• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Bahasa 2.1.1. Pengertian Bahasa dan Komunikasi - ANALISIS CAMPUR KODE DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMP (Studi Kasus di SMP N 1 Kedungbanteng Kabupaten Banyumas) - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Bahasa 2.1.1. Pengertian Bahasa dan Komunikasi - ANALISIS CAMPUR KODE DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMP (Studi Kasus di SMP N 1 Kedungbanteng Kabupaten Banyumas) - repository perpustakaan"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1.Bahasa

2.1.1. Pengertian Bahasa dan Komunikasi

Manusia adalah mahluk sosial, yaitu sebagai anggota masyarakat tidak akan dapat hidup tanpa berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota masyarakat lainnya. Manusia selalu melakukan suatu kepanjangan hidupnya. Untuk dapat berinteraksi memerlukan alat komunikai yaitu bahasa. Dengan bahasa, manusia dapat menyatakan pikiran, perasaan dan keinginan kepada anggota masyarakat lainnya.

Badudu (1996: 3) menyatakan bahwa pikiran, perasaan dan keinginan tidaklah mempunyai arti sebelum dinyatakan dengan bahasa yang diketahui, ditanggapi dan diberi reaksi oleh masyarakat lainnya. Oleh karena itu pula, dapat dikatakan bahwa fungsi bahasa yang paling mendasar adalah fungsi komunikatif, yaitu tata pergaulan dan perhubungan sesama manusia (Nababan, 1993: 48).

(2)

sebagai bagian dari kebudayaan manusia, dan (d) studi bahasa mengutamakan telaah bahasa sebagai gejala sosial.

Dalam kajian ini, studi bahasa dikaitkan dengan pemakaiannya di masyarakat. Kajian ini disebut sosiolinguistik Kajian sosiolinguistik memandang bahasa sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi, serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu. Kajian ini pun mengkaji studi bahasa sebagai bentuk sosial yang terjadi dalam situasi konkret (Appel, 1976: 9).

Situasi kebahasaan di Indonesia amat kompleks karena terdapat sejumlah besar bahasa di Indonesia tercinta ini. Didalam kehidupan sosial serta aktivitas sehari-hari anggota masyarakatnya, disamping bahasa Indonesia, dipakai juga bahasa-bahasa daerah yang konon lebih dari 760-an jumlahnya, beserta variasi-variasinya, d760-an bahasa asing tertentu sesuai dengan fungsi, situasi, serta konteks berbahasa. Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara/bahasa resmi, bahasa-bahasa daerah berfungsi sebagai bahasa komunikasi intraderah, dan bahasa asing berfungsi sebagai bahasa komunikasi internasional umum.

(3)

anggota masyarakat Indonesia merupakan bilingual secara perseorangan atau individual bilingualism. Selain itu, jika dipandang dari pembedaan fungsi-fungsi bahasa tertentu dalam masyarakat, masyarakat Indonesia dapat juga disebut masyarakat diglosik. dengan bahasa Indonesia sebagai "variasi tinggi" dan bahasa daerah sebagai "variasi rendah". Karena secara resmi dan umum, bahasa Indonesia seyogianya dipakai dalam situasi formal dan umum oleh penutur antarbahasa daerah, dan bahasa daerah dipakai dalam situasi interaksi penutur dalam suatu bahasa daerah.

Berbahasa di dalam masyarakat bilingual/multilingual menyangkut pemakaian dua atau lebih bahasa atau variasi bahasa secara bergantian oleh penutur yang sama; penutur ini disebut bilingual/multilingual. Kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa/menggunakan dua bahasa sering disebut bilingualitas. Keadaan semacam ini menimbulkan apa yang disebut dengan sentuh bahasa atau kontak bahasa (Suhardi dan Sembiring, 2005: 58). Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (code-switching), campur kode (code-mixing), dan interferensi (interference). Dengan kata lain, ketiga gejala tersebut merupakan gejala yang lazim terjadi sebagai produk bilingualisme/multilingualisme.

(4)

dwibahasa, yang sekurang-kurangnya memiliki dua bahasa yang digunakan dalam komunikasi pembelajaran sehari-hari, yakni bahasa daerah berupa Bahasa Jawa dan bahasa resmi sebagai pengantarnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Gejala penggunaan dua bahasa lebih rumit lagi ketika mereka memasukkan unsur-unsur bahasa lain selain kedua bahasa tersebut dalam interaksi. Kerumitan tersebut disebabkan mereka harus menentukan dengan bahasa apakah sebaiknya dalam berkomunikasi. Selain itu penutur juga harus dapat menentukan variasi kode manakah yang sesuai dengan situasinya. Dengan demikian setiap masyarakat dalam wilayah pembelajaran SMP Negeri 1 Kedungbanteng sebagai masyarakat dwibahasa/multibahasa, harus memilih salah satu bahasa atau variasi kode yang digunakan dalam suatu peristiwa tuturnya.

2.1.2. Masyarakat Tutur

Kajian dalam Sosiolinguistik adalah pemakaian bahasa dalam masyarakat. Secara luas, istilah Masyarakat Tutur (Speech Comunity) atau bisa juga disebut dengan Masyarakat Bahasa (Linguistic Comunity) digunakan oleh para linguis untuk mengacu pada komunitas yang didasarkan pada bahasa.

(5)

masyarakat itu adalah sebuah masyarakat tutur (speech community) (Chaer, 2004: 36). Jadi, masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang mennggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa.

Definisi ini mirip dengan definisi yang diberikan oleh Bloomfield (1933, diindonesiakan oleh Sutikno, 1995: 40) dalam bukunya yang berjudul “Language”. Ia memperkenalkan istilah masyarakat bahasa dengan definisi suatu kelompok orang yang menggunakan sistem tanda wicara yang sama dalam berinteraksi.

(6)

Indonesia dan masyarakat bahasa penutur bahasa Malaysia tidak dapat disebut satu masyarakat tutur yang sama.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, pendapat yang diungkapkan oleh Fishman dirasa dapat merangkum semua pendapat yang telah diuraikan sebelumnya. Fishman mengatakan bahwa masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya (Chaer, 2004: 36).

2.1.2.1. Kedwibahasaan dan Dwibahasawan

Kajian sosiolinguistik yang membahas masalah kode bahasa tentu sangat erat kaitannya dengan kedwibahasaan. Kedwibahasaan diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yang sama baiknya oleh seorang penutur, yang oleh Bloomfield (dalam Sutikno, 1995: 54) dirumuskan sebagai native-like control of two language. Kedwibahasaan seperti itu oleh Haliday disebut dengan istilah ambilingualism, disebut equalingualism oleh Oksar dan disebut coordinate bilingualism oleh Diebold (dalam Chaer, 2004: 87).

(7)

Perluasan pengertian kedwibahasaan nampak dalam pendapat Mackey (dalam Chaer, 2004: 87) yang mengemukakan adanya tingkat-tingkat kedwibahasaan, yang dimaksudkan untuk membedakan tingkat-tingkat kemampuan seseorang dalam penguasaan bahasa kedua. Tingkat-tingkat kemampuan demikian dapat dilihat dari penguasaan penutur terhadap segi-segi gramatikal, leksikal, semantik dan gaya yang tercermin dalam empat keterampilan bahasanya yaitu: menyimak, menulis, berbicara dan membaca. Makin banyak unsur-unsur tersebut dikuasai oleh seorang penutur makin tinggi tingkat kedwibahasaannya, makin sedikit penguasaan terhadap unsur-unsur itu makin rendah. Akan tetapi, semuanya termasuk dwibahasawan-dwibahasawan.

Menurut Nababan (1993: 29), kedwibahasaan tidak hanya dapat dipakai oleh perseorangan, tetapi juga untuk masyarakat (societal

bilingualism). Pesatnya kemajuan dibidang informasi pada sarana

perhubungan menyebabkan masyarakat pada era globalisasi sekarang ini banyak yang menguasai bahasa kedua, ketiga bahkan keempat. Penguasaan bahasa oleh seorang individu yang lebih dari satu inilah yang disebut kedwibahasaan (Nababan, 1993: 27). Konsekuensi logis dari adanya kedwibahasaan ini adalah timbulnya alih kode, campur kode dan interferensi. Hal ini disebabkan ketergantungan bahasa (languange

dependency) tidak dapat dihindarkan dalam tindak tutur seorang

(8)

Masyarakat atau individu yang memiliki dua bahasa dan mempergunakannya dalam komunikasi dinamakan dwibahasawan. Haugen (melalui Suwito, 1985: 44) mengatakan bahwa seorang dwibahasawan sebagai tahu bahasa artinya bahwa seorang yang disebut dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa, ia cukup mengetahui secara pasif dua bahasa.

Menurut Sri Utari (1992: 104), terdapat dua macam kedwibahasaan yang terdapat di Indonesia.

1. Bahasa Indonesia dan bahasa daerah, dapat terjadi karena:

1.1 dalam Sumpah Pemuda 1928 penggunaan Bahasa Indonesia dikaitkan dengan perjuangan kemerdekaan dan nasionalisme;

1.2 bahasa-bahasa daerah mempunyai tempat yang wajar disamping pembinaan dan pengembangan bahasa dan kebudayaan Indonesia; 1.3 perkawinan campur antar suku;

1.4 perpindahan penduduk dari satu daerah satu ke daerah lain; 1.5 interaksi antar suku yakni perdagangan;

1.6 motivasi yang banyak didorong oleh kepentingan profesi.

2. Bahasa Indonesia dengan bahasa asing, seperti bahasa Inggris, memiliki tujuan diantaranya adalah:

2.1 untuk memperoleh pekerjaan yang layak;

2.2 untuk menunjang harga diri dan memberikan suatu status di masyarakat, karena adanya asosiasi dengan konsep orang terpelajar; 2.3 untuk mampu berperan serta dalam pembicaraan di forum

(9)

2.1.2.2. Campur Kode 2.1.2.2.1. Pengertian Kode

Suatu aktivitas bicara yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari seseorang melakukan pembicaraan sebenarnya mengirimkan kode-kode pada lawan bicaranya (Pateda, 1991: 83). Pengkodean itu melalui proses yang terjadi kepada pembicara maupun mitra bicara. Kode-kode yang dihasilkan oleh tuturan tersebut harus dimengerti oleh kedua belah pihak. Di dalam proses pengkodean jika mitra bicara atau pendengar memahami apa yang dikodekan oleh lawan bicara, maka ia pasti akan mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan apa yang disarankan oleh penutur. Tindakan itu misalnya dapat berupa pemutusan pembicaraan atau pengulangan pernyataan (Pateda, 1991: 84).

(10)

demikian ragam bahasa yang mewadahinyapun sejajar dengan situasi yang mewadahi yaitu ragam formal, ragam informal, ragam sakral.

Dalam percakapan sehari-hari, sering dijumpai penggunaan bahasa yang berbeda-beda antar kelompok atau dalam urusan tertentu yang berbeda. Varian bahasa seperti itu disebut register. Jadi register adalah varian bahasa yang perbedaannya ditentukan oleh peristiwa bicara (speech

event). Register tidak ditentukan oleh unsur-unsur bahasa yang

perbedaannya ditentukan oleh unsurunsur bahasa seperti fonem, morfem, kalimat, leksikon maupun tipe struktur wacana secara keseluruhan. Ragam, tingkat tutur dan register merupakan kode tutur.

Kode tutur merupakan varian bahasa yang secara nyata dipakai oleh masyarakat bahasa yang bersangkutan (Poejosoedarmo, 1978: 5). Bagi masyarakat dwibahasawan, hal tersebut meliputi varian dari dua bahasa. Jadi dalam kode itu terdapat suatu pembatasan umum yang membatasai pemakaian unsur-unsur bahasa tersebut. Dengan demikian pemakaian unsur-unsur tersebut memiliki keistimewaan-keistimewaan. Keistimewaan itu antara lain terdapat pada bentuk, distribusi dan frekuensi unsur-unsur bahasa itu. Kode tutur bukan merupakan unsur kebahasaan seperti fonem, morfem, kata, ungkapan, frase, kalimat atau wacana, tetapi keberadaannya ditentukan oleh unsur-unsur kebahasaan tersebut.

(11)

2.1.2.2.2. Pengertian Campur Kode

Pemilihan sebuah kode tertentu merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari masyarakat dwibahasa ataupun multibahasa. Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (code switching), campur kode (code mixing), dan interferensi (interference). Dengan kata lain, ketiga gejala tersebut merupakan gejala yang lazim terjadi sebagai produk bilingualisme/ multilingualisme.

Demikian juga yang terjadi dalam proses pembelajaran, kontak bahasa mungkin akan dilakukan oleh guru. Salah satu jenis pilihan bahasa yang mungkin dilakukan adalah dengan campur kode (code mixing). Dalam campur kode penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu (Sumarsono, 2009: 202).

Pembicaraan mengenai campur kode ini tidak lepas dengan pembicaraan mengenai alih kode, karena kedua peristiwa yang lazim terjadi di masyarakat bilingual ini mempunyai kesamaan yang besar, sehingga seringkali sukar dibedakan. Kesamaan yang ada antara lain alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur (Chaer, 2004: 114). Perbedaan keduanya, banyak ragam yang berpendapat.

(12)

lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi bila kalusa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari kalusa-klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode (dalam Chaer, 2004: 115).

Fasold, membedakan campur kode dengan alih kode dengan criteria gramatika. Apabila seseorang yang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, maka melakukan campur kode. Tetapi apabila satu klausa menggunakan struktur gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menurut struktur gramatika lain, maka peristiwanya adalah alih kode (dalam Chaer, 2004: 115).

