• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pendidikan Inklusi

Pendidikan inklusi merupakan konsep pendidikan yang tidak membeda-bedakan latar belakang kehidupan anak kerena keterbatasan fisik maupun mental (Ilahi, 2013: 23). Menurut Kustawan (2012: 7) pendidikan inklusi adalah sistem pendidikan yang terbuka bagi semua individu serta mengakomodasi semua kebutuhan sesuai dengan kondisi masing-masing individu. Konsep inklusi

memberikan pemahaman mengenai pentingnya

penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah (Smith, 2006: 45).

Mengutip dari Permendiknas nomor 70 tahun 2009 pendidikan inklusi adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti

pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan

pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Pendidikan inklusi merupakan suatu pendekatan pendidikan yang inovatif dan strategis untuk memperluas akses pendidikan bagi semua anak berkebutuhan khusus termasuk anak penyandang cacat. Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan inklusif juga

(2)

8

dapat dimaknai sebagai satu bentuk reformasi pendidikan yang menekankan sikap anti diskriminasi, perjuangan persamaan hak dan kesempatan, keadilan dan perluasan akses pendidikan bagi semua, peningkatan mutu pendidikan, upaya strategis dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun, serta upaya mengubah sikap masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus (Ilahi, 2013: 25).

Pendidikan inklusi dinilai dapat menjadi jembatan untuk mewujudkan pendidikan untuk semua (education for all), tanpa ada seorangpun yang tertinggal dari layanan pendidikan (Kemendikbud, 2012: 70). Tujuan dari pendidikan inklusi adalah agar semua anak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuanya serta untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan diskriminatif bagi semua anak (Kustawan, 2012: 9).

Pendidikan inklusi merupakan suatu sistem pendidikan yang terbuka yang tidak membeda-bedakan latar belakang kehidupan anak sesuai dengan kondisi

individu. Sistem pendidikan inklusi memberikan

pemahaman tentang pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik maupun metal. Konsep pendidikan inklusi memberi kesempatan kepada peserta didik tanpa diskriminasi untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun.

Dari uraian diatas pendidikan inklusi merujuk pada suatu sistem pendidikan yang memberikan kesempatan

(3)

9

kepada semua anak tanpa membeda-bedakan latar belakang anak karena keterbatasan fisik ataupun mental untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan pada umumnya. Jadi, pendidikan inklusi adalah sistem pendidikan yang mengakomodasi semua anak berkebutuhan khusus untuk belajar di sekolah-sekolah umum agar dapat belajar bersama teman seusianya. Anak berkebutuhan khusus yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu anak-anak yang mengalami kekurangan atau ketunaan dalam fisik ataupun mental pada kategori ringan, bukan anak yang berkebutuhan khusus yang cerdas istimewa.

Mutu pendidikan sangat dipengaruhi oleh mutu proses belajar mengajar, sementara itu mutu proses belajar mengajar sangatlah ditentukan oleh berbagai faktor (komponen) yang saling terkait satu sama lain, yaitu:

a. Kurikulum (Bahan Ajar)

Kurikulum memiliki kedudukan yang sangat strategis, karena kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi pada dasarnya menggunakan kurikulum standar nasional yang berlaku di sekolah umum (kemendikbud, 2013: 42). Kurikulum pendidikan inklusif menggunakan kurikulum sekolah

regular (Kurikulum Nasional) yang dimodifikasi

(diimprovisasi) sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus dengan mempertimbangkan

(4)

10

karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya (Ilahi, 2013; 171).

Kurikulum hendaknya disesuaikan dengan

kebutuhan anak, yang selama ini anak dipaksakan mengikuti kurikulum. Oleh sebab itu hendaknya

memberikan kesempatan untuk menyesuaikan

kurikulum dengan anak. Menurut Tarmansyah (2007: 154) untuk modifikasi kurikulum merupakan model kurikulum dalam sekolah inklusi. Modifikasi pertama adalah mengenai pemahaman bahwa teori model itu selalu merupakan representasi yang disederhanakan dari realitas yang kompleks. Modifikasi kedua adalah mengenai aspek kurikulum yang secara khusus difokuskan dalam pembelajaran yang akan dibahas lebih banyak dalam praktek pembelajaran.

Modifikasi kurikulum dilakukan oleh tim

pengembang kurikulum di sekolah. Tim pengembang kurikulum sekolah terdiri dari; kepala sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru pendidikan khusus, konselor, psikolog, dan ahli lain yang terkait (Kemendikbud, 2013: 42). Kurikulum yang digunakan di sekolah inklusi adalah kurikulum anak normal (regular)

yang disesuaikan (dimodifikasi sesuai) dengan

kemampuan awal dan karakteristik siswa. b. Tenaga Pendidik (Guru)

Setiap sekolah penyelengara pendidikan inklusi seyogyanya mempunyai pendidik dan tenaga pendidikan

(5)

