• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekstensifikasi

2.1.1 Pengertian Ekstensifikasi

Menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE– 06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak Dan Intensifikasi Pajak adalah:

“Ekstensifikasi Wajib Pajak adalah Kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan objek pajak dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).”

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER–116/PJ./2007 tentang Ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi Melalui Pendapatan Objek Pajak Bumi dan Bangunan, Pasal 1 angka 8 yang dimaksud dengan ekstensifikasi, adalah:

“Kegiatan yang dilakukan untuk memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kepada Wajib Pajak Orang Pribadi.”

Dari kedua pengertian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa kegiatan ekstensifikasi merupakan kegiatan yang berkaitan dengan penambahan Jumlah Wajib Pajak Terdaftar dan perluasan objek pajak dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak dengan memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak kepada Wajib Pajak Orang Pribadi.

Seorang petugas pajak dalam melaksanakan kegiatan ekstensifikasi harus berdasarkan norma-norma dan kaidah-kaidah yang harus dipatuhi. Norma dan kaidah tersebut adalah sebagai berikut:

a. Tujuan kegiatan ekstensifikasi.

b. Ruang lingkup kegiatan ekstensifikasi .

c. Unit Organisasi dan Petugas Pelaksana kegiatan ekstensifikasi.

d. Data dan pencarian data yang digunakan untuk pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi.

e. Tata cara pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi. - persiapan pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi

(2)

- pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi - pengawasan

Kegiatan Ekstensifikasi dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak, seperti: pemberi kerja dan bendaharawan pemerintah dan non karyawan berdasarkan property base sasarannya pertokoan, mall, pusat perdagangan, perumahan, apartemen, dan lainnya serta professional based sasarannya seperti dokter, notaris/PPAT, pengacara, artis, dan sebagainya, dengan cara petugas pajak akan mencari, mendata, mencermati dan meneliti setiap tempat, apakah masyarakat sekitar telah terdaftar sebagai Wajib Pajak serta memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kepada Wajib Pajak Orang Pribadi.

2.1.2 Tujuan dan Sasaran Kegiatan Ekstensifikasi

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE–13/PJ./2007 tentang Penjelasan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER– 175/PJ./2006 tentang tata cara pemutakhiran data Objek Pajak dan Ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau memiliki tempat usaha di pusat perdagangan dan/atau pertokoan, angka 1, dan 2, yaitu:

1. Tujuan kegiatan ekstensifikasi adalah untuk:

Pemberian NPWP dengan memperhatikan asas domisili, sedangkan pemenuhan kewajiban perpajakan timbul sebagai akibat pemberian NPWP tetap mengacu pada prinsip self assessment.

2. Sasaran kegiatan ekstensifikasi adalah untuk:

Kegiatan ini harus dilaksanakan secara menyeluruh terhadap setiap gerai/tempat usaha yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi baik yang telah memiliki NPWP maupun belum. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah memiliki NPWP, data dan identitasnya dimutakhirkan sesuai dengan ketentuan.

(3)

2.1.3 Ruang Lingkup dan Jangka Waktu Pemeriksaan

Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE– 06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak Dan Intensifikasi Pajak angka 2 adalah sebagai berikut:

angka 2

Ruang Lingkup kegiatan ekstensifikasi meliputi:

2.1.Pemberian NPWP dan atau pengukuhan sebagai PKP, termasuk pemberian NPWP secara jabatan terhadap Wajib Pajak PPh orang pribadi yang berstatus sebagai karyawan perusahaan, orang pribadi yang bertempat tinggal di wilayah atau lokasi pemukiman atau perumahan, dan atau orang pribadi lainnya (termasuk orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan), yang menerima atau memperoleh penghasilan melebihi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

2.2.Pemberian NPWP dilokasi usaha, termasuk pengukuhan sebagai PKP, terhadap orang pribadi pengusaha tertentu yang mempunyai lokasi usaha di sentra perdagangan atau perbelanjaan atau pertokoan atau perkantoran atau mal atau plaza atau kawasan industri atau sentra ekonomi lainnya.

2.3.Pemberian NPWP dan atau pengukuhan sebagai PKP terhadap Wajib Pajak badan yang berdasarkan data yang dimiliki atau diperoleh ternyata belum terdaftar sebagai Wajib Pajak dan atau PKP baik di domisili atau lokasi.

2.4.Penentuan jumlah angsuran PPh Pasal 25 dan atau jumlah PPN yang harus disetor dalam tahun berjalan, dimulai sejak bulan Januari tahun yang bersangkutan.

2.5.Penentuan jumlah PPN yang terutang atas transaksi penjualan dalam tahun berjalan, khususnya untuk PKP Pedagang Eceran, yang mempunyai usaha di sentra perdagangan atau perbelanjaan atau

(4)

pertokoan atau perkantoran atau mal atau plaza atau sentra ekonomi lainnya.

2.1.4 Unit Organisasi dan Petugas Pelaksana Kegiatan Ekstensifikasi. Kegiatan Ekstensifikasi dilaksanakan oleh Unit Organisasi dan Petugas Pelaksana Kegiatan Ekstensifikasi. Hal ini tercantum dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE–06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak Dan Intensifikasi Pajak angka 3, dan angka 4 adalah sebagai berikut:

angka 3

Unit organisasi yang melaksanakan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak:

3.1. Seksi Pengolahan Data dan Informasi (PDI) pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) serta Kantor Penyuluhan Pajak yang berada diluar kota kedudukan KPP.

3.2. Dalam hal kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak dimaksudkan untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, Kepala KPP dapat menunjuk petugas pada Seksi PPh, Seksi PPN dan Pajak Tidak Langsung Lainnya, serta seksi lainnya di KPP untuk diperbantukan pada Seksi PDI dan atau Kantor Penyuluhan Pajak.

3.3. Khusus untuk pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak dalam tahun 2001, dilakukan oleh Tim atau Satuan Tugas yang dikoordinir oleh Kepala KPP dengan pengarahan dan pengawasan oleh Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) DJP.

Angka 4

Petugas pelaksana yang melaksanakan kegiatan ekstensifikasi Wajib pajak dan intensifikasi pajak adalah Petugas yang memenuhi kualifikasi sebagai pelaksana kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak, meliputi:

(5)

4.1. Petugas yang ditunjuk oleh kepala KPP.

4.2. Petugas Kantor Penyuluhan Pajak yang ditunjuk oleh Kepala KPP. 4.3. Petugas lain yang ditunjuk oleh Kakanwil DJP.

2.1.5 Data dan pencarian data yang digunakan untuk pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi.

Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE– 06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak Dan Intensifikasi Pajak angka 5, dan angka 6, adalah sebagai berikut:

angka 5

Data yang digunakan untuk pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak meliputi data intern dan data ekstern, antara lain:

5.1. Pelanggan listrik untuk rumah tinggal dengan daya 6.600 Watt atau lebih;

5.2. Pelanggan telkom dengan pembayaran pulsa rata-rata perbulan Rp.300.000,- atau lebih;

5.3. Pemilik mobil dengan nilai Rp. 200.000.000,- atau lebih, atau pemilik motor dengan nilai Rp.100.000.000,- atau lebih;

5.4. Pemegang Paspor Indonesia, kecuali pemegang paspor Haji dan pemegang Paspor Tenaga Kerja Indonesia (tidak termasuk awak pesawat terbang atau kapal laut);

5.5. Tenaga Kerja Asing (expatriate) yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;

5.6. Karyawan lokal kedutaan besar asing atau organisasi internasional; 5.7. Pemilik tanah dan atau bangunan dengan Nilai jual Objek pajak

(NJOP) Rp.1.000.000.000.- atau lebih berdasarkan data kartu jalan atau peta blok atau DHR atau data SPOP;

5.8. Data orang pribadi atau badan selaku penjual atau pembeli tanah dan atau bangunan dari laporan Pejabat Pembuat Akta Tanah

(6)

(PPAT) atau informasi dari Notaris dengan nilai Rp.60.000.000.- atau lebih;

5.9. Pemilik telepon selular pasca bayar; 5.10. Pemegang kartu kredit;

5.11. Pemegang polis atau premi asuransi; 5.12. Pemegang kartu keanggotaan Golf; 5.13. Artis;

5.14. Pemilik atau Penyewa ruang apartemen atau kondominium;

5.15. Pemilik kapal pesiar atau "yacht", "speed boat", dan pesawat terbang;

5.16. Pemilik saham yang diperdagangkan di pasar bursa; 5.17. Pemilik rumah sewa dan kost;

5.18. Pemegang saham, komisaris, direktur dan penerima dividen; 5.19. Pemilik atau penyewa atau pengguna dan pengelola ruangan pada

sentra perdagangan atau perbelanjaan atau pertokoan atau perkantoran atau mal atau plaza atau kawasan industri atau sentra ekonomi lainnya.

5.20. Subjek pajak yang berdasarkan data pada lampiran Surat Pemberitahuan (SPT), telah memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak, tetapi belum mempunyai NPWP;

5.21. Data yang ditemukan pada pelaksanaan kegiatan PSL. angka 6

Pencarian data sebagaimana dimaksud pada angka 5 diatas, dilakukan oleh: 6.1. Untuk Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta:

6.1.1. Direktorat Informasi Perpajakan Kantor Pusat DJP, untuk data pada angka 5.1 sampai dengan angka 5.6;

6.1.2. KPP, untuk data pada angka 5.7 sampai dengan angka 5.21 dan data lainnya, dalam hal sumber data berada di wilayah KPP tersebut.

6.2. Untuk Wilayah diluar Daerah Khusus Ibukota Jakarta, jika pada kota kedudukan Kanwil DJP terdapat lebih dari satu KPP:

(7)

6.2.1. Kanwil DJP, untuk data pada angka 5.1 sampai dengan angka 5.6;

6.2.2. KPP, untuk data pada angka 5.7 sampai dengan angka 5.21 dan data lainnya, dalam hal sumber data berada di wilayah KPP tersebut.

6.3. Untuk Wilayah diluar Daerah Khusus Ibukota Jakarta, jika pada kota kedudukan Kanwil DJP hanya terdapat satu KPP, dilakukan oleh KPP.

6.4. Untuk Wilayah diluar Daerah Khusus Ibukota Jakarta, diluar kota kedudukan Kanwil DJP:

6.4.1.KPP, dalam hal sumber data berada di kota kedudukan KPP; 6.4.2. Kantor Penyuluhan Pajak, dalam hal sumber data berada di

luar kota kedudukan KPP.

6.5. Khusus untuk data peta blok dan DHR sebagaimana dimaksud pada angka 5.7, KPPBB berkewajiban untuk menyampaikan ke KPP dalam wilayah kerja terkait. Dalam hal terdapat perubahan data DHR, KPPBB berkewajiban mengirimkan perubahan data tersebut kepada Kepala KPP terkait setiap akhir bulan.

2.1.6 Tata cara pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi. 2.1.6.1 Persiapan Kegiatan Ekstensifikasi

Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE– 06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak Dan Intensifikasi Pajak angka 7, 8, 10, dan angka 11, adalah sebagai berikut: angka 7

Agar pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak dapat dilakukan sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak harus direncanakan dengan sebaik-baiknya dengan ketentuan sebagai berikut:

7.1. KPP melakukan identifikasi terhadap data yang diperoleh pada angka 6 diatas, dan mencocokkannya dengan data Master File Lokal (MFL) melalui program Sistem Informasi Perpajakan (SIP);

(8)

7.2. KPP membuat daftar nominatif Wajib Pajak yang belum mempunyai NPWP dan atau Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (SP PKP) sesuai dengan data yang dimiliki, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Surat Edaran ini;

7.3. KPP mempersiapkan sarana dan prasarana administratif yang diperlukan;

7.4. KPP melaksanakan koordinasi dengan instansi di luar DJP yang terkait dalam pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak; 7.5. KPP membuat dan mengirimkan Pemberitahuan kepada Wajib

Pajak yang terdapat dalam daftar nominatif dimaksud pada angka 7.2 dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II.1 (untuk Wajib Pajak di wilayah pemukiman) dan Lampiran II.2 (untuk Wajib Pajak di sentra perdagangan atau perbelanjaan atau pertokoan atau perkantoran atau mal atau plaza atau kawasan industri atau sentra ekonomi lainnya) Surat Edaran ini.Pemberitahuan tersebut dikirim dengan melampirkan formulir surat jawaban Wajib Pajak (Lampiran III dan Lampiran IV Surat Edaran ini), formulir pernyataan Wajib Pajak mengenai besarnya peredaran usaha (Lampiran V Surat Edaran ini), formulir Surat Setoran Pajak, formulir SPT Masa PPN, formulir Pendaftaran Wajib Pajak, dan Leaflet Penyuluhan Pajak (Lampiran VI Surat Edaran ini);

7.6. Kakanwil DJP dapat menentukan prioritas pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak;

7.7. Kakanwil DJP dapat menentukan besarnya nilai yang tercantum pada angka 5.1, 5.2, 5.3, 5.7, dan 5.8 disesuaikan dengan kondisi di wilayah masing-masing.

2.1.6.2Pelaksanaan Kegiatan Ekstensifikasi

Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE– 06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak Dan Intensifikasi Pajak angka 7, 8, 10, dan angka 11, adalah sebagai berikut:

(9)

angka 8

Sesuai dengan tujuan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak, prioritas utama kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak ditujukan untuk menambah jumlah Wajib Pajak dan atau PKP.

8.1. Atas Pemberitahuan yang dikirim kepada Wajib Pajak terdapat beberapa kemungkinan:

8.1.1.Wajib Pajak menanggapi dan bersedia untuk mendaftarkan diri dan diberikan NPWP dan atau dikukuhkan sebagai PKP dengan mengisi formulir pendaftaran Wajib Pajak dan atau PKP;

8.1.2.Wajib Pajak tidak menanggapi Pemberitahuan, walaupun Pemberitahuan telah diterima;

8.1.3.Wajib Pajak menanggapi Pemberitahuan dengan menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak wajib memiliki NPWP dan atau belum perlu dikukuhkan sebagai PKP;

8.1.4.Wajib Pajak menanggapi Pemberitahuan dengan menyatakan bahwa yang bersangkutan sudah memiliki NPWP dan atau telah dikukuhkan sebagai PKP;

8.1.5.Wajib Pajak menanggapi Pemberitahuan dengan menyatakan bahwa yang bersangkutan sudah memiliki NPWP dan dikukuhkan sebagai PKP di KPP lainnya; atau 8.1.6.Wajib Pajak tidak menanggapi oleh karena Pemberitahuan

kembali dari Kantor Pos (Kempos).

8.2. Terhadap Wajib Pajak yang berusaha di sentra perdagangan atau perbelanjaan atau pertokoan atau perkantoran atau mal atau plaza atau sentra ekonomi lainnya, seluruhnya dilakukan PSL.

8.3. Terhadap Wajib Pajak selain yang dimaksud dalam angka 8.2. sepanjang memenuhi keadaan dimaksud pada angka 8.1.1. dilakukan proses pemberian NPWP dan atau pengukuhan sebagai PKP sesuai ketentuan yang berlaku.

8.4. Terhadap Wajib Pajak selain yang dimaksud dalam angka 8.2. sepanjang memenuhi keadaan dimaksud pada angka 8.1.2, oleh

(10)

Seksi PDI data Wajib Pajak tersebut diteruskan ke Seksi Tata Usaha Perpajakan untuk dilakukan proses pemberian NPWP dan atau pengukuhan sebagai PKP secara jabatan sesuai dengan tata cara yang sudah ditentukan.

8.5. Terhadap Wajib Pajak selain yang dimaksud dalam angka 8.2 sepanjang memenuhi keadaan dimaksud pada angka 8.1.3 dan angka 8.1.6, dilakukan PSL.

8.6. Terhadap Wajib Pajak selain yang dimaksud dalam angka 8.2. sepanjang memenuhi keadaan dimaksud pada angka 8.1.4 dan 8.1.5, dilakukan pencocokan dengan data MFL:

8.6.1.Dalam hal Wajib Pajak telah terdaftar dengan nama dan alamat domisili Wajib Pajak sesuai dengan MFL, dilakukan updating dalam daftar dimaksud pada angka 7.2 dengan membubuhkan catatan bahwa Wajib Pajak sudah terdaftar dan sekaligus mencantumkan NPWP dalam kolom keterangan;

8.6.2.Dalam hal Wajib Pajak telah terdaftar namun nama dan alamatnya berbeda dengan data MFL, dilakukan PSL;

8.6.3.Dalam hal Wajib Pajak ternyata belum terdaftar, dilakukan PSL.

2.1.6.3 Pengawasan

Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE– 06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak Dan Intensifikasi Pajak angka 7, 8, 10, dan angka 11, adalah sebagai berikut: angka 11

Dalam rangka pengawasan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak agar berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pelaksana kegiatan diwajibkan memonitor pelaksanaan kegiatan tersebut, dengan ketentuan sebagai berikut:

11.1. Setiap tim pelaksana kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak, secara berkala membuat laporan hasil

(11)

pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak untuk dikompilasi oleh Kepala Seksi PDI, dengan bentuk sebagaimana terlampir pada Lampiran VII Surat Edaran ini.

11.2. Kepala Kantor Penyuluhan Pajak bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak di wilayahnya, dan secara periodik melaporkan hasil kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak tersebut kepada Kepala KPP atasannya, dengan menggunakan bentuk laporan sebagaimana terlampir pada Lampiran VIII Surat Edaran ini.

11.3. Kepala KPP bertanggung jawab untuk mengawasi pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak di wilayahnya, dan secara periodik melaporkan hasil kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak tersebut kepada Kakanwil DJP atasannya, dengan menggunakan bentuk laporan sebagaimana terlampir pada Lampiran IX Surat Edaran ini.

11.4. Kakanwil DJP bertanggung jawab untuk mengarahkan dan mengawasi pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak di wilayahnya, dan secara periodik melaporkan hasil kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak. Direktorat Informasi Perpajakan, dengan menggunakan bentuk laporan sebagaimana terlampir pada Lampiran X Surat Edaran ini.

2.1.7 Dasar Hukum Dilaksanakan Kegiatan Ekstensifikasi

Kantor Pelayanan Pajak Pratama dalam Melaksanakan Kegiatan Ekstensifikasi menganut beberapa Undang-undang Hukum Perpajakan dan Peraturan Perpajakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Undang-undang Hukum Perpajakan dan Peraturan Perpajakan tersebut adalah sebagai berikut:

(12)

2.1.7.1Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-175/PJ./2006 tentang Tata Cara Pemutakhiran Data Objek Pajak dan Ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Melakukan Kegiatan Usaha dan/atau Memiliki Tempat Usaha di Pusat Perdagangan dan/atau Pertokoan, diantaranya:

a. Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:

1. Pemutakhiran data objek pajak adalah kegiatan yang dilakukan untuk menyesuaikan data yang disimpan di dalam basis data dengan data yang sebenarnya di lapangan.

2. Ekstensifikasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak kepada Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau memiliki tempat usaha di pusat perdagangan dan/atau pertokoan.

3. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha adalah setiap penyewa/pengguna tempat usaha yang melakukan usaha perdagangan atau melakukan usaha jasa di pusat perdagangan dan/atau pertokoan.

4. Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki tempat usaha di pusat perdagangan/pertokoan adalah setiap orang pribadi yang berdasarkan hukum memiliki objek pajak yang digunakan sebagai tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.

5. Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak adalah kegiatan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak berdasarkan hasil pemutakhiran data objek pajak.

6. Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Kantor Pelayanan Pajak Pratama adalah Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat objek pajak berupa pusat perdagangan dan/atau pertokoan.

(13)

7. Kantor Pelayanan Pajak Lokasi atau Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lokasi adalah Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi lokasi pusat perdagangan dan/atau pertokoan. 8. Kantor Pelayanan Pajak Domisili atau Kantor Pelayanan Pajak

Pratama Domisili adalah Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau domisili Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau memiliki tempat usaha di Pusat Perdagangan dan/atau Pertokoan.

9. Formulir Lampiran Pemutakhiran Data Objek Pajak (LPDOP) adalah formulir yang digunakan untuk mendapatkan data wajib pajak orang pribadi dan berfungsi sebagai formulir pendaftaran Wajib Pajak.

b. Pasal 2

1. Setiap objek pajak yang berada di pusat perdagangan dan/atau pertokoan wajib didaftarkan dengan mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) melalui kegiatan pemutakhiran data objek pajak.

2. Setiap Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau memiliki tempat usaha di pusat perdagangan dan/atau pertokoan wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) melalui kegiatan ekstensifikasi yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. c. Pasal 3

1. Pemutakhiran Data Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Kantor Pelayanan Pajak Pratama.

2. Pelaksanaan Pemutakhiran data objek pajak dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3. Kegiatan Pemutakhiran data objek pajak juga meliputi kegiatan pendataan Wajib Pajak Orang Pribadi dengan menggunakan Lampiran Pemutakhiran Data Objek Pajak (LPDOP).

(14)

1. Nomor Pokok Wajib Pajak diberikan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

2. Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak Lokasi atau Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lokasi dengan menggunakan Lampiran Pemutakhiran Data Objek Pajak (LPDOP).

3. Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak diterbitkan sesuai dengan tempat tinggal/domisili Wajib Pajak dan/ atau sesuai dengan tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.

e. Pasal 5

1. Bentuk Formulir Lampiran Pemutakhiran Data Objek pajak (LPDOP) sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

2. Pedoman Pelaksanaan Pemutakhiran Data Objek Pajak dan Ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau memiliki tempat usaha di pusat perdagangan dan/atau pertokoan sebagaimana diatur dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

2.1.7.2Surat Edaran Nomor: SE-13 /PJ/2007 tentang Penjelasan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-175/PJ./2006 tentang Tata Cara Pemutakhiran Data Objek Pajak dan Ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Melakukan Kegiatan Usaha dan/atau Memiliki Tempat Usaha di Pusat Perdagangan dan/atau Pertokoan.

Sehubungan dengan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) Non Karyawan sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-175/PJ./2006 dan mempertimbangkan hasil evaluasi pelaksanaan perdana di wilayah DKI Jakarta, dengan ini disampaikan penjelasan tambahan untuk dipedomani dalam pelaksanaan selanjutnya sebagai berikut:

(15)

1. Tujuan utama kegiatan pemutakhiran data objek pajak dan ekstensifikasi WP OP adalah pemberian NPWP dengan memperhatikan asas domisili, sedangkan pemenuhan kewajiban perpajakan yang timbul sebagai akibat pemberian NPWP tetap mengacu pada prinsip self assessment.

2. Kegiatan ini harus dilaksanakan secara menyeluruh terhadap setiap gerai/tempat usaha yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh WP OP baik yang telah memiliki NPWP maupun belum. Bagi Wajib Pajak OP yang telah memiliki NPWP, data dan identitasnya dimutakhirkan sesuai dengan ketentuan.

3. Kartu NPWP Cabang diterbitkan atas setiap gerai/tempat usaha tanpa memperhatikan jumlah gerai/tempat usaha dan NPWP domisilinya diterbitkan sesuai dengan alamat tempat tinggal pelaku usaha.

4. Bagi pelaku usaha yang beralamat sama dengan gerai/tempat usahanya hanya diterbitkan NPWP domisili.

5. Apabila semua tahapan pekerjaan (prosedur operasional standar) kegiatan pemutakhiran data objek pajak dan ekstensifikasi WP OP telah dilakukan, namun data dan atau informasi yang diperlukan tidak diberikan oleh wajib pajak, maka penerbitan NPWP dapat menggunakan data pendukung lain berupa data PBB, data dari pengelola gedung, atau data dari sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan.Untuk melengkapi pelaksanaan prosedur operasional standar tersebut, dibuat laporan yang ditandatangani oleh petugas lapangan, pengelola/pendamping/pihak lain, dan diketuai oleh Ketua Sub Tim Pendataan sebagaimana format terlampir.

6. Segala kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan pemutakhiran data objek pajak dan ekstensifikasi WP OP tanpa pembebanan biaya apapun kepada wajib pajak serta mengedepankan prinsip pelayanan. 7. Pusat perdagangan atau pertokoan yang data PBB-nya atas nama

(16)

pemberian NPWP dibuat denah atau tata letak gerai/tempat usaha per-lantai/blok pertokoan/kaveling dan selanjutnya diidentifikasi pihak yang memiliki, menguasai, dan/atau memanfaatkan tiap-tiap gerai/tempat usaha tersebut.

8. Guna memperlancar pelaksanaan di lapangan, maka perlu didukung dengan sosialisasi yang berkesinambungan.

9. Pelaksanaan pemutakhiran data objek pajak dan ekstensifikasi WP OP di seluruh Indonesia telah dapat dimulai secara serentak pada tanggal 19 April 2007. Khusus wilayah DKI Jakarta yang telah memulai dengan pelaksanaan perdana, diminta untuk melanjutkan ke seluruh pusat perdagangan/pertokoan lainnya sesuai dengan prioritas.

2.1.7.3Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: 16/PJ/2007 tentang Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Berstatus Sebagai Pengurus, Komisaris, Pemegang Saham/Pemilik dan Pegawai Melalui Pemberi Kerja/Bendaharawan Pemerintah.

Dalam ketentuan tersebut diatur berbagai hal yang terkait tata cara pendaftaran, pemberian, dan penghapusan NPWP yang antara lain adalah: a. Pasal 2

1. Setiap Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus sebagai Pengurus, Komisaris, Pemegang Saham/Pemilik dan Pegawai dengan penghasilan di atas PTKP wajib mendaftarkan diri pada KPP dan kepadanya diberikan NPWP.

2. Atas permohonan untuk mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak di KPP Domisili diproses sesuai dengan tata cara pendaftaran yang berlaku.

b. Pasal 3

Dalam rangka ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi dan peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak,pemberian NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan oleh KPP Lokasi.

(17)

c. Pasal 4

1. Untuk pemberian NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pemberi Kerja/Bendaharawan Pemerintah membuat Daftar Nominatif dan atau mengisi e-NPWP, dan menyampaikannya ke KPP Lokasi.

2. Penyampaian Daftar Nominatif dan atau e-NPWP yang telah diisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai permohonan pendaftaran Wajib Pajak oleh masing-masing calon Wajib Pajak Orang Pribadi secara Massal.

3. Terhadap orang pribadi yang memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak berdasarkan Daftar Nominatif dan atau e-NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kartu NPWP oleh KPP Lokasi sesuai domisili Wajib Pajak.

d. Pasal 5

1. Dalam hal Wajib Pajak telah memiliki NPWP, KPP Domisili melakukan penghapusan NPWP yang diberikan oleh KPP Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3).

2. Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menerbitkan Surat Penghapusan NPWP.

e. Pasal 6

Susunan Tim Pelaksana dan Tata Cara Pemberian NPWP Orang Pribadi yang berstatus sebagai Pengurus,Komisaris, Pemegang Saham/Pemilik dan Pegawai melalui Pemberi Kerja/Bendaharawan Pemerintah adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

2.1.7.4Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE–4/PJ.01/2007 tentang Standar Biaya Kegiatan Ekstensifikasi WP Orang Pribadi Yang Berstatus Sebagai Pengurus, Komisaris, Pemegang Saham/Pemilik Dan Pegawai.

Dalam rangka pembiayaan dan pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus sebagai

(18)

Pengurus, Komisaris, Pemegang Saham/Pemilik, dan Pegawai sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ./2007 tanggal 25 Januari 2007, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Biaya untuk kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus sebagai Pengurus, Komisaris, Pemegang Saham/Pemilik, dan Pegawai adalah sebagaimana Lampiran I surat edaran ini.

2. Format pertanggungjawaban penggunaan dana untuk pembiayaan kegiatan ekstensifikasi tersebut adalah sebagaimana Lampiran II surat edaran ini.

2.2 Wajib Pajak

Wajib Pajak berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007, Pasal 1 angka 2, adalah:

“Orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”

2.2.1 Wajib Pajak Efektif dan Wajib Pajak non Efektif

Berdasarkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak: SE-26/PJ.2/1988 tanggal 27 Juli 1988, Sebagaimana diketahui banyak Wajib Pajak terdaftar tidak memenuhi kewajiban perpajakannya disebabkan antara lain non aktif, bubar, meninggal dunia dan sebagainya dan dari kenyataan tersebut diatas telah timbul berbagai istilah seperti WP aktif, WP efektif, WP non aktif dan WP non efektif serta WP karantina yang dapat membingungkan petugas pelaksana dilapangan. Agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran yang apat menyulitkan administrasi maka perlu diberikan penegasan bahwa administrasi pajak hanya mengenal istilah-istilah WP efektif dan WP non efektif dengan pengertian sebagai berikut:

(19)

1. Yang dimaksudkan dengan WP efektif adalah WP yang memenuhi kewajiban perpajakannya berupa memenuhi kewajiban menyampaikan SPT masa dan atau Tahunan sebagaimana mestinya.

2. Yang dimaksud dengan WP non efektif adalah WP yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya berupa memenuhi kewajiban menyampaikan SPT Masa dan atau Tahunan.

Sebagaimana telah ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.8/1988 tanggal 2 Oktober 1988 WP non efektif adalah :

1. WP yang berturut-turut selama 2 (dua) tahun tidak memasukkan SPT PPh.

2. WP yang sudah meninggal dunia/bubar, tetapi belum ada surat keterangan resminya.

3. WP tidak ditemukan alamatnya, walaupun sudah diusahakan pencariannya oleh Dinas Luar.

4. WP yang secara nyata tidak menunjukkan kegiatan usaha.

Dari penjelasan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa WP efektif adalah WP yang memenuhi kewajiban perpajakannya yang tercermin dari pemenuhan penyampaian SPT Masa dan atau Tahunan, sedangkan WP non efektif adalah WP yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya yang tercermin dari tidak dipenuhinya kewajiban menyampaikan SPT Masa dan atau Tahunan tersebut.

2.2.2 Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP )

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah identitas tunggal wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan.

Fungsi NPWP adalah:

1. Sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya, oleh karena itu kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak.

(20)

2. Dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan sebagai pengawasan administrasi perpajakan bagi aparatur pajak.

Orang pribadi berdasarkan sistem self assessment wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Untuk mengisi SPT Masa maupun SPT Tahunan, Wajib Pajak harus mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP terlebih dahulu di Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak terkait (berkedudukan di luar kota tempat kedudukan Kantor Pelayanan Pajak) yang wilayah kerjanya meliputi tempat usaha atau tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak orang pribadi untuk memperoleh NPWP. Dalam hal subjek pajak orang pribadi yang penghasilan neto di atas PTKP dalam suatu tahun takwin atau bagian tahun takwin atau tahun buku telah dihimbau untuk memiliki NPWP, maka penulis mencoba menjelaskan aspek formal maupun material dalam pemenuhan kewajiban dan hak wajib pajak orang pribadi khususnya wajib pajak baru, agar dalam pelaporannya sesuai dengan ketentuan fiskal yang berlaku, tidak dikenakan sanksi perpajakan tidak semestinya dan melakukan efisiensi dalam pembayaran pajaknya.

Jangka waktu pendaftaran NPWP adalah:

1. Wajib Pajak Badan atau Orang Pribadi Usahawan, paling lambat 1 (satu) bulan setelah saat usaha mulai dijalankan.

2. Wajib Pajak Non-Usahawan, paling lambat pada akhir bulan berikutnya apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku memperoleh penghasilan yang melebihi PTKP.

Syarat-syarat untuk mendapatkan NPWP:

1. Untuk Orang Pribadi Non-Usahawan, melampirkan fotocopy:

- Akte pendirian, KTP (keterangan domisili), Kartu Keluarga, SIM, Paspor.

(21)

- Surat keterangan tempat bekerja. - Surat Kuasa (apabila dikuasakan).

2. Untuk Orang Pribadi Usahawan, melampirkan fotocopy: - Akte pendirian, KTP, Kartu Keluarga, SIM, Paspor. - Surat Izin Usaha dan atau Keterangan Tempat Usaha. - Surat Keterangan Domisili.

- Surat Kuasa (apabila dikuasakan).

2.2.3 Sanksi-Sanksi Perpajakan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi. Sanksi-sanksi perpajakan bagi wajib pajak orang pribadi dapat berupa: a. Sanksi Administrasi bagi Wajib Pajak Orang Pribadi.

1. PPh:

a) Denda, sebesar:

- Rp 50.000,00 apabila surat pemberitahuan (SPT) Masa tidak disampaikan atau disampaikan tidak sesuai dengan batas waktu, misalnya paling lambat dua puluh hari setelah akhir Masa Pajak;

- Rp 10.000,00 apabila SPT Tahunan tidak disampaikan atau disampaikan tidak sesuai dengan batas waktu yaitu paling lambat tiga bulan setelah akhir Tahun Pajak. b) Bunga, sebesar:

- 2% sebulan untuk selama-lamamya 24 bulan atas jumlah pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar dalam hal: * WP membetulkan sendiri SPT yang mengakibatkan

utang pajak menjadi lebih besar sebelum dilakukannya pemeriksaan;

* PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar dan/atau dari hasil penelitian SPT terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;

(22)

* Terdapat kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain;

* Penghitungan sementara pajak yng terutang kurang dari jumlah pembayaran pajak yang sebenarnya terutang akibat diberikan izin penundaan penyampaian SPT Tahunan.

- 2% sebulan dari pajak yang kurang dibayar dalam hal wajib pajak (wp) diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak.

- 48% dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal WP setelah jangka waktu sepuluh tahun dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

- 2% sebulan dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan, apabila pembayaran atau penyetoran yang terutang untuk suatu saat atau masa dilakukan setelah jatuh tempo pembayaran atau penyetoran.

c) Kenaikan , sebesar:

- 50% dari PPh yang tidak atau kurang dibayar dalam satu tahun pajak akibat SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.

- 100% dari jumlah PPh yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetorkan, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetorkan,

(23)

- 100% dari jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam hal ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap dari WP yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.

b. Sanksi Pidana Wajib Pajak Orang Pribadi 1). Karena alpa:

a) tidak menyampaikan SPT; atau

b) menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya satu tahun dan denda setinggi-tingginya dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. 2). Dengan sengaja Wajib Pajak Orang Pribadi

a) tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau Nomor Pengukuhan PKP; atau

b) tidak menyampaikan SPT ; atau

c) menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau

d) memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau

e) tidak menyelanggaran pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau

f) tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun dan denda setinggi-tingginya empat kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.

(24)

2.3 Penghasilan

2.3.1 Pengertian Penghasilan Menurut Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan.

Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak atau bagian tahun pajak. Penghasilan yang diperoleh orang pribadi dapat dibedakan menurut ketentuan fiskal sebagai berikut:

- Penghasilan bukan objek pajak (tidak dikenai pajak) - Penghasilan merupakan objek pajak (dikenai pajak)

- Penghasilan merupakan objek pajak yang dikenakan secara final. Di Indonesia, menurut Muda (2002:110), Wajib Pajak dikenai pajak atas transaksi yang menimbulkan penghasilan baginya. Dengan demikian, yang dijadikan objek pajak adalah penghasilan Wajib Pajak, bukan kekayaan atau pengeluaran konsumsinya. Pengertian penghasilan menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 4 ayat (1), adalah:

“Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.”

Menurut Muda (2002:181), untuk kepentingan perhitungan atau pengenaan pajak penghasilan (PPh), Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, membedakan tiga macam penghasilan:

- Penghasilan yang objek pajak yang dipakai pajak secara umum (Global Taxation) (Pasal 4 ayat (1)).

- Penghasilan yang objek pajak yang dikenai pajak bersifat final (scedular taxation) (pasal 4 ayat (2)).

(25)

Secara lengkap pasal yang terkait dengan penghasilan, dapat disajikan sebagai berikut :

Pasal 4 Ayat (1)

Yang menjadi Objek adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:

(KEP-87/PJ/1995 & SE-34/PJ.4/1995) (SE-18/PJ.42/1996, KEP-147/PJ/2003)

a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;

(KEP-11/PJ/2003, SE-52/PJ.24/1999, Keppres 113,114,116,130 tahun 2001, Keppres 6 Tahun 2002)

b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; (KEP-395/PJ/2001, KEP-11/PJ/2003, SE-19/PJ.43/2001) c. laba usaha;

d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk : 1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,

dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan

lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;

3. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;

4. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan

(26)

pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;

e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;

f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;

(KEP-184/PJ/2001, SE-08/PJ.24/2002 & SE-04/PJ.42/2002)

g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

h. Royalti;

i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; (1169/KMK.01/1991)

j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

(PP Nomor 130 Tahun 2000)

l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing; (SE-04/PJ.42/1999)

m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; n. Premi asuransi;

o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum

dikenakan pajak. (KEP-564/PJ/2001) Ayat (2)

Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuiritas lainnya di bursa efek,

(27)

penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Ayat (3)

Yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah:

a. 1). Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak;

2). Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;

(604/KMK.04/1994, SE-05/PJ.4/1995) b. Warisan;

c. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;

d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah;

e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa;

(SE-08/PJ.42/1998)

f. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :

(28)

1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan

2. Bagi Perseroan Terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetorkan dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;

g. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;

(SE-16/PJ.4/1995 s.t/d/t/d SE-38/PJ.43/2001)

h. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;

(651/KMK.04/1994, KEP-217/PJ/2001)

i. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi;

j. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pembirian izin usaha;

(SE-18/PJ.42/1996, KEP-147/PJ/2003)

k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:

1. Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;dan

2. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. (PP No.4 Tahun 1995, 250/KMK.04/1995, SE-33/PJ.4/1995) 2.3.2 Subjek Pajak

(29)

Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Bahwa yang menjadi subjek pajak adalah:

a.1 Orang pribadi

Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi Subjek Pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaaan.

Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapah puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia. Sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar negeri. Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnnya.

a.2 Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak

Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhakyaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.

b. Badan

Sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pengertian Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah

(30)

dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana. Dalam undang-undang ini (lihat huruf c berikut), bentuk usaha tetap ditentukan sebagai Subjek Pajak tersendiri, terpisah dari badan, untuk pengenaan Pajak Penghasilan, bentuk usaha tetap mempunyai eksistensinya sendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan.

Badan Usaha Milik Negara dan Daerah merupakan Subjek Pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya, sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan Subjek Pajak.

Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut tidak termasuk sebagai Subjek Pajak, yaitu:

1. dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

2. dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD; 3. penerimaan lembaga tersebut dimasukan dalam anggaran

Pemerintah Pusat atau Daerah; dan

4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

Sebagai Subjek Pajak, perusahaan reksadana baik yang berbentuk perseroan terbatas maupun bentuk lainnya termasuk dalam pengertian badan.

Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.

(31)

Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Bentuk Usaha Tetap (BUT) dapat berupa sebagai berikut: a. tempat kedudukan manajemen;

b. cabang perusahaan; c. kantor perwakilan; d. gedung kantor; e. pabrik;

f. bengkel;

g. pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan;

h. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; i. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;

j. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;

k. orang atau badan yang bertindak selaku agen kedudukannya tidak bebas;

l. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.

2.3.3 Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri.

Yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri adalah: a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang

pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau

(32)

orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia; b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia; c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan

yang berhak.

Yang dimaksud dengan Subjek Pajak luar negeri adalah:

a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

2.3.4 Bukan Subjek Pajak

Bukan termasuk Subjek Pajak adalah: a. badan perwakilan Negara asing;

b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari Negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaan tersebut serta Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;

(33)

c. organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat:

1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;

2) tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;

d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia;

e. Kerja Sama Teknik

Kerja Sama Teknik yaitu memberi manfaat kepada pemerintah Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia.

2.4 Tarif Pajak

Ketentuan yang mengatur tentang tarif umum adalah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1983 sebagaiman telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan Pasal 17 sebagai berikut:

Tabel 2.1 Tarif Pajak

Tarif Pajak Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri

Untuk lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

berjumlah sampai dengan Rp. 25.000.000,00

berjumlah di atas Rp. 25.000.000,00 s/d Rp. 50.000.000,00 berjumlah di atas Rp. 50.000.000,00 s/d Rp. 100.000.000,00 berjumlah di atas Rp. 100.000.000,00 s/d Rp. 200.000.000,00 berjumlah di atas Rp. 200.000.000,00 5% 10% 15% 25% 35% Tarif Pajak Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Wajib Pajak BUT

(34)

Untuk lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak berjumlah sampai dengan Rp. 50.000.000,00

berjumlah di atas Rp. 50.000.000,00 s/d Rp. 100.000.000,00 berjumlah di atas Rp. 100.000.000,00

10% 15% 30% Sumber: UURI No. 17 Tahun 2000 Pasal 17ayat (1)

2.5 Surat Pemberitahuan (SPT)

2.5.1 Pengertian Surat Pemberitahuan (SPT)

Pasal 1 angka 11, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, menyebutkan yang dimaksud dengan Surat Pemberitahuan (SPT), adalah:

“Surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”

2.5.2 Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT)

Adapun fungsi Surat Pemberitahuan (SPT) berdasarkan penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, adalah sebagai berikut:

1. Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT) bagi Wajib Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:

- pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;

- penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak;

(35)

- pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

2. Bagi Pengusaha Kena Pajak fungsi Surat Pemberitahuan (SPT) adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang: - pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;

- pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam suatu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

3. Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan (SPT) adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.

Mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) adalah mengisi formulir Surat Pemberitahuan (SPT), dalam bentuk kertas dan/atau dalam bentuk elektronik, dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk pengisian yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) yang tidak benar mengakibatkan pajak yang terutang kurang dibayar, akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan.

2.5.3 Lampiran Surat Pemberitahuan (SPT)

Hal-hal yang perlu dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT): 1. Wajib Pajak yang melakukan pembukuan, Surat Pemberitahuannya

harus dilampirkan/dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.

(36)

2. Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan, dalam Surat Pemberitahuannya harus dilampiri/dilengkapi peredarannya yang terjadi dalam tahun pajak yang bersangkutan.

2.5.4 Jenis-jenis Surat Pemberitahuan (SPT)

Bila diperhatikan saat pelaporannya, Surat Pemberitahuan (SPT) dibedakan menjadi dua:

1. Surat Pemberitahuan (SPT) Masa adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu masa pajak atau pada suatu saat.

2. Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak.

2.5.5 Batas Waktu Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT)

Sesuai dengan pasal 2 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) adalah:

a. untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak;

b. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau c. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak

badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

2.5.6 Yang Wajib Mengisi Dan Menyampaikan SPT Tahunan Orang Pribadi

a. Wajib Pajak Orang Pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas.

(37)

b. Wajib Pajak Orang Pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari modal dan lain-lain.

c. Pegawai yang menerima penghasilan atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang jumlahnya telah melebihi PTKP.

d. Kuasa Warisan yangn belum terbagi.

e. Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/POLRI dan pegawai BUMN/BUMD sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1986.

f. WNI yang bekerja pada Perwakilan Asing dan Perwakilan Organisasi Internasional.

g. Orang asing yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau orang yang dalam satu Tahun Pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. h. Masing-masing suami-istri yang dikenakan Pajak Penghasilan secara

terpisah dalam hal:

- suami-istri telah hidup terpisah

- dikehendaki secara tertulis oleh suami-istri berdasarkan perjanjian pisah harta dan penghasilan.

Dengan demikian baik suami maupun istri wajib memiliki NPWP sendiri.

2.6 Pembukuan dan Pencatatan.

Pengertian pembukuan menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pasal 1 angka 29, adalah: “Suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode tahun pajak tersebut.”

(38)

Kewajiban pembukuan menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan talah diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam Pasal 28 ayat (1), disebutkan bahwa :

“Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan.”

Namun bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan, tetapi wajib melakukan pencatatan.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembukuan atau pencatatan berdasarkan Pasal 28 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, adalah:

1. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.

2. Pembukuan dan pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.

3. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.

4. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku, harus mendapat persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak.

(39)

5. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.

6. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan.

7. Pencatatan terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenakan pajak bersifat final.

8. Buku-buku, catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal bagi Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan bagi Wajib Pajak badan.

Gambar

Tabel 2.1  Tarif  Pajak

Referensi

Dokumen terkait

Pekerja tetap adalah pekerja yang memiliki hubungan kerja untuk jangka waktu yang tidak ditentukan berdasarkan hari kerja yang melebihi dua puluh hari dalam satu bulan dan

PENGGUNNAN EKSTRAK BIJI PEPAYA ( Carica Papaya L) SEBAGAI LARVASIDA NABATI TERHADAP KEMATIAN LARVA NYAMUK ANOPHELES DAN AEDES AEGYPTI INSTAR III.. I. MIPA

Dalam lingkungan politik Indonesia yang amat terfragmentasi, Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang didukung oleh partai minoritas, walaupun mendapat dukungan dari 62 persen

“Dinamika Strategi Coping Terhadap Post-Power Syndrome Dalam Menjalani Masa Pensiun”, Skripsi Sarjana Strata 1, Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya

Vignette: Seorang laki-laki usia 56 tahun datang ke klinik konservasi dengan keluhan gigi depan atas kiri berlubang dan kehitaman sejak 8 bulan yang lalu, pernah terjadi

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Ratnaningsih (2004), menunjukkan aliran kas internal tidak memiliki pengaruh secara signifikan terhadap belanja modal,

Hal ini disebabkan waktu panen yang lebih cepat karena pada tahun ke-2 pohon ganitri asal okulasi (biasa disebut “ganitri super”) sedangkan tanaman yang berasal

Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp4,8 miliar pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun