• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini berisi kesimpulan atau hasil kajian penelitian, sekaligus paparan saran yang bisa di sampaikan oleh peneliti.

DAFTAR PUSTAKA

Bagian ini berisi referensi yang digunakan dalam skripsi ini. LAMPIRAN-LAMPIRAN

Bagian ini berisi hasil dokumentasi lapangan, matriks wawancara, surat izin penelitian, dan data-data penunjang lainnya yang berkaitan dengan penelitian skripsi ini.

14

2.1 Tinjauan Pustaka

Suatu teori adalah suatu konseptualisasi yang umum. Konseptualisasi atau sistem pengertian ini diperoleh melalui, jalan yang sistematis. Suatu teori harus dapat diuji kebenarannya, bila tidak, dia bukan suatu teori. Dalam bidang Administrasi Hoy & Miskel dalam Sugiyono (2013: 55) mengemukakan definisi teori sebagai berikut:

Theory in administration, however has the same role as theory in physics, chemistry, or biology; that is providing general explanations and guiding research.

Menurut Wirawan (2012: 27) mengemukakan tiga hal mengenai teori:

1. Teori merupakan suatu set dalil yang terdiri dari konstruk-konstruk yang mempunyai definisi dan saling terkait.

2. Teori mengemukakan saling terkaitnya suatu set variabel-variabel (konstruk-konstruk), dan dalam melakukan itu, mengemukakan suatu pandangan sistematik mengenai fenomena yang dilukiskan oleh variabel-variabel.

3. Teori menjelaskan fenomena. Dalam melakukan hal tersebut teori menjelaskan variabel apa, berkaitan dengan variabel apa, dan bagaimana variabel-variabel tersebut berhubungan. Jadi memungkinkan peneliti untuk memprediksi dari variabel tertentu ke variabel lainnya.

Berdasarkan hal diatas teori merupakan sebuah gambaran atau penjelasan yang terkonsep serta sistematis dan dapat dibuktikan kebenarannya. Teori yang ada

dalam ilmu-ilmu lainnya diciptakan berbeda namun memiliki satu tujuan yang sama yaitu untuk menjelaskan dan dapat digunakan sebagai panduan dalam sebuah penelitian.

Tinjauan pustaka dalam suatu penelitian merupakan uraian sistematis tentang teori dan hasil-hasil penelitian yang relavan dengan variabel yang akan diteliti, jumlah kelompok teori yang akan dideskripsikan tergantung pada luasnya permasalahan dan tergantung pada jumlah variabel yang diteliti. Adapun teori merupakan sebuah penjelasan, pendefinisian, dan uraian-uraian secara mendalam dan lengkap dari suatu variabel-variabel yang digunakan dalam sebuah penelitian agar variabel tersebut menjadi lebih jelas dan terarah.

2.1.1 Definisi Kebijakan

Dunn dalam Ali (2012: 13) menyarankan bahwa kebijakan dianggap sebagai rangkaian yang panjang dari kegiatan yang lebih kurang saling berhubungan dan berakibat untuk sesuatu yang perlu diperhatikan dari sekedar sebagai suatu keputusan tertentu. Adapun definisi Rose dalam Ali (2012: 13) memperkuat dugaan bahwa kebijakan adalah arah dan pola dari kegiatan dan bukan sekedar keputusan untuk melalukan sesuatu. Dunn dalam Ali (2012: 14) merumuskan kebijakan sebagai:

“Bentuk tindakan yang dibuat oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu kesempatan dan tantangan lingkungan dimana kebijakan diajukan untuk digunakan guna menanggulangi kesulitan atau permasalahan yang

terjadi dalam usaha mencapai tujuan atau merealisasikan program atau tujuan yang dikehendaki.”

Selain itu terdapat definisi kebijakan lainnya, Budiarjo (2008: 20) mendefinisikan kebijakan (policy):

“Suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu. Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.”

Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah suatu konsep yang dibuat untuk menghadapi atau menyelesaikan suatu permasalahan tertentu, ditentukan dan dibuat oleh pemerintah yang memiliki wewenang yang berisi suatu nilai-nilai ataupun suatu program yang akan dicapai untuk memenuhi suatu tujuan yang telah direncanakan sebelumnya dan harus dipatuhi.

Suatu sistem kebijakan dapatlah diperlihatkan dalam pola sebagaimana pada gambar berikut:

Gambar 2.1 Pola Sistem Kebijakan

Sumber: Dunn dalam Ali (2012: 39)

Pola yang diperlihatkan oleh sistem kebijakan menunjukan bahwa ada 3 sub sistem yang saling berinteraksi dalam suatu kesatuan sistem tindakan. Terlihat sub sistem stakeholder atau para pelaku kebijakan berinteraksi dengan lingkungan kebijakan (policy environment) dan dengan kebijakan publik yang diperlukan (publik policy). Interaksi berlangsung secara timbal balik dalam pengertian para stakeholder

yang mempengaruhi para pelaku kebijakan.

Ukuran-ukuran suatu kebijakan menurut Hoogerwerf dalam Ali (2012: 17) terdiri dari 3 (tiga) ukuran, yaitu:

1. Asas termasuk di dalamnya teori yang mendasari; Policy

Environment

Stakeholder

2. Norma hukum yang diperlukan; dan 3. Tujuan yang diinginkan untuk dicapai.

Terhadap pembagian atas dasar corak kebijakan, Sharkansky dalam Ali (2012: 96) membagi model kebijakan ke dalam 4 (empat corak), yaitu:

1. Kebijakan Distributive yaitu kebijakan yang memberikan hasil kepada suatu kelompok atau lebih. Pemberian sesuatu melalui suatu kebijakan yang dilakukan oleh yang berkompeten di bidangnya dan pemberian adalah bertujuan. Pengaturan yang dilakukan atas dasar adanya proses permintaan atau permohonan yang terjadi dan atau atas dasar permasalahan yang dipandang relavan dengan kebutuhan orang yang diberikan.

2. Kebijakan re-distributive diartikan sebagai kebijakan yang membagi kembali diaman dilakukan pemberian hasil terhadap satu atau beberapa kelompok tetapi dengan merugikan kelompok lain. Hal ini pun mengandung aspek pengaturan, walaupun disatu pihak diberikan keuntungan sementara pihak lain harus dirugikan.

3. Kebijakan regulatory adalah kebijakan yang mengatur. Ini dimaksudkan sebagai kebijakan yang memberi pembatasan terhadap tindakan-tindakan atau tingkah laku dari satu atau lebih kelompok dengan demikian meniadakan atau membenarkan walaupun secara tidak langsung perolehan hasil-hasil terntentu untuk kelompok-kelompok ini.

4. Kebijakan self-regulatory adalah kebijakan yang mengatur diri sendiri menentukan juga pembatasan terhadap tingkah laku atau tindakan dari satu atau lebih kelompok, dengan demikian justru memperbesar hasil-hasil yang akan diperoleh dan tidak menguranginya.

2.1.2 Definisi Publik

Menurut Syafiie (2006: 18) Publik adalah sejumlah manusia yang memiliki kesamaan berpikir, perasaan, harapan, sikap, tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka miliki.

Selain itu Syafiie (2010: 17) juga mendefinisikan publik sebagai berikut: “istilah publik berasal dari bahasa Inggris public yang berarti umum, masyarakat atau negara. Yang didefinisikan sebagai “umum” misalnya public

offering (penawaran umum), public ownership (milik umum), public service corporation (perseroan jasa umum), public switched network (jaringan telepon umum), public utility (perusahaan umum) dan lain-lain. Yang didefinisikan sebagai “masyarakat” misalnya public relation (hubungan masyarakat), public service (pelayanan masyarakat), publik opinion (pendapat masyarakat), public interest (kepentingan masyarakat), dan lain-lain. Yang didefinisikan sebagai negara misalnya public authorities (otoritas negara), public building (gedung negara), public finance (keuangan negara).”

Jadi yang dimaksud dengan publik yaitu sekumpulan masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang memiliki suatu pandangan tertentu tetapi secara garis besar memiliki kepentingan yang sama dan saling mempengaruhi serta memiliki timbal balik diantaranya.

Adapun pendapat dari Frederickson dalam Syafiie (2006: 17) menjelaskan lima model formal yang berkaitan dengan kedudukan konsep publik yang umum digunakan dalam ilmu-ilmu sosial untuk dikaji dalam rangka revitalisasi konsep tersebut, sehingga diharapkan muncul suatu perspektif baru yang menjadi esensi administrasi publik modern. Kelima perspektif untuk memahami konsep publik tersebut memuat:

1. Perspektif pluralis. Dalam perspektif ini publik dipandang sebagai konfigurasi dari berbagai kelompok kepentingan. Pendukung perspektif ini berpendapat bahwa setiap orang punya kepentingan yang sama akan bergabung satu sama lain dan membentuk suatu kelompok yang pada nantinya kelompok-kelompok tersebutberinteraksi dan berkompetisi untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan individu yang mereka wakili, khususnya dalam konteks pemerintahan.

