harus bersaing satu sama lain untuk mendapatkan pelunasan atas hasil eksekusi harta debitur (Pasal 1131 K.U.H.Perdata). Karena kita belum mempunyai ketentuan umum tentang hukum jaminan, maka untuk sementara sebagai dasarnya kita pakai Pasal 1132 K.U.H.Perdata, Di samping itu, hak jaminan kebendaan juga memberikan kemudahan kepada kreditur yang bersangkutan untuk mengambil pelunasan, karena kepada kreditur diberikan hak parate eksekusi (vide Pasal 6 Undang- Undang Hak Tanggungan). Kita tahu parate eksekusi merupakan eksekusi yang disederhanakan, karena tidak perlu mengikuti ketentuan hukum acara.

b. Atas Tanah Berikut atau Tidak Berikut Benda-benda Lain yang Merupakan Satu Kesatuan dengan Tanah yang Bersangkutan

Kita tahu, bahwa yang menjadimenjadi pokok objek hak tanggungan adalah hak atas tanah. Di samping itu, kalau tanahnya dijaminkan, maka jaminan itu bisa diperjanjikan meliputi pula benda-benda yang bersatu dengan tanah yang bersangkutan.

(26)

suatu kebiasaan untuk selalu memperjanjikan pembebanan meliputi pula benda-benda yang bersatu dengan tanahnya?

Benda-benda yang turut dijaminkan itu bisa milik debitur sendiri maupun milik pihak-ketiga (Pasal 4 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Hak Tanggungan). Kalau pemberi-jaminan adalah debitur sendiri. maka yang bersangkutan disebut debitur pemberi hak tanggungan, sedang kalau pemberi-jaminan adalah pihak-ketiga, maka yang bersangkutan disebut pihak-ketiga pemberi hak tanggungan.

c. Untuk Pelunasan Hutang

Di sini tampak sifat accessoir dari suatu perikatan jaminan, karena ia mengabdi pada suatu perikatan pokok tertentu yang dijamin, yang pada asasnya bisa berupa kewajiban perikatan apa saja, tetapi pada umumnya berupa perjanjian hutang-piutang atau kredit. Perikatanpokoknya merupakan perikatan berdiri sendiri, tidak bergantung dari perikatan jaminannya.Perikatan pokoknya yang dijamin bisa 1 (satu) atau lebih (Pasal 5 Undang-Undang Hak Tanggungan) dan bisa meliputi perikatan pokok yang sudah ada pada saat pemberian-jaminan maupun yang akan timbul di kemudian hari (Pasal3 Undang-Undang Hak Tanggungan). Misalnya perikatan pokoknya adalah perjanjian kredit per rekening koran atau perikatan pokoknya adalah sekaligus 2 (dua), misalnya kredit per rekening koran dan kredit pemilikan rumah kedua-duanya dijamin dengan benda jaminan milik pemberi-jaminan. Sesuai dengan sifat accessoir suatu perikatan, maka adanya, berpindahnya dan hapusnva perikatan jaminan, bergantung kepada perikatan pokoknya (Pasal 16 jo Pasal 18 Undang-Undang Hak Tanggungan). Kalau perikatan pokoknya beralih, maka perikatan jaminannya turut berpindah, apabila perikatan pokoknya hapus, maka perikatannya juga hapus. Perikatan jaminan baru lahir atau mempunyai daya kerja, kalau perikatan pokoknya sudah lahir.

d. Memberikan Kedudukan yang Diutamakan

(27)

bahwa yang dimaksud dengan kedudukan yang diutamakan adalah sama dengan kedudukan sebagai kreditur preferen.

“Kedudukan sebaga kreditur preferen” berarti, bahwa kreditur yang bersangkutan didahulukan di dalam mengambil pelunasan atas hasil eksekusi benda pemberi-jaminan tertentu yang dalam hubungannya dengan hak tanggungansecara khusus diperikatkan untuk menjamin tagihan kreditur. Dengan demikian, kedudukan sebagai kreditur preferen baru mempunyai peranannya dalam suatu eksekusi. Itu pun kalau harta debitur tidak cukup untuk memenuhi semua hutangnya.

