• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PENAFSIRAN UU ORMAS Oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB]

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN PENAFSIRAN UU ORMAS Oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB]"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1 | P a g e

KAJIAN PENAFSIRAN UU ORMAS

Oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB]

A.

TUJUAN DAN SASARAN

Kajian penafsiran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (selanjutnya disingkat UU Ormas atau UU 17/2013) merupakan instrumen untuk mengetahui dan mendalami konteks kelahiran dan substansi UU Ormas. Basis penyusunan kajian penafsiran ini adalah hasil pemantauan terhadap seluruh perkembangan dari penyusunan, pembahasan hingga pengesahan (R)UU Ormas serta bacaan terhadap naskah UU Ormas. Kajian penafsiran ini dapat dibaca dan dirujuk oleh siapapun yang ingin memahami UU Ormas secara obyektif karena mampu menyajikan informasi dan pandangan dari para pihak yang terlibat dalam kelahiran dan pembahasan (R)UU Ormas.

Target dari penggunaan kajian penafsiran UU Ormas adalah sekelompok individu yang telah dan akan membentuk organisasi, baik berbadan hukum (yayasan maupun perkumpulan) atau tidak berbadan hukum, yang diperkirakan akan terkena dampak pengaturan UU Ormas. Kajian penafsiran dapat memandu para pihak yang ingin merespon latar belakang dan implementasi UU Ormas. Selain itu, kajian penafsiran ini dapat menjadi bekal atau pegangan tersendiri bagi para pihak yang ingin melakukan advokasi apabila pelaksanaan UU Ormas menimbulkan atau disertai tindakan sewenang-wenang dan penindasan.

B.

METODE

Metode penafsiran yang digunakan dalam menyusun kajian penafsiran UU Ormas adalah kombinasi dari berbagai metode yang umum digunakan. Selain bersifat terminologis atau gramatikal (definisi/pengertian) dan komparatif (perbandingan), metode penafsiran mempertimbangkan pula aspek sistematika berupa pasal-pasal yang menjadi batang tubuh UU Ormas yang kemudian dikelompokkan dan ditataurutkan. Aspek sejarah atau kelahiran dari berbagai ketentuan yang termuat dalam batang tubuh UU Ormas turut menjadi rujukan. Dengan kata lain, dimensi tekstual dan kontekstual UU Ormas mendapatkan ruang yang memadai untuk ditanggapi dan ditafsirkan. Terhadap pasal-pasal tertentu, penafsiran yang berdasar pada metode ekstentif (memperluas klausul), restriktif (mempersempit/membatasi maksud suatu pasal atau lebih), atau analogi dapat digunakan untuk saling menguji keabsahan yang terdekat, saling melengkapi, dan memperkuat.

Bacaan kontekstual merujuk pada Rapat Kerja Gabungan Komisi II, Komisi III, dan Komisi VIII dengan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Menteri Agama, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) pada Senin, 30 Agustus 2010 dan Naskah Akademik (NA) (R)UU Ormas. Sedangkan bacaan tekstual fokus pada naskah UU 17/2013 yang terdiri dari 87 pasal dan 19 bab.

C.

KONTEKS

C.1 Rapat Kerja Gabungan 30 Agustus 2010

Titik awal bergulirnya inisiatif (R)UU Ormas bisa ditelusuri dari dokumen Risalah Rapat Kerja Gabungan Komisi II, Komisi III, dan Komisi VIII dengan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mendagri, Menkumham, Menteri Agama, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Rapat yang diselenggarakan pada Senin, 30 Agustus 2010 dan diketuai oleh Priyo Budi Santoso (Wakil Ketua DPR RI/Koordinator Bidang Politik dan Keamanan), dihadiri oleh 22 orang anggota Komisi II, 26 orang dari Komisi III, dan 24 orang Komisi VIII.

(2)

2 | P a g e Di awal, DPR mencatat sikap keragu-raguan atau ketidaktegasan Pemerintah, khususnya aparat keamanan dalam melakukan tindakan untuk membina ataupun menyelesaikan kekerasan oleh ormas. DPR mengidentifikasi kelompok masyarakat terorganisir yang belum memiliki bentuk yang jelas menurut peraturan perundang-undangan, kelompok atau aliran yang mengatasnamakan aliran tertentu, dan satuan tugas (satgas) yang bersifat militeristik dengan menggunakan atribut tertentu.

Merespon catatan awal DPR, Pemerintah menyampaikan tanggapan sebagai berikut: Pokok

Pertimbangan Pemerintah

Penjelasan

Rujukan hukum

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU 8/1985) dinilai sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan nilai-nilai demokrasi. Semangat UU 8/1985 sangat kental dengan sentralistik dan represif. UU 8/1985 menempatkan Pemerintah sebagai pembina, pengawas, sekaligus pemberi sanksi, bahkan sanksi pembekuan dan pembubaran. Sementara di sisi lain, masih ada kebutuhan untuk mengendalikan ormas yang mengganggu dan melakukan kekerasan menggunakan UU yang lebih sesuai dengan perkembangan Indonesia.

2. Mendagri juga memunculkan kebutuhan untuk mengalokasikan anggaran pembinaan dan pengawasan terhadap ormas di pusat dan daerah dalam satu mata anggaran khusus, karena selama ini masih digabungkan dalam anggaran bantuan sosial kemasyarakatan.

3. Menkumham memberikan catatan tentang UU 8/1985 dan sekaligus memberikan usulan, yaitu:

a. Ormas perlu dibentuk dengan akte notaris yang memuat paling sedikit AD/ART dan kepengurusan.

b. Ormas wajib berbadan hukum.

Pembinaan ormas

1. Pemerintah kesulitan melakukan pengelolaan kemitraan dengan ormas dan LSM. Beberapa ormas dan LSM melakukan tindakan yang mengganggu ketertiban dan ketentraman.

