- 234 -
BUPATI LUWU UTARA
PROVINSI SULAWESI SELATAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA NOMOR 10 TAHUN 2016
TENTANG
PENANAMAN MODAL DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU UTARA,
Menimbang : a. bahwa penanaman modal merupakan salah satu faktor penggerak perekonomian daerah, pembiayaan pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja dan pengelolaan potensi ekonomi daerah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
b. bahwa untuk menciptakan iklim penanaman modal
yang kondusif perlu menciptakan kemudahan kepastian berusaha dan kepastian hukum bagi penanam modal yang menanamkan modalnya di Kabupaten Luwu Utara;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Penanaman Modal Daerah;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang
Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3497);
3. Undang-Undang Nomor 9 tahun 1992 tentang
Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502);
4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612);
5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang
Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613);
- 235 -
6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Luwu Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3826);
7. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872);
8. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);
9. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahuan 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846);
10.Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);
11.Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843);
12.Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846);
13.Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866);
14.Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038);
15.Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
16.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
- 236 -
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
17.Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216);
18.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
19.Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1994 tentang
Visa, Izin Masuk dan Izin Keimigrasian 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3563), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2005 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin Masuk dan Izin Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4541);
20.Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4761);
21.Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2008 tentang
Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian
Kemudahan Penanaman Modal di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 88, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4861);
22.Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang
Kawasan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 47, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 4987);
23.Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Bidang Usaha Terbuka dan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal;
24.Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 221);
- 237 -
25.Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 13 Tahun 2009 tentang Penanaman Modal Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009 Nomor 13);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA dan
BUPATI LUWU UTARA MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENANAMAN MODAL DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kabupaten Luwu Utara.
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah yang
memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
3. Bupati adalah Bupati Luwu Utara.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya
disingkat DPRD, adalah lembaga perwakilan rakyat
daerah yang berdudukan sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
5. Badan Koordinasi Penanaman Modal adalah
lembaga pemerintah non kementerian yang bertanggung jawab di bidang penanaman modal
yang dipimpin oleh seorang kepala, yang
bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
6. Perangkat Daerah adalah Unsur Pembantu Bupati
dan DPRD dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
7. Rencana Umum Penanaman Modal Kabupaten
adalah dokumen perencanaan penanaman modal jangka panjang berlaku sampai dengan Tahun 2025.
8. Modal adalah asset dalam bentuk uang atau bentuk
lain yang bukan uang yang mempunyai nilai ekonomis.
- 238 -
9. Modal asing adalah modal yang dimiliki Negara
Asing, perseorangan Warga Negara Asing, Badan Usaha Asing, Badan Hukum Asing, dan/atau Badan Hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki pihak asing.
10. Modal Dalam Negeri adalah modal yang dimiliki oleh
Negara Republik Indonesia, perseorangan Warga Negara Indonesia, atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum.
11. Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan
menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia.
12. Penanaman Modal Dalam Negeri adalah kegiatan
menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri.
13. Penanam Modal Asing adalah kegiatan menanam
modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.
14. Penanam modal adalah perseorangan atau badan
usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing.
15. Perizinan adalah segala bentuk persetujuan untuk melakukan penanaman modal yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah yang memiliki kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
16. Non Perizinan adalah segala bentuk kemudahan
pelayanan, insentif, kemudahan daerah dan informasi mengenai penanaman modal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
17. Pendelegasian wewenang adalah Penyerahan tugas, hak, kewajiban dan pertanggungjawaban Perizinan dan Non Perizinan, termasuk penandatanganannya atas nama pemberi wewenang.
18. Pelimpahan Wewenang adalah penyerahan tugas,
hak, kewajiban, dan pertanggungjawaban Perizinan dan Non Perizinan, termasuk penandatanganannya atas nama penerima wewenang.
- 239 -
19. Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik, selanjutnya disingkat SPIPISE adalah sistem pelayanan Perizinan dan Non Perizinan yang terintegrasi antara Pemerintah yang memiliki kewenangan Perizinan dan Non Perizinan dengan Pemerintah Daerah.
20. Perusahaan Penanaman Modal adalah badan usaha
yang melakukan penanaman modal baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.
21. Perluasan Penanaman Modal adalah penambahan
kapasitas produksi melebihi kapasitas produksi yang telah diizinkan.
22. Pendaftaran Penanaman Modal adalah bentuk
persetujuan pemerintah daerah sebagai dasar memulai rencana penanaman modal.
23. Pendaftaran Perluasan penanaman modal adalah
bentuk persetujuan awal pemerintah daerah sebagai dasar memulai rencana perluasan penanaman modal.
24. Izin prinsip penanaman modal adalah izin untuk memulai kegiatan penanaman modal di bidang usaha yang dapat memperoleh fasilitas fiskal dan
dalam pelaksanaan penanaman modalnya
memerlukan fasilitas fiskal.
25. Izin Prinsip Perluasan Penanaman Modal adalah izin
untuk memulai rencana perluasan penanaman modal di bidang usaha yang dapat memperoleh fasilitas fiskal dan dalam pelaksanaan penanaman modalnya memerlukan fasilitas fiskal.
26. Izin prinsip perubahan Penanaman Modal adalah
izin untuk melakukan perubahan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin prinsip/izin prinsip perluasan sebelumnya.
27. Izin usaha adalah izin yang wajib dimiliki
perusahaan untuk melaksanakan kegiatan
produksi/operasi komersial baik produksi barang
maupun jasa sebagai pelaksanaan atas
pendaftaran/izin, prinsip/persetujuan penanaman modalnya, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan sektoral.
28. Izin Usaha Perluasan adalah izin yang wajib dimiliki oleh perusahaan untuk melaksanakan kegiatan produksi/operasi komersial atas penambahan kapasitas produksi melebihi kapasitas produksi yang telah diizinkan, sebagai pelaksanaan atas izin prinsip perluasan/persetujuan perluasan kecuali
ditentukan lain oleh peraturan
- 240 -
29. Izin Usaha Penggabungan Perusahaan Penanaman
Modal adalah izin yang wajib dimiliki oleh perusahaan yang meneruskan kegiatan usaha setelah terjadinya merger, untuk melaksanakan kegiatan produksi/operasi komersial perusahaan merger.
30. Izin Usaha Perubahan adalah izin yang wajib
dimiliki oleh perusahaan untuk melakukan perubahan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usaha/izin usaha perluasan sebelumnya sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan penanaman modal.
31. Perpanjangan Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja
Asing selanjutnya disingkat IMTA adalah izin
perpanjangan bagi perusahaan untuk
memperkerjakan tenaga kerja Warga Negara Asing dalam jumlah, jabatan dan periode tertentu.
32. Penugasan adalah penyerahan tugas, hak,
wewenang, kewajiban, dan pertanggungjawaban, termasuk penandatanganan atas nama penerima
wewenang dari kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal kepada pemerintah Kabupaten
untuk melaksanakan urusan pemerintah
berdasarkan hak subtitusi.
33. Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh perseorangan atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelengaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
34. Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan
pemerintah daerah untuk kepentingan
perseorangan atau badan.
35. Pemberian insentif adalah dukungan dari
pemerintah kepada penanam modal dalam rangka mendorong peningkatan penanaman modal di daerah.
36. Pemberian kemudahan adalah penyediaan fasilitas dari pemerintah daerah kepada penanam modal untuk mempermudah setiap kegiatan penanaman modal di daerah.
37. Sengketa Penanaman Modal adalah sengketa yang
terjadi antara Pemerintah Daerah dengan
Penanaman Modal atau Penanaman Modal dengan Penanaman Modal lainnya.
- 241 -
38. Pengendalian adalah kegiatan untuk melakukan
pemantauan, pembinaan, dan pengawasan agar pelaksanaan kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
39. Pemantauan adalah kegiatan yang dilakukan untuk
memantau perkembangan pelaksanaan kegiatan penanaman modal yang telah mendapat penanaman modal dan/atau izin prinsip penanaman modal dan/atau surat persetujuan penanaman modal dan/atau izin usaha dan melakukan evaluasi dan pelaksanaannya.
40. Pembinaan adalah kegiatan bimbingan kepada
penanam modal untuk merealisasikan penanaman modalnya dan fasilitas penyelesaian masalah/ hambatan atas pelaksanaan kegiatan penanaman modal.
41. Pengawasan adalah upaya atau kegiatan yang
dilakukan guna mencegah dan mengurangi
terjadinya penyimpangan atas pelaksanaan
penanaman modal serta pengenaan sanksi terhadap
pelanggaran/penyimpangan atas ketentuan
peraturan perundang-undangan.
42. Laporan Kegiatan Penanaman Modal adalah laporan
secara berkala mengenai perkembangan kegiatan perusahaan dan kendala yang dihadapi penanaman modal dalam bentuk dan tata cara sebagaimana yang telah di tetapkan.
43. Usaha Mikro adalah Usaha produktif milik
perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008.
44. Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi yang berskala
kecil dan memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008.
45. Usaha Menengah adalah Usaha ekonomi produktif
yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh
perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan.
46. Tanggung jawab Sosial Perusahaan/Corporate
Social Responsibility (CSR) adalah berbagai bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap seluruh pemangku kepentingan diantaranya konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala bentuk aspek operasional perusahaan.
- 242 -
BAB II
ASAS DAN TUJUAN Pasal 2
(1) Penanaman modal diselenggarakan berdasarkan
asas :
a. kepastian hukum;
b. keterbukaan;
c. akuntabilitas;
d. perlakuan yang sama dan tidak membedakan
asal daerah/negara; e. kebersamaan; f. efisiensi berkeadilan; g. berkelanjutan; h. berwawasan lingkungan; i. kemandirian; dan
j. keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
daerah.
(2) Tujuan penyelanggaraan penanaman modal untuk :
a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah;
b. menciptakan lapangan kerja;
c. meningkatkan pembangunan ekonomi
berkelanjutan;
d. meningkatkan kemampuan daya saing dunia
usaha Daerah;
e. meningkatkan kapasitas dan kemampuan
tekhnologi Daerah;
f. mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan;
g. mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal baik dari dalam negeri maupun luar negeri; dan
h. meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
BAB III
KEBIJAKAN DASAR PENANAM MODAL Pasal 3
(1) Pemerintah daerah menetapkan kebijakan dasar
Penanaman Modal untuk :
a. mendorong terciptanya iklim usaha yang
kondusif bagi penanaman modal; dan
b. mempercepat peningkatan realisasi penanaman
- 243 -
(2) Dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bupati :
a. memberikan perlakuan dan peluang sama bagi penanam modal;
b. menjamin kepastian hukum, kepastian
berusaha dan keamanan berusaha bagi
penanam modal sejak proses perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; dan
c. membuka kesempatan bagi pengembangan dan
perlindungan kepada usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi.
(3) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diwujudkan dalam bentuk Rencana Umum Penanaman Modal Daerah yang diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB IV
URUSAN PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG PENANAMAN MODAL
Pasal 4
Urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari :
a. urusan pemerintah daerah di bidang penanaman
modal yang ruang lingkupnya berada pada satu kabupaten dan urusan lainnya yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan mengenai
pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan
daerah kabupaten/kota, menjadi kewenangan
pemerintah kabupaten; dan
b. Urusan pemerintahan di bidang penanaman modal
yang menjadi kewenangan pemerintah yang diberikan penugasan kepada pemerintah kabupaten oleh kepala Badan Pelayanan Perizinanan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal berdasarkan hak subtitusi.
Pasal 5
Dalam menjalankan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 pemerintah daerah menetapkan kebijakan daerah dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang penanaman modal.
- 244 -
Pasal 6
Kebijakan daerah di bidang penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, meliputi :
a. pengkajian, pengusulan, dan penetapan kebijakan
daerah di bidang penanaman modal dalam bentuk rencana umum penanaman modal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan rencana strategis penanaman sesuai dengan program pembangunan daerah; dan
b. koordinasi pelaksanaan kebijakan daerah di bidang penanaman modal.
Pasal 7
Pelaksanaan kebijakan daerah di bidang penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, meliputi :
a. perencanaan, pelaksanaan promosi dan kerjasama
penanaman modal daerah;
b. pengembangan sektor usaha penanaman modal
melalui pembinaan penanaman modal, antara lain meningkatkan kemitraan, meningkatkan daya saing, menciptakan persaingan usaha yang sehat, dan menyebarkan informasi yang seluas-luasnya dalam lingkup penyelenggaraan penanaman modal;
c. pembinaan pelaksanaan penanaman modal, dan
pemberian bantuan penyelesaian berbagai hambatan dan konsultasi permasalahan yang di hadapi penanam modal dalam menjalankan kegiatan penanaman modal;
d. koordinasi dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu serta pemberian layananan perizinan dan intensif dan atau kemudahan daerah di bidang penanaman modal; dan
e. pengelolaan data dan sistem informasi serta
pengendalian pelaksanaan penanaman modal. BAB V
KOORDINASI DAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENANAMAN MODAL
Pasal 8
(1) Pemerintah daerah mengkoordinir kebijakan
penanaman modal baik koordinasi antara instansi Pemerintah Daerah, perangkat daerah provinsi yang membidangi penanaman modal, maupun Badan Koordinasi Penanaman Modal.
- 245 -
(2) Koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman
modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh perangkat daerah yang membidangi penanaman modal.
(3) Perangkat daerah yang membidangi penanaman
modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melaksanakan tugas pokok dan fungsi koordinasi kebijakan penanaman modal dan pelayanan penanaman modal.
(4) Perangkat daerah yang membidangi penanaman
modal melaksanakan tugas pelayanan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui pelayanan terpadu satu pintu.