Nababan (1993: 25) memberikan batasan campur kode sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. Ciri yang menonjol dalam peristiwa campur kode adalah kesantaian atau situasi informal. Jadi, campur kode umumnya terjadi saat berbicara santai, sedangkan pada situasi formal hal ini jarang sekali terjadi. Apabila dalam situasi formal terjadi campur kode, hal ini disebabkan tidak adanya istilah yang merujuk pada konsep yang dimaksud. Seperti telah disebutkan bahwa kode dapat berupa idiolek, dialek, register, tindak tutur, ragam, dan registrasi, maka unsur-unsur yang bercampur pun dapat berupa varian bahasa maupun bahasa itu sendiri (Nababan, 1993: 32).

(13)

Kemampuan komunikatif menurut Nababan (1993: 10) adalah kemampuan untuk memilih dan menggunakan satuan-satuan bahasa itu disertai dengan aturan-aturan penggunaan bahasa dalam suatu masyarakat bahasa. Menurut Suwito (1985: 401) bahwa campur kode adalah penyusupan unsur-unsur kalimat dari suatu bahasa kedalam bahasa yang lain, berwujud kata, frasa, pengulangan kata, ungkapan atau idiom.

Banyaknya pendapat mengenai perbedaan dan persamaan campur kode dengan alih kode menimbulkan sulitnya memahami perbedaan keduanya. Made (2010: 79-80) memberikan kesimpulan perbedaan campur kode (code mixing) dengan alih kode (code switching) berdasarkan beberapa kriteria.

1. Unsur kebahasaan (gramatikal), dikatakan sebagai code mixing adalah apabila ada satu bahasa yang dimasuki unsur-unsur/serpihan-serpihan bahasa lain.

2. Topiknya, apabila terjadi masih dalam topik yang sama dinamakan code mixing, tetapi apabila sudah berbeda topik atau ada perubahan topic pembahasan, maka dinamakan code switching.

3. Bahasanya, apabila yang digunakan adalah penyisipan frase atau kelompok kata-kata dinamakan code mixing, tetapi apabila yang terjadi berubah/pindah ke bahasa lain, maka dinamakan code switching.

(14)

5. Kelancaran, apabila penuturnya berbicara lancar dinamakan code mixing, dan apabila penuturnya kurang lancer maka yang terjadi adalah code switching.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa campur kode muncul apabila penggunaan dua bahasa (varian) atau lebih, dalam tindak tutur dengan penyusupan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam yang lain dalam batas-batas linguistik tertentu, masih dalam satu topic pembicaraan, biasanya dalam situasi informal walaupun dapat terjadi pada situasi yang formal dengan memperhatikan pada kelancaran penutur menggunakan bahasanya.

2.1.2.2.3. Tipe Campur Kode

Campur kode diklasifikasikan menjadi dua yaitu, campur kode bersifat ke dalam (internal) dan campur kode bersifat ke luar (eksternal) (Suwito, 1985: 76). Dikatakan campur kode ke dalam (internal) apabila antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran masih mempunyai hubungan kekerabatan secara geografis maupun secara geanologis, bahasa yang satu dengan bahasa yang lain merupakan bagian-bagian sehingga hubungan antarbahasa ini bersifat vertikal. Bahasa yang terlibat dalam campur kode internal umumnya masih dalam satu wilayah politis yang berbeda.

Contoh campur kode ke dalam (internal) dalam dialog (2) berikut: (2)“Nanti masnya matur dulu aja ke orang tua, kalo biayanya kurang

(15)

Kata matur pada teks tersebut adalah bentuk campur kode, penggunaan kata matur sebenarnya bisa dihindari sebab kata tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia, penggunaan kata matur sesuai dengan budaya yang berlaku di daerah tempat tuturan terjadi. Kata matur menunjukan perwujudan kedaerahan yaitu Jawa. Bahasa Jawa adalah bahasa yang hidup dalam wilayah politik sama dengan bahasa Indonesia, Bahasa Jawa juga memiliki hubungan genetis dengan bahasa Indonesia. Dengan demikian terbukti bahwa data tersebut adalah campur kode internal atau ke dalam.

Dikatakan campur kode eksternal apabila antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran tidak mempunyai hubungan kekerabatan, secara geografis, geanologis ataupun secara politis. Campur kode eksternal ini terjadi diantaranya karena kemampuan intelektualitas yang tinggi, memancarkan nilai moderat. Dengan demikian hubungan campur kode tipe ini adalah keasingan antar bahasa yang terlibat.

Contoh campur kode eksternal dalam dialog (3) berikut:

(3) “Data-data yang ada di phone memory kemungkinan akan hilang seperti nomer-nomer telepon, pesan, kalender dan catatan”.

(16)

2.1.2.2.4. Bentuk – bentuk Campur Kode

Menurut Suwito (1985: 78) selain tipe-tipe campur kode juga memiliki wujud yang ditentukan oleh wujud bahasa tercampur yaitu seberapa besar unsur bahasa tercampur menyusup ke dalam bahasa utama. Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat didalamnya, campur kode dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain penyisipan unsur yang berupa kata, penyisipan unsur berupa frase, penyisipan unsur berupa klausa, penyusupan unsur berupa perulangan kata dan penyusupan unsur berupa ungkapan.

2.1.2.2.5. Latar Belakang Terjadinya Campur Kode

Suwito (1985: 77-78) memberi batasan tentang faktor penyebab campur kode berasal dari latar belakang terjadinya campur kode, yakni tipe -tipe yang berlatar belakang pada sikap atau non-kebahasaan dan tipe yang berlatar belakang pada kebahasaan. Dari latar belakang tersebut maka dapat diidentifikasi faktor – faktor penyebab terjadinya campur kode sebagai berikut :

1. identifikasi peranan yang ukurannya adalah sosial, registeral, edukasional;

2. identifikasi ragam yang ditentukan oleh bahasa yang dipakai seseorang didalam peristiwa campur kode, berdasarkan kedudukan dalam status sosialnya;

(17)

Faktor penyebab terjadinya campur kode yaitu (1) kesantaian penutur (2) situasi formal (3) kebiasaan (4) tidak ada ungkapan yang tepat dalam bahasa yang sedang dipakai (Nababan, 1993:32) Dari pendapat di atas tampak persamaan dan perbedaan dalam memandang campur kode. Persamaannya bahwa campur kode merupakan percampuran dua bahasa (varian) atau lebih dalam tindak tutur. Perbedaannya yaitu masing-masing pada batas-batas linguistik campur kode

Weinreich (1963) menjelaskan mengapa seseorang harus meminjam kata-kata dari bahasa lain. Hal ini pada dasarnya memiliki dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor Internal adalah faktor yang menunjukan bahwa seseorang meminjam kata dari bahasa lain karena dorongan yang ada dalam dirinya. Adapun faktor tersebut meliputi tiga macam sebagaimana tersebut di bawah ini.