2. Terdapat persoalan tarik menarik kepentingan antara dimensi pengelolaan dan pembinaan terhadap ormas dengan aspirasi demokrasi yang berkembang di lingkungan ormas.

Pengawasan ormas

1. Sejak reformasi, perkembangan ormas sangat pesat, baik yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar. Pada 2005 ada sekitar 3.000 ormas, dan 2010 meningkat menjadi kurang lebih 12.305 (ormas terdaftar) di tingkat pusat. Bila ormas tidak terdaftar, Pemerintah tidak bisa menindak (ketika melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum), karena UU Ormas belum memuat sanksi bagi ormas tidak terdaftar.

2. Terkait ormas yang menggunakan pakaian kemiliteran, menurut Kapolri UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah memuat konsep pengembangan pengamanan swakarsa. Jika keluar dari ketentuan akan mendapat teguran dan bahkan dibekukan.

Penanganan ormas

1. Menurut data Polri, jumlah tindakan kekerasan oleh ormas terus meningkat dari 2007 hingga 2010 (termasuk yang dilakukan oleh FPI, FBR, dan Barisan Muda Betawi). Terdapat 10 kejadian pada 2007 yang kemudian bertambah menjadi 49 kejadian di 2010. Ada 31 kasus diproses tuntas hingga P21. 2. Kepolisian telah memiliki landasan hukum dalam mengambil tindakan

terhadap pelaku kekerasan, sehingga tidak perlu ada keraguan lagi. Ormas bermasalah seharusnya dibekukan, tapi pembekuan ormas bukan kewenangan Polri.

Terhadap penjelasan Pemerintah, secara umum setidaknya terdapat 3 (tiga) tanggapan dari fraksi-fraksi di DPR yaitu:

(3)

3 | P a g e Tanggapan

Fraksi Revisi UU Ormas

tidak dibutuhkan

Akar permasalahan kekerasan adalah penegakan hukum yang tidak dilakukan dengan baik. Mengubah atau merevisi UU Ormas bukan sesuatu yang mendesak, tapi penegakan hukum yang lebih diperlukan.

Pembinaan ormas oleh Mendagri masih

kurang

Proses pendaftaran ormas di Kemendagri dipertanyakan terkait dengan syarat dan kualifikasi, terutama kaitannya dengan perbedaan akses untuk mendapatkan dana dari APBN/APBD. Selain itu, pemanfaatan dan transparansi pengelolaan dana pembinaan yang bersumber dari APBN/APBD juga dipersoalkan oleh DPR.

Program pengawasan ormas oleh BIN

1. Seharusnya BIN jangan hanya melihat isi AD/ART ormas, karena pasti akan ideal rumusannya. BIN punya kapasitas untuk melihat track record ormas (seperti anggota dan aktivitasnya) sehingga cukup alasan bagi BIN (dan Polri) untuk menindak ormas.

2. Besarnya ormas disinyalir karena adanya kebutuhan back-up keamanan oleh pihak tertentu. Ormas dijadikan back-up perekonomian, pertenderan, dll. 3. Pasal 156, Pasal 351, Pasal 406, dan Pasal 335 KUHP jelas menjadi dasar

hukum untuk tindak lanjut aparat keamanan.

4. Polri juga memiliki program QuickWin yang bisa dijalankan.

Setelah DPR dan Pemerintah menyampaikan pandangan masing-masing, rapat kerja gabungan akhirnya menyepakati sejumlah kesimpulan, yaitu:

1. Menolak seluruh bentuk tindakan kekerasan atas nama apapun (suku, agama, kelompok etnis, kelompok kepentingan, dan lain-lain) karena bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Mendorong Pemerintah dan aparat penegak hukum agar tegas dalam penegakan hukum terhadap perilaku kekerasan dan anarkis oleh siapapun yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.

3. Mendorong Pemerintah dan aparat penegak hukum agar bertindak cepat dan tegas terhadap ormas yang perilakunya mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

4. Segera melakukan revisi terhadap UU 8/1985 sebagaimana pandangan filosofis, yuridis, dan sosiologis yang berkembang dalam rapat kerja gabungan.

Temuan dan Penafsiran:

1. Membandingkan antara catatan awal DPR, kemudian pokok-pokok penjelasan dari Pemerintah, tanggapan umum fraksi-fraksi di DPR hingga poin-poin kesimpulan yang disepakati, dapat mengarahkan kita kepada pemahaman bahwa kebijakan menindak ormas yang melakukan kekerasan tidak terkait dengan revisi UU 8/1985. Kekerasan yang dilakukan oleh ormas sesungguhnya bisa ditangani melalui profesionalitas dan ketegasan aparat kepolisian. Bahkan mendorong komitmen kepolisian juga tidak mensyaratkan perubahan UU 8/1985. Ini terkonfirmasi melalui tiga poin kesimpulan awal, yang kemudian baru dilengkapi dengan agenda memperbarui UU 8/1985. Dengan demikian, (R)UU Ormas dibuat dan dibahas seharusnya dilatarbelakangi oleh faktor tersendiri, tidak terkait, dan bukan karena maraknya kekerasan yang dilakukan oleh ormas serta ketiadaan atau kebuntuan instrumen hukum dalam penanganannya.

2. Pemerintah sempat mendalilkan RUU Ormas sebagai instrumen untuk memberdayakan ormas. Selama ini berbagai organisasi mampu berkiprah dan mengaktualisasikan dirinya, sebagian bahkan tanpa ada fasilitasi dari pemerintah. Organisasi yang terlibat dalam penanganan korban bencana alam atau pendampingan disabilitas (sebagai contohnya), malah terkadang lebih dini hadir dan berkelanjutan ketimbang pemerintah.

(4)

4 | P a g e C.2 Naskah Akademik (R)UU Ormas

Selain berdasarkan hasil rapat kerja gabungan antara DPR dan Pemerintah 30 Agustus 2010, latar belakang (R)UU Ormas dapat ditelusuri juga melalui bacaan terhadap dokumen NA (R)UU Ormas. Terdapat 3 (tiga) landasan yang mendasari kelahiran (R)UU Ormas, yaitu landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis.

