• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESUME JURNAL PERAN AGAMA DALAM PENGELOL (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "RESUME JURNAL PERAN AGAMA DALAM PENGELOL (1)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

RESUME JURNAL

PERAN AGAMA DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

BERBASIS MASYARAKAT

(

The Role of Religion in Community-Based Natural Resource Management

By Michael Cox, Sergio Villamayor-Tomas and Yasha Hartberg

)

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Lingkungan

(Dosen: Sunardi, M.Si, Ph.D)

Disusun oleh:

KELOMPOK I

Novis Ezuar

Febriani Wijayanti

Dikarama Kaula

Yuki Alandra

Lukmanul Hakim

250120160010

250120160011

250120160015

250120160019

250120160023

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGKUNGAN

SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS PADJADJARAN

(2)

BAB I PENDAHULUAN

Telah cukup dipahami bahwa masyarakat mempunyai peran penting dalam manajemen (pengelolaan) sumber daya alam. Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk membuktikan hal tersebut, termasuk upaya-upaya yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat dalam mencegah kerusakan/degradasi sumber daya dan

lingkungan. Di sisi lain berkembang pula pendapat bahwa peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam tidak dapat serta merta diimplementasikan karena akan terikat dengan aturan/ketentuan dalam suatu sistem tata kelola SDA yang menaungi masyarakat itu sendiri. Konsep pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat (community-based resource management/CBRM) yang dikembangkan oleh sebagian besar institusi tata kelola SDA banyak dikritik karena terindikasi kurang memberi perhatian terhadap aspek budaya/kultur masyarakat yang sebenarnya dapat

mengakomodir fungsi pemerintah dalam mendukung implementasi konsep tersebut. Berdasarkan hal di atas, maka bagaimana fungsi suatu tata kelola dalam pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat merupakan topik yang menarik (penting) untuk dibahas lebih lanjut. Banyak sistem tata kelola SDA yang mengabaikan pengetahuan dan kepercayaan (agama) lokal yang sebetulnya memainkan peran penting dalam pengelolaan sumber daya alam (Scott, 1998). Penelitian ini dilakukan dalam rangka mengeksplorasi betapa pentingnya implementasi fungsi tata kelola SDA dalam pengelolaan sumber daya alam (melalui metode meta-analisis atau analisis kuantitatif terhadap penelitian-penelitian sebelumnya yang membahas permasalahan sejenis), serta untuk mengetahui:

1. Apakah ada fungsi/sistem tata kelola SDA yang menerima (memberi ruang terhadap) nuansa keagamaan dalam pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat? 2. Apakah implementasi fungsi tata kelola SDA yang religius dapat dikaitkan dengan

hasil sosial dan ekologis yang lebih luas dari suatu pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat?

Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini mengacu pada beberapa jenis penelitian dengan bahasan terkait CBRM serta hubungan antara agama, evolusi dan perilaku manusia. Hubungan antara spiritualitas (keagamaan) dan manajemen sumber daya telah menerima banyak perhatian dari berbagai organisasi/kesepakatan internasional, seperti International Union of Concerned Scientist (IUCN), World Wildlife Fund (WWF) dan Formulir Yale terkait agama dan ekologi.

Terdapat dua tantangan dalam implementasi CBRM (terutama untuk sumber daya alam yang dimiliki/dikuasai banyak orang atau common-pool resources/CPRs), yakni subtraktabilitas dan biaya tinggi pada kondisi tertentu (Ostrom, Gardner, & Walker, 1994). Subtraktabilitas berarti suatu pola konsumsi sumber daya oleh satu atau

sekelompok orang dapat mempengaruhi/mengurangi ketersediaan sumber daya tersebut untuk orang/pengguna lain. Sedangkan biaya tinggi dalam hal ini adalah terkait

(3)

permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan sumber daya, dan memicu ketimpangan antara kepentingan individu/sekelompok orang dan masyarakat.

Metodologi dasar dari penelitian ini mengacu pada pembahasan terkait CBRM yang dikembangkan pada workshop tentang ‘Political Theory and Policy Analysis’ di Universitas Indiana. Untuk menjawab beberapa pertanyaan sebagai akibat dari kelemahan dari penelitian-penelitian sebelumnya terkait CBRM yang tidak dapat menggeneralisasi permasalahan dan temuan, maka dilakukan meta-analisis dengan melakukan analisis dan perbandingan hasil beberapa penelitian tersebut dan merumuskan suatu

kesimpulan/kecenderungan yang terjadi. Untuk mengetahui keberhasilan dalam

pengelolaan CPRs, terdapat tiga variabel yang dapat diamati, yaitu kelembagaan, atribut komunitas/masyarakat dan karakteristik sumber daya.

Selain analisis terhadap CBRM, penelitian ini juga dimotivasi oleh

perkembangan dalam evolusi ilmu agama. Agama dan kepercayaan, meskipun dalam kerangka rasionalistik terkadang bersifat irasional, dalam kenyataannya dapat

memberikan pengaruh terhadap perilaku adaptasi manusia dalam menghadapi perubahan lingkungan/seleksi alam.

Perilaku adaptif sekelompok orang/manusia akan menentukan keberlangsungan hidupnya. Dalam beradaptasi dengan lingkungan, individu/manusia akan/dapat

melakukan interaksi dan kerjasama dalam komunitasnya (Wilson & Kniffi n, 1999). Sebagai contoh, suatu komunitas yang dapat memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan kerjasama dapat mengumpulkan lebih banyak sumber daya dari pada komunitas yang kurang kooperatif. Jadi, dalam hal ini agama dan kepercayaan dapat mendukung fungsi adaptif melalui implementasi perilaku/ nilai-nilai kerjasama suatu komunitas masyarakat dalam implementasi CBRM.

Agama dapat mengatasi masalah mendasar dari kerjasama dalam berbagai cara, yang dalam hal ini sangat menghargai komitmen dari penganutnya (Irons, 1996; Sosis & Bressler, 2003). Misalnya dalam upacara keagamaan, kehadiran dan partisipasi

masyarakat dalam kegiatan tersebut menunjukkan sebuah komitmen sebagai penganut agama/kepercayaan yang diyakini komunitas mereka. Adanya komitmen dari anggota suatu komunitas akan menumbuhkan perilaku kooperatif/kerjasama diantara mereka, terutama dalam menghadapi suatu permasalahan. Eksplorasi bagaimana peran agama diaktifkan dalam pelaksanaan CBRM tidak hanya akan menyediakan kesempatan untuk lebih memahami sistem komunitas/tata kelola SDA tradisional, tetapi juga untuk

(4)

BAB II METODOLOGI

2.1 Metode

Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah meta analisis dari studi kasus (Geist & Lambin, 2002; Rudel, 2008;. Young dkk, 2006). Beberapa kasus mengenai CBRM yang telah diteliti sebelumnya, dikumpulkan dan dilakukan analisis statistik secara kuantitatif. Metodologi ini membedakan antara “studi dan kasus”, dimana studi merupakan kumpulan hasil penelitian sebelumnya (jurnal, buku, dan lain-lain), sementara kasus merupakan pengelompokkan hasil penelitian tersebut menjadi beberapa variabel-variabel yang akan di ukur nantinya. Dari hasil review 47 hasil penelitian, dapat dikelompokkan sebanyak 48 fokus utama dalam kasus yang akan diteliti.

Penelitian ini akan membahas mengenai peranan agama dalam pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat. Kriteria yang mendefiniskan kasus terdiri dari satu atau lebih kondisi masyarakat yang secara geografis hampir sama, dalam (1) pengelolaan sumberdaya (2) memiliki keyakinan agama yang cukup sama dan strategi pengelolaan sumber daya alam yang terkait untuk memungkinkan analisis mereka sebagai sistem tunggal.

2.2 Pengambilan dan pengukuran data

Ada dua metode utama yang digunakan untuk menentukan variabel apa yang harus dioperasionalkan dalam penelitian ini, yaitu: (1) variabel yang telah dipilih dari literatur CBRM dan endogen untuk praktik keagamaan, (2) berdasarkan kajian penelitian yang telah ada, dengan variabel induksi yang baru muncul di beberapa kasus. Setelah itu dianalisis menggunakan perangkat lunak (software) Nvivo yang dapat mengkodekan data.

Tabel 1 menyajikan ringkasan dari masing-masing variabel institusional/ kelembagaan yang dianalisis.

Tabel 1. Deskripsi Variabel Kelembagaan

Variabel Jenis Deskripsi

Batas-batas

pengguna Kelembagaan

Batas-batas yang jelas antara pengguna yang sah dan non-pengguna harus jelas didefinisikan

Batas-batas

sumber daya Sumber daya

Batas-batas yang jelas adalah saat yang menentukan sistem sumber daya dan terpisah dari lebih besar biofisik lingkungan

Sesuai dengan kondisi setempat

Kelembagaan/ sumber daya

Perambahan dan ketentuan peraturan selaras dengan sosial lokal dan kondisi lingkungan

Perbandingan Kelembagaan

Manfaat diperoleh oleh pengguna dari CPR sebanding dengan jumlah input diperlukan dalam bentuk tenaga kerja, bahan, atau uang

Kolektif-pilihan

pengaturan Kelembagaan

Kebanyakan individu dipengaruhi oleh aturan operasional dapat berpartisipasi dalam memodifikasi aturan operasional Pemantauan

sosial Kelembagaan

(5)

Variabel Jenis Deskripsi Pemantauan

sumber Kelembagaan Monitor memonitor kondisi di sumber

Sanksi Kelembagaan Appropriators yang melanggar peraturan tata kelola sumber daya cenderung dinilai sanksi

Mekanisme penyelesaian konflik

Kelembagaan

Appropriators dan officials mereka memiliki akses ke arena lokal berbiaya rendah untuk menyelesaikan konflik antara pengguna sumber daya

Otonomi daerah Kelembagaan

Hak-hak sumber daya untuk merancang lembaga-lembaga mereka sendiri tidak ditantang oleh eksternal pemerintah otoritas

Perusahaan-perusahaan SDA Kelembagaan

Tata kelola SDA penting kegiatan yang diselenggarakan di beberapa lapisan dari perusahaan-perusahaan SDA

Apropriasi Kelembagaan

Ada aturan mengenai peruntukan sumberdaya alam dan cara tertentu oleh apropriasi yang dibatasi

Manfaat Kelembagaan

Manfaat yang disediakan untuk sumber daya pengguna Selain bahan manfaat yang diperoleh melalui penggunaan normal dari sumber

Kepemimpinan Kelompok

Posisi kepemimpinan dengan otoritas mengenai penggunaan sumber daya alam dan tata kelola SDA

Modal sosial Kelompok

Modal sosial yang kuat antara sumber daya pengguna ada yang memfasilitasi efektivitas manajemen sumber daya

Akhirnya, selain variabel institusional/kelembagaan, juga mengkodekan tiga variabel yang lebih berorientasi pada hasil, yaitu (1) Kondisi Ekologi Terbaru (REC) dan (2) Kondisi Sosial Terbaru (RSC) dan (3) Target Konservasi (TC).

BAB III

(6)

3.1 Hasil

Pembahasan dimulai dengan menguraikan data yang diperoleh. Data 48 kasus dikelompokkan dari 47 penelitian. Tabel 2 menunjukkan distribusi kasus oleh apa yang kita disebut sebagai fokus utama atau fenomena alam yang menjadi sasaran perhatian dari tata kelola SDA dan agama. Fokus utama yang paling sering dijumpai dalam literatur yakni hutan.

Tabel 2. Fokus Utama

Fokus Utama Kasus

Hutan 31

Air 4

Perikanan 3

Satwa liar 3

Gunung 2

Campuran 2

Lahan pertanian 1

Lembah 1

Lahan basah 1

Total 48

Kolom kedua ("pelaksanaan agama") menunjukkan jumlah kasus dimana agama digunakan untuk melaksanakan fungsi tata kelolanya. Ini termasuk kasus-kasus dimana agama menjadi satu-satunya yang digunakan dalam pelaksanaan dan kasus dimana agama maupun mekanisme sekuler digunakan. Berikutnya, pada kolom ketiga menunjukkan persentase kasus dari total 48 yang menunjukkan implementasi agama. Pada akhirnya, kolom keempat menunjukkan persentase dari kasus yang disediakan cukup informasi tentang fungsi tata kelola SDA untuk menjamin kode non-standar ("tidak cukup informasi"). Dalam diskusi berikutnya kami mengacu pada kasus yang memberikan informasi yang cukup untuk menjamin pengkodean apapun selain nilai default "tidak cukup informasi" sebagai "kasus informatif. "

Dengan memeriksa data ini mengungkapkan variabilitas yang luas di tingkat fungsi tata kelola SDA yang digambarkan sebagai implementasi dari agama. Yang paling sering diimplementasikan adalah pemberian (88%), sanksi (81%), modal sosial (77%), batas-batas sumber daya (75%), kepemimpinan (67%), dan manfaat (60%). Setelah variabel penting ini ada, substantial drop-off untuk batas-batas pengguna (42%) dan sosial monitoring (31%), dengan sisa fungsi yang jarang disebutkan.

