• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSISTENSI HUKUM PIDANA ADAT SASAK DALAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EKSISTENSI HUKUM PIDANA ADAT SASAK DALAM"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

EKSISTENSI HUKUM PIDANA ADAT SASAK DALAM HUKUM PIDANA NASIONAL DI KABUPATEN LOMBOK TENGAH

JURNAL

OLEH : ERI GUSTANTO

DIA. 105 034

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM

(2)

Lembar Pengesahan Jurnal

EKSISTENSI HUKUM PIDANA ADAT SASAK DALAM HUKUM PIDANA NASIONAL DI KABUPATEN LOMBOK TENGAH

JURNAL

OLEH : ERI GUSTANTO

DIA. 105 034 Menyetujui, Pembimbing Utama

Abdul Hamid, SH.,M.H NIP. 19590731 198703 1 001

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM

(3)

Abstrak Oleh :

Nama : Eri Gustanto NIM : D1A 105 034

Hukum pidana adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang dijiwai oleh falsafah Pancasila. Meskipun dijiwai oleh falsafah Pancasila, namun ketentuan hukum pidana adat sulit untuk dapat digunakan sebagai hukum nasional. Hal ini dikarenakan hukum pidana adat disuatu daerah berbeda dengan hukum pidana adat di daerah lain, artinya setiap daerah mempunyai hukum pidana adat yang berbeda termasuk pada suku Sasak. Berdasarkan latar belakang tersebut dan guna mengetahui eksistensi hukum pidana adat Sasak tersebut maka muncul permasalahan yakni bagaimanakah eksistensi hukum pidana adat Sasak dalam praktek peradilan di Pulau Lombok serta lembaga-lembaga mana sajakah yang berperan dalam rangka menegakkan berlakunya hukum pidana adat Sasak di Pulau Lombok. Manfaat penelitian didalam skripsi ini secara teoritis dapat memberikan masukan dalam perkembangan Ilmu Hukum khususnya dalam prospek hukum Pidana Adat Sasak dalam rangka pembentukan KUHP Nasional serta ikut mensosialisasikan kepada masyarakat pada umumnya dan kepada akademisi mengenai eksistensi hukum pidana adat Sasak dalam praktek peradilan di Pulau Lombok. Secara akademis dapat memperoleh data-data bahan penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di tingkat Strata satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Mataram.

Keyword : Hukum Pidana Adat Sasak

Abstract By :

Name : Eri Gustanto NIM : D1A 105 034

Customary Criminal Law is the native Indonesian law inspired by the philosophy of Pancasila. Although it is the basic of Pancasila, the stipulations of the Customary Criminal Law seem to be hard to apply as a national law. This is due to the diversity of Customary Criminal Law that exists in every single region including the one in Sasak Tribe. This study is questioning the existence of the Customary Criminl Law of Sasak in regards with the court process in Lombok Island and which institutions play a role in the enforcement of the Customary Criminal Law of Sasak Tribe in Lombok. The benefit of the research theoretically is to provide input for the development of compilation of the National Criminal Law Codes as well as to disseminate the Customary Crimanal Law of sasak Tribe in the court system of Lombok for the both public and academicians. Academically, readers may obtain data or materials where composing a thesis as one of the requirements to achieve the Bachelor Degree (S1) at the Faculty of La, University of Mataram.

(4)

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Di dalam lapangan hukum publik, salah satu sumber hukum yang

diakui secara nasional dan terkodifikasikan adalah KUHP (Kitab

Undang-undang Hukum Pidana). Namun, di daerah yang masyarakatnya masih

dipengaruhi alam sekitarnya yang religius magis dan memiliki sifat

kedaerahan yang kental, sumber hukum yang diakui di dalam lapangan

hukum pidana adalah hukum pidana adat. Keberadaan hukum pidana adat

pada masyarakat merupakan pencerminan kehidupan masyarakat tersebut

dan pada masing-masing daerah memiliki hukum pidana adat yang

berbeda-beda sesuai dengan adat-istiadat yang ada di daerah tersebut dengan ciri

khas tidak tertulis ataupun terkodifikasikan.

