• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PRAKTEK PERBAKAN. Supaijo *)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PRAKTEK PERBAKAN. Supaijo *)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PRAKTEK PERBAKAN Supaijo*)

Abstract

Banking criminal could be categorized as special case. The settlement of the case is based on banking law. Chapter 49 (2) b, chapter 50 and 50A of the law,there is a broad nuance to round up banking criminal by using another law, because it is also categorized as corruption that is regulated in law No.20 of the year 2001, where process follow the law of criminal procedure.

Key words: Banking crime, corruption Pendahuluan

Kehidupan hukum pidana indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini memperlihatkan kecendrungan yang bersifat kontradiktif antara keinginan menegakkan supremasi hukum dengan realitas tentang betapa hukum pidana telah menjadi “ Korban “ kebijakan pemulihan ekonomi. Dengan alasan menyelamatkan keuangan Negara dan masyarakat yang telah “dikuras” oleh pelaku–pelaku ekonomi, maka perbuatan-perbuatan yang dalam perspektif hukum pidana telah memenuhi unsur sebagai tindak pidana hanya diselesaikan dengan cara-cara yang justru menguntungkan bagi pelaku.

Kecendrungan seperti itu secara kasat mata dapat dilihat dari kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah untuk menyelesaikan berbagai kredit perbankan yang bermasalah. Penanganan terhadap masalah pelanggaran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) adalah dua contoh aktual untuk memperkuat argumentasi. Meskipun telah memenuhi rumusan hukum tentang tindak pidana, ternyata pelanggaran hanya diselesaikan dengan cara-cara musyawarah dan negosiasi antara pemerintah dengan para pelanggar hukum (Debitur). Apabila para debitur itu memperlihatkan sikap yang tidak kooperatif, barulah permasalahannya dimasukkan kedalam wilayah hukum pidana. Padahal hukum pidana

tidak mengenal terminologi musyawarah dan negosiasi seperti itu.

Persoalan selanjutnya yang menarik untuk dikritisi adalah menyangkut ketentuan-ketentuan hukum pidana yang dapat diterapkan terhadap kejahatan perbankan, khususnya ketentuan hukum pidana tentang tindak pidana korupsi. Artinya, sejauh mana dan dalam hal-hal apa saja ketentuan-ketentuan hukum pidana tentang korupsi dapat diimplementasikan terhadap pelaku kejahatan perbankan tersebut.

Materi dan Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat descriptive analitis dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melihat konsep-konsep, data-data dan

*)

(2)

norma-norma yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti dengan cara membaca, mengutip dari sumber yang berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier melalui studi kepustakaan.

Hasil dan Pembahasan

1. Bentuk-bentuk kejahatan perbankan

Penggunaan istilah kejahatan perbankan belum ada kesatuan pendapat dari para ahli hukum, untuk menunjukkan pada pelanggaran ketentuan-ketentuan pidana dibidang perbankan. Ada penulis yang menggunakan istilah tindak pidana perbankan, tindakan pidana dibidang perbankan, kejahatan dibidang perbankan, hukum pidana bank dan lain sebagainya. Kondisi tersebut dapat dipahami, karena memang belum ada satu ketentuan perundang-undangan yang secara eksplisit merumuskan tentang istilah yuridis untuk menunjukan pada apa yang disebut kejahatan perbankan.

Mardjono Reksodiputro, Lebih cendrung dan menganjurkan untuk menggunakan istilah tindak pidana dibidang perbankan. Istilah tersebut adalah untuk menampung segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank.194 Lebih lanjut Mardjono Reksodiputro menjelaskan pengertian tersebut mempunyai arti yang luas, yang mencakup peristiwa-peristiwa dimana bank menjadi korban (dalam media massa dikenal dengan istilah “pembobolan bank”) maupun sebagai pelaku yang berbentuk korporasi.

Dalam hal bank menjadi korban, pada umumnya digunakan ketentuan-ketentuan KUHP, misalnya pasal-pasal tentang pemalsuan (263,264 KUHP) dan penipuan (378 KUHP). Sedangkan dalam hal bank sebagai pelaku, maka pada dasarnya digunakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Perbankan.

Sementara itu, H.A.K. Moch Anwar Membedakan pengertian tindak pidana dibidang perbankan dengan tindakan pidana perbankan.195 Perbedaan tersebut hanya didasarkan pada perlakuan peraturan perundang-undangan terhadap perbuatan-perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Tindak pidana di bidang perbankan adalah tindak pidana yang terjadi dikalangan perbankan yang diatur di dalam segala peraturan perundangan-undangan diluar Undang-Undang Perbankan. Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana perbankan adalah tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan (UU No. 7 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan) yang sifatnya intern.

194

Mardjono Reksodiputro, 1994. Kemajuan Perkembangan Ekonomi dan Kejahatan,Pusat Pelayanan keadilan dan Pengabdian Hukum UI, Jakarta, hal. 90.

(3)

Dalam perspektif lain, dapat pula dibedakan antara kejahatan perbankan oleh bank atau “crimes by the bank”196yang disebutkan pertama adalah kelompok kejahatan perbankan yang dilakukan oleh bank sendiri, oleh pengurus bank atau pemilik bank dengan cara menguras menggerogoti dana masyarakat yang ada dibank bersangkutan. Termasuk dalam kategori ini adalah kejahatan bidang perkreditan, seperti kejahatan pembukuan fiktif (ganda), kejahatan bidang penerimaan dana untuk kelompok sendiri dan kejahatan penyalagunaan wewenang. Sementara yang dilakukan terhadap bank itu sendiri, seperti kejahatan kartui kredit, kejahatan deposito fiktif, kejahatan eksport fiktif dan lain sebagainya.

Terlepas dari perbedaan penggunaan terminologi tersebut diatas, pembuatan UU No. 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998, merumuskan berbagai kategori perbuatan sebagai tindak pidana perbankan. Perbuatan-perbuatan tersebut meliputi:

1. Tindak pidana perbankan yang berkaitan denjgan perizinan. 2. Tindak pidana perbankan dibidang rahasia bank.

3. Tindak pidana perbankan dibidang pengawasan.

4. Tindak pidana perbankan berkaitan dengan kegiatan usaha bank (kolusi management).

5. Tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan pihak terafiliasi.

2. Kejahatan Perbankan Sebagai Tindak Pidana Korupsi

Dalam praktek penegakan hukum terhadap tindak pidana perbankan, terdapat pula adanya kecenderungan untuk memasukan penanganannya kedalam wilayah ketentuan hukum pidana tentang korupsi, disamping ketentuan-ketentuan dalam undang-undang perbankan sendiri. Misalnya proses peradilan pidana terhadap pelaku pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan pelanggaran Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI). Penerapan seperti itu perlu didudukkan secara proporsional dan diperlukan adanya dasar untuk menjusfikasikannya.

Dilihat dari segi kemudahan prosedural yang terdapat didalam undang-undang korupsi, maka penggunaan undang-undang-undang-undang korupsi terhadap kejahatan perbankan sebenarnya dapat dipahami. Demikian pula halnya dari segi keluesan rumusan hukum tentang tindak pidana korupsi, yang memungkinkan banyak perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara untuk dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Akan tetapi, dilihat dari segi kepastian hukum, akan kecenderungan seperti dapat menimbulkan problem yuridis dalam kaitannya dengan keberadaan undang-undang perbangkan yang didalamnya secara eksplisit merumuskan pula perbuatan tersebut sebagai kejahatan yang diancam pidana.

196

Robintan Sulaiman, 2000. KejahatanKorporasi perbankan (Tinjauan yuridis). Pusat Studi Hukum Bisnis Universitas Pelita Harapan, Jakarta, hal. 11-26.

(4)

Untuk melakukan analisis yuridis terhadap persoalan tersebut, kedudukan perundang-undang perbankan itu sendiri sebagai peraturan perundang-undang dibidang hukum administratif yang memuat sanksi pidana patut mendapatkan perhatian. Dengan memakai pengklasifikasikan yang dilakukan oleh Sudarto, maka undang perbankan dapat pula dikualifikasikan sebagaio undang-undang pidana khusus.197 oleh karena itu, undang-undang perbankan memiliki kedudukan yang samadengan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, yakni sama-sama memenuhi kualifikasi sebagai undang-undang pidana khusus.

Persoalan selanjutnya adalah, bagaimana tindak pidana perbankan yang diatur dalam undang-undang perbankan dapat berkembang sebagai tindak pidana korupsi yang diatur dalam undang-undang pemberantasan tindakan pidana khusus.

Persoalan ini sesungguhnya dapat terselesaikan melalui ajaran yang berkembang terhadap Pasal 63 ayat (2) KUHP yang didalamnya terkandung hakikat asas “lex specialis derogai legi generali” Asas ini sangat penting bagi hukum pidana, yang didalamnya doktrin dapat dibedakan antara “logische specialiteit” (kekhususan yang logis) dan kekhususan yang sistematis.198 Namun yang kaitannya dengan persoalan yang sedang dibahas dalam tulisan ini adalah kekhususan yang sistematis.

