• Tidak ada hasil yang ditemukan

Petunjuk Pemantauan PELAKSANAAN UU ORMAS Oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB]

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Petunjuk Pemantauan PELAKSANAAN UU ORMAS Oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB]"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1 | P a g e

Petunjuk Pemantauan

PELAKSANAAN UU ORMAS

Oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB]

A.

TUJUAN

Petunjuk Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (selanjutnya disingkat UU Ormas atau UU 17/2013) merupakan pegangan sekaligus cara untuk menemukan dan mendokumentasikan praktek implementasi UU Ormas.

Basis penyusunan petunjuk pemantauan adalah identifikasi aktor/pihak dan ruang yang dimiliki atau

melibatkan peran aktor/pihak sebagaimana diatur oleh UU Ormas. Petunjuk pemantauan ini secara

tidak langsung merujuk juga pada konteks kelahiran UU Ormas, melalui penelusuran terhadap kehendak para penyusun undang-undang. Dari proses ini bisa diketahui jarak (gap) antara maksud pengaturan dan penegakan aturan.

Petunjuk pemantauan ini dapat dibaca dan digunakan oleh siapapun yang ingin melakukan monitoring dan evaluasi terhadap UU Ormas, terutama para pemangku kepentingan. Mereka adalah sekelompok

individu yang telah dan akan membentuk organisasi, baik berbadan hukum (yayasan maupun perkumpulan) atau tidak berbadan hukum, yang diperkirakan akan terkena dampak pengaturan UU Ormas. Petunjuk pemantauan ini dapat pula memandu para pihak yang ingin melakukan advokasi

apabila pelaksanaan UU Ormas menimbulkan atau disertai tindakan sewenang-wenang dan penindasan.

B.

PELAKU PEMANTAUAN

Pelaku utama pemantauan adalah individu atau organisasi yang diperkirakan akan terkena dampak

pengaturan UU Ormas. Mereka bisa jadi sudah membentuk organisasi, baik berbadan hukum

(yayasan maupun perkumpulan) atau tidak berbadan hukum. Atau bahkan mereka sedang dalam proses atau berencana mendirikan suatu organisasi.

Tidak ada batasan ruang lingkup bagi mereka yang ingin melakukan pemantauan. Organisasi atau individu bisa melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan UU Ormas secara nasional atau daerah.

C.

INFORMASI UMUM BAGI PELAKU PEMANTAUAN

Siapa aktor/pihak dalam UU Ormas?

Mereka adalah ormas berbadan hukum (yayasan dan perkumpulan) dan yang tidak berbadan hukum, termasuk pula (kategori) ormas asing.

Aktor dari pihak negara adalah pemerintah pusat (mulai dari Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Luar Negeri, dan beberapa kementerian sektoral), Badan Intelijen Negara (BIN), polisi, jaksa, dan Mahkamah

Agung. Sedangkan di daerah, aktornya terdiri dari gubernur/bupati/walikota, DPRD provinsi/kabupaten/kota, pengadilan negeri, dinas kesatuan bangsa, politik,

dan perlindungan masyarakat (Kesbangpolinmas), dan beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sektoral.

(2)

2 | P a g e Melalui Rapat Paripurna 2 Juli 2013, RUU Ormas akhirnya disepakati menjadi Undang-Undang melalui mekanisme voting. Tercatat, tiga fraksi yaitu Fraksi PAN, Fraksi Partai Gerindra, dan Fraksi Partai Hanura menyatakan tidak setuju. Sedangkan 6 (enam) fraksi lainnya antara lain Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PDIP, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PKS, Fraksi PPP, dan Fraksi PKB, menyatakan setuju.

Pada 22 Juli 2013, RUU Ormas yang sudah disetujui resmi diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Ditempatkan di Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 116 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5430.

Saat ini, Pemerintah sedang menyiapkan beberapa Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan teknis (turunan) dari UU Ormas. Beberapa diantaranya yang sudah dikonfirmasi oleh pejabat Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian Hukum dan HAM adalah PP tentang Pendaftaran Ormas, PP Pemberdayaan Ormas, PP Ormas Asing, PP Sistem Informasi Ormas, PP Tata Cara Penyelenggaraan Ijin Operasional Ormas, PP Tata Cara Pengawasan, dan PP Penjatuhan Sanksi.

