• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Ketahanan Pangan

Menurut UU No 7 tahun 1997, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah ataupun produk turunannya yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia karena pemenuhan kebutuhan pangan merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hal ini berarti negara bertanggungjawab memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk. Pemenuhan kebutuhan pangan sangat penting bagi komponen dasar untuk membentuk sumberdaya manusia yang berkualitas. Konsumsi pangan dan gizi yang cukup dan seimbang menjadi syarat bagi perkembangan organ fisik manusia sejak dalam kandungan yang selanjutnya berpengaruh terhadap perkembangan intelegensia maupun kemampuan fisiknya. Sumberdaya manusia yang berkualitas akan menjadi tulangpunggung bagi tumbuh kembang suatu bangsa dalam pembangunan ekonomi, sosial, maupun politik. Oleh karena itu ketahanan pangan merupakan salah satu pilar bagi pembangunantersebut (DKP 2006).

Menurut UU Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996, ketahanan pangan merupakan suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau. Adapun pemenuhan kebutuhan pangan sendiri ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, dan pemerintah bersama masyarakat agar terwujudnya ketahanan pangan. Suryana (2004) menyatakan bahwa negara atau wilayah mempunyai ketahanan pangan yang baik apabila mampu menyelenggarakan pasokan pangan yang stabil dan berkelanjutan bagi seluruh penduduknya, dan masing-masing rumahtangga mampu memproleh pangan sesuai kebutuhannya.

Salah satu dokumen kebijakan pembangunan pangan adalah Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) yang disusun oleh Dewan Ketahanan Pangan (DKP). KUKP diharapkan menjadi panduan bagi pemerintah, swasta, dan

(2)

masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan ketahanan pangan tingkat rumahtangga, wilayah, dan nasional. Salah satu dari 15 elemen penting yang dituangkan dalam KUKP adalah melakukan diversifikasi pangan. Adapun salah satu dari enam rencana program elemen ini adalah melakukan peningkatan diversifikasi konsumsi pangan dengan prinsip gizi seimbang. UU No 32 tahun 2004 memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk lebih banyak mengatur dan mengelola pembangunan daerah, termasuk pembangunan ketahanan pangan. Ketahanan pangan merupakan urusan wajib pemerintah daerah sesuai dengan pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintah yang penyelenggaraannya berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM). SPM adalah sebuah kebijakan publik yang mengatur mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Pencapaian SPM dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah. Ketahanan pangan harus diupayakan secara optimal dan berkesinambungan sesuai dengan potensi masing-masing wilayah di semua Kabupaten/kota.

Peran pemerintah dalam era otonomi daerah adalah menyediakan fasilitas dan rambu-rambu bagi masyarakat untuk mengembangkan usaha produksi, pengolahan, dan perdagangan pangan secara efesien, adil, dan bertanggung jawab. Masyarakat berperan dalam mengelola kebutuhan pangannya secara swadaya, mengelola konsumsi sesuai kaidah kesehatan serta menerapkan budaya konsumsi yang hemat dan efisien di tingkat rumah tangga (Suryana 2004).

Menurut Suryana (2003), ketahanan pangan merupakan suatu sistem ekonomi pangan yang terintegrasi dan terdiri dari berbagai subsistem. Subsistem ini adalah ketersediaan pangan, subsistem distribusi pangan, dan subsistem konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dari ketiga subsistem tersebut. Suryana (2004) mengemukakan bahwa keberhasilan pembangunan ketiga subsistem ketahanan pangan tersebut perlu didukung oleh faktor-faktor inputberupa sarana, prasarana dan kelembagaan produksi, distribusi, pemasaran, pengolahan, dan sebagainya. Kemudiann juga perlu didukung oleh faktor-faktor penunjang seperti kebijakan, peraturan, pembinaan, dan pengawasan pangan. Ketahanan pangan dilaksanakan oleh banyak pelaku seperti produsen, pengolah, pemasar, dan konsumen. Output yang diharapkan dari pembangunan ketahanan pangan adalah terpenuhinya hak asasi manusia

(3)

akan pangan, meningkatnya kualitas sumberdaya manusia, meningkatnya ketahanan ekonomi, dan ketahanan nasional.

