• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gagasan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Nelayan melalui Pendekatan Sistem

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gagasan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Nelayan melalui Pendekatan Sistem"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Nelayanku Garda Terdepan Kemajuan Bangsaku

Gagasan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Nelayan melalui Pendekatan

Sistem

Sugeng Hartono1

1Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor 1Sugeng.ug@gmail.com

1. Pendahuluan

Nelayan merupakan salah satu pekerjaan yang diandalkan masyarakat Indonesia. Masyarakat yang bekerja sebagai nelayan biasanya berasal dari wilayah pesisir. Sebagian besar dari nelayan tersebut merupakan nelayan tradisional. Jumlahnya mencapai 643.105 rumah tangga (BPS 2014). Mereka menggunakan transportasi seperti perahu atau kapal ikan dan mengoperasikan alat tangkap skala kecil hingga besar dalam melakukan penangkapan organisme laut. Ikan dan beberapa organisme laut lainnya yang menjadi hasil tangkapan mereka dijual kepada pengumpul atau dilelang di tempat pelelangan ikan untuk ditukar dengan uang tunai. Oleh karenanya, pendapatan nelayan sangat bergantung pada hasil tangkapan melaut (Widodo 2009).

Pekerjaan nelayan dapat dilakukan per kelompok atau perorangan. Nelayan per kelompok terdiri atas nelayan juragan dan nelayan buruh. Nelayan juragan merupakan nelayan yang memiliki modal dalam kegiatan penangkapan, seperti alat penangkapan sampai kapal, sedangkan nelayan buruh merupakan nelayan yang dipekerjakan oleh nelayan juragan untuk membantu atau melakukan penangkapan ikan. Adapun nelayan perorangan merupakan nelayan yang memiliki alat tangkap dan kapal sendiri (Imron 2003). Sebagian besar nelayan perorangan tergolong dalam usaha perikanan skala kecil, karena alat tangkap dan teknologi penangkapan yang digunakan hanya dapat dioperasikan di perairan pantai.

Ironi muncul ketika meninjau kembali realita terkait kehidupan masyarakat nelayan dengan potensi sumber daya perikanan Indonesia yang melimpah, khususnya nelayan tradisional perorangan skala kecil. Kelompok nelayan ini cenderung hidup dalam keadaan miskin dibandingkan nelayan juragan yang memiliki modal yang cukup. Masalahnya berawal dari ketiadaan modal untuk melaut, seperti kapal, alat tangkap, dan kebutuhan melaut lainnya. Mereka yang cenderung tidak dapat menghindari untuk menjadi nelayan terpaksa harus meminjam uang atau modal untuk memperoleh semua kebutuhan melaut (Kristianti et al. 2014). Sulitnya meminjam modal kepada lembaga resmi seperti bank dan koperasi dengan bunga kecil mendorong mereka untuk meminjam modal kepada rentenir atau tengkulak. Bunga pinjaman yang besar dari tengkulak membuat penjualan hasil melaut mereka hampir tidak memberi keuntungan ketika secara bersamaan harus membayar cicilan hutang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Syafrini (2014) yang menyatakan bahwa fenomena hutang dan rentenir merupakan masalah yang sedang berlangsung di komunitas nelayan Indonesia.

Fenomena hutang dan rentenir pada masyarakat nelayan dikenal sebagai sistem ijon. Syafrini (2014) menjelaskan bahwa sistem ijon terlaksana akibat peminjaman modal kepada para nelayan untuk membeli kapal, perbaikan alat, dan sarana untuk melaut. Kemudian, nelayan diwajibkan untuk menjual hasil tangkapannya kepada juragan yang bersangkutan dengan potongan harga seumur hidup. Hasil tangkapan bahkan dibeli dengan harga yang sangat murah. Selain itu, uang hasil penjualan juga diberikan pada juragan untuk membayar hutang beserta bunga yang sangat tinggi. Bunga yang harus ditanggung terkadang mencapai 20- 40%. Ini membuat hasil yang didapatkan oleh nelayan tidak sesuai dengan jerih payah yang mereka lakukan. Mereka akan

(2)

Nelayanku Garda Terdepan Kemajuan Bangsaku

terikat dengan hutang secara permanen, meskipun hasil tangkapan melimpah akan tetapi itu akan dijual dengan harga yang murah.

Pemecahan masalah terkait peminjaman modal dan kesejahteraan nelayan adalah hal penting yang harus ditindaklanjuti. Hal ini terkait dengan arah kebijakan Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2014 yang menyebutkan bahwa salah satu arah pembangunan harus memerhatikan peningkatan kesejahteraan nelayan dan masyarakat perikanan. Selain itu, peningkatan produksi perikanan yang mencapai 6,20 juta ton tidak membuat perubahan besar terhadap kesejahteraan nelayan (KKP 2015). Widodo (2009) juga menambahkan bahwa ada interaksi yang sangat kuat antara ketersediaan sumber daya ikan, nelayan, dan ekonomi dari hasil usaha penangkapan. Ini membuat kesejahteraan nelayan harus dipandang sebagai bagian dari sistem yang memiliki interaksi dengan komponen sistem bisnis perikanan lainnya. Dengan demikian, pendekatan yang paling tepat dalam penanggulangan kesejahteraan nelayan yang rendah adalah dengan pendekatan sistem.

2. Peran Nelayan dalam Sistem Bisnis Perikanan

Sistem bisnis perikanan menurut Undang-Undang Perikanan (No. 45 tahun 2009) menunjukkan bahwa nelayan berperan sebagai produksi dalam sistem tersebut. Peran ini dijalankan nelayan dengan melakukan penangkapan di laut, sehingga mereka memproduksi satu produk yang disebut hasil tangkapan. Hal ini juga secara praktis membuat nelayan menempatkan posisinya sebagai pihak yang vital dalam mengeksploitasi sumber daya perikanan.

Peran penting nelayan dalam mengeksploitasi sumber daya perikanan juga diimbangi dengan potensi sumber daya negara ini. Indonesia memiliki potensi perikanan tangkap di laut sebesar 6,5 juta ton per tahun. Potensi ekonomi sumber daya kelautan dan perikanan ini dapat dimanfaatkan untuk mendorong pemulihan ekonomi yang diperkirakan sebesar US$ 82 miliar per tahun (KKP 2015). Oleh karena itu, kegiatan penangkapan yang efektif dan efisien oleh nelayan diharapkan dapat mewujudkan pemanfaatan potensi tersebut.

3. Kesejahteraan Nelayan dan Eksistensi Tengkulak

Potensi dan produktivitas sumber daya perikanan yang melimpah tidak semata-mata membuat kesejahteraan nelayan terjamin. Hal ini disebabkan belenggu hutang kepada tengkulak yang membuat nelayan tidak mendapat keuntungan sesuai dari penjualan hasil tangkapan. Nelayan yang meminjam modal kepada tengkulak diwajibkan menjual hasil tangkapan ke tengkulak dengan harga yang ditentukan secara sepihak. Tengkulak terkadang menentukan harga tersebut di bawah harga pasar. Dengan demikian, nelayan akan tetap merugi, meskipun hasil tangkapan melimpah. Ini sesuai dengan penelitian Sari et al. (2016) yang menyatakan bahwa ada banyak nelayan rajungan di Desa Sukoharjo, Rembang yang masih terikat kontrak dengan tengkulak karena kesulitan modal untuk melaut.

Ada tiga sebab eksistensi tengkulak tetap berlangsung di Indonesia secara umum. Pertama, nelayan yang tidak memiliki modal melaut tidak mengetahui informasi lembaga peminjaman modal. Contohnya adalah Desa Sukoharjo, Rembang. Desa ini tidak memiliki lembaga peminjaman modal resmi, sehingga nelayan harus meminjam uang kepada tengkulak (Sari et al.

2016). Syafrini (2014) juga menyebutkan bahwa lembaga resmi peminjam modal, seperti Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PEMP), juga tidak jarang dianggap oleh nelayan sebagai lembaga yang menguntungkan kepentingan kelompok saja, sehingga lembaga tersebut cenderung tidak berkembang.

(3)

Nelayanku Garda Terdepan Kemajuan Bangsaku

Kedua, ketiadaan jaminan bagi nelayan ketika musim paceklik atau hasil tangkapan sedikit. Musim paceklik adalah permasalahan klasik yang dialami oleh nelayan. Pada musim ini, nelayan hampir tidak melakukan kegiatan penangkapan, sehingga pendapatan mereka juga relatif tidak ada. Keadaan ini memaksa nelayan untuk melakukan berbagai kegiatan adaptasi agar bertahan hidup, seperti diversifikasi pekerjaan, menjual barang berharga, dan meminjam uang. Dalam hal meminjam uang, salah satu sumber peminjaman uang adalah dari tengkulak. Pemanfaatan uang ini digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan modal untuk melaut ketika musim penangkapan tiba (Solihin 2004). Selain itu, nelayan yang tidak meminjam modal ke tengkulak tidak mendapat jaminan ketersediaan dana tambahan ketika hasil tangkapan sedikit. Hal ini diungkapkan oleh Amiruddin (2014) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa nelayan di Desa Lontar, Banten cenderung lebih memilih meminjam modal ke tengkulak dan menjual hasil tangkapannya kepada mereka, karena nelayan akan membutuhkan pinjaman lagi dari tengkulak apabila hasil tangkapan mereka tidak mampu menghasilkan pendapatan yang besar dari penjualan ke TPI.

Ketiga, sumber peminjaman modal selain tengkulak memiliki proses dan syarat yang sulit. Hal ini disebabkan syarat peminjaman dari satu lembaga resmi seperti bank merupakan syarat yang tidak bisa dipenuhi oleh nelayan. Hal ini sesuai dengan penelitian Imron (2003) yang menjelaskan bahwa nelayan tidak dapat meminjam modal melaut ke bank karena ketiadaan agunan. Akhirnya, nelayan secara terpaksa harus beralih kepada tengkulak yang mau meminjamkan modal tanpa syarat yang sulit. Konsekuensinya adalah nelayan harus rela tidak terlibat dari pengaturan hasil tangkapannya sendiri.

4. Diskusi

Permasalahan yang terjadi terhadap nelayan tradisional harus segera diatasi. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah meninjau ulang orientasi sistem bisnis perikanan dan sistem-sistem yang ada di dalamnya. Kegiatan yang berlangsung di dalam setiap sistem ini harus berorientasi pada pemberdayaan manusia, yaitu upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat setiap lapisan masyarakat dan melepaskannya dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Tujuannya adalah untuk menciptakan masyarakat perikanan yang mandiri dengan memberinya kemampuan untuk menentukan pilihan (Syafrini 2014). Dalam hal ini, pemerintah sebagai pihak yang memiliki pengaruh besar dapat membentuk sistem peminjaman modal yang terencana dan menghapus eksistensi tengkulak atau rentenir. Gagasan ini dapat dilihat pada diagram causal-loop berikut ini (Gambar 1; Gambar 2).

(4)

Nelayanku Garda Terdepan Kemajuan Bangsaku

Gambar 2 Diagram causal-loop setelah adanya pembaharuan pada sistem modal

Gambar 1 menunjukkan bahwa eksistensi tengkulak akan membuat polaritas loop negatif. Polaritas loop negatif ini dikarenakan polaritas link di dalam loop berjumlah ganjil. Ini menunjukkan bahwa sistem tersebut tidak ideal. Adapun Gambar 2 menunjukkan bahwa satu sistem yang ideal. Hal ini dikarenakan polaritas loop positif. Polaritas link Gambar 2 seluruhnya positif. Nilai positif polaritas link di tiap link ini ditentukan dengan respon interaksi yang searah, sedangkan respon interaksi link yang tidak searah akan bernilai negatif. Oleh karenanya, peran pemerintah dalam membentuk lembaga yang mampu menyediakan kebutuhan nelayan dan mengganti peran tengkulak akan sangat berarti dalam mencapai kesejahteraan nelayan.

Sistem bisnis perikanan yang akan berorientasi pada pemberdayaan manusia akan memiliki tiga fungsi utama, yaitu pertumbuhan ekonomi (economic growth), perawatan masyarakat (community care), dan pengembangan manusia (human development) (Suharto 2006 dalam Syafrini 2014). Fungsi pertumbuhan ekonomi mengarah pada usaha untuk memperoleh pendapatan finansial untuk membiayai pembangunan. Fungsi perawatan berhubungan dengan pelayanan dan perlindungan terhadap keselamatan dan kelangsungan kehidupan warga negara, seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan. Adapun sementara fungsi pengembangan manusia mengarah pada peningkatan kompetensi sumber daya manusia dalam penyediaan tenaga kerja berkualitas yang akan mendukung pembangunan itu sendiri.

Ketiga fungsi tersebut harus dilaksanakan dengan optimal dan seimbang. Ini dikarenakan ketiganya merupakan substansi dari konsep pembangunan sosial yang menopang pembangunan ekonomi. Selanjutnya, fungsi perawatan dan pengembangan manusia harus diprioritaskan, karena bidang sosial tersebut merupakan kunci dalam satu sistem industri. Sumber daya manusia yang berkualitas akan memanfaatkan sumber daya alam dengan baik dan benar. Penghapusan eksistensi tengkulak merupakan langkah yang tepat, karena sistem yang dijalani tengkulak sangat bertentangan dengan konsep pemberdayaan manusia ini. Kemudian, pengembangan lembaga yang bergerak dalam memfasilitasi kebutuhan nelayan harus segera diwujudkan. Salah satu penerapan dari gagasan ini adalah KUD Mina Fajar Sidik Blanakan, Subang. Menurut Fatchiya dan Muflikhati (2006), koperasi ini adalah salah satu contoh lembaga yang tepat dalam mendukung aktivitas masyarakat pesisir. Dalam pelaksanaannya, koperasi bukan hanya telah menyalurkan kebutuhan melaut nelayan, tetapi juga berhasil menerapkan prinsip-prinsip koperasi, yaitu pembangunan yang mengarah pada kesosialan dan ekonomi.

(5)

Nelayanku Garda Terdepan Kemajuan Bangsaku

5. Simpulan

Simpulan dari tulisan ini adalah sebagai berikut.

1. Nelayan di Indonesia masih banyak yang terpaksa meminjam modal melaut dari tengkulak atau rentenir dengan konsekuensi harga hasil tangkapan ditentukan secara sepihak;

2. Lembaga peminjam modal berupa koperasi dan bank masih belum berkembang secara maksimal di bidang perikanan dalam mencapai kesejahteraan nelayan; dan

3. Penyelesaian masalah fenomena hutan dan rentenir melalui pendekatan sistem perlu dilakukan. Hal ini harus diikuti oleh kinerja yang profesional dari komponen sistem dalam sistem bisnis perikanan.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh nelayan di Indonesia yang telah berjuang dan berkorban banyak hal dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan. Perjuangan dan pengorbanan tersebut sampai saat ini masih terus menyokong kebutuhan stok sumber daya perikanan dan kebutuhan nutrisi bagi bangsa ini.

Daftar Pustaka

Amiruddin S. 2014. Jaringan Sosial Pemasaran pada Komunitas Nelayan Tradisional Banten.

Jurnal komunitas. 6(1): 106-115.

[BPS] Badan Pusat Statistika. 2014. Jumlah Rumah Tangga/Perusahaan Perikanan tangkap menurut Provinsi dan Jenis Penangkapan 2000-2014. Jakarta (ID): BPS.

Fatchiya dan Muflikhati I. 2006. Peran KUD Mina Fajar Sidik dalam Pembangunan Masyarakat Pesisir (Kasus KUD Mina Fajar Sidik di Blanakan, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat).

Buletin Ekonomi Perikanan. 6(3): 50-58.

Imron M. 2003. Kemiskinan dalam Masyarakat Nelayan. Jurnal Masyarakat dan Budaya. 5(1): 63-82.

[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2015. Laporan Kinerja 2014. Jakarta (ID): KKP. Kristianti, Kusai, dan Bathara L. 2014. Strategi Bertahan Hidup Nelayan Buruh di Desa Meskom

Kecamatan Bengkalis Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Berkala Perikanan Terubuk. 42(1): 62-68.

Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Repunlik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.

Sari MP, Bambang AN, dan Sardiyatmo. 2016. Analisis Distribusi Pemasaran Rajungan (Portunus pelagicus) di Desa Sukoharjo, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. JFRUMT. 5(1): 128-133. Solihin A. 2004. Musim Paceklik Nelayan dan Jaminan Sosial. Inovasi. 1(16): 20-22.

Syafrini D. 2014. Studi Ketergantungan Nelayan terhadap Rentenir pada Masyarakat Pesisir.

Jurnal Ilmu Sosial Mamangan. 1(2): 67-74.

Widodo S. 2009. Strategi Nafkah Rumah Tangga Nelayan dalam Menghadapi Kemiskinan.

Gambar

Gambar 1 Diagram causal-loop sebelum adanya pembaharuan pada sistem modal
Gambar 2 Diagram causal-loop setelah adanya pembaharuan pada sistem modal

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, pendidik Pendidikan Agama Islam mempunyai rencana dalam rangka memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai religius bagi peserta didik melalui kegiatan di

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus untuk setiap penyertaan dan pimpinanNya, penulisan tugas akhir ini yang berjudul “Analisis dan Perancangan Database Schema

Faktor warna lebih berpengaruh dan kadang- kadang sangat menentukan suatu bahan pangan yang dinilai enak, bergizi dan teksturnya sangat baik, tidak akan dimakan

dimaksud pada ayat (4) merupakan pembayaran secara berkala oleh Menteri kepada Badan Usaha Pelaksana atas tersedianya layanan Infrastruktur yang sesuai dengan

• Pembangunan Kawasan Perdesaan dilaksanakan melalui satuan kerja perangkat daerah, Pemerintah Desa, dan/atau BUM Desa dengan mengikutsertakan masyarakat Desa. • Pembangunan

Kondisi yang berbeda terjadi pada pengamatan di luar Sungai Cisadane (laut), nilai pH dan konsentrasi oksigen dari arah sungai menuju ke laut semakin.. bertambah dari tahun ke

Mungkin metode yang lebih baik untuk pembelajar peran dalam permainan peran / simulasi Metode Scarcella dan Oxford's (1992:43) "pendekatan permadani." Pelajar,

Penerapan Bayes menggunakan konsep ketidakpastian yang diubah menjadi variable data Pada penelitian ini dilakukan perancangan dan pembuatan sistem pakar yang