• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBERDAYAAN SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN KES

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMBERDAYAAN SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN KES"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBERDAYAAN SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG TUNA DAKSA Studi Kasus Pada Penyandang Tuna Daksa di Panti Rehabilitasi Sosial Bina

Daksa “Suryatama” Bangil Pasuruan

Oleh:

DEDE KURNIAWATI (0811210008)

ABSTRACT

Physically disabled is one of the groups that fall into the category of social welfare problem. This is due to the physically disabled susceptible to problems of disability, discrimination , and poverty . This study discusses the empowerment of persons with disabilities who lived in the orphanage RSBD Suryatama to be able to improve their social welfare . The purpose of this study was to analyze the process of empowerment of the physically disabled in the Home RSBD Suryatama and analyze the impact of empowerment for the development of social welfare . This study uses the perspective of Charles Horton Cooley on self-concept (looking glass self) and perspectives of Talcot Parson on medical understanding of disability . Type of applied research is descriptive qualitative research with a case study approach. Informants were selected purposively based on criteria established in accordance with the purpose of research .

Keywords : Empowerment , self-concept , social welfare , people with disability

ABSTRAK

Penyandang tuna daksa merupakan salah satu kelompok yang masuk dalam kategori penyandang masalah kesejahteraan sosial . Hal ini disebabkan oleh penyandang tuna daksa rentan terhadap masalah ketidakberdayaan, diskriminasi, dan kemiskinan. Penelitian ini membahas tentang pemberdayaan penyandang tuna daksa yang tinggal di panti asuhan RSBD Suryatama sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial mereka. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis proses pemberdayaan penyandang cacat fisik di Rumah RSBD Suryatama dan menganalisis dampak pemberdayaan bagi pengembangan kesejahteraan sosial. Penelitian ini menggunakan perspektif Charles Horton Cooley tentang konsep diri (looking glass self) dan perspektif dari Talcot Parson mengenai pemahaman medis disabilitas. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Informan dipilih secara purposive berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan penelitian .

(2)

Pentingnya Perhatian terhadap Penyandang Disabilitas

Penyandang tuna daksa termasuk dalam kelompok penyandang masalah kesejahteraan sosial (PKMS). Hal ini karena dalam proses interaksi antara penyandang tuna daksa dengan masyarakat di lingkungannya sering berjalan kurang baik. Penyandang tuna daksa sering mengalami diskriminasi dan ketersisihan. Kondisi tersebut mendorong mereka menjadi individu yang tidak berdaya dalam menjalani aktivitas sosialnya dan mengalami kesulitan dalam memperjuangkan kesejahteraan sosialnya.

Melalui Undang-Undang No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Disabilitas dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 43 tahun 1998 tentang Upaya Kesejahteraan Penyandang Disabilitas, Pemerintah Republik Indonesia telah menjamin secara legal formal segala persamaan hak dan kedudukan para penyandang disabilitas dengan warga negara Indonesia yang lain. Kesamaan hak dan kedudukan itu diantaranya ialah kesamaan dalam memperoleh pendidikan, pekerjaan dan penghidupan yang layak, berperan dan menikmati hasil-hasil pembangunan, aksesbilitas dalam mencapai kemandirian, rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial, serta menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya (Bapemas, 2011: 1).

Salah satu bentuk realisasi dari undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut yaitu dengan dengan disediakannya panti rehabilitasi sosial bina daksa. Panti

ini dijadikan tempat untuk memberdayakan penyandang tuna daksa agar mereka menjadi pribadi yang berdaya. Perlu untuk diketahui bahwa pemberdayaan merupakan salah satu solusi yang dapat dijalani oleh penyandang tuna daksa untuk keluar dari masalah kesejahteraan sosial yang mereka alami. Keberdayaan para penyandang tuna daksa ini nantinya akan menjadikan mereka dapat berdaya dalam memperjuangkan kesejahteraan sosialnya.

UPT Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Suryatama Pasuruan merupakan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur yang mempunyai tugas pokok dan fungsi memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial kepada penyandang tuna daksa agar mereka mampu berperan serta dalam kehidupan masyarakat. Dari tugas dan fungsi panti rehabilitasi sosial tersebut, dapat dilihat bahwa panti ini merupakan salah satu fasilitas atau media yang dipersiapkan pemerintah dalam memberdayakan penyandang tuna daksa. Sasaran layanan dari panti rehabilitasi sosial bina daksa ini yaitu penyandang tuna daksa usia produktif.

(3)

dengan bergabung di Panti RSBD Suryatama ini. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian skripsi yang berjudul Pemberdayaan Sebagai Upaya Membangun Kesejahteraan Penyandang Tuna Daksa: Studi Kasus Pada Penyandang Tuna Daksa di Panti Rehabilitasi Sosial Bina Daksa “Suryatama” Bangil Pasuruan.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses pemberdayaan yang dijalani oleh penyandang tuna daksa di Panti Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Suryatama? 2. Bagaimana dampak

pemberdayaan yang telah dijalani penyandang tuna daksa di Panti Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Suryatama?

Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian dengan jenis kualitatif diharapkan dapat mempermudah dalam mengkaji dan memahami fenomena sosial yang sedang terjadi tanpa harus menghilangkan sifat alamiah objek yang diteliti. Sifat alamiah penelitian kualitatif memiliki karakteristik bahwa data yang diambil diperoleh langsung dari lapangan, bukan dari laboratorium atau penelitian yang dikontrol, melakukan kunjungan pada situasi alamiah (Salim, 2006: 4).

Menurut Yin (2008: 1), penelitian kualitatif deskriptif merupakan penelitian yang fokus pada penguraian kasus yang sedang diteliti. Penelitian ini menerapkan jenis penelitian kualitatif deskriptif

dengan tujuan untuk menggambarkan suatu keadaan atau fenomena penyandang tuna daksa yang berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosialnya dengan menjalani pemberdayaan di Panti Sosial Bina Daksa Suryatama Pasuruan.

Pada penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan studi kasus. Yin (2008 :18) mengatakan, secara umum studi kasus merupakan suatu inkuiri empiris dimana menyellidiki fenomena di dalam kehidupan nyata dengan memanfaatkan multisumber bukti.

Fokus Penelitian

Menurut Bungin (2012: 41-42), fokus penelitian bertujuan untuk memberikan batasan terhadap permasalahan yang ada agar tidak terjadi pembiasan dan agar penelitian yang dilakukan tidak meluas dan lebih terarah sesuai dengan yang diharapkan.

Dalam hal ini, fokus penelitian yang menjadi prioritas dalam penelitian ini adalah menganalisis proses pemberdayaan penyandang tuna daksa di Panti RSBD Suryatama dan menganalisis keberhasilan pemberdayaan yang dijalani penyandang tuna daksa di panti RSBD Suryatama.

Lokasi Penelitian

(4)

Dalam penelitian ini, lokasi penelitian ditentukan di Panti Rehabilitasi Sosial Bina Daksa

“Suryatama” Bangil Pasuruan.