Ketersediaan Pangan

Ketersediaan pangan adalah sejumlah bahan makanan dan minuman yang tersedia untuk dikonsumsi setiap individu atau penduduk suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, baik dalam bentuk natural maupun dalam bentuk unsur gizinya. Kemudian menurut FAO (1984) ketersediaan pangan adalah tingkat dimana persediaan pangan dapat dimiliki oleh masyarakat yang tinggal disuatu negara, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan.

Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan antara ekspor dan impor pangan. Ketersediaan pangan harus dipertahankan sama atau lebih besar dari kebutuhan untuk konsumsi penduduk. Apabila keadaan ini tercapai maka ketahanan pangan di suatu daerah atau wilayah ditentukan oleh berbagai faktor seperti keragaan produksi pangan, tingkat kerusakan dan kehilangan pangan karena penanganan yang kurang tepat, dan tingkat ekspor/impor pangan.

Terjaminnnya ketersediaan pangan merupakan salah satu dimensi dari pengertian ketahanan pangan. Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas, dan tersebar antar wilayah, volume pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya serta stabil penyediaannya dari waktu ke waktu. Distribusi Pangan

Subsistem distribusi pangan mencakup aspek aksebilitas secara fisik dan ekonomi atas pangan secara merata. Akses pangan didefinisikan sebagai kemampuan rumahtangga untuk secara periodik memenuhi sejumah pangan yang cukup, melalui berbagai sumber atau kombinasi cadangan pangan yang dimiliki, hasil produksi pangan, pembelian/ barter, pemberian, pinjaman dan bantuan pangan.

Akses pangan secara fisik ditunjukkan oleh kemampuan memproduksi pangan, infrastruktur dasar maupun kondisi sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan demikian akses fisik lebih bersifat kewilayahan dan dipengaruhi oleh ciri dan pengelolaan ekosistem. Akses pangan secara ekonomi menyangkut keterjangkauan masyarakat terhadap pangan yang ditunjukkan oleh harga, sumber mata pencaharian, dan pendapatan.

(4)

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Aspek konsumsi berfungsi mengarahkan rumahtangga agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kendungan gizi, dan keamanan. Oleh karena itu pemanfaatan pangan dalam tubuh (food utility) dapat optimal dengan peningkatan kesadaran atas pentingnya pola konsumsi pangan beragam dengan gizi seimbang.

Untuk memperbaiki konsumsi pangan masyarakat harus ditunjang oleh produksi dan penyediaan pangan yang mampu memenuhi syarat tersebut. Oleh karena itu, pemerintah dengan bebagai upaya di bidang pangan perlu mewujudkan ketahanan pangan hingga tingkat rumah tangga bahkan individu antara lain melalui program perbaikan penyediaan pangan, perbaikan konsumsi pangan, dan diversifikasi pangan.

Menurut Syarief dan Martianto (1991), jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat tidak saja dipengaruhi produksi atau ketersediaan pangan, tetapi dipegaruhi juga oleh daya jangkau ekonomi (daya beli), kesukaan/selera, pendidikan, dan nilai sosial budaya pangan yang berlaku dalam masyarakat.

Pola Konsumsi Pangan Penduduk

Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Madanijah 2004). Konsumsi masyarakat terhadap pangan dapat dilihat dari kecenderungan masyarakat mengkonsumsi jenis pangan tertentu. Sanjur (1982) menyatakan jumlah pangan yang tersedia di suatu wilayah akan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan. Konsumsi atau pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor tidak hanya faktor ekonomi tetapi juga faktor budaya, ketersediaan, pendidikan, gaya hidup, dan sebagainya.

Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan secara kuantitas dan kualitas. Dari sisi kuantitas, konsumsi pangan ditinjau dari volume atau banyaknya pangan yang dikonsumsi dan konsumsi zat gizi yang terkandung dalam pangan. Kedua hal tersebut digunakan untuk melihat apakah konsumsi pangan sudah dapat memenuhi kebutuhan layak untuk hidup sehat yang sesuai Angka kecukupan gizi (AKG). Angka kecukupan gizi (AKG) adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi hampir semua orang menurut

(5)

golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitas untuk mencegah terjadinya defisiensi gizi (Muhilal et al 1998). Tingkat konsumsi pangan dapat memberikan gambaran kondisi kesehatan penduduk di suatu wilayah yang ditinjau dari aspek keadaan gizinya. Indikator yang digunakan untuk analisis konsumsi yaitu dari pengukuran kecukupan konsumsi energi dan protein. Konsumsi energi dan protein tersebut mengacu pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (WNPG) tahun 2004, yaitu kecukupan konsumsi energi yang dianjurkan sebesar 2000 kkal/kapita/hari dan kecukupan konsumsi protein adalah sebesar 52 g/kapita/hari.