1. Menghindari kata yang jarang dipakai (Low frequency of word)

(18)

2. Memecahkan masalah homonym (Pernicious Homonymy)

Kata-kata yang dipinjam dari bahasa lain juga digunakan untuk memecahkan masalah homonim yang ada dalam bahasa penutur. Maksudnya adakalanya jika penutur menggunakan kata dalam bahasanya sendiri, maka kata tersebut dapat menimbulkan masalah homonim yaitu makna ambigu. Sehingga untuk menghindari keambiguan makna penutur menggunakan kata dari bahasa lain.

3. Menggunakan sinonim kata (Need for Synonim)

Penutur sengaja menggunakan kata dari bahasa lain yang bersinonim dengan bahasa penutur dengan tujuan untuk menyelamatkan muka lawan tutur.

Faktor eksternal adalah suatu dorongan yang berasal dari luar penutur, yang menyebabkan penutur meminjam kata dari bahasa lain. Terdapat empat faktor eksternal sebagaimana berikut ini.

1. Perkembangan atau perkenalan dengan budaya baru (New culture) Faktor ini terjadi karena adanya perkembangan budaya baru misalnya perkembangan teknologi di Indonesia, mau tidak mau orang Indonesia banyak menggunakan bahasa Inggris karena banyak sekali alat-alat teknologi yang berasal dari negara asing. Atau pemakaian bahasa Jawa oleh para mahasiswa yang notabene tidak berasal dari Jawa.

2. Maksud tertentu (In Sufficiently Differentiated)

(19)

3. Status Sosial (Social Value)

Penutur mengambil kata dari bahasa lain dengan mempertimbangkan faktor sosial, sehingga diharapkan dengan penggunaan kata-kata tersebut dapat menunjukan status sosial dari penutur.

4. Keterbatasan kosa kata (Oversight)

Maksudnya ada keterbatasan kata-kata yang dimiliki oleh bahasa penutur dalam kaitannya dengan topik yang disampaikan sehingga penutur harus mengambil kata dari bahasa lain. Contohnya terbatasnya kata dalam bidang kedokteran dalam bahasa Indonesia, maka banyak istilah kedokteran yang diambil dari bahasa latin yang mempunyai istilah yang tepat dalam bidang kedokteran.

2.1.3. Tindak Tutur dan Pragmatik

Tindak tutur sebenarnya merupakan salah satu fenomena dalam masalah yang lebih luas, yang dikenal dengan istilah pragmatik. Tindak tutur (speech act) merupakan bagian dari peristiwa tutur (speech event). Kalau peristiwa tutur itu dalam bentuk praktis adalah wacananya, seperti sebuah percakapan, pidato, proses pembelajaran, dan lain-lain, maka tindak tutur merupakan unsur pembentukannya yang berupa tuturan dan tindakan/perbuatan tuturannya (Chaer, 2004: 50).

(20)

bagaimana pragmatik menyelidiki makna sebagai konteks, bukan sebagai sesuatu yang abstrak dalam komunikasi (Leech, 1993: 5). Konteks menjadi pijakan utama dalam analisis pragmatik. Konteks di sini termasuk masalah siapa yang mengatakan kepada siapa, tempat dan waktu diujarkannya suatu kalimat, anggapan-anggapan mengenai yang terlibat di dalam tindakan mengutarakan kalimat itu (Purwo, 1990: 14)

Jadi, makna yang dikaji oleh pragmatik adalah makna yang terikat konteks (contex dependent) atau dengan kata lain mengkaji maksud penutur untuk memahami maksud mitra tutur. Penutur dan mitra tutur dapat memanfaatkan pengalaman bersama (background knowledge) untuk memudahkan pengertian bersama.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat dipahami bahwa cakupan kajian pragmatik sangat luas, sehingga sering dianggap tumpang tindih dengan kajian wacana atau kajian sosiolinguistik. Suatu kajian pragmatik bukan hanya bentuk kata atau kalimat saja, melainkan juga konteks yang melingkupinya, penggunaannya dalam tindak tutur atau tindak ujaran (speech act), interaksi antara penutur dan lawan tutur. Untuk lebih jelasnya, berikut akan disajikan tentang aspek dan bentuk pragmatiknya.

2.1.3.1. Aspek Pragmatik

(21)

tuturan, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal.

2.1.3.1.1. Penutur dan mitra tutur

Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan mitra tutur adalah usia, latar belakang sosial, ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban.

2.1.3.1.2. Konteks

Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau latar belakang sosial yang sesuai dan tuturan yang bersangkutan. Dalam pragmatik konteks itu pada hakekatnya adalah semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur.

2.1.3.1.3. Tujuan tuturan

Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tuturan Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan satu maksud atau sebaliknya, satu maksud dapat disampaikan dengan beraneka ragam tuturan.

2.1.3.1.4. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas

(22)

2.1.3.1.5. Tuturan sebagai produk tindak verbal

Tuturan yang digunakan dalam pragmatik merupakan wujud dari tindak verbal. Oleh karena itu, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak verbal.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwasanya dalam melakukan ujaran ada beberapa aspek yang harus diperhatikan. Aspek-aspek tersebut akan berpengaruh pada keberterimaan dan keefektifan ujaran yang dilakukan, atau karena tidak dapat dipungkiri bahwa dalam memaknai suatu ujaran tidak dapat mengabaikan faktor-faktor di luar ujaran itu sendiri.

2.1.3.2. Bentuk Tindak Tutur

Searle (dalam Rohmadi, 2004: 29) menyebut tindak tutur sebagai produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari komunikasi linguistik yang dapat berwujud pernyataan, pertanyaan, perintah atau yang lainnya. Tindak tutur (speech act) adalah gejala individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu (Chaer, 2004: 49).

(23)

untuk menaruh perhatian saja, tidak usah melakukan apa-apa atau sekedar hanya memberitahukan. Kalimat interogatif adalah kalimat yang isinya meminta agar pendengar untuk member jawaban secara lisan. Kalimat imperatif adalah kalimat yang isinya meminta agar pendengar memberi tanggapan berupa tindakan atau perbuatan yang diminta.

(24)

sebagai pengusiran secara tidak langsung. Jadi kalimat deklaratif tersebut tidak hanya berfungsi untuk menyampaikan berita atau informasi, tetapi dapat pula digunakan untuk menyatakan perintah.

Demikian juga suatu fungsi komunikatif tertentu dapat dinyatakan dengan beberapa cara. Misalnya ada kalimat:

(4) Tutup pintu itu!,

(5) Bisakah pintu itu ditutup? (6) Saya agak kedinginan.

