• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS INDUSTRI FARMASI DI INDONESIA: PENDEKATAN ORGANISASI INDUSTRI. Oleh ENENG DAHLIA SRI LESTARI H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS INDUSTRI FARMASI DI INDONESIA: PENDEKATAN ORGANISASI INDUSTRI. Oleh ENENG DAHLIA SRI LESTARI H"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS INDUSTRI FARMASI DI INDONESIA:

PENDEKATAN ORGANISASI INDUSTRI

Oleh

ENENG DAHLIA SRI LESTARI H01400090

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

(2)

RINGKASAN

ENENG DAHLIA SRI LESTARI. Analisis Industri Farmasi di Indonesia: Pendekatan Organisasi Industri. Di bawah bimbingan BAMBANG JUANDA.

Farmasi sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Tujuan utama industri farmasi adalah untuk menghasilkan obat yang aman dan efektif dan untuk kepentingan ekonomi suatu negara. Industri farmasi juga bertujuan untuk daya tahan setiap negara.

Ada berbagai masalah yang dihadapi industri farmasi di Indonesia mulai dari strukturnya, perilaku, kinerja sampai kebijakan yang menjadi pondasi dasarnya. Industri farmasi di Indonesia selama tiga puluh tahun terakhir tidak mengalami perubahan. Sekarang ini, industri farmasi dituntut untuk mampu melihat dan memperkirakan aspek mana yang sedang atau akan mengalami hambatan serta alternatif-alternatif terbaik yang diperlukan untuk mengatasinya.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis industri farmasi di Indonesia dengan menggunakan pendekatan organisasi industri. Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah mengkaji bagaimana struktur, perilaku, kinerja dan hubungan ketiganya dalam industri farmasi Indonesia. Selain itu penelitian ini juga mengkaji kinerja undang-undang farmasi, dan peraturan pemerintah yang mendukungnya serta dampaknya bagi industri farmasi di Indonesia.

Analisis ini menggunakan pendekatan analisis Structure-Conduct-Performance (SCP) dan analisis kebijakan. Data yang digunakan untuk analisis deskriptif adalah data dari tahun 1993 sampai 2005. Data statistiknya berjumlah 20 observasi dari tahun 1984 sampai 2003. Data diolah menggunakan software Excel, dan Microfit. Data ini diperoleh dari berbagai instansi yang terkait dan studi kepustakaan serta literatur dari media masa dan pemberitaan resmi perusahaan.

Untuk mengetahui struktur industri farmasi, dilakukan perhitungan konsentrasi empat perusahaan besar (CR4). Konsentrasi rasio empat perusahaan

terbesar dari tahun 1984-2003 adalah 47,33 persen. Ini menunjukkan bahwa industri farmasi di Indonesia memiliki struktur pasar oligopoli. Ukuran pangsa pasar paling besar diduduki oleh Sanbe Farma dengan HHI sebesar 0.07. Dari tahun 2002 sampai 2004, pangsa pasar dikuasai oleh Sanbe Farma dan Kalbe Farma. Sementara itu posisi ketiga dan keempat perebutkan Dexa Medica, Tempo Scan dan Bintang 7. Hambatan untuk masuk ke industri farmasi adalah modal yang besar, sumber daya, dan undang-undang.

Untuk menganalisis perilaku industri digunakan pendekatan strategi harga, strategi produksi, strategi distribusi dan strategi promosi. Secara resmi struktur harga di Indonesia diatur dalam beberapa faktor harga yaitu harga paten 100 persen, Original Off Patent 100 persen, Branded Generik Branded Generik 40 persen-80 persen, Branded Generik Berharga Murah 30 persen, Obat Generik Berlogo 10 persen-30 persen dan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) 10 persen-25 persen. Strategi produksi diatur dengan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) sebagai standar atau persyaratan pembuatan obat yang menyangkut

(3)

seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu serta bertujuan untuk menjamin bahwa produk obat dibuat senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Strategi distribusi diatur oleh PP No.72/98 maupun Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.918/93 dan Permenkes No.1191/02. Terakhir adalah strategi promosi. Kecuali obat bebas yang boleh dipromosikan lewat iklan dan media massa, produk farmasi dipromosikan oleh Medical Refresentatif.

Analisis kinerja dilakukan dengan menggunakan analisis Price-Cost Margin (PCM) sebagai proksi keuntungan. Selain itu ada Variabel lain yang dianggap mempengaruhi kinerja yaitu pertumbuhan dan x-efisiensi. Rata-rata marjin keuntungan industri farmasi selama 20 tahun sebesar 17,28 persen, efisiensi industri farmasi dari tahun ke tahun besar yaitu sekitar 76,82 persen yang menggambarkan bahwa industri farmasi sudah dikelola dengan baik. Tahun 2004 pertumbuhan total sebesar 19,56 persen, pertumbuhan tertinggi dipegang oleh Dexa Medica sebesar 40,87 persen.

Keragaman model yang menggunakan PCM sebesar 62,92 persen dapat dijelaskan oleh variabel bebas dalam model yang digunakan. Dari analisa hubungan dilihat bahwa konstanta, pertumbuhan, impor dan dummy hanya memiliki sedikit pengaruh terhadap variabel endogen PCM. Variabel struktur yang secara nyata mempengaruhi kinerja industri farmasi adalah CR4 dan

effisiensi-x. CR4 berubungan negatif dengan PCM yang berarti jika konsentrasi

empat perusahaan naik satu persen maka margin keuntungan akan berkurang sebesar 0,39 persen. Hal ini disebabkan karena makin bertambahnya perusahaan farmasi namun dalam skala kecil. Sedangkan arti positif pada XEFF adalah jika tingkat efisiensi perusahaan dalam industri meningkat satu persen maka margin keuntungan akan meningkat sebesar 0,41 persen. Ini terjadi karena adanya Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) sebagai standar pembuatan obat.

Berdasarkan analisis SCP, kebijakan yang harus dianalisis berkaitan dengan industri farmasi adalah Kebijakan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Kebijakan ini dianggap solusi yang baik dalam memecahkan permasalahan industri farmasi. Diprediksi, melalui sistem kesehatan nasional pasar farmasi akan berkembang. Kenyataannya, walaupun tujuan undang-undang ini sangat berani dan bagus tapi belum membawa dampak yang berarti bagi industri farmasi terbukti dengan masih belum bertambahnya peserta asuransi di Indonesia pasca UU SJSN diterapkan.

(4)

ANALISIS INDUSTRI FARMASI DI INDONESIA:

PENDEKATAN ORGANISASI INDUSTRI

Oleh

ENENG DAHLIA SRI LESTARI H01400090

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh : Nama Mahasiswa : Eneng Dahlia Sri Lestari

NRP : H01400090

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Industri Farmasi di Indonesia : Pendekatan Organisasi Industri

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr. Bambang Juanda, MS. NIP. 131 779 498 Mengetahui, Ketua Departemen

Dr.Ir. Rina Oktaviani, MS. NIP.131 846 872

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juli 2006

Eneng Dahlia Sri Lestari H01400090

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 17 November 1981 di Cianjur-Jawa Barat sebagai anak kelima dari tujuh bersaudara dari ayahanda H. Julisyam Sulyana dan ibunda Hj. Djubaedah Hayati. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMU Negeri 1 Sukaresmi tahun 2000. Pada tahun yang sama, lulus masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

Selama masa kuliah, penulis aktif dalam kegiatan ekstra maupun intra kampus. Penulis menjadi sekretaris dan anggota bidang eksternal Dewan Perwakilan Mahasiswa periode 2001-2002. Pada periode yang sama, penulis juga menjadi ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat FEM IPB. Periode 2003-2004, penulis menjadi ketua bidang pelatihan Lembaga Pers Mahasiswa Islam. Penulis juga aktif dalam kegiatan olah raga dan seni Bela Diri Tangan Kosong Merpati Putih dan pernah menjabat sebagai bendaharanya selama beberapa waktu.

Selain organisasi, penulis mencoba mencari pengalaman di dunia kerja seperti menjadi Staff General Affair di PT. Saranapapan Ekasejati (Kota Bunga Nusantara) pada tahun 2002, menjadi pengajar private pada tahun 2003, menjadi Financial Advisor AIG Lippo pada tahun 2004 dan terakhir menjadi Enumerator Jasa Riset Pemasaran Q-Mark Consultant pada tahun 2005. Penulis juga pernah bekerja untuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai Short Term Employer di World Agroforestry Centre (ICRAF) – CIFOR.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...vii

DAFTAR GAMBAR ...viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan dan Identifikasi Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Kegunaan Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Industri Farmasi di Indonesia ... 7

2.2. Teori Structure-Conduct-Performance (SCP) ... 9

2.2.1. Struktur (Structure) ... 10

2.2.1.1. Pangsa Pasar (Market Share) ... 11

2.2.1.2. Konsentrasi ... 12

2.2.1.3. Hambatan Masuk Pasar (Barrier to Entry) ... 12

2.2.2. Perilaku (Conduct) ... 13

2.2.3. Kinerja (Performance) ... 14

2.2.4. Hubungan antara Structure-Conduct-Performance (SCP) ... 15

2.3. Kebijakan Industri Farmasi di Indonesia ... 17

2.4. Penelitian Terdahulu ... 17

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran ... 20

3.2. Hipotesis ... 22

IV. METODE PENELITIAN 4.1. Teknik Pengumpulan Data ... 24

4.2. Metode Analisis ... 24

4.2.1. Tahap Analisis Structure-Conduct-Performance (SCP)... 25

(9)