BAB VI
HAK, KEWAJIBAN
DAN TANGGUNG JAWAB PENANAMAN MODAL Pasal 9
Setiap penanam modal berhak mendapat :
a. kepastian hak, hukum dan perlindungan;
b. informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang
dijalankannya;
c. hak pelayanan; dan
d. berbagai bentuk insentif dan atau kemudahan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 10
Setiap Penanam modal berkewajiban :
a. mengutamakan dana dan memprioritaskan
kepentingan usaha mikro, kecil dan menengah;
b. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang
baik;
c. melaksanakan tanggung jawab sosial
perusahaan/Corporate Social Responsibility (CSR);
d. membuat laporan kegiatan penanaman modal dan
menyampaikannya kepada SKPD yang membidangi penanaman modal;
e. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar
lokasi kegiatan usaha penanaman modal;
f. memiliki Kantor Pusat dan Cabang atau perwakilan atau menunjuk Kuasa Perusahaan di daerah; dan
g. mematuhi segala ketentuan peraturan
- 246 -
Pasal 11
Setiap penanam modal bertanggung jawab :
a. menjamin ketersediaan modal yang berasal dari
sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban
dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. menciptakan iklim usaha sehat, mencegah praktek monopoli, dan hal lain yang merugikan daerah;
d. menjaga kelestarian, keseimbangan dan mencegah
serta menanggulangi kerusakan lingkungan;
e. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan,
dan kesejahteraan pekerja; dan
f. mematuhi semua ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 12
(1) Ketentuan lebih lanjut tentang Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan/Corporate Social Responsibility (CSR) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c, diatur dengan Peraturan Bupati.
(2) Tanggung Jawab Sosial Perusahaan/Corporate
Social Responsibility (CSR) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap memperhatikan skala usaha investasi.
Pasal 13
Penanaman modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi
standar kelayakan lingkungan hidup, yang
pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VII
BENTUK BADAN USAHA DAN KEDUDUKAN
Pasal 14
(1) Penanaman Modal Dalam Negeri dapat dilakukan
dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, atau tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- 247 -
(2) Penanaman Modal Asing wajib dalam bentuk
Perseorangan Terbatas berdasarkan hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dan berkedudukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang.
(3) Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman
Modal Asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilakukan dengan:
a. menguasai saham mayoritas;
b. mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas;
c. membeli saham;
d. melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 15
(1) Penanaman Modal Dalam Negeri dapat dilakukan
oleh Perseroan Terbatas (PT), Commanditaire
Vennootschap (CV), Firma (Fa), Koperasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan penanaman modal yang tidak berbadan hukum, atau perseorangan.
(2) Penanaman Modal Asing dapat dilakukan oleh
warga negara asing dan/ atau badan hukum asing dan/atau penanam modal asing yang patungan dengan warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.
BAB VIII
KETENAGAKERJAAN Pasal 16
(1) Perusahaan penanaman modal dalam memenuhi
kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga kerja warga negara Indonesia.
(2) Perusahaan penanam modal berhak menggunakan
tenaga kerja ahli warga negara asing untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Perusahaan penanaman modal wajib menanamkan
kompetensi tenaga kerja warga negara Indonesia melalui pendidikan dan pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- 248 -
(4) Perusahaan penanaman modal yang
memperkerjakan tenaga kerja asing diwajibkan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja warga
negara Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. BAB IX
BIDANG USAHA DAN LOKASI Bagian Kesatu
Bidang Usaha Pasal 17
(1) Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi
kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan/atau terbuka dengan persyaratan.
(2) Bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan/atau terbuka dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua Lokasi Pasal 18
(1) Pemerintah Daerah menetapkan lokasi
pengembangan penanaman modal berdasarkan Rencana Tata Ruang Lingkup Daerah.
(2) Rencana Tata Ruang Wilayah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kawasan budidaya;
b. kawasan lindung; dan
c. kawasan pengembangan sarana dan prasarana.
BAB X
PENGEMBANGAN PENANAMAN MODAL BAGI USAHA MIKRO, KECIL, MENENGAH, DAN KOPERASI
Pasal 19
(1) Penanaman modal wajib memperhatikan modal
usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi serta bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar dengan syarat harus
- 249 -
bekerjasama dengan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi.
(2) Pemerintah daerah melakukan pengembangan
Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan koperasi melalui
kemitraan usaha, peningkatan daya saing,
pemberian dorongan inovasi dan perluasan pasar serta penyebaran informasi yang seluas-luasnya.
(3) Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan
Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan sesuai peraturan
perundang-undangan.
BAB XI
PEMBERIAN INSENTIF DAN
PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL Bagian Kesatu
Tata Cara Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal
Pasal 20
(1) Pemerintahan daerah memberikan insentif dan atau
kemudahan kepada penanaman modal yang melakukan penanaman modal.
(2) Pemberian insentif dan atau kemudahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada penanaman modal yang :
a. melakukan penanaman modal baru; atau
b. melakukan perluasan usaha.
(3) Tata cara pemberian insentif dan pemberian
kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sebagai berikut :
a. penanam modal mengajukan permohonan
pemberian insentif dan/atau pemberian
kemudahan kepada bupati sesuai kriteria yang telah ditetapkan daerah;
b. bupati membentuk tim teknis untuk melakukan
penilaian dan evaluasi;
c. tim teknis memberikan rekomendasi pemberian
insentif dan atau pemberian kemudahan kepada bupati; dan
d. bupati memberikan atau menolak pemberian
insentif dan atau pemberian kemudahan kepada penanam modal.
- 250 -
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemberian insentif dan pemberian kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Bupati.
Bagian Kedua
Kriteria Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Pasal 21
(1) Pemberian insentif dan pemberian kemudahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1)
kepada penanam modal sekurang-kurangnya
memenuhi salah satu dari kriteria :
a. memberikan kontribusi bagi peningkatan
pendapatan masyarakat;
b. menyerap banyak tenaga kerja lokal;
c. menggunakan sebagian besar sumber daya
lokal;
d. memberikan kontribusi bagi peningkatan
pelayanan publik;
e. memberikan kontribusi dalam peningkatan
produk domestik regional bruto;
f. berwawasan lingkungan dan berkelanjutan;
g. termasuk skala prioritas tinggi;
h. termasuk pembangunan infrastruktur;
i. melakukan alih teknologi; j. melakukan industri pionir;
k. berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, atau daerah perbatasan;
l. melaksanakan kegiatan penelitian,
pengembangan, dan inovasi;
m. bermitra dengan usaha mikro, kecil, atau
koperasi; atau
n. industri yang menggunakan barang modal,
mesin, atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri.
(2) Pemerintah Daerah memberikan insentif dan/atau
kemudahan Penanaman Modal sesuai dengan kewenangan, kondisi dan kemampuan Daerah yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Pemerintah Daerah menjamin kepastian berusaha
dan kepastian hukum bagi Penanam Modal yang menanamkan modal di daerah.
- 251 -
(4) Pemberian insentif dan pemberian kemudahan
Penanam Modal kepada Penanam Modal ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
(5) Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) memuat nama dan Alamat Badan Usaha Penanaman Modal, Bidang Usaha atau Kegiatan Penanaman Modal, bentuk, jangka waktu, serta hak
dan kewajiban penerima insentif dan/atau
kemudahan Penanaman Modal. Bagian Ketiga
Dasar Penilaian Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan
Pasal 22
(1) Penilaian Pemberian Insentif dan Pemberian
Kemudahan didasarkan pada pengukuran salah satu kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai dasar penilaian pemberian insentif dan pemberian kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
Bagian Keempat
Jenis Usaha atau Kegiatan Penanaman Modal yang Diprioritaskan Memperoleh Insentif dan Kemudahan
Pasal 23
(1) Jenis Usaha atau kegiatan Penanaman Modal yang diprioritaskan memperoleh insentif dan kemudahan adalah :
a. pembangunan Infrastruktur;
b. pertanian dan peternakan;
c. kehutanan dan perkebunan;
d. pariwisata;
e. pertambangan, energi, dan mineral;
f. perdagangan dan perindustrian;
g. perikanan dan kelautan; dan
h. sektor lainnya.
(2) Jenis usaha atau kegiatan yang diprioritaskan
memperoleh insentif dan kemudahan sebagaimana dimaksud ayat (1) paling sedikit memiliki modal sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
- 252 -
(3) Sektor lainnya sebagaimana dimkasud ayat (1)
huruf h ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Bagian Kelima
Bentuk Insentif dan Kemudahan Pasal 24
(1) Pemberian isentif dalam berbentuk :
a. pengurangan, keringanan, atau pembebasan
pajak daerah;
b. pengurangan, keringanan, atau pembebasan
retribusi Daerah;
c. pemberian dana stimulan; dan/atau
d. pemberian bantuan modal.
(2) Pemberian kemudahan dapat berbentuk :
a. penyediaan data dan informasi peluang
penanaman modal;
b. penyediaan sarana dan prasarana;
c. penyediaan lahan dan lokasi;
d. pemberian bantuan teknis; dan/atau
e. percepatan pemberian perizinan.