Bagaimana ormas yang Didirikan Sebelum UU Ormas Diberlakukan?

Ketika UU Ormas mulai berlaku, bagaimana status ormas yang sekarang ada? Ada 4 (empat) situasi yang diantisipasi oleh UU Ormas melalui Pasal 83, yaitu:

1. Ormas yang telah berbadan hukum (yayasan atau perkumpulan) sebelum berlakunya UU Ormas tetap diakui keberadaannya;

2. Ormas yang telah berbadan hukum berdasarkan Staatsblad 1870 Nomor 64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen) yang berdiri sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dan konsisten mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetap diakui keberadaan dan kesejarahannya sebagai aset bangsa, tidak perlu melakukan pendaftaran;

3. SKT yang sudah diterbitkan sebelum UU Ormas berlaku, tetap berlaku sampai akhir masa berlakunya; dan

4. Ormas yang didirikan oleh warga negara asing, warga negara asing bersama warga negara Indonesia, atau badan hukum asing yang telah beroperasi harus menyesuaikan dengan ketentuan UU Ormas dalam jangka waktu paling lama tiga tahun terhitung sejak UU Ormas diundangkan.

D.

OBYEK/SASARAN PEMANTAUAN

Obyek atau sasaran pemantauan UU Ormas dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu Dampak, Kebijakan, dan Perilaku Pelaksana Undang-Undang. Dasar pembagian tiga kelompok ini adalah peta respon terhadap UU Ormas. Ada yang bersifat langsung dan dianggap paling otoritatif (yaitu dampak yang bersumber langsung dari UU Ormas atau regulasi yang lebih teknis dan operasional) dan secara organisasi, dalam artian pengaruhnya muncul dari aktor pelaksana undang-undang dan relasi yang timbul antaraktor.

Dampak

1. Kerancuan Hukum

Akibat UU Ormas yang menempatkan yayasan dan perkumpulan dalam satu kelompok pengertian (Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11), maka akan timbul kerancuan. Yayasan merupakan bentuk organisasi (berbadan hukum) yang tidak berbasiskan anggota dan sudah diatur dalam undang-undang tersendiri (UU No. 16 Tahun 2001 sebagaimana diubah oleh UU No. 28 Tahun 2004). Tentu tidak tepat jika koridor pengaturannya diletakkan secara bersamaan dan dinaungi oleh UU Ormas yang menyertakan juga organisasi (berbadan hukum) yang tidak berbasiskan anggota, dalam hal ini Perkumpulan yang juga (masih) diatur dalam aturan khusus (yaitu Staatsblad 1870 Nomor 64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum). Dengan kata lain, sesungguhnya organisasi yang

(3)

3 | P a g e berbadan hukum telah diatur dalam undang-undang tersendiri. Keberadaan Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 justru menyempitkan amanat UUD 1945 tentang kemerdekaan berserikat dan berorganisasi hanya menjadi “ormas”.

2. Belenggu Kerumitan Administrasi dan Birokrasi

Ada kekhawatiran jika UU Ormas menjadi “UU payung”. Untuk apa? Pengaturan ormas sebagai “UU payung” hanya akan menambah panjang birokrasi, perijinan, dan mekanisme yang rumit yang pada ujungnya akan menciderai kemerdekaan berserikat dan berorganisasi di Indonesia. Sebagai contoh, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 mengatur ruang lingkup ormas (nasional, provinsi, dan kabupaten/kota). Aturan yang terlihat mengikuti logika partai politik ini akan menentukan otoritas pendaftaran dan pengawasan. Jika sekelompok orang ingin mendirikan organisasi dalam bentuk yayasan misalkan, maka prakteknya secara umum tidak mengenal pembagian kepemilikan struktur organisasi dan kepengurusan pada sejumlah wilayah tertentu. Tidak tertutup kemungkinan suatu yayasan masih akan disyaratkan dengan seperangkat sarana administrasi untuk memenuhi kualifikasi otoritas berdasarkan implementasi Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25.

3. Memperluas Pendekatan dan Kontrol politik

UU Ormas akan menimbulkan kekacauan mendasar karena mencampuradukkan badan hukum yayasan ke dalam kategori ormas. Ketika suatu organisasi memilih (identitas) yayasan, apakah kemudian di saat yang bersamaan dia diikat pula dengan kewajiban terhadap pengakuan sebagai ormas? Kapan organisasi tersebut sebagai yayasan dan ormas?

Ribuan yayasan yang sudah ada selama ini (yang bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, kesehatan, seni budaya, dll) akan terseret ke ranah politik di bawah kendali pengawasan Pemerintah (Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik/Kesbangpol, Kementerian Dalam Negeri)/Dinas Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas). Konsekuensinya, yayasan dapat dibekukan hingga dibubarkan, bukan hanya melalui instrumen UU Yayasan, tapi juga ditambah dengan UU Ormas.

Tidak tertutup kemungkinan di kemudian hari konsekuensi tidak langsung dari “kendali pengawasan” yayasan oleh Kementerian Dalam Negeri/pemerintah daerah merambah pada wilayah organisasi seperti administrasi, keuangan, hingga pemberlakuan sanksi, yang kesemuanya mengatasnamakan kepentingan pembinaan dan ketertiban Ormas.

4. Konflik Norma

Konsekuensi UU Ormas yang mencampuradukkan yayasan dan perkumpulan,ke dalam kategori ormas mengakibatkan konflik norma dan kompleksitas tataran implementasi, karena sebuah organisasi harus tunduk pada dua undang-undang yang mengatur pembidangan-pembidangan yang sama. Menempatkan UU Ormas sebagai undang-undang payung bagi berbagai bentuk organisasi kemasyarakatan adalah pemikiran yang keliru. Istilah undang-undang payung menunjukkan DPR dan Pemerintah kebingungan menempatkan UU Ormas ini secara hierarkis, jika bukan karena kekurang-telitian atau bahkan mengarah pada kegagalan tahapan harmonisasi dan sinkronisasi.

UU Ormas menimbulkan potensi konflik dengan UU Yayasan. Melalui Pasal 35 ayat (2), UU Ormas berupaya mengatur lebih jauh kategorisasi materi AD/ART yayasan. Padahal seharusnya materi AD/ART yang diperuntukkan bagi badan hukum yayasan lebih tepat dan relevan berpedoman kepada UU Yayasan sendiri. Selain itu, Pasal 35 ayat (2) ini tidak konsisten dengan norma Pasal 13 yang menyatakan bahwa badan hukum yayasan diatur dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (dalam hal ini UU Yayasan).

Pasal 34 ayat (1) yang menyatakan setiap anggota ormas memiliki hak dan kewajiban yang sama akan menimbulkan potensi kesalahpahaman. Jika yang dimaksud “setiap anggota ormas memiliki hak dan kewajiban yang sama” termasuk anggota (ormas) yayasan, maka ini berbeda (makna “setiap anggota ormas”) dengan organ dalam yayasan yang dibedakan antara pembina, pengurus, dan

(4)

4 | P a g e pengawas. Antara posisi pembina, pengurus, dan pengawas memiliki perbedaan peran dan kewenangan karena berasal dari hak dan kewajiban yang berbeda pula.

Contoh lain adalah pemberlakuan sanksi administratif dalam UU Ormas (Pasal 60 s/d Pasal 82). Perlu diketahui bahwa sanksi administratif (terhadap organisasi berbadan hukum yayasan) sangat berkaitan erat dengan sejumlah tindakan pendahuluan yang memungkinkan dan memerlukan serangkaian pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 s/d Pasal 56 UU Yayasan. Jika posisi UU Ormas ini memayungi semua badan hukum termasuk yayasan (dan dikembalikan lagi pada konsistensi Pasal 13 serta dengan alasan bahwa UU Yayasan belum mengatur lebih detail mengenai sanksi administratif), maka kebutuhan tentang pengaturan sanksi administratif terhadap badan hukum yayasan seharusnya dikembalikan dan diatur lebih lanjut dalam RUU Perubahan UU Yayasan.

5. Ketentuan Larangan Multitafsir

Pasal 59 UU Ormas memuat serangkaian larangan berkategori multitafsir yang berpeluang disalahgunakan sesuai selera penguasa. Organisasi anti korupsi yang sedang menyuarakan upaya penindakan terhadap pejabat atau pemimpin formal yang korup dapat dianggap sebagai organisasi yang membahayakan keselamatan negara. Organisasi yang mengkampanyekan perlawanan terhadap pelanggaran HAM berat kepada dunia internasional, bisa saja dinilai sebagai organisasi yang melakukan kegiatan yang mengancam, mengganggu, dan/atau membahayakan keutuhan dan kedaulatan NKRI. Organisasi yang menerima dana asing, misalnya dari lembaga kerjasama internasional, badan PBB, funding agency, secara kelembagaan atau perorangan, mungkin saja dilarang karena dianggap sebagai kaki tangan asing dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Ada berbagai kewajiban ormas dalam UU Ormas, diantaranya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan NKRI, memelihara nilai-nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma kesusilaan serta memberikan manfaat untuk masyarakat, menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam masyarakat, dan berpartisipasi dalam pencapaian tujuan negara (Pasal 21). Kelompok pecinta klub sepakbola (sebut saja Jakmania atau Bonek) misalnya, mungkin tidak akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan NKRI, atau nilai-nilai agama. Namun akan sulit untuk melihat bagaimana keberadaan kelompok pecinta klub sepakbola akan mempromosikan nilai-nilai tersebut. Berbagai yayasan dalam bidang kesehatan atau panti asuhan akan sulit memperlihatkan keterkaitan dengan promosi persatuan dan kesatuan bangsa.

Banyak contoh organisasi yang memiliki praktek melampaui persyaratan minimum good governance, akuntabilitas keuangan, dan partisipasi dalam organisasinya. Pemaksaan persyaratan yang sama bagi berbagai bentuk dan ukuran organisasi, justru akan menyulitkan pemenuhan persyaratan tersebut. Misalnya terkait kepengurusan (Pasal 29) akan sulit dipenuhi karena banyak organisasi berukuran kecil di Indonesia yang mempraktekkan rangkap jabatan.

Kebijakan (policy)

Selain keberadaan PP sebagai aturan teknis (turunan) dari UU Ormas, tidak tertutup kemungkinan akan muncul peraturan pelaksana di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Wujudnya bisa dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota. Sebelum aturan teknis diterbitkan, biasanya pihak Kementerian Dalam Negeri atau Kesbangpolinmas menyelenggarakan serangkaian acara sosialisasi. Bisa dalam bentuk seminar atau diskusi publik.

Perilaku/tindakan dari Aktor Pelaksana dan Pemegang Peran

UU Ormas mengatur berbagai perilaku atau tindakan dari para aktor, yaitu kategori pemegang peran (individu dan ormas) maupun pelaksana undang-undang (pemerintah pusat, pemerintah daerah, kepolisian dll).

(5)

5 | P a g e

Apa yang dipantau?

1. Apakah di daerah Anda sudah direncanakan program sosialisasi UU Ormas?

2. Apakah organisasi anda sudah mendapatkan undangan atau bahkan pemberitahuan tentang aturan dan kewajiban yang diberlakukan setelah diberlakukannya UU Ormas, peraturan pemerintah, perda atau peraturan dari gubernur/bupati/walikota yang terkait dengan ormas?

3. Amati tindakan/perilaku yang diperlihatkan oleh aparat pemerintah (pusat/daerah), lembaga pemerintah nonkementerian, penegak hukum, dan lembaga negara (pusat/daerah) lainnya terhadap konteks atau situasi berikut:

a) Penyediaan akses anggaran APBN/APBD atau dana dari program pemerintah;

b) kegiatan di ruang publik (demonstrasi/unjuk rasa, kampanye, pawai/karnaval, panggung terbuka, pameran) atau bisa juga pertemuan tertutup;

c) ikutserta dalam acara/kegiatan atau program pemberdayaan/asistensi yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah;

d) kerjasama dengan pemerintah (atau pihak yang ditunjuk oleh pemerintah), misalkan dalam bentuk asistensi, sebagai fasilitator program perencanaan atau menjadi anggota kelompok kerja pemerintah;

e) melakukan survey atau pemantauan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik (anggaran dan kinerja pemerintahan), pemilu atau penegakan hukum;

f) kerjasama dengan mitra pembangunan yang sebelumnya disyaratkan memiliki catatan terdaftar/surat keterangan dari pemda setempat; dan

g) kualifikasi memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) bagi pemohon informasi publik (kaitannya dengan UU Keterbukaan Informasi Publik yang dijalankan oleh Komisi Informasi dan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi/PPID).