Kalimat-kalimat tersebut menunjukan bahwa suatu fungsi komunikatif dapat disampaikan dengan menggunakan konstruksi imperatif pada kalimat (4), konstruksi interogatif pada kalimat (5), dan konstruksi deklaratif pada kalimat (6).

(25)

Ramlan (1987: 31) menyatakan bahwa berdasarkan fungsinya dalam hubungannya dengan situasi, kalimat dapat digolongkan menjadi tiga, yakni (1) kalimat berita, (2) kalimat tanya, (3) kalimat suruh. Kalimat berita berfungsi untuk memberitahukan sesuatu kepada orang lain. Kalimat tanya berfungsi untuk menanyakan sesuatu, sedangkan kalimat suruh mengharapkan tanggapan yang berupa tindakan tertentu dari orang yang diajak berbicara.

Berbeda dengan pernyataan di atas, Kundjana (2005: 3) tentang fungsi komunikatif ini, menyebutnya dengan istilah makna pragmatik deklaratif, makna pragmatik interogatif, dan makna pragmatik imperatif. Hal ini digunakan, karena dianggap sosok ini memiliki cakupan makna yang jauh lebih luas manakala dibandingkan dengan istilah lainnya. Misalnya istilah imperatif jika dibandingkan dengan istilah memerintah atau menyuruh.

Oleh karena itu, makna pragmatik deklaratif dapat dinyatakan dengan konstruksi deklaratif. Makna pragmatik interogatif dapat dinyatakan dengan konstruksi interogatif. Makna pragmatik imperatif dapat dinyatakan dengan konstruksi imperatif. Dapat dikatakan demikian karena dalam kegiatan bertutur, misalnya makna pragmatik imperatif tidak hanya dapat dinyatakan dengan konstruksi imperatif, melainkan dapat pula dinyatakan dengan konstruksi-konstruksi lain.

(26)

tersebut pun erat hubungannya dengan jenis-jenis tindak tutur. Dilihat secara pragmatik, ada tiga jenis tindakan yang diwujudkan oleh seorang penutur, yaitu tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act) (Austin dalam Chaer, 2004 : 53). Yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. tindak lokusi, yaitu tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami (Chaer, 2004: 53). Searle dalam Wijana (1996: 17) mengatakan bahwa lokusi adalah tindak tutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu;

2. tindak ilokusi, yaitu tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat performatif yang eksplisit (Chaer, 2004: 53). Tindak tutur ilokusi ini biasanya berkenaan dengan pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan; 3. tindak perlokusi yaitu tindak tutur yang berkenaan dengan adanya

(27)

seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force) atau efek bagi yang mendengarkan.

Pendapat lain tentang tindak tutur ilokusi seperti yang disampaikan Rohmadi (2004: 31), adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu dan dipergunakan untuk melakukan sesuatu.

Searle (dalam Rahardi, 2005: 36) menggolongkan tindak tutur ilokusi ke dalam lima macam bentuk tuturan yang masing-masing memiliki fungsi komunikatif. Kelima macam bentuk tuturan itu adalah: 1) asertif, 2) direktif, 3) ekspresif, 4) komisif dan 5) deklaratif.

1. Asertif adalah bentuk tutur yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan.

2. Direktif adalah bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar mitra tutur melakukan tindakan.

3. Ekspresif adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan. 4. Komisif adalah bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan janji

atau penawaran.

5. Deklaratif adalah bentuk tutur yang menghubungkan bentuk tuturan dengan kenyataan.

2.2.Proses Pembelajaran

(28)

Indonesia, yang terfokus pada tuturan guru, maka akan diuraikan mengenai: 1) pengertian pembelajaran, 2) pembelajaran bahasa Indonesia, dan 3) guru.

2.2.1.Pengertian Pembelajaran

Pembelajaran adalah proses yang sengaja dirancang untuk menciptakan terjadinya aktivitas belajar dalam diri individu. Dengan kata lain, pembelajaran merupakan sesuatu hal yang bersifat eksternal dan sengaja dirancang untuk mendukung terjadinya proses belajar internal dalam diri individu (Benny A. Pribadi, 2009: 6-7). Pengertian pembelajaran menurut Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

(29)

lingkungan sekolah yang kondusif sebagai wahana tempat proses pembelajaran.

Suatu pembelajaran dapat berjalan dengan efektif bila seluruh komponen yang berpengaruh dalam proses pembelajaran saling mendukung dalam rangka mencapai tujuan. Komponen-komponen yang berpengaruh dalam proses pembelajaran adalah guru, siswa, sarana-prasana, dan lingkungan (Dirjen Dikmenum, 1994).

Guru adalah komponen yang sangat menentukan dalam implemen-tasi pembelajaran. Tanpa guru, bagaimanapun bagus dan idealnya suatu strategi, maka strategi itu tidak mungkin dapat diaplikasikan. Keberhasilan implementasi suatu strategi pembelajaran akan tergantung pada kepiawaian guru dalam menggunakan metode, teknik dan taktik pembelajaran. Mengingat kajian penelitian ini terfokus pada guru dalam pembelajaran, maka mengenai guru akan dibahas lebih rinci dalam bagian lain.

Siswa adalah organisme yang unik yang sedang berkembang sesuai dengan tahap perkembangannya. Perkembangan anak adalah perkembangan seluruh aspek kepribadiannya, akan tetapi tempo dan irama perkembangan masing-masing anak pada setiap aspek tidak selalu sama. Proses pembelajaran dapat dipengaruhi oleh perkembangan anak yang tidak sama itu, disamping karakteristik lain yang melekat pada diri anak.

(30)

prasarana adalah segala sesuatu yang secara tidak langsung dapat mendukung keberhasilan proses pembelajaran, misalnya : jalan menuju sekolah, penerangan sekolah, kamar kecil dan lain sebagainya. Kelengkapan sarana dan prasarana akan membantu guru dalam penyelenggaraan proses pembelajaran. Dengan demikian sarana dan prasarana merupakan komponen penting yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran.

Dilihat dari dimensi lingkungan ada dua faktor yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran, yaitu organisasi kelas dan faktor iklim sosio-psikologis. Faktor organisasi kelas yang didalamnya meliputi jumlah siswa dalam satu kelas merupakan aspek penting yang dapat mempengaruhi pembelajaran. Organisasi kelas yang terlalu besar akan kurang efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran. Faktor iklim sosio-psikologis maksudnya adalah keharmonisan hubungan antara orang yang terlibat dalam proses pembelajaran. Iklim sosial ini dapat terjadi secara internal atau eksternal. Secara internal adalah hubungan antara orang yang terlibat dalam lingkungan sekolah, misalnya antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, guru dengan guru, bahkan antara guru dengan pimpinan sekolah. Secara eksternal adalah hubungan yang harmonis antara pihak sekolah dengan dunia luar, misalnya antara sekolah dengan orang tua siswa, dengan lembaga-lembaga masyarakat, dan lain sebagainya.