Pasal 25
Pemberian kemudahan penanaman modal dalam bentuk percepatan pemberian perizinan sebagaimana dimaksud pada pasal 23 ayat (2) diselenggarakan melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XII
PERENCANAAN, PROMOSI, DAN KERJASAMA PENANAMAN MODAL
Bagian Kesatu
Perencanaan Penanaman Modal Pasal 26
(1) Pemerintah daerah mengkaji, merumuskan,
menyusun, dan melaksanakan perencanaan
kebijakan penanam modal.
(2) Perencanaan kebijakan penanaman modal
sebagaimana dimaksud ayat (1) memperhatikan kebutuhan bidang usaha penanaman modal.
- 253 -
(3) Kebutuhan bidang usaha penanaman modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirumuskan dalam peta penanaman modal.
Bagian Kedua
Promosi Penanaman Modal Pasal 27
(1) Pemerintah Daerah melaksanakan promosi
penanaman modal secara aktif bagi pengembangan peluang dan potensi daerah.
(2) Promosi penanaman modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan secara mandiri dan atau kerjasama dengan pemerintah, pemerintah provinsi, dan badan usaha.
(3) Promosi penanaman modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat dilakukan di dalam negeri maupun di luar negeri.
Bagian Ketiga
Kerjasama Penanaman Modal Pasal 28
(1) Pemerintah daerah dapat melakukan kerjasama
penanaman modal dengan pemerintah, pemerintah provinsi dan/atau pemerintah Kabupaten/Kota lain atau badan usaha.
(2) Pemerintah daerah dapat melakukan kerjasama
penanaman modal dengan negara asing dan/atau badan hukum asing melalui koordinasi pemerintah.
(3) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) meliputi :
a. perencanaan penanaman modal;
b. promosi penanaman modal;
c. pengembangan penanaman modal;
d. penyediaan infrastruktur; dan
e. kegiatan penanaman modal lainnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Bupati.
- 254 -
BAB XIII
PELAYANAN PENANAMAN MODAL Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Pelayanan Penanaman Modal Pasal 29
(1) Jenis pelayanan penanaman modal meliputi :
a. pelayanan perizinan; dan b. pelayanan non perizinan.
(2) Jenis pelayanan perizinan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, meliputi :
a. pendaftaran penanaman modal;
b. izin prinsip penanaman modal;
c. izin prinsip perluasan penanaman modal;
d. izin prinsip perubahan penanaman modal;
e. izin usaha;
f. izin usaha perluasan;
g. izin usaha penggabungan perusahaan
penanaman modal (merger); dan
h. izin usaha perubahan.
(3) Jenis pelayanan perizinan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) hanya berlaku untuk pelayanan perizinan penanaman modal dalam negeri.
(4) Jenis pelayanan non perizinan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi :
a. pengusulan pemberian usulan fasilitas fiskal kepada perangkat daerah yang membidangi pelayanan perizinan;
b. perpanjangan Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja
Asing (IMTA);
c. layanan informasi penanaman modal;
d. layanan pengaduan masyarakat di bidang
penanaman modal; dan
e. insentif daerah dan atau kemudahan
penanaman modal di daerah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis pelayanan perizinan dan non perizinan sebagaimana di maksud pada ayat (2) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Bupati.
- 255 -
Bagian Kedua Pelayanan Perizinan
Pasal 30
(1) Penyelenggaraan pelayanan perizinan dilaksanakan oleh perangkat daerah yang membidangi perizinan.
(2) Dalam menyelenggarakan pelayanan perizinan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati memberikan pendelegasian wewenang pemberian perizinan dan non perizinan di bidang penanaman modal kepada kepala perangkat daerah yang membidangi perizinan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendelegasian
wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 31
(1) Permohonan jenis pelayanan perizinan dan non
perizinan di bidang penanaman modal sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 ayat (1) diajukan kepada perangkat daerah yang membidangi perizinan.
(2) Penanam modal dapat mengajukan permohonan
secara paralel untuk berbagai perizinan dan non perizinan yang tidak berkaitan dengan hanya
menyampaikan satu berkas persyaratan
permohonan melalui sistem elektronik perizinan.
(3) Penanam modal dapat mengajukan permohonan
perizinan dan non perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) secara manual atau elektronik melalui sistem elektronik perizinan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman tata cara
permohonan penanaman modal diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 32
(1) Penerbitan jenis perizinan dan non perizinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dan dilaksanakan melalui perangkat daerah yang membidangi perizinan.
(2) Penerbitan jenis perizinan dan non perizinan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar.
- 256 -
(3) Penerbitan perizinan dan non perizinan terkait dengan tata ruang, lingkungan hidup, keselamatan, dan kesehatan masyarakat, atau yang diatur khusus dengan peraturan perundang-undangan, dapat dikecualikan dari batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 33
Penerbitan jenis perizinan dan non perizinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, tidak dipungut biaya, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
BAB XIV
PENGENDALIAN PELAKSANAAN PENANAMAN MODAL Pasal 34
(1) Pengendalian pelaksanaan penanaman modal
dilakukan dengan cara pemantauan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penanaman modal sesuai dengan hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanam modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.
(2) Pemantauan, pembinaan, dan pengawasan
penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara :
a. pemantauan melalui kompilasi, verifikasi, serta evaluasi LKPM dan sumber informasi lainnya;
b. pembinaan melalui :
1. penyuluhan pelaksanaan ketentuan
penanaman modal;
2. pemberian konsultasi dan bimbingan
pelaksanaan penanaman modal sesuai dengan ketentuan perizinan yang telah diperoleh; dan
3. bantuan dan fasilitas penyelesaian
masalah/hambatan yang dihadapi penanam modal dalam merealisasikan penanaman modalnya.
c. pengawasan melalui :
1. penelitian dan evaluasi atas informasi
pelaksanaan ketentuan penanaman modal dan insentif atau kemudahan yang telah diberikan;
2. pemeriksaan ke lokasi proyek penanaman
modal; dan
3. tindak lanjut terhadap penyimpangan
- 257 -
(3) Pemantauan penanaman modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan oleh perangkat daerah yang membidangi penanaman
modal sesuai kewenangannya melakukan
pendaftaran penanaman modal dan atau izin prinsip
penanaman modal dan/atau persetujuan
penanaman modal dan atau izin usaha.
(4) Pembinaan dan pengawasan penanaman modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf (b) dan huruf (c) dilakukan oleh perangkat daerah yang membidangi penanaman modal terhadap seluruh kegiatan penanaman modal di daerah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengendalian pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 35
(1) Perusahaan yang telah mendapat pendaftaran
penanaman modal dan/atau izin prinsip
penanaman modal dan atau persetujuan
penanaman modal dan atau izin usaha wajib menyampaikan Laporan Kegiatan Penanaman Modal secara berkala kepada Kepala perangkat daerah yang membidangi perizinan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban
menyampaikan Laporan Kegiatan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB XV
PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 36
(1) Masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan
seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan Penanaman Modal dengan cara :
a. penyampaian saran; dan
b. penyampaian informasi potensi daerah.
(2) Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk :
a. mewujudkan penanaman modal yang
berkelanjutan;
b. menjunjung pencegahan pelanggaran atas
- 258 -
c. menunjang pencegahan dampak negatif sebagai akibat penanaman modal; dan
d. menumbuhkan kebersamaan antara masyarakat
dengan penanaman modal. BAB XVI
PENYELESAIAN SENGKETA/PERMASALAHAN Pasal 37
(1) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah daerah dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat.
(2) Dalam penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai penyelesaian sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah daerah dengan penanam
modal dalam negeri, para pihak dapat
menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan.
(4) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan dan difasilitasi oleh satuan tugas (Task Force) yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
(5) Permasalahan dan/atau sengketa sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dapat dirinci dan langkah penyelesaiannya sebagai berikut:
a. penanganan masalah, dapat dilakukan dalam
bentuk koordinasi dan fasilitasi;
b. penanganan sengketa, dapat dilakukan melalui Non Litigasi dan Litigasi.
Pasal 38
Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara penanam modal dengan penanam modal lainnya wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
- 259 -
BAB XVII
SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 39
(1) Badan usaha dan atau perseorangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak memenuhi kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9, Pasal 10, dan 12 dapat dikenakan sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa :
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha;
c. pembekuan kegiatan usaha dan atau
insentif/kemudahan daerah;
d. penarikan fasilitas penanaman modal;
e. pencabutan kegiatan usaha dan atau
insentif/kemudahan daerah;
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB XVIII PENYIDIKAN
Pasal 40
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan pemerintah daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Wewenang penyidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah :
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan
meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang penanaman modal agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan
keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang penanaman modal;
- 260 -
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang
pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang penanaman modal;
d. memeriksa buku, catatan dan dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana di bidang penanaman modal;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan
bahan untuk pembukuan, pencatatan, dan dokumen ini, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka
pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang penanaman modal;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang
seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda dan/atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan
tindak pidana di bidang penanaman modal;
i. memanggil orang untuk didengar keterangan
dan diperiksa sebagai tersangka atau sanksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk
kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada
Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dengan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
BAB XIX
KETENTUAN PIDANA Pasal 41
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah pelanggaran.
(3) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor
- 261 -
BAB XX
KETENTUAN PERALIHAN Pasal 42
(1) Penanaman modal yang dilakukan sebelum
ditetapkannya peraturan daerah ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya izin penanaman modal.
(2) Permohonan penanaman modal dan permohonan
lainnya yang berkaitan penanaman modal yang telah disampaikan kepada instansi yang berwenang dan pada saat diundangkannya Peraturan Daerah ini belum memperoleh persetujuan dari pemerintah daerah wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
(3) Penanaman modal yang telah diberi izin oleh
pemerintah daerah, apabila izin penanaman modalnya berakhir, dapat diperpanjang berdasarkan Peraturan Daerah ini.
BAB XXI
KETENTUAN PENUTUP Pasal 43
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
Pengundangan Peraturan Bupati ini dengan
penempatannya pada Lembaran Daerah Kabupaten Luwu Utara.
Ditetapkan di Masamba
pada tanggal 18 Agustus 2016 BUPATI LUWU UTARA,
TTD
INDAH PUTRI INDRIANI Diundangkan di Masamba
pada tanggal 18 Agustus 2016
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA, TTD
ABDUL MAHFUD
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA TAHUN 2016 NOMOR 10
NOREG PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN : B.HK.HAM.10.82.16
- 262 - PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA NOMOR 10 TAHUN 2016
TENTANG
PENANAMAN MODAL DAERAH
I. UMUM
Salah satu tujuan pembentukan pemerintahan daerah adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan merupakan amanat konstitusi yang mendasari pembentukan seluruh peraturan perundang-undangan di bidang perekonomian.
Berkaitan dengan hal tersebut, penanaman modal daerah harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomiana daerah dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah menciptakan lapangan kerja, mendorong ekonomi kerakyatan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing.
Tujuan penyelenggaraan penanaman modal daerah hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman modal daerah dapat diatasi, antara lain melalui perbaikan koordinasi antar Satuan Kerja Perangkat Daerah, penciptaan birokrasi yang efisien,, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan, dan keamanan berusaha. Dengan perbaikan berbagai faktor penunjang tersebut, diharapkan realisasi penanaman modal akan membaik secara signifikan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum”
adalah asas dalam negara hukum yang
meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah asas yang terbuka terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kegiatan penanaman modal.
- 263 - Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggaraan penanaman modal harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan. Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara” adalah asas
perlakuan pelayanan non diskriminasi
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing maupun antara penanam modal dari satu negara asing dan penanam modal dari negara asing lainnya.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah asas yang mendorong peran seluruh penanam modal secara bersama-sama dalam kegiatan usahanya untuk mewujudkan kesejateraan rakyat. Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas efesiensi
berkeadilan” adalah asas yang mendasari
pelaksanaan penanaman modal dengan
mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya saing
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas berkelanjutan” adalah asas secara terencana mengupayakan
berjalannya proses pembangunan melalui
penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun yang akan datang.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas berwawasan lingkungan” adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup
Huruf i
Yang dimaksud dengan “asas kemandirian” adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi Huruf j
Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan dan kemajuan ekonomi daerah” adalah keseimbangan kemajuan wilayah dalam kesatuan ekonomi nasional
- 264 - Ayat (2) Cukup jelas Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a
Yang dimaksud dengan “perlakuan yang sama”
adalah bahwa Pemerintah Daerah tidak
membedakan perlakuan terhadap penanam modal yang telah menanamkan modalnya di Kabupaten Luwu Utara kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-undangan Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Huruf a
Yang dimaksud dengan “kepastian hak” adalah jaminan pemerintah bagi penanam modal untuk memperoleh hak
sepanjang penanam modal telah melaksanakan
kewajiban yang ditentukan.
Yang dimaksud dengan “kepastian Hukum” adalah jaminan untuk menempatkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai landasan utama dalam setiap tindakan dan kebijakan bagi penanam modal.
Yang dimaksud dengan “kepastian perlindungan” adalah jaminan Pemerintah bagi penanam modal untuk memperoleh perlindungan dalam melaksanakan kegiatan modal.
Huruf b
Cukup jelas Huruf c
- 265 - Huruf d Cukup jelas Pasal 10 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c
Yang dimaksud dengan “tanggung jawab sosial perusahaan” adalah tanggung yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat
Huruf d
Yang dimaksud dengan laporan kegiatan penanaman modal adalah laporan kegiatan penanaman modal yang memuat perkembangan penanaman modal dan kendala kepada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal
Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas
- 266 - Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Cukup jelas
- 267 - Pasal 38 Cukup jelas Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas