• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembaharuan Hukum Pidana Berbasis Hukum Adat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pembaharuan Hukum Pidana Berbasis Hukum Adat"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA BERBASIS HUKUM ADAT

Asliani Harahap

Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara [email protected]

Abstrak

Kondisi KUH Pidana yang berasal dari Belanda telah lama berlaku di Indonesia diyakini sudah dalam keadaan tertinggal dalam konteks kekinian seiring dengan berkembangnya dinamika di masyarakat plus banyak sekali konten-konten dalam kitab hukum tersebut yang bertentangan dengan budaya lokal yang ada dan hidup di Indonesia. Adanya fakta-fakta itu seharusnya menjadi awal upaya pembaharuan hukum pidana di Indonesia dengan menjadikan hukum pidana adat sebagai bagian dari sumbernya. Muatan hukum pidana yang berbasis hukum adat dianggap penting karena lebih sesuai dengan budaya dan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Meskipun tidak seluruhnya konten pembaharuan hukum pidana tersebut berasal dari hukum pidana adat, paling tidak hukum pidana adat dapat menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sumber hukum pidana nasional.

Kata kunci: pembaharuan, hukum, pidana, adat

I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan bangsa yang masyarakatnya memiliki keragaman suku, ras, agama dan adat kebiasaan yang tersebar di kota dan di desa. Keragaman itu menjadi suatu kekayaan dan potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dalam kehidupan bermasyarakat, hukum dan masyarakat merupakan dua hal yang yang tidak dapat dipisahkan. Ibi ius ibi societas, dimana ada masyarakat, disitu ada hukum. Oleh karena itu dibutuhkan suatu aturan hukum untuk mengatur kehidupan bermasyarakat demi mencapai ketertiban umum. Aturan hukum tersebut ada yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Berlaku secara nasional maupun kedaerahan, di dalam lapangan hukum publik maupun hukum privat. (Soepomo, 1967: 5)

Dengan bermacam ragam bahasa, budaya dan adat istiadat dalam masyarakat maka bermacam ragam pula kaidah kaidah, dan norma norma yang hidup dan tumbuh serta berkembang dalam setiap masyarakatnya. Di setiap masyarakat yang terdapat dalam wilayah Indonesia, memiliki hukum adatnya sendiri masing masing yang berbeda antara satu sama lain dan dalam setiap hukum adatnya juga dikenal sanksi sanksi adat yang berlaku bagi setiap orang yang melakukan kejahatan atau melanggar kaidah-kaidah dan norma norma yang bertentangan dengan kepentingan umum.

Ironisnya pemakaian hukum adat dalam konteks penegakan hukum di Indonesia masih sangat minim, namun bukan berarti tidak ada. Putusan Pengadilan Negeri Padang Nomor 247/Pid/B/2012/PN.Pdg., memberikan sebuah nuansa baru terkait pemakaian hukum adat dalam menjatuhkan putusan dalam perkara pidana yang melibatkan anak sebagai pelakunya. Pelaku kejahatan yang masih anak-anak tersebut dijatuhi hukuman penjara selama 3 (tiga) bulan meskipun perbuatannya mencabuli dan menganiaya korban sebagaimana yang didakwakan penuntut umum tidak terbukti. Hukuman tersebut dijatuhkan berdasarkan pertimbangan bahwa terdakwa telah melanggar hukum adat Minangkabau sebagaimana yang dimuat dalam “Undang-Undang Nan Duo Puluah, Hukum Pidana Adat Minangkabau. Dalam hal ini adalah penggunaan aturan pidana adat dalam perkara pidana terkait dengan anak yang sangat erat dengan keadilan restoratif. (Zurnetti, 2015: 47)

Tulisan ini tidak hendak membahas kasus tersebut, tetapi membuka wacana untuk pemerhati hukum, baik dari pihak ekseskutif maupun legislatif untuk dapat mempergunakan kearifan lokal (hukum adat) dalam merancang Rancangan KUH Pidana di masa mendatang. Kebijakan untuk menggunakan hukum adat dirasa penting mengingat di beberapa belahan bumi nusantara ini ternyata ketaatan terhadap hukum adat lebih tinggi jika dibandingkan dengan hukum yang dibuat oleh pemerintah.

a. Kedudukan Hukum Adat dalam Sistem Hukum Indonesia

Konstitusi Indonesia sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada adanya pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Pada asasnya, terminologi hukum adat berasal dari kata adatrecht dipergunakan oleh Snouck Hurgronje dan dipakai sebagai terminologi teknis yuridis oleh van Vollenhoven. Kemudian, terminologi hukum adat dikenal dalam zaman Hindia Belanda diatur ketentuan Pasal 11 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (AB) dengan terminologi godsdientige wetten, volksinstelingen en gebruiken, ketentuan Pasal 75 ayat 3 Reglement op het Beleid der Regeling van Nederlands Indie (RR) dengan terminologi Instellingen en gebruiken des volks, berikutnya menurut ketentuan Pasal 128 Wet op de Staatsinrichting van Nederlandsch Indie

(2)

berdasarkan ketentuan Stb. 1929 Nomor 221 jo Nomor 487 terakhir dipergunakan terminologi adatrecht. (Mulyadi, 2013: 226). Perkembangan hukum adat di Indonesia secara teoritis akademis sangat dipengaruhi oleh pemikiran dari para ahli hukum yang berasal dari Belanda. (Hakim, 2017, melalui http://fkip.umsu.ac.id., diakses tanggal 9 Mei 2018)