Landasan Filosofis

• Kebebasan berserikat merupakan jantung dari sistem berdemokrasi sehingga perlu diberi ruang dan perlindungan.

• Negara berkewajiban menjamin dan memfasilitasi kegiatan masyarakat, termasuk yang dilakukan secara berorganisasi.

Landasan Sosiologis

• Relasi antar individu dalam menyelesaikan persoalan dan memenuhi kebutuhannya mengandalkan kebersamaan dan kerjasama dalam pola berkelompok. Antarkelompok melakukan interaksi yang kemudian membentuk kesatuan sosial yang lebih besar.

Temuan dan Penafsiran:

Seharusnya pemberdayaan organisasi yang dibutuhkan adalah bisa kita analogikan seperti pemerintah berhadapan dengan sektor swasta. Pemerintah memfasilitasi “memberikan karpet merah” dan menciptakan iklim kondusif dalam berinvestasi. Jadi, organisasi membutuhkan lingkungan yang kondusif pula serta bukan melalui pendekatan politik dan keamanan. Dalam artian tidak represif, tidak birokratis, dan memberikan sejumlah insentif (seperti insentif pajak bagi organisasi yang menjalankan misi kebudayaan dan sosial dalam skala/radius tertentu). 3. Kemendagri mencatat pertumbuhan ormas yang sedemikian pesat, yang turut menjadi urgensi

RUU Ormas. Persoalan sesungguhnya adalah tata kelola administrasi dan koordinasi jaringan (database) ormas yang tersebar di berbagai kementerian/instansi. Tidak perlu sama sekali menghadirkan RUU Ormas.

4. Salah satu poin pertimbangan Pemerintah mengusulkan RUU Ormas karena UU 8/1985 dinilai sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan nilai-nilai demokrasi. Dengan demikian Indonesia membutuhkan UU Ormas yang baru (yang salah satu tujuannya) untuk mencabut UU Ormas yang lama. Inisiatif untuk mencabut UU 8/1985 bisa melalui UU Pencabutan sebagaimana diatur oleh UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tidak harus dengan RUU Ormas atau UU Ormas yang baru.

Sesungguhnya tidak ada kekosongan (rujukan) hukum untuk menjawab polemik keberadaan UU 8/1985, terutama dasar hukum yang memungkinkan pencabutannya. UU 12/2011 menyediakan rujukan tersendiri. Pada Lampiran II tentang TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BAB II HAL-HAL KHUSUS huruf C PENCABUTAN angka 223, diketahui bahwa peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut melalui peraturan perundang-undangan yang setingkat atau lebih tinggi. Artinya, untuk mencabut UU 8/1985 dapat menggunakan (dasar hukum) UU pencabutan tersendiri, sebagaimana dimaksud pada angka 227. Tidak perlu menghadirkan UU Ormas yang baru untuk mencabutnya.

Isi UU pencabutan pada dasarnya memuat dua pasal, yaitu Pasal 1 memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan dan Pasal 2 memuat ketentuan tentang saat mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan pencabutan yang bersangkutan. Sedangkan format penulisan UU pencabutan merujuk pada Lampiran II tentang TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BAB IV BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN huruf E BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG.

(5)

5 | P a g e • Untuk mempertahankan kesatuan sosial perlu menyepakati sejumlah

pegangan, termasuk dalam hal ini perangkat hukum.

Landasan Yuridis

• Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.

• Bagian dari hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia se-Dunia (Universal Declaration of Human Rights) pada 10 Desember 1948.

• Keberadaan UU 8/1985 sudah tidak sesuai dengan perkembangan sosial politik Indonesia, khususnya era reformasi.

Dari yang termuat dalam NA(R)UU Ormas atau yang dibahas selama rapat kerja gabungan 30 Agustus 2010, setidaknya terdapat 2 (dua) alasan yang seringkali dikemukakan oleh DPR dan Pemerintah yang kemudian menjadi alasan utama kehadiran (R)UU Ormas, yaitu:

Pertama, mereka berdalih bahwa keberadaan (R)UU Ormas diperlukan untuk menindak organisasi yang memiliki massa dan melakukan kekerasan (dalam bentuk demonstrasi dengan kekerasan, sweeping, dll). Selama ini pemerintah hanya bisa menjerat pelaku di lapangan, sedangkan pengurus atau pihak yang memberikan perintah tidak bisa dijangkau. Bahkan ketika ingin membubarkan suatu ormas pelaku kekerasan dan yang sudah nyata berbuat onar, Pemerintah tidak mampu berbuat apa-apa karena beranggapan tidak memiliki landasan hukum yang tepat.

Kedua, selain soal kekerasan di ruang publik, DPR dan Pemerintah berulang kali menyatakan bahwa urgensi (R)UU Ormas, salah satunya adalah mewujudkan tata kelola ormas, terutama yang terkait dengan transparansi dan akuntabilitas. DPR dan Pemerintah menganggap bahwa selama ini ormas tidak mampu bersikap profesional dalam mengelola urusan administrasi, keuangan hingga kinerja keorganisasian. Bahkan mengacu data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), DPR dan Pemerintah mencurigai adanya LSM yang tidak transparan dan akuntabel dalam menerima dan menggunakan dana yang bersumber dari pihak asing atau bahkan APBN/APBD. Dikhawatirkan, pengelolaan dana asing bertujuan sebagai sarana pencucian uang dan kegiatan terorisme. Untuk itu, DPR dan Pemerintah memerlukan landasan hukum yang memungkinkan seluruh ormas mampu berlaku transparan dan akuntabel. Keduanya merasa perangkat peraturan perundang-undangan yang ada selama ini masih belum mampu membentuk profil ormas yang transparan dan akuntabel.

Temuan dan Penafsiran:

1. Bab II Konsepsi dan Dinamika Organisasi Masyarakat Subbab A Konsepsi Organisasi Masyarakat NA (R)UU Ormas mengkonfirmasi kerancuan pengertian ormas yang ternyata bersumber dari ketidakjelasan norma, sebagaimana termuat dalam UU 8/1985. Definisi ormas dalam UU tersebut mencakup semua organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat, baik berdasarkan keanggotaan ataupun tanpa anggota. Akan tetapi karena tidak diikuti kejelasan norma, maka seringkali ditafsirkan hanya mengatur organisasi berdasarkan keanggotaan. Anehnya, konstruksi ormas yang diformulasikan oleh UU 8/1985 masih digunakan bahkan nyaris sama dengan apa yang termuat dalam Pasal 1 angka 1 UU 17/2013. 2. Badan Legislasi (Baleg) sebagai alat kelengkapan DPR yang menyiapkan RUU Ormas, telah memuat hasil identifikasi terhadap 14 undang-undang yang memberikan jaminan dan mengatur berbagai bentuk organisasi, termasuk UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana diubah oleh UU No. 28 Tahun 2004, ke dalam NA (R)UU Ormas. Bahkan khusus tentang yayasan, Baleg menyimpulkan bahwa terjadi tumpang tindih pengaturan organisasi kemasyarakatan di tingkat undang-undang. Sementara tentang Staatsblad 1870-64 yang mengatur tentang perkumpulan dinyatakan masih eksis dan menjadi dasar pendirian organisasi perkumpulan.

(6)

6 | P a g e

D.

TEKS

D.1 Urgensi UU Ormas di Berbagai Peraturan Peraturan Perundang-undangan

Bacaan terhadap UU Ormas menyimpulkan bahwa dari 87 pasal, hanya 48 pasal yang relevan dengan pengaturan ormas. Sisanya tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan, mulai dari konstitusi (8 pasal), KUHP, KUHAP, KUHPerdata (7 pasal), UU Yayasan (41 pasal), UU KIP (7 pasal), UU Anti Pencucian Uang (6 pasal), dan UU terkait anti terorisme (6 pasal). Bahkan UU Ormas mencaplok materi pengaturan yang seharusnya menjadi wilayah RUU Perkumpulan (33 pasal).

Perlu dicatat bahwa terhadap 48 pasal yang dikategorikan masuk dalam rezim UU Ormas, sebagian besar berkonstruksi “norma administratif” yang bisa dialokasikan seperti:

a. Mekanisme pendaftaran bagi ormas yang tidak berbadan hukum seharusnya tidak perlu di level undang-undang (UU Ormas), tapi cukup melalui aturan teknis kementerian sektoral. Itupun hanya berlaku bagi ormas yang ingin mengajukan dan mengelola sebagian anggaran APBN/APBD (misalkan dalam bentuk dana bantuan sosial).

b. Pengakuan seperti “hak dan kewajiban” ormas sebagaimana termuat dalam Pasal 20 dan Pasal 21 adalah contoh “norma administratif”. Tanpa itu pun, sudah ada konstitusi yang mewadahi dan AD/ART ormas yang akan menjabarkannya lebih lanjut (Pasal 20 huruf a, huruf c, dan huruf d). Bahkan ketentuan tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual/HAKI (yang tersebar pada UU Hak Cipta, Paten, Merek, Desain Industri, atau Rahasia Dagang) sudah lebih dari cukup untuk mewadahi ormas memperoleh hak atas kekayaan intelektual untuk nama dan lambang ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b.

c. Hak ormas untuk mendapatkan perlindungan hukum terhadap keberadaan dan kegiatan organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf e sudah lebih dari cukup diakomodasi oleh KUHP, KUHAP, KUHPerdata hingga UU Kepolisian (2/2002). Begitu pula hak ormas untuk melakukan kerjasama dengan pemerintah, pemerintah daerah, swasta, ormas lain, dan pihak lain dalam rangka pengembangan dan keberlanjutan organisasi (Pasal 20 huruf f) sudah diatur melalui AD/ART hingga Permendagri No. 44 Tahun 2009 tentang Pedoman Kerja Sama Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah Dengan Organisasi Kemasyarakatan dan Lembaga Nirlaba Lainnya Dalam Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri sebagaimana diubah oleh Permendagri No. 39 Tahun 2011 dan Permendagri No. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana diubah oleh Permendagri No. 39 Tahun 2012. Bahkan kedua Permendagri tersebut sudah lebih dulu mengatur maksud dan tujuan Pasal 41 atau penyediaan sanksi melalui Pasal 61 huruf b dan huruf c, Pasal 64 ayat (1) huruf a, dan Pasal 64 ayat (2).

d. Selain ketentuan HAKI, larangan terhadap ormas sebagaimana dimaksud Pasal 59 ayat (1) huruf a sudah diatur dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

D.2 Identifikasi Pasal-pasal Bermasalah

Berdasarkan penjelasan huruf B tentang METODA, maka dilakukan identifikasi terhadap sejumlah pasal serta mendiagnosa norma yang terkandung dan kehendak dari penyusun (R)UU Ormas. Setidaknya terdapat 7 (tujuh) temuan yang kemudian dikelompokkan menjadi satu kategori permasalahan dan penilaian. Tujuh kategori tersebut adalah:

No

Kategori

Penjelasan

1. Norma yang tidak jelas batasan dan ruang lingkupnya

Berdasarkan Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tentang TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN

(7)

7 | P a g e

No

Kategori

Penjelasan

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN angka 98 huruf a, angka 107, dan BAB III RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN angka 243 huruf e, suatu pengertian atau definisi harus cermat dan jelas batasan rumusannya.

Naskah Akademik (R)UU Ormas mengkonfirmasi kerancuan pengertian ormas yang ternyata bersumber dari ketidakjelasan norma, sebagaimana termuat dalam UU 8/1985. Definisi ormas dalam UU tersebut mencakup semua organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat, baik berdasarkan keanggotaan ataupun tanpa anggota. Akan tetapi karena tidak diikuti kejelasan norma, maka seringkali ditafsirkan hanya mengatur organisasi berdasarkan keanggotaan. Anehnya, konstruksi ormas yang diformulasikan oleh UU 8/1985 masih digunakan bahkan nyaris sama dengan apa yang termuat dalam Pasal 1 angka 1 UU 17/2013.1

2. Pasal-pasal yang tidak perlu ada untuk melegalkan keberadaan AD/ART Organisasi

UU Ormas mengatur sejumlah materi pengaturan sebatas pengakuan (pendelegasian) kepada AD/ART organisasi. Padahal tanpa “pengakuan” UU Ormas sekalipun, AD/ART merupakan dokumen standar yang sudah tersedia ketika suatu organisasi didirikan dan dibentuk. Setidaknya ada 11 pasal yaitu Pasal 7 ayat (1); Pasal 30 ayat (1); Pasal 32; Pasal 33 ayat (3); Pasal 34 ayat (2); Pasal 35; Pasal 36; Pasal 39 ayat (2); Pasal 53 ayat (2); Pasal 54 ayat (3); dan Pasal 57 ayat (1).

3. Pasal-pasal tumpang tindih dan menimbulkan konflik norma

• Akibat UU Ormas yang menempatkan yayasan dan perkumpulan dalam satu kelompok pengertian (Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11), maka akan timbul

kerancuan. Yayasan merupakan bentuk organisasi (berbadan hukum) yang tidak berbasiskan anggota dan sudah diatur dalam undang-undang tersendiri (UU No. 16 Tahun 2001 sebagaimana diubah oleh UU No. 28 Tahun 2004). Tentu tidak tepat jika koridor pengaturannya diletakkan secara bersamaan dan dinaungi oleh UU Ormas yang menyertakan juga organisasi (berbadan hukum) yang berbasiskan anggota, dalam hal ini Perkumpulan yang juga (masih) diatur dalam aturan khusus (yaitu Staatsblad 1870 Nomor 64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum). Dengan kata lain, sesungguhnya organisasi yang berbadan hukum telah diatur dalam undang-undang tersendiri. Keberadaan Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 justru menyempitkan amanat UUD 1945 tentang kemerdekaan berserikat dan

berorganisasi hanya menjadi “ormas”.

1 Pengertian Ormas berdasarkan Pasal 1 UU 8/1985 yaitu organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warga Negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

(8)

8 | P a g e

No

Kategori

Penjelasan

• Persyaratan mendapatkan pengesahan terhadap ormas asing (berbadan hukum yayasan) sebagaimana diatur dalam Pasal 47 menimbulkan kebingungan dan kompleksitas tersendiri. Mengingat UU Yayasan dan PP pelaksanaan UU Yayasan mengatur pula

keberadaan ormas asing (yayasan asing). Akibatnya terdapat dua rezim (UU Ormas dan UU Yayasan) yang mengatur obyek yang sama (yayasan asing). Terlihat penyusun (R)UU Ormas menempatkan esensi pengaturan yayasan asing bukan pada UU Yayasan tapi malah menempatkan pada undang-undang terpisah, yaitu UU Ormas. Secara tidak langsung temuan terhadap Pasal 47 terkait pula dengan Pasal 43 s/d Pasal 46.

4. Pasal-pasal yang tidak jelas konstruksi normanya

Formulasi norma misalkan dalam bentuk perintah, larangan atau kebolehan dapat merujuk pada Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tentang TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BAB III RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN angka 267, angka 268, dan angka 269. Kategori norma kebolehan sebagaimana dimaksud angka 267 melalui penggunaan kata “dapat” ditujukan untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seseorang atau lembaga.

Penjelasan kategori norma perintah (angka 268) dengan menggunakan kata “wajib” bertujuan untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan. Jika tidak terpenuhi akan dikenakan sanksi. Terakhir, kategori norma keharusan (angka 269) melalui kata “harus” untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu. Jika “keharusan” tersebut tidak dipenuhi, tidak diperoleh sesuatu yang seharusnya akan didapat. Pasal 16 adalah salah satu contoh ketentuan yang tidak bisa diketahui secara pasti kategori normanya. Pasal 16 mengatur materi pendaftaran ormas, tapi apakah pendaftaran ormas menjadi sebuah perintah/kewajiban atau bersifat pilihan tidak bisa ditelusuri dari teks pengaturan.

5. Norma yang multitafsir Pasal 59 UU Ormas memuat serangkaian larangan berkategori multitafsir yang berpeluang disalahgunakan sesuai selera penguasa. Organisasi anti korupsi yang sedang menyuarakan upaya penindakan terhadap pejabat atau pemimpin formal yang korup dapat dianggap sebagai organisasi yang membahayakan keselamatan negara. Organisasi yang mengkampanyekan perlawanan terhadap pelanggaran HAM berat kepada dunia internasional, bisa saja dinilai sebagai organisasi yang melakukan kegiatan yang mengancam, mengganggu, dan/atau membahayakan keutuhan dan kedaulatan NKRI. Organisasi yang

menerima dana asing, misalnya dari lembaga kerjasama internasional, badan PBB, funding agency, secara

(9)

9 | P a g e

No

Kategori

Penjelasan

kelembagaan atau perorangan, mungkin saja dilarang karena dianggap sebagai kaki tangan asing dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 6. Pasal-pasal yang tidak perlu ada

di level UU

Setidaknya ada norma dari 8 (delapan) pasal yang sebenarnya tidak perlu ada di level UU tanpa

menghilangkan esensi tujuan perumusan norma. Delapan pasal tersebut sudah dinaungi oleh konstitusi. Pasal-pasal tersebut yaitu Pasal 2, Pasal 3, Pasal 14, Pasal 21, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 59 ayat (4). Contoh lain di luar yang telah diatur oleh konstitusi antara lain Pasal 22, Pasal 29, dan Pasal 30 ayat (1). Esensi pengaturan di ketiga pasal tersebut umumnya sudah diatur dalam AD/ART organisasi. 7. Norma yang tidak konsisten Dari Pasal 15 ayat (1) dan ayat (3) UU Ormas diketahui

bahwa ormas yang berbadan hukum dinyatakan terdaftar setelah mendapatkan pengesahan badan hukum. Dengan demikian, ketika suatu ormas sudah memperoleh status badan hukum (yayasan atau perkumpulan), maka ormas tersebut tidak memerlukan Surat Keterangan Terdaftar (SKT). Namun, keberadaan Pasal 15 ayat (2) melalui frase “pendaftaran ormas berbadan hukum” justru

membuat bias makna Pasal 15 ayat (1) dan ayat (3). Dari Pasal 15 ayat (1) dan ayat (3) dapat ditafsirkan ketika syarat pengesahan badan hukum terpenuhi sebagaimana yang diatur (misalkan dalam UU Yayasan), maka saat itu juga diperoleh status terdaftar. Dengan demikian, Pasal 15 ayat (2) tidak perlu ada, atau frase “pendaftaran ormas berbadan hukum” diganti dengan frase “tata cara

mendapatkan pengesahan status badan hukum” (yang diatur lebih rinci dalam UU Yayasan atau nantinya UU Perkumpulan). Alasannya, status terdaftar bagi ormas berbadan hukum bukan diperoleh dengan menempuh prosedur pendaftaran tapi pengesahan status badan hukum.

Persoalan UU Ormas bukan sekedar batang tubuh (pasal-pasal), tapi pada konsep dasar pengaturannya. Dengan kata lain, meskipun DPR dan Pemerintah melakukan perbaikan terhadap materi (R)UU Ormas (pada pembahasan lalu), tapi itu bersifat tambal sulam karena perubahan yang muncul berdiri di atas kerangka berpikir yang keliru.

Perancangan suatu undang-undang didahului oleh kerja penyusunan NA. Artinya, NA menjadi media yang menjelaskan kenapa kesimpulan akhirnya adalah harus ada (R)UU Ormas. Temuan tentang pasal-pasal (R)UU Ormas yang dikategorikan bermasalah secara tidak langsung merupakan imbas dari jejak permasalahan yang bisa saja sudah muncul sejak penyusunan NA. Salah satu indikatornya adalah evolusi pasal sejak rancangan awal (21 Juli 2011) hingga 25 Juni 2013 atau sesudahnya yang tidak lagi bersifat revisi minor.

Perubahan pasal-pasal ternyata berpola nyaris sama, yaitu ketika pihak eksternal (dari proses legislasi (R)UU Ormas) membeberkan sejumlah pasal bermasalah, bukan dari hasil pembahasan di internal DPR (Pansus dengan Pemerintah). Oleh karena itu, membongkar (R)UU Ormas tidak bisa dimulai dari pasal-pasal yang dianggap represif atau memiliki cabang persoalan lainnya, tapi menelusurinya sejak dari NA. Dari situ bisa kita ketahui saat tercetus usulan (R)UU Ormas, cara pandang atau pendekatan apa yang digunakan, bagaimana negara berhadapan dengan sektor masyarakat sipil,

(10)

10 | P a g e bagaimana tanggapan NA terhadap berbagai peraturan perundang-undangan terkait, fakta atau perilaku apa yang dijadikan dasar perumusan definisi ormas, ruang lingkup dan sebagainya.

E.

BAHAN BACAAN DAN PENDALAMAN

Daftar bahan bacaan dan pendalaman sangat membantu para pihak dalam memahami secara komprehensif konteks kelahiran (R)UU Ormas dan penafsirannya. Sedangkan keterangan tentang peraturan perundang-undangan berupaya membuka pemahaman publik terhadap urgensi (R)UU Ormas yang sesungguhnya sudah dijawab oleh berbagai aturan, mulai dari UU hingga Peraturan Presiden (Perpres). Selain bacaan dokumen, tersedia juga dalam bentuk video yang bisa diakses melalui fasilitas Youtube.

Dokumen

(1) Naskah Akademik (R)UU Ormas (September 2011)

(2) Naskah UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan

(1) UUD 1945

(2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

(3) Staatsblad (Stb) 1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtpersoonlijkheidvan Verenegingen) dan RUU tentang Perkumpulan

(4) UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2011 tentang Yayasan

(5) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(6) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

(7) UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (8) UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

(9) UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (10) UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (11) UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan

Terorisme

(12) Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah dengan Perpres No. 35 Tahun 2011 dan Perpres No. 70 Tahun 2012.

Video

Visualisasi kajian tentang pengaturan kehidupan organisasi di Indonesia http://www.youtube.com/watch?v=15C2toG3d6Q

F.

PENANGGUNG JAWAB

Kajian penafsiran UU Ormas ini dibuat oleh Sekretariat Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB). KKB tidak bertanggung jawab terhadap penggunaan dokumen atau informasi yang termuat (dalam dokumen ini) di luar dari tujuan sebagaimana dimaksud pada huruf A. Tidak menutup kemungkinan, sebagian informasi yang termuat memerlukan konfirmasi ulang dan pendalaman.

Sekretariat KKB membuka saluran komunikasi bagi para pihak yang ingin mendapatkan informasi dan mempelajari lebih lanjut perjalanan advokasi serta berbagai kajian yang terkait dengan (R)UU

(11)

11 | P a g e Ormas. Sekretariat KKB juga menyediakan narasumber untuk kebutuhan penelitian, peliputan maupun diskusi/seminar.

Sekretariat KKB dapat dihubungi melalui nomor telfon 021-8191623; faks 021-8500670; dan email pantau.uuormas@gmail.com, dengan SaudariViri.

(12)

12 | P a g e

Pembidangan Dan Keterkaitan Materi (R)UU Ormas Dengan Konstitusi

Dan UU Sektoral Lainnya

Disiapkan oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB]

Pengelompokan

Materi

Pengaturan

Konstitusi

UU

Ormas

(1)

KUHP,

KUHAP, dan

KUHPerdata

(2)

UU

Yayasan

(3)

Staatsblad

Perkumpulan

dan RUU

Perkumpulan

(4)

UU KIP

(5)

UU

Pencucian

Uang

(6)

UU Tindak

Pidana

Terorisme

dan

Pendanaan

Terorisme

(7)

Ketentuan umum Pasal 1

Asas, ciri, dan sifat Pasal 2

Pasal 3

Pasal 4

Pasal 2

Pasal 4 Pasal 4

Tujuan, fungsi, dan ruang lingkup Pasal 5 Pasal 6 Pasal 7 Pasal 8 Pendirian ormas Pasal 14 Pasal 9 Pasal 10 Pasal 11 Pasal 13 Pasal 9 Pasal 10 Pasal 11 Pasal 12 Pendaftaran Pasal 16 Pasal 17 Pasal 18 Pasal 19 Pasal 15 Pasal 15

(13)

13 | P a g e

Pengelompokan

Materi

Pengaturan

Konstitusi

UU

Ormas

(1)

KUHP,

KUHAP, dan

KUHPerdata

(2)

UU

Yayasan

(3)

Staatsblad

Perkumpulan

dan RUU

Perkumpulan

(4)

UU KIP

(5)

UU

Pencucian

Uang

(6)

UU Tindak

Pidana

Terorisme

dan

Pendanaan

Terorisme

(7)

Hak dan kewajiban

Pasal 21

Pasal 20 Pasal 21

Pasal 20

Pasal 21 Pasal 21 Pasal 21

Organisasi, kedudukan, dan kepengurusan Pasal 27 Pasal 28 Pasal 22 Pasal 23 Pasal 24 Pasal 25 Pasal 26 Pasal 29 Pasal 30 Pasal 31 Pasal 32

Keanggotaan Pasal 33 ayat

(1) dan ayat (2)

Pasal 33 ayat (3) Pasal 34

AD dan ART ormas Pasal 35 Pasal 35 Pasal 35

Perubahan AD dan ART ormas

Pasal 36 Pasal 36 Pasal 36

Keuangan Pasal 37 Pasal 38 Pasal 37 Pasal 38 Pasal 37 Pasal 38 Pasal 38

Badan usaha ormas Pasal 39 Pasal 39

Pemberdayaan ormas Pasal 40

(14)

14 | P a g e

Pengelompokan

Materi

Pengaturan

Konstitusi

UU

Ormas

(1)

KUHP,

KUHAP, dan

KUHPerdata

(2)

UU

Yayasan

(3)

Staatsblad

Perkumpulan

dan RUU

Perkumpulan

(4)

UU KIP

(5)

UU

Pencucian

Uang

(6)

UU Tindak

Pidana

Terorisme

dan

Pendanaan

Terorisme

(7)

Pasal 42

Ormas yang didirikan warga negara asing

Pasal 49 Pasal 50 Pasal 43 Pasal 44 Pasal 45 Pasal 46 Pasal 47 Pasal 48

Pasal 51 Pasal 51 Pasal 51 Pasal 51

Pengawasan Pasal 53 Pasal 54 Pasal 55 Pasal 56 Pasal 52 Pasal 53 Pasal 54 Pasal 55 Pasal 56 Pasal 53 Pasal 54 Pasal 55 Pasal 56 Pasal 53 Pasal 54 Pasal 55 Pasal 56 Pasal 53 Pasal 54 Pasal 55 Pasal 56 Pasal 53 Pasal 54 Pasal 55 Pasal 56 Penyelesaian sengketa ormas Pasal 57 Pasal 58 Larangan Pasal 59 ayat Pasal 59 ayat (1) Pasal 59 ayat (3) huruf b Pasal 59 ayat (2) Pasal 59 ayat (3) huruf a Pasal 59 ayat (3) huruf a

(15)

15 | P a g e

Pengelompokan

Materi

Pengaturan

Konstitusi

UU

Ormas

(1)

KUHP,

KUHAP, dan

KUHPerdata

(2)

UU

Yayasan

(3)

Staatsblad

Perkumpulan

dan RUU

Perkumpulan

(4)

UU KIP

(5)

UU

Pencucian

Uang

(6)

UU Tindak

Pidana

Terorisme

dan

Pendanaan

Terorisme

(7)

(4) Sanksi Pasal 60 Pasal 61 Pasal 62 Pasal 63 Pasal 64 Pasal 65 Pasal 66 Pasal 67 Pasal 61 huruf d Pasal 68 Pasal 69 Pasal 70 Pasal 71 Pasal 72 Pasal 73 Pasal 74 Pasal 75 Pasal 76 Pasal 77 Pasal 78 Pasal 79 Pasal 80 Pasal 81 Pasal 82 Pasal 61 huruf d Pasal 68 Pasal 69 Pasal 70 Pasal 71 Pasal 72 Pasal 73 Pasal 74 Pasal 75 Pasal 76 Pasal 77 Pasal 78 Pasal 79 Pasal 80 Pasal 81 Pasal 82

Ketentuan peralihan Pasal 83 Pasal 83 Pasal 83

Ketentuan penutup Pasal 84

(16)

16 | P a g e

Pengelompokan

Materi

Pengaturan

Konstitusi

UU

Ormas

(1)

KUHP,

KUHAP, dan

KUHPerdata

(2)

UU

Yayasan

(3)

Staatsblad

Perkumpulan

dan RUU

Perkumpulan

(4)

UU KIP

(5)

UU

Pencucian

Uang

(6)

UU Tindak

Pidana

Terorisme

dan

Pendanaan

Terorisme

(7)

Pasal 86 Pasal 87

Jumlah Pasal

8 pasal

48 pasal

7 pasal

41 pasal

33 pasal

7 pasal

6 pasal

6 pasal

Keterangan Penomoran Kolom

(1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Organisasi Kemasyarakatan

(2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUHPerdata)

(3) UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

(4) Staatsblad (Stb) 1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtpersoonlijkheidvan Verenegingen) dan RUU tentang Perkumpulan

(5) UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

(6) UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

(7) UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

(17)

17 | P a g e

Identifikasi Beberapa Masalah Terkait Dengan Urgensi UU Ormas Yang Sudah

Atau Dapat Diatur Oleh Berbagai Peraturan Perundang-Undangan Sektoral

Disiapkan oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB]

MASALAH

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

SEKTORAL

Organisasi melakukan

tindakan kekerasan dan anarkis (sweeping, penyerangan, intimidasi, dll)

KUHP sudah lebih dari cukup untuk menjerat pelaku, yang turut serta, yang memerintahkan suatu tindak kejahatan, ataupun yang menyatakan permusuhan ataupun kebencian terhadap suatu golongan secara terbuka di muka umum.

Tidak tegasnya aparat penegak hukum dalam menindak pelaku kekerasan tidak ada kaitannya dengan UU Ormas maupun upaya untuk merevisinya.

Organisasi melakukan penyimpangan keuangan (korupsi, pencucian uang, dll)

UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (UU Yayasan) melarang pengalihan kekayaan yayasan secara langsung atau tidak langsung kepada pembina, pengurus, pengawas, karyawan, atau pihak lain yang mempunyai

kepentingan terhadap yayasan.

UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Organisasi dimanfaatkan untuk tindak pidana terorisme

UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Organisasi tidak transparan dan akuntabel padahal menerima dana dari masyarakat dan negara

Pasal 52 UU Yayasan mewajibkan ikhtisar laporan tahunan Yayasan diumumkan pada papan pengumuman di kantor Yayasan. Selain itu, bagi Yayasan yang menerima dana dari negara, bantuan luar negeri, dan/atau pihak lain sebesar Rp 500 juta harus diaudit oleh akuntan publik dan diumumkan dalam surat kabar.

Pasal 72 UU Yayasan: Yayasan yang sebagian kekayaannya berasal dari bantuan negara, bantuan luar negeri, dan/atau sumbangan masyarakat yang diperolehnya sebagai akibat berlakunya suatu peraturan perundang-undangan wajib mengumumkan ikhtisar laporan keuangan yang mencakup kekayaannya selama 10 (sepuluh) tahun sebelum UU Yayasan diundangkan.

UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) menempatkan dan mengatur organisasi nonpemerintah sebagai badan publik.

Organisasi ikut serta terlibat dalam penyimpangan proses tender yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau dalam mengajukan dan mengelola dana bantuan

UU Tipikor.

Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana diubah oleh Perpres No. 35 Tahun 2011 dan Perpres No. 70 Tahun 2012.

Permendagri No. 44 Tahun 2009 tentang Pedoman Kerja Sama Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah Dengan Organisasi Kemasyarakatan dan Lembaga Nirlaba Lainnya

(18)

18 | P a g e

MASALAH

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

SEKTORAL

sosial Dalam Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri sebagaimana diubah oleh Permendagri No. 39 Tahun 2011. Permendagri No. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian

Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana diubah oleh Permendagri No. 39 Tahun 2012.

Penindakan

penyalahgunaan dana publik yang dilakukan organisasi

Keliru jika beranggapan UU Ormas dapat menjadi dasar hukum penuntutan suatu organisasi di pengadilan karena penyalahgunaan dana publik.

Dalam prakteknya SKT menjadi modal organisasi untuk mendapatkan dana publik, misalnya dana bantuan sosial.

Dalam KUHP/KUHPerdata, jika belum berbadan hukum, apabila terjadi pelanggaran hukum, yang bertanggung jawab adalah orang per-orangan dan bukan organisasi.

Organisasi melakukan kegiatan politik praktis

UU Yayasan membatasi maksud dan tujuan pendirian (yayasan) untuk kegiatan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.

Organisasi merupakan sayap kepentingan pihak asing

UU Yayasan mengatur mengenai yayasan asing maupun yayasan yang didirikan oleh orang asing.

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa nilai kalibrasi resistor standar telah berhasil diperoleh dan divalidasi dengan pengukuran yang dilakukan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi interaksi antara faktor jenis dan dosis pupuk kandang yang diberikan terhadap pertumbuhan dan produksi

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk menguji apakah terdapat perbedaan antara manajemen laba yang dilakukan sebelum dan sesudah perubahan tarif pajak penghasilan Badan dalam

 Dengan bimbingan dan arahan guru, siswa mengidentifikasi ciri-ciri teks untuk menyatakan dan menanyakan sifat orang, binatang, benda (fungsi sosial, struktur teks, dan

I,APORAN BA&{NG KUASA PE}.{GGTNA SEMESTERAN GABLTNGAN INTRAKOMP ABEL DAN EKSTRAKOMPTABEL. RINCIAN

Dari hasil koefesien korelasi yang diperoleh menunjukkan bahwa besar pendapatan orang tua (0,638) menjadi faktor terbesar yang mempengaruhi prestasi belajar siswa,

Berdasarkan hasil penelitian dalam hal pemanfaatan klinik sanitasi di puskesmas Limba B dilihat dari aspek pengetahuan, sikap dan tindakan didapatkan hasil bahwa

Obligasi adalah suatu istilah yang dipergunakan dalam dunia keuangan yang merupakan suatu pernyataan hutang dari penerbit obligasi kepada pemegang obligasi beserta