SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik
Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Oleh:
Silvia Romanova NIM. 6661120857
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
Silvia Romanova. NIM. 6661120857. SKRIPSI. 2016. Implementasi Program Pro Rakyat Fase Ke 5 Pemerintah Kota Cilegon (Studi Kasus Warung Ekonomi Pedagang Kaki Lima). Konsentrasi Kebijakan Publik, Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Pembimbing I: Leo Agustino, Ph.D., Pembimbing II: Listyaningsih, S.Sos., M.Si
Program pro rakyat Pemerintah Kota Cilegon merupakan wujud dari “Agenda Cilegon Sejahtera” yang ada di dalam RPJMD 2010-2015 Kota Cilegon. Program pro rakyat dikelompokkan ke dalam 5 fase. Pada fase ke 5 salah satunya yaitu program bantuan kios warung ekonomi pedagang kaki lima. Tujuan program ini yaitu untuk menciptakan ketertiban, keindahan, dan kenyamanan pedagang dalam berusaha. Adapun permasalahannya yakni sosialisasi program warung ekonomi pedagang kaki lima belum dilakukan secara maksimal, pelaksanaan bantuan kios warung ekonomi belum dilakukan secara merata, besaran pinjaman penerima bantuan kios warung ekonomi tidak mempertimbangkan ketentuan, dan tidak adanya koordinasi antara pihak pelaksana warung ekonomi dengan Satpol PP Kota Cilegon. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Implementasi Program Pro Rakyat Fase Ke 5 Pemerintah Kota Cilegon (Studi Kasus Warung Ekonomi Pedagang Kaki Lima). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Peneliti menggunakan teori implementasi dari Merilee S. Grindle. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Implementasi Program Pro Rakyat Fase Ke 5 Pemerintah Kota Cilegon (Studi Kasus Warung Ekonomi Pedagang Kaki Lima) belum berjalan optimal. Hal tersebut dikarenakan terdapat perbedaan kepentingan antara pihak pelaksana program warung ekonomi pedagang kaki lima dengan pihak Satpol PP Kota Cilegon dalam melakukan kegiatan penertiban yang dapat menghambat pelaksanaan dari program warung ekonomi tersebut. Saran dari peneliti adalah kepentingan yang mempengaruhi program harus dikaji ulang oleh pemerintah dengan membuat kebijakan khusus dalam program ini agar dapat memiliki kekuatan lebih, pelaksanaannya jelas, serta kepentingan yang ada dapat sejalan agar dapat mengoptimalkan pelaksanaan program warung ekonomi tersebut.
Silvia Romanova. NIM. 6661120857. Thesis. 2016. The Implementation of Fifth Phase Pro-People Program in Cilegon Government (Case Study of “Warung Ekonomi” Street Sellers). Concentration in Public Policy, State Administration Major, Faculty of Social and Political Sciences, University of Sultan Ageng Tirtayasa. Advisor I: Leo Agustino, Ph.D., Advisor II: Listyaningsih, S.Sos., M.Si
Pro-people program in Cilegon Government is a manifestation of the "Agenda Cilegon Sejahtera". It was arranged in RPJMD Cilegon City period 2010-2015. Pro-people program are grouped into five phases. In phase 5, one of program is supporting “Warung Ekonomi” to street seller. The initial goal of this program is to create order, beauty, and comfort merchants in the attempt. Problems identified of the research in this study is the socialization of fifth phase pro-people program “Warung Ekonomi” street sellers not optimal, assistance to street sellers has not done evenly, the amount of loan beneficiaries to street sellers does not take into consideration the provisions, and lack of coordination between the assistance to street sellers with Satuan Pamong Praja/Satpol PP. This study aims to determine the implementation of fifth phase pro-people program in Cilegon Government (Case Study of “Warung Ekonomi” Street Sellers). This research uses descriptive method with qualitative approach. Researcher uses the theory of implementation of Merilee S. Grindle. The results showed that the implementation of fifth phase pro-people program in Cilegon Government (Case Study of “Warung Ekonomi” street sellers) haven’t run optimally. It’s because there are any conflict of interests between the street seller and Satpol PP Cilegon in conducting enforcement activities that can obstruct the program. Suggestion of researcher that the program must be reviewed by the government to make a specific policy in this program in order to have more power, clear implementation, as well as the interests that can be aligned in order to optimize the implementation of the program.
viii
5. Kandung Sapto Nugroho, S.Sos., M.Si selaku Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
6. Listyaningsih, M.Si selaku Ketua Prodi Ilmu Administrasi Negara dan Dosen Pembimbing II Skripsi yang telah memberikan ilmunya serta membimbing peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Arenawati M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis dari awal hingga akhir.
8. Leo Agustino, Ph. D selaku Dosen Pembimbing I Skripsi yang selalu membimbing, memberikan ilmunya, serta memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas segala ilmu dan bantuannya. 9. Semua Dosen dan Staff Jurusan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang membekali penulis dengan ilmu pengetahuan selama perkuliahan.
10.Kesbanglinmas Kota Cilegon yang telah memberikan izin penelitian kepada peneliti.
11.Unit Pelayanan Teknis Pemberdayaan Masyarakat Kota Cilegon yang telah memberikan informasi kepada peneliti.
12.Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) PT. Krakatau Steel yang telah memberikan informasi kepada peneliti.
ix peneliti.
16.Dinas Tata Kota Cilegon yang telah memberikan informasi kepada peneliti. 17.Para pedagang kaki lima pemilik warung ekonomi yang telah bersedia untuk
meluangkan waktunya dan memberikan informasi kepada peneliti.
18.Kedua orang tua yang selalu membimbing dan mengantarkan anaknya sampai ke dalam tahap perguruan tinggi. Terimakasih banyak pa, ma. 19.Saudara-saudariku, Dian, Vina, Aldy, dan Alya dan keluarga besar.
20.M. Rafli Maulid yang selalu memberikan semangat dan selalu menemani sehingga penulis dapat termotivasi untuk cepat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
21.Sahabat-sahabatku, dan teman-teman seperjuangan kelas C Administrasi Negara angkatan 2012. Khususnya “Ngebet Lulus”: Mentari, Annisa, Nur, Rani, Tangen, dan Ulfa semoga kami semua dapat sukses bersama.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini terdapat kekurangan. Oleh karena itu peneliti mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun. Penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam skripsi ini terjadi kesalahpahaman yang kurang berkenan selama penulis melakukan penelitian. Terimakasih.
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
ABSTRAK
ABSTRACT
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
xi
1.4 Rumusan Masalah ... 10
1.5 Tujuan Penelitian ... 11
1.6 Manfaat Penelitian ... 11
1.7 Sistematika Penulisan ... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN ASUMSI DASAR 2.1 Tinjauan Pustaka ... 14
2.1.1 Definisi Kebijakan ... 15
2.1.2 Definisi Publik ... 18
2.1.3 Definisi Kebijakan Publik ... 19
2.1.4 Implementasi Kebijakan Publik ... 24
2.1.5 Pedagang Kaki Lima ... 37
2.1.6 Program Pro Rakyat Pemerintah Kota Cilegon ... 41
2.1.7 Warung Ekonomi Pedagang Kaki Lima ... 44
2.2 Penelitian Terdahulu ... 49
xii
3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ... 56
3.2 Fokus Penelitian ... 57
3.3 Lokasi Penelitian ... 58
3.4 Fenomena yang Diamati ... 59
3.5 Instrumen Penelitian ... 62
3.6 Informan Penelitian ... 63
3.7 Teknik Pengumpulan Data ... 65
3.8 Teknik Analisis Data ... 66
3.9 Uji Keabsahan Data ... 69
3.10 Jadwal Penelitian ... 71
BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Obyek Penelitian ... 73
4.1.1 Profil Kota Cilegon ... 73
xiii
4.2.1 Deskripsi Data Penelitian ... 85
4.2.2 Informan Penelitian ... 88
4.3 Hasil Temuan ... 90
4.3.1 Content of Policy ... 90
4.3.2 Context of Policy ... 109
4.4 Pembahasan Hasil Penelitian ... 117
4.4.1 Content of Policy ... 117
4.4.2 Context of Policy ... 134
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 140
5.2 Saran ... 142
DAFTAR PUSTAKA
xiv
Tabel 3.1 Pedoman Wawancara Penelitian ... 61
Tabel 3.2 Deskripsi Informan ... 64
Tabel 3.3 Jadwal Penelitian ... 72
xv
Gambar 2.1 Pola Sistem Kebijakan ... 16
Gambar 2.2 Siklus Skematik dari Kebijakan Publik ... 23
Gambar 2.3 Alur Penerima Bantuan Kios Warung Ekonomi ... 47
Gambar 2.4 Kerangka Berfikir ... 54
1
1.1 Latar Belakang Masalah
Setiap orang pasti dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya masing-masing mulai dari kebutuhan lahiriah sampai kebutuhan jasmaniah. Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya setiap orang memiliki cara yang berbeda-beda, tergantung dengan kondisi dan kemampuan yang dimilikinya. Terlebih dalam memenuhi kebutuhan hidup, keadaan ekonomilah yang selalu menuntut setiap orang untuk selalu berusaha agar kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi dengan cara bekerja diberbagai macam tempat, ataupun memulai dan membangun usahanya sendiri.
Salah satu contoh usaha kecil dalam sektor informal adalah pedagang kaki lima. Menurut Ali (2012: 186) pedagang kaki lima merupakan usaha kecil yang dilakukan oleh masyarakat berpenghasilan rendah (gaji harian) dan mempunyai modal yang terbatas temasuk dalam sektor informal, di mana merupakan pekerjaan tidak tetap dan tidak terampil serta golongan-golongan yang tidak terkait pada aturan hukum, hidup serba susah dan semi kriminil pada batas-batas tertentu.
Pedagang Kaki Lima (PKL) sepertinya tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia, pegadang kaki lima dapat ditemukan diberbagai macam tempat seperti di pinggiran jalan protokol, salah satunya seperti yang terdapat pada wilayah pinggiran jalan protokol Kota Cilegon. Pemerintah Kota Cilegon memiliki aturan tersendiri mengenai keberadaan pedagang kaki lima, seperti yang telah dijelaskan dalam Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2003 Tentang Pengendalian Pedagang Kaki Lima yang bertujuan untuk mengendalikan serta mengatur PKL yang menjual serta mendirikan usahanya agar sesuai dengan aturan yang ditentukan oleh pemerintah daerah. Dengan dibuatnya Perda tersebut pemerintah dapat mengendalikan serta memberikan peluang bagi usaha kecil seperti pedagang kaki lima yang berjualan di sepanjang jalur protokol Kota Cilegon.
Merujuk kepada website resmi Pemerintah Kota Cilegon (
http://cilegon.go.id/civ4/index.php/pemerintahan/program-pro-rakyat-kota-cilegon) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kota Cilegon
Cilegon dibawah kepemimpinan Walikota H. Tb Iman Ariyadi S.Ag.MM.M.Si dan Wakil Walikota Drs. H. Edi Ariyadi,M.S menempatkan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai prioritas utama pembangunan. Untuk melakukan percepatan pembangunan dalam hal peningkatan kesejahteraan tersebut, Pemkot Cilegon terus melakukan inovasi-inovasi guna menciptakan program kebijakan dan sistem yang dapat mendorong mewujudkan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) 2010-2015 Kota Cilegon, pemerintah akan menggagas arah baru pemerintahan melalui program pro rakyat yang dituangkan kedalam salah satu bagian 5 agenda besar kepemimpinannya yaitu ”Agenda Cilegon Sejahtera” yang diluncurkan pada 25 Februari 2011. Salah satunya dengan menciptakan Program Pro Rakyat yang dilakukan melalui 5 Fase yang terdapat dalam website resmi Pemerintah Kota Cilegon, yaitu: (i) Program Pro Rakyat dalam Aspek Pendidikan; (ii) Program Pro Rakyat dalam Aspek Kesehatan; (iii) Program Pro Rakyat dalam Aspek Pemberdayaan Ekonomi yaitu Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Berbasis Kecamatan (PEM BK) Melalui Program One District One Billion For Entrepeneurship; (iv) Program Pro Rakyat Dalam Aspek Lingkungan yaitu
Program Pro Rakyat Fase Ke 5 dalam upaya mewujudkan peningkatan kesejahteraan pada masyarakat Cilegon berbasis kepada pemberdayaan ekonomi masyarakat, program tersebut dimaksudkan untuk melaksanakan kegiatan untuk memampukan dan bertanggung jawab kepada masyarakat dalam mengelola kegiatan usaha atau wirausaha untuk meningkatkan kesejahteraannya. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah Kota Cilegon juga memperhatikan unsur penghasilan rumah tangga ekonomi masyarakat Kota Cilegon terutama yang memiliki usaha kecil, dengan diwakili oleh penyaluran pinjaman modal dari PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan) PT. Krakatau Steel dan penyaluran pembentukan wirausaha baru dari Unit Pelaksanaan Teknis Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (UPT PEM) Kota Cilegon, serta beberapa bantuan sosial dan bantuan peralatan dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Kota Cilegon.
Salah satunya seperti yang tertera dalam website resmi Pemerintah Kota Cilegon ( http://cilegon.go.id/civ4/index.php/pemerintahan/program-pro-rakyat-kota-cilegon) melalui Program Pro Rakyat Fase Ke 5 Pemerintah Kota Cilegon yaitu
Krakatau Steel tersebut tertuang dalam MoU (Memorandum of Understanding)
tentang pelaksanaan program kemitraan dan bina lingkungan PT. Karakatau Steel (Persero) Tbk.
Adapun hasil observasi awal dengan kepala UPT PEM Kota Cilegon menjelaskan bahwa bantuan kios warung ekonomi masih tergolong ke dalam program dana bergulir, yang berbeda hanya pada jenis pinjaman yang diberikan. Sehingga pelaksanaan bantuan kios warung ekonomi ini mengacu kepada Perwal Nomor 25 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Dana Bergulir Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Kota Cilegon. Bantuan kios warung ekonomi merupakan mitra binaan yang diberikan pinjaman melalui pengembangan usaha yang termasuk ke dalam investasi modal kerja yang berbentuk pemberian bantuan kios warung ekonomi pedagang kaki lima ini. Adapun pinjaman dana yang diberikan kepada setiap mitra binaan maksimal sebesar Rp. 3.000.000,- yang dicicil dalam jangka waktu satu tahun + jasa pinjaman sebesar 6%. Pelaksanaan warung ekonomi sendiri di bagi menjadi dua tahap yang pertama yaitu pada tahun 2014 dan yang kedua yaitu pada tahun 2015. Bantuan kios warung ekonomi ini berbentuk kios atau gerobak besi yang berwarna merah dan di depan kios tersebut terdapat logo Kota Cilegon dan PT. Krakatau Steel. Saat ini sudah terdapat 34 kios bantuan dari pemerintah Kota Cilegon yang terletak di trotoar jalur protokol.
mensejahterakan rakyat yang dilakukan melalui pemberian bantuan kepada usaha kecil dalam rangka mengembangkan serta meningkatkan perekonomian masyarakat Kota Cilegon sehingga dapat mewujudkan Visi Kota Cilegon, yaitu “Masyarakat Cilegon Sejahtera Melalui Daya Dukung Industri, Perdagangan Dan Jasa”
sosialisasi awal memang dominan dilakukan di tempat tersebut karena tempat tersebut dinilai cukup strategis dalam pelaksanaan warung ekonomi.