11

yang memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi yang diisyaratkan (Kustawan, 2012: 73). Menurut kemendikbud (2012: 43) Secara umum tenaga pendidik (guru) di sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif meliputi guru kelas, guru mata pelajaran (Pendidikan Agama serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan), dan Guru Pendidikan Khusus (GPK). 1) Guru Kelas

Guru kelas adalah pendidik atau pengajar pada suatu kelas tertentu di sekolah dasar yang sesuai dengan kualifikasi yang dipersyaratkan, bertanggung jawab atas pengelolaan pembelajaran dan administrasi kelasnya. Guru kelas berkedudukan disekolah dasar yang ditetapkan berdasarkan kualifikasi sesuai dengan

persyaratan yang ditetapkan oleh sekolah

(Kemendikbud, 2012: 45). 2) Guru Mata Pelajaran

Guru mata pelajaran atau bidang studi adalah Guru yang mengajar mata pelajaran tertentu sesuai

kualifikasi yang dipersyaratkan di sekolah

(Kemendikbud, 2012: 45). Di sekolah dasar biasanya untuk mata pelajaran Pendidikan Agama serta mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan diajarkan oleh guru mata pelajaran, sedangkan mata pelajaran lain oleh guru kelas.

(6)

12 3) Guru Pembimbing Khusus

Guru pembimbing khusus adalah guru yang mempunyai latar belakang pendidikan luar biasa atau yang pernah mendapat pelatihan khusus tentang pendidikan luar biasa. Tugas guru pembimbing khusus antara lain:

a) Menyusun instrumen assessment pendidikan

bersama-sama dengan guru kelas dan guru mata pelajaran.

b) Membangun sistem koordinasi antara guru, pihak

sekolah dengan orang tua siswa.

c) Memberikan bimbingan kepada anak berkelainan,

sehingga anak mampu mengatasi

hambatan/kesulitannya dalam belajar.

d) Memberi bantuan kepada guru kelas dan guru

mata pelajaran agar dapat memberikan pelayanan pendidikan khusus kepada anak luar biasa yang membutuhkan.

c. Peserta Didik

Sasaran pendidikan inklusi secara umum adalah semua peserta didik yang ada di sekolah regular. Secara khusus sasaran pendidikan inklusi adalah setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, social, atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa (Kemendikbud, 2012: 40). Maka tentulah peserta didiknya juga terdiri dari anak normal dan anak

(7)

13

berkelainan atau anak berkebutuhan khusus yang mana anak berkebutuhan khusus tersebut meliputi:

1) Anak tunanetra

2) Anak tunarungu

3) Anak tunagrahita

4) Anak tunadaksa

5) Anak tunalaras

6) Anak berkesulitan belajar

7) Anak lamban belajar

8) Anak autis

9) Anak yang memiliki gangguan motorik

10) Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba,

obat terlarang, dan zat adiktif lainnya

11) Anak tunaganda

12) Anak yang memiliki kelainan lainnya (Kustawan, 2012:

31).

d. Sarana-Prasarana

Sekolah inklusi menyediakan sarana dan

prasarana pendidikan yang memadai dan menjamin kelancaran program pendidikan. Sarana dan prasarana di sekolah penyelenggara pendidikan inklusi harus aksesibel bagi semua peserta didik khususnya peserta didik berkebutuhan khusus (Kustawan, 2012: 80).

e. Keuangan/Dana

Komponen keuangan sekolah merupakan

komponen produksi yang menentukan terlaksananya

kegiatan belajar mengajar bersama

komponen-komponen lain. Dengan kata lain, setiap kegiatan yang dilakukan sekolah memerlukan biaya. Dalam rangka penyelenggaraan pendidikan inklusif, perlu dialokasikan dana khusus, yang antara lain untuk keperluan:

(8)

14

1) Kegiatan identifikasi input siswa. 2) Modifikasi kurikulum.

3) Insentif bagi tenaga kependidikan yang terlibat. 4) Pengadaan sarana-prasarana.

5) Pemberdayaan peran serta masyarakat. 6) Pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar.

f. Lingkungan (Hubungan Sekolah dengan Masyarakat) Penyelenggaraan pendidikan inklusi memerlukan partisipasi anggota masyarakat dan pihak ketiga yang tidak mengikat. Masyarakat selaku mitra sekolah penyelenggara pendidikan inklusi memiliki peran yang strategis dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi dan pembangunan pendidikan, baik sebagai pelaku, penyelenggara, pengelola, penyandang dana, pengawas, maupun tenaga kependidikan (Kustawan, 2012: 100). Oleh karena itu, masyarakat hendaknya selalu dilibatkan dalam pembangunan sekolah. Sehingga bukan hanya Kepala Sekolah dan Dewan Guru tetapi masyarakat setempat terlibat pula.

Pendidikan inklusi merupakan sistem pendidikan

yang tidak membeda-bedakan dan memberikan

kesempatan kepada anak yang memiliki kelainan untuk mengikuti pembelajaran pada umumnya. Pendidikan inklusi menempatkan siswa berkelainan kedalam kelas regular untuk belajar dalam lingkungan belajar siswa normal. Konsep pendidikan ini untuk menjangkau semua individu agar dapat belajar tanpa kecuali.