(31)

Gambar 1: Skema komponen-komponen yang berpengaruh dalam proses pembelajaran.

(Sumber Dirjen Pendidikan Menengah Umum, 1994) 2.2.2.Pembelajaran Bahasa Indonesia

Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pebelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis (Depdikbud, 1995). Hal ini relevan dengan kurikulum 2004 bahwa kompetensi pebelajar bahasa diarahkan ke dalam empat subaspek, yaitu membaca, berbicara, menyimak, dan mendengarkan.

Tujuan pembelajaran bahasa, menurut Basiran (1999) adalah keterampilan komunikasi dalam berbagai konteks komunikasi. Kemampuan yang dikembangkan adalah daya tangkap makna, peran, daya tafsir, menilai,

(32)

dan mengekspresikan diri dengan berbahasa. Kesemuanya itu dikelompokkan menjadi kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan. Sementara itu, dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) untuk SMP dan MTs, disebutkan bahwa tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia secara umum meliputi: 1) berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis, 2) menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, 3) memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan, 4) menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial, 5) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, 6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

(33)

untuk mendukung proses pemerolehan bahasa, 4) ia disebarkan dalam data sosiokultural dan pengalaman langsung dengan budaya menjadi bagian dari bahasa sasaran, 5) jika menyadari akan peran dan hakikat bahasa dan budaya, 6) jika diberi umpan balik yang tepat menyangkut kemajuan mereka, dan 7) jika diberi kesempatan untuk mengatur pembelajaran mereka sendiri (Aminuddin, 1994).

2.2.3.Guru

Guru sebagai sosok panutan, yang memiliki moral dan agama yang patut ditiru dan diteladani oleh siswa di dalam maupun di luar kelas. Alat pendidikan yang diharapkan akan membentuk kepribadian siswa kelak di masa dewasa. Dalam hal ini guru dipandang sebagai role model yang akan digugu dan ditiru oleh peserta didiknya (Suparlan, 2006: 32).

Guru harus banyak menggunakan waktunya untuk berhubungan dengan peserta didik, tidak saja karena jauh dari kondisi komunikasi yang ideal di kebanyak kelas, tetapi juga karena hakikat mengajar itu sendiri. Ujaran guru dikarakterisasi dengan banyaknya ujaran yang menindakan tindak tutur, yaitu menginformasikan, menjelaskan, mendefinisikan, menanyakan, membenarkan,, menarik perhatian, dan memerintah (Ibrahim, 1993: 211).

2.2.3.1. Kompetensi Guru

(34)

melatih. Keempat kemampuan tersebut secara terminologis akademis dapat dibedakan antara yang satu dengan lainnya. Namun, dalam kenyataan praktik di lapangan, keempat hal tersebut harus menjadi satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan (Suparlan, 2006: 29).

Mengingat kajian penelitian ini mengenai tuturan guru yang terjadi dalam proses pembelajaran atau ketika guru sedang mengajar, maka penulis akan menjelaskan mengenai ketrampilan mengajar guru. Keterampilan mengajar (teaching skills) dapat dilatihkan melalui micro-teaching yang harus dikuasai terlebih dahulu oleh calon guru sebelum melakukan proses pembelajaran di lembaga pendidikan (Usman, 2006: 74). Adapun keterampilan mengajar tersebut antara lain: keterampilan bertanya (questioning skills), keterampilan memberi penguatan (reinforcement skills), keterampilan mengadakan variasi (variation skills), keterampilan menjelaskan (explaning skills), keterampilan membuka dan menutup pelajaran (set induction an closure), keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil, keterampilan mengelola kelas, dan keterampilan mengajar perseorangan.

2.2.3.1.1. Keterampilan bertanya (questioning skills)

(35)

siswa tetapi juga pada suasana kelas baik sosial maupun emosional (Djamarah, 2005: 99).

Menurut Usman (2006: 77-79) keterampilan bertanya ada dua yaitu keterampilan bertanya dasar dan keterampilan bertanya lanjutan. 1. Komponen-komponen keterampilan bertanya dasar, yaitu:

 Penggunaan pertanyaan secara jelas dan singkat  Pemberian acuan

 Pemindahan giliran  Penyebaran

 Pemberian waktu berfikir  Pemberian tuntutan

2. Komponen-komponen keterampilan bertanya lanjutan, yaitu:

 Pengubahan tuntutan tingkat kognitif dalam menjawab pertanyaan

 Pengaturan urutan pertanyaan  Penggunaan pertanyaan pelacak  Peningkatan terjadinya interaksi

2.2.3.1.2. Keterampilan memberi penguatan (reinforcement skills)

(36)

bagi si penerima (siswa) atas perbuatannya sebagai suatu tindak dorongan ataupun koreksi (Usman, 2006: 80)

Pemberian respon dalam proses interaksi educatif disebut “pemberian penguatan”, karena hal tersebut akan membantu sekali dalam meningkatkan hasil belajar siswa (Djamarah, 2005: 118).

Usman (2006: 81), penguatan mempunyai pengaruh yang berupa sikap positif terhadap proses belajar siswa dan bertujuan sebagai berikut :

1. meningkatkan perhatian siswa terhadap pelajaran; 2. merangsang dan meningkatkan motivasi belajar;

3. meningkatkan kegiatan belajar dan membina tingkah laku siswa yang produktif.

Dalam memberikan penguatan diperlukan penggunaan komponen keterampilan yang tepat. Komponen tersebut ada enam. 1. Penguatan verbal

Pujian dan dorongan yang diucapkan oleh guru untuk merespon tingkah laku siswa adalah penguatan verbal.

2. Penguatan gestural

(37)

3. Penguatan kegiatan

Penguatan dalam bentuk kegiatan ini banyak terjadi bila guru menggunakan suatu kegiatan atau tugas, sehingga dapat memilihnya/menikmati sebagai suatu hadiah atas suatu pekerjaan atau penampilan sebelumnya.

4. Penguatan mendekati

Perhatian guru kepada siswa menunjukan bahwa guru tertarik, secara fisik guru mendekati siswa dapat dikatakan sebagai penguatan mendekati. Penguatan mendekati siswa secara tisik dipergunakan untuk memperkuat penguatan verbal, penguatan tanda dan penguatan sentuhan.

5. Penguatan sentuhan

Penguatan gentuhan merupakan penguatan yang terjadi bila guru secara fisik menyentuh siswa, misal menepuk bahu, berjabatangan yang semuanya ditunjukan untuk penghargaan penampilan tingkah laku atau kerja siswa.