Keempat, pada observasi awal peneliti dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Cilegon menemukan tidak adanya koordinasi antara pihak pelaksana warung ekonomi pedagang kaki lima dengan Satpol PP Kota Cilegon. Dalam hal ini pemerintah daerah menyerahkan wewenangnya kepada Satpol PP Kota Cilegon untuk melaksanakan tugas pembinaan serta penertiban PKL yang ada di Kota Cilegon. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, pihak pelaksana warung ekonomi tidak berkoordinasi dengan Satpol PP Kota Cilegon sehingga dalam pelaksanaan program tersebut berbenturan dengan tugas dari Satpol PP yaitu untuk mentertibkan para PKL yang berjualan di atas trotoar sepanjang jalur protokol Kota Cilegon, sedangkan program pemerintah Bantuan Kios Warung Ekonomi Pedagang Kaki Lima ini ditempatkan di atas trotoar jalan sehingga tidak jarang pedagang kaki lima atau pedagang yang mendapatkan bantuan kios warung ekonomi dari pemerintah Kota Cilegon juga ikut ditertibkan oleh petugas Satpol PP. Selain itu juga alasan pihak Satpol PP untuk mentertibkan PKL dan warung ekonomi karena mereka memang melanggaran ketentuan yang ada dalam letak berjualan yaitu memakai trotoar jalan untuk berjualan.
Dari latar belakang masalah yang telah diungkapkan di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai: “Implementasi Program Pro Rakyat Fase Ke 5 Pemerintah Kota Cilegon (Studi Kasus Warung Ekonomi Pedagang Kaki
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah diatas, peneliti mengidentifikasikan permasalahan sebagai berikut:
1. Sosialisasi Program Pro Rakyat Fase Ke 5 mengenai bantuan kios warung ekonomi pedagang kaki lima belum dilakukan secara maksimal.
2. Pelaksanaan Program Pro Rakyat Fase Ke 5 mengenai bantuan kios warung ekonomi pedagang kaki lima belum dilakukan secara merata sesuai dengan asas pada Perwal Kota Cilegon Nomor 25 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Dana Bergulir Pemberdayaan Masyarakat Kota Cilegon. 3. Besaran jasa pinjaman yang dibebankan kepada masyarakat penerima
bentuan kios warung ekonomi tidak mempertimbangkan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Perwal Kota Cilegon Nomor 25 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Dana Bergulir Pemberdayaan Masyarakat Kota Cilegon.
4. Tidak adanya koordinasi antara pihak pelaksana warung ekonomi pedagang kaki lima dengan Satpol PP Kota Cilegon.
1.3 Batasan Masalah
Program Pro Rakyat di Kota Cilegon. Dalam hal ini peneliti membuat batasan masalah penelitiannya hanya pada implementasi Program Pro Rakyat Fase Ke 5 Pemerintah Kota Cilegon yaitu warung ekonomi pedagang kaki lima.
Selanjutnya yang dimaksud dengan Implementasi program disini adalah Implementasi Program Pro Rakyat Fase Ke 5 Pemerintah Kota Cilegon (Studi Kasus Warung Ekonomi Pedagang Kaki Lima).
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan dari latar belakang masalah, identifikasi masalah dan batasan masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah Implementasi Program Pro Rakyat Fase Ke 5 Pemerintah Kota Cilegon (Studi Kasus Warung Ekonomi Pedagang Kaki Lima)?”
1.5 Tujuan Penelitian
1.6 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian yang berjudul Implementasi Program Pro Rakyat Fase Ke 5 Pemerintah Kota Cilegon (Studi Kasus Warung Ekonomi Pedagang Kaki Lima) adalah:
1. Secara Teoritis
Secara teoritis penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan keilmuan dan pengetahuan karena akan menambah ilmu pengetahuan dalam dunia akademis khususnya Ilmu Administrasi Negara, terutama yang berkaitan dengan implementasi kebijakan publik. Selain itu, penelitian ini juga dapat bermanfaat untuk pengembangan studi implementasi kebijakan publik. 2. Secara praktis
Bagi penulis, diharapkan penelitian ini dapat mengembangkan kemampuan dan penguasaan ilmu-ilmu yang telah diperoleh peneliti selama mengikuti pendidikan di Program Studi Ilmu Administrasi Negara Universitas Sultan Ageng Tirtayasa sampai saat ini. Selain itu, karya peneliti dapat dijadikan bahan informasi dan referensi bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.
1.7 Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN ASUMSI DASAR
Bab ini berisi tentang beberapa teori yang digunakan sebagai orientasi dan landasan teori, serta kerangka berfikir guna menunjang kajian dalam penelitian ini. Selanjutnya terdapat penelitian terdahulu dan asumsi dasar yang digunakan dalam peneltian ini
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini menjelaskan mengenai metode peneltian yang digunakan peneliti dalam penelitian ini
BAB IV HASIL PENELITIAN
Bab ini berisi paparan data-data dan hasil dari wawancara sebagai hasil dari peneltian, baik hasil wawancara maupun observasi lengkap dengan analisisnya.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan atau hasil kajian penelitian, sekaligus paparan saran yang bisa di sampaikan oleh peneliti.
DAFTAR PUSTAKA
Bagian ini berisi referensi yang digunakan dalam skripsi ini. LAMPIRAN-LAMPIRAN
14
2.1 Tinjauan Pustaka
Suatu teori adalah suatu konseptualisasi yang umum. Konseptualisasi atau sistem pengertian ini diperoleh melalui, jalan yang sistematis. Suatu teori harus dapat diuji kebenarannya, bila tidak, dia bukan suatu teori. Dalam bidang Administrasi Hoy & Miskel dalam Sugiyono (2013: 55) mengemukakan definisi teori sebagai berikut:
Theory in administration, however has the same role as theory in physics, chemistry,
or biology; that is providing general explanations and guiding research.
Menurut Wirawan (2012: 27) mengemukakan tiga hal mengenai teori:
1. Teori merupakan suatu set dalil yang terdiri dari konstruk-konstruk yang mempunyai definisi dan saling terkait.
2. Teori mengemukakan saling terkaitnya suatu set variabel-variabel (konstruk-konstruk), dan dalam melakukan itu, mengemukakan suatu pandangan sistematik mengenai fenomena yang dilukiskan oleh variabel-variabel.
3. Teori menjelaskan fenomena. Dalam melakukan hal tersebut teori menjelaskan variabel apa, berkaitan dengan variabel apa, dan bagaimana variabel-variabel tersebut berhubungan. Jadi memungkinkan peneliti untuk memprediksi dari variabel tertentu ke variabel lainnya.
dalam ilmu-ilmu lainnya diciptakan berbeda namun memiliki satu tujuan yang sama yaitu untuk menjelaskan dan dapat digunakan sebagai panduan dalam sebuah penelitian.
