• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Sumber Daya Air di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Potensi Sumber Daya Air di Indonesia"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Potensi Sumber Daya Air di Indonesia

1

oleh Candra Samekto2 dan Ewin Sofian Winata3

I. Pendahuluan

Air merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki fungsi sangat penting

bagi hidup dan kehidupan seluruh makhluk hidup, termasuk manusia. Air adalah asal

muasal dari segala macam bentuk kehidupan di planet bumi ini. Dari air bermula

kehidupan dan karena air peradaban tumbuh dan berkembang. Tanpa air, berbagai

proses kehidupan tidak dapat berlangsung, sehingga penyediaan air baku untuk

kebutuhan domestik, irigasi dan industri menjadi menjadi perhatian dan prioritas utama.

Karena itulah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendeklarasikan bahwa air

merupakan hak azasi manusia; artinya, setiap manusia di muka bumi ini mempunyai

hak dasar yang sama terhadap pemakaian air. Di Indonesia, hak masyarakat terhadap

penggunaan air dijamin melalui Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 19454, dan Undang- Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air5.

Dalam perkembangannya, air secara sangat cepat menjadi sumberdaya yang

makin langka dan relatif tidak ada sumber penggantinya. Meskipun Indonesia termasuk

10 negara kaya air, namun dalam pemanfaatannya terdapat permasalahan mendasar

yang masih terjadi. Pertama, adanya variasi musim dan ketimpangan spasial

ketersediaan air. Pada musim hujan, beberapa bagian di Indonesia mengalami

kelimpahan air yang luar biasa besar sehingga berakibat terjadinya banjir dan kerusakan

lain yang ditimbulkannya. Di sisi lain, pada musim kering kekurangan air dan

kekeringan menjadi bencana di beberapa wilayah lainnya. Permasalahan mendasar yang

kedua adalah terbatasnya jumlah air yang dapat dieksplorasi dan dikonsumsi, sedangkan

       1 

Disampaikan pada Seminar Nasional: Aplikasi Teknologi Penyediaan Air Bersih untuk Kabupaten/Kota  di Indonesia. Diselenggarakan oleh Pusat Teknologi Lingkungan ‐ BPPT di Jakarta pada tanggal 16 Juni  2010 

2 

Fungsional Perencana Muda di Direktorat Pengairan dan Irigasi, Bappenas  3 

Staf Perencana di Direktorat Pengairan dan Irigasi, Bappenas 

4

Pasal 33 ayat 3 Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar – besar kemakmuran rakyat”.

5

(2)

jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah menyebabkan kebutuhan air baku

meningkat secara drastis. Masalah kualitas air semakin mempersempit alternatif

sumber-sumber air yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.

Ketersediaan air sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia, bahkan air dapat

menjadi salah satu factor penghambat pertumbuhan perekonomian suatu negara.

Schouten (2006) memaparkan beberapa data yang menyajikan fakta bahwa air sangat

penting pernanannya dalam pembangunan ekonomi sebagaimana ditampilkan dalam

gambar di bawah ini:

(3)

Gambar 2. Curah Hujan vs Pertumbuhan GDP di Zimbabwe (1979-1993) (Schouten, 2006)

Dari Gambar 1 dan Gambar 2 di atas dapat dengan sangat jelas terlihat bahwa fluktuasi

pertumbuhan ekonomi Etiopia dan Zimbabwe mempunyai pola yang sama dengan

ketersediaan curah hujan di daerah tersebut.

Dengan memperhitungkan pertumbuhan penduduk dan kebutuhan akan air yang

mengiringinya, masa depan neraca air, ketersediaan infrastruktur dan pelayanan sumber

daya air nampaknya akan menjadi sangat timpang dan sensitif. Untuk itu dibutuhkan

pengelolaan sumber daya air yang baik agar potensi yang ada dapat memberikan

manfaat yang sebesar – besarnya bagi kepentingan masyarakat dalam segala bidang

kehidupan.

II. Potensi Sumber Daya Air Di Indonesia

Secara nasional, ketersediaan air di Indonesia mencapai 694 milyar meter kubik

per tahun. Jumlah ini pada dasarnya adalah potensi yang dapat dimanfaatkan, namun

faktanya saat ini baru sekitar 23 persen yang sudah termanfaatkan, dimana hanya sekitar

(4)

rumah tangga, kota dan industri, 80 persen lainnya dimanfaatkan untuk memenuhi

kebutuhan irigasi. (Hartoyo, 2010)

Sebagian air hujan yang jatuh ke permukaan tanah akan masuk ke dalam

cekungan-cekungan air tanah yang potensinya mencapai lebih dari 308 milyar meter

kubik. Potensi volume cekungan air tanah terbesar berada di Sumatera yaitu sebesar 110

milyar meter kubik.

Tabel 1. Potensi Cekungan Air Tanah

No. Pulau Cekungan

Jumlah Luas (km2) Volume (Juta m3)

1 Sumatera 65 270,656 109,926

Sumber : Status Lingkungan Hidup Indonesia 2008, Kementerian Lingkungan Hidup.

Indonesia memiliki lebih dari 5.590 sungai yang sebagian besar di antaranya

memiliki kapasitas tampung yang kurang memadai sehingga tidak bisa terhindar dari

bencana alam banjir, kecuali sungai-sungai di Pulau Kalimantan dan beberapa sungai di

Jawa. Secara umum sungai-sungai yang berasal dari gunung berapi (volcanic)

mempunyai perbedaan slope dasar sungai yang besar antara daerah hulu (upstream),

tengah (middlestream) dan hilir (downstream) sehingga curah hujan yang tinggi dan

erosi di bagian hulu akan menyebabkan jumlah sedimen yang masuk ke sungai sangat

tinggi. Tingginya sedimen yang masuk akhirnya menimbulkan masalah pendangkalan

sungai terutama di daerah hilir yang relatif lebih landai dan rata, sehingga sering terjadi

banjir di dataran rendah (Kementerian PPN/Bappenas, Infrastruktur Indonesia, 2003).

Sungai-sungai tersebut dikelompokkan menjadi 133 Wilayah Sungai (WS) yang terdiri

dari 13 WS kewenangan kabupaten, 51 WS kewenangan propinsi, dan 69 WS pusat

yang berlokasi di lintas propinsi, lintas negara, dan sungai strategis nasional. (Hartoyo,

2010). Jika dilihat lebih dalam dari aspek hidrologisnya, kondisi sungai-sungai induk

sangat bervariasi dari kondisi baik, sedang hingga buruk sebagaimana dilaporkan oleh

(5)

Tabel 2. Volume Sungai dan Kondisi Hidrologis

Asahan Asahan, Pulau Rakyat, Pulau Raja 4.669,40 2.355,00 Baik

Sumatera Barat

Batang Kuantan Lima Puluh Koto, Payahkumbuh 1.421,00 1.705,00 Buruk

Riau

S. Batanghari Batang Hari, Jambu 8.704,00 51.091,00 Baik

Sumatera Selatan

S. Musi Sungai Rotan, Gelumpang, Muara

Enim

6.990,00 7.974,00 Baik

Lampung

Way Seputih Buyut Udik, Lampung Tengah 1.648,00 584,40 Buruk

Way Sekampung Pujo Rahayu, Gedong Tataan,

Lampung Selatan

S. Serayu Kedunguter, Banyumas, Banyumas 2.631,30 3.479,00 Sedang

(6)

S. Sadang Kabere, Cendana, Enrekang 5.760,00 2.756,00 Sedang

Sulawesi Tenggara

L. Roraya Lainea, Konawe Selatan 1.747,00 482,50 Buruk

Sumber : (Kementerian Lingkungan Hidup, 2009)

Untuk meningkatkan manfaat dan ketersediaan air, telah dibangun bendungan

yang hingga saat ini telah mencapai 235 buah. Berdasarkan klasifikasi menurut

ketinggian dan volume tampungan, bendungan dibedakan menjadi: (a) bendungan

dengan ketinggian lebih dari atau sama dengan 15 meter dengan volume lebih besar dari

atau sama dengan 100.000 m3 (sebanyak 100 buah) dan (b) bendungan dengan

ketinggian kurang dari 15 meter dengan volume lebih besar dari atau sama dengan

500.000 m3 (sebanyak 135 buah). (Kementerian PPN/Bappenas, Infrastruktur

Indonesia, 2003)

Selain irigasi pada umumnya, pemanfaatan rawa untuk pertanian juga telah

dilakukan untuk menunjang pencapaian peningkatan produksi pangan nasional. Luas

lahan rawa masih bersifat perkiraan, dan estimasi yang dilakukan oleh beberapa peneliti

dan beberapa instansi. Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang bervariasi terhadap

luas lahan rawa di Indonesia, seperti ditunjukkan pada Tabel 3.

Dari Total luas luas rawa di Indonesia tersebut, data dari Kementerian Pekerjaan

Umum (2007) menyatakan bahwa hanya 10,8 juta hektar yang berpotensi untuk

dikembangkan, terdiri dari 8,4 juta hektar rawa pasang surut (tidal) dan 2,4 juta hektar

rawa non-pasang surut. Sebagian besar rawa yang potensial tersebut, 91,32 persen

berada di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Dari total 10,8 juta hektar rawa

potensial tersebut, 2,9 juta hektar rawa pasang surut dan 1 juta hektar rawa lebak telah

direklamasi baik oleh pemerintah, maupun swasta dan masyarakat. Dari total 3,9 juta

hektar lahan yang rawa yang telah direklamasi, baru sekitar 2,6 juta hektar yang telah

dimanfaatkan untuk pertanian, perkebunan, tambak dan lainnya. Secara rinci luas rawa

(7)

Tabel 3. Estimasi Luas Rawa di Indonesia

(8)

Gambar 3. Pohon Rawa Potensial Indonesia

Sumber : (Tim Swakelola Subdit Cantek Direktorat Rawa dan Pantai, 2007)

III. Kondisi Sumber Daya Air di Indonesia

A. Kondisi DAS

Masalah air di Indonesia ditandai dengan kondisi lingkungan yang makin tidak

kondusif sehingga makin mempercepat kelangkaan air. Kerusakan lingkungan antara

lain disebabkan oleh terjadinya degradasi daya dukung daerah aliran sungai (DAS) hulu

akibat kerusakan hutan yang tak terkendali sehingga luas lahan kritis sudah mencapai

18,5 juta hektar. Gambar 4 di bawah menggambarkan perubahan penutupan hutan dan

(9)

Gambar 4. Kondisi Penutupan Lahan Tahun 1992 (atas) dan Tahun 2003 (bawah)

(Sumber : Deputi SDA-LH, Bappenas (2008); Kementerian Kehutanan)

Fenomena ini telah menyebabkan turunnya kemampuan DAS untuk menyimpan

air di musim kemarau sehingga frekuensi dan besaran banjir makin meningkat,

demikian juga sedimentasi makin tinggi yang menyakibatkan pendangkalan di waduk

dan sungai sehingga menurunkan daya tampung dan pengalirannya. Pada tahun 1999

terdeteksi bahwa dari 470 DAS di Indonesia, 62 di antaranya dalam kondisi kritis, yang

diprediksi dari perbandingan aliran maksimum dan minimum sungai-sungai yang sudah

jauh melampaui batas normalnya. Keadaan ini diperparah oleh degradasi dasar sungai

akibat penambangan bahan galian golongan C di berbagai sungai yang telah

menyebabkan kerusakan struktur dan fungsi prasarana dan sarana di sepanjang sungai.

(10)

Gambar 5. Kerusakan Kondisi DAS Tahun 1984 (atas) dan Tahun 2005 (bawah)

Sumber: Ditjen SDA, Kementerian PU (2008)

Laju deforestrasi meningkat pesat yaitu dari 1,6 juta ha/th menjadi 2,1 juta ha/th

pada kurun 1985–2001. Laju deforestrasi ini disebabkan oleh terjadinya

perubahan/konversi kawasan hutan menjadi pemukiman, perindustrian, dan

pertambangan serta makin maraknya illegal logging. World Resources Institute (2002)

(11)

Indonesia akan berkurang 15–32,5 juta hektar. Berkurangnya luas hutan dapat

mengurangi keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya termasuk jasa-jasa

lingkungan lainnya. Selain itu, memburuknya kondisi hutan mempengaruhi persediaan

air bagi kehidupan manusia, baik air tanah maupun air permukaan. Kasus-kasus

pencemaran lingkungan juga cenderung meningkat. Kemajuan transportasi dan

industrialisasi yang tidak diiringi dengan penerapan teknologi bersih memberikan

dampak negatif terutama pada lingkungan perkotaan. Sungai sungai di perkotaan

tercemar oleh limbah industri dan rumah tangga. Kondisi tanah semakin tercemar oleh

bahan kimia baik dari sampah padat maupun pupuk. Masalah pencemaran ini

disebabkan juga oleh rendahnya kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan sehat

dengan kualitas lingkungan yang baik. Kondisi di atas menimbulkan kekhawatiran akan

terjadinya ketidakseimbangan sistem lingkungan secara keseluruhan dalam menyangga

kehidupan manusia, dan keberlanjutan pembangunan dalam jangka panjang.

B. Neraca air

Kebutuhan air nasional saat ini terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali, dengan

tujuan penggunaannya terutama untuk air minum, rumah tangga, perkotaan, industri,

pertanian, dan lainnya. Dari data neraca air tahun 2003 dapat dilihat bahwa kebutuhan

air pada musim kemarau di Pulau Jawa dan Bali yang sebesar 38,4 miliar meter kubik,

hanya terpenuhi sekitar 25,3 miliar kubik atau hanya sekitar 66 persen. Defisit ini

diperkirakan akan semakin tinggi pada tahun 2020, dimana jumlah penduduk dan

aktifitas perekonomian meningkat secara signifikan. (Direktorat Pengairan dan Irigasi

Bappenas, 2006)

Tabel 4. Neraca Air Per Pulau Tahun 2003

(12)

(Juta m3) 2 % Tot. Nas

Sumber : (Direktorat Pengairan dan Irigasi Bappenas, 2006); Ditjen SDA Kementerian

PU (2003)

Melihat lebih jauh pada kondisi di Pulau Jawa, Bappenas (2006) telah melakukan suatu

kajian lebih mendalam untuk melihat neraca air per kabupaten/kota sehingga dapat

memproyeksikan kondisi ketersediaan air diperbandingkan dengan kebutuhannya

hingga tahun 2025 sebagaimana ditampilkan dalam Gambar 6 di bawah ini.

Gambar 6. Neraca Air per Kabupaten/Kota di Pulau Jawa

  

(13)

Tahun 2015

Tahun 2025

(Sumber: Direktorat Pengairan dan Irigasi, Bappenas, 2006)

C. Tampungan

Dari 235 bendungan di Indonesia, sekitar 17,02 persen (40 buah) di antaranya

berkinerja rendah; 12,34 persen (29 buah) sedang, dan yang masih baik hanya sekitar

21,28 persen (50 buah); Sisanya sebanyak 98 bendungan belum tercatat kondisinya.

(Kementerian PPN/Bappenas, Infrastruktur Indonesia, 2003) Hasil pemantauan volume

beberapa waduk utama di Indonesia, terutama di Pulau Jawa menunjukkan bahwa pada

tahun 2008 volume waduk pada umumnya menurun pada bulan April hingga Oktober.

Waduk Cirata di Jawa Barat mengalami penurunan volume air terbesar yaitu sebesar 89

persen. Sedangkan Waduk Sermo di DI. Yogyakarta mengalami penurunan terkecil

yaitu sekitar 33%. Persentase penurunan volume waduk selama musim kemarau

mengindikasikan adanya kerusakan fungsi resapan air di bagian hulu. (Kementerian

Lingkungan Hidup, 2009)

Menelaah kapasitas tampungan terbangun yang dimiliki, sebagaimana

(14)

rendah jika diperbandingkan dengan negara-negara lain. Amerika Serikat menduduki

peringkat atas dengan jumlah tampungan mencapai 6.000 m3/jiwa/tahun. Indonesia

pada tahun 2005 tercatat hanya memiliki tampungan air sebesar 30 m3/jiwa/tahun,

dibandingkan dengan Thailand yang sudah mencapai 1.200 m3/jiwa/tahun. Hanya

Ethiopia yang posisinya berada di bawah Indonesia yaitu sebesar 10 m3/jiwa/tahun.

Untuk itu ke depan pembangunan tampungan-tampungan air baik sekala besar dan

terutama skala kecil harus terus dipacu untuk dilaksanakan.

Gambar 7. Kapasitas Tampungan per Kapita per Tahun (m3/jiwa/tahun)

(Sumber: World Bank, 2005)

D. Kualitas Air

Selain isu kuantitas, penurunan kualitas merupakan isu yang tidak kala

pentingnya dalam rangka pemanfaatan air secara optimal. Hasil pemantauan yang

dilakukan pada tahun 2008 oleh 30 Bapedalda Provinsi terhadap 35 sungai di Indonesia

menunjukkan bahwa status mutu air pada umumnya sudah tercemar berat jika

(15)

Tabel 5. Status Mutu Air beberapa Sungai di Indonesia Tahun 2008

Sumber : (Kementerian Lingkungan Hidup, 2009)

IV. Tantangan Penyediaan Air Baku

A. Proyeksi Kebutuhan Air Baku

Kajian global kondisi air di dunia yang disampaikan pada World Water Forum II

di Denhaag tahun 2000, memproyeksikan bahwa pada tahun 2025 akan terjadi krisis air

di beberapa negara. Meskipun Indonesia termasuk 10 negara kaya air namun krisis air

diperkirakan akan terjadi juga, sebagai akibat dari kesalahan pengelolaan air yang

tercermin dari tingkat pencemaran air yang tinggi, pemakaian air yang tidak efisien,

(16)

peraturan perundang-undangan yang tidak memadai. Pulau Jawa yang luasnya mencapai

tujuh persen dari total daratan wilayah Indonesia hanya mempunyai empat setengah

persen dari total potensi air tawar nasional, namun pulau ini dihuni oleh sekitar 65

persen total pendudukIndonesia. Kondisi ini menggambarkan potensi kelangkaanair di

Pulau Jawa sangat besar. Jika dilihat ketersediaan air perkapita per tahun, di Pulau Jawa

hanya tersedia 1.750 meter kubik per kapita per tahun, masih di bawah standar

kecukupan yaitu 2000 meter kubik per kapita per tahun.Jumlah ini akan terus menurun

sehingga pada tahun 2020diperkirakan hanya akan tersedia sebesar 1.200 meter kubik

per kapita per tahun. Apabila fenomena ini terus berlanjut maka akan terjadi

keterbatasan pengembangan dan pelaksanaan pembangunan di daerah karena daya

dukung sumberdaya air yang telah terlampaui. (Kementerian PPN/Bappenas,

Infrastruktur Indonesia, 2003)