6. Penguatan tanda

(38)

2.2.3.1.3. Keterampilan mengadakan variasi (variation skills)

Variasi stimulus adalah suatu kegiatan guru dalam konteks proses intelektual belajar-mengajar yang ditujukan untuk mengatasi kebosanan murid sehingga dalam situasi belajar-mengajar, murid senantiasa menunjukkan ketekunan, antusiasme, serta penuh partisipasi. Tujuan dan manfaat adalah :

1. untuk menimbulkan dan meningkatkan perhatian siswa kepada aspek-aspek belajar-mengajar yang relevan;

2. untuk memberikan kesempatan bagi berkembangnya bakat ingin mengetahui dan menyelidiki pada siswa tentang hal yang baru; 3. untuk memupuk tingkah laku yang positif terhadap guru dan

sekolah;

4. guna memberi kesempatan kepada siswa untuk memperoleh cara menerima pelajaran yang disenangi.

Komponen-komponen keterampilan mengadakan variasi : 1. variasi dalam cara mengajar guru

 penggunaan variasi suara (teacher voice)  pemusatan perhatian siswa (focusing)

(39)

 mengadakan kontak pandang dan gerak (eye contact and movement)

 gerakan badan mimik

 pergantian posisi guru di dalam kelas dan gerak guru (teachers movement)

2. variasi dalam penggunaan media dan alat pengajaran  variasi alat atau bahan yang dapat dilihat (visual aids)  variasi alat atau bahan yang dapat didengar (audtif aids)

 variasi alat atau bahan yang dapat diraba, dimanipulasi, dan digerakan (motorik)

 variasi alat atau bahan yang dapat didengar, dilihat, dan diraba (audio visual aids)

3. variasi pola interaksi dan kegiatan siswa

 pola guru-murid, yaitu komunikasi sebagai aksi satu arah)  pola guru-murid-guru, yaitu ada balikan (feedback) bagi guru,

tidak ada interaksi antarsiswa (komunikasi sebagai interaksi)  pola guru-murid-murid, yaitu ada balikan bagi guru, siswa

saling belajar satu sama lain.

(40)

 pola melingkar, yaitu setiap siswa mendapat giliran untuk mengemukakan sambutan atau jawaban, tidak diperkenankan berbicara dua kali apabila setiap siswa belum mendapat giliran. 2.2.3.1.4. Keterampilan menjelaskan (explaning skills)

Menurut Djamarah (2005: 131) keterampilan menjelaskan adalah pemberian informasi secara lisan yang diorganisasikan secara sistematis untuk menunjukan adanya hubungan sebab akibat, antara yang sudah dialami dan yang belum dialami, antara generalisasi dengan konsep, antara konsep dengan data atau sebaliknya.

Penyampaian informasi yang terencana dengan baik dan disajikan dengan urutan yang cocok merupakan ciri utama kegiatan menjelaskan. Pemberian penjelasan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dari kegiatan guru dalam interaksinya dengan siswa di dalam kelas (Usman, 2006: 89)

Menurut Djamarah (2005: 131) tujuan memberikan penjelasan adalah:

1. membimbing anak didik untuk dapat memahami hukum, dan fakta secara benar;

2. melibatkan anak didik untuk berfikir memecahkan masalah atau pertanyaan;

(41)

2.2.3.1.5. Keterampilan membuka dan menutup pelajaran (set induction an closure)

Yang dimaksud dengan set induction ialah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh guru dalam kegiatan belajar-mengajar untuk menciptakan prokondisi bagi murid agar mental maupun perhatian terpusat pada apa yang akan dipelajarinya sehingga usaha tersebut akan memberikan efek yang positif terhadap kegiatan belajar (Usman, 2006: 90-107). Komponen keterampilan membuka dan menutup pelajaran adalah seperti berikut ini.

1. Membuka pelajaran

Komponen keterampilan membuka pelajaran meliputi :  menarik perhatian siswa

 menimbulkan motivasi  memberi acuan

 membuat kaitan atau hubungan di antara materi-materi yang akan dipelajari dengan pengalaman dan pengetahuan yang telah dikuasai siswa.

2. Menutup pelajaran

Cara yang dapat dilakukan oleh guru dalam menutup pelajaran adalah :

 Meninjau kembali penguasaan inti pelajaran dengan merangkum inti pelajaran dan membuat ringkasan.

(42)

2.2.3.1.6. Keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil

Diskusi kelompok adalah suatu proses teratur yang melibatkan sekelompok orang dalam interaksi tatap muka informal dengan berbagai pengalaman atau informasi, pengambilan kesimpulan, atan pemecahan masalah. Dalam kegiatan belajar mengajar pengertian diskusi kelompok tidak jauh berbeda. Komponen keterampilan membimbing diskusi meliputi :

1. memusatkan perhatian siswa pada tujuan dan topik diskusi; 2. memperluas masalah atau urunan pendapat;

3. menganalisis pandangan siswa; 4. meningkatkan urunan siswa;

5. menyebarkan kesempatan berpartisipasi; 6. menutup diskusi.

2.2.3.1.7. Keterampilan mengelola kelas

Pengelolaan kelas adalah keterampilan guru untuk menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang optimal, serta mengembalikan-nya bila terjadi gangguan dalam proses belajar mengajar. Komponen keterampilan mengelola kelas diantaranya sebagai berikut.

1. Keterampilan yang berhubungan dengan penciptaan dan pemeliharaan kondisi belajar yang optimal (bersifat preventif).  Memberi perhatian.

(43)

 Memberikan petunjuk-petunjuk yang jelas.  Menegur

 Memberi penguatan

2. Keterampilan yang berhubungan dengan pengembalian kondisi belajar yang optimal.

 Modifikasi tingkah laku, guru hendaknya menganalisis tingkah laku siswa yang mengalami masalah atau kesulitan dan berusaha memodifikasi tingkah laku tersebut dengan mengaplikasikan pemberian penguatan secara sistematis.

 Guru dapat menggunakan pendekatan pemecahan masalah kelompok dengan cara: Memperlancar tugas-tugas dan Memelihara kegiatan-kegiatan kelompok

 Menemukan dan memecahkan tingkah laku yang menimbulkan masalah.

 Guru dapat menggunakan seperangkat cara untuk mengendalikan tingkah laku keliru yang muncul, dan ia mengetahui sebab-sebab dasar yang mengakibatkan ketidakpatutan tingkah laku tersebut serta berusaha untuk menemukan pemecahannya.

2.2.3.1.8. Keterampilan mengajar kelompok kecil dan perseorangan

(44)

hubungan yang lebih akrab antara guru dan siswa maupun antara siswa dengan siswa.

Komponen keterampilan mengajar kelompok kecil dan perseorangan :

1. keterampilan mengadakan pendekatan secara pribadi; 2. keterampilan mengorganisasi;

3. keterampilan membimbing dan memudahkan belajar;

4. keterampilan merencanakan dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar.

Untuk mengimplementasikan keterampilan-keterampilan mengajar, dalam proses pembelajaran guru melakukan pemilihan variasi bahasa yang tepat, agar proses interaksi guru dengan peserta didik dapat berlangsung secara harmonis. Pemilihan variasi bahasa tersebut, diantaranya adalah munculnya campur kode, baik antara bahasa Indonesia dengan bahasa daerah (Jawa) maupun dengan asing dalam tuturan-tuturanya.