Hukum Pidana Adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang

dijiwai oleh falsafah Pancasila. Meskipun dijiwai oleh Pancasila, namun

ketentuan hukum pidana adat sulit untuk dapat digunakan sebagai hukum

nasional. Hal ini dikarenakan hukum pidana adat di suatu daerah berbeda

dengan hukum pidana adat di lain daerah, artinya setiap daerah mempunyai

hukum pidana adat yang berbeda.

Pranata lokal penyelesaian sengketa (konflik) suku Sasak dalam

melaksanakan tugasnya tidak bergantung pada ada tidaknya kasus yang

diadukan kepadanya, artinya lembaga Kerama Desa dalam melaksanakan

tugasnya harus proaktif dalam mengantisipasi terjadinya sengketa, oleh

karena itu sebelum adanya sengketa pun lembaga ini melaksanakan

(5)

Rumusan Masalah

Di dalam penulisan skripsi ini sesuai dengan judul yang

diketengahkan maka timbul beberapa masalah yang dianggap perlu untuk

mendapatkan penyelesaian atau pembahasan. Adapun permasalahan yang

akan dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut : (a) Bagaimanakah

eksistensi hukum pidana adat Sasak dalam praktek peradilan di wilayah

Kabupaten Lombok Tengah ? (b) Lembaga-lembaga mana sajakah yang

berperan dalam rangka menegakkan berlakunya hukum pidana Adat Sasak

di wilayah Kabupaten Lombok Tengah?

Tujuan Penelitian

(a) Untuk mengetahui eksistensi hukum pidana adat Sasak dalam praktek

peradilan di wilayah Kabupaten Lombok Tengah. (b) Untuk mengetahui

Lembaga-lembaga mana sajakah yang berperan dalam rangka menegakkan

berlakunya hukum pidana adat Sasak di wilayah Kabupaten Lombok

Tengah.

Manfaat Penelitian

(a) Secara teoritis, Dapat memberikan masukan bagi perkembangan Ilmu

Hukum khususnya dalam prospek hukum pidana adat Sasak dalam rangka

pembentukan KUHP Nasional. (b) Secara Akademis, dapat memperoleh

data – data bahan penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat untuk

menyelesaikan studi di tingkat Strata satu (S1) pada Fakultas Hukum

Universitas Mataram. (c) Secara praktis, dapat dijadikan pedoman maupun

(6)

sajakah yang berperan dalam rangka menegakkan berlakunya hukum pidana

adat Sasak di pulau Lombok.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian normatif empiris dimana

penelitian yang hanya mengkaji pelaksanaan atau implementasi ketentuan

hukum positif secara faktual pada setiap peristiwa hukum tertentu yang

berkaitan dengan pokok permasalahan yang bertujuan untuk memastikan

apakah hasil penerapan sesuai atau tidak dengan ketentuan peraturan

perundang–undangan yang berlaku untuk mendapatkan jawaban yang logis

sebagai pendukung penelitian.

II. PEMBAHASAN

I. Eksistensi hukum pidana Adat Sasak dalam praktek peradilan di wilayah Kabupaten Lombok Tengah.

Pulau Lombok adalah salah satu dari gugusan kepulauan Nusantara

yang terletak di sebelah timur Pulau Bali dan sebelah barat Pulau Sumbawa.

Penduduk Pulau Lombok mayoritas Suku Sasak, di samping itu ada Suku

Bali, Jawa, Samawa, Mbojo, Arab, dan Cina. Lapangan pekerjaan

utama masyarakat Lombok adalah petani, nelayan, kerajinan tangan,

pertukangan, dan pedagang.

Sejarah pembentukan daerah ini tidak lepas dari politik dan

sistem pemerintahan yang pernah ada. Pada tanggal 19 Agustus 1945

setelah proklamasi kemerdekaan, Pulau Bali, Pulau Lombok, Pulau

(7)

Sawu digabung ke dalam Provinsi Sunda Kecil dengan ibukota di

Singaraja Bali dan dipimpin oleh seorang Gubernur I Gusti Ketut Pudja.

Pada tanggal 14 Agustus 1958 provinsi ini kemudian dipecah menjadi tiga

provinsi yaitu, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara

Timur (NTT).

Masyarakat Pulau Lombok terutama etnis Sasak yang tinggal di

desa-desa sangat mempertahankan adat- istiadat dan sistem norma dalam

kehidupan kesehariannya. Masing- masing dusun atau desa mempunyai

awik-awik dusun (aturan dusun) yang ditetapkan oleh para tokoh

agama dan tokoh masyarakat dan bagi mereka yang melanggar akan

dikenakan sanksi sesuai kesepakatan. Sistem pelapisan sosial (Social

Startification) tradisional masyarakat Suku Sasak berasaskan triwangsa.

Negara Republik Indonesia dengan jelas dan tegas mengakui

eksistensi masyarakat hukum adat di Indonesia. Di dalam UUD 1945

Perubahan Kedua, Pasal 18 B ayat (2) menyatakan :

“ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Kemudian di dalam Pasal 28 I ayat (3) Perubahan Kedua menyatakan :”identitas budaya dan hak masyarakat tradisonal dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban “.

Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia menyatakan :

(8)

diperhatikan dan dilindungi oleh hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dngan perkembangan zaman”.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok-Pokok

Agraria (UUPA) pada Pasal 3 menyatakan :

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan pada Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang lain yang lebih tinggi”.

Kemudian pada Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian

Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat, pada Bab I Pasal 1 dijelaskan bahwa:

“Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun dasar keturunan. Dan tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu”.

Penyelesaian sengketa menggunakan pengadilan telah terbukti banyak

menimbulkan ketidakpuasan pada pihak-pihak yang bersengketa maupun

masyarakat luas. Ketidakpuasan masyarakat dilontarkan dalam bentuk

pandangan sinis, mencemooh, dan menghujat terhadap kinerja pengadilan

karena dianggap tidak memanusiakan pihak-pihak yang bersengketa,

menjauhkan pihak-pihak bersengketa dari keadilan, tempat terjadinya

perdagangan putusan hakim, dan lain-lain hujatan yang ditujukan kepada

lembaga peradilan. Kalangan masyarakat bisnis yang memerlukan kepastian

hukum serta keamanan di dalam investasi maupun aktivitas perdagangannya

(9)

kondisi badan peradilan yang dianggap telah carut marut semacam itu.

Dilatarbelakangi oleh kondisi semacam itulah, muncul keinginan dari

komunitas masyarakat adat khususnya, untuk kemudian berpaling dan

memilih model lain dalam penyelesaian sengketa. Meskipun bentuk

penyelesaian yang dipilih itu tergolong masih serumpun dengan mekanisme

pada badan peradilan, namun forum lain yang dipilih itu dianggap dapat

memberikan alternatif serta ruang kebebasan kepada pihak-pihak dalam

menentukan penyelesaian sengketa mereka. Pada gilirannya model yang

dipilih tersebut diharapkan lebih memberikan peluang untuk mendapatkan

rasa keadilan yang lebih manusiawi dan bermartabat.

Menurut R. Soepomo hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis

yang meliputi peraturan hidup yang tidak ditetapkan oleh pihak yang

berwajib, tetapi ditaati masyarakat berdasar keyakinan bahwa peraturan

tersebut mempunyai kekuatan hukum1.

Menurut Van Vollenhoven hukum adat adalah keseluruhan aturan

tingkah laku positif dimana di satu pihak mempunyai sanksi sedangkan di

pihak lain tidak dikodifikasi2.

Terhadap pengertian hukum pidana adat ditemukan dalam beberapa pandangan doktrina. Ter Haar BZN berasumsi bahwa yang dianggap suatu pelanggaran (delict) ialah setiap gangguan segi satu (eenzijding) terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan dari segi satu pada barang-barang kehidupan materiil dan imateriil orang seorang atau dari orang-orang banyak yang merupakan suatu kesatuan (gerombolan).

Hilman Hadikusuma menyebutkan hukum pidana adat adalah hukum

yang hidup (living law) dan akan terus hidup selama ada manusia budaya, ia

1Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Universitas, 1963, hal. 95

(10)

tidak akan dapat dihapus dengan perundang-undangan. Andaikata diadakan

juga undang-undang yang menghapuskannya, akan percuma juga. Malahan,

hukum pidana perundang-undangan akan kehilangan sumber kekayaannya

oleh karena hukum pidana adat itu lebih erat hubungannya dengan

antropologi dan sosiologi dari pada perundang-undangan. I Made Widnyana

menyebutkan hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (the living law),

diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus menerus, dari satu

generasi ke generasi berikutnya3.

Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut dipandang dapat

menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena dianggap

mengganggu keseimbangan kosmis masyarakat, oleh sebab itu bagi si

pelanggar diberikan reaksi adat, koreksi adat atau sanksi adat oleh

masyarakat melalui pengurus adatnya.

Hukum pidana adat merupakan hukum yang hidup (living law).

hukum pidana adat dijiwai oleh Pancasila, dijiwai oleh sifat-sifat

kekeluargaan yang magis religius, dimana yang diutamakan bukanlah rasa

keadilan perorangan melainkan rasa keadilan kekeluargaan sehingga cara

penyelesaiannya adalah dengan penyelesaian damai yang membawa

kerukunan, keselarasan dan kekeluargaan. Hukum pidana adat tidak

bermaksud menunjukan hukum dan hukuman apa yang harus dijatuhkan

bila terjadi pelanggaran, namun yang menjadi tujuannya adalah memulihkan

kembali hukum yang pincang sebagai akibat terjadinya pelanggaran.

(11)

Penyelesaian permasalahan melalui hukum adat tersebut dilakukan di

Balai Adat. Semua keputusan hukum dilahirkan melalui Balai Adat,

sehingga seluruh masyarakat dapat hadir untuk melihat dan memberikan

saran yang pada akhirnya pengusung, penghulu dan pemangku memutuskan

melalui upacara adat apabila aspek hukum dipandang benar dan perlu

mendapat perhatian secara seksama. Hukum adat di NTB tidak

menghendaki keputusan salah atau benar. Akan tetapi harus mengarah pada

perdamaian yang diselesaikan dengan musyawarah mufakat. Dalam

penyelesaian permasalahan itu terjaga perasaan masing-masing pihak yang

bermasalah.

II. Lembaga-lembaga yang berperan dalam rangka menegakkan berlakunya Hukum Pidana Adat Sasak di wilayah Kabupaten Lombok Tengah.

Dalam masyarakat suku Sasak setiap permasalahan yang timbul

dimasyarakat selalu ditekankan agar diselesaikan melalui musyawarah dan

mufakat. Ada tiga tokoh masyarakat/adat yang berperanan dalam

pembangunan masyarakat, yaitu ;

Pengusung, adalah kepala desa selaku kepala pemerintahan yang

mengelola administrasi pemerintahan. Penghulu, adalah tokoh agama atau

tuan guru yang senantiasa berperanan memberikan nasehat kepada seluruh

masyarakat dengan merujuk pada Al-Quran dan Hadist. Pemangku adalah

ketua adat tempat masyarakat meminta nasehat dan petunjuk dalam

(12)

Di wilayah kabupaten Lombok Tengah pada masyarakat suku Sasak

pranata penyelesaian sengketa digerakkan oleh orang-orang atau kelompok

orang yang memiliki pengaruh secara sosial, dikenal dengan sebutan

kerama gubuk.” Kerama gubuk di Lombok Tengah adalah Instituisi adat

dengan beranggotakan baik pimpinan formal (kepala pemerintahan

kampung/keliang bersama perangkatnya), maupun pimpinan non formal

(pemuka agama/penghulu, pemuka adat, dan cerdik pandai ). Budaya Suku

Sasak Lombok tengah dikenal dengan “lembaga pemusungan”, atau

“majelis pemusung”, suatu otoritas lokal yang berada di bawah kontrol

pemangku adat Lombok Tengah. Fungsi utama pranata-pranata adat Suku

Sasak ini adalah untuk memusyawarahkan kebijakan-kebijakan berkenaan

dengan kasus-kasus adat yang timbul (antara lain perkawinan adat merariq

atau “kawin lari”, zinah, warisan, dan pelanggaran adat lainnya.4

Cara-cara penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh masyarakat

hukum adat Sasak salah satunya adalah melalui mekanisme di luar

pengadilan. Mufakat karma waris, setiap peristiwa perkawinan merariq

pertama kali yang dilakukan adalah dengan memaklumkan peristiwa

tersebut kepada keluarga. Ada pula melalui Kerama Adat Kampung

-Penghulu Kampung dimana kepala kampung mendatangi pihak-pihak yang

bersengketa secara terpisah untuk mendengarkan kehendak masing -masing.