Pendidikan inklusi diharapkan dapat menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan partisipasi anak

(9)

15

bersekolah dalam rangka pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan. Pendidikan inklusi diharapkan dapat menjawab kesenjangan yang terjadi di masyarakat berkaitan dengan pemenuhan hak warga negara dalam bidang pendidikan. Semua anak mendapat kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu

sesuai dengan kebutuhanya sehingga dapat

mengembangkan potensinya secara maksimal.

Dalam sekolah inklusi terdapat banyak komponen yang perlu dimodifikasi untuk mengimplementasikan pendidikan inklusi. Kurikulum pada pendidikan inklusi pada dasarnya menggunakan kurikulum standar nasional yang berlaku disekolah umum. Namun karena keragaman peserta didik maka dilakukan modifikasi terhadap kurikulum tersebut. Modifikasi dilakukan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

Pada sekolah yang melaksanakan pendidkan

inklusi harus memiliki tenaga pendidik yang

berkompetensi dalam melaksanakan pembelajaran bagi peserta didik yang mempunyai kebutuhan khusus. Penerimaan peserta didik pada sekolah inklusi harus mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah. Dimana peserta didik yang diterima harus disesuaikan dengan guru yang mempunyai kompetensi khusus.

Sekolah inklusi harus menyediakan sarana dan prasarana yang memadai dan menjamin kelancaran

(10)

16

program sekolah inklusi. Sarana dan prasarana di sekolah inklusi harus aksesibel bagi semua peserta didik terutama yang berkebutuhan khusus. Dalam hal pendanaan sekolah inklusi memerlukan biaya yang dialokasikan untuk kegiatan khusus demi kelancaran penyelenggaraan pendidikan inklusi.

Pendidikan inklusi menjadi tangung jawab bersama antara sekolah, masyarakat dan pemerintah. Pelaksana pendidikan inklusi diharapkan mampu memberdayakan masyarakat dalam penyelengaraan pendidikan inklusi agar berjalan secara optimal. Masyarakat selaku mitra sekolah memiliki peran yang strategis dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi. B. Evaluasi Program

a. Pengertian evaluasi program

Pada hakikatnya evaluasi adalah suatu proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk menentukan kualitas (nilai dan arti) dari sesuatau, berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu dalam rangka pembuatan keputusan (Arifin, 2012: 2). Sukardi (2008: 1) menambahkan evaluasi merupakan proses memahami, member arti, mendapatkan, dan mengomunikasikan suatu informasi bagi keperluan pengambilan keputusan.

Menurut Arikunto (2010: 2) Evaluasi adalah

kegiatan untuk mengumpulkan informasi tetang

(11)

17

digunakan untuk menentukan alternatif yang tetap dalam mengambil sebuah keputusan.

Evaluasi merupakan proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk mengumpulkan, mendeskripsikan, menginterpretasikan dan menyajkan informasi tentang suatu program untuk dapat digunakan sebagai dasar membuat keputusan, menyusun kebijakan maupun menyusun program selanjutnya (Widoyoko, 2014: 6). Menurut Stufflebeam (2007: 326), evaluasi merupakan

proses untuk menggambarkan, mendapatkan,

melaporkan dan menerapkan informasi deskriptif dan pertimbangan mengenai nilai/manfaat beberapa obyek, nilai, sifat penting dan kejujuran beberapa obyek guna memandu proses pengambilan keputusan, mendukung akuntabilitas, menyebarluaskan praktek-praktek yang efektif, dan meningkatkan pemahaman mengenai fenomena yang ada. Informasi dari program yang dievaluasi haruslah jelas dan berdasarkan kondisi sebenarnya sehingga evaluasi dapat berjalan sesuai tujuan dan mendapatkan hasil yang maksimal.

Evaluasi merupakan proses sistemtis yang

bekelanjutan untuk mengumpulkan informasi yang

digunakan dalam menentukan alternatif untuk

mengambil keputusan. Evaluasi dilakukan untuk menggambarkan serta menerapkan informasi deskriptif tentang nilai/manfaat terhadap suatu obyek. Proses

(12)

18

evaluasi harus sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai dengan cara sistematis dan berkelanjutan.

Dari uraian diatas bahwa evaluasi merujuk pada suatu proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk menyajikan informasi yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan, menyusun kebijakan program

selanjutnya. Kegiatan evaluasi harus dilakukan

berdasarkan kondisi sebenarnya sehingga evaluasi dapat berjalan sesuai tujuan dan mendapatkan hasil yang maksimal.

Widoyoko (2014:8) program diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang direncanakan dengan seksama dan dalam pelaksanaanya berlangsung dalam proses yang berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan bnyak orang. Arikunto (2010: 4) program adalah suatu unit atau kesatuan kegiatan maka program merupakan suatu sistem yaitu rangkaian kegiatan yang

dilakukan bukan hanya satu kali tetapi

berkesinambungan. Wirawan (2012: 17) program adalah

kegiatan atau aktifitas yang dirancang untuk

melaksanakan kebijakan dan dilaksanakan untuk waktu yang tidak terbatas.