(45)

2.2.3.2. Pelaksanaan Pembelajaran Guru

Pelaksanaan pembelajaran adalah langkah-langkah yang harus dilakukan seorang guru ketika berada di depan peserta didik. Menurut Standar Proses Pendidikan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 tahun 2007, pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari rencana pelaksanaan pembelajaran yang meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup.

2.2.3.2.1. Kegiatan Pendahuluan

Dalam kegiatan pendahuluan, guru :

1. menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran;

2. mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari;

3. menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai;

4. menyampaikan cakupan materi dan penjelasanuraian kegiatan sesuai silabus.

2.2.3.2.2. Kegiatan Inti

(46)

kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.

2.2.3.2.2.1. Eksplorasi

Dalam kegiatan eksplorasi, guru:

1. melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber;

2. menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain;

3. memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya;

4. melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran; dan

5. memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan.

2.2.3.2.2.2. Elaborasi

Dalam kegiatan elaborasi, guru:

(47)

melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna;

2. memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis;

3. memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut;

4. memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif can kolaboratif;

5. memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar;

6. rnenfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan balk lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok;

7. memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok;

8. memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan;

9. memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik. 2.2.3.2.2.3. Konfirmasi

Dalam kegiatan konfirmasi, guru:

(48)

peserta didik,

2. memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber,

3. memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan,

4. memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar:

berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menja-wab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar;

membantu menyelesaikan masalah;

memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi;

memberi informasi untuk bereksplorasi Iebih jauh;

memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.

2.2.3.2.3. Kegiatan Penutup

Dalam kegiatan penutup, guru:

1. bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan pelajaran;

2. melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram;

(49)

pembelajaran;

4. merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas balk tugas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik;

5. menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.

2.3.Kajian Penelitian yang Relevan

Penelitian mengenai campur kode telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, yakni:

(50)

kode dalam peristiwa tutur pada masyarakat Banyumas, 6) variasi campur kode berdasarkan bahasa meliputi campur kode dengan dasar bahasa Indonesia, bahasa Jawa Ngoko, dan bahasa Jawa Kromo yang masing-masing dapat berupa kata, frase, dan klausa, dan 7) terdapat beberapa faktor sosial yang menentukan terjadinya campur kode.

2. Dewi Aminah (2006), dengan fokus penellitian pada kedwibahasaan yang terjadi pada Kader Bina Keluarga Balita di desa Cibinong Kecamatan Jatiluhur Kabupaten Purwakarta, ini dengan metode deskritif analisis. Dewi telah meneliti secara mendalam menghasilkan temuan bahwa ragam bahasa lisan kader Bina Kelurga Balita memiliki karakter tersendiri, seperti terjadi campur kode dan muncul bentuk-bentuk yang tidak baku. Campur kode dan alih kode ke dalam bahasa daerah muncul sebagai penjelas kata atau kalimat bahasa Indonesia yang timbul secara sengaja. 3. Yulia Mutmainnah (2008), dalam penelitian deskriptif kualitatif ini

(51)

faktor-faktor penentu berupa: 1) ranah, 2) peserta tutur, dan 3) norma. Pada alih kode dengan kode dasar BI, muncul variasi alih kode BJ dan BA. Pada alih kode dengan kode dasar BJ, muncul variasi alih kode BI. Campur kode pada masyarakat tutur Jawa memunculkan campur kode dengan kode BI, BJ, BA dan BL. Didasarkan pada jenis situational code-switching, perubahan bahasa terjadi karena: 1) perubahan situasi tutur, 2) kehadiran orang ketiga, dan 3) peralihan pokok pembicaraan, sedangkan pada metaphorical codeswitching perubahan bahasa terjadi karena penutur ingin menekankan apa yang diinginkannya. Campur kode terjadi karena: 1) keterbatasan penggunaan kode, dan 2) penggunaan istilah yang lebih populer.

Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, penelitian mengenai kajian sosiolinguistik terhadap campur kode perlu dikaji lebih lanjut.

2.4.Kerangka Berpikir

(52)

bahwa sebagian besar anggota guru dan siswa-siswanya memiliki bahasa ibu bahasa Jawa. Sehingga dengan bahasa pengantar dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, serta adanya istilah-istilah asing yang digunakan sebagai materi pembelajaran, maka akan muncul fenomena pilihan bahasa berupa campur kode bahasa Indonesia, dengan bahasa Jawa dan bahasa Asing.

Dengan kenyataan yang demikian, maka kerangka pikir peneliti pada penelitian ini adalah adanya kontak bahasa dalam pembelajaran khususnya pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, maka terjadi pilihan bahasa yang salah satunya adalah campur kode. Kemunculan campur kode ini selanjutnya dikaji dan dianalisis bentuknya, latar belakang munculnya, dan fungsi kemunculan-nya dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 1 Kedungbanteng.

Untuk memudahkan uraian mengenai kajian campur kode dalam pembelajaran, dapat digambarkan kerangka berpikir sebagai berikut:

Gambar

Gambar 1: Skema komponen-komponen yang berpengaruh
Gambar 2 : Kerangka Pikir

Referensi

Dokumen terkait

Table data yang lebih beralasan ( grounded) dapat membuat kesimpulan yang menjamin validitas instrument dan data. Untuk mendapat data dan informasi dengan cara

Kolom catatan untuk kompetensi sikap spiritual dan sikap sosial diisi dengan capaian KD dari KI-1 (yang menonjol) dan KD yang perlu ditingkatkan pada setiap mata pelajaran.

Hasil pengamatan hilal yang dilakukan pada tanggal 24 Juni 2017 pukul 17.43 di stasiun Geofisika Kupang berhasil diperoleh gambar bulan baru (new moon) 1 Syawal 1438H..

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mengklasifikasi pergeseran kesatuan (unit shift) kalimat- kalimat dalam subtitle film Son of God dan (2) mendeskripsikan tingkat

Data hasil observasi dalam penelitian upaya meningkatkan hasil belajar siswa pada materi jajargenjang dengan menggunakan metode penemuan terbimbing di kelas IV

Hal ini berarti diketahui bahwa variabel profitabilitas, likuiditas, ukuran perusahaan, tingkat pertumbuhan perusahaan dan leverage operasi secara bersama – sama

Pelaksanaan model belajar konstruktivisme dalam pembelajaran menulis bahasa Indonesia di kelas II SMP menunjukkan bahwa di kelas kuasi eksperimen 1 dan 2, kemampuan menulis

Keluarga adalah faktor paling penting dalam kehidupan seorang anak sebagian besar masa depan anak-anak adalah bergantung kepada kesanggupan keluarga membina dengan