Hukum Adat adalah hukum yang berlaku dan berkembang dalam lingkungan masyarakat di suatu daerah. Ada beberapa pengertian mengenai Hukum Adat. Menurut Hardjito Notopuro, Hukum Adat adalah hukum tak tertulis, hukum kebiasaan dengan ciri khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata keadilan dan kesejahteraan masyarakat dan bersifat kekeluargaan. Soepomo mengatakan bahwa Hukum Adat adalah sinonim dari hukum tidak tertulis didalam peraturan legislatif, hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan negara (parleman, dewan Provinsi, dan sebagainya), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan dalam pergaulan hidup, baik di kota maupun di desa-desa. (Manarisip, 2012: 25). Menurut Cornelis van Vollennhoven Hukum Adat adalah himpunan peraturan tentang perilaku bagi orang pribumi dan Timur Asing pada satu pihak mempunyai sanksi (karena bersifat hukum), dan pada pihak lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat). (Wulansari, 2010: 3-4)

Dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945, yang diberlakukan kembali menurut Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959) tiada satu pasal pun yang memuat dasar (perundang-undangan) berlakunya hukum adat itu. Menurut Pasal 11 Aturan Peralihan UUD maka "Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini". Sebelum berlakunya kembali UUD ini, maka berlaku Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950. Dalam Undang-Undang Dasar sementara itu Pasal 104 ayat 1 mengatakan bahwa "Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan undang-undang dam aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu. "Tetapi ketentuan ini, yang jikalau diartikan "hukum adat" itu seluas-luasnya, memuat suatu grondwettelijke grondslag (dasar konstitusional) berlakunya hukum adat, sampai sekarang belum diberikan dasar hukum penyelenggaraannya (Undang-Undang organik). (Manarisip, 2012: 26)

Dasar perundang-undangan berlakunya hukum adat, yang berasal dari zaman kolonial dan yang pada zaman sekarang masih tetap berlaku, adalah Pasal 131 ayat 2 sub b IS. Menurut ketentuan tersebut, maka bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan hukum timur asing berlaku hukum adat mereka. Tetapi bilamana keperluan sosial mereka memerlukanya, maka pembuat ordonansi dapat menentukan bagi mereka:

1. hukum Eropa ,

2. hukum Eropa yang telah diubah (gewijzigd Europees recht) ,

3. hukum bagi beberapa golongan bersama-sama (gemeenschappelijkrecht), dan apabila kepentingan umum memerlukannya.

4. hukum baru (nieuw recht), yaitu hukum yang merupakan "syntese” antara hukum adat dan hukum Eropa ("fantasierecht" van Vollen hoven atau "ambtenarenrecht" van Idsinga). (Manarisip, 2012: 26)

Ada beberapa dasar hukum yang menunjukkan eksistensi hukum adat dalam sistem hukum di Indonesia:

1.

Ketentuan UUD 1945. Dalam pasal 18 B ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945: ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

2.

UU Drt. No. 1 tahun 1951 tentang Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan Dan Acara Pengadilan Sipil.

I Made Widnyana, juga menjelaskan mengenai ketentuan Hukum Pidana Adat dalam Pasal 5 ayat (3) b Undang- Undang Darurat No.1 Tahun 1951 adalah sebagai berikut:

“Di dalam penjelasannya pembuat Undang- Undang menerangkan, bahwa masih diper-tahankannya hukum adat pidana itu ialah oleh karena dalam tempo yang pendek Kitab Hukum Pidana Sipil akan diulang pengundangannya setelah Kitab ini disesuaikan dengan Keadaan Pemerintahan yang baru ini, dan kini belum tentu apakah perbuatan-perbuatan Pidana Adat dan hukuman-hukuman adat harus diakui terus; maka untuk sementara waktu perbuatan-perbuatan pidana adat itu dan hukuman-hukuman adat itu tidak dihapus.” (2013: 59)

3.

UU No. 5 tahun 1960 tentang UUPA Pasal 2 ayat (4) UUPA mengatur tentang pelimpahan wewenang kembali kepada masyrakat hukum adat untuk melaksanakan hak menguasai atas tanah, sehingga masyrakat Hukum Adat merupakan aparat pelaksana dari hak menguasai negara atas untuk mengelola tanah yang ada di wilayahnya

4.

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 mengenai Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 197 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang telah diganti dengan Undang- Undang

(3)

Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, pada Pasal 50 ayat (1) menentukan sebagai berikut:

“Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.”

5.

Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang HAM ini, boleh dibilang sebagai operasionalisasi dari TAP MPR XVII/1998 yang menegaskan bahwa hak-hak masyarakat hukum adat sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia.

6.

UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, lebih tertuju pada penegasan hak-hak masyarakat hukum adat untuk mengelola sistem politik dan pemerintahannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum adat setempat

Ketentuan yang sama telah pula diatur di dalam undang-undang yang lahir sebelum Undang-undang Pemerintahan Daerah, yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah dirubah menjadi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Di dalam Undang-undang dimaksud ketentuan mengenai eksistensi hukum adat sebagaimana dimanatkankan oleh konstitusi negara, diatur di dalam Pasal 23 ayat (1) yang pada pokoknya menyatakan bahwa segala putusan Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. (Suwandi, Zanibar, Achmad, 2010: 2-3).

2. METODE PENELITIAN

2.1.Hukum Pidana dalam Perspektif Hukum Adat

Hukum adat merupakan hukum asli dalam suatu masyarakat tertentu, yang biasanya tidak tertulis , dimana pada masa dahulu dipergunakan sebagai pedoman bagi seluruh aspek kehidupan dalam masyarakat yang bersangkutan. Hal tersebut bukan berarti bahwa hukum adat selamanya adalah hukum yang tidak tertulis. Ada hukum adat tertulis, yaitu misalnya ciwacasana (kurang lebih tahun 1000 pada zaman pemerintahan Raja Dharmawangsa di Jawa Timur), dan awig-awig di Bali. Akan tetapi apabila dibandingkan dengan hukum adat yang tidak tertulis, maka hukum adat yang tidak tertulis jumlahnya sangat sedikit, sehingga tidak berpengaruh dan sering diabaikan. (Sudiyat, 1982:4).

Menurut Utrecht sebagaimana dikutip oleh I. Sriyanto, berbeda dengan hukum perdata adat yang sejak diberikannya dasar bukum tertulis bagi berlakunya bukum tersebut memang sudah dinyatakan adanya kebebasan bagi masyarakal untuk melaksanakannya, maka tidaklah demikian dengan hukum pidana adat Menurut pasal 75 ayal (2) Regeringsreglement (RR) 1854, dalam redaksi lama dinyatakan bahwa Gubemur Jenderal berkuasa menjadikan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlakn bagi orang Eropa, berlaku juga bagi orang bukan Eropa. (Sriyanto, melalui http://jph.ui.ac.id., diakses tanggal 7 Mei 2018).

Istilah hukum pidana adat adalah terjemahan dari istilah bahasa Belanda “adat delecten recht” atau hukum pelanggaran adat. Istilah-istilah ini tidak dikenal dikalangan masyarakat adat. (Hadikusuma, 1989: 20). Mengutip pendapat I Made Winyana menyatakan bahwa:

“Hukum pidana adat adalah hukum hidup (the living law), diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus-menerus, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut dipandang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena dianggap mengganggu keseimbangan kosmis masyarakat. Oleh karena itu bagi si pelanggar diberikan reaksi adat, koreksi adat oleh masyarakat melalui pengurus adatnya”. (Arief, 2008: 73-74)

Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa ada tiga hal pokok tentang pengertian hukum pidana adat yaitu:

1. Rangkaian peraturan tata tertib yang dibuat, diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat yang bersangkutan; 2. Pelanggaran terhadap tata tertib tersebut dapat menimbulkan kegoncangan karena dianggap mengganggu

keseimbangan kosmis perbuatan melanggar tata tertib dapat disebut delik adat;

3. Pelaku yang melakukan pelanggaran tersebut dapat dikenakan sanksi oleh masyarakat adat. (Arief, 2008: 74)

Lebih lanjut, Hilman Hadikusuma menegaskan, bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana adat adalah sebagai berikut :

“Hukum pidana adat adalah hukum yang hidup dan akan terus hidup selama ada manusia budaya, ia tidak dapat dihapuskan dengan perundang-undangan. Andaikata diadakan juga undang-undang yang menghapuskannya, akan percuma juga malahan hukum pidana perundang-undangan akan kehilangan sumber kekayaannya oleh karena hukum pidana adat itu lebih dekat hubungannya dengan antropologi dan sosiologi dari pada hukum perundang-undangan”. (1989: 20)

(4)

Pengertian hukum pidana adat menurut Terrhaar yaitu setiap perbuatan dalam sistem adat di nilai dan dipertimbangkan berdasarkan tata susunan persekutuan yang berlaku pada saat perbuatan tersebut di lakukan. Pelanggaran yang terjadi di dalam hukum adat atau juga disebut pidana adat menurutnya adalah setiap gangguan terhadap keseimbangan dan setiap gangguan terhadap barang-barang materil dan immaterial milik seseorang atau sekelompok orang yang menimbulkan reaksi adat. (Poponoto, 1981: 125)

Dari pernyataan Ter Haar tersebut, Hilman Hadikusuma berpendapat bahwa hukum pidana adat adalah hukum yang menunjukkan peristiwa dan perbuatan yang harus diselesaikan (dihukum) karena peristiwa dan perbuatan itu telah mengganggu keseimbangan masyarakat. (Hadikusuma, 1989: 8)

Jadi Ter Haar berasumsi bahwa yang dianggap suatu pelanggaran (delict) ialah setiap gangguan segi satu (eenzijding) terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan dari segi satu pada barang-barang kehidupan materiil dan imateriil orang seorang atau dari orang-orang banyak yang merupakan suatu kesatuan (gerombolan). Tindakan sedemikian itu menimbulkan suatu reaksi yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan oleh hukum adat (adat reactie), karena reaksi mana keseimbangan dapat barang-barang atau uang). Untuk dapat disebut tindak pidana adat, perbuatan itu harus mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan masyarakat. Kegoncangan itu tidak hanya terdapat apabila peraturan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar, tetapi juga apabila norma-norma kesusilaan, keagamaan, dan sopan santun dalam masyarakat dilanggar. (Kurniawan, 2016: 14).

Berbeda dengan hukum pidana positif yang berlaku di Indonesia sekarang ini, peristiwa dan perbuatan itu dihukum karena adanya hukum tertulis yang mengaturnya.Selama peristiwa dan perbuatan itu tidak diatur dalam undang-undang, maka tidak dapat dikatakan delik. Hal ini disebut dengan asas legalitas yang tertuang dalam pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berbunyi: “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.”

Hukum Pidana Adat menitikberatkan pada “keseimbangan yang terganggu”. Selama keseimbangan suatu masyarakat adat itu terganggu, maka akanmendapat sanksi. Hukum pidana adat tidak mengenal asas legalitas sebagaimana hukum positif karena selain ketentuan hukumnya masih sederhana, hukum pidana adat tidak mengenal kodifikasi. Dengan kata lain, hukum pidana adat tidak mengenal hukum tertulis meskipun beberapa masyarakat adat di Indonesia sudah mengenal kodifikasi hukum adat. Misalnya kitab Kuntara Raja Niti (Lampung), Manawa Dharmasastra, Catur Agama, Awig-Awig (Bali), kitab Babad Jawa (Jawa kuno), dan lain sebagainya.Jadi, selama perbuatan itu menyebabkan kegoncangan pada keseimbangan dalam suatu masyarakat adat yang sudah mapan, maka perbuatan itu dapat dikatakan melanggar hukum. (Kurniawan, 2016: 15)

Hukum pidana adat atau delik adat adalah mengatur mengenai tindakan yang melanggar rasa keadilan dan kepatutan yang hidup ditengah masyarakat, sehingga menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat. Untuk memulihkan ketentraman dan keseimbangan tersebut, maka terjadi reaksi adat. (Santoso, 1990: 9)

Menurut Ter Har yang ditulis kembali oleh Surojo Wignjodipuro, delik adat adalah:

“Delik adat adalah tiap-tiap gangguan dari keseimbangan, tiap-tiap gangguan pada barang-barang materil atau inmateril milik hidup seseorang atau kesatuan (persatuan) orang-orang yang menyebabkan timbulnya suatu reaksi adat, dengan reaksi adat ini keseimbangan harus dapat dipulihkan kembali.” (Wignjodipoero, 1995: 228)

Bushar Muhammad memperjelas wilayah berlakunya delik adat bahwa:

“Sesudah KUHP berlaku segala delik yang tercantum didalamnya menjadi wewenang dari landraad atau sekarang disebut pengadilan negeri, untuk delik-delik tertentu seperti delik adat, ia tidak dapat diadili dan memang tidak terdapat perumusannnya didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kecuali mengadili perbuatan-perbuatan yang terdapat didalam KUHP menurut KUHP merupakan delik adat. Pengadilan negeri tidak berwenang memerintahkan tindakan-tindakan sebagai daya upaya adat, kecuali sebagai syarat istimewa pada hukuman bersyarat.” (1976: 73)

Khusus mengenai lingkup berlaku delik adat dapat dipahami rumusan Pasal 5 ayat (3) Sub B Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Oemar Seno Adji menjelaskan bahwa pasal tersebut pada intinya menyebutkan apakah pelanggaran itu ada bandingannya atau tidak dengan KUHP. (Aji, 1980: 60)

Suatu delik lahir dengan diundangkannya suatu ancaman pidana di dalam staatsblad (lembaran negara). Didalam sistem hukum adat (hukum tak tertulis), lahirnya suatu delik serupa dengan lahirnya tiap-tiap peraturan hukum tak tertulis. Tiap-tiap peraturan hukum adat timbul, berkembang dan seterusnya lenyap dengan lahirnya peraturan baru, sedangkan peraturan baru itu berkembang kemudian lenyap pula begitu seterusnya. (Wignjodipoero, 1995: 229)

Hukum pidana adat terbatas berlaku pada lingkungan masyarakat adat tertentu, tidak ada hukum pidana adat yang dapat berlaku diseluruh masyarakat Indonesia. Hukum pidana adat itu masih tetap berlaku selama masyarakat adat itu ada tetapi kekuatan berlakunya tergantung pada keadaan, waktu dan tempat. (Arief, 2008: 10). Pidana adat dapat berlaku walaupun ia tidak tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan, karena

(5)

atau dengan kata lain hukum adat itu hukum yang dinamis. Walaupun peradilan adat sudah tidak ada lagi, tetapi peradilan adat atau peradilan perdamaian desa tetap hidup dan diakui oleh Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Sebenarnya sekalipun tidak ada undang-undang yang mengakuinya, namun dalam pergaulan masyarakat sehari-hari peradilan perdamaian itu tetap berjalan sesuai dengan kesadaran rakyat dan rasa keadilan yang dihayati rakyat. (Arief, 2008: 10).

Memang benar bahwa terhadap perbuatan kejahatan seperti pembunuhan, pencurian dan delik-delik harta benda, rakyat pada umumnya menerima KUHP, tetapi oleh karena kemampuan hukum pidana umum itu terbatas dimeja pengadilan dan tidak akan dapat melayani setiap kepentingan rasa keadilan masyarakat, maka masih dibutuhkan adanya upaya-upaya adat untuk dapat memulihkan kembali keseimbangan masyarakat yang terganggu. (Afandy, 2016: 13).

3. HASIL dan PEMBAHASAN

3.1.Pembaharuan Hukum Pidana Berbasis Hukum Adat

Hukum pidana adat di beberapa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia masih diterapkan oleh badan peradilan umum, termasuk di Sumatera Barat. Sebagai bagian dari hukum yang hidup dalam masyarakat, hukum pidana adat dirasakan sebagai hukum yang adil dan karenanya efektif dalam mengembalikan keseimbangan (harmoni) yang terganggu oleh terjadinya suatu tindak pidana. Hukum positif tanpa hukum adat tidak ubahnya seperti “gulai tanpa garam”. Berdasarkan paradigma pemikiran seperti itu seorang ahli hukum Austria bernama Eugen Erlicht pernah mengatakan, bahwa hukum positif baru akan mempunyai daya laku yang efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). (Danil, 2012: 589)

Sebagaimana diketahui bahwa KUH Pidana yang berlaku saat ini berasal dari penjajah Belanda. Secara otomatis muatan KUH Pidana tersebut bukanlah bercorak, bercirikan dan bukan merupakan sumber hukum yang digali atau dibuat berdasarkan kondisi masyarakat maupun pemikiran Bangsa Indonesia sendiri.

Mengenai Hukum Positif yang belum seutuhnya mencerminkan Bangsa Indonesia juga dijelaskan oleh M. Syamsudin, adalah sebagai berikut:

“Karena pada saat ini Hukum Positif di Indonesia belum seluruhnya didasarkan pada UUD 1945 dan Pancasila, baik Undang-Undang yang diundangkan atau berkembang sebelum Proklamasi Kemerdekaan maupun yang diundangkan setelah Proklamasi Kemerdekaan, maka dapat dikatakan bahwa kita sampai saat ini belum memiliki suatu Sistem Hukum Nasional, tetapi masih dalam proses pembentukan dan pengembangannya.” (1998: 171)

Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/ MPRS/1996 mengenai nilai-nilai Pancasila, pada hakikatnya adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita hukum serta cita-cita moral luhur yang meliputi suasana kejiwaan serta watak bangsa Indonesia. Dilihat dari kedudukannya, Pancasila merupakan sumber hukum yang paling tinggi, yang berarti menjadikan Pancasila sebagai ukuran dalam menilai hukum di Indonesia. Aturan hukum yang diterapkan dalam masyarakat harus mencerminkan kesadaran dan rasa keadilan sesuai dengan kepribadian dan falsafah hidup Bangsa Indonesia. Selain itu Pancasila juga sebagai acuan pembatasan Hukum Pidana Adat. Jadi Hukum Pidana Adat yang berbenturan dengan Pancasila dianggap tidak berlaku. (Astuti, 2015: 202)

Dilihat dari sudut lain, dapat pula dikatakan bahwa suatu sistem hukum tidak terdiri dari dan ditentukan oleh kaidah-kaidah hukum saja, tetapi terdiri dari dan ditentukan oleh keseluruhan kaidah, pranata, lembaga dan sarana, perangkat dan sumber daya seperti yang telah diuraikan oleh M.Syamsudin adalah sebagai berikut: a) Undang-Undang Dasar; b) Lembaga-lembaga Tinggi Negara; c) Badan-badan Peradilan; d) Instansi-instansi Pemerintahan atau Peraturan-peraturan; e) Yurisprudensi; f) Proses atau prosedur hukum; g) Personalia hukum; h) Kesadaran hukum masyarakat, pemerintah, hukum dan penegakkan hukum lainnya; i) Kebiasaan hukum; j) Pendidikan dan teori hukum nasional; k) Penelitian hukum; l) Perangkat keras (gedung-gedung, alat-alat); m) Perangkat lunak (program-program).(1998: 172-173)

Dengan sistem hukum menurut M. Syamsudin (1998:173), yang terdiri dari dan ditentukan oleh kaidah-kaidah hukum, dan ditentukan oleh keseluruhan kaidah-kaidah, pranata, lembaga dan sarana, perangkat dan sumber daya, dapat dilihat bahwa corak sistem hukum akan bergantung dari tersedianya kaidah, pranata dan lembaga tersebut diatas, efektifnya unsur-unsur tersebut, dan interaksi antara unsur-unsur itu.

Dari uraian diatas terlihat jelas bahwa selalu ada unsur yang memberikan ruang terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat, khususnya Hukum Pidana Adat agar turut serta memiliki ruang di dalam Sistem Hukum Nasional sehingga hukum dalam masyarakat dalam hal ini Hukum Pidana Adat memiliki kontribusi terhadap adanya pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. (Astuti, 2015: 202). Pembaharuan Hukum Pidana sendiri secara sederhana merupakan perubahan atau reformasi Hukum Pidana, yang bermula merupakan Hukum Pidana peninggalan Belanda menjadi Hukum Pidana yang berasal dari kajian nilai-nilai Hukum bangsa Indonesia. Adapun pendapat Lilik Mulyadi (2003:38), mengenai pembaharuan Hukum Pidana, adalah sebagai berikut:

(6)

“Pada asasnya, secara konkret pembaharuan Hukum Pidana harus meliputi Hukum Pidana Materiil, Hukum Pidana Formal dan pelaksanaan Hukum Pidana. Ketiga bidang hukum tersebut bersama-sama secara integral diperbaiki agar tidak terdapat kendala dalam pelaksanaannya.”

Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakkan hukum). Ini berarti, makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana juga berkaitan erat dengan berbagai aspek itu. Artinya, pembaharuan hukum pidana juga pada hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek kebijakan yang melatarbelakanginya. (Astuti, 2015: 33)

Pembaharuan hukum pidana di Indonesia, telah dirasakan sebagai suatu kebutuhan yang mendesak, sebagai akibat KUHP yang selama ini diberlakukan merupakan produk hukum peninggalan kolonial (WvS/Wetboek van Strafrecht) yang dinyatakan berlaku sebagai hukum positif di Indonesia berdasarkan UU No.1/1946 jo. UU No.73/1958. Oleh karenanya, pembaharuan hukum pidana tidak saja meliputi alasan yang bersifat politis (kebanggaan nasional untuk memiliki KUHP sendiri), alasan sosiologis (merupakan tuntutan sosial untuk memiliki KUHP yang bersendikan sistem nilai nasional) dan alasan praktis (adanya KUHP yang asli berbahasa Indonesia). Selain ketiga alasan tersebut di atas, masih terdapat pula alasan yang tidak kalah pentingnya, yaitu alasan adaptif, yakni KUHP nasional mendatang hendaknya dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan baru, khususnya perkembangan internasional yang telah disepakai oleh masyarakat beradab. (Muladi, 1990: 3). Pertimbangan lain, sebagai persoalan yang bersifat mendasar adalah hal-hal menyangkut heterogenitas kultur serta pluralisme hukum dalam masyarakat Indonesia baik yang bersifat hukum adat maupun yang bersifat religius yang mempunyai pengaruh terhadap hukum pidana. (Ariawan, http/portalgaruda.org., diakses tanggal 8 Mei 2018)

Dari apa yang dikemukakan di atas, nampak bahwa makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana, berkaitan erat dengan aspek sosio-politik, aspek sosio-filosofis dan aspek sosio-kultural ataupun dari berbagai aspek kebijakan, baik kebijakan sosial, kebijakan kriminal maupun kebijakan penegakan hukum. Dengan demikian pembaharuan hukum pidana merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan berbagai aspek dan kebijakan yang melatarbelakangi perlunya pembaharuan hukum pidana. Dari kenyataan ini pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan re-orientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofis, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembaharuan hukum pidana haruslah dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (“policy-oriented approach”) dan pendekatan yang berorientasi pada nilai (

“value-oriented approach”). Pembaharuan dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena pada hakikatnya

pembaharuan tersebut merupakan bagian dari langkah kebijakan, yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal dan politik sosial. Dalam setiap langkah kebijakan (policy), terkandung pula pertimbangan nilai. Dari kenyataan inilah pembaharuan hukum pidana, di samping harus mempertimbangkan pendekatan nilai, juga harus mempertimbangkan pendekatan yang berorientasi pada pendekatan kebijakan. (Arief, 2008: 30-31)