Tingkat kecukupan adalah perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Klasifikasi tingkat kecukupan energi menurut Departemen Kesehatan (1996) adalah sebagai berikut :

a) Kurang dari 70% AKE : defisit berat

b) 70-79% AKE : defisit tingkat sedang c) 80-89% AKE : defisit tingkat ringan d) 90-119% AKE : normal (tahan pangan) e) 120% ke atas AKE : kelebihan/diatas AKE

Energi

Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengaturan suhu, dan kegiatan fisik. Kelebihan energi akan disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan jangka panjang (Hardinsyah & Tambunan 2004).

Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (WNPG) menganjurkan konsumsi energi penduduk Indonesia adalah 2000 kkal/kap/hari. Dengan menggunakan patokan tersebut, perkembangan konsumsi energi penduduk Indonesia setiap tahunnya meningkat. Pada periode 2005 – 2007, peningkatan konsumsi energi lebih tinggi terjadi di wilayah pedesaan dibandingkan dengan di perkotaan. Secara umum konsumsi energi rata-rata semakin mendekati kebutuhan sebesar 2000 kkal/kap/hari, dan pada tahun 2007 bahkan telah memenuhi angka kecukupan dengan rata -rata konsumsi energi sebesar 2015 kkal/kap/hari atau 100,7% dari angka kecukupan energi (DKP 2009).

Penduduk dikatakan rawan konsumsi energi apablia rataan konsumsi energinya kurang dari jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh untuk hidup aktif dan

(6)

sehat. Pada umumnya penduduk rawan konsumsi pangan (energi) dibagi atas dua kelompok, yaitu sangat rawan (tingkat konsumsi energi < 70% AKE) dan mereka yang memiliki kerawanan ringan sampai sedang (tingkat konsumsi energi 70-90% AKE). Berdasarkan analisis data Susenas 2002 hingga 2008 yang dilakukan oleh BKP, ditemukan bahwa kondisi penduduk rawan pangan masih masih cukup tinggi, meski secara umum jumlah dan persentase penduduk rawan pangan mengalami penurunan selama periode 2002-2008. Pada Tahun 2002 persentase penduduk yang termasuk sangat rawan konsumsi pangan mencapai 1311% (sekitar 26,5 juta jiwa), tahun 2005 adalah 13,2% (sekitar 28,7 juta jiwa) dan pada tahun 2007 dan 2008 menurun menjadi 13,0% (29,2 juta jiwa) dan 11,07% (25,1 juta jiwa).

Apabila dibandingkan dengan kondisi saat puncak krisis ekonomi tahun 1999 yang prevalensinya adalah 18,9% (sekitar 38,6 juta jiwa), maka baik prevalensi maupun jumlah penduduk yang sangat rawan konsumsi pangan mengalami penurunan yang tajam. Penurunan ini terjadi karena dua hal: 1) karena keberhasilan program dalam meningkatkan tingkat kesejahteraan yang berimbas pada meningkatnya rata-rata konsumsi energi, dan 2) penurunan standar kecukupan energi (AKE) yang diamanatkan dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) 2004 dimana AKE yang semula 2100 kkal/kapita/hari turun menjadi 2000 kkal/kapita/hari.

Protein

Protein adalah suatu zat gizi yang berperan sebagai penghasil energi, pembentukan jaringan baru, dan mempertahankan jaringan yang telah ada (Winarno 1997). Menurut Almatsier (2002), protein juga berfungsi mengatur keseimbangan air di dalam tubuh, memelihara netralitas tubuh, membantu antibodi dan mengangkut zat-zat gizi. Protein memegang peranan esensial dalam mengangkut zat-zat gizi dari saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke jaringan, dan melalui membran sel ke dalam sel-sel tubuh. Kekurangan protein dapat mneyebabkan gangguan pada absorpsi dan transportasi zat-zat gizi.