2. Perspektif pilihan publik. Perspektif ini berakar pada tradisi pemikiran utilitarian yang sangat menekan pada awal kebahagiaan dan kepentingan individu,. Pandangan utilitarian berpendapat bahwa publik sebagai konsumen dan pasar. Dengan kata lain perspektif ini mencoba mengaplikasikan prinsip-prinsip ekonomi pasar ke dalam sektor publik, sehingga asumsi metedologis utama dari pandangan ini adalah bahwa tindakan publik harus dimengerti sebagai tindakan individual yang

termotivasi oleh kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda satu sama lainnya.

3. Perspektif legislative. Sifat pemerintahan yang demokrasi tidak selalu menggunakan sisrtem perwakilan secara langsung. Pada kenyatannya, banyak pemerintah yang demokratis akan tetapi menggunakan sistem perwakilan secara tidak langsung. Asumsi perspektif ini adalah bahwa setiap pejabat yang diangkat untuk mewakili kepentingan publik, sehingga mereka melegitimasi mewujudkan perspektif publik dalam administrasi publik. Pejabat-pejabat yang di anggap sebagai menifestasi tunggal dari perspektif publik. Jelasnya, perspektif ini tidak bisa untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan publik, baik dalam teori maupun praktik admnistrasi di lapangan.

4. Perspektif penyedia lapangan. Apabila konsep pelayanan orima, maka individu diposisikan sebagai pelanggan. Oleh karenanya perspektif ini memandang bahwa publik sebagai pelanggan yang harus dilayani. Selain itu, aparatur pemerintah yang berada paling dekat dengan publik dengan segala keahlian, pendidikan dan pengetahuan diharapkan memberikan yang terbaik untuk publik. Mempunyai tugas untuk melayani publik yang terdiri atas individu-individu dan kelompok-kelompok.

5. Perspektif kewarganegaraan. Reformasi administrasi publik khususnya di Indonesia dan umumnya di berbagai dunia, ditandai dua tuntutan penting. Pertama, tuntutan adanya pelayanan publik yang lebih terdidik dan terseleksi dengan berdasar pada meritokrasi. Kedua, tuntutan agar setiap warga negara diberi informasi yang cukup agar dapat aktif dalam berbagai kegiatan publik dan memahami konstitusi secara baik.

2.1.3 Definisi Kebijakan Publik

Banyak sekali definisi mengenai kebijakan publik. Sebagaian besar ahli memberi pengertian kebijakan publik dalam kaitanya dengan keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap akan mebawa dampak baik bagi kehidupan warganya. Bahkan dalam pengertian yang lebih luas, kebijakan publik sering diartikan sebagai “Apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tindak dilakukan”. Seperti kata Dye dalam Parson (2005: xi),

kebijakan publik adalah studi tentang “Apa yang dilakukan oleh pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut, dan apa akibat dari tindakan tersebut.” Eyestone dalam Winarno (2012: 20) mengatakan bahwa “secara luas” kebijakan publik dapat didefinisikam sebagai” hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya”.

Dunn dalam Ali (2012: 13) mengemukakan suatu definisi yang merumuskan kebijakan publik adalah “hubungan dari unit pemerintahan dengan lingkungannya.” Di lain tulisan Dunn dalam (Ali 2012: 13) merumuskan dengan mengemukakan bahwa kebijakan publik ialah apapun yang pemerintah hendak lakukan atau tidak lakukan. Menurut Dye dalam Nugroho (2003: 4) kebijakan publik didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dikerjakan oleh pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda.

Fredrick dalam Nugroho (2003: 5) mendefinisikan kebijakan publik sebagai: “Serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada, dimana kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu.”

Menurut Heinz dan Kenneth Prewitt dalam Agustino (2008: 6-7) mendefinisikan kebijakan publik sebagai keputusan yang dicirikan dengan konsistensi dan pengulangan (repetisi) tingkah laku dari mereka yang membuat dan

dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut. Sedangkan menurut Carl Friedrich dalam Agustino (2008: 7) mengatakan bahwa:

“Kebijakan Publik adalah serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan-kemungkinan (kesempatan-kesempatan dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud.”

Friedrich dalam Agustino (2008: 7) menambahkan ketentuan bahwa kebijakan tersebut berhubungan dengan penyelesaian beberapa maksud dan tujuan. Meskipun maksud atau tujuan dari kegiatan pemerintah tidak selalu mudah untuk dilihat, tetapi ide bahwa kebijakan melibatkan perilaku yang mempunyai maksud, merupakan bagian penting dari definisi kebijakan. Bagaimanapun juga kebijakan harus menunjukan apa yang sesungguhnya dikerjakan dari pada apa yang diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu masalah.

Kebijakan publik dalam arti luas dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kebijakan dalam bentuk peraturan-peraturan pemerintah yang tertulis dalam bentuk peraturan perundangan, dan peraturan-peraturan yang tidak tertulis namun disepakati, yaitu yang disebut sebagai konvensi-konvensi. Peraturan tertulis lebih mudah diamati dan dipahami. Lewi dalam Nugroho (2003: 57) membagi amatan kebijakan publik menjadi dua, yaitu yang berkenaan dengan substansi dan yang berkenaan dengan prosedur.

Kebijakan publik sebenarnya dapat disebut sebagai hukum dalam arti luas, jadi “sesuatu yang mengikat dan memaksa”. Undang-Undang Dasar 1945 Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa:

“Negara Indonesia adalah negara hukum. Kesepakatan nasional tersebut diperkuat dalam Penjelasan UUD 45 pada Sistem Pemerintahan Negara yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machsstaat).”

Kesepakatan awal adalah bahwa negara diselenggarakan atas dasar hukum-hukum yang disepakati bersama. Dalam bentuk yang luas, hukum-hukum itu adalah kebijakan publik dari tingkat yang paling tinggi, yaitu sejak di tingkat tertinggi yaitu Konstitusi (UUD 1945), Ketetapan MPR, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Keputusan Presiden, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Menteri, Keputusan Pimpinan Dinas, dan seterusnya, bahkan hingga peraturan di tingkat Rukun Tetangga (RT).

Dari beberapa definisi mengenai kebijakan publik diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah seperangkat aturan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengatasi suatu permasalahan tertentu, yang mementingkan kesejahteraan dan kelangsungan hidup masyarakat.

Adapun gambaran mengenai Siklus Skematik Dari Kebijakan Publik yaitu sebagai berikut:

Gambar 2.2

Siklus Skematik Dari Kebijakan Publik

Sumber: Nugroho (2003: 73)

1. Terdapat isu atau masalah publik. Disebut isu apabila masalahnya bersifat strategis, yakni bersifat mendasar, menyangkut banyak orang atau bahkan keselamatan bersama, (biasanya) berjangka panjang, tidak bisa diselesaikan oleh orang-seorang, dan memang harus diselesaikan. Isu ini diangkat sebagai agenda politik untuk diselesaikan.

2. Isu ini kemudian menggerakkan pemerintah untuk merumuskan kebijakan publik dalam rangka menyelesaikan masalah tersebut. Rumusan kebijakan ini akan menjadi hukum bagi seluruh negara dan warganya termasuk pimpinan negara.

3. Setelah dirumuskan kemudian kebijakan publik ini dilaksanakan baik oleh pemerintah, masyarakat, atau pemerintah bersama-sama dengan masyarakat.

4. Namun di dalam proses perumusan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan, diperlukan tindakan evaluasi sebagai sebuah siklus baru sebagai penilaian

Perumusan Kebijakan Publik Implementasi Kebijakan Publik Isu / Masalah Publik Evaluasi Kebijakan Publik Output Outcome

apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan dengan baik dan benar dan diimplementasikan dengan baik dan benar pula.

5. Implementasi kebijakan bermuara kepada output yang dapat berupa kebijakan itu sendiri maupun manfaat langsung yang dapat dirasakan oleh pemanfaat.

6. Di dalam jangka panjang kebijakan tersebut menghasilkan outcome dalam bentuk impak kebijakan yang diharapkan semakin meningkatkan tujuan yang hendak dicapai dengan kebijakan tersebut.

Kebijakan publik dalam bentuk Undang-Undang atau Perda adalah jenis kebijakan publik yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau yang sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa langsung oprasional antara lain Keppres, Inpres, Kepmen, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas, dan lain-lain. Kebijakan publik menurut Winarno (2012: 33) secara garis besar mencakup tahap-tahap perumusan masalah kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan.

2.1.4 Implementasi Kebijakan Publik

Pada suatu proses kebijakan, implementasi kebijakan publik merupakan langkah yang sangat penting untuk dilakukan. Jika suatu proses kebijakan tidak melalui tahap implementasi maka kebijakan tersebut hanya akan menjadi suatu wacana saja tanpa adanya suatu tindakan atau bentuk realisasi dari kebijakan tersebut. Salah satunya seperti kebijakan yang dibuat dan diterapkan oleh pemerintah baik kebijakan yang berdampak positif maupun negatif, kebijakan tersebut harus di

implementasikan agar dapat memiliki manfaat serta pengaruh yang membawa masyarakat ke dalam suatu perubahan ke arah yang lebih baik lagi.