Sedangkan penyelesaian melalui Kepala Desa (pemusungan) dimana ia

4

(13)

memimpin acara pertemuan dan meminta para pihak yang bersengketa

untuk menyampaikan kehendaknya.

Melihat kondisi dimana penggunaan pranata masyarakat masih

digunakan dalam penyelesaian kasus sengketa, perlu diadakannya

pembinaan yang memadai untuk dapat hidup dan berkembang dengan

mengedepankan peran pemerintah dan masyarakat. Lembaga Majelis Adat

Sasak sebagai struktur dalam penegakan hukum adat Sasak kiranya dapat

memfasilitasi peran-peran dari berbagai lembaga penyelesaian sengketa

yang hidup di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai lembaga penegak

hukum negara khususnya Kepolisian sehingga dalam penegakan hukum

dapat diakomodir kepentingan dan perasaan hukum masyarakat.

Bagi masyarakat suku Sasak di pulau Lombok pranata penyelesaian

sengketa ( konflik) di bidang pengairan, maka lembaga penyelesaian

sengketa disebut “ Rembuk Subak. Pekasih sebagai hakim pengadil di

tingkat subak diangkat oleh masyarakat desa ( khususnya pengguna air)

dengan masa waktu jabatan yang terbatas lamanya, sehingga

tidak mustahil seorang “pekasih baru diganti manakala telah meninggal

dunia. Sedangkan lembaga penyelesaian sengketa di bidang arisan dan

perkawinan bagi masyarakat suku Sasak adalah Majelis Adat Desa atau Kerama

Desa atau Kerama Gubuk.

Jika terjadi sengketa atau konflik yang diketahui terjadi dan

diadukan kepadanya, maka pekasih atau Ketua Kerama Dese atau

Kerama Gubuk melakukan pemeriksaan perkara atau kasus tersebut

(14)

berkepentingan/yang bersengketa dalam suatu pertemuan yang disebut

dengan istilah “Sangkep”atau“Begundem” atau musyawarah.

Sangkep atau Begundem tersebut diadakan pada malam hari di satu

tempat yang netral yang biasanya di tempat “sekenem” (rumah panggung

berkaki enam) atau“sekepat” (rumah panggung berkaki empat) atau seringkali

dilakukan di masjid .

Berdasarkan ketentuan di atas maka suku Sasak dalam menyelesaikan

perselisihan pertama-tama hendaklah didahului dengan memberikan

peringatan atau nasehat, dan jika peringatan tidak diindahkan maka

diselesaikan melalui musyawarah untuk mencapai perdamaian. Musyawarah

(Begundem) dilaksanakan oleh lembaga adat yang disebut Kerama Adat

sesuai tingkat dan kompetensinya. Untuk tingkat lingkungan atau dusun

dilaksanakan oleh Kerama Gubuk yang berwenang menyelesaikan masalah

antar warga lingkungan atau antar keluarga di lingkungan tersebut. Kerama

Gubuk terdiri dari Kepala Lingkungan (keliang) selaku ketua adat di

lingkungan, tokoh agama (kyai gubuk) dan pemuka-pemuka masyarakat.

Sedangkan ditingkat desa dilaksanakan oleh Kerama Desa yang terdiri dari

Kepala Desa selaku Kepala Adat, Juru Tulis, Penghulu Desa, Pemuka

(15)

III. PENUTUP 1. Kesimpulan.

Berdasarkan uraian di atas, sampailah penulis pada kesimpulan

sebagai berikut: Eksistensi hukum pidana adat Sasak dalam praktek

peradilan di pulau Lombok khususnya di Kabupaten Lombok Tengah

terbukti dengan banyaknya masalah, masyarakat lebih banyak memilih

penyelesaian itu melalui jalur hukum adat. Penyelesaian permasalahan

melalui hukum adat tersebut dilakukan di Balai Adat. Semua keputusan

hukum dilahirkan melalui Balai Adat, sehingga seluruh masyarakat dapat

hadir untuk melihat dan memberikan saran yang pada akhirnya pengusung,

penghulu dan pemangku memutuskan melalui upacara adat apabila aspek

hukum dipandang benar dan perlu mendapat perhatian secara seksama.

Pada suku Sasak, kelembagaan adat dilandaskan pada agama Islam,

sedangkan pengembangan budaya berkembang melalui budaya susunjaga

sebagai warisan dari Sunan Giri dan Sunan Kalijaga. Di Lombok pada

masyarakat Suku Sasak, juga pranata penyelesaian sengketa digerakkan

oleh orang-orang atau kelompok orang yang memiliki pengaruh secara

sosial, dikenal dengan sebutan “kerama gubuk”. Kerama gubuk di Lombok

adalah Institusi adat dengan beranggotakan baik pimpinan formal (kepala

pemerintahan kampung/keliang bersama perangkatnya), maupun pimpinan

non formal (pemuka agama/penghulu, pemuka adat, dan cerdik pandai).

2. Saran

Hendaknya dalam penyempurnaan konsep KUHP lebih banyak

(16)

dimasyarakat. Karena kita ketahui bersama bahwa efektifitas hukum adat

khususnya hukum pidana adat lebih mengena dan dirasakan manfaatnya

dibandingkan dengan hukum Nasional kita sebagaimana tertuang didalam

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Nawawi Arief Barda, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana

(Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), (Semarang,

1994).

Budiwanti Erni, Islam Sasak Wetu Telu Versus Waktu Lima (Yogyakarta: LKiS, 2000), Hal. 6.

Laudjeng Hedar, Mempertimbangkan Peradilan Adat, (Jakarta: Seri Pengembangan Wacana HUMA, 2003).

Soemadiningrat H.R. Otje Salman, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, (Bandung: PT Alumni, 2002).

Idrus Abdullah, Penyelesaian Sengketa Melalui Mekanisme Pranata Lokal: Studi

Kasus Dalam Dimensi Puralisme hukum Pada Area Suku Sasak di Lombok Barat. (Ringkasan Disertasi Fakultas Hukum Program Pascasarjana

Universitas Indonesia, 2002), hal. 21

Widnyana I Made, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, (Bandung: PT Eresco, 1993).

Bartholomew John Ryan, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, terj. Imron Rosyadi, (Yogyakarta: Tiara wacana, 2001).

Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam

Hukum Pidana Indonesia Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya Dalam Yurisprudensi, (Bandung: PT Alumni, 2002).

Referensi

Dokumen terkait

Prosiding Seminar Nasional Perhepi Pengelolaan Agribisnis Pangan Pola Korporasi Pada Lahan Sub Optimal ISBN:

Penyelarasan - Guru Kanan Bahasa : Pn Noor Suaini Binti Mat Hussain Pementoran - Guru Kanan Kemanusiaan : Cik Raudhah binti Hj Abd Wahab Pengesanan - Guru Kanan Sains

Dimana saat ada gangguan pada BUS 8 yang pertama kali merespon adalah relai WTP & Office NEW 1 dengan men trigge r CB 9 untuk open sehingga gangguan bisa di lokalisir.

Terhadap obyek sengketa perdata yang dalam perjanjian pokoknya telah dilekati perjanjian asseson berupa pactum de compromittendo maka pihak pengadilan negeri setempat

Calon peserta seleksi penerimaan mahasiswa baru PSPA Angkatan XI Farmasi UMI diwajibkan melampirkan Bukti Pendaftaran TOEFL dari Language Center Fakultas Sastra

ED-BPM merupakan proses membran reaktor dimana reaksi dan pemisahan terjadi pada unit yang sama atau kadangkala pada membran yang sama – pemisahan air ( water splitting )

Perbandingan hukum pidana Islam dan hukum pidana positif terhadap tindak pidana pembunuhan bayi yang dilakukan oleh orang tuanya yaitu dalam hukum Islam tidak

hlm.. dan akal pikiran, maka dinamakan budi pekerti mulia. Dan sebaliknya, apabila yang lahir perbuatan yang buruk, maka dinamakan budi pekerti yang tercela. Adapun