4.2.1.2. Analisis Perilaku (Conduct) ... 27

4.2.1.3. Analisis Kinerja (Performance) ... 28

4.2.1.4. Hubungan antara Struktur dan Kinerja ... 29

4.2.2. Tahap Analisis Kebijakan ... 33

V.GAMBARAN INDUSTRI FARMASI INDONESIA ... 35

VI.PEMBAHASAN 6.1. Analisis Structure-Conduct-Performance... 45

6.1.1. Struktur Industri Farmasi ... 45

6.1.2. Perilaku Industri Farmasi ... 48

6.1.2.1. Strategi Harga ... 48

6.1.2.2. Strategi Produksi ... 50

6.1.2.3. Strategi Distribusi ... 51

6.1.2.4. Strategi Promosi ... 55

6.1.3. Kinerja Industri Farmasi ... 56

6.1.4. Hubungan Struktur dan Kinerja ... 58

6.2. Analisis Kebijakan Industri Farmasi ... 61

6.2.1. Garis Besar Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) ... 62

6.2.2. Analisis Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial (UU SJSN)... 64

VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan ... 72

7.2. Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

2.1. Kondisi Industri Farmasi Indonesia ... 7

6.2. Tingkat Konsentrasi Industri Farmasi Tahun 1984-2003 ... 45

6.3. Posisi Sepuluh Perusahaan Farmasi Terbesar Tahun 2001-2004... 46

6.4. Indeks Hischman-Herfindahl (HHI) dan Growth tahun 2004... 47

6.5. Price Cost Margin (PCM) Industri Farmasi Indonesia ... 57

6.6. Effisiensi-x Industri Farmasi di Indonesia. ... 58

6.7. Hasil Dugaan Persamaan PCM pada Industri Farmasi ... 59

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

3.1. Kerangka Alur Pemikiran Penelitian ... 22

5.2. Industri Farmasi Sama Dengan Dasar Pengetahuan Industri ... 39

6.3. Struktur Harga Obat Industri Farmasi Indonesia ... 49

6.4. Masyarakat yang di Lindungi Asuransi Tahun 2005 ... 68

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Jenis-jenis Alur SCP ... 80

2. Data Industri Farmasi yang Digunakan ... 82

3. PCM, CR4, XEFF, GROWTH dan Impor ... 83

4. Hasil Output Komputer ... 84

(13)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Farmasi sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Farmasi awalnya berupa pelayanan yang berfungsi melindungi manusia dari penderitaan, namun sekarang telah berkembang menjadi profesi yang menjanjikan. Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi, kebutuhan akan farmasi berkembang. Pasar farmasi perlu diorganisir dan pengorganisasiannya mulai mempengaruhi pasar industri.

Tujuan utama industri farmasi adalah untuk menghasilkan obat yang aman dan efektif untuk digunakan dalam terapi (efficary, safety, toxicity) dan untuk kepentingan ekonomi suatu negara. Industri farmasi juga bertujuan untuk daya tahan setiap negara (Agoes, 1999).

Industri farmasi di negara maju biasanya berbasis riset dengan cara mencari dan menemukan bioaktif baru, menghasilkan obat atau bahan baku hasil penelitian sendiri kemudian mempatenkannya selama periode waktu tertentu. Di negara maju, berkembang industri sintetis atau fermentasi farmasi, industri manufaktur yang merakit obat jadi dari bahan baku yang dihasilkan oleh industri farmasi lainnya, industri farmasi bahan alam yang menghasilkan produksi berasal dari alam dalam berbagai bentuk dan dibakukan menurut ketentuan yang berlaku. Selain itu berkembang pula industri jasa farmasi yang memberikan jasa berupa penelitian, sintesis, formulasi, studi tentang pasar dan kecenderungan permintaan atau penggunaan obat, membuat perkiraan perkembangan masa datang yang

(14)

diperlukan untuk mengambil keputusan. Ada juga industri farmasi produk biologi yang produknya berupa vaksin, serum dan sebagainya (Agoes, 1999).

Di lihat dari sudut pandang dunia, industri farmasi di Indonesia selama tiga puluh tahun terakhir tidak mengalami perubahan. Selama ini pemberlakuan kebijakan pemerintah yang sarat dengan muatan proteksi telah membuat industri farmasi nasional terninabobokan. Padahal sekarang ini, industri farmasi dituntut untuk mampu melihat dan memperkirakan aspek mana yang sedang atau akan mengalami hambatan serta alternatif-alternatif terbaik yang diperlukan untuk mengatasinya.

Ada berbagai masalah yang dihadapi industri farmasi di Indonesia mulai dari strukturnya, perilaku, kinerja sampai kebijakan yang menjadi pondasi dasarnya. Kebijakan pemerintah lebih banyak mendorong berkembangnya sektor perdagangan farmasi daripada produksinya (Biantoro, 2002). Industri farmasi Indonesia masih relatif sederhana berupa industri manufaktur sehingga pasar kurang berkembang. Padahal, industri farmasi manapun di dunia harus sudah berbasis riset dengan berorientasi pada mutu (Agoes,1999).

Secara struktural, industri farmasi nasional mempunyai kelemahan mendasar. Sembilan puluh persen kebutuhan bahan baku obat masih harus di impor. Situasi ini mencerminkan ketergantungan industri farmasi nasional terhadap impor. Padahal, jumlah obat yang beredar di masyarakat yang mencapai lebih dari 12 ribu jenis.

Menurut Sampurno dan Ahaditomo dalam GP Farmasi (2003), di negara maju asuransi kesehatan berperan sebagai kontrol harga obat. Obat-obat yang

(15)

mahal tidak akan masuk dalam daftar plafon harga obat yang mereka susun karena 70 persen belanja obat ditanggung oleh asuransi. Di Indonesia, ada regulasi yang mengatur harga obat sehingga produsen wajib mencantumkan harga tertinggi. Jadi, pengaturan harga obat yang seharusnya dikontrol oleh pemerintah dengan mekanisme pasar, kini dikontrol dengan regulasi harga.

Dilihat dari sisi lain, sektor farmasi di Indonesia menarik untuk dikaji karena jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta jiwa, iklim tropis, penyebaran penduduk yang tidak merata dan keadaan geografis mengakibatkan banyaknya virus dan bakteri berkembang. Ini merupakan pasar yang potensial bagi industri farmasi nasional dan dunia. Jadi tidak berlebihan jika dikatakan bahwa industri farmasi Indonesia merupakan peluang bisnis yang menjanjikan (Biantoro, 2003).

1.2. Perumusan dan Idenifikasi Masalah

Pengkajian terhadap lingkungan industri meliputi struktur industri. Struktur industri mencerminkan bagaimana kondisi yang terjadi dalam industri tersebut, yang berimplikasi pada perilaku perusahaan-perusahaan yang berada dalam industri tersebut dan sebaliknya. Apapun bentuk perilaku sebuah perusahaan tetap saja mencerminkan bagaimana perusahaan tersebut akan mencapai kinerjanya. Walaupun sangat sulit untuk menentukan bagaimana sebuah simpul dimulai, apakah berawal dari perilaku, kinerja atau struktur sebuah industri, yang jelas dimulai dari simpul manapun selalu ada keterkaitan diantaranya.

(16)

Pengkajian ini dikenal dengan pendekatan structure-conduct-performance. Pengkajian semacam ini akan memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan tentang kebijakan publik yang cocok untuk industri yang sedang dikaji.

Menurut Mason (1939) dan Bain (1956) dalam Alistair (2004) Ajaran dasar pendekatan structure-conduct-performance adalah kinerja ekonomi dari suatu industri yaitu suatu fungsi dari perilaku pembeli dan penjual yang selanjutnya menyangkut fungsi struktur industri. Kinerja ekonomi diukur dengan derajat maksimalisasi kesejahteraan. Perilaku mengacu pada aktivitas para penjual dan pembeli industri. Aktivitas penjual meliputi pemanfaatan dan instalasi kapasitas, kebijakan promosi dan harga, riset dan pengembangan, dan berkompetisi atau kerjasama antar perusahaan. Struktur industri (faktor penentu perilaku) meliputi variabel jumlah dan ukuran dari pembeli dan penjual, teknologi, derajat differensiasi, integrasi vertikal dan level hambatan keluar masuk pasar (Scherer 1980 dalam Kartika 2002).

Memasuki era globalisasi, industri farmasi Indonesia dikhawatirkan sulit bersaing di pasar domestik sekalipun. Organisasi industri farmasi belum jelas keberadaannya. Industri farmasi yang seharusnya mendukung ketersediaan dan kebutuhan obat nasional ternyata sebagian besar bahan bakunya masih diimpor. Banyak masalah yang timbul dari industri farmasi ini. Diperlukan upaya dari pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan (stake holder) untuk mengantipasi masalah tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dapat dikemukakan dan perlu segera dicari jalan keluarnya adalah :

(17)

1. Bagaimana struktur industri farmasi Indonesia?

2. Bagaimana perilaku perusahaan yang ada dalam industri farmasi Indonesia? 3. Bagaimana kinerja perusahaan-perusahaan yang terdapat dalam industri

farmasi Indonesia?

4. Bagaimana hubungan antara struktur, perilaku dan kinerja industri farmasi di Indonesia ?

5. Bagaimana kinerja undang-undang farmasi, dan peraturan pemerintah yang mendukungnya serta dampaknya bagi industri farmasi di Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengkaji struktur industri farmasi Indonesia.

2. Mengkaji perilaku perusahaan yang ada dalam industri farmasi Indonesia. 3. Mengkaji kinerja perusahaan-perusahaan yang terdapat dalam industri farmasi

Indonesia.

4. Mengkaji hubungan antara struktur, perilaku dan kinerja industri.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi :

1. Pelaku industri farmasi sebagai masukan untuk mengetahui struktur, perilaku dan kinerjanya dalam industri. Selain itu memberi masukan tentang bagaimana pengaruh kebijakan pemerintah terhadap industri farmasi.

(18)

2. Pemerintah sebagai masukan dalam membuat kebijakan yang berhubungan dengan industri farmasi.

3. Masyarakat umum sebagai konsumen.

4. Para peneliti dan akademis sebagai bahan pembanding maupun untuk menstimulir penelitian selanjutnya.

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Industri Farmasi di Indonesia

Indonesia dengan penduduk lebih dari 200 juta jiwa, merupakan pasar yang sangat menarik dalam pemasaran produk-produk farmasi, terutama obat-obatan. Di Indonesia saat ini terdapat 205 perusahaan farmasi. Di antara sekian banyak perusahaan itu, yang masih aktif hanya sekitar 198 perusahaan termasuk didalamnya 4 perusahaan milik negara, 33 perusahaan penanaman modal asing (PMA), dan sisanya perusahaan swasta lokal. Perusahaan yang masih aktif ini dianggap sebagai kunci penggerak utama kemajuan industri farmasi nasional (Biantoro, 2003).

Tabel 2.1. Kondisi Industri Farmasi Indonesia

Jenis Usaha Total GP Farmasi Anggota Industri Farmasi - BUMN - Swasta Nasional - Multi Nasional Distribusi (PBF) Apotik Toko Obat

- Toko obat berijin - Toko obat tanpa ijin

205 4 168 33 2,250 7,000 10,000 > 10,000 205 4 168 33 2,250 5,250 5,520 Sumber : Data IMS 2004

Dari segi penjualan, industri farmasi Indonesia terus berkembang setiap tahunnya. Hal ini tidak berarti konsumsi obat Indonesia sudah meningkat. Menurut data IMS Health, konsumsi obat Indonesia baru sekitar US$7.2 per kapita. Penyebab utamanya adalah terbatasnya akses masyarakat terhadap

(20)

produk-produk kesehatan dan lemahnya daya beli masyarakat (Sunarjo, 2005 dalam GP Farmasi 2006).

Menurut Kuncahyo (2004), ada enam fungsi kegiatan utama farmasi. Pertama, menemukan obat dengan riset dan inovasi. Kedua, mengembangkan obat baik yang sudah ada maupun yang baru diteliti. Ketiga, memproduksi bahan baku. Keempat, melakukan penelitian pengiriman obat. Kelima, melakukan quality control dan drug doses manufacturing, dan terakhir melakukan pemasaran yang baik.

Kenyataannya, keenam fungsi farmasi itu belum dijalankan dengan baik oleh industri farmasi Indonesia. Contohnya, industri farmasi Indonesia masih berfungsi sebagai industri manufaktur berbasis pasar bukan berbasis riset. Keadaan ini terjadi karena sejarah industri perusahaan farmasi Indonesia yang berangkat dari pedagang obat, bukan murni pendirian perusahaan farmasi. Banyak pula industri farmasi yang menggunakan nama dagang pada obat-obat generik sehingga masyarakat membeli dengan harga yang lebih mahal. Industri bahan baku dan industri bahan alam farmasi pun relatif sederhana dan belum berkembang. Masalah ini semakin parah dengan adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan, kompetisi yang cenderung tidak adil, kolusi industri farmasi dengan dokter serta apoteker juga maraknya obat-obat palsu.

Menurut Djamaludin (1999) disepakatinya Asean Free Trade Area (AFTA) pada tahun 2003 dan ditandatanganinya General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang akan dimulai tahun 2010 menjadikan Asia Tenggara dan Asia Pasifik kawasan perdagangan bebas. Dibukanya pasar bebas membuat iklim

(21)

kompetisi akan berlangsung semakin ketat. Era ini merupakan peluang atau ancaman bagi industri farmasi Indonesia. Agar bertahan hidup dalam pasar bebas, industri farmasi Indonesia harus segera mengubah pola pikir dan segera melakukan restrukturisasi industri. Hal ini perlu dilakukan supaya industri farmasi Indonesia mampu bersaing dengan pesaing regional maupun global.

Dilihat dari kondisi industri farmasi dunia, total keseluruhan perusahaan farmasi Indonesia tergolong kecil. Industri farmasi Indonesia hanya memiliki 3 persen dari total jumlah pabrik obat di seluruh dunia. Gambaran ini menunjukkan betapa lemahnya persaingan industri farmasi Indonesia.

2.2. Teori Structure-Conduct-Performance (SCP)

Untuk lebih memahami organisasi industri farmasi diperlukan pengetahuan tentang teori dalam ekonomi industri. Ekonomi industri atau dikenal juga sebagai organisasi industri didefinisikan sebagai cabang dari ilmu mikroekonomi, atau lebih tepatnya aplikasi mikroekonomi yang menganalisis perusahaan, pasar, dan industri (Shepherd 1990 dalam Martin 1993).

Organisasi industri adalah suatu ilmu yang khusus dalam ekonomi, yang dapat membantu dalam menjelaskan mengapa sebuah pasar tersusun dan terorganisasir, serta apa dampak dari organisasi yang demikian terhadap perilaku perusahaan yang muncul dalam pasar (Clarkson dan Le Roy 1983). Label organisasi industri diberikan pada ilmu-ilmu ekonomi yang mencoba mengkaji beberapa hal yang berhubungan dengan industri terutama mengenai institusi yang

(22)

merupakan bagian dari kegiatan perusahaan, pertanian, marketing, jasa, organisasi, keuangan dan trust.

Dari definisi ekonomi industri dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya teori-teori yang terdapat dalam ekonomi industri menekankan pada studi empiris dari faktor-faktor yang mempengaruhi struktur pasar (structure), perilaku (conduct), dan kinerja (performance) sehingga tercapai tingkat efisiensi bagi perusahaan, industri serta perekonomian nasional secara keseluruhan (Jaya, 2001). Konsep dan teori yang diuraikan ini di kenal dengan teori s tructure-conduct-performance (SCP).

Richard Caves dalam Clarkson dan Le Roy (1983) mengatakan bahwa struktur pasar adalah penting karena struktur tersebut dapat menentukan perilaku dari suatu perusahaan dalam industri dan selanjutnya mempengaruhi kualitas kinerja dari suatu industri. Sebuah framework yang sistematis yang dipakai dalam memahami sebuah organisasi industri dapat ditentukan dengan menjawab beberapa pertanyaan seperti kenapa sebuah organisasi dan struktur pasar terbentuk atau seperti bagaimana perilaku perusahaan mempengaruhi struktur atau organisasi dari suatu pasar dan kinerja dari suatu pasar.

2.2.1. Struktur (Structure)

Struktur pasar didefinisikan sebagai jumlah penjual dan pembeli serta besarnya pangsa pasar (market share) yang ditentukan oleh adanya differensiasi produk, serta dipengaruhi oleh keluar masuknya pendatang atau pesaing (Greer 1992 dalam Kartika 2002). Struktur pasar dapat menunjukkan lingkungan

(23)

persaingan antara penjual dan pembeli melalui proses terbentuknya harga dan jumlah produk yang ditawarkan dalam pasar.

Struktur industri biasanya dijelaskan oleh ukuran distribusi perusahaan dalam pasar. Terdapat tiga ukuran utama yang biasa diperhatikan dalam struktur pasar yaitu pangsa pasar (market share), konsentrasi dan hambatan masuk pasar (barrier to entry).

2.2.1.1. Pangsa Pasar (Market Share)

Pangsa pasar adalah ukuran relatif dari sebuah perusahaan melalui perbandingan antara hasil penjualan dengan total penjualan industri keseluruhan. Konsep pangsa pasar adalah presentasi pangsa dari suatu perusahaan terhadap total industri dalam pasar dengan kisaran nilai 0 hingga 100 persen (Jaya, 2001). Konsep ini dapat diukur dengan beberapa cara berdasarkan nilai penjualan, unit penjualan, unit produksi dan kapasitas produksi.

Martin (1993) mengatakan bahwa pangsa pasar pada produk yang heterogen merupakan pangsa pasar yang efektif yang dihitung sebagai persentase pangsa dari perusahaan terhadap output yang efektif (bukan total output) sedangkan pada produk yang homogen dihitung berdasarkan total output. Pangsa pasar sering digunakan sebagai indikator proksi untuk melihat adanya kekuatan pasar dan menjadi indikator seberapa pentingnya suatu perusahaan di dalam pasar.

Pangsa pasar telah menjadi salah satu aspek yang diperhatikan oleh sebuah perusahaan terutama untuk memotivasi dan mengatur strategi perusahaan. Kesuksesan suatu perusahaan biasanya selain menunjukan keuntungan yang diperoleh dan harga saham yang menguat juga mengenai seberapa besar pangsa

(24)

pasarnya dalam industri tersebut. Secara umum terdapat korelasi positif antara pangsa pasar dan profitabilitas.

2.2.1.2. Konsentrasi

Konsentrasi adalah ukuran distribusi dari penjual dan pembeli dalam suatu pasar (Koch 1980 dalam Alistair 2004). Konsentrasi sebagai salah satu elemen penting struktur pasar merupakan penjumlahan pasar dari perusahaan-perusahaan terbesar yang umumnya diukur pada konsentrasi empat perusahaan terbesar (Sheperd 1997 dalam Martin 1993). Nilai konsentrasi pasar dapat menunjukan derajat oligopoli. Studi empiris yang dilakukan oleh Bain (1956) menunjukkan hubungan yang positif antara kondisi entry (entry barrier) dan konsentrasi pasar terhadap kekuatan pasar dimana semakin tinggi konsentrasi pasar, semakin sulit suatu industri baru untuk memasuki pasar. Kondisi itu menyebabkan kekuatan pasar semakin tinggi.