B. Peningkatan Operasi dan Pemeliharaan Prasarana Air Baku

Pada daerah-daerah perkotaan, awalnya suplai air minum umumnya berasal dari

sumur-sumur dalam, namun karena jumlah dan kapasitasnya sangat terbatas akhirnya

kota-kota besar terpaksa menggunakan air baku dari aliran sungai yang melewati kota

atau yang mengalir tidak jauh dari kota dengan terlebih dahulu dijernihkan melalui

instalasi penjernihan air. Sejalan dengan makin besarnya kebutuhan pasokan air baku

untuk air minum yang harus dipenuhi dari aliran air sungai, makin besar pula peran

infrastruktur sumberdaya air dalam mendukung pengadaan air baku. Contoh fenomenal

dalam pengadaan air baku untuk air minum adalah pengadaan air baku untuk DKI

Jakarta yang sebagian besar dipasok dari Waduk Jatiluhur pada sungai Citarum. Air

baku untuk air minum Jakarta yang diambil dari waduk dialirkan melalui Saluran Induk

Tarum Barat yang merupakan bagian dari Jaringan Irigasi Jatiluhur. Dengan demikian,

dukungan infrastruktur sumberdaya air terhadap pemenuhan kebutuhan air baku baik

untuk air minum maupun keperluan rumah tangga lainnya menjadi sangat penting.

Mengingat pentingnya peran infrastruktur sumberdaya air dalam mendukung

penyediaan air baku, maka peningkatan operasi dan pemeliharaan prasarana air baku

yang sudah dibangun mutlak dilakukan secara terus menerus untuk mempertahankan

(17)

C. Menambah Tampungan

Selain mempertahankan fungsi yang sudah ada, pembangunan

tampungan-tampungan baru, baik yang berskala besar maupun kecil sangat dibutuhkan dalam

rangka meningkatkan kapasitas tampungan air baku. Hal ini perlu segera dilakukan

sebagai konsekuensi meningkatnya kebutuhan air baku seiring dengan peningkatan

jumlah penduduk yang terjadi. Pembangunan tampungan skala besar juga dapat

digunakan secara multifungsi bersama sektor lain, seperti irigasi untuk mendukung

ketahanan pangan, penyediaan tenaga listrik, dan lain sebagainya. Pembangunan

tampungan baru juga diharapkan dapat mengatasi variasi musim dan ketimpangan

spasial ketersediaan air yang menyebabkan banjir di musim hujan dan kekeringan di

musim kemarau. Dengan adanya tampungan-tampungan baru, ketersediaan air yang luar

biasa melimpah di musim hujan dapat disimpan dan kemudian dipergunakan di musim

kemarau.

Penambahan tampungan-tampungan baru tersebut juga selain merupakan upaya

untuk melakukan konservasi di hulu yang dimaksudkan untuk mempertahankan dan

memelihara keberadaan, sifat dan fungsi sumberdaya air sehingga dapat lebih dijamin

ketersediaan dan kualitas air untuk memenuhi berbagai kebutuhan secara

berkesinambungan baik bagi generasi sekarang maupun akan datang. Selain itu,

pembangunan tampungan baru juga merupakan upaya untuk melakukan pengendalian

banjir yang saat ini sering terjadi di hilir terutama di beberapa wilayah perkotaan.

Sebagai contoh, untuk mengurangi resiko banjir yang setiap tahun melanda hilir

Bengawan Solo, Pemerintah menargetkan pembangunan tujuh buah waduk di hulu

Bengawan Solo yang merupakan salah satu prioritas nasional dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014.

D. Teknologi Tepat Guna

Dalam menghadapi tantangan penyediaan dan pengelolaan air baku yang

semakin rumit, penyediaan air baku tidak cukup dilakukan melalui penambahan

tampungan saja tetapi juga harus didiukung dengan pengembangan teknologi tepat guna

seperti pengembangan metode penjernihan air dan lain sebagainya. Upaya

pengembangan dan inovasi teknologi tepat guna perlu dilakukan secara terus menerus

(18)

vital. Lebih lanjut, pengembangan teknologi tersebut juga penting untuk disosialisasikan

terutama kepada pemerintah sehingga dapat diadopsi dalam kebijakan pembangunan

nasional.

V. Eco-Efficient

Salah satu alternatif dalam mengatasi permasalahan sumberdaya air adalah

dengan mengedepankan konsep keberlanjutan lingkungan dalam pemanfaatan Sumber

Daya Air, yang dikenal dengan konsep Eco-efficient. Eco-efficient dalam pengelolaan

Sumber Daya Air adalah sebuah proses

yang berkelanjutan dalam desain,

konstruksi, operasi dan pemeliharaan

dengan meminimalkan dampak negatif

terhadap lingkungan. Eco-efficient

merupakan paradigma dan strategi baru

untuk mencapai tujuan pembangunan

Sumber Daya Air yang berkelanjutan

melalui perencanaan dan pengelolaan

yang terintegrasi dari efisiensi ekologi

dan efisiensi ekonomi secara

bersama-sama6. Eco-Efiicient yang pada awalnya dikenal pada sector industri ini diartikan sebagai penyediaan barang produksi atau jasa yang memiliki nilai ekonomi yang

kompetitif namun dengan mengurangi dampak negatif terhadap ekologi sehingga dapat

sejalan dengan daya dukung lingkungan (bumi) (WBCSD, 1992). Secara lebih simple

eco-efficient dapat diartikan sebagai down-scalling dari konsep sustainable development

sehingga lebih membumi dan dapat diimplementasikan secara nyata dengan

memperhatikan prinsip-prinsip economical efficiency dan ecological efficiency (Kim,

2009). UNESCAP pada tahun 2008 mencoba memformulasikan ulang konsep

eco-efficient ini untuk dapat diadopsi pada sector publik. Salah satu tantangan terbesar

dalam aplikasi di sector publik adalah bagaimana pendekatan eco-efficient ini dapat

memberikan nilai tambah dan tidak mensyaratkan adanya penambahan biaya baru.

       6 

Eco- Efficiency untuk pertama kalinya dipromosikan dalam “The World Business Council on Sustainable Development”(WBCSD) sebagai konsep bisnis untuk memperbaiki kinerja ekonomi dan kondisi lingkungan pada setiap perusahaan. Eco-efficiency telah banyak diterapkan didunia industri di

berbagai negara. 

(19)

Berdasarkan pengalaman dari berbagai negara Asia dan Pasifik yang telah

melaksanakan Eco-efficient dalam kebijakan prasarana Sumber Daya Air menunjukkan

bahwa dengan penerapan konsep Eco-efficient dapat menyeimbangkan antara

pertumbuhan ekonomi dan lingkungan (green-growth). Negara-negara di kawasan Asia

Pasifik yang telah melakukan eco-effuciency antara lain Korea Selatan, Jepang,

Singapura, China, Selandia Baru, Australia dan Brazil. Pendekatan ini sebenarnya

bukan hal yang baru bagi Indonesia, hanya saja dalam prakteknya belum terkonsep

secara baik dan diaplikasikan secara masal. System of Rice Intensification (SRI),

biopori, micro-hydro, serta upaya penampungan air hujan untuk dimanfaatkan kembali

merupakan beberapa contoh teknologi yang pada dasarnya sudah mengaplikasikan

konsep eco-efficient. Memperhatikan tantangan dan permasalahan ke depan, maka

Pemerintah Indonesia telah mengadopsi konsep Eco-efficient sebagai salah satu arah

kebijakan nasional bidang infrastruktur Sumber Daya Air khususnya dalam peningkatan

cakupan dan kualitas layanan air baku7. Dalam konteks penyediaan air baku, konsep eco-efficient yang bisa diterapkan antara lain pemanfaatan air hujan melalui pemanenan

air hujan (rainwater harvesting). Teknologi pemanenan air hujan ini adalah teknologi

yang sederhana yang dapat mudah di terapkan oleh masyarakat. Selain bermanfaat dapat

meningkatkan ketersediaan air baku untuk air minum, ternak, irigasi, teknik pemanenan

air hujan ini sekaligus bermanfaat untuk konservasi yaitu sebagai recharge untuk air

tanah.

      

7

(20)

Bibliography

Departemen Pertanian. (2006). Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Jakarta: Balai Besar  Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Departemen 

Pertanian. 

Deputi SDA‐LH Bappenas. (2008). Konsep Rancangan Awal RPJMN 2010‐2014 Bidang Sumber  Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas 

Direktorat Pengairan dan Irigasi Bappenas. (2006). Laporan Akhir Buku 1 Prakarsa Strategis  Pengelolaan Sumber Daya Air Untuk Mengatasi Banjir Dan Kekeringan di Pulau  Jawa. Jakarta: Direktorat Pengairan dan Irigasi Bappenas. 

Hartoyo. (2010). Program Pengembangan Penyediaan Air Untuk Menjamin Ketahanan Pangan  Nasional. Seminar Pengembangan dan Pengelolaan Sumber Daya Air untuk  Ketahanan Pangan. Bogor: Kementerian Pekerjaan Umum. 

Kementerian Lingkungan Hidup. (2009). Status Lingkungan Hidup Indonesia 2008. Jakarta:  Kementerian Lingkungan Hidup. 

Kementerian PPN/Bappenas. (2009). Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004 ‐ 2009.  Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas,. 

Kementerian PPN/Bappenas. (2003). Infrastruktur Indonesia. Jakarta: Kementerian  PPN/Bappenas. 

Kim, T. H. (2009). Eco efficient Water Infrastructure in Indonesia. Presented in the Workshop  on Eco‐Efficient Concept Development. Jakarta: Dit. Pengairan dan Irigasi,  Bappenas 

Schouten, M. (2006). Integrated Water Resources Management. Unpublish lectures note.  Delft: UNESCO‐IHE Institute for Water Education 

Tim Swakelola Subdit Cantek Direktorat Rawa dan Pantai. (2007). Laporan Akhir Updating Data  Pengelolaan Rawa Dan Pengamanan Pantai TA. 2007. Jakarta: Kementerian  Pekerjaan Umum. 

 

Gambar

Gambar 1.  Curah Hujan vs Pertumbuhan GDP di Etiopia (1982-2000)  (Schouten, 2006).
Gambar 2.  Curah Hujan vs Pertumbuhan GDP di Zimbabwe (1979-1993)  (Schouten, 2006)
Tabel 1. Potensi Cekungan Air Tanah
Tabel 3. Estimasi Luas Rawa di Indonesia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kadar protein makanan masak yang ditentukan dengan jalan meng- hitung dari bahan makanan mentah lebih

Penelitian terhadap pengaruh penggunaan minuman berkarbonasi untuk menghambat kemunduran mutu ikan gurami ( Osphronemus gouramy ) pada suhu kamar yang diamati adalah

• Pasar Perdana (Primary Market), adl penawaran saham dari perusahaan yang menerbitkan saham (emiten) kepada pemodal selama waktu yang ditetapkan oleh para pihak untuk pertama

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang dilakukan dengan mendeskripsikan bagaimana efektifitas PERMA Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi

Saya selalu meminta masukan dari karyawan atas apa yang saya kerjakan serta mengevaluasi kinerja setiap karyawan di toko material bangunan saya. 1.000 0.3061

Hal inilah yang menjadi latar belakang penelitian yang dilakukan sehingga perancangan sebuah enterprise architecture akan mampu memberikan sebuah blueprint mengenai

Pada proses ini, perusahaan pelayaran mengisikan data kontaknya yang kemudian akan disimpan dalam tabel user operator, sedangkan pemilik muatan akan... mengisikan data

Sehingga jumlah beaker yeast yang ditambahkan pada penelitian sudah cukup yaitu apabila mikroorganisme yang ditambahkan tidak melebihi dari jumlah substrat yang