Lokasi tersebut dipilih dengan alasan bahwa Panti Rehabilitasi Sosial Bina

Daksa “Suryatama” merupakan panti

rehabilitasi sosial bina daksa satu-satunya di provinsi Jawa Timur yang berada di bawah naungan Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. Menariknya, pelayanan yang diberikan di panti ini masih kurang berkembang dibanding dengan panti RSBD lain. Di Panti RSBD Suryatama masih mempunyai sekitar empat macam jenis bimbingan ketrampilan, sedangkan di panti RSBD lain sudah mempunyai banyak jenis ketrampilan unuk memberdayakan kliennya. Meskipun mengalami keterbatasan dalam hal pemberian pelayanan bimbingan, tapi panti tetap diharapkan untuk dapat menjalankan perannya dalam membentuk penyandang tuna daksa yang berdaya dalam menjalani kehidupan sosialnya.

Teknik Penentuan Informan Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive. Hendrarso menjelaskan subjek penelitian akan menjadi informan yang akan memberikan berbagai macam informasi yang diperlukan selama proses penelitian. Adapun yang menjadi informan kunci adalah mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian. Informan utama adalah mereka yang terlibat secara langsung dalam interaksi sosial yang diteliti. Sedangkan informan tambahan adalah mereka yang dapat memberikan informasi walaupun

tidak langsung terlibat dalam interaksi sosial yang diteliti (Suyanto, 2005 : 171 ).

Dari keterangan tersebut, informan dalam penelitian ini terdiri dari informan kunci dan informan tambahan.

Teknik Pengumpulan Data

Data diperoleh sesuai dengan teknik pengumpulan data yang dijelaskan oleh Yin (2008: 103), diantaranya adalah:

a. Observasi langsung, peneliti melakukan kunjungan lapangan ke obyek yang diteliti dan mengobservasi pelaku dan kondisi lingkungan sosial yang relevan.

b. Wawancara mendalam secara tidak terstruktur dengan menggunakan pedoman wawancara.

c. Dokumentasi, merupakan informasi dokumenter yang sangat relevan untuk penelitian studi kasus .

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang diterapkan dalam penelitian studi kasus ini menggunakan teknik penjodohan pola (Yin, 2008: 135), diantaranya sebagai berikut:

1. Membuat pernyataan teoritis awal atau proposisi awal

(5)

3. Memperbaiki pernyataan atau proposisi. Apabila hasil dari kedua pola berbeda maka diperbaiki kembali dengan mencari pernyataan yang sesuai. 4. Membandingkan dengan kasus

lainnya dalam rangka perbaikan. Penelitian ini akan dibandingkan dengan penelitian terdahulu agar mendapat perbaikan dalam proses penelitian.

5. Memperbaiki kembali pernyataan atau proposisi. Perbaikan pernyataan dari tahap awal ketika membuat pernyataan, membandingkan temuan awal, memperbaiki pernyataan dan melihat apakah data yang diperoleh di lapangan sudah dapat menjawab rumusan masalah peneliti.

6. Memasukkan perbaikan dengan fakta dari kasus. Jika terdapat

kekurangan dalam

penyempurnaan proposisi maka diperbaiki dengan realitas yang ditemukan di lapangan.

7. Mengulangi proses analisa data sebanyak mungkin sesuai dengan kompleksitas permasalahan yang hendak dijawab dan sesuai yang dibutuhkan.

Keabsahan Data Penelitian

Dalam hal ini, keabsahan data dilakukan dengan menerapkan teknik kredibilitas yang meliputi beberapa kegiatan, yaitu (Endraswara, 2006: 111-112):

1) Memperpanjang cara observasi agar cukup waktu untuk mengenal responden, lingkungannya, dan kegiatan serta peristiwa-peristiwa yang terjadi. Hal ini juga sekaligus untuk mengecek informasi, agar

dapat diterima sebagai orang dalam. Kalau peneliti telah diterima oleh keluarga responden, kewajaran data akan terjaga.

2) Pengamatan terus menerus agar penelitian dapat melihat sesuatu secara cermat, terinci dan mendalam, sehingga dapat membedakan mana yang bermakna dan tidak.

(6)

(observasi, wawancara, dan dokumentasi). Kemudian, triangulasi teori, dilakukan dengan cara mengkaji beberapa teori yang relevan. Dalam hal ini, teori yang dikaji yakni teori tentang konsep diri, pemberdayaan, dan teori tentang difable.

4) Peer debriefing, dengan cara membicarakan masalah penelitian dengan orang lain. Dalam hal ini, penulis berusaha mendiskusikan penelitian ini dengan dosen-dosen pembimbing penelitian skripsi ini agar mendapatkan arahan dalam melakukan pembahasan mengenai masalah yang sedang diteliti.

Gambaran Umum Panti

Rehabilitasi Bina Daksa Suryatama

Panti rehabilitasi sosial bina daksa ini berdiri sejak 1 April 1986 diatas tanah seluas 30.800 m2. Jumlah bangunan 34 buah dengan luas 5.542 m2. Tugas Pokok UPT Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Suryatama Pasuruan telah ditetapkan dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor: 119 Tahun 2008 yaitu: memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial serta keterampilan terhadap penyandang tuna daksa, agar yang bersangkutan dapat berperan serta dalam kehidupan masyarakat dan juga merupakan pusat informasi tentang rehabilitasi penyandang tuna daksa. Sejak pertama berdiri tahun 1986 sampai tahun 2012, UPT Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Suryatama telah merehabilitasi penyandang cacat tubuh sejumlah 2178 orang.

Visi UPT Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Suryatama Pasuruan ini adalah memberikan kontribusi nyata dalam penanganan masalah sosial para penyandang tuna daksa melalui rehabilitasi sosial untuk membangun tekat mandiri melalui wujud usaha, bersama pemerintah dan masyarakat menuju Jawa Timur makmur dan berakhlak bagi semua lapisan masyarakat. Sedangkan misi dari UPT Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Suryatama Pasuruan diantaranya sebagai berikut:

1) Melaksanakan pelayanan rehabilitasi sosial bagi penyandang tuna daksa berdasarkan nilai-nilai agama, budaya, dan menerapkan prinsip profesi pekerjaan sosial.

2) Melakukan kajian strategis terhadap profesionalisme pelayanan bagi penyandang tuna daksa.

3) Membangun jaringan kerjasama di lingkungan pemerintah dan masyarakat yang bergerak di bidang kesejahteraan sosial untuk penyandang tuna daksa.

4) Meningkatkan sarana dan prasarana dalam proses pelayanan rehabilitasi sosial bagi penyandang tuna daksa.

5) Membangun dan

menyebarluaskan informasi tentang fungsi UPT Rehabilitasi Sosial Tuna Daksa.

Proses Pelayanan Sosial di Panti RSBD Suryatama

(7)

1) Tahap seleksi dan penerimaan, dimana dilakukan seleksi yang bertujuan untuk mengenal dan memahami masalah yang dialami calon klien. Pada tahap ini juga dilakukan pemberian motivasi oleh pihak panti kepada calon klien penyandang tuna daksa agar calon klien dan keluarganya bersedia dan mengijinkan calon klien untuk mengikuti program yang dijalankan oleh panti.

2) Tahap pemeriksaan kesehatan, yaitu dilakukan pemeriksaan kesehatan klien secara menyeluruh oleh dokter orthopedy berkaitan dengan kemampuan gerak motorik, fisioteraphy dan tindakan emergency yang dibutuhkan oleh klien, disamping itu dilakukan upaya perbaikan gizi dan penambahan nutrisi yang diperlukan.

3) Tahap assesment, yaitu dalam rangka penempatan program dan menentukan jenis pelayanan melalui kegiatan assesment, yang meliputi aspek fisik, mental, sosial, serta ketrampilan. 4) Tahap pra rehabilitasi, yaitu klien diperkenalkan pada program-program pelayanan dan rehabilitasi sosial serta keterampilan pada UPT Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Suryatama Pasuruan. Dengan demikian klien dapat memahami proses pelayanan dan rehabilitasi serta keterampilan secara utuh yang meliputi :

a. Pengenalan lingkungan b. Sosialisasi inter dan

intrapersonal

c. Pemahaman program pelayanan

d. Dinamika kelompok e. Bhakti panti

5) Tahap bimbingan ketrampilan dan sosial, dimana pada tahap ini klien akan diberikan bimbingan mental, sosial, fisik, serta ketrampilan dengan maksud agar nantinya klien dapat meningkatkan potensi dan mempunyai ketrampilan untuk masa depannya. Jenis ketrampilan yang ada pada UPT Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Suryatama Pasuruan terdiri dari ketrampilan pokok dan ketrampilan penunjang, antara lain:

a. Ketrampilan pokok terdiri dari penjahitan, elektronika, bourdir, percetakan/ sablon, service handphone

b. Ketrampilan penunjang terdiri dari otomotive, potong rambut/salon, home industry. 6) Tahap resosialisasi yaitu tahap

yang bertujuan agar klien mempersiapkan diri untuk berintegrasi sosial dengan masyarakat, hal ini tercakup dalam kegiatan Praktek Belajar Kerja (PBK), yang dilaksanakan selama dua bulan di perusahaan-perusahaan di sekitar Kabupaten Pasuruan yang telah menjalin kerjasama dengan pihak panti. PBK ini dimaksudkan untuk lebih memantapkan ketrampilan klien agar nantinya dapat berintegrasi dengan masyarakat secara baik.

(8)

sudah melaksanakan usaha mandiri di daerahnya masing-masing sesuai dengan ketrampilan yang mereka ambil setelah mereka selesai mengikuti program pelayanan dan rehabilitasi sosial serta ketrampilan.

8) Tahap terminasi, yaitu tahap pemutusan dalam pemberian pelayanan sosial baik secara administratif maupun secara teknis terhadap eks klien karena sudah dianggap berhasil dalam melaksanakan usaha mandiri, baik secara personal maupun kelompok.

Kegiatan Klien di Panti RSBD Suryatama Pasuruan

Kegiatan klien di Panti Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Suryatama dimulai pada pukul 04.00 pagi. Pada jam tersebut, mereka dipersilahkan untuk sholat subuh bagi yang beragama islam. Pada pukul 05.00 pagi, mereka melakukan bersih lingkungan. Pada pukul 06.00 pagi, para klien makan pagi secara bersama-sama. Setelah makan pagi, mereka melakukan apel di lapangan. Pada pukul 08.00 sampai pukul 11.30, mereka melakukan latihan ketrampilan sesuai dengan bidang ketrampilan yang sudah mereka pilih.

Pada pukul 11.30, mereka diberi waktu untuk melakukan sholat dhuhur bagi yang beragama islam, setelah itu mereka makan siang bersama. Pada pukul 13.00 sampai pukul 15.30, klien diberi waktu untuk istirahat dan setelah itu klien melanjutkan untuk mengikuti bimbingan yanng telah dijadwalkan, misalnya saja bimbingan peran,

bimbingan penggunaan alat bantu, bimbingan kejar paket, bimbingan kesenian, dll. Pada pukul 17.00 sampai pukul 19.00, klien diberikan waktu untuk istirahat dan makan malam. Pukul 19.00 samapai pukul 20.30, klien melakukan kegiatan bimbingan kembali berupa bimbingan kedisiplinan, bimbingan agama, bimbingan wirausaha, dan bimbingan teknik pendekatan masyarakat. Semua kegiatan tersebut dilaksanakan oleh para klien di panti ini selama satu tahun penuh.

Proses Pemberdayaan di Panti RSBD Suryatama

Barnes, Mercer dan Shakespeare menjelaskan, perspektif fungsional melihat masyarakat dari sudut pandang fungsional. Ini menjelaskan, struktur sosial sebagai serangkaian bagian yang saling berhubungan yang bekerja untuk pemeliharaan sistem sosial. Dalam hal ini, fungsionalis melihat penyandang disabilitas mengalami kesulitan dalam menyesuaikan dan memenuhi tuntutan masyarakat di mana dia tinggal. Oleh sebab itu, pendekatan pengetahuan medis berikut menyebutkan bahwa sejumlah besar penyandang disabilitas disarankan untuk bergabung di lembaga-lembaga untuk membawa mereka ke kondisi yang normal dan untuk menghentikan mereka sebagai beban orang lain. (Lone dan Kumar, 2013: 14-15)

(9)

Sosial Bina Daksa Suryatama. Di panti ini, penyandang tuna daksa dapat menjalani program pemberdayaan yang dapat membantu mereka untuk dapat lebih berdaya dalam menjalani perannya di kehidupan sosial.

Ife dan Tesoriero (2008:146) menyatakan, penyandang disabilitas merupakan bagian dari kelompok yang paling dirugikan. Mereka harus secara jelas dipertimbangkan dalam setiap strategi pemberdayaan untuk melawan keadaan yang merugikan. Orang dalam kelompok ini akan hampir tak terelakkan dirugikan lebih lanjut jika mereka kebetulan miskin

Dalam hal ini, penyandang tuna daksa mayoritas berada dalam kondisi powerless. Mereka berupaya untuk keluar dari kondisi tersebut dengan jalan mengikuti pemberdayaan di panti RSBD ini. Penyandang tuna daksa yang masuk di panti ini termotivasi untuk melakukan perubahan dalam hidup mereka, yaitu untuk keluar dari kondisi yang melemahkan mereka dan berusaha menjadi individu yang mandiri dan bisa meningkatkan taraf hidup karena memang sebagian besar dari penyandang tuna daksa yang berada di panti ini berasal dari keluarga yang kurang mampu.

Safilios dan Rothschild menjelaskan, sebuah variasi lebih lanjut tentang pemikiran ini adalah

“peran rehabilitasi”. Model ini

menunjukkan bahwa setelah seseorang yang mempunyai gangguan menyadari kondisi mereka, mereka kemudian menerimanya dan belajar bagaimana hidup dengan kondisi tersebut. Ia berpendapat, hal ini dapat dicapai melalui maksimalisasi kemampuan yang ada.

Dalam kerangka ini, individu yang mengalami gangguan berkewajiban untuk menyadari banyak fungsi

“normal” yang dapat mereka jalani.

Mereka tidak dibebaskan dari harapan sosial atau tanggung jawab, tetapi mereka dituntut untuk dapat beradaptasi. Selain itu mereka harus bekerjasama dengan para profesional dan berinovasi serta memperbaiki metode baru rehabilitasi (Barnes dan Oliver, 1993: 4).

Konsep tentang rehabilitasi ini telah dibahas dalam Undang-undang No.4 Tahun 1997 tentang penyandang disabilitas, pasal 1 menjelaskan, pemberdayaan penyandang disabilitas yang meliputi rehabilitasi sebagai proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang cacat agar mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Di panti RSBD Suryatama ini, rehabilitasi diwujudkan melalui kegiatan-kegiatan yang dapat membangun dan mengembangkan kemampuan klien, baik di bidang ketrampilan maupun di bidang sosial. , klien panti juga termotivasi untuk dapat menunjukkan kepada masyarakat jika mereka juga dapat melakukan hal positif dengan mengikuti proses pemberdayaan di panti ini.

Suharto (2010: 63-65) menyebutkan, pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan bisa dicapai dengan menerapkann pendekatan pemberdayaan yang disingkat menjadi 5P, yakni pemungkinan, penguatan, perlindungan, penyokongan, dan pemeliharaan.

(10)

juga dilakukan berdasar pada elemen 5P , dimana pada aspek pemungkinan, pihak panti berusaha untuk menciptakan suasana yang meungkinkan potensi klien berkembang secara optimal. Pelayanan terhadap klien dijalankan dengan sikap kekeluargaan. Klien diberikan kesempatan untuk dapat memilih pelatihan ketrampilan yang sesuai dengan bakat dan minat mereka. Kondisi lingkungan panti juga dijaga kebersihannya, sehingga klien dapat melaksanakan proses pemberdayaan ini dengan nyaman.

Pada aspek penguatan, pemberdayaan berusaha memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki klien sehingga klien dapat mempunyai kepercayaan diri dan berkemampuan untuk dapat memecahkan permasalahan yang dialaminya. Seperti halnya yang dijelaskan sebelumnya, klien panti diberikan kesempatan untuk mengikuti pelatihan yang mereka minati. Pelatihan ketampilan ini dapat meningkatkan kemampuan ketrampilan klien yang selanjutnya bisa dijadikan modal untuk bekerja. Pengetahuan klien diperkuat melalui bimbingan kejar paket. Bimbingan kejar paket ini diikuti oleh klien yang sebelumnya tidak pernah mengenyam bangku sekolah formal sehingga mereka tidak mengerti baca dan tulis. Oleh sebab itu di program kejar paket ini mereka akan diajarkan materi baca dan tulis agar mempermudah klien untuk berinteraksi dengan masyarakat luas.

Pada aspek perlindungan pihak panti berupaya untuk melepaskan penyandang tuna daksa dari segala bentuk diskriminasi yang merugikan. Di panti ini, klien

diberikan fasilitas asrama untuk tinggal selama menjalani pembinaan selama satu tahun. Mereka juga mendapatkan jatah makan tiga kali sehari dari panti. Mereka juga mendapatkan konsumsi secara baik dan gratis tanpa membeda-bedakan antara klien yang satu dengan yang lainnya. Dari pelayanan yang seperti itu, klien panti akan merasa dihargai dan mereka bisa mengikuti bimbingan dengan lancar.

Pada aspek penyokongan, pihak panti memberikan bimbingan dan dukungan agar klien mampu menjalankan peran dan tugas-tugas kehidupannya. Bimbingan yang diberikan yaitu bimbingan ketrampilan dan bimbingan sosial seperti bimbingan kewirausahaan, bimbingan kedisiplinan, bimbingan kemasyarakatan, dan bimbingan keagamaan. Dari bimbingan yang klien jalani selama berada di panti, klien mempunyai modal untuk dapat berinteraksi lebih baik dengan masyarakat dan dapat berkontribusi positif karena mereka dapat mandiri, dapat bekerja dan mempunyai penghasilan sendiri.

(11)

menyalurkan mereka ke pengusaha yang bekerjasama dengan panti. Pihak panti juga melakukan survey pendampingan kepada mereka untuk memberikan pengarahan agar klien tetap termotivasi untuk hidup mandiri.

Pemberdayaan diterapkan dengan tujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (Suharto, 2010: 59-60).

Dalam hal ini, penyandang tuna daksa yang menjadi klien Panti Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Suryatama berada di posisi sebagai orang-orang yang kurang beruntung. Pegawai panti mempunyai tugas untuk memberi pembinaan dan pelatihan kepada para klien agar mereka dapat berdaya dan mempunyai kemampuan untuk berelasi dengan masyarakat lain. Pemberdayaan ini dilakukan dengan tujuan untuk mempersiapkan penyandang tuna daksa yang berusia produktif agar dapat berintegrasi secara positif dengan masyarakat dan dapat memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup mereka. Meskipun demikian, tetap ada kriteria atau syarat yang harus dipenuhi oleh calon klien yang akan masuk di panti ini.

Sumaryadi (2005: 115) menjelaskan, sasaran program pemberdayaan yakni untuk mencapai kemandirian sehingga membuka kesadaran dan tumbuhnya keterlibatan masyarakat dalam mengorganisir diri untuk kemajuan dan kemandirian bersama. Selanjutnya, sasaran program pemberdayaan yaitu diperbaikinya kondisi sekitar kehidupan kaum rentan, lemah, tak berdaya, dan

miskin dengan kegiatan-kegiatan pemberian pemahaman, peningkatan pendapatan, dan usaha-usaha kecil di berbagai bidang ekonomi.

Kondisi ketidak sempurnaan fisik yang dialami penyandang tuna daksa yang berada di panti didorong untuk dapat menjadi individu yang mandiri dengan menerapkan kegiatan-kegiatan yang positif bagi keseharian mereka. Penyandang tuna daksa yang berada di panti mengikuti proses pemberdayaan di panti dengan menjalankan semua kegiatan bimbingan sosial ataupun bimbingan ketrampilan yang sudah terjadwal. Di Panti RSBD Suryatama, penyandang tuna daksa diberikan kesempatan untuk merubah stereotip yang selama ini melekat pada diri mereka, dimana mereka sering dipandang kaum lemah dan tidak bisa mandiri. Di panti ini mereka diberdayakan dengan kegiatan-kegiatan bimbiungan sehingga mereka dapat melakukan hal-hal positif secara mandiri.

(12)

klien. Mereka akan dijelaskan manfaat positif dari proses pemberdayaan yang ditawarkan oleh Panti Rehabilitasi Sosial Bina Daksa ini terhadap kehidupan mereka. Pihak panti akan menjelaskan program-program bimbingan dan ketrampilan yang akan mereka dapatkan dan manfaatnya bagi masa depan klien.

Proses kedua adalah proses pemahaman (Understanding). Proses ini dilakukan pada masa pra rehabilitasi, tepatnya pada bulan Februari sampai Maret. Dalam proses pra rehabilitasi ini, para klien penyandang tuna daksa menjalani serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memberikan pemahaman terhadap klien tentang kondisi umum panti dan visi misi panti yang tidak lain untuk memberdayakan mereka agar menjadi pribadi yang lebih mandiri. Pada bulan April sampai September, klien mulai mengikuti program bimbingan dan pelatihan keterampilan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh pihak panti. Dari kegiatan ini, klien akan memahami bahwa mereka mempunyai potensi untuk dapat mandiri. Potensi tersebut dapat mereka kembangkan melalui kegiatan yang terlah diprogramkan di panti.

Proses ketiga adalah proses memanfaatkan (harnessing) yang diterapkan pada bulan Oktober sampai Desember, dimana klien memanfaatkan pemberdayaan untuk kepentingan dirinya dan masyarakat disekelillingnya. Tahap ini disebut tahap resosialisasi, dimana para klien akan diarahkan untuk dapat berintegrasi kembali dengan masyarakat. Pada tahap ini, klien

akan diberikan program praktek belajar kerja (PBK). Pihak panti bekerja sama dengan masyarakat umum untuk dapat memberi kesempatan bagi penyandang tuna daksa untuk menjalankan program PBK di tempat usaha mereka. Pada saat PBK, klien berusaha membuktikan bahwa mereka dapat mengerjakan pekerjaan dengan baik sesuai dengan bidang keterampilan yang mereka dapatkan di panti. Dari proses ini, tumbuhlah kepercayaan dari pihak pengusaha swasta untuk mempekerjakan para klien setelah keluar dari panti.

(13)

panti dalam kehidupan sosial mereka. Berbekal ketrampilan yang dimiliki, mereka mulai berusaha mencari nafkah sendiri dengan berwirausaha sendiri atau bekerja di tempat mereka menjalani Program Belajar Kerja.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa pemilik usaha yang menjadi tempat para klien menjalani Praktek Belajar Kerja (PBK) pada umumnya mempekerjakan para klien di tempat usaha mereka. Hal ini dilakukan karena para pemilik usaha ini menilai klien penyandang tuna daksa serius dalam menjalankan pekerjaan yang diberikan.

Rubin (Sumaryadi, 2005: 94-96) menjelaskan, ada empat prinsip dalam konsep pemberdayaan. Empat prinsip ini yang kemudian juga diterapkan dalam pemberdayaan penyandang tuna daksa di Panti Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Suryatama.

Prinsip yang pertama adalah pemberdayaan harus selalu melibatkan partisipasi masyarakat. Panti rehabilitasi Sosial Bina Daksa Suryatama selalu melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan penyandang tuna daksa. masyarakat merupakan elemen penting untuk menyebarkan informasi adanya program pemberdayaan di panti ini. Kerjasama dengan masyarakat ini juga membantu pihak panti untuk mendapatkan informasi tentang keberadaan calon klien di wilayah Jawa Timur. Pihak panti juga menjalin kerjasama dengan masyarakat untuk dapat membuka peluang kerja bagi para klien. Dalam hal ini, masyarakat yang berada pada

sekor swasta dapat memberikan kesempatan bagi penyandang tuna daksa untuk menjalani Program Belajar Kerja di tempat usahanya, disamping itu juga diharapkan bersedia membuka peluang kerja bagi klien penyandang tuna daksa pasca keluar dari panti. Melalui kerjasama dengan masyarakat ini secara tidak langsung terbangun kepercayaan dalam lingkungan masyarakat bahwa penyandang cacat juga merupakan bagian dari elemen masyarakat yang dapat berdaya dan mandiri.

(14)

perikanan. Klien penyandang cacat menjalani bimbingan dan pelatihan ini sesuai dengan jadwal yang ditetapkan pihak panti.

Prinsip ketiga menyebutkan, dalam implementasinya pemberdayaan harus dapat memaksimalkan sumber daya, khususnya dalam hal pembiayaan. Dalam hal ini, sumber dana Panti Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Pasuruan hanya berasal dari APBD Provinsi Jawa Timur. Dana ini dianggarkan sebagai bentuk perhatian pemerintah daerah untuk membantu mengatasi masalah kesejahteraan penyandang tuna daksa. Prinsip keempat yaitu pemberdayaan harus dapat berfungsi sebagai penghubung antara kepentingan pemerintah yang bersifat makro dengan kepentingan masyarakat yang bersifat mikro. Kepentingan pemerintah yang bersifat makro adalah meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) secara menyeluruh. Peningkatan SDM tidak lain untuk mempermudah proses pembangunan suatu negara. Dalam hal ini, salah satu upaya peningkatan SDM dilakukan dengan mengatasi PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial). Salah satu kelompok yang termasuk dalam PMKS adalah penyandang cacat tubuh. Penyandang cacat tubuh termasuk dalam kelompok PMKS karena mereka adalah kelompok lemah dan tidak berdaya dalam masyarakat sehingga mereka sulit untuk mendapatkan kesejahteraan hidup. Oleh sebab itu, pemerintah berkepentingan untuk mengatasi masalah kesejahteraan penyandang cacat tubuh karena penyandang cacat tubuh juga

merupakan bagian dari masyarakat yang berhak untuk merasakan kesejahteraan sosial.

Kepentingan masyarakat yang bersifat mikro adalah kepentingan untuk meningkatkan taraf hidup. Dalam hal ini, kelompok penyandang tuna daksa yang merupakan elemen dari masyarakat berkepentingan untuk meningkatkan taraf hidup mereka dengan cara mengikuti pemberdayaan ini agar mereka dapat hidup mandiri dan berdaya. Jika penyandang tuna daksa ini dapat hidup mandiri dan berdaya, mereka akan dapat berjuang untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial mereka dan dapat berperan serta untuk melakukan pembangunan negaranya.

Sumaryadi (2005: 115) menjelaskan, sasaran program pemeberdayaan salah satunya adalah diperbaikinya kondisi sekitar kaum rentan lemah, miskin, dan tak berdaya dengan kegiatan peningkatan pemahaman, peningkatan pendapatan, dan usaha-usaha kecil di berbagai bidang ekonomi ke arah swadaya.

(15)

mengikuti pemantapan kembali pada tahun 2013 karena dinyatakan belum mampu memenuhi empat aspek, yakni aspek mental, sosial, fisik, ketrampilan.

Pembentukan Konsep Diri Dalam Proses Pemberdayaan di Panti RSBD Suryatama Pasuruan

Horton dan Hunt (1984) menjelaskan, semua interaksi individu melibatkan suatu pertukaran simbol. Ketika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara

konstan mencari “petunjuk”

mengenai tipe perilaku yang cocok dalam konteks itu dan mengenai bagaimana mengintepretasikan apa yang dimaksudkan oleh orang lain. Interaksi simbolik mengarahkan perhatian kita pada interaksi antar individu dan bagaimana hal ini bisa dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu.

Saat penyandang tuna daksa berinteraksi dengan individu lain, di saat itu pula ada pertukaran simbol. Pada saat berinteraksi inilah, penyandang tuna daksa secara

konstan mencari “petunjuk”

mengenai tipe perilaku apa yang cocok dalam konteks itu dan mengenai bagaimana apa yang dimaksud oleh orang lain tersebut. Proses interaksi ini yang kemudian mempengaruhi perkembangan konsep diri penyandang tuna daksa.

Pada saat berinteraksi dengan orang lain tersebut, penyandang tuna daksa mengamati simbol-simbol yang muncul. Simbol-simbol yang ada dalam proses interaksi tersebut kemudian diintepretasikan oleh penyandang tuna daksa untuk dijadikan dasar konsep diri mereka.

Seperti yang dijelaskan Cooley dalam konsep looking glass self (Horton dan Hunt, 1984: 94-97) , dimana ada tiga unsur yang mempengaruhi konsep diri.

Pertama, penyandang tuna daksa berpikir bagaimana orang lain menganggap dirinya. Dalam hal ini, penyandang tuna daksa membayangkan dibenak mereka bahwa orang lain menganggap mereka sebagai seorang penyandang disabilitas karena ada bagian tubuh mereka yang tidak bisa berfungsi

“normal”.

Kedua, penyandang tuna daksa mulai menarik kesimpulan mengenai bagaimana orang lain mengevaluasi dirinya. Tentang apakah orang lain mau menerima atau menolak dirinya dalam kehidupan sosial mereka. Penyandang tuna daksa yang menjadi klien panti sebelumnya mengalami tahapan ini, mereka ada yang berkesimpulan bahwa dirinya ditolak oleh lingkungannya dan ada juga yang berkesimpulan bahwa dirinya diterima oleh lingkungan sosialnya.

Ketiga, mengembangkan suatu konsep diri (self concept). Dalam hal ini, penyandang tuna daksa mulai menginterpretasikan reaksi orang lain terhadap dirinya. Memberikan penyandang cacat tubuh perasaan dan ide tentang diri mereka sendiri.

(16)

akan semakin besar peluang terbentuknya konsep diri negatif.

Pada saat saat penyandang tuna daksa mendapatkan refleksi pengalaman yang positif dalam hidup mereka, seperti bentuk dukungan dari keluarga dan lingkungan meskipun mereka mengalami kondisi cacat tubuh, konsep diri mereka menjadi positif. Sedangkan jika refleksi pengalaman penyandang tuna daksa negatif, contohnya jika mereka sering mendapatkan cemoohan dari orang-orang disekitarnya, maka konsep diri mereka cenderung negatif. Hal ini tentunya berdampak buruk bagi masa depan penyandang cacat tubuh karena mereka tidak bisa bersosialisasi secara sempurna akibat gangguan pandangan negatif interpersonal dan intrapersonal. Jika memiliki konsep diri negatif, penyandang tuna daksa akan mempunyai rasa tidak percaya diri dan merasa tidak mampu untuk menjalani tugas apapun.

Pengalaman yang berbeda tersebut membuktikan begitu besar pengaruh interaksi simbolik bagi pembentukan konsep diri penyandang cacat tubuh. Bila interaksi simbolik berlangsung positif, akan membentuk konsep diri positif bagi penyandang cacat tubuh tersebut, begitu pula sebaliknya.

Dalam konsep looking glass self yang dikemukakan oleh Cooley (Henslin, 2007: 68), dijelaskan bahwa meskipun konsep diri dimulai sejak masa kecil, perkembangannya merupakan proses berkelanjutan sepanjang hidup. Individu selalu memantau reaksi orang terhadap dirinya dan terus menerus merubah dirinya. Dengan demikian, diri tidak

pernah merupakan suatu produk yang selesai, namun selalu berada dalam proses, bahkan sampai usia lanjut. Maka dari itu, proses interaksi sosial haruslah dijalankan secara positif agar konsep diri yang terbentuk dari setiap individu selalu positif.

Klien yang masuk di panti mempunyai latar belakang pengalaman yang berbeda-beda. Ada klien yang mendapat pengalaman negatif yakni sering dicemooh dan ditolak oleh lingkungan sosialnya, namun ada pula yang mendapat banyak dukungan dari lingkungan sosialnya meskipun mereka dalam kondisi tuna daksa.

(17)

mempunyai perasaan, keinginan, dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat, mampu memperbaiki dirinya, karena sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepripadian yang tidak disenangi dan berusaha merubahnya. Penyandang tuna daksa yang telah mejalani proses pemberdayaan di Panti RSBD Suryatama dapat mempunyai ciri-ciri konsep diri positif tersebut karena selama berada

di panti mereka telah mendapatkan pengalaman yang positif dalam hidupnya.

Konsep diri penyandang tuna daksa di panti RSBD Suryatama yang menjadi informan penelitian ini dapat diketahui perkembangannya dalam tabel berikut:

SEBELUM MASUK PANTI SETELAH MASUK PANTI

Nisa: Putus sekolah akibat sering diejek, merasa tidak percaya diri apabila berhadapan dengan orang lain, tidak punya kettrampilan

Lebih percaya diri bila berhadapan dengan orang lain, punya ketrampilan, termotivasi untuk dapat mandiri

Zaki: kurang percaya diri akibat masih belum bisa mandiri (penghasilan dari pekerjaannya tidak tetap, tidak pernah pergi jauh dari rumah karena keluarga selalu khawair akan kondisinya), tidak punya ketrampilan.

Lebih percaya diri, punya ketrampilan, bisa hidup lebih mandiri (mempunyai pekerjaan dan punya penghasilan, berani bekerja meskipun jauh dari rumah)

GAP TEORI Mita: percaya diri (punya banyak

teman), punya ketrampilan karena telah lulus SMK elektro

Tetap percaya diri, mampu mengembangkan potensi ketrampilannya

Alvan: Percaya diri (bergaul dengan teman seperti biasa), punya ketrampilan karena telah lulus SMK

Mampu mengembangkan

ketrampilannya, tetap bisa percaya diri

Budi: Sudah bisa mandiri (kerja jadi editor di JTV), percaya diri (punya banyak teman dan aktif dalam karang taruna)

Mampu mengembangkan potensi ketrampilannya.

Okta: Percaya diri (banyak mendapat dukungan motivasi dari keluarga dan teman-temannya), belum bisa mandiri karena belum mendapat pekerjaan.

Tetap percaya diri, mampu mengembangkan potensi ketrampilannya di panti.

Sumber: Data diolah peneliti (2013)

Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa tidak semua klien penyandang tuna daksa yang masuk di panti ini merupakan individu yang mempunyai konsep diri negatif. Ada

(18)

yang mereka miliki sebagai modal untuk dapat memperoleh pekerjaan dan dapat menjadi individu mandiri yang bisa mencukupi kebutuhan pokoknya sendiri. Sedangkan klien yang sebelumnya mempunyai konsep diri negatif, seperti tidak percaya diri dan belum bisa mandiri, mereka termotivasi untuk mengikuti pemberdayaan ini untuk dapat membentuk konsep diri positif. Mengingat dengan konsep diri positif, mereka akan dapat lebih berdaya dalam menjalankan peran sosial mereka.

Kendala yang Dihadapi dalam Proses Pemberdayaan di Panti RSBD Suryatama

Ada beberapa kendala yang dihadapi dalam proses pemberdayaan di Panti Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Suryatama Pasuruan. Kendala yang dihadapi diantaranya dari segi pencarian klien, ketersediaan dana, ketersediaan instruktur, ketersediaan bahan ketrampilan, dan faktor fisik klien.