Pelaksanaan lebih lanjut dan ketentuan Pasal 1 ayat (1) tersebut dalam Pasal 20 ayat (1 b) Undang-Undang Hak Tanggungan. yang terletak pada Bab V tentang Eksekusi Hak Tanggungan, yang berbicara tentang: “untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur Iainnya”

Kata “hak mendahulu” kalau kita hubungkan dengan peristiwa “eksekusi” tentunya berarti “didahulukan” dalam mengambil pelunasan atas hasil eksekusi dan benda atau benda-benda yang dijaminkan. Jadi, kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan kita sebut sebagai “diutamakan” sedang pelaksanaan haknya kita sebut “didahulukan”.

Didahulukan dari “kreditur lain”, sekalipun juga tidak diberikan penjelasan lebih lanjut oleh undang-undang, namun kita kiranya sekali lagi berdasarkan pengalaman kita mengenai hipotik,boleh menduga, bahwa yang dimaksud adalah didahulukan terhadap kreditur konkuren, dan dasar pemikiran kita adalah Pasal 1132 jo Pasal 1133 K.U.H.Perdata.

(28)

e. Hak Tanggungan Sebagai Hak Kebendaan

Kalau pembuat undang-undang hendak memberikan kedudukan yang kuat kepada seorang kreditur, maka hal itu adakalanya dilakukan dengan memberikan sifat hak kebendaan kepada hak kreditur yang bersangkutan. Hak kebendaan mempunyai ciri-ciri:

1) mempunyai hubungan langsung dengan bendanya.

2) dapat ditujukan kepada siapa saja dalam tangan siapa ditemukan bendanya. 3) mempunyai droit de suite.

4) yang lahir lebih dahulu mempunyai kedudukan lebih tinggi. 5) dapat dialihkan.

Dari ciri-ciri tersebut di atas, dalam kaitannya dengan pembicaraan kita, yang paling penting adalah ciri droit de suite (Pasal 7 Undang-Undang Hak Tanggungan) dan ciri yang lahir lebih dahulu mempunyai kedudukan “lebih tinggi” (Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Hak Tanggungan).

Kelebihan kreditur pemegang hak kebendaan tampak nyata, kalau kita sadari, bahwa pengikatan jaminan hak tanggungan, didasarkan perjanjian antara kreditur pemegang hak tanggungan dengan pemberi hak tanggungan. Padahal, suatu perjanjian pada asasnya hanya menimbulkan hak dan kewajiban yang relatif saja, yang hanya bisa ditujukan dan mengikat para pihak dalam perjanjian saja (vide Pasal 1315 jo Pasal 1340 K.U.H.Perdata), dengan konsekuensinya semua ketentuan dan janji-janji dalam perjanjian pengikatan jaminan tidak mengikat pihak-ketiga.

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT

(29)

1. Untuk mengetahui bagaimana kepastian hukum pembiayaan dengan jaminan hak tanggungan untuk tanah yang belum terdaftar.

2. Untuk mengetahui hambatan pada akad pembiayaan dengan jaminan Hak Tangungan untuk tanah yang belum terdaftar.

Dengan demikian peneliti berharap dapat memberikan solusi atas permasalahan yang ada terkait penelitian tersebut diatas, menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran pembiayaan (prudential principle).Mengkaji ketentuan peraturan perundang-undangan khususnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-Undnag Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, serta peraturan lain yang terkait. Menganalisi apakah peraturan yang terkait tersebut telah di implementasikan di dalam praktek, apabila sudah kemudian ditarik kesimpulan apakah peraturan tersebut masih relevan dan sesuai dengan perkembangan zaman, ataukah diperlukan revisi, penambahan Pasal-Pasal atau peraturan pelaksana, agar dapat memberikan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi para pihak didalam praktek perbankan/Lembaga Pembiayaan.

B. ManfaatPenelitian

Kegunaan / manfaat penelitian adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis hasil penelitian yang dilaksanakan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan pengembangan ilmu hukum Agraria serta praktek perbankan pada khususnya. Karena hasil penelitianin inantinya dapat di jadikan referensi/bahan ajar dalam bidang Hukum agraria, khususnya bab-bab mengenai Hak Tanggungan. Sehingga mahasiswa atau pun para pihak yang berkepentingan dapat memiliki gambaran umum tentang akad pembiayaan, pemberianhaktanggungan, mengkajiakta yang berkaitandenganpembiayaan di perbankan. Dan bagi praktisi perbankan, Notaris dapat dijadikan acuan di dalam praktek.