Tentang kekhususan yang sistematis ini A.Z. Abidin dan Andi Hamzah mengemukakan contoh tindak pidana penyelundupan menurut UU No.10 tahun 1995 tentang kepabean.199 Apabila orang menyeludupkan barang ke Indonesia, berarti ia tidak membayar bea, dan itu berarti menjadi bagian yang dapat disebut memperkaya diri sendiri dan pasti merugikan keuangan negara. Oleh sebab itu, perbuatan tersebut telah memenuhi semua bagian inti delik, korupsi yang tercantum dalam pasal 2 UU No. 31 tahun 1994 sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun 2001. Namun Undang-undang korupsi tersebut tidak boleh diterapkan karena bersifat umum, sedangkan tindakan pidana penyeludupan pada pasal 102 UU No.10 1995 adalah bersifat khusus.

Berdasarkan pemahaman atas asas “lex specialis derogai legi generali”menurut kekhususan yang sistematis seperti yang digambarkan diatas, maka terhadap tindak pidana perbankan yang diatur secara khusus dalam UU No.7 tahun 1992 Sebagaimana diubah dalam UU No.10 tahun 2008, tidak dapat berkembang atau berubah sebagai tindak pidana korupsi didalamnya.

Sekedar sebagai ilustrasi dapat dikemukakan contoh kasus sebagai berikut:

197Sudarto,1986. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal.63.

198Schapffmeister, D., “Perbarengan Tindak Pidana

(Samenloop),1998.”Materi disampaikan dalam Penataran Hukum Pidana, di Universitas Lampung, hal .12.

(5)

Seseorang pegawai bank pemerintah (BUMN) yang meminta atau menerima imbalan, suap atau hadiah berkaitan perlayanan kepada nasabah dalam pengucuran kredit. Penerimaan hadiah atau suap tersebut dalam kontruksi hukum pidana korupsi telah memenuhi rumusan pasal 5 ayat(2) UU pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menentukan: Bagi pegawai negri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) huruf (a) atau huruf(b), dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).Ancaman pidana terhadap perbuatan tersebut adalah paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun. Akan tetapi, perbuatan pegawai bank tersebut juga memenuhi rumusan pasal 49 ayat (2) butir (a) Undang-Undang perbankan, Yang menentukan: Anggota dewan Komisaris, Direksi atau Pegawai atau pegawai bank yang dengan sengaja meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang, tambahan……… dan seterusnya. Ancaman pidana yang dirumuskan untuk kejahatan tersebut oleh pembentuk Undang-undang adalah sekurang-kurangnya 3 tahun dan paling lama 8 tahun.

Dalam kondisi seperti yang terjadi pada ilustrasi kasus diatas itulah pentingnya pemahaman terhadap asas“lex specialis derogai legi generali”menurut kekhusus yang sistematis. Meskipun terdapat Kontruksi hukum demikian namun itu tidak berarti sama sekali tidak ada bentuk-bentuk kejahatan perbankan yang dapat dikembangkan menjadi tindak pidana korupsi. Kejahatan perbankan sebagaimana diatur dalam pasal 49 ayat(2) b, pasal 50 dan pasal 50 A UU perbankan, pada hakikatnya dan dalam hal-hal tertentu dapat terjadi tindak pidana korupsi.

Pasal 49 ayat (2) b menentukan:

Anggota dewan Komisaris, direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan kekuatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank……….. dan seterusnya.

Pasal 50 menentukan:

Pihak terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakn langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank tehadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan peraturan perundang-undang lainnya yang berlaku bagi bank………dan seterusnya.

Pasal 50 A menentukan:

Pemegangan saham yang dengan sengaja menyuruh dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan kekuatan bank terhadap ketentuan Undang-undang ini dan ketentuan perUndang-undang-Undang-undang lainnya yang berlaku bagi bank………..dan seterusnya.

Berdasarkan substansi bunyi pasal tesebut diatas tidak tergambar secara eksplisit rumusan unsur-unsur tindak pidananya (misalnya apa yang dimaksud dengan melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan kekuatan bank), maka tindak pidana perbankan itu dapat diposisikan sebagai

(6)

tindak pidana umum dalam praktek perbankan. Posisinya akan menjadi sama, misalnya dengan larangan pemberian kredit yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia. Misalnya larangan pemberian kredit tanpa perjanjian tertulis adalah perbuatan yang dilarang menurut SK Direksi Bank Indonesia No.27/162/KEP/Dir dan Surat Edaran BI No.27/7UPPB, dan pemberian kredit melampaui BMPK adalah perbuatan yang dilarang menurut SK Direksi BI No.21/Kep/Dir dan Surat Edaran BI No.21/11/BPPP tanggal 29 Mei 1993.

Manakala larangan-larangan yang terdapat didalam peraturan tersebut diatas dilakukan oleh pejabat bank dan dilakukan untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi, maka disinilah terdapat kekhususan dari tindakan pidana tersebut, yaitu adanay adanya unsur koperasi, dan karenanya sejalan dengan jalan “lex specialis derogai legi generali”menurut kekhususan yang sistematis. Oleh karena itu, terdapat perbuatan, seperti pelanggaran BMPK, yang tidak secara eksplosit dirumuskan dalam Undang-undang perbankan sebagai bentuk perbuatan yang diancam pidana, dapat diberlakukan ketetentuan pasal 2 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Bank-bank yang memberikan pinjaman atau kredit melampaui BMPK kepada debitur yang notabene adalah perusahaan yang masuk dalam groupnya (kelompoknya) sering mengalami apa yang disebut kredit macet. Sebagai akibat dari kemacetan pengembalian kredit, bank tersebut mengalami kesulitan likuiditas, sehingga bank Indonesia terpaksa memberikan fasilitas BLBI. Akan tetapi dalam kenyataannya dana BLBI tersebut cenderung disalahgunakan atau tidak digunakan sebagaimana mestinya, sehingga bank tetap mengalami kesulitan. Pada akhirnya yang dirugikan adalah masyarajt dan negara.

Tidak jauh berbeda dengan pelanggaran BMPK, maka penyagunaan dana BLBI juga tidak diatur secara khusus didalam UU Perbankan. Oleh karena itu sesuai dengan ajaran kekhususan yang sistematis tadi, maka penyalagunaan dana BLBI dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan ketentuan pidana yang ada diluar UU Perbankan, seperti Pasal 372 KUHP tentang penggelapan atau Pasal 2 UU no.31 tahun 1999 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi.

Simpulan

Berdasarkan uraian dari hasil pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kejahatan perbankan meskipun tergolong dalam tindak pidana khusus, namun dapat dikembangkan menjadi tindak pidana korupsi yang diatur oleh UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001, terhadap bentuk kejahatan perbankan tersebut. Disisi lain persoalan asas “lex specialis derogai legi generali”baik dalam pengertian kekhususan sistematis ini perlu kembali dikedepankan akan diperbincangkan agar dalam peraktek penegakan hukum pidana di Indonesia dapat terwujud dengan baik berdasarkan atas asas kepastian hukum.

(7)

Daftar Pustaka

Andi Zainal Abidin dan Andi Hamzah 2001. Bentuk-bentuk perwujudan Delik, Bina Ilmu jaya, Jakarta.

H.A.K. Moch. Anwar, 1986. Tindakan Pidana di Bidang Perbankan, Alumni, Bandung.

Mardjono Reksodiputro, 1994. Kemajuan Perkembangan Ekonomi dan Kejahatan,Pusat Pelayanan keadilan dan Pengabdian Hukum UI, Jakarta.

Robintan Sulaiman, 2000. Kejahatan Korporasi perbankan (Tinjauan yuridis).Pusat Studi Hukum Bisnis Universitas Pelita Harapan, Jakarta.

Schapffmeister, D., “Perbarengan Tindak Pidana

(Samenloop),1998.”Materi disampaikan dalam Penataran Hukum Pidana, di Universitas Lampung.

Referensi

Dokumen terkait

Beragamnya tipe ekosistem ini sangat mendukung sebagai habitat satwa maupun flora khususnya berbagai jenis tumbuhan paku-pakuan.Tujuan penelitian ini yaitu untuk

Diskriminasi dalam pengertian pembedaan dan pembatasan selama proses persidangan, hal ini dikarenakan permasalahan mengenai keterangan penyandang disabilitas sebagai saksi untuk

b) Melalui kerjasama Apex BPR, bank umum dan BPR diharapkan dapat saling bahu membahu dengan mengoptimalkan kekuatan dalam pembiayaan UMKM. Bank umum yang memiliki sumber

Dengan data rating yang rendah dari program musik BREAKOUT yang bersinggungan dengan target audiens utama BREAKOUT dan kota Surabaya yang memiliki profil penonton yang rendah

ALD = adrenoleukodystrophia; ALS = amyotrophiás la- teralsclerosis; AMN = adrenomyeloneuropathia; AOA = ataxia, oculomotoros apraxia; COX = citokrómoxidáz; FXTAS = fragi- lis

ata (arus dan beda potensial) versus spasi elektrode diperoleh nilai error pada titik datum A sebesar 6,55% dan ouput jumlah lapisan bumi sebanyak 7 lapisan dengan

Institusi yang terlibat dalam monitoring evaluasi kegiatan pengelolaan DAS antara lain (1) Bappeda Kabupaten, (2) Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten, (3) Badan