Dari segi pencarian klien, tidak jarang keluarga dari penyandang tuna daksa kurang mengizinkan penyandang cacat tubuh untuk masuk di panti ini karena merasa khawatir bila penyandang cacat tubuh tersebut berada jauh dari tempat tinggal mereka. keluarga penyandang tuna daksa mempunyai rasa khawatir terhadap kondisi fisik penyandang tuna daksa yang tidak sempurna, mereka juga mempunyai kekhawatiran terhadap kelangsungan masa depan penyandang tuna daksa. Hal ini karena keluarga mereka mempunyai persepsi bahwa penyandang tuna daksa tidak bisa

melakukan aktivitas secara mandiri dan lemah. Namun, usaha peningkatan kesejahteraan dengan jalan memberdayakan penyandang tuna daksa yang dijalankan di panti ini dapat mengurangi rasa kehawatiran tersebut. Penyandang tuna daksa yang telah keluar dari panti telah dapat menunjukkan bahwa mereka dapat hidup mandiri dan berdaya tanpa perlu banyak bergantung dengan orang lain.

(19)

Dalam hal pelayanan bimbingan klien, Sumarnonugroho (1987: 15) menjelaskan, usaha kesejahteraan sosial membutuhkan jasa pelayanan berupa bimbingan dan penyuluhan. Oleh karena itu, dalam usaha kesejahteraan sosial tersebut sangat memerlukan adanya instruktur yang dapat memberikan pelayanan bimbingan. Ketersediaan instruktur juga terkadang menjadi kendala yang cukup berat dalam proses pemberdayaan penyandang cacat tubuh di panti ini, mengingat instruktur sangat berperan penting untuk melatih para klien dalam pengembangan diri mereka.

Faktor fisik klien panti juga terkadang bisa menjadi kendala dalam proses pemberdayaan ini. Dimana pelatihan keterampilan ini diajarkan kepada klien panti yang mengalami tuna daksa. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi instruktur yang bekerja di panti ini. Dibutuhkan ketelatenan dari para instruktur untuk melatih para klien dan dibutuhkan semangat yang kuat dari klien sendiri untuk mengikuti pelatihan tersebut.

Usaha kesejahteraan sosial ini ternyata tidak selalu berhasil dipraktekkan oleh semua klien. Ada beberapa penyandang tuna daksa yang gagal untuk menjalankan usaha kesejahteraan sosial ini. Mereka tetap bergantung kepada keluarga mereka meskipun telah menjalankan proses pembinaan dan pelatihan di panti. Setelah keluar dari panti, mereka tetap kesulitan untuk mendapat pekerjaan. Penyandang tuna daksa yang gagal tersebut kembali ke keluarga masing-masing tanpa bisa merubah hidupnya untuk lebih mandiri. Tetapi meskipun demikian,

mereka tetap mendapat pengalaman positif dari panti ini. Seperti yang telah dijelaskan diatas, jumlah penyandang cacat yang berhasil masuk di dunia kerja jauh lebih banyak di bandingkan dengan yang gagal. Maka hal ini berarti lebih banyak penyandang tuna daksa yang dapat berjuang untuk memperbaiki taraf hidupnya seelah keluar dari panti RSBD Suryatama ini.

Kesejahteraan Sosial Klien Panti RSBD Suryatama Pasuruan

Menurut Fahrudin (2012: 8-9), orang yang sejahtera adalah orang yang bebas dari kemiskinan, kebodohan, ketakutan, dan kekhawatiran sehingga hidupnya aman, tentram baik lahir maupun batin. Di samping itu, orang yang sejahtera adalah orang yang dapat berelasi dengan orang lain dan lingkungannya secara baik. Pengertian tentang kesejahteraan sosial ini dapat menjadi ciri kondisi dimana seseorang dapat merasakan kesejahteraan sosial dalam hidupnya. Sedangkan Friedlander (Rukminto, 1994: 4) menjelaskan, kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir dan institusi serta pelayanan sosial yang dirancang untuk membantu individu ataupun kelompok agar dapat mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan.

(20)

mereka harus bisa lepas dari posisi yang melemahkan mereka tersebut. Di Panti RSBD Suryatama, penyandang tuna daksa menjalani proses pemberdayaan dengan harapan agar mereka dapat meningkatkan taraf hidup mereka.

Di Panti RSBD Suryatama, penyandang tuna daksa menjalani proses pemberdayaan dengan harapan agar mereka dapat meningkatkan taraf hidup mereka. Penyandang tuna daksa yang masuk panti mayoritas termotivasi untuk bekerja agar mendapat pengahsilan sendiri dan agar mereka mendapat pengakuan dari masyarakat bahwa mereka dapat mandiri meskipun dalam kondisi tuna daksa. Harapan penyandang tuna daksa tersebut dapat diwujudkan ketika mereka telah menjalani proses pemberdayaan di panti hingga selesai. Setelah keluar dari panti, mereka mendapatkan pengalaman positif yang bisa menjadikan mereka lebih berdaya dalam usahanya meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya.

Fahrudin (2012: 10) menjelaskan, tujuan dari usaha kesejahteraan sosial adalah untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dalam arti tercapainya standar kehidupan pokok, seperti sandang, perumahan, pangan, kesehatan, dan relasi sosial yang harmonis dengan lingkungannya, serta untuk mencapai penyesuaian diri yang baik khususnya dengan masyarakat di lingkungannya.

Tujuan dari usaha kesejahteraan dapat terealisasikan ketika klien selesai melaksanakan pembinaan di panti, pihak panti akan mengarahkan kliennya untuk dapat bekerja agar

kliennya dapat menjadi individu yang akif dalam meningkatkan taraf hidup mereka. Ada yang memutuskan untuk bekerja secara mandiri atau berwiraswasta, ada pula klien yang meminta bantuan pihak panti untuk disalurkan ke tempat kerja yang telah menjalin kerjasama dengan panti.

Setelah keluar dari panti penyandang tuna daksa akan mulai masuk pada dunia kerja. Mereka bekerja dan mendapatkan penghasilan sendiri sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan pokok hidupnya secara mandiri. Beban tanggungan hidup keluarga mereka pun jadi berkurang. Sebelumnya penyandang tuna daksa dianggap kelompok lemah, tapi dengan usaha mereka untuk dapat mandiri menunjukkan bahwa penyandang tuna daksa dapat berdaya untuk memperbaiki taraf hidupnya.

Penyandang tuna daksa yang sebelumnya tidak pernah menjalani pendidikan formal dan tidak bisa baca tulis, di panti ini diarahkan untuk menjalani program kejar paket dasar. Mereka akan diajarkan pendidikan dasar baca tulis untuk dapat memperbaiki kualitas pendidikan mereka. Program kejar paket ini sangat bermanfaat untuk membebaskan mereka dari kebodohan, mengingat kemampuan membaca dan menulis merupakan elemen penting yang diperlukan dalam proses interaksi dengan masyarakat luas.

(21)

masalah sosial, diantaranya masalah kemiskinan, ketersisihan, ketertekanan, maupun ketidak berdayaan. Oleh sebab itu mereka berupaya untuk mendapatkan kesejahteraan sosial dengan jalan menjadi klien di panti RSBD Suryatama untuk mencegah atau mengatasi masalah sosial yang mereka hadapi.

Fungsi rehabilitasi , dijalankan di Panti RSBD Suryatama dengan memberikan bimbingan ketrampilan maupun bimbingan sosial untuk dapat melatih klien agar mampu menjalankan fungsi sosialnya dalam masyarakat. Mereka dibina untuk dapat hidup lebih percaya diri dan mandiri agar dapat berinteraksi dan berelasi dengan masyarakat sekitar secara baik. Mereka juga dilatih untuk mempunyai ketrampilan yang dapat mereka gunakan untuk mencari penghasilan dan mengurangi beban tanggungan keluarganya.

Fungsi Pengembangan, dapat dilihat pada klien panti yang telah selesai menjalankan pembinaan di panti dan mulai masuk dalam dunia kerja. Mereka yang sebelumnya belum bisa mandiri dan menjadi beban tanggungan keluarga, setelah keluar dari panti mulai bisa bekerja dan mendapat penghasilan.

Dari keterangan tersebut, terlihat bahwa usaha peningkatan kesejahteraan sosial yang dilakukan di Panti RSBD Suryatama dapat membantu penyandang tuna daksa untuk mencapai standar hidup, yakni dapat memperkuat kemampuan ekonominya, terbebas dari kebodohan, dan mengurangi kekhawatiran akan masa depan mereka. Penyandang tuna daksa

dapat hidup setara dengan

masyarakat “normal”.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1) Proses pemberdayaan penyandang tuna daksa yang dilakukan di Panti RSBD Suryatama dilakukan dengan memberikan pelayanan kepada klien berupa pembinaan kewirausahaan, agama, kedisiplinan, kepribadian, ketrampilan, dan Program Belajar Kerja (PBK). Setiap bimbingan dilaksanakan secara terjadwal dan diisi oleh instruktur yang berpengalaman di bidangnya. Melalui proses pemberdayaan ini, klien dapat mempunyai pengalaman positif. Pengalaman positif dapat membentuk konsep diri positif klien, yakni klien dapat mempunyai sikap percaya diri dan mandiri. Masyarakat menjadi lebih bisa menghargai kehidupan penyandang tuna daksa karena penyandang tuna daksa telah menunjukkan usahanya untuk bisa mandiri dan berdaya menjalankan aktivitas sosial mereka.

(22)

melihat penyandang tuna daksa telah dapat mandiri dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Penyandang tuna daksa juga dapat mempunyai kepercayaan diri sehingga mereka dapat berelasi dengan masyarakat tanpa ada rasa minder.

Saran

1) Disarankan agar masyarakat sebagai salah satu elemen penting dalam upaya pemberdayaan ini ikut membantu klien untuk dapat mempunyai konsep diri positif. Misalnya saja dari pihak keluarga di sarankan untuk memberikan dukungan lebih kepada para klien untuk menjalankan pemberdayaan dengan semangat, dan dari lingkungan masyarakat disarankan agar dapat lebih menghargai penyandang tuna daksa sebagai sesama individu yang mempunyai kelebihan masing-masing, serta memberikan kesempatan bagi penyandang tuna daksa untuk dapat bekerja. Dengan begitu, penyandang tuna daksa akan merasa lebih dihargai dan diterima dalam lingkungan sosial mereka dan mereka dapat mempunyai konsep diri positif sehingga dapat berdaya dalam memperbaiki kualitas kesejahteraan sosialnya.

2) Dalam hal ketersediaan dana, disarankan pihak panti dapat mencarikan sumber dana lain karena dana dari APBD sangat terbatas. Alangkah baiknya jika pihak panti bekerjasama dengan sektor swasta mengingat panti

berlokasi dekat dengan kawasan Pasuruan Indusrial Estate Rembang (PIER). Kerjasama ini diharapkan dapat mendorong perusahaan agar bersedia menyumbangkan dana bagi perkembangan pemberdayaan klien panti, karena perusahaan yang berada di PIER ini mempunyai program CSR (Corporate Sosial Responsibility).

3) Untuk penelitian selanjutnya, disarankan membahas tentang kinerja pihak panti dalam pemberdayaan Panti RSBD Suryatama, mengingat dalam penelitian ini pembahasannya terbatas hanya melihat pada aspek penyandang tuna daksa yang menjalani program pemberdayaan di panti tersebut. 4) Disarankan sebagai bentuk

(23)

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. 2012. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Press.

Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan: ideologi, Epistimologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Fahrudin, Adi. 2012. Pengantar Kesejahteraan Sosia. Bandung: Refika Aditama.

Henslin, James. 2007. Sosiologi: Dengan Pendekatan Membumi (Jilid I). Jakarta: Erlangga.

Jalaluddin. Rahmat. 1991. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Marpaung, Ridwan. 1988. Kamus Populer Pekerjaan Sosial. Bandung: STKS.

Rukminto, Adi Isbandi. 1994. Ilmu Kesejahteraan Sosial dan pekerjaan Sosial. Jakarta: FISIP UI Press.

Salim, Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Semarang: Tiara Wacana.

Suharto, Edi. 2010. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: Refika Aditama.

Sumaryadi, Nyoman. 2005, Perencanaan Pembangunan

Daerah Otonom dan Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Citra Utama .

Suyanto. Bagong dan Sutinah. 2005. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Altternaif Pendekatan. Jakarta: Prenanda Media Group.

Usman, Husaini. 2009. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.

Referensi

Dokumen terkait

THE CORRELATION BETWEEN THE STUDENTS’ ABILITY IN UNDERSTANDING DIRECT AND INDIRECT SPEECH AND THE STUDENTS’ ACHIEVEMENT IN ENGLISH WRITING AT THE SECOND YEAR STUDENTS OF SMA

(1) Walikota berwenang memberikan izin gangguan kepada setiap orang atau badan yang mendirikan dan/atau memperluas/merubah tempat usaha/kegiatan/jenis usaha di lokasi

PERILAKU HETEROSEKSUAL SISWA TUNANETRA PADA MASA REMAJA SMPLB-SMALB DI SLBN A CITEUREUP KOTA CIMAHI.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Berdasarkan perhitungan t-tabel dan t-hitung maka hipotesis penelitian diterima, namun efektivitas line messenger sebagai media promosi penjualan dalam penelitian

Permasalahan tentang kesehatan di desa Tembung, Kecamatan Medan Tembung, Kota Medan salah satunya adalah terkait dengan kesadaran dan pengetahuan masyarakat

Berdasarkan analisis data, diperoleh aktivitas siswa dalam proses pembelajaran dengan model pembelajaran metode drill paling dominan adalah belajar dengan dilakukan

Jadi, hadis-hadis dari para imam tetap bersambung kepada Nabi Saw. Jalan hidup yang ditempuh oleh para imam telah menjadi mata-rantai penghubung yang

South Pacific Viscose mengenai kinerja pelayanan manajemen Koperasi dengan cara melayani kebutuhan setiap anggota koperasi seoptimal mungkin agar dapat menimbulkan