4. “Tindakan pelengkap” atau yang menyertai pelaksanaan UU Ormas yang bernuansa diskriminatif dan represif secara administratif; penyalahgunaan kewenangan hingga kriminalisasi.

5. Tindakan institusi lain yang menggunakan UU Ormas sebagai prasyarat administrasi atau kualifikasi SKT seperti consulting firm, lembaga donor, bank, atau pihak ketiga di luar sektor negara. Tidak tertutup kemungkinan ada “kelompok masyarakat” yang mensyaratkan kualifikasi organisasi yang memiliki SKT. Maksud dari “kelompok masyarakat” di sini adalah apabila suatu organisasi ingin melakukan kegiatan, maka ada reaksi dari suatu “kelompok masyarakat” lain yang memperlihat tindakan (yang dikategorikan) diskriminatif dan represif, dalam bentuk (salah satunya) terkait kepemilikan SKT.

Apa yang mesti dilakukan?

1. Lakukan pemetaan terhadap pola implementasi dan tindakan represif yang mungkin saja baru muncul belakangan. Salah satu tujuan dari pemetaan ini adalah mengkonfirmasi tren “sasaran/korban” UU Ormas. Dari pemetaan tersebut bisa ditindaklanjuti dengan dokumentasi peristiwa/kasus dan dinamika yang menyertai pelaksanaan UU Ormas. Salah satu alat bantunya dalam bentuk tabel seperti yang termuat pada halaman terakhir.

2. Para pihak yang telah mendokumentasikan hasil pemantauan dapat menyampaikannya kepada KKB untuk kemudian dijajaki tindak lanjut yang melibatkan peran bersama.

F.

BAHAN BACAAN DAN PENDALAMAN

Daftar bahan bacaan dan pendalaman sangat membantu para pihak dalam memahami secara komprehensif konteks kelahiran dan apa saja yang diatur UU Ormas. Bacaan terhadap konteks kelahiran UU Ormas dapat ditemukan pada dokumen Naskah Akademik RUU Ormas. Sedangkan

(6)

6 | P a g e keterangan tentang berbagai peraturan perundang-undangan berupaya membuka pemahaman publik terhadap urgensi UU Ormas yang sesungguhnya sudah dijawab oleh berbagai aturan, mulai dari UU hingga Peraturan Presiden (Perpres). Selain bacaan dokumen, tersedia juga dalam bentuk video yang bisa diakses melalui fasilitas Youtube.

Dokumen

(1) Naskah Akademik (R)UU Ormas (September 2011)

(2) Naskah UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (3) Kajian Penafsiran UU Ormas

(4) Kerangka Acuan Sosialisasi UU Ormas Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan (1) UUD 1945

(2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

(3) Staatsblad (Stb) 1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtpersoonlijkheid van Verenegingen) dan RUU tentang Perkumpulan

(4) UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2011 tentang Yayasan

(5) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(6) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

(7) UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (8) UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

(9) UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (10) UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (11) UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan

Terorisme

(12) Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah dengan Perpres No. 35 Tahun 2011 dan Perpres No. 70 Tahun 2012.

Video

Visualisasi kajian tentang pengaturan kehidupan berorganisasi di Indonesia http://www.youtube.com/watch?v=15C2toG3d6Q

G.

PENANGGUNG JAWAB

Panduan Pemantauan Pelaksanaan UU Ormas dibuat oleh Sekretariat Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB). KKB tidak bertanggung jawab terhadap penggunaan dokumen atau informasi yang termuat (dalam dokumen ini) di luar dari tujuan sebagaimana dimaksud pada huruf A. Tidak menutup kemungkinan, sebagian informasi yang termuat memerlukan konfirmasi ulang dan pendalaman. Sekretariat KKB membuka saluran komunikasi bagi para pihak yang ingin mendapatkan informasi dan mempelajari lebih lanjut perjalanan advokasi serta berbagai kajian yang terkait dengan UU Ormas. Sekretariat KKB juga menyediakan narasumber untuk kebutuhan penelitian, peliputan maupun diskusi/seminar.

Sekretariat KKB dapat dihubungi melalui nomor telfon 021-8191623 ; faks 021-8500670 ; dan email pantau.uuormas@gmail.com dengan Saudari Viri.