Program merupakan suatu kegiatan atau aktifitas yang direncanakan dan pelaksanaanya berlangsung secara berkesinambungan. Kegiatan ini bukan hanya satu kali namun dilakukan untuk waktu yang tidak terbatas. Kegiatan harus direncanakan dengan seksama dan

(13)

19

pelaksanaannya terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan banyak orang.

Menurut Widoyoko (2014: 10) evaluasi program merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja dan secara cermat untuk mengetahui tingkat keterlaksanaan atau keberhasilan suatu program dengan cara mengetahui efektifitas masing-masing komponennya, baik terhadap program yang sedang berjalan maupun program yang telah berlalu. Selanjutnya Suharsimi Arikunto (2004: 14) menambahkan evaluasi program adalah proses penetapan secara sistematis tentang nilai, tujuan, efektivitas atau kecocokan sesuatu sesuai dengan kriteria dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Evaluasi program adalah upaya untuk mengetahui tingkat keterlaksanaan suatu kebijaksanaan secara cermat dengan cara mengetahui efektivitas masing-masing komponennya (Arikunto, 2010: 18). Evaluasi program dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh tujuan yang sudah tercapai, dan bagian mana yang belum tercapai serta apa penyebabnya.

Menurut Wirawan (2012: 15), mengungkapkan evaluasi program adalah evaluasi dengan objeknya program pendidikan, yaitu aktivitas yang dilaksanakan untuk waktu yang tidak terbatas. Evaluasi dilakukan untuk mengevaluasi berbagai aspek pendidikan misalnya, kurikulum, proses dan metode pembelajaran mata pelajaran, layanan pendidikan, tenaga pendidik, dan

(14)

20

sebagainya. Tayibnapis (2008) menjelaskan suatu evaluasi program harus mengumpulkan informasi yang valid, informasi yang dapat dipercaya, informasi yang berguna untuk program yang dievaluasi. Informasi dari program yang ingin dievaluasi haruslah jelas dan berdasarkan kondisi nyata sehingga evaluasi dapat berjalan sesuai dengan tujuan dan mendapatkan hasil yang maksimal.

Evaluasi program adalah proses penetapan secara sistematis tentang nilai, tujuan, yang dilakukan secara

sengaja dan cermat untuk mengetahui tingkat

keberhasilan suatu program. Proses evaluasi dilakukan dengan mencari informasi yang valid sesuai fakta dilapangan. Evaluasi program berguna untuk meneliti, menilai, dan menentukan apakah program telah berjalan sesuai dengan tujuan.

Dari uraian diatas bahwa evaluasi program merujuk

pada suatu kegiatan yang dilakukan untuk

mengumpulkan informasi terhadap jalannya suatu program guna mengetahui efektivitas masing-masing

komponennya. Evaluasi program berguna untuk

mengetahui tujuan yang sudah tercapai, dan bagian mana yang belum tercapai serta apa penyebabnya. Dari hasil evaluasi dapat sebagi bahan pertimbangan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan.

(15)

21 b. Tujuan evaluasi program

Arikunto (2010: 18) menjelaskan bahwa tujuan

diadakannya evaluasi adalah untuk mengetahui

keterlaksanaan kegiatan program, karena evaluator program ingin mengetahui bagian mana dari komponen dan subkomponen program yang belum terlaksana dan apa sebabnya. Secara umum penelitian evaluasi diperlukan untuk merancang, menyempurnakan, dan

menguji pelaksanaan suatu praktik pendidikan

(Sukmadinata, 2010: 121). Secara lebih rinci tujuan evaluasi program adalah:

1) Membantu perencanaan untuk melaksanakan

program.

2) Membantu dalam penentuan keputusan

penyempurnaan atau perubahan program.

3) Membantu dalam penentuan keputusan

keberlanjutan atau penghentian program.

4) Menemukan fakta-fakta dukungan dan

penolakan terhadap program.

5) Memberikan sumbangan dalam pemahaman

proses psikologis, sosial, politik, dalam

pelaksanaan program serta faktor yang

mempengaruhi program.

Sudjana (2006: 48), tujuan khusus Evaluasi Program terdapat 6 (enam) hal, yaitu untuk:

1) Memberikan masukan bagi perencanaan

program.

2) Menyajikan masukan bagi pengambil keputusan

yang berkaitan dengan tindak lanjut, perluasan atau penghentian program.

3) Memberikan masukan bagi pengambilan

keputusan tentang modifikasi atau perbaikan program.

(16)

22

4) Memberikan masukan yang berkenaan dengan

faktor pendukung dan penghambat program.

5) Memberi masukan untuk kegiatan motivasi dan

pembinaan (pengawasan, supervisi dan

monitoring) bagi penyelenggara, pengelola dan pelaksana program.

6) Menyajikan data tentang landasan keilmuan bagi

evaluasi program pendidikan luar sekolah.