Adapun menurut Nugroho (2003: 158) “implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar suatu kebijakan dapat mencapai tujuannya.” Dan menurut Agustuno (2008: 138) dalam praktiknya “implementasi merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis dengan adanya intervensi sebagai kepentingan.”

Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier dalam Agustino (2008: 139) mendefinisikan Implementasi Kebijakan sebagai:

“Pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan-keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya”.

Selain itu, implementasi kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn dalam Agustino (2008: 139) di definisikan sebagai:

“Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan”.

Sedangkan menurut Webster dalam Wahab (2012: 139) merumuskan bahwa Istilah to implement (mengimplementasikan) itu berarti to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu), to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu).

Dari definisi tersebut menurut Agustino (2008: 139) dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan menyangkut tiga hal yaitu:

1. Adanya tujuan atau sasaran kebijakan

2. Adanya aktifitas atau kegiatan pencapaian tujuan 3. Adanya hasil kegiatan

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kegiatan melakukan suatu kegiatan. Sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri.

Hal ini sesuai pula dengan apa yang diungkapkan oleh Lester dan Stewart dalam Agustino (2008: 139) menyatakan bahwa:

“Implementasi sebagai suatu proses dan suatu hasil (output) keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output) yaitu tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih”.

Selain itu, Grindle dalam Agustino (2008: 139) mengutarakan suatu hal yang tidak jauh berbeda yaitu:

“Pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang telah ditentukan yaitu melihat pada action program dari individual projects dan yang kedua apakah tujuan program tersebut tercapai”.

Dari beberapa definisi implementasi yang telah di paparkan diatas, dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan publik merupakan suatu proses atau tahapan yang harus dilalui agar suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat terealisasi dengan baik dan dapat mencapai tujuannya.

Pada studi implementasi kebijakan publik terdapat beberapa model implementasi kebijakan publik yang dikemukakan oleh para ahli untuk melihat indikator-indikator apa saja yang dapat mempengaruhi suatu kinerja implementasi kebijakan publik itu sendiri. Menurut Subarsono (2012: 89) kompleksitas implementasi yaitu:

“Bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual maupun variabel organisasional, dan masing-masing variabel pengaruh tersebut juga saling berinteraksi satu sama lain.”

Adapun beberapa model implementasi kebijakan publik seperti yang telah dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn, Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier, Goerge Edward III, dan Merille S. Grindle. Menurut Van Meter dan Van Horn dalam Agustino (2008: 142) terdapat suatu model implementasi kebijakan publik yang akan mempengaruhi kinerja impelementasi kebijakan publik itu sendiri, yaitu:

1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika dan hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang mengada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopsi) untuk dilaksanakan dilevel warga, maka agak sulit merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil.

2. Sumberdaya

Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Manusia merupakan sumberdaya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan proses implementasi menuntut adanya sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. Tetapi ketika kompetensi dan kapabilitas dari sumber-sumbernya itu nihil, maka kinerja kebijakan publik sangat sulit untuk diharapkan.

Tetapi diluar sumberdaya manusia, sumber-sumberdaya lain yang perlu diperhitungkan juga, ialah: Sumberdaya finansial dan sumberdaya waktu. Karena mau tidak mau, ketika sumberdaya manusia yang berkompeten dan kapabel telah tersedia, maka memang menjadi persoalan pelik untuk merealisasikan apa yang hendak dituju oleh tujuan kebijakan publik. Demikian pula halnya dengan sumberdaya waktu. Saat sumberdaya manusia giat bekerja dan kucuran dana berjalan dengan baik, tetapi terbentur dengan persoalan waktu yang terlalu ketat, maka hali ini pun menjadi penyebab ketidakberhasilan implementasi kebijakan. Karena itu, sumberdaya yang diminta dan dimaksud oleh Van Meter dan Van Horn adalah ketiga bentuk sumberdaya tersebut.

3. Karakteristik Agen Pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan

publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan agen pelaksananya. Misalnya, implementasi kebijakan publik yang berusaha untuk merubah perilaku atau tingkah laku manusia secara radikal, maka agen pelaksana projek itu haruslah berkarakteristik keras dan ketat pada aturan serta sanksi hukum. Sedangkan bila kebijakan publik itu tidak terlalu merubah perilaku dasar manusia, maka dapat saja agen pelaksana yang diturunkan tidak sekeras dan tidak setegas gambaran yang pertama.

Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu

Dokumen terkait