Tabel 3. Adanya Fungsi Tata kelola SDA

Fungsi Tata Kelolanya Agama Dilaksanakan

Persen dari Total Kasus (%)

Persen dari Kasus Informatif (%)

Batas-batas pengguna 20 42 77

Batas-batas sumber daya 36 75 88

(7)

kondisi setempat

Perbandingan 4 8 100

Kolektif-pilihan

pengaturan 3 6 30

Pemantauan sosial 15 31 83

Pemantauan sumber 2 4 40

Sanksi 39 81 95

Mekanisme penyelesaian

konflik 5 10 42

Otonomi daerah 2 4 14

Perusahaan sumber daya 2 4 50

Apropriasi 42 88 91

Manfaat 29 60 88

Kepemimpinan 32 67 82

Modal sosial 37 77 95

Tabel 4. Hasil

Variabel Hasil Negatif Positif

Target konservasi (TC) 0 32

Kondisi ekologi terbaru (REC) 24 4

Kondisi sosial terbaru (RSC) 23 9

Tabel. 5 Analisis Korelasional Lembaga-Lembaga Keagamaan

(RI) REC RSC

Lembaga-lembaga keagamaan 1

REC 0.4519 1

RSC 0.2467 0.4503 1

Tabel 3 merupakan jawaban pertanyaan penelitian pertama yang menunjukkan adanya masing-masing variabel di seluruh 48 kasus. Data di kolom akhir memperkuat bukti-bukti bahwa agama memainkan peran penting dalam menerapkan beberapa fungsi tata kelola SDA, terutama untuk hal "perbandingan," dan sebaliknya memiliki bukti yang lemah dalam mendukung peran agama dalam implementasinya.

Dari Tabel 4, diketahui bahwa 32 dari 48 kasus mempunyai nilai ‘positif’ untuk TC, sementara sisanya ‘tidak cukup informasi’. Tidak ada studi melaporkan bahwa tata kelola SDA beragama memiliki pengaruh negatif pada konservasi fokus utama. Nilai positif tidak berarti bahwa sistem sumber daya dilakukan dengan baik (seperti yang kita lihat di tabel berikut). Apa yang dilaporkan dalam banyak kasus bahwa, sementara sumber daya di bawah tata kelola SDA beragama mungkin telah menurun, dan itu menurun jauh lebih sedikit daripada sumber daya yang tidak menjadi subjek dari tata kelola SDA agama.

(8)

kesulitan dalam adaptasi untuk menjadi lebih terintegrasi ke dalam sistem sosial dan ekonomi yang lebih besar. Sementara kami melakukan tidak secara eksplisit kode untuk gangguan ini, contoh-contoh anekdot yang menonjol termasuk pengenalan agama baru dan budaya ke suatu daerah, intervensi kebijakan publik dan perkembangan pasar skala besar dalam sumber daya dan tenaga kerja. Secara sistematis mengidentifikasi proses ini adalah tujuan dari pekerjaan masa depan.

Data pada Tabel 5 menunjukkan korelasi positif antara REC dan RSC, serta korelasi positif antara masing-masing dan variabel RI. Dalam kasus hubungan antara RI dan REC, memperlihatkan hasil yang wajar untuk menyimpulkan bahwa lembaga yang kuat, dalam kasus ini lembaga keagamaan, telah menyebabkan hasil-hasil ekologi yang kuat dalam kurun waktu terakhir. Nilai koefisien Pearson untuk hubungan ini cukup tinggi mengingat semua faktor relevan yang berpotensi lain tidak masuk hitungan.

Hubungan antara RI dan RSC adalah lebih rumit, sebagian besar karena kemungkinan bahwa dua variabel tumpang tindih dalam fenomena yang mereka teliti. Hal wajar yang dapat dikatakan adalah bahwa tampak adanya hubungan saling memperkuat yang positif antara adanya fungsi pengelolaan pemerintah spesifik dan kohesi sosial yang lebih luas dalam sistem ini. Menariknya, dari tiga korelasi tersebut, korelasi antara RI dan RSC adalah yang paling lemah. Masing-masing memiliki hubungan yang lebih kuat untuk REC.

3.2 Pembahasan (Diskusi Fungsi Khusus Tata kelola SDA)

Dalam bagian ini kita membahas masing-masing fungsi tata kelola SDA, menekankan cara-cara khusus di mana kasus cenderung untuk mengimplementasikan fungsi tata kelola SDA. Kami telah mengatur diskusi ini berdasarkan urutan fungsi yang disajikan dalam Tabel 3, dimulai dengan variabel-variabel yang hanya disebutkan sebagai figur yang menonjol dalam data. Kita ikuti ini dengan diskusi lebih luas dari variabel yang kurang lazim (kondisi setempat, proporsionalitas, pilihan kolektif, pemantauan sumber daya, resolusi konflik, otonomi daerah dan cadangan).

a. Batas-batas pengguna

Batas-batas pengguna menunjukkan adanya penegakan aturan yang membedakan antara yang merupakan anggota dari kelompok pengguna dan yang tidak. Aturan seperti itu penting karena keanggotaan biasanya disertai dengan hak mengakses CPR (sumber daya milik bersama). Membatasi keanggotaan adalah salah satu cara utama untuk menghindari tekanan yang berlebihan pada sumber daya alam. Selain itu, batas-batas sosial didefinisikan dengan baik dapat berkontribusi terhadap munculnya dan ketahanan norma timbal balik dan kepercayaan di antara anggota masyarakat ( Gibson & Koontz, 1998). Batas-batas pengguna dilaksanakan dengan cara agama 42% dari semua kasus, dan 77% dari kasus-kasus yang informatif.

(9)

atau anggota keluarga dan klan). Sebagai contoh, agama mungkin melarang wanita atau pria mengakses bagian tertentu dari sumber daya alam, atau hanya memungkinkan tua-tua untuk masuk.

Akhirnya, ritual keagamaan digunakan sebagai penghalang untuk masuk, memisahkan mereka yang melakukan ritual yang diperlukan dan juga memiliki akses ke sumberdaya dari mereka yang tidak. Sejumlah besar kasus-kasus dimana agama penting untuk batas-batas sosial jatuh ke dalam jenis ini. Misalnya, dua sistem irigasi di Izucar, Meksiko yang secara tradisional dibagi menjadi beberapa bagian, masing-masing didedikasikan untuk seorang pemuka agama yang melayani petani dalam pertukaran hak mereka untuk menggunakan air. "Mereka terikat untuk melayani petani, misalnya, dengan memberikan kontribusi untuk pesta agama, massa dan prosesi dan pemeliharaan Jemaat" ( Nederlof & Van Wayjen, 1996, ms. 77).

b. Batas-batas sumber daya

Menurut teori, adanya pemahaman yang baik mengenai batas-batas fisik yang memisahkan sebuah sumberdaya dari lingkungan bio-fisik yang lebih besar, memainkan peran yang sama dengan batas-batas pengguna, yang membantu meyakinkan bahwa ada satu kelompok pengguna dan sumber daya tertentu. Tanpa ini, bahkan dengan batas-batas pengguna yang terbentuk dengan baik, tidak mungkin jelas siapa yang dapat mengakses sumber daya, yang dapat mengakibatkan eksternalitas negatif dan kerusakan sumber daya. Batas-batas sumber daya adalah salah satu paling sering dilaporkan dalam fungsi tata kelola SDA, dengan 75% dari semua kasus dan 88% dari kasus-kasus yang informatif yang dilaporkan dalam pelaksanaan agama.

Untuk menilai pengaruh agama pada keberadaan batas-batas sumber daya kami mencatat informasi tentang adanya tanda-tanda agama dan/atau pemahaman umum diantara pengguna tentang batas-batas sumberdaya yang suci/sakral. Sebagian besar studi dimana agama memainkan peran dalam menggambarkan batas-batas sumberdaya

melaporkan adanya tanda-tanda yang alami dan buatan dari makna keagamaan. Ini termasuk fenomena alam dan buatan yang termasuk batu-batu keramat, gua, bukit, dan puncak-puncak pegunungan, serta monolit, makam, Kuil, istana, biara-biara dan kuil-kuil. Tengo¨ et al. (2007 ) memberikan contoh dari tanda-tanda seperti ini di wilayah selatan Madagaskar, merupakan daerah kering yang dihuni oleh kelompok yang dikenal sebagai Tandroy : "Pohon, terutama Alluaudia procera dan Moeringia sp., ditanam di sekitar kuburan, dan hutan larangan sering dikelilingi oleh marga Kaktus, Opuntia ficus indica" (687). Dalam beberapa kasus ini, kesucian sumber daya dan batas-batasnya bergantung pada adanya sumber daya lain. Itulah yang terjadi, misalnya, di sejumlah hutan di mana batas-batas didefinisikan sepanjang sungai suci atau dengan adanya kolam air, spesies tanaman, atau binatang seperti singa dan monyet.

c. Ketepatan

(10)

pelaksanaannya, ditunjukkan oleh 88% dari semua kasus dan 91% informatif kasus yang dilaporkan implementasi tersebut.

Banyak aturan yang tepat yang dilaksanakan melalui otoritas keagamaan yang fokus pada larangan pemanenan atau menggunakan sumber daya tertentu dan di lokasi tertentu. Ini adalah paling sering dalam kasus hutan, dimana aturan yang tepat berlaku untuk wilayah hutan tertentu dan produk-produk seperti tanaman suci, hewan, dan spesies pohon tertentu. Sebagai contoh, dalam tradisi-tradisi orang Shona di dataran Choa Mozambik, "memotong pohon hidup atau cabang, membakar, dan membuka lahan dilarang. Di sisi lain mengumpulkan kayu mati, buah-buahan, dan jamur, dan bahkan merumput ternak diperbolehkan kecuali di daerah inti tersuci tempat upacara diadakan" ( Virtanen, 2002, halaman 232).

Larangan secara agama dalam tipe penggunaan yang spesifik juga sering dilakukan, misalnya, larangan mengotori atau bertani di hutan keramat, atau mandi di sungai-sungai suci. Sejumlah kasus juga melaporkan aturan agama mengatur waktu penggunaan, terutama dalam kasus perikanan. Dalam kasus ini panen atau kegiatan berburu hanya dapat dilaksanakan pada musim tertentu yang ditandai oleh kelender agama, sering dibuka dan ditutup melalui perayaan upacara keagamaan yang penting. Sebagai contoh, di Provinsi Binh Thu-an dari Viet Nam, masyarakat nelayan mengikuti tradisi chai van mengadakan festival untuk dewa laut lima kali per tahun, termasuk "'Festival musim semi' (bulan ke-2), 'Festival musim panas' (bulan ke-4) untuk menandai awal hujan barat daya atau musim memancing, 'Festival musim gugur' (bulan ke-6), berdoa untuk Festival ikan' (bulan ke-7); dan 'Southwest Monsoon Fishing atau musim transisi' (bulan ke-8)" ( Ruddle, 1998, 11). Menariknya, kita tidak menemukan aturan apropriasi yang membatasi jenis teknologi yang dilaksanakan melalui otoritas

keagamaan.

d. Pemantauan sosial

Pemantauan sosial dalam konteks ini menunjukkan apakah ada atau tidak kegiatan ekstraktif sumber daya yang diamati oleh anggota. Hal ini sangat penting dalam membujuk anggota komunitas dalam menentukan jumlah yang berlebihan dalam

ekstraksi sumber daya dari perspektif kelompok. Seperti dapat dilihat di tabel 3, agama dikodekan dengan memainkan peran dalam pemantauan sosial hanya 31% dari semua kasus. Untuk berbagai alasan kami percaya ini adalah meremehkan. Pertama, sosial monitoring apapun hanya disebutkan dalam total 19 kasus. Peneliti melihat pentingnya fungsi tata kelola SDA ini dalam analisis. Kenyataan bahwa agama memainkan peran dalam 83% kasus informatif menyarankan bahwa pemantauan mungkin peran yang sangat penting untuk agama untuk bermain di CBRM, tetapi penelitian lebih lanjut akan diperlukan untuk membangun sejauh mana kasus ini.

(11)

tata kelola SDA mungkin mendukung satu sama lain.

Pemantauan sosial keagamaan mengambil berbagai bentuk. Dalam beberapa kasus, pemimpin agama seperti imam atau biksu aktif patroli pada sumber daya yang bersangkutan. Dalam kasus lain, masyarakat diharapkan untuk melaporkan pelanggaran kepada otoritas keagamaan. Dalam sebagian besar kasus, pengguna percaya bahwa sumber daya yang bersangkutan diisi dengan entitas supranatural seperti roh leluhur yang mengamati moral pelanggaran. Misalnya, Kodi di Pulau Sumba di Indonesia:

"Dewa/Roh Leluhur memiliki kekuatan untuk mengendalikan proses lingkungan seperti pola curah hujan dan panen. Tetapi mereka sangat tertarik pada sumber daya alam mereka yang suci. Dewa/Roh Leluhur memonitor dan mengarahkan cara untuk orang Kodi dalam menggunakan sumber daya Suci "( Fowler, 2003, p. 309).

e. Sanksi

Sanksi adalah sebuah fungsi yang dilakukan setelah monitoring dan memberikan kekuatan dalam pemantauan. Seperti dapat dilihat di tabel 3, agama jelas memainkan peran penting dalam sanksi, yang dikodekan sebagai penting dalam 81% dari semua kasus dan 95% dari kasus-kasus yang informatif.

Sanksi ini mempunyai banyak bentuk yang berbeda. Dalam beberapa contoh, pemimpin agama yang bertanggung jawab untuk menentukan besarnya denda. Dalam sistem lain, pelanggaran harus ditebus melalui korban untuk entitas supranatural. Dalam pandangan ini, mereka yakin entitas supranatural yang mendiami sumber daya mampu memberikan balas dendam terhadap mereka yang melanggar aturan. Di Mongolia, misalnya:

"Tempat-tempat khusus yang ditemukan dalam keadaan alami dan hewan langka dan tanaman diberi label 'tempat keramat.' Ditempat itu dilarang untuk mengubah tanah, memotong pohon, atau tanaman, atau berburu di tempat-tempat ini. Orang-orang percaya sejak dari masa kecil bahwa pelanggaran terhadap aturan tersebut akan membuat Tuhan tanah dan air marah — membawa kemalangan, penyakit, dan nasib buruk untuk semua "( urtnasah, 2003, ms. 97).

Menariknya, sanksi supranatural sering digambarkan oleh penulis dengan cara yang disarankan bahwa hukuman yang diterima lebih parah dari pelanggaran yang dilakukan. Sanksi tersebut dapat berupa sanksi material seperti mengorbankan hewan yang berharga atau menjadi sakit dan sanksi imaterial, seperti pengucilan sosial atau menimbulkan nasib buruk. Dari 36 kasus yang ada, semua termasuk sanksi material dan 18 kasus sanksi material dan imaterial.

f. Manfaat

(12)

Seperti sanksi, perbedaan yang dibuat dalam fasa pengkodean antara manfaat yang material dan imaterial. Dari semua kasus yang dilaporkan adanya pendekatan agama mendatangkan manfaat, termasuk keuntungan materi, sementara beberapa kasus secara eksplisit gabungan material dan manfaat non-materi. Sebagai contoh, Barber dan Jackson (2011, p. 28)) menggambarkan pentingnya rohaniah dan jasmaniah pohon tertentu seperti yang dirasakan oleh orang-orang Junggayi Nigeria:

"Junggayi sering memukul atau tepuk pohon-pohon yang mewakili orang dan mungkin menggosok mereka dengan Lumpur sebagai bagian dari prosedur meminta kesuburan."

Banyak manfaat itu hanya merupakan pembalikan dari salah satu sanksi yang diamati. Sebagai contoh, hal itu biasa bagi pengguna untuk percaya bahwa objek tertentu yang terkait dengan sumber daya alam (mata air, tumbuhan obat) bisa menyembuhkan penyakit dan menghapus kutukan.

g. Kepemimpinan

Sebagian besar masyarakat yang mengelola sumber daya alam melakukannya melalui diversifikasi peran oleh anggota. Diversifikasi ini umumnya memberikan beberapa anggota tingkat otoritas tambahan terhadap sumberdaya alam dan kegiatan anggota lainnya sehubungan dengan sumber daya. Pemimpin agama memainkan peran penting dalam fungsi tata kelola SDA. Agama yang berperan dalam menciptakan posisi kepemimpinan di 67% dari semua kasus dan 82% kasus informatif, masing-masing, menyediakan bukti yang kuat akan pentingnya agama dalam melaksanakan fungsi tata kelola SDA ini.

Peran yang dimainkan agama terhadap kepemimpinan adalah penyediaan otoritas (agama) kepada pemimpin, yang pada gilirannya menyelesaikan tugas-tugas penting tata kelola SDA. Para pemimpin agama ini sering disebut sebagai penyembuh, imam, dukun, dan berbagai macam istilah khusus untuk sistem kepercayaan lokal. Selain bermain peran yang kuat dalam pengelolaan sumber daya alam, fungsi paling menonjol yang dimainkan pemimpin termasuk umum: ritual (1) melaksanakan ritual, penting untuk memperoleh manfaat sosial (2) berkomunikasi atas nama komunitas dengan entitas supernatural bahwa diri mereka yang diyakini memiliki beberapa otoritas terhadap sumber daya alam. Sebagai contoh, Khumbongmayum et al. (2005, p. 1578) menjelaskan pentingnya pemimpin dalam melakukan ritual untuk menenangkan dewa-dewa yang bersemayam dalam Rumputan suci di Manipur, India:

" Lai Harouba,' dirayakan untuk menghormati dewa sylvan (Umanglais) berada di rumputan Suci masih dilakukan di sebagian besar rumputan yang suci. Tujuan dari 'Lai Haraoba' adalah untuk menyenangkan dewa dengan melakukan ritual adat yang terutama dilakukan oleh Maiba (imam orang) dan Maibi (imam wanita) untuk mendapatkan mendukung mereka."

h. Modal sosial

(13)

kepemimpinan dengan menghargai pengelolaan sumber daya alam: ini dapat membantu pelaksanaan fungsi tata kelola SDA lainnya; Meskipun dalam banyak kasus banyak menyingkirkan kebutuhan untuk fungsi yang sama. Setelah apropriasi dan sanksi, bukti untuk peran agama dalam melaksanakan fungsi ini adalah yang terkuat dari semua variabel yang kami menganalisis: 77% dari semua kasus dan 95% dari kasus informatif melaporkan bahwa agama itu membantu untuk melaksanakan fungsi ini.

Cara dimana agama berperan dalam membangun modal sosial terhadap

pengelolaan sumber daya alam terjadi ketika sumber daya alam memainkan peran sebagai situs suci dimana ritual keagamaan terjadi. Kejadian tersebut membuat koneksi erat antara perlindungan sumber daya alam dan pemeliharaan ikatan sosial. Sebagai contoh, asrama-Adzobu dan Veit (1991, ms. 13) menjelaskan bagaimana ritual meningkatkan penghormatan terhadap hutan dikenal sebagai Malshegu Suci di utara Ghana:

"menyediakan makanan, ayam, ayam mutiara dan kambing yang dibuat oleh keluarga untuk dewa-dewa mereka. Roh binatang dilepaskan dengan menyembelihnya, mengalirkan dan mengoleskan darah dalam sebuah kerucut. Praktek-praktek seperti itu memperkuat kepercayaan-kepercayaan lokal dalam agama traditional dan menambah usaha dalam penghormatan kepada tuhan Kpalevorgu dan situs sucinya. "

Cara umum lain di mana agama dilaksanakan sebagai modal sosial adalah secara tidak langsung; dalam banyak kasus agama sebagai sarana untuk sumber daya pengguna untuk mengumpulkan tidak selalu secara eksplisit berorientasi disekitar isu sumber daya alam. Berdasarkan literatur dan pengalaman kita sendiri bekerja dengan sumber daya masyarakat pengguna, banyak kasus seperti itu tidak hanya penting menciptakan dan menbentuk ikatan sosial, tapi banyak obrolan informal yang cukup relevan untuk pengelolaan sumber daya alam. Jadi, ketika membangun modal sosial tidak memberikan insentif untuk pengelolaan sumberdaya alam secara langsung seperti ritual sakral dalam sumber-sumber tersebut, namun dapat bermain peran yang sangat penting dalam pengelolaan sumber daya.

i. Variabel lain

Data variabel untuk tata kelola SDA yang lain (kecocokan dengan kondisi setempat, proporsionalitas, kolektif-pilihan, pemantauan sumber daya, penyelesaian konflik, otonomi daerah dan cadangan) adalah sulit untuk menafsirkan. Sebagian besar, kita lakukan tidak memberikan cukup informasi untuk variabel ini untuk menarik kesimpulan yang kuat apapun, sekali lagi membawa kita untuk percaya bahwa meskipun variabel tersebut sering dibahas dalam literatur CBRM, mereka umumnya tidak

dilaksanakan dalam agama atau tidak rutin dianalisis oleh peneliti yang meneliti di bidang manajemen sumber daya tradisional. Kemungkinan kedua ini tampaknya khususnya dalam resolusi konflik hanya 12 kasus, sesuai dengan kondisi setempat, disebutkan hanya dalam tiga kasus, dan secara proporsional, disebutkan hanya dalam empat kasus.

(14)

Dari analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa agama memainkan peran penting dalam manajemen sumber daya alam berbasis masyarakat, yang mana pada awalnya agama dipandang sebelah mata, dan merupakan suatu bentuk yang abstrak dan tidak nyata. Hal ini mendukung argumen sebelumnya yang menyebutkan pentingnya institusi lokal dan budaya dalam manajemen SDA. Dan kedepannya dengan penambahan variabel dan analisis kita bisa mengevaluasi penyebab kerusakan sosial dan ekologi, serta

Gambar

Tabel 1. Deskripsi Variabel Kelembagaan
Tabel 2. Fokus Utama
Tabel 3 merupakan jawaban pertanyaan penelitian pertama yang menunjukkan adanya masing-masing variabel di seluruh 48 kasus

Referensi

Dokumen terkait

Zakat adalah ibadah Maliyah yang mempunyai dimensi dan fungsi social ekonomi atau pemerataan karunia Allah SWT dan juga merupakan perwujudan solidaritas

Peran modal sosial dalam menunjang dinamika kelompok dengan meningkatkan interaksi atau kerjasama dalam kelompok ditandai dengan meningkatnya rasa tolong- menolong

Modal sosial menjadi perekat bagi setiap individu, dalam bentuk norma, kepercayaan dan jaringan kerja, sehingga terjadi kerjasama yang saling menguntungkan, untuk

Modal sosial menjadi perekat bagi setiap individu, dalam bentuk norma, kepercayaan dan jaringan kerja, sehingga terjadi kerjasama yang saling menguntungkan, untuk

Pada model determinan terhadap status rumah tangga (miskin atau tidak miskin), terlihat modal sosial bridging mempunyai peranan yang lebih tinggi dibandingkan modal so- sial

Lemahnya fungsi nilai siri’ dan pesse di kampus Universitas negeri Makassar sebagai modal sosial yang dapat menciptakan harmonisasi disebabkan

Maksudnya manusia memenuhi kebutuhannya bukan karena barang tersebut bernilai guna tetapi karena kebutuhan untuk tampil beda (fungsi sosial) dan integrasi kelompok

Peran dalam ilmu sosial berarti suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki jabatan tertentu, seseorang dapat memainkan fungsinya karena posisi yang