Perhitungan tingkat konsentrasi yang sering digunakan dalam analisis SCP adalah rasio konsentrasi. Rasio konsentrasi adalah suatu ukuran dalam angka persentase yang menunjukkan tingkat konsentrasi produksi atau penjualan dari perusahaan-perusahaan yang ada dalam suatu industri.

2.2.1.3. Hambatan Masuk Pasar (Barrier to entry)

Segala sesuatu yang memungkinkan terjadinya penurunan kesempatan atau kecepatan masuknya pesaing baru merupakan hambatan untuk masuk. Semakin tinggi hambatan untuk masuk yang diciptakan oleh perusahaan besar, maka makin sulit bagi pesaing baru untuk masuk pasar. Begitu pula kaitannya dengan keuntungan, ketika hambatan masuk rendah, keuntungan yang didapat

(25)

perusahaan akan kecil. Sebaliknya, bila hambatan masuk tinggi, keuntungan yang didapat perusahaan akan tinggi pula (Greer 1992 dalam Alistair 2004).

Konsep hambatan masuk pasar dipopulerkan oleh Bain (1956) dalam Smart dan William (1993). Ada beberapa hal umum mengenai hambatan masuk pasar ini. Pertama, hambatan timbul dalam kondisi pasar yang mendasar, tidak hanya dalam bentuk legal atau dalam bentuk kondisi-kondisi yang berubah cepat. Kedua, hambatan dibagi dalam tingkatan mulai dari tanpa hambatan sama sekali (bebas masuk), hambatan rendah, hambatan sedang sampai hambatan tinggi yang menutup kemungkinan masuk pasar. Ketiga, hambatan merupakan suatu yang komplek.

2.2.2. Perilaku (Conduct)

Perilaku pasar dimaksudkan sebagai pola tanggapan dan penyesuaian yang dilakukan suatu perusahaan di dalam pasar untuk mencapai tujuannya. Perilaku pasar terkait dengan tindakan apa yang harus dilakukan suatu perusahaan dalam menghadapi pesaingnya terhadap harga, tingkat produksi, kualitas produk, tindakan promosi, dan hal penting lainnya yang berkaitan dengan kegiatan operasional perusahaan (Greer, 1992). Menurut Scherer (1973) dalam Martin (1993) terdapat tiga kriteria untuk melihat perilaku industri yaitu strategi harga, kondisi entry dan tipe produk.

Perilaku merupakan pola tanggapan dan penyesuaian suatu industri di dalam pasar untuk mencapai tujuannya. Menurut Martin (1993) perilaku strategis perusahaan hanya ada pada pasar oligopoli. Pada pasar persaingan sempurna

(26)

sebuah perusahaan akan menjual pada harga pasar yang berlaku (price taker) dan tidak perlu melakukan promosi atau bereaksi terhadap pesaing. Pada pasar oligopoli diperlukan strategi perilaku karena adanya interdependensi antar pelaku dalam perusahaan tersebut. Perilaku industri dapat terlihat pada strategi perusahaan dalam menentukan jumlah dominasi output, advertensi, pemilihan teknologi, research and development, koordinasi dalam pasar, dan kebijakan produk.

Dalam struktur pasar oligopoli parsial dimana sebagian besar produk dikuasai oleh sebagian kecil perusahaan dan sebaliknya sebagian kecil produk dikuasai oleh banyak perusahaan maka strategi penentuan harga dari perusahaan kecil biasanya akan menyesuaikan perilaku atau meniru kebijakan harga yang ditentukan oleh perusahaan besar. Namun, tingkat harga yang ditentukan oleh perusahaan berskala kecil belum tentu sama dengan tingkat harga yang ditetapkan.

2.2.3. Kinerja (Performance)

Kinerja pasar dapat diartikan sebagai sebuah usaha yang disesuaikan dengan struktur dan perilaku pasar dengan tujuan akhir memperoleh keuntungan. Selain itu, tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan dalam hal kinerja adalah efisiensi, inovasi atau kualitas produk yang lebih baik karena berkembangnya teknologi, serta distribusi yang merata (Stepherd 1990 dalam Martin 1993).

Kinerja biasanya didekati dengan indikator-indikator seperti profitability, progresiveness, efficiency, social welfare. Di negara berkembang, mengukur kinerja laba relatif lebih sulit dilakukan karena minimnya data yang ada.

(27)

Pengukuran kinerja sering didasarkan pada variabel proksi yaitu selisih antara harga dan biaya atau pertumbuhan pendapatan suatu perusahaan.

Pendekatan operasional yang sering dilakukan oleh para peneliti untuk menilai kinerja adalah menggunakan tingkat keuntungan. Pada dasarnya tidak memungkinkan untuk mengukur besarnya pendapatan atau keuntungan perusahaan secara akurat karena banyaknya kendala yang dihadapi seperti data perusahaan yang tidak semuanya dipublikasikan. Bedasarkan hal itu, digunakanlah Price Cost Margin (PCM) sebagai proksi dari tingkat keuntungan.

PCM didefinisikan sebagai suatu indikator kinerja yang merupakan perkiraan kasar dari keuntungan perusahaan. PCM dapat diperoleh dengan membagi selisih antara nilai tambah dikurangi upah yang dibayarkan terhadap nilai barang yang dihasilkan (Jaya, 2001). Nilai tambah adalah nilai total output dikurangi dengan nilai total input. Upah yang dibayarkan merupakan total pengeluaran perusahaan untuk membayar tenaga kerja. Sedangkan nilai barang yang dihasilkan adalah bagian dari nilai output perusahaan yang menunjukkan jumlah total dari hasil produksi.

2.2.4. Hubungan antara Structure-Conduct-Performance (SCP)

Ada saling keterkaitan antara struktur, perilaku dan kinerja yang saling berinteraksi mempengaruhi proses alokasi hasil produksi kepada masyarakat secara efektif dan efisien. Hubungan antara struktur, perilaku dan kinerja ini tidak hanya bersifat satu arah, tetapi dapat berhubungan timbal balik (Caves 1982 dalam Clarkson dan Le Roy 1983).

(28)

Struktur pasar digambarkan sebagai kontek keterhubungan antara kondisi dasar yang melandasi aktivitas ekonomi, perilaku pasar, dan kinerja perekonomian (Scherer 1990 dalam Kartika 2002). Struktur pasar merupakan kunci penting dari pola konsep SCP dalam ekonomi industri (Jaya, 2001). Selanjutnya, struktur pasar akan mempengaruhi perilaku pelaku pasar terutama dalam hal sikapnya terhadap kebijakan harga, strategi pengembangan usaha, serta strategi dalam produk (Scherer 1990 dalam Kartika 2002). Terakhir, struktur dan perilaku yang dilakukan oleh perusahaan akan mempengaruhi kinerja pasar dalam industri. Kinerja perusahaan dapat terlihat dari efisiensi alokatif maupun teknis, kemajuan teknologi yang digunakan, dan keseimbangan dalam distribusi (Jaya, 2001).

Metode alur pikir SCP mendominasi ekonomi industri setelah perang dunia kedua. Penelitian di bidang ini menjelaskan derajat kompetisi yang ideal dalam suatu industri sebagai bagian dari karakteristik pasar dan keragaan perusahaan. Karakteristik pasar mencakup mudah atau sulitnya sebuah perusahaan masuk ke dalam industri. Menurut pendekatan Bain (1956) dalam Smart dan Mc.William (1993) kondisi entry merupakan pusat dari penjelasan paradigma SCP.

Barrier to entry adalah syarat penting dalam menjelaskan kekuatan pasar. Bain (1956) juga menjelaskan bahwa kondisi entry dalam hubungan dengan teknologi dan faktor permintaan, minimal efficient scale, absolut capital reguirement serta perbedaan produk. Hubungan antara SCP dapat dijelaskan dalam beberapa alur yaitu yang bersifat linear, non linear dan interaktif (lihat Lampiran 1).

(29)

2.3. Kebijakan Industri Farmasi di Indonesia

Menurut Djamaludin (1999) pemerintah sebagai fungsi regulator dan kontrol harus bisa melindungi masyarakat dari penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan yang tidak bermutu, tidak memenuhi ketentuan standar dan persyaratan kesehatan lainnya. Kemudian sebagai fungsi fasilitator dan technical assistance, pemerintah harus sungguh-sungguh melakukan pembinaan terhadap penerapan cara produksi obat bermutu dan cara produksi makanan yang higienis.

Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan industri farmasi banyak dibuat oleh pemerintah. Contoh perundang-undangan yang dibuat adalah undang-undang tentang farmasi, cara pembuatan obat yang baik, ketentuan dan tata cara pelaksanaan pemberian izin usaha industri farmasi, pedagang besar farmasi, kebijakan obat nasional dan lain-lain. Kebijakan yang selama ini dibuat oleh pemerintah cenderung membuat industri farmasi manja dan stagnan.

Undang-undang tentang farmasi bertujuan untuk menetapkan ketentuan-ketentuan dasar dibidang farmasi dalam rangka pelaksanaan undang-undang tentang pokok-pokok kesehatan. Undang-undang ini meliputi perbekalan kesehatan dibidang farmasi, obat, obat asli Indonesia, alat kesehatan dan pekerjaan kefarmasian.

2.4. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai SCP banyak dilakukan oleh pengamat ekonomi industri di berbagai negara, terutama mengenai tingkat konsentrasi dengan

(30)

kemampuan perusahaaan memperoleh keuntungan. Alasan kajian ini menarik karena hasil yang diperoleh dapat digunakan sebagai acuan kebijakan yang bertujuan mengoptimumkan kesejahteraan masyarakat.

Sejumlah peneliti yang mengkaji hubungan antara tingkat konsentrasi dan keuntungan menemukan adanya hubungan positif antara kedua variabel tersebut. Penelitian Bain (1965) memperoleh kesimpulan positif, yaitu tingkat keuntungan meningkat secara signifikan apabila tingkat konsentrasi industri di atas 70 persen (Shepherd 1990 dalam Martin 1993). Penelitian selanjutnya Bain dan Michael Mann memasukkan hambatan masuk sebagai faktor utama penentu struktur pasar selain tingkat konsentrasi (Stepherd 1990 dalam Martin 1993). Hasilnya menunjukkan bahwa keuntungan lebih besar pada industri yang tingkat konsentrasi dan juga hambatan masuknya tinggi.

Proksi yang digunakan sebagai tingkat keuntungan dalam kajian Rozani (1997) dalam Alistair (2004) adalah PCM. Kajian serupa pernah dilakukan oleh Alistair (2004) dalam menganalisis SCP pada tepung terigu di Indonesia pasca penghapusan monopoli Bulog, Juwita (2004) dalam menganalisis Industri semen di Indonesia, dan Kartika (2002) dalam menganalisis industri telekomunikasi selular di Indonesia dengan menggunakan pendekatan organisasi industri.

Hasil penelitian tersebut rata-rata menunjukkan hubungan antara PCM sebagai proksi dari kinerja dengan variabel-varabel bebas yang digunakan untuk mengukur struktur maupun perilaku. Variabel-variabel yang digunakan antara lain konsentrasi rasio, Herfindahl-Hirschman Indek, effisiensi-x, pertumbuhan, utilitas, minimum efficiency scale dan produktivitas.

(31)

Kajian mengenai industri farmasi pernah dilakukan sebelumnya oleh Effendi (2000) dalam identifikasi faktor-faktor produksi yang secara signifikan berpengaruh pada output sektor industri farmasi di Indonesia periode tahun 1976-1997. Penelitian ini menunjukkan estimasi model pertumbuhan output terhadap return to scale, baik untuk industri farmasi formulasi maupun sektor tradisional yang menunjukkan increasing return to scale.

(32)

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian mengenai organisasi industri (industrial organization) dengan paradigma SCP pada industri farmasi di Indonesia akan dijelaskan mengenai struktur pasar, perilaku perusahaan, kinerja perusahaan, dan kaitan ketiganya dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Analisis mengenai industri farmasi ini dilakukan secara sistematis dan struktural.

Faktor pertama dalam paradigma SCP adalah struktur. Komponen struktur pasar yang paling utama adalah tingkat konsentrasi. Tingkat konsentrasi digunakan pada berbagai penelitian untuk mengkaji hubungan struktur pasar dan kinerja. Tingkat konsentrasi ditunjukan dengan menggunakan variabel rasio konsentrasi atau Concentration Ratio (CR). Ukuran yang biasa digunakan untuk CR adalah menggunakan dua perusahaan terbesar (CR2), empat perusahaan

terbesar (CR4), atau delapan perusahaan terbesar (CR8).

Kajian hubungan struktur pasar dan kinerja umumnya menggunakan tingkat konsentrasi pasar untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memperoleh keuntungan. Namun, kenyataannya tingkat konsentrasi bukan satu-satunya faktor yang menentukan kemampuan meraih keuntungan. Ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi seperti hambatan untuk masuk ke dalam industri (barrier to entry).

Bertolak dari tingkat konsentrasi dan hambatan masuk, ada model umum yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan memperoleh keuntungan. Model umum tersebut dapat mengalami modifikasi tergantung pada

(33)

situasi dan kondisi perekonomian, khususnya sektor industri dari negara yang diteliti dan masalah ketersediaan data.

Untuk memudahkan proses penelitian disusun suatu kerangka pemikiran yang relevan. Kerangka ini dapat mengungkapkan perumusan masalah secara lebih jelas, serta menunjukan keterkaitan dalam mengkaji tujuan penelitian. Pada Gambar 3.1 diperlihatkan bagan alur pemikiran yang menjelaskan kaitan antara struktur pasar, perilaku, kinerja, dan kebijakan yang terkait. Kerangka alur pemikiran ini pada dasarnya masih mengacu pada kerangka SCP, terdapat hubungan timbal balik antara masing-masing unsur. Dalam kerangka ini ditunjukkan variabel-variabel yang digunakan dalam proses analisis.

Analisis pertama yang dilakukan adalah mengkaji hubungan struktur pasar yang mempengaruhi perilaku dan kinerja industri farmasi di Indonesia. Pada struktur pasar digunakan variabel utama yaitu CR4. Variabel lain yang diduga

dapat berpengaruh terhadap keuntungan yaitu XEFF, GROWTH, Impor, dan kondisi sosial ekonomi Indonesia yang diwakili oleh dummy. Perilaku dikaji secara deskriptif melalui pendekatan strategi harga, produksi, distribusi dan promosi. Sedangkan untuk kinerja digunakan PCM sebagai proksi dari tingkat keuntungan.

Analisis kedua yaitu analisis kebijakan publik yang mengkaji kebijakan yang berkaitan dengan industri farmasi. Hasil analisis ini untuk menjelaskan hubungan antara SCP dan kebijakan yang akan atau sedang berlaku. Analisis ini akan memberikan implikasi kebijakan terhadap industri farmasi secara

(34)

Analisis Struktur Industri

menyeluruh. Implikasi kebijakan menjadi bagian penting dalam rangkaian penelitian.

PCM= f (CR4,XEFF,GROWTH,Impor,Dummy)

Gambar 3.1. Kerangka Alur Pemikiran Penelitian

3.2. Hipotesis

Dalam paradigma SCP dikatakan bahwa struktur pasar suatu industri akan mempengaruhi bagaimana perilaku pasar industri tersebut yang kemudian akan Analisis Kebijakan

Publik

Kesimpulan dan Saran

Analisis Industri Farmasi di Indonesia; Pendekatan Organisasi Industri • Analisis Kausalitas SCP dengan Ekonometrika • Analisis Deskriptif Analisis Perilaku Industri Trend Industri Farmasi Dunia dan

Indonesia

Kebijakan yang berhubungan dengan Industri Farmasi Kondisi Industri Farmasi di

Indonesia Analisis

Analisis Kinerja Perusahaan

(35)

mempengaruhi kinerja industri. Disebutkan pula bahwa struktur suatu industri akan berhubungan searah dengan profitabilitas atau kinerja industri.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai hubungan struktur pasar dengan kinerja, terdapat kesimpulan yang berbeda untuk beberapa kasus. Sebagian besar kesimpulan menunjukkan terdapat hubungan positif antara tingkat konsentrasi dengan tingkat keuntungan. Perbedaan ini karena adanya penggunaan proksi yang berbeda-beda dalam kajian yang dilakukan.

Berdasarkan keadaan industri farmasi kini dan teori-teori yang mendasari penelitian ini, maka hipotesis yang berkaitan dengan tujuan penelitian adalah : 1. Struktur industri farmasi di Indonesia saat ini cenderung pada bentuk oligopoli

bukan monopoli atau pasar persaingan sempurna.

2. Struktur pasar yang ada menyebabkan adanya perilaku tertentu pada industri farmasi seperti penetapan strategi harga, produksi, distribusi dan promosi. 3. Industri farmasi telah memperoleh keuntungan sepanjang tahun.

4. Terdapat hubungan positif antara struktur pasar dan kinerja industri farmasi yang ditunjukkan oleh hubungan searah antara PCM dengan variabel-varabel bebas seperti CR4, XEFF, GROWTH dan Dummy yang pada akhirnya akan

(36)

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pelaksanaan penelitian diperlukan data-data yang akurat untuk membahas hasil penelitian. Data-data yang digunakan adalah data sekunder yang telah diolah oleh instansi-instansi terkait yaitu Biro Pusat Statistik, Departemen Perindustrian, Departemen Kesehatan dan Gabungan Perusahaan Farmasi. Data dan informasi juga diperoleh dari studi kepustakaan serta literatur yang relevan dengan penelitian ini, di perpustakaan Institut Pertanian Bogor, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, media masa dan pemberitaan resmi perusahaan.

Data yang digunakan untuk analisis kualitatif adalah data dari tahun 1993 sampai 2005. Data statistik yang diestimasi merupakan data time series dengan jumlah observasi 20, yaitu dari tahun 1984 sampai 2003. Data ini dapat dilihat pada Lampiran 2. Data diolah menggunakan software Excel, dan Microfit.

4.2. Metode Analisis

Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap analisis structure-conduct-performance (SCP) dan tahap analisis kebijakan. Masing-masing tahap mempergunakan metode sendiri dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif yang dimodifikasi sesuai kebutuhan.

(37)

4.2.1. Tahap Analisis Structure-Conduct-Performance (SCP) 4.2.1.1. Analisis Struktur (Structure)

Ukuran utama struktur pasar (market structure) adalah : 1. Pangsa Pasar

Setiap perusahaan memiliki pangsa pasarnya sendiri, berkisar antara 0 hingga 100 persen dari total penjualan seluruh pasar. Menurut literatur neo-klasik, landasan posisi pasar perusahaan adalah pangsa pasar yang diraihnya.

% 100 x s s ms tot i i = (4.1) Dimana :

msi : Pangsa pasar perusahaan i (persen)

si : Penjualan perusahaan i (juta rupiah)

stot : Penjualan total seluruh perusahaan (juta rupiah)

2. Konsentrasi Industri

Konsentrasi industri adalah suatu variabel sehingga dapat diukur. Dengan mengetahui tingkat konsentrasi, dapat diketahui tipe pasar yang dihadapi oleh suatu industri. Konsentrasi industri dapat diketahui dengan menggunakan dua ukuran yaitu Rasio Konsentrasi (CR) dan Indeks Hirschman-Herfindahl (HHI) (Jaya, 2001). Penggunaan CR dalam menjelaskan struktur pasar dilakukan agar konsisten dengan penjelasan hubungan struktur dan profitabilitas, dimana CR menggambarkan struktur pasar pada hubungan tersebut. Sedangkan penggunaan HHI untuk memutuskan industri farmasi berada pada pasar yang bagaimana berdasarkan interval indeksnya. Penggunaan kedua ukuran ini saling melengkapi.

(38)

ƒ Rasio Konsentrasi (CR)

CR merupakan persentase dari total output industri atau pendapatan penjualan. CR sejumlah perusahaan besar mengukur pangsa relatif dari total output industri yang dipertanggungjawabkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut.

= = x i i m ms CR 1 (4.2)

Semakin besar angka persentasenya (mendekati 100 persen) berarti semakin besar konsentrasi industri dari produk tersebut.

ƒ Indeks Hirschman-Herfindahl (HHI)

Ukuran ini didasarkan pada jumlah total dan distribusi ukuran dari perusahaan-perusahaan dalam industri. Dihitung dengan penjumlahan kuadrat pangsa pasar semua perusahaan dalam industri.

= = n i i ms HHI 1 2 (4.3)

HHI akan mempunyai nilai 1 jika suatu perusahaan menguasai penjualan industri 100 persen. HHI mempunyai nilai 1/n jika masing-masing perusahaan dalam industri mempunyai jumlah penjualan yang sama.

Dimana pada persamaan (4.2) dan (4.3) :

CRm : Rasio konsentrasi sebanyak m perusahaan (persen)

HHI : Indeks Hirschman-Herfindahl x : Jumlah perusahaan terbesar

(39)

3. Hambatan Masuk Pasar (Barrier to Entry)

Hambatan masuk pasar dapat dilihat dari mudah atau tidaknya pesaing-pesaing potensial untuk masuk ke pasar. Jika pesaing-pesaing-pesaing-pesaing yang baru dapat dengan leluasa masuk dan mengurangi kekuatan pasar perusahaan-perusahaan lama, maka dapat dikatakan rintangan tersebut tidak ada. Segala sesuatu yang memungkinkan terjadinya penurunan kesempatan atau kecepatan masuknya pesaing baru merupakan hambatan untuk masuk. Hambatan ini tidak hanya dalam bentuk perangkat-perangkat yang legal, tapi juga dapat terjadi secara alami. Salah satu cara yang digunakan untuk melihat hambatan masuk adalah dengan mengukur skala ekonomis yang didekati melalui output perusahaan yang menguasai pasar lebih dari 50 persen. Hambatan masuk pasar dibagi menjadi dua yaitu hambatan teknis yang terjadi karena ketidakmampuan teknis dan hambatan legal berupa undang-undang khusus atau hak khusus seperti hak paten.

4.2.1.2. Analisis Perilaku (Conduct)

Tahap analisis SCP yang kedua adalah analisis perilaku. Elemen perilaku dapat diklasifikasikan menjadi empat yaitu strategi harga, strategi produksi, strategi distribusi dan terakhir strategi promosi. Perilaku perusahaan-perusahaan farmasi ini akan dijelaskan secara deskriptif karena keterbatasan data sehingga tidak memungkinkan dilakukan analisis secara kuantitatif.

(40)

4.2.1.3. Analisis Kinerja (Performance)

Tahap analisis SCP yang terakhir adalah kinerja pasar (market performance). Analisis kinerja dilakukan dengan menggunakan analisis Price-Cost Margin (PCM), dan X-efisiensi. PCM dinyatakan sebagai indikator kemampuan perusahaan untuk meningkatkan harga di atas biaya produksi. PCM juga didefinisikan indikator kinerja yang merupakan perkiraan kasar dari keuntungan perusahaan. PCM dapat diperoleh dengan membagi selisih antara nilai tambah dikurangi upah terhadap barang yang dihasilkan (Jaya, 2001)

dihasilkan yang Barang Nilai Total Upah Tambah Nilai PCM = − (4.4)

Nilai tambah digunakan sebagai proksi dari keuntungan yang didapat oleh perusahaan, namun harus dikurangi dengan biaya lain yaitu pengeluaran upah bagi pekerja. Nilai PCM yang di atas 30 persen dapat menggambarkan keuntungan yang tinggi pada suatu industri (Shepherd 1972 dalam Halida 1998). Tingkat PCM yang tinggi umumnya dapat tercipta jika terdapat rasio konsentrasi pasar yang tinggi.

Efisiensi yang dihitung adalah efisiensi internal (efisiensi-x). Ini menggambarkan suatu industri dan perusahaan dikelola dengan baik. Pengukuran efisiensi dapat dilakukan dengan menghitung rasio nilai tambah dengan nilai input ataupun dengan cara mengukur atau melihat tingkat utilisasi kapasitas produksi perusahaan-perusahaan di industri tersebut.

Input Nilai

Tambah Nilai

(41)

Variabel pertumbuhan (GROWTH) diduga dapat mempengaruhi kinerja industri karena variabel ini dapat menunjukkan permintaan pasar (market demand). Jika permintaan pasar terhadap barang meningkat, maka perusahaan akan meningkatkan produksinya untuk memenuhi permintaan yang ada.

% 100 1 1 x Q Q Q GROWTH t t t − − − = (4.6) Dimana :

Qt : Nilai barang yang dihasilkan tahun t (juta rupiah)

Qt-1 : Nilai barang yang dihasilkan tahun t-1 (juta rupiah)

Ketergantungan industri terhadap kestabilan kondisi sosial dan ekonomi selama periode 1984 sampai 2003 diduga dapat mempengaruhi kinerja industri. Untuk mengetahui pengaruh reformasi terhadap industri farmasi, digunakan variabel dummy yang membagi data dari tahun 1984 sampai 1996 sebagai periode sebelum reformasi dan tahun 1997 sampai 2003 sebagai periode setelah reformasi.

4.2.1.4. Hubungan antara Struktur dan Kinerja

Setelah diketahui hubungan struktur dan kinerja, maka dapat dijelaskan bagaimana struktur suatu industri mempengaruhi kinerja industri tersebut. Cara untuk melihat hubungan ini digunakan model regresi berganda. Variabel endogen adalah proksi dari keuntungan industri yaitu PCM.

Penggunaan variabel PCM sebagai proksi keuntungan telah dilakukan oleh Collins dan Preston (1968, 1969), kemudian digunakan oleh Stepherd (1972). Rasio konsentrasi juga banyak digunakan sebagai variabel struktur yang

(42)

mempengaruhi profitabilitas antara lain digunakan oleh Shepherd (1972, 1975) dan Katrak (1980).

Penggunaan variable efisiensi-x didasarkan pada pendapat Shepherd (1979) yang mengatakan bahwa kinerja merupakan fungsi dari pangsa pasar, konsentrasi, hambatan masuk, efisiensi internal, dan kondisi eksternal. Efisiensi-x dan produktivitas juga digunakan oleh Robert (1996) dalam model PCM.

Variabel ekspor dan impor digunakan oleh Katrak (1980) dalam Shepherd (1979) dan Halida (1998) sebagai faktor yang juga menentukan profitabilitas. Penggunaan variabel-variabel ini ditujukan untuk melihat seberapa besar pengaruh membanjirnya produk impor terhadap profitabilitas industri farmasi.

Berdasarkan model-model hubungan struktur dan profitabilitas yang telah dijelaskan, maka model yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

t t

t t

t

t a aCRm a XEFF a GROWTH a M a Dummy u

PCM = 0 + 1 + 2 + 3 + 4 + 5 + (4.7) Dimana :

PCMt : Rasio keuntungan industri yang mencerminkan kelebihan

atas

biaya langsung pada tahun ke-t ( persen)

CRmt : Konsentrasi pasar dari m perusahaan dalam suatu industri pada

tahun ke-t ( persen)

GROWTHt : Pertumbuhan nilai produksi yang menunjukkan permintaan pasar

pada tahun ke-t ( persen)

XEFFt : Rasio effisiensi yang dinyatakan sebagai perbandingan antara nilai

tambah dan nilai input industri pada tahun ke-t untuk mengukur efisiensi internal industri ( persen)

Mt : Jumlah komoditi yang diimpor (juta rupiah)

Dummy : Kondisi sebelum dan sesudah krisis (1983 sampai 1997 = 0 ; 1998 Sampai 2003 =1)

a0 : Intercept

a1,a2,a3,a4 : koefisien kemiringan parsial

(43)

Dari hasil regresi yang didapatkan, hubungan PCM dengan variabel-variabel endogennya tidak selalu bernilai positif. Dari hasil itu pula dilakukan pengujian-pengujian agar suatu model dapat dikatakan baik. Pengujian-pengujian tersebut adalah uji statistik terhadap model penduga melalui uji F dan pengujian untuk parameter-parameter regresi melalui uji t serta melihat berapa persen variabel bebas dapat dijelaskan oleh variabel-variabel terikatnya melalui koefisien determinasi (adj-R2). Uji ekonometrika yang dilakukan antara lain uji autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas.

1. Uji F

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah model penduga yang diajukan sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi.

H0 : b1 = b2 =...= bi = 0

H1 : minimal ada salah satu b1 ≠0

Kriteria uji :

Probability F-statistic < taraf nyata (α), maka tolak H0

Probability F-statistic > taraf nyata (α), maka terima H0

Jika H0 ditolak, berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh

nyata terhadap variabel terikat dan model layak digunakan. Sebaliknya jika H0

diterima berarti tidak ada satu pun variabel bebas yang berpengaruh nyata. 2. Uji t

Pengujian ini ditujukan untuk mengetahui tingkat signifikan variabel bebas. H0 : b1 = b2 =...= bi = 0

(44)

Kriteria uji :

Probability t-statistic < α, maka tolak H0

Probability t-statistic > α, maka terima H0

Jika H0 ditolak maka variabel bebas berpengaruh nyata pada α terhadap

variabel tak bebasnya. Jika H0 diterima berarti variabel bebas tidak

berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. 3. Uji Autokorelasi

Suatu model dikatakan baik apabila telah memenuhi asumsi tidak terdapat gejala autokorelasi. Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah hasil estimasi model tidak mengandung korelasi serial diantara disturbance term. Uji autokorelasi dilakukan dengan melihat probability Obs*R-squared pada uji Breusch-Godfrey Serial Corelation LM.

H0 : ρ =0

H1 : ρ ≠0

Kriteria uji :

probability Obs*R-squared < α, maka tolak H0

probability Obs*R-squared > α, maka terima H0

Jika H0 ditolak maka terjadi autokorelasi (positif atau negatif) dalam model.

Sebaliknya jika H0 diterima maka tidak ada autokorelasi dalam model

4. Uji Heterokedastisitas

Suatu fungsi dikatakan baik apabila memenuhi asumsi homoskedastisitas (tidak terjadi heteroskedastisitas) atau memiliki ragam error yang sama.

(45)

Gejala adanya heteroskedastisitas dapat ditunjukan oleh probabilitas Obs*R-squared pada uji white heteroskedasticity

H0 : γ =0

H1 : γ ≠0

Kriteria uji :

Probabilitas Obs*R-squared <α, maka tolak H0

Probabilitas Obs*R-squared >α, maka terima H0

Jika H0 ditolak, maka terdapat gejala heteroskedastisitas pada model.

Sebaliknya jika H0 diterima, maka pada model tidak terdapat

heteroskedastisitas. 5. Uji Multikolinearitas

Asumsi lain yang harus dipenuhi adalah tidak terdapat gejala multikolinearitas di dalam suatu model regresi, yaitu adanya kolerasi yang kuat pada sesama variabel bebas (eksogen). Uji multikolinearitas dilakukan dengan melihat koefisien korelasi antar variabel eksogen yang terdapat pada matriks korelasi. Jika terdapat koefisien korelasi yang lebih besar dari 0.8, maka terdapat gejala multikolinearitas.

4.2.2. Tahap Analisis Kebijakan

Tahapan ini menggunakan metode analisis kebijakan publik yang dilakukan secara deskriptif dalam perspektif undang-undang yang berkaitan dengan industri farmasi. Metode analisis kebijakan publik diambil dengan

(46)

memadukan elemen-elemen dari berbagai disiplin ilmu politik, sosial, psikologi, ekonomi dan filsafat. Analisis kebijakan publik bersifat normatif.

Tujuan analisis kebijakan ini adalah untuk menciptakan dan melakukan kritik terhadap klaim pengetahuan tentang nilai kebijakan publik untuk generasi masa lalu, masa kini dan masa depan. Analisis ini bersifat normatif .

Metode analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia. Lima prosedur itu terdiri dari definisi, prediksi, preskrepsi, deskripsi dan evaluasi. Perumusan masalah (definisi) menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan. Peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai konsekuensi dimasa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu. Rekomendasi (preskrepsi) menyediakan suatu informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi dimasa depan dari suatu pemecahan masalah. Pemantauan (deskripsi) menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari ditetapkannya alternatif kebijakan. Evaluasi menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan atau pengatasan masalah.

(47)

V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI FARMASI DI INDONESIA

Bidang farmasi berada dalam lingkup dunia kesehatan yang berkaitan erat dengan produk dan pelayanan produk untuk kesehatan. Pada mulanya penggunaan obat dilakukan secara empirik dari tumbuhan, hanya berdasarkan pengalaman dan selanjutnya Paracelsus (1541-1493 SM) berpendapat bahwa untuk membuat sediaan obat perlu pengetahuan kandungan zat aktifnya dan dia membuat obat dari bahan yang sudah diketahui zat aktifnya. Hippocrates (459-370 SM) yang dikenal sebagai bapak kedokteran, dalam praktek pengobatannya telah menggunakan lebih dari 200 jenis tumbuhan. Claudius Galen (200-129 SM) menghubungkan penyembuhan penyakit dengan teori kerja obat yang merupakan bidang ilmu farmakologi. Selanjutnya Ibnu Sina (980-1037) telah menulis beberapa buku tentang metode pengumpulan dan penyimpanan tumbuhan obat serta cara pembuatan sediaan obat seperti pil, supositoria, sirup dan menggabungkan pengetahuan pengobatan dari berbagai negara yaitu Yunani, India, Persia, dan Arab untuk menghasilkan pengobatan yang lebih baik. Johann Jakob Wepfer (1620-1695) berhasil melakukan verifikasi efek farmakologi dan toksikologi obat pada hewan percobaan. Ia adalah orang pertama yang melakukan penelitian farmakologi dan toksikologi pada hewan percobaan. Percobaan pada hewan merupakan uji praklinik yang sampai sekarang merupakan persyaratan sebelum obat diuji–coba secara klinik pada manusia.

Sampai akhir abad 19, obat merupakan produk organik atau anorganik dari tumbuhan yang dikeringkan atau segar, bahan hewan atau mineral yang aktif dalam penyembuhan penyakit tetapi dapat juga menimbulkan efek toksik bila

(48)

dosisnya terlalu tinggi atau pada kondisi tertentu penderitaan. Untuk menjamin tersedianya obat agar tidak tergantung kepada musim maka tumbuhan obat diawetkan dengan pengeringan. Pengembangan bahan obat diawali dengan sintesis atau isolasi dari berbagai sumber, selanjutnya calon obat tersebut akan melalui serangkaian uji yang memakan waktu yang panjang dan biaya yang tidak sedikit sebelum diresmikan sebagai obat oleh badan pemberi izin.

Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa, memiliki lebih kurang 30.000 spesies tumbuhan dan 940 spesies di antaranya termasuk tumbuhan berkhasiat (180 spesies telah dimanfaatkan oleh industri jamu tradisional) merupakan potensi pasar obat herbal dan fitofarmaka. Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu. Menurut World Health Organization (WHO) hingga 65 persen dari penduduk negara maju dan 80 persen dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal. Pada tahun 2000 diperkirakan penjualan obat herbal di dunia mencapai US$ 60 milyar.

Menurut the Food, Drug and cosmetic Act (FD&C Act) penggunaan kosmetik sebagai salah satu produk farmasi lebih ditujukan untuk membersihkan, meningkatkan kecantikan atau meningkatkan daya tarik dan mengubah penampilan bukan untuk menangani penyakit kulit. Sediaan kosmetik harus memenuhi persyaratan keamanan yaitu tidak menyebabkan iritasi dan alergi. Pada th 1994 FDA menerima lebih kurang 200 laporan tentang efek samping kosmetik yang umumnya berupa alergi dan iritasi. Pemakaian kosmetik dan kosmeseutikal diperkirakan akan meningkat tajam akibat pergeseran budaya rural menuju urban

(49)

dan peningkatan taraf hidup masyarakat, hal ini merupakan tantangan bagi dunia farmasi untuk meningkatkan perannya dalam menghasilkan produk dengan formula yang lebih baik, lebih aman dan mudah digunakan.

Produk nutrisi yang juga merupakan produk farmasi dapat digunakan sebagai obat pada kondisi kekurangan gizi (malnutrisi, malgizi). Produk nutrisi dapat berupa nutrisi parenteral untuk pasien yang dirawat di rumah sakit dan nutrisi enteral yang dikenal pula sebagai food suplemen. Masyarakat sering menggunakan produk nutrisi untuk mengobati penyakit, kombinasi nutrisi dan efek pengobatan sehingga melahirkan istilah baru yang dikenal dengan nutraceutical. Nutraseutikal, phytochemicals, medical foods, functional food, pharmafoods atau nutritional supplement, diartikan sebagai bahan alam dalam keadaan murni atau pekat, atau senyawa kimia bioaktif yang mempunyai efek meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit atau mengobati penyakit. Kecenderungan masyarakat yang lebih memilih nutrisi untuk mencegah dan mengobati penyakit daripada memilih obat merupakan peluang bagi farmasi untuk berkontribusi dalam produksi berbagai sediaan nutrisi, suplemen makanan dan nutraceutical dengan komposisi sesuai dengan kebutuhan dan aman.

Kemajuan di bidang teknologi instrumen dan reagensia mendukung sains laboratorium klinik farmasi. Interaksi sinergis antara bidang ilmu biomedik, farmasi dan bioteknologi telah melahirkan peluang-peluang dalam menciptakan metode baru bidang sains laboratorium klinik. Pengetahuan penggunaan peralatan medis dan diagnostik laboratorium merupakan modal untuk kemajuan laboratorium kesehatan dan memerlukan sumberdaya manusia yang kompeten.

(50)

Karakteristik dan penampilan peralatan medis dan reagensia laboratorium diagnostik didesain dan diproduksi menurut persyaratan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di suatu negara. Perlindungan masyarakat terhadap hal yang dapat merugikan kesehatan dan kehidupan manusia akibat penggunaan alat-alat kesehatan (medical devices) dan perbekalan kesehatan rumah tangga (medical households) merupakan kewenangan, tugas dan fungsi Departemen Kesehatan. Untuk keperluan tersebut diselenggarakan pendaftaran, penilaian dan pemberian izin sebelum alat kesehatan diperdagangkan di wilayah negara atau diekspor ke negara lain.

Industri farmasi pada beberapa tahun terakhir ini dilihat sebagai suatu industri yang berkembang dengan baik. Selama itu industri farmasi dapat menikmati keadaan yang menguntungkan. Seiring dengan perubahan yang terjadi, baik karena dampak globalisasi maupun internal perusahaan menjadi tantangan yang harus dijalani oleh industri seiring dengan pergerakan persaingan pada siklus kehidupan industri farmasi.

Jika dilihat dari divisi kegiatan, industri farmasi Indonesia dikelompokkan dalam empat golongan, yaitu industri penelitian dan pengembangan farmasi, industri kimia farmasi, industri manufaktur farmasi dan jasa farmasi. Biasanya industri farmasi di negara-negara yang sudah maju memiliki keempat divisi tersebut (Biantoro, 2002).

Mempelajari industri farmasi sama dengan mempelajari dasar pengetahuan mengenai industri. Sumber daya yang mendasar industri farmasi terdiri dari

(51)

Pengetahuan Manajemen

Industri Farmasi Dasar Industri Pengetahuan

Sumber daya yang mendasar

Daya Saing

Aset Tak Berwujud Aset Berwujud

70 persen • Gambaran Kualitas • Gambaran Perusahaan • Kualitas HRD • R & D • Hak Paten • Reputasi Perusahaan 30 persen

pengetahuan manajemen, daya saing dan aset baik yang berwujud maupun tidak sama persis seperti pengetahuan dasar industri (lihat Gambar 5.2).

Sumber : GP Farmasi Indonesia

Gambar 5.2. Industri Farmasi Sama Dengan Dasar Pengetahuan Industri

Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi Indonesia) didirikan melalui SKEP. Menteri Kesehatan RI Prof dr G.A Siwabessy, No. 222/Kab/B.VII/69 tanggal 3 Oktober 1969. GP Farmasi Indonesia merupakan satu-satunya wadah induk organisasi perusahaan farmasi di Indonesia. GP Farmasi Indonesia berfungsi sebagai wadah komunikasi dan konsultasi antar pengusaha farmasi, pemerintah, dan pihak lain yang terkait mengenai masalah yang berkaitan dengan produksi obat, distribusi obat dan pelayanan obat. GP Farmasi bekerjasama dengan pemerintah bertujuan secara aktif melakukan usaha bagi pembangunan nasional khususnya dalam bidang farmasi dalam meningkatkan derajat kesehatan rakyat serta membina, mengembangkan dan meningkatkan kemampuan, kegiatan dan kepentingan anggota.

(52)

Berdasarkan Permenkes No. 222/Kab/BVII/69 tanggal 3 oktober 1969, semua usaha farmasi di Indonesia harus menjadi anggota GP Farmasi Indonesia. Usaha farmasi dikelompokan dalam 4 (empat) bidang, yaitu :

1. Industri Farmasi

Industri farmasi yang dimaksud adalah perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang melakukan produksi obat-obatan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam SKEP Menkes RI No. 90/Kab/B.VII/71 - 24 April 1971, SKEP Menkes RI No. 2819/A/SK/71 - 26 April 1971, SKEP Menkes RI No. 125/Kab/B.VII/71-9 Juni 1971, Permenkes RI No. 389/Menkes /PER/X/80-l9 Oktober 1980, paket kebijaksanaan deregulasi 28 Mei 1990 berupa Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 242 dan No. 245/Menkes/SK/V/90 dengan klasifikasi, industri farmasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Penanaman Modal Asing dan Swasta Nasional.

Industri farmasi BUMN modalnya dimiliki oleh negara. Contoh industri farmasi BUMN adalah PT Indofarma, PT Biofarma, PT Kimia Farma, dan NV Phapros.

Industri farmasi di Indonesia pada umumnya memproduksi obat etikal yaitu obat-obatan yang bisa disediakan dengan resep dokter dan obat bebas (OTC) atau obat-obatan yang dapat dibeli tanpa resep dokter. Industri farmasi yang memproduksi golongan obat keras tertentu, diberikan ijin khusus diatur dalam Permenkas RI No. 213/Menkes/PER/IV/85 tanggal 22 April 1985.

(53)

2. Pedagang Besar Farmasi (PBF)

PBF di Indonesia merupakan distribusi farmasi yaitu perusahaan yang berbadan hukum berupa Perseroan Terbatas (PT) yang melakukan distribusi obat. PBF diatur dalam Permenkes No. 163/Kab/B.VII/72-28 Agustus 1972, SKEP Menkes No. 809/Ph/64/b-28 Januari 1964 dan SKEP Menkes RI No. 3987/A/SK/73-30 April 1973. Paket kebijaksanaan deregulasi tanggal 28 Mei 1990 Permenkes RI No. 243/Menkes/SK/V/90 menunjuk berbagai fungsi jenis PBF.

3. Apotik

Apotik adalah suatu perusahaan tempat sarana pengabdian Apoteker. Apotik melakukan distribusi obat langsung kepada pasien atau apotik lainnya. Apotik melakukan distribusi kepada poliklinik untuk obat-obatan termasuk obat keras dengan resep dokter, obat-obat bebas terbatas, maupun obat bebas. Apotik didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 26/1965 juncto Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980, Permenkes No. 26/Menkes/Per/I/81 serta berbagai Permenkes lainnya seperti No. 278, 279 dan 280/Menkes/SK/V/81 tanggal 30 Mei 1981.

4. Toko Obat

Toko obat adalah perusahaan yang melaksanakan penyaluran obat bebas dan bebas terbatas. Toko obat dibagi menjadi :

a. Toko obat berizin, merupakan suatu usaha tempat mendistribusikan obat secara eceran langsung kepada konsumen terutama dalam klasifikasi penyaluran obat bebas terbatas dan obat bebas. Hal ini sesuai dengan

(54)

ketentuan Permenkes No. 167/Kab/B.VII/72 tanggal 28 Agustus 1972. Penanggung jawab teknis adalah asisten apoteker.

b. Toko obat biasa adalah usaha yang sebagian besar kegiatannya mendistribusikan obat secara eceran langsung kepada para konsumen berupa obat bebas saja.

Sejak proses awal produksi, obat merupakan komoditi ekonomis, karena perangkat investasi maupun pelaksanaan proses produksi dilakukan dengan hukum-hukum ekonomi. Obat merupakan komoditi yang memerlukan penanganan teknologi tinggi untuk keselamatan manusia, dimana setiap prosesnya tidak hanya memerlukan acuan Good Manufacturing Practice, namun pola perkembangan kesehatan dunia mensyaratkan current Good manufacturing Practice (cGMP) artinya harus mengikuti cara pembuatan obat yang senantiasa mutakhir. Disamping persyaratan umum cGMP harus pula mengikuti perkembangan berbagai uji stabilitas, Bio Equivalent & Bio Availability, uji klinis dan lainnya.

Perkembangan industri farmasi di Indonesia dibawah pembinaan Departemen Kesehatan sesuai PP No. 17 tahun 1986. Perkembangan ini lebih menuntut agar komoditi obat diartikan sebagai komoditi sosial, tanpa memandang aspek lain.

Jenis obat yang beredar di Indonesia antara lain : obat narkotika, obat keras wajib apoteker (G2), obat psikotropika, obat bebas terbatas (W), obat keras (G1), dan obat bebas. Penandaan dalam kemasan obat beredar terdiri dari Red Dot (lingkaran merah), Blue Dot ( lingkaran biru) dan Green Dot (lingkaran hijau).

Gambar

Tabel 2.1. Kondisi Industri Farmasi Indonesia
Gambar 3.1. Kerangka Alur Pemikiran Penelitian
Gambar 5.2. Industri Farmasi Sama Dengan Dasar  Pengetahuan Industri
Tabel 6.2. Tingkat Konsentrasi Industri Farmasi Tahun 1984-2003
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perawatan ( maintenance ) merupakan kegiatan yang berhubungan dengan mempertahankan suatu mesin / peralatan agar tetap dalam kondisi siap untuk beroperasi, dan jika

bahwa Lembaga Administrasi Negara telah memiliki tarif dan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun

porang (P0) memiliki nilai daya potong lebih tinggi dibandingkan dengan (P1), (P2), (P3) dan (P4) namun penambahan tepung porang 0,4 % (P4) jauh lebih rendah, hal ini

Hal ini berkaitan dengan ukuran tubuh larva, bukan karena pengaruh dari rentang dosis yang diinfeksi, karena pada larva normalpun, konsumsi makanan larva instar lima akan

Mufassir lain, Imam As-Syaukani memberi tafsiran, “Ayat ini merupakan dalil wajibnya hijrah dari negeri kafir menuju negeri muslim bagi yang tidak kuasa menjalankan agamanya.” Syaikh

Teknik Elektro, Fakultas Teknik – Universitas Muslim Indonesia... Teknik Elektro, Fakultas Teknik – Universitas

Kesatuan luar (external entity) merupakan kesatuan dilingkungan luar system yang dapat berupa orang, organisasi, atau sistem lainnya yang akan memberikan input atau

Hasil analisis diperoleh probability value sebesar 0,000 &lt; 0,05 maka H o ditolak, berarti model yang digunakan untuk menguji pengaruh variabel bebas yaitu