Bertolak dari upaya melakukan suatu pembaharuan dalam hukum pidana, maka untuk sampai kepada sasaran yang dikehendaki kiranya perlu dicari berbagai strategi yang dapat mendukung. Suatu strategi dalam pengembangan ilmu hukum pidana menuju era hukum pidana baru Indonesia, adalah perlu adanya kajian terhadap konsep-konsep alternatif. Strategi tersebut antara lain dengan memberikan pelajaran pembaharuan hukum pidana dan politik hukum pidana, disamping perbandingan hukum pidana. Masalah yang erat kaitannya dengan pembaharuan hukum pidana dan perbandingan hukum pidana adalah perlunya dikembangkan kajian khusus mengenai "hukum yang hidup di dalam masyarakat" dibidang hukum pidana. (Arief, 1994: 12-13). Pentingnya mengembangkan kajian terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat sesungguhnya merupakan sesuatu hal yang sudah sepantasnya, sebab hukum pidana pada hakikatnya berfungsi untuk melindungi dan sekaligus untuk menjaga keseimbangan pelbagai kepentingan masyarakat, negara, pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana. (Muladi, 1990: 22)

Berpijak dari kenyataan tersebut maka pandangan dari sudut sosiologis sebagai salah satu alasan pembaharuan hukum pidana merupakan sesuatu hal yang sangat esensil. Artinya bahwa ukuran untuk mengkriminalisasikan suatu perbuatan tergantung dari nilai-nilai dan pandangan kolektif yang terdapat dalam masyarakat tentang apa yang baik, yang benar, yang bermanfaat atau sebaliknya. Jadi pandangan masyarakat tentang kesusilaan dan agama sangat berpengaruh dalam pembentukan hukum, khususnya hukum pidana. (Sudarto, 1983: 63-67)

Hukum pidana sebagai sistem sanksi yang negatif memberi sanksi terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki oleh masyarakat. Hal ini berhubungan dengan pandangan hidup, tata susila dan moral keagamaan serta kepentingan dari bangsa yang bersangkutan. Tidak salah kiranya, kalau sampai batas tertentu

(7)

Sejalan dengan hal tersebut Muladi menyatakan, bahwa "Hukum pidana harus memperhatikan aspek yang berkaitan dengan kondisi manusia, alam, dan tradisi yang sudah mengakar dalam budaya bangsa Indonesia". (1990: 15)

Dari gambaran tersebut nampak bahwa dalam melakukan pembaharuan menuju terbentuknya hukum pidana nasional, titik tolaknya adalah nilai-nilai yang ada di negeri sendiri (hukum yang hidup dalam masyarakat/hukum adat pidana). Namun sebagai bangsa beradab yang hidup dalam pergaulan dunia juga harus melihat perkembangan hukum internasional. Hal tersebut sesuai dengan apa yang diungkapkan Santayana : "A man's feet must be planted in his country, but his eye should survey the world". (Arief, 1994: 68)

Dalam hal ini Hukum Pidana Adat merupakan kekayaan atau unsur dalam Hukum Nasional Bangsa Indonesia, dikatakan demikian bukan berarti seluruh aspek dari Hukum Pidana Adat dapat digunakan sebagai penunjang dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia namun beberapa kajian atau pengaturan dalam Hukum Pidana Adat yang sudah diterapkan secara turun temurun yang sesuai dengan Sistem Hukum Nasional yang dapat dimasukkan dan ditetapkan dalam Hukum Pidana tertulis sebagai Hukum Pidana Nasional di Indonesia. (Astuti, 2015: 204)

Dasar perlunya pembaharuan hukum pidana di Indonesia adalah pengaturan dalam hukum pidana merupakan pencerminan dari ideologi politik dari suatu bangsa dimana hukum itu berkembang dan merupakan hal yang sangat penting bahwa seluruh bangunan hukum itu bertumpu pada pendangan politik yang sehat dan konsisten. Atas dasar hal tersebut tidaklah cukup mengherankan, bahwa walaupun telah dilakukan berbagai perubahan dalam KUHP namun dalam penerapannya ditemukan adanya kesenjangan/konflik. Disatu pihak ada perbuatan-perbuatan yang menurut KHUP termasuk sebagai tindak pidana namun menurut anggapan masyarakat bukan sebagai perbuatan tercela, dipihak lain ada perbuatan-perbuatan yang menurut anggapan masyarakat sebagai perbuatan tercela namun KUHP tidak mengaturnya sebagai suatu tindak pidana. (Sambas, 2009: 235)

Menanggapi kenyataan tersebut Barda Nawawi Arief, mengungkapkan bahwa adanya kesenjangan/ketidaksesuaian ("gap/discrepancy") dan bahkan perbedaan nilai/kepentingan inilah yang tidak mustahil dapat menjadi faktor timbulnya ketidak puasan dalam praktek penegakan hukum. Bahkan dapat pula menjadi faktor penyebab timbulnya korban (faktor victimogen) maupun timbulnya delik/kejahatan lain (faktor kriminogen).(Arief, 1994: 8-9). Terjadinya hal tersebut merupakan suatu indikasi betapa pentingnya menggali hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat, khususnya hukum adat pidana/hukum pidana yang tidak tertulis didalam pembentukan hukum pidana nasional. Kaitannya dengan hal tersebut Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa "hukum adat merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam masyarakat, sehingga ia merupakan faktor yang turut menentukan baik dalam hal pembentukan maupun penerapan hukum di Indonesia. (Rahardjo, 1979: 119)

Pengakuan terhadap hukum adat pidana -baik hukum adat pidana yang ada bandingannya maupun yang tidak ada bandingannya dengan KUHP -semakin mantap setelah berkembang dalam bentuk yurisprudensi. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya beberapa putusan Mahkamah Agung, antara lain: Putusan MA tanggal 19 Nopember 1977 yang memperkuat putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, Banda Aceh No. 93/K/Kr/1976 terhadap perbuatan zinah yang menimbulkan kehamilan. Dengan menyinggung Pasal 5 ayat (3) b UU No.1/1951, maka bandingannya dengan Pasal 284 KUHP menurut pengadilan dianggap kurang tepat, karena perzinahan dalam Pasal 284 KUHP mensyaratkan bahwa para pelaku mempunyai status dalam ikatan perkawinan, padahal kedua pelaku tidak atau belum kawin menurut hukum. Dengan demikian perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat dan hukum agama. Begitu juga Putusan MA No. 195/K/Kr tanggal 8 Oktober 1979 yang telah menolak permohonan kasasi oleh penuntut kasasi yang telah dinyatakan salah telah melakukan kejahatan Lokika Sangraha. Penolakan itu ditujukan kepada putusan Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara di Denpasar yang tidak menerima permohonan banding tertuduh terhadap putusan Pengadilan Negeri yang telah memutus melakukan kejahatan hukum adat Bali Lokika Sangraha tersebut. (Sambas, 2009: 237)

Sebagai identitas bangsa, eksistensi hukum adat mesti memiliki ciri dan karakteristik yang sesuai dengan filosofi dan budaya bangsa. Sudarto menegasan bahwa, “tidak salah kiranya, kalau sampai batas tertentu dapat dikatakan bahwa hukum pidana suatu bangsa dapat merupakan indikasi dari peradaban bangsa itu.” (Supusesa, 2012: 42). Hukum pidana yang berlaku secara Nasional sekarang menentukan bahwa dalam hal menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi. Ketentuan tersebut mempertegas prinsip legalitas yang menjadi prinsip utama dalam hukum pidana Nasional yang secara positif berlaku sekarang. (Abdullah, 2015: 172)

Realitasnya, kebiasaan masyarakat Indonesia memunyai kaidah tersendiri yang diantaranya memunyai sanksi yang biasa dikenal dengan hukum adat. Hukum adat yang demikian tentu tidak tertulis, dalam arti tidak menjadi hukum tertulis yang resmi disahkan negara sebagaimana halnya undang-undang. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia masih memegang teguh hukum tidak tertulis yaitu hukum adat itu sendiri beserta sanksi atas pelanggaran hukum tidak tertulis tersebut. Dengan demikian, kedudukan hukum adat berserta sanksi adatnya masihlah utuh dan teguh dipertahankan masyarakat Indonesia yang seharusnya menjadi

(8)

perhatian dalam hal politik hukum pidana khususnya pembaharuan hukum pidana nasional, baik hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil. (Abdullah, 2015: 172)

Menjadikan hukum pidana adat sebagai isi dari sebagian pembaharuan hukum pidana nasional juga memberikan tantangan tersendiri bagi pembuatnya dalam hal ini baik legislatif maupun eksekutif. Tantangan itu berupa banyaknya nilai-nilai adat di Indonesia yang berbanding lurus dengan banyaknya suku dan adat istiadat yang ada di negara ini. Keanekaragaman ini akan melahirkan tata nilai yang berlain-lainan dari berbagai suku-suku masyarakat dalam memandang dan menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi di kalangannya, tidak terkecuali pada kasus-kasus yang berkaitan dengan kehormatan dan kesusilaan, karena hal ini tidak saja para pihak yang terlibat dalam kasus tersebut, melainkan juga melibatkan komunitas masyarakat yang lebih luas.

Dibalik berbagai persoalan tersebut layak untuk menyimak pendapat J. Van Kan yang menyebutkan, bahwa hukum merupakan cermin (een weergave) dari masyarakat, sehingga selayaknya pembentukan hukum pidana Indonesia harus senantiasa mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat Indonesia atau berlandaskan pada living law. (Satriya, 2013: 273). Hal itu menunjukkan, bahwa hukum pidana selayaknya mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat agar bisa diterapkan dan diterima serta memenuhi rasa keadilan masyarakat di mana hukum itu diberlakukan.

4. KESIMPULAN

Ada beberapa dasar yang layak dikedepankan untuk memperbaharui hukum pidana di Indonesia, antara lain adalah bahwa KUH Pidana yang berlaku hari ini adalah produk hukum yang berasal dari Belanda, yang mengakibatkan banyak muatan-muatan hukum yang ada dalam kitab undang-undang tersebut disamping sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada juga banyak yang bertentangan dengan kearifan lokal yang hidup dan berkembang di Indonesia.

Berdasarkan fakta dan kondisi tersebut, maka sebagian ahli hukum meyakini bahwa muatan atau isi hukum pidana materiil yang saat ini masih dalam pembahasan haruslah didasari dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Artinya adalah bahwa hukum adat dapat dijadikan sebagai bahan atau sumber hukum pembuatan undang-undang hukum pidana yang baru, sehingga dapat diterima oleh masyarakat. Hukum pidana adat Indonesia yang tersebar di berbagai kesatuan hukum adat, adalah cermin dari peradaban asli bangsa Indonesia yang pernah memperlakukan hukum adatnya.

DAFTAR PUSTAKA

Aji, Oemar Seno, 1980, Hukum Hakim Pidana, Jakarta: Sinar Grafika.

Arief, Barda Nawawi, 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Perkembagan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta.

Hadikusuma, Hilman, 1989, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung.

Made Widnyana, I, 2013. Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana, Jakarta: Fikahati Aneska. Muhammad, Bushar, 1976, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Jakarta: Pradnya Paramita: Jakarta. Mulyadi, Lilik, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi. Jakarta: PT. Jambatan. Poponoto, Soebakti, 1981, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita.

Rahardjo, Satjipto, 1979, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni. Santoso, Topo, 1990, Pluralisme Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT Ersesco.

Satriya, Bambang, 2013, Problematika Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Jakarta: Komisi Hukum Nasional Rebublik Indonesia.

Soepomo, 1967, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Penerbit PT.Paradnya. Paramitha.

Sudarto, 1983, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat (Kajian Terhadap Pembaharauan Hukum Pidana), Sinar Baru Bandung.

Sudiyat, Iman, 1982, Asas-Asas Hukum Adat, Yogyakarta: Liberty.

Syamsudin, M., dkk, 1998, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

Wignjodipoero, Soerojo, 1995, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung. Wulansari, Dewi C, 2010, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, PT Refika Aditama, Bandung.

Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia Undang-Undang Dasar tahun 1945.

Republik Indonesia, Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951 tentang Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan Dan Acara Pengadilan Sipil.

(9)

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Jurnal

Abdullah, Rahmat Hi., “Urgensi Hukum Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional”, dalam Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum,Volume 9 No. 2, April-Juni 2015.

Astuti, Galuh Faradhilah Yuni, “Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia”, dalam Pandecta, Volume 10, Nomor 2, Desember 2015.

Danil, Elwi, “Konstitusionalitas Penerapan Hukum Adat dalam Penyelesaian Perkara Pidana”, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 9, No. 3, September 2012.

Hakim, Nurul, “Konflik Antara Al-„Urf (Hukum Adat) Dan Hukum Islam Di Indonesia, dalam Edutech Jurnal

Ilmu Pendidikan dan Ilmu Sosial, Volume 3, Nomor 2, September 2017.

Kurniawan, Fery, “Hukum Pidana Adat Sebagai Sumber Pembaharuan Hukum Pidana Nasiona”, dalam Eduka, Jurnal Pendidikan, Hukum dan Bisnis, Vol. 2, No. 2, Agustus 2016.

Manarisip, Marco, “Eksistensi Pidana Adat Dalam Hukum Nasional”, dalam Lex Crimen Volume I, Nomor 4 Okt-Des 2012.

Mulyadi, Lilik, “Eksistensi Hukum Pidana Adat Di Indonesia: Pengkajian Asas, Norma, Teori, Praktik dan Prosedurnya”, dalam Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013.

Sambas, Nandang, “Eksistensi Hukum Pidana Adat Dalam Pembentukan Hukum Pidana Nasional”, dalam

Syiar Hukum, Vol. XI, No. 3 Nopember 2009.

Supusesa, Reimon, “Eksistensi Hukum Delik Adat Dalam Perspektif Pambaharuan Hukum Pidana di Maluku Tengah”, dalam Mimbar Hukum, Volume 24, Nomor 1, Februari 2012.

Suwandi, Ahmad, Zen Zanibar, Ruben Achmad, “Eksistensi Hukum Adat Terhadap Hukum Pidana”, dalam Legalitas, Vol. I, No. 3, Desember 2010.

Zurnetti, Aria, “Penerapan Sanksi Pidana Adat Dalam Perkara Pidana Adat Kajian Putusan Nomor 247/Pid/B/2012/PN.Pdg.”, dalam Jurnal Yudisial, Vol. 8, No. 1 April 2015.

Karya Ilmiah

Afandy, Muh. Ruslan, “Analisis Hukum Terhadap Eksistensi Sanksi Adat A‟massa Pada Delik Silariang Di Kabupaten Jeneponto (Studi Kasus di Desa Kapita, Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto),” 2016, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru

Hukum Pidana Indonesia), Pidato Pengukuhan Guru Besar, 1994, Universitas Diponegoro, Semarang.

Astuti, Galuh Faradhilah Yuni, “Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia(Studi Pada Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo Jawa Timur)”. 2015. Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.

Muladi,”Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia Dimasa Datang” Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar

Ilmu Hukum Pidana, 1990, Semarang: Universitas Diponegoro.

Situs Internet

Gusti Ketut Ariawan, I., “Hukum Pidana Adat Dalam Pembentukan Hukum Pidana Nasional”, melalui http/portalgaruda.org., diakses tanggal 8 Mei 2018.

Sriyanto, I, “Kedudukan Hukum Pidana Adat Dalam Hukum Pidana Nasional (Sumbangan Pemikiran Bagi Pembentukan KUHP Nasional)”, melalui http://jph.ui.ac.id., diakses tanggal 7 Mei 2018.

Referensi

Dokumen terkait

Pembaharuan hukum pidana militer harus dilihat sebagai bagian dari upaya pembaharuan atau pembangunan sistem hukum nasional, yang pada

(2) Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/ atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana di- maksud pada ayat (1) merupakan pidana pokok atau yang

Berdasarkan latar belakang tersebut dan guna mengetahui eksistensi hukum pidana adat Sasak tersebut maka muncul permasalahan yakni bagaimanakah eksistensi hukum pidana adat

Apabila hukum pidana di Indonesia hanya melakukan sistem peradilan saja maka hukum adat mempunyai sistem yang lebih kompleks. Sistem pencegahan, perundingan, peradilan, dan

Lebih lanjut dikatakan bahwa pembaharuan hukum pidana (penal reform) harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, oleh karena pada hakikatnya pembaharuan hukum

Yaitu penelitian yang mengacu pada pengaturan tujuan pemidanaan dalam hukum positif atau yang berlaku saat ini serta dalam pembaruan hukum pidana nasional terkait delik adat..

Penelitian ini mengkaji penerapan pidana penjara dalam hukum pidana Indonesia, hukum pidana adat, dan hukum pidana Islam, serta konsep pembaharuan pidana penjara dalam RKUHP, kemudian

Konsep pengaturan Hukum Pidana Adat dalam KUHP Nasional Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang sebelumnya pernah berlaku di Indonesia berasal dari Belanda yang memiliki nama asli