BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Longsorlahan
Longsorlahan adalah salah satu bencana kebumian yang selalu terjadi di
Indonesia, khususnya pada musim hujan. Longsorlahan sering terjadi pada daerah
perbukitan dan area lereng terjal, terutama bila terjadi perubahan tutupan lahan
atau tandus (Vera Sadarviana, 2008). Longsorlahan (landslides) merupakan bagian dari gerakan tanah, jenisnya terdiri atas jatuhan (fall), jungkiran (topple) ,
luncuran (slide), nendatan (slump) , aliran (flow), gerak horizontal atau bentangan lateral (lateral spread), rayapan (creep) dan longsorlahan majemuk. Menurut
sharpe (1938, dalam Zufialdi, 2008) longsoran adalah luncuran atau gelinciran
(sliding) atau jatuhan (falling) dari massa batuan atau tanah, bahkan dari
keduanya.
Secara umum longsorlahan adalah perpindahan material pembentuk
lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah yang bergerak ke bawah atau keluar
lereng. Secara geologi longsor adalah suatu peristiwa geologi dimana terjadi
pergerakan tanah seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah (Nandi,
2007). Proses terjadinya longsorlahan dapat diterangkan sebagai berikut : air yang
meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus
sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah
menjadi licin dan tanah pelapukan diatasnya akan bergerak mengikuti lereng dan
retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing, biasanya terjadi setelah hujan,
munculnya mata air baru secara tiba-tiba dan tebing rapuh serta kerikil mulai
berjatuhan. Faktor penyebab lainnya adalah hujan, lereng terjal, tanah yang
kurang padat dan tebal, batuan yang kurang kuat, jenis tata lahan, getaran, susut
muka air danau atau bendungan, adanya beban tambahan, pengikisan atau erosi,
adanya material timbunan pada tebing, longsorlahan lama, adanya bidang
diskontinuitas (bidang tidak sinambung), penggundulan hutan, daerah
pembuangan sampah.
Kejadian longsorlahan di suatu daerah dapat dianalisis berdasarkan kondisi
cuaca dan kondisi fisik wilayah. Kondisi cuaca dapat dianalisis melalui data
penginderaan jauh yaitu data MTSAT (Meteorological Satellite) dan data
QMORPH (Q Morphing), sedangkan kondisi fisik khususnya lokasinya dapat dianalisis berdasarkan ketinggian wilayah melalui DEM-SRTM (Digital Elevation
Model – Shuttle Radar Topographic Mission), dan citra ALOS dan IKONOS dapat untuk melihat adanya perubahan sebelum dan sesudah terjadinya longsor,
selain itu kondisi fisik wilayah dapat dianalisis melalui kondisi lereng (Nanik
Suryo Haryani, 2012).
1) Tipe-tipe longsorlahan
Eckel dalam Djauhari Noor (2011), mengelompokkan tipe longsorlahan
menjadi 3 yaitu :
a) Rayapan (creep) : perpindahan material batuan dan tanah ke arah kaki lereng
dengan pergerakan yang lambat.
b) Rayapan tanah (soil creep) : perpindahan material tanah kearah kaki lereng.
c) Rayapan talus (talus creep) : perpindahan ke arah kaki lereng dari material talus atau scree.
d) Rayapan batuan glacier (rock – glacier creep) : perpindahan ke arah kaki
lereng dari limbah batuan.
e) Soilfluction / liquefaction : aliran yang sangat berlahan ke arah kaki lereng
dari material debris batuan yang jenuh air.
b. Gerakan tanah tipe aliran cepat (rapid flowage) terdiri dari :
a) Aliran lumpur (mudflow) : perpindahan dari material lempung dan lanau yang
jenuh air pada teras yang berlereng landai.
b) Aliran massa tanah dan batuan (earthflow) : perpindahan secara cepat dari
material debris batuan yang jenuh air.
c) Aliran campuran massa tanah dan batuan (debris avalanche) : suatu aliran yang meluncur dari debris batuan pada celah yang sempit dan berlereng terjal.
c. Gerakan tanah tipe luncuran (landslides) terdiri dari :
a) Nendatan (slump) : luncuran ke bawah dari satu atau beberapa bagian debris
batuan, umumnya membentuk gerakan rotasional.
b) Luncuran dari campuran massa tanah dan batuan (debris slide) : luncuran yang sangat cepat ke arah kaki lereng dari material tanah yang tidak
c) Gerakan jatuh bebas dari campuran massa tanah dan batuan (debris fall) :
luncuran material debris tanah secara vertikal akibat gravitasi.
d) Luncuran massa batuan (rock slides) : luncuran dari massa batuan melalui
bidang perlapisan , joint (kekar), atau permukaan patahan atau sesar.
e) Gerakan jatuh bebas massa batuan (rock fall) : luncuran jatuh bebas dari blok batuan pada lereng – lereng yang sangat terjal.
f) Amblesan (subsidence) : penurunan permukaan tanah yang disebabkan oleh pemadatan atau isostasi atau gravitasi.
2) Macam-macam bentuk longsorlahan
a. Longsorlahan Translasi
Gambar 2.1 Longsorlahan Translasi
( Sumber: Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2007)
Longsorlahan translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan
pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.
Gambar 2.2 longsorlahan rotasi
(Sumber: Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2007)
Longsorlahan rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada
bidang gelincir berbentuk cekung.
c. Pergerakan Blok
Gambar 2.3 Pergerakan Blok
(Sumber: Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2007)
Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang
gelincir berbentuk rata. Longsorlahan ini disebut juga longsorlahan translasi
blok batu.
Gambar 2.4 Runtuhan Batu
(Sumber: Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2007)
Runtuhan batu terjadi apabila sejumlah batuan besar atau material lain
bergerak ke bawah dengan cara terjun bebas, umumnya terjadi pada lereng
terjal hingga menggantung, terutama di daerah pantai.
e. Rayapan Tanah
Gambar 2.5 Rayapan Tanah
(Sumber: Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2007)
Rayapan tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis
tanahnya memiliki butiran berupa kasar dan halus. Jenis longsor ini sulit
dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsoran ini baru terlihat dengan
menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring kebawah.
f. Aliran Bahan Rombakan
Gambar 2.6 Aliran Bahan Rombakan
Jenis longsorlahan ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong
oleh air. Gerakannya terjadi pada sepanjang lembah dan mampu mencapai
ratusan meter (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2007). Longsorlahan
sering terjadi pada terrain perbukitan, lereng perbukitan yang terjal, tekuk
lereng, patahan, dan tepian sungai. Sebaran longsorlahan tersebut tergantung
terhadap karakteristik wilayah setempat yang juga dipengaruhi curah hujan,
vegetasi, dan peningkatan beban massa tanah. Beban massa tanah yang
bertambah biasanya diakibatkan adanya pengalihfungsian lahan seperti
pertanian ke pemukiman (Vera Sadarfiana dkk., 2008).
Eckel dalam Djauhari Noor (2011) mengelompokkan penyebab faktor –
faktor yang mempengaruhi longsor menjadi 2 :
1. Faktor yang bersifat pasif :
a. Litologi : material yang tidak terkonsolidasi atau rentan dan mudah
meluncur karena basah akibat masuknya air ke dalam tanah.
b. Susunan batuan (stratigrafi) : Perlapisan batuan dan perselingan antara
batuan lunak dan batuan keras atau perselingan antara batuan yang
permeable dan batuan impermeable.
c. Struktur Geologi : Jarak antara rekahan atau joint pada batuan, patahan ,
zona hancuran, bidang foliasi dan kemiringan lapisan batuan yang besar.
d. Topografi : lereng yang terjal atau vertikal.
e. Iklim : perubahan temperatur tahunan yang ekstrim dengan frekuensi
hujan yang intensif.
2. Faktor yang bersifat aktif :
a. Gangguan yang terjadi secara alamiah ataupun buatan.
b. Kemiringan lereng yang menjadi terjal karena aliran air.
c. Pengisian air ke dalam tanah yang melebihi kapasitasnya, sehingga tanah
menjadi jenuh air.
d. Getaran – getaran tanah yang diakibatkan oleh seismitas atau kendaraan
berat.
B. Lereng
Menurut Kementerian Kehutanan Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai Dan Perhutanan Sosial Nomor: P. 4/V-Set/2013Tentang
Petunjuk teknis Penyusunan data spasial lahan kritis kemiringan lereng adalah
perbandingan antara beda tinggi (jarak vertikal) suatu lahan dengan jarak
mendatar. Besar kemiringan lereng dapat dinyatakan dengan beberapa satuan,
diantaranya adalah dengan % (persen) dan o (derajat). Data spasial kemiringan
lereng dapat disusun dari hasil pengolahan data ketinggian (kontur) dengan
bersumber pada peta topografi atau peta rupa bumi. Pengolahan data kontur untuk
menghasilkan informasi kemiringan lereng dapat dilakukan secara manual
maupun dengan bantuan komputer.
Tabel 2.1 Klasifikasi lereng
Kelas Kemiringan lereng ( % )
Datar 0 – 8
Agak curam 16 – 25
Curam 26 – 40
Sangat curam >40
Sumber : Kementerian Kehutanan Direktoral Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dan Perhutanan Sosial Nomor: P. 4/V-Set/2013 Tentang Petunjuk teknis Penyusunan data spasial lahan kritis
Terzaghi (1950) dalam Herman, membagi penyebab terjadinya longsor pada
lereng :
a. Akibat pengaruh dalam, yaitu longsor yang terjadi dengan tanpa adanya
perubahan kondisi luar atau gempa bumi.
b. Akibat pengaruh luar, yaitu pengaruh yang menyebabkan bertambahnya
gaya geser tanpa adanya perubahan kuat geser tanah.
Mencegah terjadinya longsor susulan pada lereng dan menanggulangi
lereng yang sudah longsor, diperlukan suatu konstruksi yang mempunyai fungsi
untuk menahan longsor. Dalam hal ini akan dianalisis stabilitas lereng pada badan
jalan dan perencanaan perkuatan dinding penahan tanah yang digunakan untuk
meningkatkan kestabilan lereng. Untuk mendukung analisis dan perencanaan
perkuatan diperlukan parameter-parameter tanah dengan penyelidikan tanah di
lapangan secara langsung dengan mengmabil sampel secara acak sesuai dengan
beda ketinggian di lokasi (Tjokorda, 2010).
C. Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang dimana sumber daya alam,
terutama vegetasi, tanah dan air, berada dan tersimpan serta tempat hidup manusia
hidupnya. Wilayah DAS dipandang sebagai ekosistem dari daur air, sehingga
DAS didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan
dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan
dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara
alami. Batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai
dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No. 7
Tahun 2004 dan PP No. 37 Tahun 2012 dalam seminar nasional, 2014).
DAS juga bisa dipandang sebagai suatu sistem pengelolaan, dimana DAS
memperoleh masukan yang kemudian diproses di DAS untuk menghasilkan
luaran (Asdak, 1995 dan Becerra, 1995). DAS merupakan prosesor dari setiap
masukan yang berupa hujan dan intervensi manusia (manajemen) untuk
menghasilkan luaran yang berupa produksi, limpasan dan sedimen. DAS juga
dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi yang terdiri dari
komponen-komponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi dalam suatu kesatuan.
Hubungan antara berbagai komponen berlangsung dinamis untuk memperoleh
keseimbangan secara alami. Dinamika keseimbangan tersebut bisa menuju kearah
baik atau kearah buruk, yang kondisinya sangat dipengaruhi oleh besarnya
intervensi manusia terhadap sumberdayaalam dan proses interaksi alam sendiri.
Pada daerah tangkapan air atau DAS terjadi hubungan timbal balik anata
smberdaya manusia dengan sumberdaya alam yang mempengaruhi kelestarian
sumberdaya alam tersebut. Hubungan timbal balik ini tidak hanya setempat tetapi
juga di tempat lain, sehingga diperlukan sistem pengelolaan menyeluruh dari hulu
D. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Suwarno, Sutomo, dan Dwi Septiono
Nugroho (2013) melakukan penelitian kajian pola persebaran longsorlahan di
Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas, menggunakan metode pendekatan
kualitatif. Hasil yang diperoleh adalah Peta pola persebaran longsorlahan di
Kecamatan Ajibarang.
Setyo Aji, 2014 dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Tingkat
Kerawanan Longsor Lereng Di Desa Binangun Kecamatan Banyumas”. Tujuan
dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui dan menganalisis tingkat
kerawanan longsor lereng. Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut
adalah metode survei dengan teknik pendalaman kasus atau studi kasus. Hasil
penelitian berupa peta kawasan tingkat kerawanan longsor.
Tabel 2.2 Perbedaan Penelitian dengan penelitian terdahulu
PENELITI JUDUL TUJUAN LOKASI METODE HASIL
Suwarno, Sutomo, Dwi Septiono Nugroho, 2013 Kajian Pola Persebaran Longsorlahan di kecamatan Ajibarang kabupaten Banyumas Mengetahui frekuensi
longsor lahan
terhadap penggunaan
lahan di
Kecamatan Ajibarang. Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas Pendekatan kualitatif metode survey lapangan dengan teknik pengambilan sampel area sampling dan incidental sampling, analisis data menggunakan analisis kelas frekuensi dan analisis tetangga terdekat. Peta pola persebaran longsor lahan Setyo Aji, 2014 Analisis Tingkat
Kerawanan Longsor Lereng Di Desa Binangun Kecamatan Banyumas tingkat kerawanan longsor lereng Kecamatan Banyumas pendalaman kasus atau studi
kasus. Longsor Devi Anggitasari, 2015 Kajian Kemiringan Lereng dengan Kejadian Longsor di Sub-Daerah Aliran Sungai Logawa Kabupaten Banyumas. Mengetahui banyaknya kejadian longsor pada tiap kelas kemiringan lereng di
Sub-Daerah Aliran
Sungai Logawa Kabupaten Banyumas. Sub-Daerah Aliran Sungai Logawa Kabupaten Banyumas Pendekatan kuantitatif dengan menggunakan analisis keruangan, metode survey lapangan, teknik pengambilan sample menggunakan incidental sampling Tabel kejadian longsor lahan pada tiap kelas kemiringan lereng.
E. Landasan Teori
1) Longsorlahan
Secara umum longsorlahan adalah perpindahan material pembentuk
lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah yang bergerak ke bawah atau
keluar lereng. Secara geologi longsorlahan adalah suatu peristiwa geologi
dimana terjadi pergerakan tanah seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan
besar tanah.
2) Lereng
Lereng adalah perbandingan antara beda tinggi ( jarak vertikal ) suatu
lahan dengan jarak mendatar. Besar kemiringan lereng dapat dinyatakan
dengan beberapa satuan, diantaranya adalah dengan % (persen) dan o (derajat).
Material yang membentuk lereng memiliki kecenderungan tergelincir
geseran tanah dari material tersebut. Gangguan terhadap kestabilan tanah
terjadi bila tahanan geseran tanah tidak dapat mengimbangi gaya-gaya yang
menyebabkan gelincir sehingga terjadi longsorlahan.
3) Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan
satu kesatuan dengan sungai dan anak- anak sungainya, yang berfungsi
menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan
ke danau atau ke laut secara alami.
F. Kerangka Pikir
Secara umum longsorlahan adalah perpindahan material pembentuk
lereng, dimana lereng adalah perbandingan antara beda tinggi suatu lahan dengan
jarak mendatar. Penyebab terjadinya longsor di sekitar Sub Daerah Aliran Sungai
adalah karena hujan yang deras dan tanah yang tidak kuat sehingga tidak mampu
menahannya. Tanah yang tidak kuat jika didirikan bangunan di sekitar sub Daerah
Aliran Sungai maka dapat menyebabkan terjadinya longsor. Hal lain dapat
disebabkan pula karena tidak adanya penguat seperti tidak ada tanaman penopang
akibat dari penggundulan hutan.
Di Kabupaten Banyumas sering dijumpai kejadian longsor, dikarenakan
tanah yang tidak kuat diguyur oleh air hujan dan di dirikan bangunan permukiman
sehingga sering terjadi bencana tanah longsor. Sub-Daerah Aliran Sungai Logawa
dilakukan untuk mengetahui banyaknya kejadian longsor pada tiap kelas
kemiringan lereng yang disajikan gambar 2.3 alur kerangka pikir sebagai berikut :
Gambar 2.7 Alur kerangka pikir
G. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “ Kejadian
Longsorlahan terbanyak terdapat pada lereng kelas curam ”, karena pada lereng
kelas curam memiliki kondisi tanah yang paling tidak stabil ( Dedy Muljadihardja,
tt ).
Data Kejadian Longsorlahan
Peta Kelas Kemiringan Lereng Peta Kejadian Longsorlahan
Peta Kejadian Longsorlahan pada