Tinjauan pustaka dalam suatu penelitian merupakan uraian sistematis tentang teori dan hasil-hasil penelitian yang relavan dengan variabel yang akan diteliti, jumlah kelompok teori yang akan dideskripsikan tergantung pada luasnya permasalahan dan tergantung pada jumlah variabel yang diteliti. Adapun teori merupakan sebuah penjelasan, pendefinisian, dan uraian-uraian secara mendalam dan lengkap dari suatu variabel-variabel yang digunakan dalam sebuah penelitian agar variabel tersebut menjadi lebih jelas dan terarah.
2.1.1 Definisi Kebijakan
Dunn dalam Ali (2012: 13) menyarankan bahwa kebijakan dianggap sebagai rangkaian yang panjang dari kegiatan yang lebih kurang saling berhubungan dan berakibat untuk sesuatu yang perlu diperhatikan dari sekedar sebagai suatu keputusan tertentu. Adapun definisi Rose dalam Ali (2012: 13) memperkuat dugaan bahwa kebijakan adalah arah dan pola dari kegiatan dan bukan sekedar keputusan untuk melalukan sesuatu. Dunn dalam Ali (2012: 14) merumuskan kebijakan sebagai:
terjadi dalam usaha mencapai tujuan atau merealisasikan program atau tujuan yang dikehendaki.”
Selain itu terdapat definisi kebijakan lainnya, Budiarjo (2008: 20) mendefinisikan kebijakan (policy):
“Suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu. Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.”
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah suatu konsep yang dibuat untuk menghadapi atau menyelesaikan suatu permasalahan tertentu, ditentukan dan dibuat oleh pemerintah yang memiliki wewenang yang berisi suatu nilai-nilai ataupun suatu program yang akan dicapai untuk memenuhi suatu tujuan yang telah direncanakan sebelumnya dan harus dipatuhi.
Gambar 2.1 Pola Sistem Kebijakan
Sumber: Dunn dalam Ali (2012: 39)
Pola yang diperlihatkan oleh sistem kebijakan menunjukan bahwa ada 3 sub sistem yang saling berinteraksi dalam suatu kesatuan sistem tindakan. Terlihat sub sistem stakeholder atau para pelaku kebijakan berinteraksi dengan lingkungan
kebijakan (policy environment) dan dengan kebijakan publik yang diperlukan (publik policy). Interaksi berlangsung secara timbal balik dalam pengertian para stakeholder
yang mempengaruhi para pelaku kebijakan.
Ukuran-ukuran suatu kebijakan menurut Hoogerwerf dalam Ali (2012: 17) terdiri dari 3 (tiga) ukuran, yaitu:
1. Asas termasuk di dalamnya teori yang mendasari; Policy
Environment
Stakeholder
2. Norma hukum yang diperlukan; dan 3. Tujuan yang diinginkan untuk dicapai.
Terhadap pembagian atas dasar corak kebijakan, Sharkansky dalam Ali (2012: 96) membagi model kebijakan ke dalam 4 (empat corak), yaitu:
1. Kebijakan Distributive yaitu kebijakan yang memberikan hasil kepada
suatu kelompok atau lebih. Pemberian sesuatu melalui suatu kebijakan yang dilakukan oleh yang berkompeten di bidangnya dan pemberian adalah bertujuan. Pengaturan yang dilakukan atas dasar adanya proses permintaan atau permohonan yang terjadi dan atau atas dasar permasalahan yang dipandang relavan dengan kebutuhan orang yang diberikan.
2. Kebijakan re-distributive diartikan sebagai kebijakan yang membagi
kembali diaman dilakukan pemberian hasil terhadap satu atau beberapa kelompok tetapi dengan merugikan kelompok lain. Hal ini pun mengandung aspek pengaturan, walaupun disatu pihak diberikan keuntungan sementara pihak lain harus dirugikan.
3. Kebijakan regulatory adalah kebijakan yang mengatur. Ini dimaksudkan
sebagai kebijakan yang memberi pembatasan terhadap tindakan-tindakan atau tingkah laku dari satu atau lebih kelompok dengan demikian meniadakan atau membenarkan walaupun secara tidak langsung perolehan hasil-hasil terntentu untuk kelompok-kelompok ini.
4. Kebijakan self-regulatory adalah kebijakan yang mengatur diri sendiri
menentukan juga pembatasan terhadap tingkah laku atau tindakan dari satu atau lebih kelompok, dengan demikian justru memperbesar hasil-hasil yang akan diperoleh dan tidak menguranginya.
2.1.2 Definisi Publik
Menurut Syafiie (2006: 18) Publik adalah sejumlah manusia yang memiliki kesamaan berpikir, perasaan, harapan, sikap, tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka miliki.
Selain itu Syafiie (2010: 17) juga mendefinisikan publik sebagai berikut: “istilah publik berasal dari bahasa Inggris public yang berarti umum,
offering (penawaran umum), public ownership (milik umum), public service corporation (perseroan jasa umum), public switched network (jaringan telepon
umum), public utility (perusahaan umum) dan lain-lain. Yang didefinisikan
sebagai “masyarakat” misalnya public relation (hubungan masyarakat), public service (pelayanan masyarakat), publik opinion (pendapat masyarakat), public interest (kepentingan masyarakat), dan lain-lain. Yang didefinisikan sebagai
negara misalnya public authorities (otoritas negara), public building (gedung
negara), public finance (keuangan negara).”
Jadi yang dimaksud dengan publik yaitu sekumpulan masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang memiliki suatu pandangan tertentu tetapi secara garis besar memiliki kepentingan yang sama dan saling mempengaruhi serta memiliki timbal balik diantaranya.
Adapun pendapat dari Frederickson dalam Syafiie (2006: 17) menjelaskan lima model formal yang berkaitan dengan kedudukan konsep publik yang umum digunakan dalam ilmu-ilmu sosial untuk dikaji dalam rangka revitalisasi konsep tersebut, sehingga diharapkan muncul suatu perspektif baru yang menjadi esensi administrasi publik modern. Kelima perspektif untuk memahami konsep publik tersebut memuat:
1. Perspektif pluralis. Dalam perspektif ini publik dipandang sebagai konfigurasi dari berbagai kelompok kepentingan. Pendukung perspektif ini berpendapat bahwa setiap orang punya kepentingan yang sama akan bergabung satu sama lain dan membentuk suatu kelompok yang pada nantinya kelompok-kelompok tersebutberinteraksi dan berkompetisi untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan individu yang mereka wakili, khususnya dalam konteks pemerintahan.
termotivasi oleh kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda satu sama lainnya.
3. Perspektif legislative. Sifat pemerintahan yang demokrasi tidak selalu menggunakan sisrtem perwakilan secara langsung. Pada kenyatannya, banyak pemerintah yang demokratis akan tetapi menggunakan sistem perwakilan secara tidak langsung. Asumsi perspektif ini adalah bahwa setiap pejabat yang diangkat untuk mewakili kepentingan publik, sehingga mereka melegitimasi mewujudkan perspektif publik dalam administrasi publik. Pejabat-pejabat yang di anggap sebagai menifestasi tunggal dari perspektif publik. Jelasnya, perspektif ini tidak bisa untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan publik, baik dalam teori maupun praktik admnistrasi di lapangan.
4. Perspektif penyedia lapangan. Apabila konsep pelayanan orima, maka individu diposisikan sebagai pelanggan. Oleh karenanya perspektif ini memandang bahwa publik sebagai pelanggan yang harus dilayani. Selain itu, aparatur pemerintah yang berada paling dekat dengan publik dengan segala keahlian, pendidikan dan pengetahuan diharapkan memberikan yang terbaik untuk publik. Mempunyai tugas untuk melayani publik yang terdiri atas individu-individu dan kelompok-kelompok.
5. Perspektif kewarganegaraan. Reformasi administrasi publik khususnya di Indonesia dan umumnya di berbagai dunia, ditandai dua tuntutan penting. Pertama, tuntutan adanya pelayanan publik yang lebih terdidik dan terseleksi dengan berdasar pada meritokrasi. Kedua, tuntutan agar setiap warga negara diberi informasi yang cukup agar dapat aktif dalam berbagai kegiatan publik dan memahami konstitusi secara baik.
2.1.3 Definisi Kebijakan Publik
kebijakan publik adalah studi tentang “Apa yang dilakukan oleh pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut, dan apa akibat dari tindakan tersebut.” Eyestone dalam Winarno (2012: 20) mengatakan bahwa “secara luas” kebijakan publik dapat didefinisikam sebagai” hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya”.
Dunn dalam Ali (2012: 13) mengemukakan suatu definisi yang merumuskan kebijakan publik adalah “hubungan dari unit pemerintahan dengan lingkungannya.” Di lain tulisan Dunn dalam (Ali 2012: 13) merumuskan dengan mengemukakan bahwa kebijakan publik ialah apapun yang pemerintah hendak lakukan atau tidak lakukan. Menurut Dye dalam Nugroho (2003: 4) kebijakan publik didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dikerjakan oleh pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda.
Fredrick dalam Nugroho (2003: 5) mendefinisikan kebijakan publik sebagai:
“Serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada, dimana kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu.”
dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut. Sedangkan menurut Carl Friedrich dalam Agustino (2008: 7) mengatakan bahwa:
“Kebijakan Publik adalah serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan-kemungkinan (kesempatan-kesempatan dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud.”
Friedrich dalam Agustino (2008: 7) menambahkan ketentuan bahwa kebijakan tersebut berhubungan dengan penyelesaian beberapa maksud dan tujuan. Meskipun maksud atau tujuan dari kegiatan pemerintah tidak selalu mudah untuk dilihat, tetapi ide bahwa kebijakan melibatkan perilaku yang mempunyai maksud, merupakan bagian penting dari definisi kebijakan. Bagaimanapun juga kebijakan harus menunjukan apa yang sesungguhnya dikerjakan dari pada apa yang diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu masalah.
Kebijakan publik sebenarnya dapat disebut sebagai hukum dalam arti luas, jadi “sesuatu yang mengikat dan memaksa”. Undang-Undang Dasar 1945 Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa:
“Negara Indonesia adalah negara hukum. Kesepakatan nasional tersebut diperkuat dalam Penjelasan UUD 45 pada Sistem Pemerintahan Negara yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machsstaat).”
Kesepakatan awal adalah bahwa negara diselenggarakan atas dasar hukum-hukum yang disepakati bersama. Dalam bentuk yang luas, hukum-hukum itu adalah kebijakan publik dari tingkat yang paling tinggi, yaitu sejak di tingkat tertinggi yaitu Konstitusi (UUD 1945), Ketetapan MPR, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Keputusan Presiden, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Menteri, Keputusan Pimpinan Dinas, dan seterusnya, bahkan hingga peraturan di tingkat Rukun Tetangga (RT).
Dari beberapa definisi mengenai kebijakan publik diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah seperangkat aturan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengatasi suatu permasalahan tertentu, yang mementingkan kesejahteraan dan kelangsungan hidup masyarakat.
Gambar 2.2
Siklus Skematik Dari Kebijakan Publik
Sumber: Nugroho (2003: 73)
1. Terdapat isu atau masalah publik. Disebut isu apabila masalahnya bersifat strategis, yakni bersifat mendasar, menyangkut banyak orang atau bahkan keselamatan bersama, (biasanya) berjangka panjang, tidak bisa diselesaikan oleh orang-seorang, dan memang harus diselesaikan. Isu ini diangkat sebagai agenda politik untuk diselesaikan.
2. Isu ini kemudian menggerakkan pemerintah untuk merumuskan kebijakan publik dalam rangka menyelesaikan masalah tersebut. Rumusan kebijakan ini akan menjadi hukum bagi seluruh negara dan warganya termasuk pimpinan negara.
3. Setelah dirumuskan kemudian kebijakan publik ini dilaksanakan baik oleh pemerintah, masyarakat, atau pemerintah bersama-sama dengan masyarakat.
4. Namun di dalam proses perumusan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan, diperlukan tindakan evaluasi sebagai sebuah siklus baru sebagai penilaian
Perumusan Kebijakan Publik
Implementasi Kebijakan Publik Isu / Masalah
Publik
Evaluasi Kebijakan Publik
apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan dengan baik dan benar dan diimplementasikan dengan baik dan benar pula.
5. Implementasi kebijakan bermuara kepada output yang dapat berupa kebijakan itu sendiri maupun manfaat langsung yang dapat dirasakan oleh pemanfaat.
6. Di dalam jangka panjang kebijakan tersebut menghasilkan outcome dalam bentuk impak kebijakan yang diharapkan semakin meningkatkan tujuan yang hendak dicapai dengan kebijakan tersebut.
Kebijakan publik dalam bentuk Undang-Undang atau Perda adalah jenis kebijakan publik yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau yang sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa langsung oprasional antara lain Keppres, Inpres, Kepmen, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas, dan lain-lain. Kebijakan publik menurut Winarno (2012: 33) secara garis besar mencakup tahap-tahap perumusan masalah kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan.
2.1.4 Implementasi Kebijakan Publik
implementasikan agar dapat memiliki manfaat serta pengaruh yang membawa masyarakat ke dalam suatu perubahan ke arah yang lebih baik lagi.
Adapun menurut Nugroho (2003: 158) “implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar suatu kebijakan dapat mencapai tujuannya.” Dan menurut Agustuno (2008: 138) dalam praktiknya “implementasi merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis dengan adanya intervensi sebagai kepentingan.”
Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier dalam Agustino (2008: 139) mendefinisikan Implementasi Kebijakan sebagai:
“Pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan-keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya”.
Selain itu, implementasi kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn dalam Agustino (2008: 139) di definisikan sebagai:
Sedangkan menurut Webster dalam Wahab (2012: 139) merumuskan bahwa Istilah to implement (mengimplementasikan) itu berarti to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu), to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu).
Dari definisi tersebut menurut Agustino (2008: 139) dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan menyangkut tiga hal yaitu:
1. Adanya tujuan atau sasaran kebijakan
2. Adanya aktifitas atau kegiatan pencapaian tujuan 3. Adanya hasil kegiatan
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kegiatan melakukan suatu kegiatan. Sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri.
Hal ini sesuai pula dengan apa yang diungkapkan oleh Lester dan Stewart dalam Agustino (2008: 139) menyatakan bahwa:
Selain itu, Grindle dalam Agustino (2008: 139) mengutarakan suatu hal yang tidak jauh berbeda yaitu:
“Pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang telah ditentukan yaitu melihat pada action program dari individual projects dan
yang kedua apakah tujuan program tersebut tercapai”.
Dari beberapa definisi implementasi yang telah di paparkan diatas, dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan publik merupakan suatu proses atau tahapan yang harus dilalui agar suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat terealisasi dengan baik dan dapat mencapai tujuannya.
Pada studi implementasi kebijakan publik terdapat beberapa model implementasi kebijakan publik yang dikemukakan oleh para ahli untuk melihat indikator-indikator apa saja yang dapat mempengaruhi suatu kinerja implementasi kebijakan publik itu sendiri. Menurut Subarsono (2012: 89) kompleksitas implementasi yaitu:
Adapun beberapa model implementasi kebijakan publik seperti yang telah dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn, Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier, Goerge Edward III, dan Merille S. Grindle. Menurut Van Meter dan Van Horn dalam Agustino (2008: 142) terdapat suatu model implementasi kebijakan publik yang akan mempengaruhi kinerja impelementasi kebijakan publik itu sendiri, yaitu:
1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan
Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika dan hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang mengada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopsi) untuk dilaksanakan dilevel warga, maka agak sulit merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil.
2. Sumberdaya
Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Manusia merupakan sumberdaya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan proses implementasi menuntut adanya sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. Tetapi ketika kompetensi dan kapabilitas dari sumber-sumbernya itu nihil, maka kinerja kebijakan publik sangat sulit untuk diharapkan.
Tetapi diluar sumberdaya manusia, sumber-sumberdaya lain yang perlu diperhitungkan juga, ialah: Sumberdaya finansial dan sumberdaya waktu. Karena mau tidak mau, ketika sumberdaya manusia yang berkompeten dan kapabel telah tersedia, maka memang menjadi persoalan pelik untuk merealisasikan apa yang hendak dituju oleh tujuan kebijakan publik. Demikian pula halnya dengan sumberdaya waktu. Saat sumberdaya manusia giat bekerja dan kucuran dana berjalan dengan baik, tetapi terbentur dengan persoalan waktu yang terlalu ketat, maka hali ini pun menjadi penyebab ketidakberhasilan implementasi kebijakan. Karena itu, sumberdaya yang diminta dan dimaksud oleh Van Meter dan Van Horn adalah ketiga bentuk sumberdaya tersebut.
3. Karakteristik Agen Pelaksana
publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan agen pelaksananya. Misalnya, implementasi kebijakan publik yang berusaha untuk merubah perilaku atau tingkah laku manusia secara radikal, maka agen pelaksana projek itu haruslah berkarakteristik keras dan ketat pada aturan serta sanksi hukum. Sedangkan bila kebijakan publik itu tidak terlalu merubah perilaku dasar manusia, maka dapat saja agen pelaksana yang diturunkan tidak sekeras dan tidak setegas gambaran yang pertama.
Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan.
4. Sikap/Kecenderungan (Disposisi) para Pelaksana
Sikap penerimaan atau penolakan dari (agen) pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tatpi kebijakan yang dilaksanakan bukanlah akan implementor laksanakan adalah kebijakan “dari atas” (top down) yang sangat mungkin para
pengambil keputusannya tidak pernah mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan.
5. Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana
Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi. Dan begitu pula sebaliknya.
6. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik
Adapun model implementasi kebijakan menurut Mazmanian dan Paul Sabatier dalam Agustino (2008: 145) terdapat tiga variabel yang dapat mempengaruhi kinerja dari impelementasi kebijakan publik, yaitu:
1. Mudah atau tidaknya masalah yang akan digarap, meliputi: a. Kesukaran-kesukaran Teknis.
Tercapai atau tidaknya tujuan suatu kebijakan akan tergantung pada sejumlah pernyataan teknis, termasuk diantaranya: kemampuan untuk mengembangkan indikator-indikator pengukur prestasi kerja yang tidak terlalu mahal serta pemahaman mengenai prinsip-prinsip hubungan kausual yang mempengaruhi masalah. Disamping itu, tingkat keberhasilan suatu kebijakan dipengaruhi juga oleh tersedianya atau telah dikembangkannya teknik-teknik tertentu.
b. Keberagaman Perilaku yang Diatur.
Semakin beragam perilaku yang diatur, maka asumsinya semakin beragam pelayanan yang diberikan, sehingga semakin sulit untuk membuat peraturan yang tegas dan jelas. Dengan demikian semakin besar kebebasan bertindak yang harus dikontrol oleh para pejabat dan pelaksana (administratur atau birokrat) di lapangan.
c. Persentase Totalitas Penduduk yang Tercangkup dalam Kelompok Sasaran.
Semakin kecil dan semakin jelas kelompok sasaran yang perilakunya akan diubah (melalui implementasi kebijakan), maka akan semakin besar peluang untuk memobilisasikan dukungan politik terhadap sebuah kebijakan dan dengannya akan lebih terbuka peluang bagi pencapaian tujuan kebijakan.
d. Tingkat dan Ruang Lingkup Perubahan Perilaku yang Dikehendaki.
a. Kecermatan dan kejelasan penjenjangan tujuan-tujuan resmi yang akan dicapai.
Semakin mampu suatu peraturan memberikan petunjuk-petunjuk secara cermat dan disusun secara jelas skala prioritas/urutan kepentingan bagi para pejabat-pejabat pelaksana dan aktor lainnya. Maka semakin besar pula kemungkinan bahwa
output kebijakan dari badan-badan pelaksana akan sejalan dengan
petunjuk tersebut.
b. Keterandalan teori kausalitas yang diperlukan.
Memuat suatu teori kausalitas yang menjelaskan bagaimana kira-kira tujuan usaha pembaharuan yang akan dicapai melalui implementasi kebijakan.
c. Ketetapan alokasi sumber dana.
Tersedianya dana pada tingkat batas ambang tertentu sangat diperlukan agar terbuka peluang untuk mencapai tujuan-tujuan formal.
d. Keterpaduan hirarki di dalam lingkungan dan diantara lembaga-lembaga atau instansi-instansi pelaksana.
Salah satu ciri penting yang perlu dimiliki oleh peraturan perundang yang baik ialah kemampuannya untuk menyatupadukan dinas, badan, dan lembaga dapat dilaksanakan, maka koordinasi antara instansi yang bertujuan mempermudah jalannya implementasi kebijakan justru akan membuyarkan tujuan dari kebijakan yang telah ditetapkan.
e. Aturan-aturan pembuat keputusan dari badan-badan pelaksana. Selain dapat memberikan kejelasan dan konsistensi tujuan, memperkecil jumlah titik-titik veto dan intensif yang memadai bagi kepatuhan kelompok sasaran, suatu undang-undang harus pula dapat mempengaruhi lebih lanjut proses implementasi kebijakan dengan cara menggariskan secara formal aturan-aturan pembuat keputusan dari badan-badan pelaksana.
f. Kesepakatan para pejabat terhadap tujuan yang termasuk dalam undang-undang.
Para pejabat pelaksana memiliki kesepakatan yang diisyaratkan demi tercapainya tujuan. Hal ini sangat signifikan halnya, oleh karena itu, top down policy bukanlah perkara yang
mudah untuk diimplementasikan pada para pejabat pelaksana di level lokal.
g. Akses formal pihak-pihak luar.
tujuan resmi. Ini maksudnya agar kontrol pada para pejabat pelaksana yang ditunjuk oleh pemerintah pusat dapat berjalan sebagaimana mestinya.
3. Variabel-variabel diluar Undang-undang yang Mempengaruhi Implementasi.
a. Kondisi sosial-ekonomi dan teknologi.
Perbedaan waktu dan perbedaan diantara wilayah-wilayah hukum pemerintah dalam hal kondisi sosial, ekonomi, dan teknologi sangat signifikan berpengaruh terhadap upaya pencapaian tujuan yang digariskan dalam suatu undang-undang. Karena itu, eksternal faktor juga menjadi hal penting untuk diperhatikan guna keberhasilan suatu upaya pengejawantahan suatu kebijakan publik.
b. Dukungan publik.
Hakekat perhatian publik yang bersifat sesaat menimbulkan kesukaran-kesukaran tertentu, karena untuk mendorong tingkat keberhasilan suatu implementasi kebijakan sangat dibutuhkan adanya sentuhakn dukungan dari warga. Karena itu, mekanisme partisipasi publik sangat penting artinya dalam proses pelaksanaan kebijakan publik di lapangan.
c. Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok masyarakat. Perubahan-perubahan yang hendak dicapai oleh suatu kebijakan publik akan sangat berhasil apabila di tingkat masyarakat, warga memiliki sumber-sumber dan sikap-sikap masyarakat yang kondusif terhadap kebijakan yang ditawarkan pada mereka. Ada semacam local genius (kearifan lokal) yang
dimiliki oleh warga yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau ketidakberhasilan implementasi kebijakn publik. Dan, hal tersebut sangat dipengaruhi oleh sikap dan sumber yang dimiliki oleh warga masyarakat.
d. Kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana.
Selain itu terdapat model impelementasi kebijakan yang diberikan oleh George C. Edward III dalam Agustino (2008: 150) terdapat 4 variabel yang akan mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan publik, yaitu:
1. Komunikasi
Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan menurut George C. Eward III adalah komunikasi. Komunikasi menurutnya lebih lanjut sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif terjadi apabila para pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai (atau digunakan) dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi tersebut di atas, yaitu:
a. Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran komunikasi adalah adanya salah pengertian (miskomunikasi), hal tersebut disebagiankan karena komunikasi telah melalui beberapa tingkatan birokrasi, sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan.
b. Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street-level-bureuacrats) haruslah jelas dan tidak
membingungkan (tidak ambigu/mendua). Ketidakjelasan pesan kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi, pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan.
2. Sumberdaya
Variabel atau faktor kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan adalah sumberdaya. Indikator sumberdaya terdiri dari beberapa elemen, yaitu:
a. Staf; sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf. Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebagiankan oleh karena staf yang tidak mencukupi, memadai, ataupun tidak kompeten di bidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak mencukupi, tetapi diperlukan pula kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam meng-implementasikan kebijakan atau melaksanakan tugas yang diinginkan oleh kebijakan itu sendiri.
b. Informasi; dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk, yaitu pertama informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan disaat mereka diberi perintah untuk melakukan tindakan. Kedua informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan. Implementor harus mengetahui apakah orang lain yang terlibat di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut patuh terhadap hukum.
c. Wewenang; pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika wewenang itu nihil, maka kekuatan para implementor dimata publik tidak terlegitimasi, sehingga dapat menggagalkan proses implementasi kebijakan. Tetapi, dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersebut ada, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak, efektivitas kewenangan diperlukan dalam pelaksanaan implementasi kebijakan tetapi di sisi lain, efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi kepentingannya sendiri atau demi kepentingan kelompoknya.
3. Disposisi
Disposisi atau sikap dari pelaksana kebijakan adalah faktor penting ketiga dalam pendekatan mengenai pelaksanaan suatu kebijakan publik. Jika pelaksanaan suatu kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, sehingga dalam praktiknya tidak terjadi bias. Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi ini ialah:
a. Pengangkatan birokrat; disposisi atau sikap para pelaksana akan menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat tinggi. Karena itu, pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan; lebih khusus lagi pada kepentingan warga.
b. Insentif; Edward menyatakan bahwa salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif. Oleh karena itu, pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendukung yang membuat para pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi (self interest) atau
organisasi.
4. Struktur Birokrasi
Dua karakteristik yang dapat mendongkrak kinerja struktur birokrasi/organisasi ke arah yang lebih baik, adalah: melakukan Standar Operating Prosedures (SOPs) dan melaksanakan Fragmentasi. SOPs adalah suatu kegiatan rutin yang memungkinkan para pegawai (atau pelaksana kebijakan/administratur/birokrat) untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya pada tiap harinya sesuai dengan standar yang ditetapkan (atau standar minimum yang dibutuhkan warga). Sedangkan pelaksanaan fragmentasi adalah upaya peyebaran tanggungjawab kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktiuvitas pegawai diantara beberapa unit kerja.
Terakhir terdapat model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Marilee S. Grindle dalam Agustino (2008: 154) terdapat 2 varibel besar yang mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan publik. Keberhasilan implementasi suatu kebijakan publik dapat diukur dari proses pencapaian hasil akhir (outcomes),
yaitu tercapai atau tidaknya tujuan yang ingin diraih. Menurut Grindle dalam Agustino (2008: 154) pengukuran keberhasilan implementasi kebijakan tersebut dapat dilihat dari dua hal, yaitu:
1. Dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan kebijakan sesuai dengan yang ditentukan (design) dengan merujuk pada aksi kebijakannya.
2. Apakah tujuan kebijakan tercapai. Dimensi ini diukur dengan melihat dua faktor, yaitu:
a. Impak atau efeknya pada masyarakat secara individu dan kelompok.
b. Tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok sasaran dan perubahan yang terjadi.
1. Content of Policy menurut Grindle adalah:
a. Interest Affected (kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi) Interest Affected berkaitan dengan berbagai kepentingan yang
mempengaruhi suatu implementasi kebijakan. Indikator ini berargumen bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti melibatkan banyak kepentingan, dan sejauhmana kepentingan-kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap implementasinya, hal inilah yang ingin diketahui lebih lanjut. b. Type of Benefit (tipe manfaat)
Pada poin ini Content of Policy berupaya untuk menunjukkan
atau menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa jenis manfaat yang menunjukkan dampak positif yang dihasilkan oleh pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan.
c. Extent of Change Envision (derajat perubahan yang ingin dicapai)
Setiap kebijakan mempunyai target yang hendak dan ingin dicapai. Content of Policy yang ingin dijelaskan pada pola ini
adalah bahwa seberapa besar perubahan yang hendak atau ingin dicapai melalui suatu implementasi kebijakan harus mempunyai skala yang jelas.
d. Sites of Decision Making (letak pengambilan keputusan)
Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan suatu kebijakan, maka pada bagian ini, harus dijelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang hendak diimplementasikan.
e. Program Implementor (pelaksana program)
Dalam menjalankan suatu kebijakan atau program harus didukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel demi keberhasilan suatu kebijakan. Hal ini harus terdata atau terpapar dengan baik pada bagian ini.
f. Resources Commited (sumber-sumber daya yang digunakan) Pelaksanaan suatu kebijakan juga harus didukung oleh sumber-sumber daya yang mendukung agar pelaksanaannya berjalan dengan baik.
2. Context of Policy menurut Grindle adalah:
a. Power, Interest, and Strategy of Actor Involved (kekuasaan,
diperhitungkan dengan matang, besar kemungkinan program yang hendak di implementasikan akan jauh arang dari api.
b. Institution and Regima Characteristic (karakteristik lembaga dan
rezim yang berkuasa)
Lingkungan dimana suatu kebijakan dilaksanakan juga
berpengaruh terhadap keberhasilannya, maka pada bagian ini ingin dijelaskan karakteristik dari lembaga yang akan turut mempengaruhi suatu kebijakan.
c. Compliance and Responsiveness (tingkat kepatuhan dan adanya
respon dari pelaksana)
Hal ini yang dirasa penting dalam proses pelaksanaan suatu kebijakan adalah kepatuhan dan respon dari para pelaksana, maka yang hendak dijelaskan pada pola ini adalah sejauhmana kepatuhan dan respon dari pelaksana dalam menanggapi suatu kebijakan.
Setelah pelaksanaan kebijakan yang dipengaruhi oleh isi atau konten dan lingkungan atau konteks yang diterapkan, maka akan dapat diketahui apakah para pelaksana kebijakan dalam membuat sebuah kebijakan sesuai dengan apa yang diharapkan, juga diketahui apakah suatu kebijakan dipengaruhi oleh suatu lingkungan, sehingga tingkat perubahan yang diharapkan dapat terjadi.
Adapun kriteria pengukuran keberhasilan implementasi menurut Ripley dan Franklin dalam Anggara (2014: 262) didasarkan pada tiga aspek, yaitu:
1. Tingkat kepatuhan birokrasi terhadap birokrasi di atasnya atau tingkat birokrasi sebagaimana diatur dalam undang-undang
2. Adanya kelancaran rutinitas dan tidak adanya masalah
2.1.5 Pedagang Kaki Lima
UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil menjelaskan bahwa yang di maksudkan dengan ushaa kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan besih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan. Adapun usaha kecil tersebut meliputi: usaha kecil formal, usaha kecil informal dan usaha kecil tradisional. Usaha kaki lima adalah bagian dari Kelompok Usaha Kecil yang bergerak disektor informal, yang oleh istilah dalam UU No. 9 Tahun 1995 di atas dikenal dengan istilah “Pedagang Kaki Lima”.
Pedagang kaki lima muncul dari adanya suatu kondisi pembangunan perekonomian dan pendidikan yang belum merata di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. PKL ini juga timbul dari akibat dari tidak tersedianya lapangan pekerjaan bagi rakyat kecil yang tidak memiliki kemampuan dalam berproduksi. Pemerintah kota dalam hal ini sebenarnya memiliki tanggung jawab didalam melaksanakan pembangunan bidang pendidikan, bidang perekonomian dan penyediaan lapangan pekerjaan. Ketentuan ini diatur dalam peraturan perundang-undangan yang tertinggi yaitu UUD 45. Diantaranya adalah: Pasal 27 ayat (2) UUD 45: “Tiap-tiap warga negara berkah atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya.
Manning dalam Ali (2012: 186) menyebutkan bahwa pedagang kaki lima adalah salah satu pkerjaan yang paling nyata dan penting dikebanyakan kota di Afrika, Asia, Timur Tengah dan Amerika Latin. Menurut Ali (2012: 186) pedagang kaki lima merupakan usaha kecil yang dilakukan oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah (gaji harian) dan mempunyai modal yang terbatas. Dalam bidang ekonomi, pedagang kecil ini termasuk dalam sektor informal, di mana merupakan pekerjaan yang tidak tetap dan tidak terampil serta golongan-golongan yang tidak terikat pada aturan hukum, hidup serba susah dan semi kriminil pada batas-batas tertentu.
Kemudian menurut An-nat dalam Ali (2012: 186) menjelaskan bahwa:
“Istilah pedagang kaki lima merupakan peninggalan zaman penjajahan Inggirs. Istilah ini diambil dari ukuran lebar trotoar yang waktu itu dihitung dengan feet (kaki), yaitu kurang lebih 31 cm lebih sedikit, sedang lebar trotoar
pada waktu itu adalah lima kaki atau sekitar 1,5 meter lebih sedikit. Jadi orang berjualan diatas trotoar kemudian disebut pedagang kaki lima.”
Ali (2012: 186) adalah seseorang yang menjalankan usaha perorangan yang melakukan penjualan barang-barang dengan menggunakan bagian jalan/trotoar dan tempat-tempat untuk kepentingan umum serta tempat lain yang bukan miliknya. Secara garis besar, pemerintah Indonesia menganggap bahwa keberadaan pedagang kaki lima mengganggu kenyamanan pengguna kota atau kawasan karena melakukan kegiatan ekonomi terhadap kepentingan umum.
Selanjutnya menurut definisi International Labour Organization (ILO) dalam Ali (2013: 187):
“Pedagang kaki lima didefinisikan sebagai sektor yang mudah dimasuki oleh pendatang baru, menggunakan sumber-sumber ekonomi dalam negeri, dimiliki oleh keluarga berskala kecil, menggunakan teknologi padat karya, keterampilan yang dibutuhkan diperoleh di luar bangku sekolah, tidak dapat diatur oleh pemerintah dan bergerak dalam persaingan penuh.”
Berdasarkan beberapa pengertian dan definisi-definisi mengenai pedagang kaki lima diatas dapat disimpulkan bahwa pedagang kaki lima merupakan suatu bentuk usaha kecil yang didirikan, tidak perlu menggunakan modal yang besar untuk memulai usahanya tersebut, dan dapat memanfaatkan kondisi serta peluang yang ada.
Kemudian menurut Ali (2012: 187) pengertian pedagang kaki lima adalah kegiatan sektor marjinal (kecil-kecilan) yang mempunyai ciri sebagai berikut:
2. Tidak tersentuh oleh peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah (sehingga kegiatannya sering dikategorikan “liar”).
3. Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan diusahakan dasar hitungan harian.
4. Pendapatan mereka rendah dan tidak menentu.
5. Tidak mempunyai tempat yang tetap dan atau keterkaitan dengan usaha-usaha yang lain
6. Umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah.
7. Tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus sehingga secara luas dapat menyerap bermacam-macam tingkatan tenaga kerja.
8. Umumnya tiap-tiap satuan usaha yang mempekerjakan tenaga yang sedikit dan dari lingkungan keluarga, kenalan atau berasal dari daerah yang sama.
9. Tidak mengenal sistem perbankan, pembukuan, perkreditan dan sebagainya.
Pedagang kaki lima merupakan bagian dari usaha sektor informal, menurut Budiarjo dalam Ali (2012: 189) bahwa pada hakikatnya sektor tersebut adalah marjinilitas di kota seperti pemukiman marjinal, transportasi marjinal, dan ekonomi marjinal termasuk kategori sektor informal (pedagang kaki lima).
Menurut Hidayat dalam Ali (2012: 190) ciri-ciri sektor informal (pedagang kaki lima) adalah sebagai berikut:
1. Kegiatan usaha tidak terorganisir secara baik. 2. Pola unit usaha tidak memiliki izin usaha.
3. Pola kegiatan usaha tidak beraturan dalam arti lokasi maupun pola jam kerja.
4. Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini.
5. Unit usaha mudah keluar masuk dari sub-sektor ke lain sub-sektor. 6. Teknologi yang dipergunakan bersifat tradisional.
7. Modal dan perputaran uang relatif kecil.
10.Sumber dana dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan tidak resmi.
11.Hasil produksi dikonsumsikan oleh golongan berpenghasilan rendah atau menengah.
2.1.6 Program Program Pro Rakyat Pemerintah Kota Cilegon
Merujuk kepada website resmi Pemerintah Kota Cilegon (http://cilegon.go.id) dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) 2010-2015 Kota Cilegon dibawah kepemimpinan Walikota H. Tb Iman Ariyadi S.Ag.MM.M.Si dan Wakil Walikota Drs. H. Edi Ariyadi,M.S menggagas arah baru pemerintahan melalui program pro rakyat yang dituangkan kedalam salah satu bagian 5 agenda besar kepemimpinannya yaitu”Agenda Cilegon Sejahtera” yang diluncurkan pada 25 Februari 2011. Program ini diawali dengan sebuah langkah yang dilakukan walikota melalui berbagai program yang dilaksanakan selama 100 hari pertama kepemimpinanya. Diantaranya dengan berkeliling ke 8 kecamatan dan 43 kelurahan, mengecek langsung kondisi masyarakat dalam hal pendidikan, kesehatan, pendapatan masyarakat, termasuk usaha mikro, usaha kecil dan lingkungan.
Berbekal dari road show dan evaluasi yang telah dilakukan, Walikota Cilegon