Menurut Endang Mulyatiningsih (2011: 114-115), evaluasi program dilakukan dengan tujuan untuk:

1) Menunjukkan sumbangan program terhadap

pencapaian tujuan organisasi. Hasil evaluasi ini penting untuk mengembangkan program yang sama ditempat lain.

2) Mengambil keputusan tentang keberlanjutan

sebuah program, apakah program perlu

diteruskan, diperbaiki atau dihentikan

Evaluasi program mempunyai tujuan membantu memberikan masukan bagi perencanan dan pelaksanaan suatu program. Evaluasi program dilakukan untuk penyempurnaan suatu program, perubahan program atau penghentian program. Selain itu evaluasi program juga memberikan masukan untuk memodifikasi perbaikan program, menemukan pendukung dan penghambat program. Evaluasi program juga dapat memberikan masukan untuk kegiatan motivasi dan pembinaan bagi penyelengara dan pelaksana program.

Dari uraian di atas dapat didefinisikan bahwa tujuan evaluasi program adalah untuk membantu menemukan kendala dan dukungan terkait proses pelaksanaan program hingga membuat kebijakan dan keputusan.

(17)

23

Maka dari itu evaluasi program sangat penting dilakukan dalam rangka menilai keterlaksanaan program.

c. Faktor pendukung dan penghambat evaluasi program

Evaluasi program memerlukan pemahaman

bagaimana sebuah program dijalankan, serta apa saja yang menjadi faktor pendukung dan penghambat program tersebut. Menurut Muh. Mujab (2005: 40) beberapa faktor pendukung dan penghambat evaluasi program yaitu

1) faktor pendukung

a) Adanya dukungan dana dari pemerintah

b) Adanya dukungan manajemen umum

c) Adanya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk

teknis

d) Adanya dukungan dari masyarakat

2) faktor penghambat

a) Pemahaman program masih kurang

b) Kurangnya sumberdaya manusia yang betul-betul

mengetahui program

c) Adanya dominasi pemerintah dalam penentuan

lokasi dan alokasi penerima program

d) Petunjuk teksnis dan petunjuk pelaksana kadang

kurang sesuai dengan kondisi realita

e) Masih besarnya dominasi aparat untuk

memutuskan kebijakan

Donald P.Warwieck, (1988;17) mengatakan bahwa dalam tahap implemetasi program terdapat dua faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu proyek yaitu : Faktor pendorong (Facilitating conditions), dan Faktor penghambat (Impeding conditions). Adapun faktor-faktor pendorong adalah:

1) Faktor pendorong (Facilitating conditions)

a. Komitmen pimpinan politik

(18)

24

c. Komitmen para pelaksana (Implementer)

d. Dukungan dari kelompok kepentingan

2) Faktor penghambat (Impeding conditions)

a. Banyaknya pemain (actor) yang terlibat

b. Terdapatnya komitmen atau loyalitas ganda

c. Kerumitan yang melekat pada program itu

sendiri

d. Jenjang pengambilan keputusan yang

terlalu banyak

e. Faktor lain: Waktu dan perubahan

kepemimpinan

Dari uraian diatas dapat didefinisikan bahwa dalam pelaksanaan suatu program pasti ada faktor pendukung dan faktor penghambat. Untuk itu dalam melaksanakan suatu program tentu harus dapat mengelola sumber daya yang ada secara maksimal. Selain itu juga harus dapat meminimalisir faktor penghambat yang ada.

d. Manfaat evaluasi program

Evaluasi program sangat penting dan bermanfaat terutama bagi pengambil keputusan. Alasannya adalah dengan masukan hasil evaluasi program itulah para pengambil keputusan akan menentukan tindak lanjut dari program yang sedang atau telah dilaksanakan. Arifin (2009: 4) menguraikan manfaat evaluasi program yaitu dapat memberikan informasi yang akurat dan objektif bagi pembuat kebijakan untuk mengambil keputusan. Keputusan yang diambil yaitu: 1) menghentikan program, 2) merevisi program, 3) melanjutkan program, 4) menyebarluaskan program. Pendapat senada juga dikemukakan Arikunto (2010: 22) menyebutkan bahwa

(19)

25

kegiatan evaluasi program dimaksudkan untuk

mengambil keputusan atau melakukan tindak lanjut dari program yang telah dilaksanakan. Manfaat dari evaluasi program dapat berupa penghentian program, merevisi program, melanjutkan program, dan menyebarluaskan program.

Evaluasi program sangat bermanfaat untuk memberikan berbagai informasi tetang keterlaksanaan

suatu program. Hasil evaluasi program dapat

dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan. Keputusan tersebut dapat berupa penghentian program, merevisi program, melanjutkan program, dan menyebarluaskan program.

Dari uraian diatas evaluasi program bermanfaat untuk memberikan informasi yang akurat dan obyektif dalam mengambil sebuah keputusan. Hasil evaluasi program dapat digunakan untuk penghentian, merevisi, melanjutkan, dan menyebarluaskan program.

Ada beberapa model evaluasi yang dikenal dan digunakan untuk mengevaluasi di bidang pendidikan. Model evaluasi muncul karena adanya usaha eksplanasi secara kontinu yang diturunkan dari perkembangan pengukuran dan keinginan manusia untuk berusaha menerapkan prinsip-prinsip evaluasi pada cakupan yang lebih abstrak pada bidang ilmu pendidikan, perilaku dan seni (Sukardi, 2010). Model model evaluasi menurut Arikunto (2009: 48) yang banyak digunakan yaitu Goal

(20)

26

Oriented Model dikembangkan oleh Tyler, Goal Free Evaluation Model dikembangkan oleh Scriven, Formatif Sumatif Evaluation Model dikembangkan oleh Michael

Schiven, Responsive Evaluation Model dikembangkan oleh

Stake, CSE-UNCLA Evaluation Model, CIPP Evaluation

Model dikembangkan Stufflebeam dan Discrepancy Evaluation Model dikembangkan oleh Prevus.

C. Model Evaluasi CIPP (Context, Input, Process, dan Product)

Arikunto dan Cepi (2010) model CIPP adalah model evaluasi yang memandang program yang dievaluasi sebagai sebuah sistem. Dengan demikian, jika tim elevator sudah menentukan model CIPP sebagai model yang akan digunakan untuk mengevaluasi program maka harus dianalisis terlebih dahulu berdasarkan komponen-komponennya.

Evaluasi model CIPP dapat diterapkan dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, manajemen, perusahaan, dan sebagainya serta dalam berbagai jenjang baik itu proyek, program maupun institusi. Model CIPP yang dikenalkan oleh Stufflebeam ini meliputi hal-hal sebagai berikut:

a) Evaluasi Konteks (Context Evaluation),

merupakan penggambaran dan spesifikasi tentang lingkungan program, kebutuhan yang belum dipenuhi, karakteristik populasi dan sampel dari individu yang dilayani dan tujuan

program. Evaluasi konteks membantu

(21)

27

kebutuhan yang akan dicapai oleh program dan merumuskan tujuan program.

b) Evaluasi Masukan (Input Evaluation), membantu

mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang ada, alternatif apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai tujuan, bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya. Informasi yang terkumpul selama tahap penilaian hendaknya digunakan untuk menentukan sumber dan strategi di dalam keterbatasan dan hambatan yang ada.

c) Evaluasi Proses (Process Evaluation) digunakan untuk mendeteksi atau memprediksi rancangan prosedur atau rancangan implementasi selama tahap implementasi, menyediakan informasi untuk keputusan program dan sebagai rekaman atau arsip prosedur yang telah terjadi. Pada dasarnya evaluasi proses untuk mengetahui sampai sejauh mana rencana telah diterapkan dan komponen apa yang perlu diperbaiki.

d) Evaluasi Produk/Hasil (Product Evaluation),

merupakan penilaian yang dilakukan untuk mengukur keberhasilan dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Dari hasil evaluasi proses diharapkan dapat membantu untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan kelanjutan, akhir maupun modifikasi program, karena data yang dihasilkan akan sangat

menentukan apakah program diteruskan,

dimodifikasi, atau dihentikan (Widoyoko, 2011: 181-183).

Arikunto (2008: 47) menjelaskan secara rinci terkait evaluasi model CIPP, evaluasi context adalah upaya untuk menggambarkan dan merinci lingkungan, kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani,

dan tujuan. Evaluasi masukan (input), merupakan

(22)

28

menentukan bagaimana menggunakan sumber daya yang tersedia dalam mencapai tujuan program. Evaluasi

process menunjuk pada apa kegiatan yang dilakukan dalam program, siapa orang yang ditunjuk sebagai penanggungjawab program, kapan kegiatan akan selesai

dilksanakan. Evaluasi product merupakan kumpulan

deskripsi dan “jugement outcomes” dalam hubungannya dengan context, input, dan process, terkait dengan perencanaan, pelaksanaan, dan keberhasilan program sekolah inklusi.

Berikut ini akan dibahas komponen atau dimensi model CIPP yang meliputi, context, input, process, product. Berikut adalah indikator yang akan dievaluasi dalam penelitian ini:

a. Context

Evaluasi conteks pada penelitian ini menyajikan

keadaaan lingkungan pembelajaran yang dilihat dari karakteristik peserta didik yang dilayani di SD Negeri Klero 02.

b. Input

Evaluasi input berfokus pada pengumpulan informasi tentang kebijakan program sekolah inklusi terkait sarana prasarana dan sumber daya manusia di SD Negeri Klero 02.

(23)

29

Evaluasi process terkait dengan ketrampilan guru dalam merencanakan, melaksanakan, dan evaluasi di SD Negeri Klero 02.

d. Product

Evaluasi product yakni evaluasi keluaran (output). Evaluasi keluaran terarah pada prestasi akademik dan non akademik peserta didik dari pelaksanaan program sekolah inklusi di SD Negeri Klero 02.

Penelitian ini merupakan studi evaluatif dengan menggunakan model CIPP (Conteks, Input, Process dan

Product). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pelaksanaan program sekolah inklusi di SDN Klero 02. Dengan demikian evaluasi mencakup evaluasi konteks dan evaluasi input pada tahap perencanaan program, evaluasi proses pada tahap implementasi program, evaluasi produk yang mencakup evaluasi keluaran pada tahap akhir pelaksanaan program. Pada akhirnya hasil tersebut dapat menjadi pertimbangan bagi suatu alternative keputusan kegiatan selanjutnya. D. Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan

Berikut ini merupakan beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian evaluasi program pelaksanaan sekolah inklusi, antara lain:

1. Penelitian Sunardi (2011) dengan judul “The

Implementation of Inclusive Education for Students with Special Needs in Indonesia “Hasil penelitian menunjukkan, dalam hal manajemen institusi,

(24)

30

mayoritas sekolah-sekolah ini telah mengembangkan rencana strategis (untuk program inklusif), secara sah mengangkat para koordinator, melibatkan beberapa kelompok terkait, dan menyelenggarakan serangkaian rapat koordinasi rutin. Namun, masih banyak sekolah yang belum merestrukturisasi organisasi mereka.

2. Hartanti Sulihandari (2013), penelitiannya yang berjudul “Pendidikan Agama Islam Berbasis Inklusi Bagi Siswa Tunanetra Di SMA Negeri 1 sewon Bantul“ menghasilkan (1)Sekolah yang ditunjuk mengadakan layanan pendidikan inklusi berhak melakukan berbagai modifikasi atau penyesuaian, baik alam hal

kurikulum, sarana dan prasarana, tenaga

pendidikan, sistem pembelajaran serta sistem penilaiannya. Pelaksanaan pendidikan agama Islam berbasis inklusi tidak terlepas dari komponen-komponen pembelajaran, yaitu kurikulum, pendidik, anak didik, materi, metode, media dan evaluasi. Kurikulum yang dipakai di SMA Negeri 1 Sewon adalah KTSP dengan modifikasi. (2) Kendala guru PAI alam menerapkan PAI berbasis inklusi bagi siswa tunanetra yaitu kurangnya ketrampilan guru dalam mengajar kelas inklusi, perhatian guru yang terbagi menjadi dua, keterbatasan waktu, dan keterbatasan media yang dimiliki sekolah serta perlunya sikap

(25)

hati-31

hati dalam menyampaikan materi pelajaran untuk menjaga perasaan tunanetra.

3. Winda (2012), dalam penelitiannya yang berjudul “Pelaksanaan Inklusi di Sekolah Dasar Negeri 14

Pakan Sinayan Payakumbuh”. Penelitiannya

menyimpulkan pelaksanaan inklusi di SD Negeri 14 Pakan Sinayan Payakumbuh tidak berjalan sebagai mana mestinya. Dalam mengidentifikasi, asesmen, RPP, PPI, tanggung jawab dan peranan guru, sarana dan prasarana. Padahal hal itu tersebut penting dilakukan serta menjadi penentu keberhasilan program inklusi di SD Negeri 14 pakan Sinayan Payakumbuh.

4. Mohammed (2014) dalam penelitiannya yang berjudul

“Implementation of Inclusive Education in Ghanaian Primary Schools: A Look at Teachers’ Attitudes”, menemukan bahwa guru bersikap positif terhadap inklusi tetapi memiliki sedikit pengetahuan tentang praktek inklusi. Hal ini terbukti dalam pengunaan

adaptasi pembelajaran yang terbatas untuk

memenuhi kebutuhan individu. Oleh karena itu SD di Ghana yang mengimplementasikan program inklusi menitikberatkan pada perilaku/sikap guru yang berbeda dalam memperlakukan ABK.

5. Mitiku et all. (2014) dengan judul “Challenges and Opportunities to Implement Inclusive Education”, menemukan bahwa ada beberapa peluang yang

(26)

32

mendukung penddidikan inklusif tidak dapat diambil sebagai jaminan karena kurangnya kesadaran, komitmen, dan kolaborasi serta ada tantangan nyata

yang menghambat implementasi penuh dari

pendidikan inklusi. Secara umum dapat disimpulkan bahwa tantangan lebih besar daripada kesempatan pada implementasi penuh dari pendidikan inklusi dan harus ada kerjasama yang kuat diantara pemangku

kepentingan, LSM, dan badan-badan yang

bersangkutan dalam rangka mewujudkan perjalanan menuju pendidikan inklusi.

Berdasarkan penelitian Sunardi (2011)

menunjukkan dalam hal manajemen institusi, mayoritas sekolah-sekolah ini telah mengembangkan rencana strategis (untuk program inklusif), secara sah mengangkat para koordinator, melibatkan beberapa kelompok terkait, dan menyelenggarakan serangkaian rapat koordinasi rutin. Sulihandari (2013), penelitian ini menghasilkan Sekolah yang ditunjuk mengadakan layanan pendidikan inklusi berhak melakukan berbagai modifikasi atau penyesuaian, baik dalam hal kurikulum, sarana dan prasarana, tenaga pendidikan, sistem pembelajaran serta sistem penilaiannya. Kemudian Winda (2012), dalam penelitiannya menyimpulkan pelaksanaan inklusi di SD Negeri 14 Pakan Sinayan Payakumbuh tidak berjalan sebagai mana mestinya.

(27)

33

Mohammed (2014) dalam penelitiannya

menemukan bahwa guru bersikap positif terhadap inklusi tetapi memiliki sedikit pengetahuan tentang praktek inklusi. Mitiku et all. (2014) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa ada beberapa peluang yang mendukung penddidikan inklusif tidak dapat diambil sebagai jaminan karena kurangnya kesadaran, komitmen, dan kolaborasi serta ada tantangan nyata yang menghambat implementasi penuh dari pendidikan inklusi Penelitian diatas menyatakan bahwa sekolah yang

menyelenggaraan pendidikan inklusi telah

mengembangkan rencana strategis untuk program inklusi

dengan memodifikasi berbagai komponen seperti

kurikulum dan pembelajaran. Namun dalam

pelaksanaannya banyak mengalami kendala. Sekolah tidak mampu menyediakan tenaga pendidik yang trampil sesuai dengan kebutuhan. Sarana dan prasarana sekolah tidak dapat menyediakan pelayanan kepada semua siswa yang memiliki kebutuhan khusus.

Dari penelitian diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang pendidikan inklusi. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti memiliki perbedaan dengan penelitian yang terdapat di atas. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti menggunakan model evaluasi. Dimana penelitian ini menggunakan menggunakan suatu model evaluasi yaitu menggunakan model CIPP.

(28)

34

Model CIPP memiliki kelebihan lebih komprehensif karena mencakup konteks, input, proses dan produk. Model CIPP memiliki langkah-langkah yang jelas dalam mengungkapkan setiap urutan program. Selain itu model ini telah dikenal dan diterapkan oleh para evaluator. Akhir dari evaluasi ini bermanfaat untuk memberikan rekomendasi terhadap keberadaan program. Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan inklusi di SD Negeri Klero 02 dievaluasi dengan menggunakan model CIPP. E. Kerangka berfikir

Evaluasi terhadap pelaksanaan program sekolah inklusi di SD Negeri Klero 02, bertujuan untuk mengevaluasi program tersebut. Model evaluasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah model evaluasi CIPP (context, input, process dan product).

Kegiatan evaluasi terhadap komponen konteks dalam pelaksanaan program sekolah inklusi terkait karakteristik peserta didik yang ada. komponen input meliputi sarana dan prasarana dan sumberdaya manusia. Komponen proses meliputi pelaksanaan kegiatan pembelajaran dalam pelaksanaan program ini. Komponen produk adalah prestasi akademik dan non akademik peserta didik dari pelaksanaan program sekolah inklusi.

Berdasarkan tujuan penelitian ini, bahwa kegiatan evaluasi terhadap pelaksanaan program sekolah inklusi berupaya untuk menganalisis program layanan tersebut melalui keempat komponen dalam model CIPP. Hasil dari

(29)

35

analisis keempat komponen tersebut, nantinya akan menghasilkan sebuah kesimpulan terhadap hasil evaluasi pelaksanaan program sekolah inklusi di SD Negeri Klero 02. Pada akhirnya kesimpulan tersebut dapat dijadikan rekomendasi untuk keberlanjutan program.

(30)

Gambar

Gambar Kerangka berfikir penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian minyak goreng bekas yang dimurnikan dengan buah mengkudu (Morinda citrifolia) dapat menurunkan ketebalan arteri koronaria tikus Wistar jantan. Minyak

Istilah line balancing atau penyeimbangan lini atau dengan nama lain assembly line balancing adalah suatu metode penugasan terhadap sejumlah pekerjaan ke dalam

Dari kesimpulan yang telah dihasilkan, serta pengamatan terhadap jalannya kegiatan branding Hipmi Peduli Jawa tengah berikut beberapa saran yang dapat dijadikan sebagai

Dari transaksi transaksi tersebut kemudian dapat dihasilkan laporan-laporan yang berhubungan dengan proses pelaksanaan produksi sesuai dengan kebutuhan

Melakukan proses overbooking bagi hasil deposito mudharabah dengan memasukkan bagi hasil yang akan dibagikan ke dalam rekening titipan, atau ditambahkan ke pokok deposito

Pada Juni 2015, realisasi kredit multiguna yang disalurkan oleh perbankan di Provinsi DKI Jakarta tercatat sebesar Rp30,30 triliun meningkat Rp3,04 triliun dibandingkan dengan

muncul menurut Bradley et al (1998) dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar yaitu (i) di sekolah tidak tersedia peralatan dan bahan kimia yang memadai (ii)

Doakan para anggota TWR Women of Hope untuk menyediakan alat yang memungkinkan para wanita bisa berbuat perubahan hidup pada orang orang di sekelilingnya , memberi semangat