(30)

BAB IV

METODE PENELITIAN

(31)

Penelitian mengenai Kepastian Hukum Pembiayaan dengan Jaminan Hak Tanggungan untuk Tanah belum terdaftar pada Lembaga Pembiayaan di Kota Metro menggunakan pendekatan Yuridis empiris, yakni penelitian yang didasarkan pada penelitian lapangan (field research) untuk memperoleh data primer dibidang hukum. Data primer diperoleh dengan cara memberikan pertanyaan pada responden dan narasumber dalam bentuk wawancara. Guna menunjang dan melengkapi data yang diperoleh dari penelitian lapangan dilakukan penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder, data sekunder diperoleh dari bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier. (Hartono, Sunaryati ; 134 : 1994).

Yuridis karena penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti asas-asas hukum, sistem hukum dan singkronisasi hukum dengan jalan menganalisanya.Empiris karena menitikberatkan pada penelitian lapangan secara menyeluruh, sistematis, faktual, mengenai fakta-fakta yang berhubungan dengan penulisan ini. Disamping penelitian lapangan juga ditunjang dengan penelitian kepustakaan (library research) untuk melengkapi data yang diperoleh dari penelitian dilapangan.

B. Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dengan melakukan : 1. Penelitian Kepustakaan

Penelitian kepustakaan adalah salah satu cara pengumpulan data dengan membaca dan mempelajari bahan-bahan berupa literatur-literatur dan peraturan Perundang-Undangan yang mempunyai relevansi dengan permasalahan. Adapun tahap dan lingkup penelitian kepustakaan adalah :

a. Bahan Penelitian

Data kepustakaan yang diperoleh dari penelitian ini adalah data sekunder. Yang dimaksud dengan data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka dalam keadaan siap dibuat dan dapat digunakan dengan segera. yang berasal dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, (Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri ; 13 : 2006). yang terdiri dari :

(32)

Syariah, tentu tidak lepas dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Besar Muhamad SAW, maka bahan hukum primer yang digunakan adalah :

(a) Al-Qur’an, Hadis, Ijmak dan Qiyas.

(b)Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)Staatblad Nomor 23 Tahun 1847.

(c) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

(d) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

(e) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

(f) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.

(g) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah.

(h) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 jo Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah.

(i) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primeryang terdiri dari :

a) Bahan hukum kepustakaan yang membahas tentang Pembiayaan dengan Jaminan Hak Tanggungan.

b) Jurnal dan Artikel yang berhubungan dengan Perbankan, Perbankan Syariah dan Notaris/PPAT dan jaminan .

3) Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunderyang terdiri dari :

a) Kamus Hukum. mempelajari materi-materi (bahan-bahan) yang berupa data sekunder, baik itu berupa buku-buku maupun peraturan yang berhubungan dengan materi penelitian. Selanjutnya dari semua itu dipilih asas-asas hukum, kaedah-kaedah hukum dan ketentuan-ketentuan yang mempunyai kaitan erat dengan permasalahan yang diteliti, kemudian disusun dalam kerangka sistematis guna mempermudah dalam menganalisisnya.

(33)

Penelitian lapangan adalah penelitian yang dilakukan dengan untuk memperoleh data primer yang berhubungan dengan objek penelitian. Adapun yang dimaksud dengan data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama.(Soekanto, Soerjono ; 13 : 2006).

Penelitian lapangan ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data primer dan data-data sekunder melalui pendekatan dan pengamatan langsung kelokasi penelitian untuk mengetahui bagaimana prosedur pelaksanaannya, hal ini dilakukan untuk mendapatkan data-data yang akurat yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Ruang lingkup dan tahapan penelitian lapangan adalah :

a. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah BMT Adzkia Metro Lampung, dan ATR/BPN Kota Metro Provinsi Lampung. Penentuan lokasi didasarkan atas pertimbangan mempermudah jalannya penelitian, mengingat penulis berdomisili dilokasi tersebut.

b. Subjek Penelitian

Untuk memperoleh data primer yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka dilakukan penelitian dengan subjek penelitian sebagai berikut:

1) Responden

Responden yaitu pihak yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sebagai responden dalam penelitian ini adalah :

a) Notaris yang menjadi rekanan pada Lembaga Pembiayaan di Kota Metro. b) Nasabah yang memperolehfasilitaspembiayaan.

2) Narasumber

Yaitu pihak yang memahami tentang masalah Perbankan Syariah. Sebagai narasumber dalam penelitian ini adalah Legal Staf pada Lembaga Pembiayaan, Account Officer dan Notaris/PPAT juga Staf Ahli di BPN Kota Metro.

c. Metode Sampel

Jenis sample dilakukan dengan non-random sampling dimana peneliti tidak diberikan kesempatan yang sama pada populasi untuk menjadi sample. Jenis non random sampling yang digunakan adalah purposivesampling, yaitu penelitian yang menetapkan syarat dan kriteria yang harus dipenuhi.

(34)

Alat pengumpulan data yang digunakan guna memperoleh hasil penelitian yang dapat menunjang penulisan ini adalah :

1) Studi Dokumen.

Pengumpulan data dengan cara studi dokumen dilakukan melalui analisis berbagai dokumen yang berupa catatan, transkrip, perjanjian-perjanjian dan sebagainyayang berkaitan dengan pembiayaan dan Jaminan.

2) Wawancara

Untuk melengkapi data dalam penelitian lapangan digunakan pedoman wawancara dan daftar pertanyaan yang telah disusun dan ditujukan kepada Notaris/PPAT, Staf ahli di BPN dan Legal Staf serta Divisi kredit/pembiayaan. Pedoman wawancara adalah alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian, yang dijadikan sebagai bahan untuk dapat memudahkan dan mengendalikan data yang menjadi target dalam wawancara sehingga wawancara tersebut tidak menyimpang dari yang direncanakan. Tipe pedoman wawancara dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu ;

i. Wawancara dengan pedoman tersetuktur, yaitu apabila dalam pedoman wawancara disusun secara terperinci.

ii. Wawancara dengan pedoman tidak tersetuktur, yaitu apabila pedoman tersebut hanya menggunakan garis besar wawancara. (Sumardjono, Maria ; 35 : 2001) Adapun penelitian ini menggunakan gabungan dari kedua macam pedoman tersebut diatas, artinya dalam pelaksanaan wawancara dengan subjek penelitian, penulis telah mempersiapkan pedoman wawancara yang berupa daftar pertanyaan. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa selama proses tanya jawab berlangsung, penulis juga menanyakan hal-hal lain yang masih berkaitan dengan objek penelitian diluar daftar pertanyaan, yang timbul secara langsung pada saat wawancara berlangsung dan diberikan kesempatan yang seluas-luasnya pada narasumber dan responden untuk memberikan jawaban.

D. Jalannya Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian ini, langkah-langkah yang ditempuh guna mendukung penyelesaian penelitian ini dilakukan melalui 3 (tiga) tahap yaitu :

(35)

Tahap persiapan dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan, pra-survei, kemudian dilanjutkan dengan penyusunan dan pengajuan usulan penelitian yang dikonsultasikan kepada Tim Pembimbing dari Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Metro untuk mendapatkan penyempurnaan, langkah selanjutnya adalah penyusunan instrument penelitian dan pengurusan izin penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan

Pada tahap ini dilakukan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Pada penelitian kepustakaan dilakukan pengumpulan data dan pengkajian lebih lanjut terhadap bahan hukum primer, sekunder, tersier. Pada penelitian lapangan dilakukan pengumpulan data primer melalui pedoman wawancara yang disampaikan langsung oleh peneliti kepada narasumber dan responden. Pedoman wawancara telah dipersiapkan dahulu kemudian dikembangkan pada saat wawancara sesuai dengan situasi ketika wawancara dilakukan.

3. Tahap Penyelesaian

Pada tahap penyelesaian ini dilakukan berbagai kegiatan yang meliputi penyusunan laporan awal hasil penelitian dan disertai dengan analisis data. Kemudian dilanjutkan dengan konsultasi dengan Tim Pembimbing dan diakhiri dengan laporan akhir penelitian.

E. Analisis Data

(36)

mengerti dan memahami gejala yang diteliti. Deskriftif yaitu metode analisis dengan memilih data yang menggambarkan keadaan yang sebenarnya dilapangan, analisis menggunakan cara berpikir deduktif yang artinya berangkat dari hal-hal yang umum menuju hal-hal yang khusus.

F. Hambatan Penelitian

Secara keseluruhan dalam pelaksanan penelitian yang dilakukan tidak dijumpai hambatan yang berati yang dapat menggagalkan penyelesaian penelitian ini. Namun demikian, masih ditemukan kendala dalam menentukan jadwal untuk melakukan wawancara di sebabkan keterbatasan waktu yang dimiliki narasumber dan responden, mengingat rutinitas pekerjaan narasumber dan responden yang sangat padat.

G. Cara Mengatasi Hambatan Penelitian

Hal yang penulis lakukan untuk mengatasi hambatan/kesulitan dalam penelitian adalah; terlebih dahulu penulis menghubungi pihak bank kemudian mengajukan jadwal melakukan penelitian dan wawancara kepada responden dan narasumber. Karena dalam hal ini pihak bank yang memfasilitasi penulis bertemu dengan responden. Pada hari yang ditentukan penulis kembali menghubungi pihak bank untuk mengkonfirmasikan kembali jadwal dan melakukan penelitian.

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Setelah melakukan penelitian lapangan melalui proses wawancara dengan responden dan narasumber, serta peneliatian kepustakaan yang penulis lakukan, maka dapat disajikan hasil penelitian sebagai berikut:

A. Kepastian hukum pembiayaan dengan jaminan hak tanggungan untuk tanah yang belum terdaftar

(37)

hukum dalam hukum perjanjian terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu. Yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Dan tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cukup untuk itu. Akta otentik sendiri dijadikan sebagai alat bukti yang sempurna karena keistimewaannya. Seperti yang tercantum dalam Pasal 1870 KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut ;

“adalah suatu akta memberikan diantara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapatkan dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya.”

Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan akta otentik, dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata, yaitu :

“Akta otentik adalah suatu tulisan yang didalam bentuknya ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu ditempat mana akta dibuatnya.”

Berdasarkan ketentuan undang-undang, suatu akta merupakan akta otentik jika : 1. Bentuknya ditentukan oleh undang-undang.

2. Dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum.

3. Dibuat diadalam wilayah kewenangan dari pejabat yang membuat akta itu.

Notaris merupakan pejabat umum yang telah ditetapkan menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagai Pejabat Umum yang mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat lainnya. Seperti yang kita ketahui bahwa pada akta otentik terdapat 3 (tiga) macam kekuatan pembuktian yaitu :

1. Kekuatan pembuktian formal, yaitu membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan dan tahun, pukul (waktu) menghadap, paraf/tanda tangan. Disamping itu, juga membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, dan didengar oleh Notaris.

(38)

3. Kekuatan pembuktian lahiriah, yaitu kemampuan dari akta notaris itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik (akta publika probant sese ipsa). Dengan demikian, jika dilihat dari luar (lahiriah) sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan, akta tersebut berlaku sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya. (harahap, Yahya, 566 : 2008)

Akta otentik dapat dibagi menjadi akta yang dibuat oleh pejabat (acte ambtelijk, procesverbaal acte, verbaalatkte) dan akta yang dibuat oleh para pihak (partijakte). Acteamblijk merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu, pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya. Inisiatif acteambtelijk berasal dari pejabat yang bersangkutan dan tidak berasal dari orang yang namanya tercantum didalam akta. Sedangkan partijakte (akte pertij) adalah akta yang dibuat dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu. Partijacte dibuat oleh pejabat atas permintaan pihak-pihak yang berkepentingan.

Menurutpendapat Account Manager pada BMT Adzkia Metrokepastian hukum didalam pelaksanaan akad pembiayaan sangat diperlukan dalam hubungan keperdataan diantara para pihak, terutama didalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan dibidang perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain. Di bidang Perbankan syariah dalam pelaksanaan akad pembiayaan. yang meliputi antara lain kepastian didalam; pembuatan akad pembiayaan, pengikatan jaminan, dan legalisasi akad dibawah tangan, dan pendaftaran objek jaminan. Dalam pembuatan akad yang berdasarkan prinsip syariah, mengenai persyaratan yang menyangkut substansinya tergantung dengan jenis akad pembiayaan yang diajukan oleh nasabah (musytari). Sedangkan mengenai pengikatan agunan atau jaminan tergantung dari jenis bendanya. Lebih lanjut dikatakan untuk urusan atau bagian legal di BMT diserahkan sepenuhnya kepada Notaris, tetapi pihak bank, tetap melakukan pengawasan. Dalam hal ini peran Notaris sangat besar, begitu pula dengan tanggung jawabnya, karena di BMT Adzkia tidak ada legalstaff sehingga proses analisa mengenai nasabah maupun jaminan yang diberikan oleh nasabah dilakukan pula oleh Notaris. Lebih lanjut dikatakan peran Notaris, yaitu :

a. Membuat analisa yuridis atas keabsahan dari subjek hukum dan jaminan (securityagreement) yaitu dengan cara memeriksa identitas.

b. Memberikan legalopinion kepada pihak bank dan nasabah atas transaksi yang dilakukan. c. Menyiapkan draft akad.

(39)

e. Memeriksa legalitas jaminan

Menurut Notaris dan PPAT di Metro yang menjadi rekananpada BMT dan Lembaga Keuangan Syariah Notaris memiliki peran kunci dalam memberikan kepastian hukum bagi para pihak dalam pelaksanaan akad pembiayaan di bank, karena notaris dengan jabatannya mempunyai kewenangan untuk membuat akta akad tersebut. Selain itu, pengikatan suatu objek jaminan berdasarkan ketentuan Undang-Undang yang berlaku untuk itu, kewenangannya berada pada Notaris/PPAT. Demikian pula dengan pembuatan perjanjian jaminan atas benda milik debitur selalu dikaitkan dengan adanya seuatu hutang tertentu. Artinya perjanjian jaminan dibuat untuk menjamin pelunasan hutang tertentu.

Menurut ketentuan dari BMT dan Bank tidak ada ketentuaan baku dalam praktik, artinya perjanjian tersebut bisa dibuat secara tertulis melalui akta otentik maupun akta dibawah tangan maupun lisan, sedangkan untuk menjamin kepastian hukum mengenai jamian harus dibuat dalam bentuk tertulis dan disyaratkan dengan akta otentik. Didalam ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 1996 Jo. PP Nomor 229/1997) dinyatakan Pemberian Hak Tanggungan harus dilakukan dengan akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Jika tidak dibuat secara otentik, maka perjanjian jaminan khusus tersebut tidak sah dan batal demi hukum.

Berdasarkan Hasil wawancara dengan bahwaNotaris/PPAT dinyatakan bahwa pemberian hak tanggungan didahului oleh janji debitur untuk memberikan hak tanggungan kepada kreditur sebagai jaminan pelunasan hutang. Janji tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian hutang-piutang. Kemudian dilakukan pemberian hak tanggungan melalui pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Didalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan : 1. Nama dan identitas pemegang dan pemberi hak,

2. Domisili para pihak yang tercantum dalam akta,

3. Penunjukan secara jelas utang yang dijamin dengan hak tanggungan 4. Nilai tanggungan, dan

5. Uraian yang jelas mengenai obyek hak tanggungan. Disamping itu dalam akta pemberian hak tanggungan dapat pula dicantumkan adanya janji-janji, kecuali janji untuk memiliki obyek hak tanggungan. Isi janji tersebut adalah :

(40)

b) Membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk mengubah bentuk atau susunan obyek hak, kecuali dengan persetujuan tertulis pemegang hak.

c) Memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk mengelola obyek hak berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri

d) Memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk menyelamatkan obyek hak jika diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi obyek hak tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan Undang-undang.

e) Pemegang hak tanggungan pertama berhak menjual atas kuasa sendiri. f) Pemegang hak tanggungan tidak akan melepaskan hak atas tanahnya,

g) Janji pemegang hak tanggungan untuk memperoleh seluruh atau sebagian ganti rugi jika hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan dicabut atau dialihkan.

h) Janji pemegang hak tanggungan untuk mengosongkan obyek hak pada waktu eksekusi hak tanggungan.

(41)

bersertifikat maka tanah tersebut tidak bisa langsung di pasang hak tanggungan. Karena ada proses pensertifikatan tanah yang memakan waktu, unatuk itu dibutkan SKMHT agar bank dapat mengikat debitur dan memasang Hak Tanggungan pada saat sertifikat telah selesai dibuat. Apabila setelah satu bulan SKMHT tidak diikuti pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan, maka SKMHT tersebut batal demi hukum. Sedangkan untuk kredit tertentu, seperti kredit usaha rakyat, Kredit pemilikan rumah SKMHT berlaku sampai dengan berakhirnya masa perjanjian pokok. Setelah Akta Pemberian Hak Tanggungan ditandatangani oleh para pihak, PPAT, dan saksi-saksi, maka akta tersebut harus didaftarkan ke kantor pertanahan paling lambat 7 (tujuh hari kerja) setelah penandatanganan akta. Fungsi kantor pertanahan adalah melakukan pendaftaran atas hak tanggungan berdasarkan APHT yang dibuat oleh PPAT. Kantor pertanahan membuat buku tanah hak atas tanah serta menyalin catatannya kedalam sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. Buku tanah hak tanggungan disimpan didalam Kantor Pertanahan, yang didalammya tercantum nomor hak tanggungan, letak, nama pemegang hak, obyek hak tanggungan dan tanggal dibukukan. Tanggal buku tanah hak tanggungan adalah pada hari ketujuh setelah penerimaan lengkap seluruh surat-surat dalam berkas pendaftaran. Apabila hari ketujuh jatuh pada hari libur maka diberi tanggal hari kerja berikutnya.

Lebih lanjut dikatakan untuk akta dibawah tangan, notaris berperan untuk melegalisasi atau mewaarmerking akta tersebut. Legalisasi sendiri mengandung pengertian sebagai pernyataan benar dengan jalan memberikan pengesahan oleh pejabat yang berwenang atas akta dibawah tangan yang meliputi tandatangan, tanggal dan tempat dibuatnya akta dan isi akta. Dengan adanya legalisasi maka para pihak yang membuat akad/perjanjian tidak dapat mengingkari lagi keabsahan tandatangan, tempat dan tanggal dibuatnya akta karena isi akta dibawah tangan dibacakan dan diterangkan, sebelum para pihak membubuhkan tandatangan.

Perjanjian kredit/pembiayaan secara yuridis terdapat 2 (dua) bentuk, yaitu:

(42)

bentuk akta otentik atau akta notariil. Akad pembiayaan yang dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta otentik biasanya untuk fasilitas pembiayaan dengan jumlah yang besar. 2) Perjanjian/akad pembiayaan yang dibuat dibawah tangan dinamakan akta dibawah tangan

artinya akad yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh bank dalam bentuk formulir (standarform), kemudian ditawarkan kepada nasabah untuk disepakati. Akta akad pembiayaan yang dibuat dalam bentuk akta dibawah tangan itu agar tidak mudah dibantah atau disangkal kebenaran tandatangan yang ada didalam akta tersebut maka untuk memperkuat pembuktian formil maka akta yang dibuat dibawah tangan tersebut di legalisasi dan atau waarmerking.

Penandatangan akta dibawah tangan telah dilakukan dihadapannya.

Ketiga, penandatangan para pihak atas akta bawah tangan, dilakukan dihadapan notaris atau pejabat tersebut. Hal ini yang mesti ditegaskan dalam akta. Jika tidak menyebabkan legalisasi cacat formil. (harahap, Yahya, 598 : 2008).

Selain itu berdasarkan ketentuan didalam Pasal 15 ayat (2) butir b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dinyatakan pula bahwa Notaris membukukan surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. Secara harfiah disebut dengan waarmerking. Secara yuridis dalam waarmerking Notaris hanya mencatatkan perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak didalam daftar yang telah disediakan untuk itu sesuai urutan yang ada. Jadi waarmerking tidak menyatakan kebenaran atas tandatangan, tanggal dan tempat dibuatnya akta atau kebenaran isi akta seperti halnya dalam legalisasi.

Kekuatan hukum akta dibawah tangan yang dilakukan waarmerking secara yuridis tidak mengubah status alat bukti dari akta dibawah tangan menjadi akta otentik. Tindakan Notaris hanya melakukan pendaftaran dan pencatatan terhadap akta yang diajukan kepadanya. Pada prinsipnya Notaris tidak melakukan pengesahan apapun terhadap akta itu sehingga tidak mengubah kekuatan akta dibawah tangan yang di waarmerking sebagai alat bukti otentik.Sehingga disini terlihat jelas bahwa peran Notaris terkait dengan pelaksanaan pembiayaan pada Bank Syariah yaitu pada pelaksanaan legalisasi dan waarmerk yang dilakukan pada akad pembiayaan yang dibuat dalam bentuk dibawah tangan yang isinya sudah dalam bentuk format baku dan telah ditentukan oleh Bank Syariah.

(43)

terdiri dari segala tulisan yang tidak dibuat atau dihadapan pejabat. Dari segi hukum pembuktian agar suatu tulisan bernilai sebagai akta dibawah tangan, diperlukan persyaratan pokok :

1) Surat atau tulisan itu ditandatangani ;

2) Isi yang diterangkan didalamnya menyangkut perbuatan hukum (reschtshandeling) atau hubungan hukum (reschtsbettrekking) ;

3) Sengaja dibuat untuk dijadikan bukti dari perbuatan hukum yang disebut didalamnya.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada BMT Adzkia diketahui bahwa pembuatan akad pembiayaan dan pengikatan jaminan didasarkan pada terbitnya surat Order/SP3 bank kepada Notaris. Penunjukan Surat Order bank diterima secara langsung melalui karyawan bank dengan membawa ke kantor Notaris. Dijelaskan pula oleh beliau bahwa surat Order/SP3 adalah istilah yang digunakan dilapangan (dalam hal ini BMT Adzkia Cabang Metro) untuk pembutan akta akad. Surat Order/SP3 dibuat oleh pihak Bank yang kemudian ditandatangani oleh oleh nasabah. Dalam Surat Order/SP3 tersebut antara lain dimuat mengenai jenis pembiayaan, jangka waktu, jaminan, margin.

Dari dasar Surat order/SP3 yang ditandatangani oleh nasabah tersebut, bank mengirimkan permintaan pada Notaris untuk membuatkan akta-akta sesuai dengan Surat Order/SP3 itu, dengan disertai data dan dokumen yang dibutuhkan dalam pembuatan akad pembiayaan dan akta pengikatan jaminan. Hal ini dilanjutkan dengan pembuatan akta akad pembiayaan yang telah disetujui oleh pihak bank mengenai isi akad dan juga akta pengikatan jaminan. Kemudian setelah akta-akta tesebut selesai dibuat oleh Notaris, bank menentukan tanggal kapan nasabah, bank dan Notaris dapat melaksanakan akad dan penandatangan minuta akta. Untuk penandatangan akta akad, maka Notaris bisa menuju kantor BMT maupun menyuruh nasabah untuk datang menandatangani akta. Dalam pelaksanaan akad pembiayaan di BMT Adzkia biasanya penandatangan akta dilakukan di kantor BMT

Referensi

Dokumen terkait

IMPLEMENTASI PENDEKATAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL) DALAM PEMBELAJARAN KIMIA PADA KONTEKS PENGKONDISIAN PH TANAH UNTUK TANAMAN BAWANG MERAH1. Universitas Pendidikan Indonesia

Foto Copy Slip Pembayaran SPP terakhir6. Bersedia ditempatkan di lokasi yang

Peraturan Daerah Kabupaten Mandailing Natal Nomor 32 Tahun 2007 tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Dari tabel tersebut dapat dilihat tingkat akurasi model baru ini pada analisis data Laporan Keuangan 31 Desember 2002 mencapai angka 86,7 persen, baik untuk kelompok bank

Penting sebuah organisasi untuk memiliki budaya yang kuat adalah akan memberikan kesetiaan yang lebih besar dari pada karyawan dalam organisasi yang memiliki budaya

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “ Penerapan Media Pembelajaran Video Tutorial Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran

Bahwa benar kemudian Terdakwa bersama Saksi-I duduk di atas tempat tidur sambil ngobrol, tidak lama kemudian Terdakwa memengang tangan kiri dan mencium pipi kiri

No Kode Nama Mata Kuliah SKS Dosen Pengampu Kelas Hari Jam Gedung Ruang. 1 MPK 4008 Bahasa Indonesia 2 Nia