• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak terlepas dari ikatan budaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak terlepas dari ikatan budaya"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak terlepas dari ikatan budaya yang diciptakan. Ikatan budaya tercipta oleh masyarakat yang bersangkutan, baik dalam keluarga, organisasi, bisnis maupun bangsa. Budaya membedakan masyarakat satu dengan yang lain dalam cara berinteraksi dan bertindak menyelesaikan suatu pekerjaan. Budaya mengikat anggota kelompok masyarakat menjadi satu kesatuan pandangan yang menciptakan keseragaman berperilaku atau bertindak. Seiring dengan bergulirnya waktu, budaya pasti terbentuk dalam organisasi dan dapat pula dirasakan manfaatnya dalam memberi kontribusi bagi efektivitas organisasi secara keseluruhan.

Berbicara masalah budaya kerja, fenomena di masyarakat yang seringkali dikaitkan dengan ‘budaya kerja’ yaitu mengenai budaya kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS). Seorang Staf Ahli Meneg PAN Bidang Budaya Kerja Aparatur menulis sebuah artikel di koran mengenai budaya kerja PNS. Di dalam artikel tersebut beliau mengemukakan bahwa oleh sebagian orang budaya kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih dipandang sebelah mata, kerjanya yang lambat, birokratis, malas, dan biaya tinggi. Tetapi ada juga pihak lain yang berpandangan sebaliknya. Bahwa budaya kerja PNS sudah berangsur membaik, ditandai dengan membaiknya pelayanan kepada masyarakat. Terlepas dari dua pandangan berbeda di atas, yang pasti budaya kerja PNS harus ditingkatkan. Tujuannya adalah untuk

(2)

menciptakan sistem yang mampu mengembangkan profesionalisme dan lingkungan yang kondusif dalam rangka mendukung pencapaian tugas.

Meskipun demikian, budaya kerja aparatur negara selama ini dinilai masih rendah sehingga kinerja instansi pemerintah secara keseluruhan juga rendah. Walaupun sudah cukup banyak perangkat yang diciptakan yang kesemuanya ditujukan untuk membangun budaya kerja aparatur negara seperti: P4, Panca Prasetya Korpri, DP3, Sumpah Jabatan, GDN, Sistem Waskat, dan lain sebagainya, ternyata hasilnya masih juga belum efektif. Hal ini dikemukakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri, selain organisasi pemerintah daerah sudah terlalu banyak, pegawai negeri sipil banyak yang nganggur, hanya mondar-mandir dan membaca koran hingga jam kerja selesai (Jawa pos, Oktober 2003:10). Aktivitas yang menunjukkan nuansa kesibukan kerja hanya tampak di satuan kerja yang “ada proyeknya”. Sehingga tidak salah jika ada sementara pengamat yang menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) lebih cenderung berorientasi pada proyek ketimbang melaksanakan tugas-tugas rutinnya (Yudoyono, 2002:64). Bahkan menurut Menpan (2002) lebih dari 50% Pegawai Negeri Sipil “belum produktif, efisien, dan efektif.”

Disamping itu, banyak fakta menunjukkan bahwa 80 hingga 90 persen dana alokasi yang seharusnya diperuntukkan bagi pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana publik, habis untuk membiayai birokrasi dan legislasi pemerintahan daerah (Jawa Pos, 20 Oktober 2003:10). Lebih menyedihkan lagi ternyata sebagian besar tidak lebih sebagai sarana “bargaining” politik untuk

(3)

bagi-bagi kekuasaaan (Jawa Pos, Juli 2003). Sepertinya tindakan menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan sulit diatasi bahkan cenderung mengarah menjadi budaya baru. Hal ini menunjukkan bahwa budaya kerja pegawai negeri sipil belum terlalu kuat dan masih jauh dari harapan.

Dari hasil program budaya kerja tahun 2003 mencerminkan budaya kerja (kejujuran, ketekunan, kreativitas, kedisiplinan dan IPTEK) belum menunjukkan kemampuan dan komitmen pegawai sesuai dengan apa yang diharapkan, seperti: 1. Kurangnya komitmen pegawai terhadap visi dan misi organisasi (28,8%). 2. Sikap pegawai yang tidak memegang teguh amanah dan komitmen dalam

melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-hari (10,68%).

3. Masih sering terjadi penyimpangan dan kesalahan (deviasi dan distorsi) dalam kebijakan kepegawaian yang berdampak luas kepada masyarakat (4,39%). 4. Banyaknya sorotan masyarakat terhadap kemampuan pegawai (29,88%). 5. Banyaknya pegawai yang sering mangkir, datang terlambat, pulang lebih

awal, menunda-nunda pekerjaan dan lain-lain (26,25%).

Sementara itu, persepsi masyarakat mengenai PNS adalah betapa nyamannya pekerjaan PNS. Datang telat, di kantor cuma rumpi-rumpi, nonton TV, baca koran, dan pulang sebelum jam kantor usai. Hal ini yang patut dipertanyakan, apakah hal-hal seperti itu yg diinginkan generasi muda saat berbondong-bondong mengikuti tes CPNS? Ditunjang dengan gaji yang sekarang sudah dapat dikatakan lumayan cukup, ditambah dana pensiun, ASKES, gaji ke-13, dan lain-lain. Jika dibandingkan dengan pegawai swasta dengan aturan jam kerja yang ketat mulai dari jam 08.00 tepat sampai jam 17.00, selain itu pegawai

(4)

benar-benar diawasi apakah dia terlambat, pulang lebih awal, atau ketauan santai-santai saat jam kerja. Jika pegawai tersebut membandel, maka sepucuk SP melayang ke meja kerjanya. Hal ini sungguh kontras dengan PNS, padahal dengan gaji yg berbeda tipis.

Fenomena yang baru-baru ini terjadi berkaitan dengan PNS yaitu mengenai ‘sidak’ atau inspeksi mendadak pada hari pertama kerja setelah libur lebaran. Salah satunya yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan di jajaran Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Hasil sidak ini menunjukkan persentase kehadiran pegawai negeri sipil di jajaran Pemerintah Provinsi Jawa Barat serta sejumlah satuan kerja perangkat daerah pada hari pertama seusai libur Idulfitri 1429 H terbilang baik, persentase kehadiran PNS mencapai 95%.

Meskipun demikian, banyak PNS yang terlihat berleha-leha di depan pekarangan kantor saat atasannya tiba. Sontak, mereka pun langsung terbirit-birit menuju ruang kerja masing-masing. Padahal sebenarnya sidak bukan untuk menakut-nakuti, hanya memastikan pelayanan publik berjalan dengan optimal meski baru habis liburan.

Pada hari-hari biasa, kebiasaan telat masuk kerja, pulang sebelum jamnya, bahkan bolos secara disengaja sudah menjadi budaya kerja pegawai negeri sipil. Budaya kerja seperti ini sepertinya tidak pernah berubah sejak dulu, hal inilah yang harus dirubah dan diperbaiki. Kebiasaan mangkir juga menjadi hal yang biasa di lingkungan para pegawai negeri sipil ini. Meskipun demikian, Ahmad Heryawan mengatakan bahwa "Sanksi tegas belum akan dijatuhkan kepada PNS

(5)

yang mangkir. Tapi saya minta agar kepala dinas instansi terkait menyelidiki alasan ketidakhadiran mereka."

Hal ini menunjukkan bahwa peraturan yang berlaku bagi pegawai negeri sipil kurang tegas, tanpa sanksi-sanksi yang jelas dan tegas maka pelanggaran tersebut diangap sepele oleh pelakunya. Oleh sebab itu budaya kerja yang ada harus ditingkatkan dengan nilai-nilai dan peraturan yang tegas. Dengan begitu akan tertanam komitmen organisasi yang tinggi, untuk menghindari timbulnya perilaku yang indisipliner dari anggotanya.

Dua poin yang berkaitan dengan budaya kerja yakni nilai kesetiaan dan prestasi kerja. PNS yang tidak disiplin dalam bekerja, terutama tidak ngantor, dianggap tidak memiliki kesetiaan yang baik pada instansinya, tidak profesional dan menunjukkan prestasi yang buruk. Hal ini juga menunjukkan bahwa komitmen terhadap organisasinya rendah.

Kondisi seperti ini sering terjadi di beberapa organisasi pemerintahan di Indonesia. Salah satunya seperti terjadi di kantor Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Rendahnya komitmen organisasi terlihat dari sering dan banyaknya pegawai yang terlambat masuk kerja. Seperti yang dikemukakan oleh Kepala Sub Bagian Perencanaan & Program Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, bahwa selama tiga tahun terakhir masa jabatannya telah diberlakukan aturan jam kerja yang efektif untuk para pegawai yaitu dari pukul 07.30 – 16.00 WIB. Meskipun demikian, masih saja ada beberapa pegawai yang suka datang terlambat walaupun sudah beberapa kali ditegur oleh atasannya. Menurut beliau juga, kondisi yang telah dipaparkan sebelumnya oleh peneliti mengenai budaya kerja PNS di atas

(6)

hampir sama dengan kondisi yang terjadi di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat khususnya pada pegawai Sub Bagian Perencanaan & Program.

Kondisi lainnya yang mencerminkan rendahnya komitmen organisasi adalah masih adanya pegawai yang melakukan aktivitas di luar pekerjaannya pada jam kerja, seperti istirahat atau keluar dari ruangan kerja sekedar untuk berkumpul dan mengobrol dengan teman-temannya, dan pulang sebelum jam kerja usai. Selain itu, tidak sedikit pegawai yang sengaja bolos kerja atau meliburkan diri di hari kerja. Seperti pada hari pertama masuk kerja setelah libur lebaran misalnya, beberapa pegawai masih ada yang tidak masuk kerja dengan berbagai alasan. Hal ini selalu terjadi setiap tahunnya. Di lain pihak, ada juga beberapa pegawai yang sering mengerjakan kegiatan lain yang tidak berhubungan dengan pekerjaan pada saat di kantor, mereka hanya terlihat rajin dan sibuk bekerja jika ada pimpinan saja. Hal-hal seperti ini, menunjukkan para pegawai tersebut memiliki sikap disiplin kerja yang rendah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa komitmen organisasinya pun rendah.

Ketidakhadiran atau kemangkiran merupakan salah satu indikator yang dapat dijadikan alat untuk mengukur komitmen organisasi pegawai terhadap perusahaan. Seperti yang dikemukakan oleh Mathis dan Jackson (2000), bahwa:

Komitmen organisasi memiliki makna tingkat kepercayaan dan penerimaan tenaga kerja terhadap tujuan organisasi dan mempunyai keinginan untuk tetap ada di dalam organisasi tersebut yang pada akhirnya tergambar dalam statistik ketidakhadiran dan masuk keluar tenaga kerja.

(7)

Berdasarkan pemaparan tentang budaya kerja di lingkungan kerja pegawai negeri sipil yang telah dipaparkan di atas, dan kondisi yang terjadi di Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat tersebut menjadi dasar bagi peneliti untuk melakukan penelitian mengenai KOMITMEN KERJA PEGAWAI SUB

BAGIAN PERENCANAAN & PROGRAM DINAS PENDIDIKAN

PROVINSI JAWA BARAT DILIHAT DARI BUDAYA KERJA PNS.

B. Rumusan Masalah

Budaya kerja dalam organisasi diaktualisasikan sangat beragam. Bisa dalam bentuk dedikasi/loyalitas, tanggung jawab, kerjasama, kedisiplinan, kejujuran, ketekunan, semangat, mutu kerja, keadilan, dan integritas kepribadian. Semua bentuk aktualisasi budaya kerja itu sebenarnya bermakna komitmen. Menegakkan komitmen berarti mengaktualisasikan budaya kerja secara total. Kalau sebagian dari pegawai ternyata berkomitmen rendah maka berarti ada gangguan terhadap budaya.

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:

1. Seberapa besar komitmen kerja pegawai Sub Bagian Perencanaan & Program Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat dilihat dari budaya kerja PNS?

2. Seberapa besar komitmen kerja Pegawai Sub Bagian Perencanaan & Program Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat dilihat dari budaya kerja

(8)

PNS berdasarkan aspek Affective Commitment, Continuance Commitment, dan Normative Commitment?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh data empiris guna menjawab masalah penelitian yang telah dirumuskan di atas. Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui seberapa besar komitmen kerja pegawai Sub Bagian Perencanaan & Program Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat dilihat dari budaya kerja PNS.

2. Untuk mengetahui seberapa besar komitmen kerja pegawai Sub Bagian Perencanaan & Program Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat dilihat dari budaya kerja PNS berdasarkan aspek Affective Commitment, Continuance Commitment, dan Normative Commitment.

D. Manfaat Penelitian

Adapun hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pelaksanaan bagi praktisi Psikologi di lapangan, yaitu sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan dapat memberikan informasi, pengetahuan, dan masukan secara empiris untuk menambah referensi dalam bidang ilmu pengetahuan. Serta dapat

(9)

memberikan sumbangan pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Psikologi Industri dan Organisasi tentang Komitmen Kerja.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk peneliti lain yang akan melakukan penelitian lanjutan dengan tema yang sama.

b. Memberikan informasi kepada pihak Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat mengenai tingkat komitmen kerja pegawainya, yang kelak dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan atau keputusan organisasi untuk meningkatkan komitmen kerja pegawainya.

E. Kerangka Pemikiran

Berbicara mengenai budaya kerja pegawai negeri sipil (PNS) yang identik dengan cara kerjanya yang lambat, birokratis, malas, biaya tinggi, mangkir kerja dan lain-lain seperti yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah di atas, sudah bukan menjadi rahasia umum lagi. Hal itu sepertinya sudah menjadi persepsi masyarakat luas yang sulit dirubah. Padahal PNS itu sendiri merupakan aparatur negara yang bertugas untuk melayani masyarakat. Jangan sampai ada istilah ‘makan gaji buta’ di kalangan PNS. Oleh karena itu budaya kerja yang kurang baik harus diperbaiki dengan penerapan peraturan yang jelas dan tegas. Tujuannya adalah untuk menciptakan sistem yang mampu mengembangkan profesionalisme dan lingkungan yang kondusif dalam rangka mendukung pencapaian tugas.

(10)

Dengan terciptanya budaya kerja yang efektif, maka akan tertanam komitmen organisasi yang tinggi pada setiap anggotanya. Hal ini disebabkan budaya kerja berkaitan erat dengan persepsi terhadap nilai-nilai dan lingkungannya. Di mana persepsi itu akan melahirkan makna dan pandangan hidup yang akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku pegawai juga manajemen dalam bekerja. Sikap yang muncul ini bisa dalam bentuk dedikasi/loyalitas, tanggung jawab, kerjasama, kedisiplinan, kejujuran, ketekunan, semangat, mutu kerja, keadilan, dan integritas kepribadian di mana kesemuanya ini bermakna komitmen. Dengan tujuan akhir yaitu untuk memenuhi tujuan organisasi dan individunya.

Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa budaya kerja dapat mempengaruhi komitmen kerja pegawai khususnya di lingkungan pegawai negeri sipil (PNS), seperti yang akan menjadi tema pada penelitian ini.

F. Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Metode yang digunakan yaitu metode deskriptif dengan satu variabel mandiri (variabel tunggal) yaitu komitmen kerja yang terdiri dari 3 dimensi yaitu Affective Commitment, Continuance Commitment, dan Normative Commitment.

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Teknik kuesioner adalah cara pengumpulan data yang berbentuk pengajuan pernyataan tertulis melalui sebuah daftar pernyataan yang sudah dipersiapkan sebelumnya (Soemantri, 2006).

(11)

Teknik statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif non-parametrik, karena data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data ordinal yaitu data yang berjenjang atau berbentuk peringkat (Sugiyono, 2003).

G. Lokasi dan Sampel Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di lingkungan kerja Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat di jalan Dr. Radjiman No. 6 Bandung. Pada penelitian ini yang menjadi sampel penelitian adalah seluruh pegawai Sub Bagian Perencanaan & Program Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, yang berjumlah 30 orang responden.

Referensi

Dokumen terkait

Proses ataupun cara pengangkatan ada tiga yaitu dengan bay’at, istikhlaf dan Istila’, dari ketiga itu terbagi menjadi dua, cara bay’at dan istikhlaf disebut

Berdasarkan hasil Observasi, wawancara, dokumentasi yang dilakukan di objek wisata Pantai Legon Lele, Pulau Karimun Jawa Kabupaten Jepara dapat di simpulkan bahwa

Spesifikasi kebutuhan yang diperlukan untuk pembuatan sistem penilaian index kepuasan pegawai antara lain, ruang lingkup perangkat lunak, target audience, lingkungan

Hasil penelitian menunjukkan pengaruh yang signifikan stres akademik terhadap kinerja siswa, stres mengakibatkan efek negatif dari stres terhadap kehidupan akademik

Pada definisi model regresi nonlinier dengan kasus Berkson Measurement Error Model, fungsi regresinya tidak hanya nonlinier dalam parameter seperti dalam teori

Kurva permintaan dapat didefinisikan sebagai suatu kurva yang mengambarkan sifat hubungan antara harga sesuatu barang tertentu dengan jumlah barang tersebut yang diminta

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: benih padi Segreng Handayani dari petani Gunung kidul, Rhizobacteri indigenous osmotoleran Merapi isolat MB dan

kata “wizdom” dan “wissenscaft”, yang erat hubungannya dengan “widya”. Karena itu, “wiskunde” sebenarnya harus diterjemahkan sebagai “ilmu tentang belajar”