(7)

7 | P a g e

Dokumentasi Bentuk Hambatan dan Ancaman Terhadap Kebebasan Berserikat dan Berkumpul di [sebutkan cakupan

wilayahnya, provinsi/kabupaten/kota …] Sebagai Dampak Pelaksanaan [sebutkan nama produk peraturannya, apakah UU No. 17

Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan atau Perda provinsi/kabupaten/kota … atau Peraturan/Surat Edaran

Gubernur/Bupati/Walikota …]

Disiapkan oleh: [sebutkan nama lembaga/koalisi atau aliansi/kelompok atau jaringan kerja …]

CONTOH

No

Jenis/Bentuk

Ancaman dan

Pengekangan

Korban

Pelaku

Lokasi dan Waktu

Deskripsi/Kronologi

1. Pelarangan aksi demonstrasi (dibuat kesimpulannya) LSM Srikandi Aceh (spesifik dan jelas)

Dinas Kesbangpolinmas Provinsi Aceh (spesifik dan jelas. Tidak tertutup kemungkinan pelaku di sini melibatkan para pihak di luar (aktor) negara. Sebagaimana penjelasan pada bagian huruf E angka 5, tindakan diskriminasi dan represif bisa muncul dari

masyarakat. Dalam hal ini negara yang diwakili oleh aparat pemerintah atau penegak hukum yang ada di pusat maupun daerah secara tidak langsung menjadi pelaku yang berkontribusi terhadap adanya hambatan dan ancaman kebebasan berserikat dan berkumpul, karena mereka

membiarkan dan tidak mencegah tindakan diskriminasi dan represif dari suatu kelompok masyarakat ).

Lapangan Merdeka Aceh, 1 Juni 2012 (diusahakan spesifik)

Srikandi Aceh berencana akan melakukan demonstrasi pada 1 Juni 2012 dalam rangka memperingati hari Kebangkitan Nasional dan lahirnya Pancasila. Aksi akan dilakukan di lapangan Merdeka mulai pukul 10.00 WIB. Untuk itu, Srikandi Aceh memberitahu pihak kepolisian tentang rencana aksi tersebut. Kemudian kepolisian berkoordinasi dengan Dinas Kesbangpolinmas Provinsi Aceh. Dinas

Kesbangpolinmas tidak mengizinkan aksi tersebut karena Srikandi Aceh dianggap tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT). Dengan demikian, Srikandi Aceh tidak boleh melakukan aksi demontrasi pada 1 Juni 2012. Srikandi Aceh akhirnya

mengurungkan rencana melakukan aksi dan menggantikannya dengan acara internal. (dilukis narasi atau alur peristiwanya secara berurutan)

Referensi

Dokumen terkait

maka potensi wisata yang dimiliki oleh pertunjukan badut dan penyewan baju adat Minangkabau pada obyek wisata Istana Basa Pagaruyung menjadi daya tarik wisata, jika selalu

Pada bahan standar tidak dilakukan penambahan baik asam sulfo salisilat maupun EDTA dan tidak dilakukan pemusingan, karena bahan standar tersebut sudah dalam bentuk larutan murni

Penetapan mitigasi resiko yang harus disiapkan terhadap komponen gardu traksi: untuk komponen Vital artinya dimana terjadi kerusakan, maka menyebabkan kondisi sangat

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk menguji apakah terdapat perbedaan antara manajemen laba yang dilakukan sebelum dan sesudah perubahan tarif pajak penghasilan Badan dalam

Selanjutnya, untuk melihat seberapa besar pengaruh geometri reaktor terhadap aliran fluida pada proses fluidisasi dilakukan variasi tinggi frustum seperti tampak pada Gambar 8 yang

Jadi apabila peringkat daya saing atau ranking kompetisi kita ada di urutan bawah dari negara-negara Kawasan Asia-Pasifik itu berarti bahwa kesiapan kita

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat Signifikansi pengaruh Variabel bebas Motivasi Pimpinan yang terdiri dari Prestise, Pengakuan, Jenis Pekerjaan,

Pajak penghasilan terkait pos-pos yang akan direklasifikasi ke laba rugi 0 PENGHASILAN KOMPREHENSIF LAIN TAHUN BERJALAN SETELAH