WNPG VIII menganjurkan konsumsi protein penduduk Indonesia adalahdan 52 g/kapita/hari. Pada rekomendasi WNPG sebelumnya, angka kecukupan protein sebesar 56 g/kap/hari. Dengan menggunakan patokan tersebut, perkembangan konsumsi protein penduduk Indonesia menunjukkan trend yang meningkat. Berbeda dengan energi, pada periode 2005 – 2007

(7)

peningkatan konsumsi proteinyang lebih nyata terjadi di wilayah perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan (DKP 2009).

Berdasarkan analisis data Susenas 2002 hingga 2008 yang dilakukan oleh BKP, konsumsi protein per kapita per hari umumnya sudah tercukupi meski sebagian besar sumber proteinyang dikonsumsi berasal dari pangan nabati, khususnya kelompok padi -padian. Komposisi protein yang dianjurkan adalah 80% nabati dan 20% hewani. Martianto (2004) menyarankan besarnya komposisi pangan hewani untuk tingkat konsumsi per kapita per hari adalah 65 gram pangan hewani asalruminansia dan unggas dan 85 gram berasal dari ikan.Pada pola konsumsi penduduk Indonesia, beras khususnya tidakhanya menjadi penyumbang energi terbesar tetapi juga merupakan penyumbang protein terbesar.

Pola Pangan Harapan (PPH)

Pola pangan harapan adalah susunan beragam pangan yang dianjurkan berdasarkan sumbangan energi dari kelompok pangan utama dari suatu pola ketersediaan atau konsumsi pangan. Semakin tinggi skor PPH maka konsumsi pangan semakin beragam. PPH dapat digunakan sebagai perencanaan konsumsi dan ketersediaan pangan serta perumusan kebijakan pangan dan perencanaan pertanian di suatu wilayah. PPH juga berguna sebagai instrumen sederhana untuk menilai situasi ketersediaan konsumsi pangan berupa jumlah dan komposisi pangan menurut jenis pangan secara agregrat (Hardinsyah et al 2002).

Sejak diperkenalkan konsep PPH dan skor PPH pada awal dekade 90-an di Indonesia, PPH telah digunakan sebagai basis perencanaan dan penilaian kecukupan gizi seimbang pada tingkat makro. Skor PPH juga telah digunakan sebagai salah satu indikator output pembangunan pangandalam kebijakan pembangunan pangan termasuk evaluasi penyediaan, konsumsi pangan, dan diversifikasi pangan (Suhardjo 1996). Semakin tingi skor mutu pangan, menunjukkan situasi pangan yang semakin beragam dan semkain baik komposisi dan mutu gizinya (Hardinsyah et al 2002).

Tujuan utama penyusunan PPH adalah untuk membuat suatu rasionalisasi pola konsumsi pangan yang dianjurkan yang terdiri dari kombinasi aneka ragam pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan sesuai cita rasa (FAO-RAPA 1989). Melalui pendekatan PPH, keadaan perencanaan penyediaan dan konsumsi pangan penduduk diharapkan dapat memenuhii tidak hanya

(8)

kecukupangizi yang didukung oleh cita rasa (palability), daya cerna (digestability), daya terima masyarakat (acceptability), kuantitas, dan kemampuan daya beli (affortability). Pada umumnya telah diketahui bahwa lima kelompok zat gizi selain air yang esensial diperlukan tubuh manusia adalah protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral.Berbagai zat gizi ini dapat disediakan oleh beragam pangan.Sejumlah pangan yang tersusun secara seimbang akan mampu memenuhi kebutuhan zat gizi. Pangan tersebut mencakup kelompok: (1) padi-padian, (2) umbi-umbian, (3) pangan hewani, (4) minyak dan lemak, (5) buah dan biji berminyak, (6) kacang-kacangan, (7) gula, (8) sayuran dan buah-buahan, (9) lain-lain.Kesembilan kelompok pangan tersebut terdapat dalam PPH, yang merupakan jabaran dari triguna pangan.

Waktu pencapaian PPH disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan yang terjadi baik nasional maupun daerah. Untuk pencapaian PPH perlu diterjemahkan pada perencanaan pangan nasional dan daerah secara bertahap tahun demi tahun dan target demi target. Masing-masing daerah perlu mengadaptasi pola ini yang disesuaikan dengan masing-masing daerah.

Kebutuhan Konsumsi Pangan

Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus kebutuhan pangan masyarakatnya sesuai kemampuan wilayah. Menurut Hardinsyah et al (2001), seiring dengan otonomi daerah maka sangat penting bagi daerah untuk menyusun perencanaan pangan yang memenuhi prinsip kuantitas maupun kualitas yang didasarkan pada potensi lokal. Orientasi penyediaan dan konsumsi pangan wilayah tidak lagi hanya pada aspek jumlah tetapi juga aspek mutu gizi, keragaman, dan komposisi pangan.

Selanjutnya Hardinsayah et al (2001) mengatakan bahwa ada tiga macam pendekatan perencanaan penyediaan pangan dalam pembangunan pangan yakni 1) pendekatan kecenderungan (trend) konsumsi dan permintaan; 2) pendekatan kecenderungan produksi; dan 3) pendekatan gizi seimbang dan permintaan. Sejak tahun 1988, FAO-RAPA merekomendasikan pendekatan yang diharapkan dapat membantu dalam perencanaan produksi maupun konsumsi pangan, yang dikenal dengan desirable dietary pattern (DPP) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi pola pangan harapan (PPH).

Perencanaan kebutuhan pangan dengan PPH, selain untuk menyediakan pangan yang beranekaragam sesuai dengan kecukupan gizi setempat juga memberi keleluasaan menentukan jenis pangan yang diinginkan karena PPH

(9)

disajikan dalam kelompok pangan. Pemilihan jenis pangan yang diinginkan diantara kelompoknya disesuaikan dengan kondisi sosial budaya (aspek pola konsumsi atau preferensi jenis pangan penduduk), dan potensi wilayah setempat (Suhardjo 1996). Untuk menjadikan PPH sebagai instrumen perencanaan pangan disuatu wilayah diperlukan kesepakan tentang pola konsumsi pangan dengan salah satunya mempertimbangkan pola konsumsi pangan penduduk saat ini.

Kebutuhan pangan suatu wilayah selain dipengaruhi oleh pertumbuhanekonomi juga dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk

yang cepat merupakan isu sentral yang dihadapi dunia, terlebih di negaraberkembang termasuk Indonesia. Konsekuensi dari hal tersebut adalahpeningkatan ketersediaan pangan untuk mengimbangi pertambahan penduduk.Menurut Khomsan dan Kusharto (2004), bila jumlah penduduk meningkat makaterjadi kompetisi pemanfaatan lahan yang dapat mengancam keberadaan lahanpertanian. Konversi lahan pertanian akan mengancam pemantapan ketahananpangan.

Kebijakan Ketahanan Pangan

Kebijakan pangan adalah suatu pernyataan tentang kerangka pikir dan arahan yang digunakan untuk menyusun program pangan guna mencapai situasi pangan dan gizi yang lebih baik (Hardinsyah & Ariani M 2000). Dalam UU No.7 tahun 1996 tentang pangan, dinyatakan bahwa pembangunan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Tujuan utama pembangunan pangan adalah: 1) tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia; 2) terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab; 3) terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Kebiijakan pangan di bidang ketahanan pangan dan gizi merupakan bagian integral dari kebijakan pembangunan nasional. Pembangunan ketahanan pangan dilaksanakan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat khususnya menjamin ketersediaan pangan bagi seluruh penduduk dalam jumlah, mutu,

(10)

keragaman, kandungan gizi, dan keamanannya serta terjangkau oleh daya beli masyarakat (Hardinsyah & Martianto 2001).

Tujuan pembangunan ketahanan pangan tersebut akan lebih mudah tercapai apabila didasarkan pada 1) penyediaan pangan berbasis pemanfaatan ketersediaan sumberdaya lokal baik sumberdaya alam, manusia, teknologi, dan sosial; 2) efisiensi ekonomi dengan tetap memperhatikan keunggulan kompetitif wilayah; 3) distribusi yang mengacu pada mekanisme pasar yang kompetitif; dan 4) perbaikan mutu dan konsumsi anekaragam pangan. Hal ini mengisyaratkan bahwa pembangunan ketahanan pangan bersifat lintas sektoral (Badan Bimas Ketahanan pangan, Deptan 2001).

Secara tegas program ketahanan pangan penduduk tercantum dalam propenas tahun 2000-2004 (Republik Indonesia 2000), dimana salah satu program ini bertujuan untuk meningkatkan keanekaragaman produksi, ketersediaan, dan konsumsi pangan bersumber pangan ternak, ikan, tanaman pangan, hortikultura, dan kebun serta produk olahannya. Kebijakan program tersebut mencerminkan pentingnya perbaikan mutu gizi pangan melalui penganekaragaman ketersediaan dan konsumsi pangan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan. Di dalam Renstra Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan Badan Bimas Ketahanan Pangan, Deptan (2001), dinyatakan bahwa pengembangan konsumsi pangan ditempuh melalui pengembangan konsumsi pangan lokal dan penganekaragaman konsumsi pangan yang mengarah pada perbaikan konsumsi pangan penduduk baik jumah maupun mutu. Dengan terpenuhinya konsumsi pangan yang beragam dari waktu ke waktu, maka penduduk dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatannya secara produktif.

Terdapat dua kelompok strategi untuk membangun ketahanan pangan, yaitu peningkatan produksi dan pengelolaan konsumsi. Kebijakan pengelolaan konsumsi ditujukan untuk memacu proses diversifikasi konsumsi masyarakat, yaitu mengubah pola konsumsi ke arah yang lebih beragam dan bergizi seimbang. Dengan demikian diharapkan masyarakat mengkuti pola konsumsi sesuai dengan kaidah kesehatan, sekaligus mengurangi ketergantungan pada jenis makanan tertentu khususnya beras. Hal ini ditempuh melalui; a) pendidikan, penyuluhan, dan pemberdaaan masyarakat dan keluarga tentang pentingnya pola konsumsi dengan gizi seimbang untuk kesehatan, daya tahan fisik, dan kemampuan otak, b) pengembangan pangan karbohidrat non beras dengan

(11)

teknologi pengolahan pangan yang dapat meningkatkan cita rasa dan citra sehingga mempunyai daya saing dengan pangan modern yang telah masuk dalam pola konsumsi masyarakat, c) peningkatan penghasilan dan daya beli masyarakat melalui pemberdayaan ekonomi, karena peningkatan penghasilan secara alamiah mendorong konsumsi pangan yang lebih beragam dan bergizi, d) penyelenggaraan program pangan murah untuk meningkatkan keterjangkauan masyarakat berpenghasilan rendah terhadap perbaikan gizi (Suryana 2004).

Referensi

Dokumen terkait

Kepada seluruh peserta Pengadaan Jasa Konsultansi yang merasa keberatan atas ditetapkannya pemenang tersebut di atas, dapat mengajukan sanggahan kepada Pokja Jasa

Latihan penelitian atau inquiry training bertolak dari kepercayaan bahwa perkembangan seseorang agar mandiri, menuntut metode yang dapat memberi kemudahan bagi para

Penelitian ini bermaksud mengembangkan sebuah „model‟ pembelajaran Penelitian Tindakan Kelas yang dapat meningkatkan kemampuan bernalar (logis dan ilmiah) calon guru di

Kemampuan PT.ASKES dalam mempengaruhi peserta lain yang belum mengethaui untuk membeli produk askes komersial. 0,490 0,374

y = jumlah atom unsur dalam 1 molekul senyawa ( angka indeks dari unsur yang bersangkutan dalam rumus kimia senyawa ). Stoikiometri Reaksi Hitungan

• Helps optimize service intervals which can reduce quantity of waste oil and oil filters. Reduced

merupakan suatu keharusan bagaimana cara untuk meformulasi hukum berorientai pada tipolog hukum responsif, dan otonom sehingga keberpihakan hukum determenan pada

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi reaksi yang optimum pada reaksi konversi senyawa dalam tanaman selasih hijau dengan metode MAOS dengan pelarut etilen