Fauna
Indonesia
ISSN 0216-9169
Pusat Penelitian Biologi - LIPI
Bogor
M as ya raka tZo o l ogi
Ind on e sia
M Z I
Hystrix brachyuraFauna Indonesia merupakan Majalah llmiah Populer yang diterbitkan oleh Masyarakat Zoologi Indonesia (MZI). Majalah ini memuat hasil pengamatan
ataupun kajian yang berkaitan dengan fauna asli Indonesia, diterbitkan secara berkala dua kali setahun
ISSN 0216-9169 Redaksi
Mohammad Irham Kartika Dewi Pungki Lupiyaningdyah Nur Rohmatin Isnaningsih
Sekretariatan
Yuni Apriyanti Yulianto
Mitra Bestari
Renny Kurnia Hadiaty Ristiyanti M. Marwoto
Tata Letak
Kartika Dewi R. Taufiq Purna Nugraha
Alamat Redaksi
Bidang Zoologi Puslit Biologi - LIPI Gd. Widyasatwaloka, Cibinong Science Center JI. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong 16911
TeIp. (021) 8765056-64 Fax. (021) 8765068
E-mail: fauna_indonesia@yahoo.com
Foto sampul depan :
Hystrix brachyura - Foto : Wartika Rosa Farida
Fauna
Indonesia
PEDOMAN PENULISAN
1. Redaksi FAUNA INDONESIA menerima sumbangan naskah yang belum pernah diterbitkan, dapat berupa hasil pengamatan di lapangan/ laboratorium atau studi pustaka yang terkait dengan fauna asli Indonesia yang bersifat ilmiah popular.
2. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia dengan summary Bahasa Inggris maksimum 200 kata dengan jarak baris tunggal.
3. Huruf menggunakan tipe Times New Roman 12, jarak baris 1,5 dalam format kertas A4 dengan ukuran margin atas dan bawah 2.5 cm, kanan dan kiri 3 cm.
4. Sistematika penulisan:
a. Judul: ditulis huruf besar, kecuali nama ilmiah spesies, dengan ukuran huruf 14. b. Nama pengarang dan instansi/ organisasi.
c. Summary
d. Pendahuluan e. Isi:
i. Jika tulisan berdasarkan pengamatan lapangan/ laboratorium maka dapat dicantumkan cara kerja/ metoda, lokasi dan waktu, hasil, pembahasan.
ii. Studi pustaka dapat mencantumkan taksonomi, deskripsi morfologi, habitat perilaku, konservasi, potensi pemanfaatan dan lain-lain tergantung topik tulisan.
f. Kesimpulan dan saran (jika ada). g. Ucapan terima kasih (jika ada). h. Daftar pustaka.
5. Acuan daftar pustaka:
Daftar pustaka ditulis berdasarkan urutan abjad nama belakang penulis pertama atau tunggal. a. Jurnal
Chamberlain. C.P., J.D. BIum, R.T. Holmes, X. Feng, T.W. Sherry & G.R. Graves. 1997. The use of isotope tracers for identifying populations of migratory birds. Oecologia 9:132-141
b. Buku
Flannery, T. 1990. Mammals of New Guinea. Robert Brown & Associates. New York. 439 pp.
Koford, R.R., B.S. Bowen, J.T. Lokemoen & A.D. Kruse. 2000. Cowbird parasitism in grasslands and croplands in the Northern Great Plains. Pages 229-235 in Ecology and Management of Cowbirds
(J. N.M. Smith, T. L. Cook, S. I. Rothstein, S. K. Robinson, and S. G. Sealy, Eds.). University of Texas Press, Austin.
c. Koran
Bachtiar, I. 2009. Berawal dari hobi , kini jadi jutawan. Radar Bogor 28 November 2009. Hal. 20. d. internet
NY Times Online . 2007.”Fossil find challenges man’s timeline”. Accessed on 10 July 2007 ‹http://www. nytimes.com/nytonline/NYTO-Fossil-Challenges-Timeline.html›.
6. Tata nama fauna:
a. Nama ilmiah mengacu pada ICZN (zoologi) dan ICBN (botani), contoh Glossolepis incisus, nama jenis dengan author Glossolepis incisus Weber, 1907.
b. Nama Inggris yang menunjuk nama jenis diawali dengan huruf besar dan italic, contoh Red
Rainbowfish. Nama Indonesia yang menunjuk pada nama jenis diawali dengan huruf besar, contoh Ikan Pelangi Merah .
c. Nama Indonesia dan Inggris yang menunjuk nama kelompok fauna ditulis dengan huruf kecil, kecuali diawal kalimat, contoh ikan pelangi/ rainbowfish.
i
PENGANTAR REDAKSI
Perjalanan majalah Fauna Indonesia di tahun 2011 ini ditandai dengan pergantian
redaksi Fauna Indonesia. Nafas baru Fauna Indonesia ini diharapkan dapat mempercepat laju
penyebaran pengetahuan keanekaragaman hayati fauna Indonesia ke khalayak ramai setelah
sempat terhenti di tahun 2010. Untuk mencapai hal tersebut redaksi akan mengekspansi
publikasi Fauna Indonesia di ranah dunia maya sehingga para pembaca yang sulit mendapatkan
edisi cetak dapat mengakses dari mana saja. Penerbitan secara online ini telah dilakukan pada
edisi sebelumnya di tahun 2010 namun masih sebagai bagian dari daftar publikasi di website
Puslit Biologi-LIPI.
Percepatan penyebaran informasi fauna Indonesia dan kemandirian mendorong kami
untuk tetap konsisten pada penerbitan secara online. Dengan segala keterbatasan, atas bantuan
Puslit Biologi-LIPI kami masih dapat menggunakan sudut kecil di website Puslit Biologi-LIPI
sebagai wahana Fauna Indonesia. Walaupun demikian, kami tetap berusaha untuk mewujudkan
majalah online Fauna Indonesia yang profesional dan mandiri dibawah bendera Masyarakat
Zoologi Indonesia.
Pada edisi ke 10(1) ini beberapa artikel yang menarik kita sampaikan kepada pembaca
mulai dari Keragaman jenis kodok dan penyebarannya di area lahan basah “Ecology Park”, di
kampus LIPI Cibinong, Jawa Barat, Perilaku harian induk Landak Raya (
Hystrix brachyura
Linnaeus, 1758) pada masa menyusui, Siklus hidup ngengat (
Antheraea larissa
Westwood,
1847) dari Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Jawa Barat, Ikan botia: maskotnya ekspor
ikan hias asli Indonesia , Aspek biologi dan sistematika nudibranch, Beberapa catatan kasus
sengatan ubur-ubur di Indonesia, Conservation status of Indonesian Coelacanth (
Latimeria
menadoensis
): is a relic species worth conserved? Akhir kata, selamat membaca dan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu majalah ini lahir kembali.
Redaksi
ii
DAFTAR ISI
PENGANTAR REDAKSI ... i DAFTAR ISI ... ii KERAGAMAN JENIS KODOK DAN PENYEBARANNYA DI AREA LAHAN BASAH
“ECOLOGY PARK”, DI KAMPUS LIPI CIBINONG, JAWA BARAT. ... 1
Hellen Kurniati
PERILAKU HARIAN INDUK LANDAK RAYA (Hystrix brachyura LINNAEUS, 1758) PADA
MASA MENYUSUI ... 9 Wartika Rosa Farida
SIKLUS HIDUP NGENGAT (Antheraea larissa WESTWOOD, 1847) DARI TAMAN NASIONAL
GUNUNG HALIMUN-SALAK, JAWA BARAT ...13 Darmawan
IKAN BOTIA: MASKOTNYA EKSPOR IKAN HIAS ASLI INDONESIA ...17 Hadi Dahruddin
ASPEK BIOLOGI DAN SISTEMATIKA NUDIBRANCH...22 Ucu Yanu Arbi
BEBERAPA CATATAN KASUS SENGATAN UBUR-UBUR DI INDONESIA ...30 Nova Mujiono
CONSERVATION STATUS OF INDONESIAN COELACANTH (Latimeria menadoensis): IS A
RELIC SPECIES WORTH CONSERVED? ...37 Conni M. Sidabalok
17
Fauna
Indonesia
M as ya raka t Zo o l ogi In do n e siaM Z I
PendahuluanIndonesia dikenal sebagai satu negara yang memiliki keanekaragaman jenis hayati kedua tertinggi setelah Brazil, salah satu contohnya mempunyai 1300 jenis ikan air tawar dengan kepadatan 0,72 jenis/1000 km2 (Anonymous, 1998). Tingginya keanekaragaman hayati tersebut salah satunya karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang hampir tiap pulaunya mempunyai tingkat endemisitas yang
tinggi. Menurut Caldecott et al. (1994) kekayaan
jenis dan endemisitas adalah komponen penting dalam biodiversitas.
Tingginya keanekaragaman jenis ikan hias juga dimiliki Indonesia, sehingga Indonesia mempunyai potensi dalam hal penyediaan ikan hias, baik yang berasal dari air tawar maupun air laut. Tahun 2004, pendapatan Indonesia dari ekspor ikan hias mencapai USD 15 juta yang masih jauh dari perkiraan potensinya yang dapat mencapai USD 45 – 60 juta. Perdagangan ikan hias dunia mencapai 1.600 jenis dan sekitar 46% (750 jenis) berasal dari air tawar. Seiring dengan semakin berkembangnya teknik pembenihan, transportasi dan pemeliharaan ikan hias, besaran ini diperkirakan akan terus
bertambah. Pendapatan budidaya ikan hias air tawar diperkirakan mencapai USD 200 juta per tahunnya, ironisnya hanya 20% keuntungan yang dinikmati oleh negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia (Putro dkk., 2004).
Salah satu jenis ikan hias air tawar Indonesia yang paling diminati di pasaran lokal dan dunia
adalah Ikan Botia (Chromobotia macracanthus
(Bleeker, 1852)) dikarenakan bentuknya yang unik,
cantik dan menarik. Bahkan Axelrod et al. dalam
Hadiaty (1994) menyatakan bahwa botia adalah ikan hias yang sangat terkenal dan paling cantik diantara marganya. Ikan ini mempunyai pola warna yang cantik, sehingga mempunyai kelas tersendiri dibandingkan ikan lain. Ikan Botia merupakan ikan hias air tawar asli Indonesia yang hidup di perairan Sumatra dan Kalimantan. Dahulu pernah terdapat di perairan Malaysia dan Thailand, namun kini sudah punah (Madsen, 1975).
Permintaan botia di pasar dunia sangat luar
biasa. Watson dalam Hadiaty (1994 ) dan Kottelat
et al. (1993) menyatakan bahwa sudah sejak lama
ratusan ribu ekor botia diekspor ke luar negeri per tahunnya. Pengusaha ikan hias umumnya menampung ikan botia dalam jumlah yang banyak
IKAN BOTIA: MASKOTNYA EKSPOR IKAN HIAS ASLI INDONESIA
Hadi Dahruddin
Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi - LIPI Fauna Indonesia
Vol 10(1) Juni 2011 : 17 -21
Summary
This paper presented the results of literature studies on Clown Loachfish (Chromobotia macracanthus(Bleeker,
1852)). Clown Loachfish is a freshwater fish that frequently domesticated in Indonesia. A substantial amount of information of the Clown Loach fish was gathered. Since 2000 up to present comparative studies on morphological characteristic of male and female fish (sexual dimorphism ) has being conducted. Genetic information has been used in breeding farms to successfully identify male and female fish in order to enable
an effective fertilization. By the end of 2009 large scale breeding of C. macracanthus was accomplished. Our
study suggested a great potential to increase the profit through exportation ,i.e to European markets . However, regarding to the exportation, further assessment and research is needed to study the changes on environment and diseases of the clown fish.
18
bahkan sampai jutaan ekor untuk memenuhi permintaan pasar. Lamanya waktu penampungan ada yang bersifat sementara (hanya beberapa hari), ada pula dalam jangka waktu relatif panjang yang mencapai tahunan (Komarudin, dkk., 1996).
Berkaitan dengan fakta ini dan dalam rangka menjaga ketersediaan usaha pengembangbiakan, maka Menteri Pertanian menetapkan SK. Mentan No. 214/1973 (Hakim, 2010) yang diperbaharui menjadi SK Mentan N0. 179/Kpts/Um/3/1982 (Purwakusuma, 2002) tentang larangan ekspor/ perdagangan botia yang berukuran lebih dari 15 cm/calon induk. Bahkan Menperindag pun mengeluarkan SK. Menperindag N0. 558/MPP/ kep/4/1998 yang diperbaharui menjadi Permendag 01//M-DAG/PER/1/2007 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor (Anonymous, 2009a)
Tulisan ini merupakan hasil studi pustaka untuk mengumpulkan informasi mengenai ikan botia. Meskipun sudah lama diketahui potensi ekonomisnya, sebelum tahun 2009 pengembangbiakan ikan ini dalam skala besar (tahap percobaan di laboratorium) belum berhasil dilakukan. Bahkan aspek-aspek biologi yang mendasar seperti dimorfisme kelamin, pakan alami, habitat dan reproduksinya belum banyak diketahui. Biologi botia ini penting sebagai data dasar budidaya ikan ini, sehingga dapat mengurangi penangkapannya di alam.
Morfologi dan Klasifikasi
Mengapa ikan botia sangat digemari? Salah satu alasannya adalah bentuk tubuh botia yang indah agak memipih, punggung (dorsal)agak bungkuk, sepintas tampak seperti pesawat tempur. Warna tubuhnya menarik; berwarna dasar kuning tua kemerahan, yang dibalut warna abu gelap-hitam vertikal di tiga tempat. Satu memotong di kepala persis melintas di mata, lalu di tengah tubuh agak lebar dan terakhir di batang ekor yang melebar sampai sirip punggung. Warna tubuh botia dapat ditingkatkan lagi kualitas
warnanya dengan pemberian astaxantin di dalam
pemberian pakan buatan (Satyani dkk. dalam
Sudarto & Pouyaud, 2006).
Sirip ekor tebal terbagi dua dengan ujung meruncing, warna oranye dengan ujung sirip berwarna kemerahan. Sirip anus hitam dengan tulang sirip kuning, sementara sirip dada merah darah. Pada ujung kepala terdapat mulut yang ditempeli kumis, sedangkan di bawah matanya terdapat semacam duri tajam yang digunakan sebagai senjata, sehingga tak
heran kalau botia dijuluki si mata duri (thorn eyes).
Senjata ini mau tak mau memaksa penempatan botia dalam kantung plastik dibuat dua lapis agar tidak bocor ditusuk durinya (Lingga & Susanto, 1991). Panjang total ikan ini bisa mencapai 12 cm (4 ¾ inchi) dan berat badan bisa mencapai 100 – 305 gr (Madsen, 1975; Suseno & Subandiah, 2000).
Adapun klasifikasi ikan botia menurut Berra (2001) sebagai berikut:
Phyllum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Anak Kelas : Neopterygii
Bangsa : Cypriniformes
Suku : Cobitidae
Marga : Botia
Jenis :Botia macracanthus (Bleeker, 1852)
Revisi takson pada marga dan jenisnya menurut Eschmeyer (2011):
Marga : Chromobotia
Jenis : Chromobotia macracanthus
(Bleeker, 1852)
Ikan botia mempunyai nama daerah Ikan Cublang (Sumatera Selatan), ikan Bajubang atau ikan Merah ( Jambi), ikan Macan (Riau), dan di Kalimantan Tengah dinamai ikan Jono (Anonymous, 2009b).
Habitat dan Perilaku
Ikan botia adalah ikan yang menghabiskan sebagian besar aktifitas hidupnya di dasar perairan. Salah satu habitatnya yaitu di Sungai Kapuas. Ikan
ini mendiami daerah paparan banjir (floodplain)
yaitu Sungai Tawang dan danau-danau musiman di sekitar Sungai Kapuas serta sungai sungai besar yang menghubungkan danau-danau musiman dengan
Sungai Kapuas dan Sungai Tawang (Gissen dalam
Rachmatika & Hadiaty, 1991). Daerah paparan banjirnya adalah daerah perairan yang tipe habitatnya terdiri dari: dangkal berlumpur, dangkal berpasir, FAUNA INDONESIA Vol 10(1) Juni 2011 : 17- 21
19
dangkal berdetritus, dalam bervegetasi terapung, dalam ternaungi hutan (di saluran permanen), sampai ternaungi dipenuhi oleh batang pohon dan sampah, perairan terbuka dengan dasar lumpur dan
lain-lain (Welcome dalam Rachmatika & Hadiaty,
1991).
Ikan botia menyukai habitat yang terdapat banyak batang/ranting kering, berpepohonan dan pada dasar sungai yang berpasir. Vegetasi di perairan Sungai Musi dan Sungai Batanghari merupakan habitat yang disukainya, dipinggirnya tumbuh pohon blanti, laos hitam, bengkal,kayu apung, bungur, bambu, rengas pandan duri, teritang, arau, bacang, rumput menibung dan rumput bento (Suseno dkk.
dalam Suseno & Subandiah, 2000) .
Informasi dari para penangkap, induk botia pada waktu musim kemarau bersembunyi dalam kedung (bagian terdalam suatu perairan) atau dalam lubang dan menjelang musim penghujan induk ikan naik ke hulu sungai dan pada awal musim penghujan dan kemudian akan memijah. Selanjutnya pada saat musim penghujan benih-benih botia terbawa aliran air ke bagian hilir dan berusaha mencari tempat yang cocok dan aman untuk kehidupannya, antara lain di danau atau sungai yang terdapat banyak batang pohon kering serta banyak vegetasi sebagai tempat berlindung (Suseno & Subandiah, 2000).
Mengenai aktifitas hidupnya, ada pembuktian lain pada skala laboratorium. Pada percobaan preferensi substrat dan naungan ikan botia. Saat senja hari ikan ini mulai mencari tempat untuk berlindung dan tetap berada di tempat tersebut sepanjang malam sampai keesokan harinya (Rachmatika & Hadiaty, 1991). Fenomena ini berbeda dengan
pendapat Axelrod et al. dalam Hadiaty (1997) yang
menyatakan bahwa botia tergolong ikan nokturnal. Perilaku demikian diperlihatkan pula oleh Ikan
Botia Hijau (Botia hymenophysa) yang tertangkap di
alam, tabung perangkapnya dipasang dipagi/siang hari dan diambil senja hari. Sebagian dari Botia Hijau lambungnya berisi makanan. Melihat fakta ini maka dapat dikatakan bahwa Botia Hijau bersifat diurnal, aktif mencari makan pada siang hari, sedang sore hari mereka mencari tempat berlindung untuk beristirahat (Hadiaty, 1997).
Hal di atas berkaitan pula dengan hasil pengamatan pribadi di akuarium yaitu pada malam hari ikan botia lebih banyak bersembunyi di balik akar dan batu-batuan hiasan akuarium. Sedangkan siang hari, ikan botia terlihat menunjukkan tingkah
laku mencari makan (menyapu) pada permukaan akuarium dan akar-batuan hiasan.
Botia senang berkelompok 4-6 ekor atau lebih. Berenang bergerombol mengelilingi akuarium dan bercengkerama diantara mereka, bergesekan badan dengan sirip tegak, sehingga menarik perhatian bagi pemeliharanya. Selain itu, perilaku yang menarik adalah tiduran bergeletak di dasar akuarium. Pemelihara yang baru akan mengira bahwa botianya sakit atau mati, padahal perilaku tersebut perilaku normal botia.
Riset Pengembangbiakan Botia
Karakter morfologi yang membedakan ikan botia jantan dan betina belum bisa diketahui secara pasti sebelum tahun 2000, sehingga ikan botia belum berhasil dikawinkan. Walaupun demikian, menurut para penangkap botia di alam, tidak terlalu sulit untuk menangkap atau menjaring pada musimnya dalam jumlah banyak. Dari kenyataan ini, dapat diperkirakan bahwa fekunditas botia cukup tinggi (Lingga & Susanto, 1991).
Berdasar fenomena menarik inilah, mulai
tahun 2000 para pihak yang terkait (stakeholder) dan
peneliti di instasi dan badan riset ikan hias air tawar melakukan berbagai penelitian ikan botia. Penelitian
dilakukan dari sex dimorphism, sumber genetik
maupun pemecahan permasalahan yang ada pada
pembudidayaan (breeding) ikan botia yang terkontrol
di pembenihan (hatchery).
Hasil riset mendata sex dimorphism, antara
lain: pada kondisi normal berat jantan kurang dari 100 gr dan lebih langsing, sedangkan betina berberat badan lebih dari 100 gr dan lebih gemuk dari jantan. Jarak antara pangkal sirip anal ke lubang genital lebih pendek dari jantan, yaitu berbanding 2:3 (Suseno &
Subandiah, 2000). Dari kejelasan sex dimorfphism ini
dapat berkembang dalam pencarian secara pasti jenis dan sumber genetik yang dipakai untuk budidaya dan pemijahan. Diharapkan didapat ikan botia yang tahan terhadap perubahan lingkungan dan penyakit.
Terutama penyakit ick yang sering menyerang ikan
botia. Ikan botia rentan terhadap penyakit tersebut hal ini disebabkan ikan botia tidak bersisik.
Pada kenyataannya pengusaha ikan hias masih mengalami kesulitan dalam pemeliharaan ikan botia karena mortalitasnya tinggi. Ikan ini mempunyai kelemahan yang tidak tahan dengan fluktuasi suhu dan apabila terinfeksi penyakit cepat berkembang dan akhirnya mati. Rivai & Nurdawati DAHRUDIN - IKAN BOTIA: MASKOTNYA EKSPOR IKAN HIAS ASLI INDONESIA
20
(1990) dalam Komarudin, dkk. (1996) melaporkan bahwa kematian ikan botia yang ditampung dalam penampungan berkisar antara 24,66 – 52,45%. Bahkan beberapa pengusaha melaporkan kematian total pada penampungan ikan botia dapat terjadi apabila penanganan tidak intensif dan pengendalian penyakit tidak cermat.
Untuk menghindari mortalitas yang tinggi tersebut dilakukan pencegahan dengan cara mengkarantinakan ikan yang baru datang untuk periode 14 hari sampai kelihatan ikan betul-betul bebas dari infeksi. Serta diberi obat-obatan antara lain formalin dan Oxytetracyclien (Komarudin, dkk., 1996). Kemudian diperkirakan juga berkaitan dengan pakan yang diberikan, biasanya berupa cacing Tubifex. Cacing ini hidup di selokan-selokan yang kotor yang sering kali menjadi pembawa penyakit
(umumnya white spot ich) apabila kurang bersih
mencucinya sebelum diberikan pada ikan. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu pakan alami lain yang cukup terjamin kebersihannya, dan akan mempercepat pertumbuhan anakan ikan (Hadiaty, 1992).
Berdasar penelitian-penelitian pakan yang telah dicobakan pada botia, yaitu pemberian cacing tubifex, larva lalat, serta campuran udang dan tepung beras, terlihat bahwa pertumbuhan yang baik dihasilkan oleh pakan alami seperti cacing Tubifex dan larva lalat. Keadaan ini mendukung pendapat
Stroband (1979); Silva & Weerakon dalam Hadiaty
(1994) yang menyatakan bahwa pakan alami berupa hewan akan mempercepat pertumbuhan anakan ikan.
Riset pakan perlu dilakukan untuk mendasari usaha budidaya, karena dengan berhasilnya budidaya tersebut, eksploitasi botia di alam tidak perlu dilakukan lagi. Diharapkan pula permintaan dari dalam dan luar negeri dapat terpenuhi, sehingga terjaga kelestariannya di alam.
Hasil Riset Pengembangbiakan Botia
Loka Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar mensosialisasikan berhasilnya pengembangbiakan ikan botia dalam skala besar pada Program Percontohan Produksi Massal Benih Botia diakhir tahun 2009 yang lalu. Negara Perancis sebagai importir pertama terbesar untuk pasaran Eropa dengan jumlah 4.000 ekor per bulannya. Untuk ukuran 5 cm pada saat itu dihargai 13 Euro (sekitar Rp.183.000) per ekor. Disamping sebagai negara
pengimpor, Perancis yang diwakili oleh peneliti dari
Institut de Recherce pour le Development (IRD) sejak
tahun 2004 melakukan kerjasama penelitian dengan BRKP dalam pengembangbiakan ikan botia ini.
Kerjasama penelitian ini bertujuan antara lain adalah menjembatani masyarakat Perancis yang sangat menggemari ikan botia sebagai ikan hias. Budidaya ikan botia merupakan jalan keluar dari masyarakat Eropa khususnya Perancis yang tidak menyukai ikan hias yang didapat atau ditangkap dari alam. Disamping itu, keberhasilan budidaya botia secara langsung setidaknya dapat melestarikan keberadaan botia di alam.
Lembaga riset ini akan memproduksi 50.000 benih botia per bulannya, untuk memenuhi permintaan pasar yang tinggi. Kepala Loka Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar, I Wayan Subamia, menyatakan bahwa ikan botia akan dijadikan ikon ekspor ikan hias Indonesia. Kedepannya, jika mengekspor ikan hias akan disertakan ikan botia yang menandakan bahwa ikan-ikan tersebut berasal dari Indonesia (Anwar, 2009; Hapsari, 2009)
Sebagai penutup, kajian dan penelitian yang sudah berjalan dan lanjutannya diharapkan dapat menghasilkan strain-strain botia yang baik dalam segala aspek sehingga didapat sediaan plasma nutfah dan bahan pemuliaan di masa-masa mendatang. Kesemua hal tersebut tentunya akan bermuara pada peningkatan pendapatan petani ikan, khususnya petani ikan hias.
Daftar Pustaka
Anonymous, 1998. Integrating freshwater biodiversity conservation with development: some emerging lessons.The World Bank Natural Habitats and Ecosystems Management Series. No. 61. 24 pp. Anonymous. 2009a. “Unggulan pertanian Indonesia
untuk dunia”. Direktorat Ekspor Produk Pertanian & Kehutanan - Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri - Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Jakarta. http://dektan.depdag.go.id/ comodity/6_komoditi_15%20Januari_2010.pdf. Diakses 1 Pebruari 2011.
Anonymous. 2009b. “InformasiSpesies”.<http:// www.fpik.undip.ac.id/perikanan/biodiversity/ s h a r e d / b i b l i o _ v i e w. p h p ? r e s o u r c e _ id=52&tab=opac>. Diakses 14 Pebruari 2011. Anwar, K. 2009. “Ikan Botia primadona ekspor Ikan FAUNA INDONESIA Vol 10(1) Juni 2011 : 17- 21
21
ikan hias Indonesia”. http://tkpkri.org/berita/ berita/ikan-botia-primadona-ekspor-ikan-hiasindonesia-20091119550.html. Diakses 22 Pebruari 2010.
Berra, T.M. 2001. Freshwater fish distribution.
Academic Press. San Diego, California. 105 p. 604 pp.
Caldecott, J. O., M. D. Jenkins, T. Johnson & B.
Groombridge. 1994. Priorities for conserving
global species richness and endemism. WCMC
Biodiversity 3. pp. 41.
Eschmeyer, W. N. 2011. “Catalog of fishes”. California Academy of Science. San Fransisco. http://research.calacademy.org/ redirect?url=http://researcharchive.calacademy. org/research/ichthyology/catalog/fishcatget. asp&tbl=species&spid=48863. Diakses 9 Pebruari 2011
Hadiaty, R.K. 1992. Pengaruh frekuensi pemberian pakan larva lalat terhadap konsumsi pakan dan pertumbuhan pada tiga tingkat bobot badan
anakan Ikan Botia (Botia macracantha Bleeker).
Prosiding Seminar Hasil Litbang SDH. Editor:
R.E. Nasution dkk. Puslitbang Biologi – LIPI. Bogor. Hal 63-67.
Hadiaty, R.K. 1994. Pengaruh pakan campuran udang dan tepung beras terhadap pertumbuhan, faktor kondisi dan mortalitas anakan Ikan Botia
(Botia macracantha Bleeker). Prosiding Seminar
Hasil Litbang SDH. Editor: S.E. Pratignjo dkk.
Puslitbang Biologi - LIPI. Bogor. Hal 165-169. Hadiaty, R.K. 1997. Hubungan panjang berat,
faktor kondisi dan kebiasaan pakan Botia Hijau
(Botia hymenophysa). Prosiding Seminar Biologi
XIV & Kongres Nasional Biologi XI. Editor: W.
Wardhana dkk. Perhimpunan Biologi Indonesia. Depok. Hal 43-48.
Hakim, A.R. 2010. ”Penanganan penyakit parasitik pada ikan air tawar”. http://diskanlut-jateng. go.id/index.php/read/news/detail/39. Diakses 28 Pebruari 2011.
Hakim, R.R. 2010. “Sejarah peraturan perikanan Indonesia”. http://docs.google. com/viewer?a=v&q=cache:AIYHo21F-UgJ:rizarahman.staff.umm.ac.id/files/2010/01/ S e j a r a h - p e r a t u r a n - p e r i k a n a n - i n d . pdf+sk+larangan+ikan+botia. Diakses 31
Januari 2011
Hapsari, T. 2009. “Depok berhasil produksi massal Ikan Botia”. http://www.tempointeraktif.com/hg/ layanan_publik/2009/11/05/brk,20091105-206628,id.html. Diakses 22 Pebruari 2010
Komarudin, O., E. Johan & Mariyono. 1996. Penyakit ikan (Botia Macracantaha Bleeker) di
Jambi. Prosiding Simposium Perikanan Indonesia
I. Editor: F. Cholik dkk.PuslitbangPerikanan –
DKP. Jakarta. Hal 233-237.
Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari & S.
Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater fishes of Western
Indonesia and Sulawesi. Periplus editions Limited.
Jakarta. 79 pp.
Lingga, P. &Susanto, H. 1991. Ikan hias air tawar.
Penebar Swadaya. Jakarta. 236 hal.
Madsen, J.M. 1975. Aquarium fishes in Colour.
Macmillan Pub. Co., Inc. New York. 173 pp.
Purwakusuma, W. 2002. Beberapa perangkat hukum
yang mengatur peredaran ikan (hias) di Indonesia.
http://www.oocities.com/wpurwakusuma/ Artikel/UU.htm. Diakses 1 Pebruari 2011 Putro, S., A. Poernomo, S. Muhdi, E. Setiabudi,
Isjaturradhijah, D. Hertanto & U. N. Dahlia.
2004. Direktori Ikan Hias. Ditjen Peningkatan
Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran. Jakarta. 150 hal.
Rachmatika, I. & K.H. Renny. 1991. Preferensi
substrat dan naungan Ikan Botia. Prosiding
Seminar Hasil Litbang SDH. Editor: Witjaksono
dkk. Puslitbang Biologi – LIPI. Bogor. Hal 189-193
Sudarto & L. Pouyaud. 2006. Perbedaan morfologi
populasi Botia macracantha asal Sumatra dan
Kalimantan. Jurnal Iktiologi Indonesia. 6(2):
121-124.
Suseno, D. & S. Subandiah. 2000. Ciri morfologi
jenis Ikan Macan atau Botia (Botia macracanthus)
strain Batanghari, Musi dan Kapuas. Prosiding
Seminar Nasional Keanekaragaman Hayati Ikan.
PSIH-IPB, Puslitbang Biologi-LIPI & JICA. Bogor. Hal 255-258