• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUPLEMENTASI LISIN DALAM RANSUM RENDAH PROTEIN TERHADAP KONSUMSI PROTEIN, RASIO EFISIENSI PROTEIN DAN RETENSI NITROGEN AYAM BROILER JANTAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SUPLEMENTASI LISIN DALAM RANSUM RENDAH PROTEIN TERHADAP KONSUMSI PROTEIN, RASIO EFISIENSI PROTEIN DAN RETENSI NITROGEN AYAM BROILER JANTAN"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

SUPLEMENTASI LISIN DALAM RANSUM RENDAH PROTEIN TERHADAP KONSUMSI PROTEIN, RASIO EFISIENSI

PROTEIN DAN RETENSI NITROGEN AYAM BROILER JANTAN

Jurusan/Program Studi Peternakan

Oleh :

Teteg Cahyo Nugroho H0507074

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2012

(2)

commit to user

i

SUPLEMENTASI LISIN DALAM RANSUM RENDAH PROTEIN TERHADAP KONSUMSI PROTEIN, RASIO EFISIENSI

PROTEIN DAN RETENSI NITROGEN AYAM BROILER JANTAN

Skripsi

Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Peternakan

di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Jurusan/Program Studi Peternakan

Oleh :

Teteg Cahyo Nugroho H0507074

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2012

(3)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

(4)

commit to user

(5)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user iv DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

RINGKASAN ... viii SUMMARY ... x I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 2 C. Tujuan Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Broiler... 4 B. Sistem Pencernaan ... 5 C. Ransum...6 D. Protein. ... 7 E. Lisin.... ... 11 F. Retensi Nitrogen ... 12

G. Rasio Efisiensi Protein ... 14

HIPOTESIS ... 15

III. MATERI DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 16

B. Bahan dan Alat Penelitian ... 16

C. Persiapan Penelitian ... 19

D. Cara Penelitian ... 20

(6)

commit to user

v IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Konsumsi Protein ... 23

B. Rasio Efisiensi Protein ... 24

C. Konsumsi Nitrogen... 26 C. Ekskresi Nitrogen ... 27 D. Retensi Nitrogen... 28 V. KESIMPULAN ... 30 DAFTAR PUSTAKA ... 31 LAMPIRAN ... 33

(7)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kebutuhan nutrien ayam broiler ... 16

2. Kandungan nutrien bahan pakan untuk ransum perlakuan ... 17

3. Susunan dan kandungan nutrien ransum perlakuan fase starter ... 17

4. Susunan dan kandungan nutrien ransum perlakuan fase finisher ... 18

5. Program pemberian vaksin ... 19

6. Rata-rata konsumsi protein selama penelitian (gram/ekor/hari) ... 23

7. Rata-rata rasio efisiensi protein hasil penelitian ... 24

8. Rata-rata konsumsi nitrogen hasil penelitian (gram/ekor/hari) ... 26

9. Rata-rata ekskresi nitrogen hasil penelitian (gram/ekor/hari) ... 27

(8)

commit to user

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Analisis variansi rata-rata konsumsi protein (gram/ekor/hari) ... 34

2. Analisis variansi rata-rata rasio efisiensi protein ... 36

3. Analisis variansi rata-rata konsumsi nitrogen (gram/ekor/hari) ... 38

4. Analisis variansi rata-rata ekskresi nitrogen (gram/ekor/hari) ... 40

5. Analisis variansi rata-rata retensi nitrogen (persen) ... 42

6. Rata-rata konsumsi ransum selama penelitian (gram/ekor/hari) ... 44

7. Rata-rata konsumsi ransum untuk data retensi nitrogen (gram/ekor/hari) 44 8. Temperatur kandang (oC) ... 45

9. Denah kandang ... 46

(9)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ayam pedaging (broiler) adalah ayam ras yang mempunyai pertumbuhan cepat sehingga dapat menghasilkan daging dalam waktu yang relatif singkat yaitu 5-6 minggu. Broiler mempunyai peranan penting sebagai sumber protein hewani asal ternak. Daging broiler merupakan salah satu produk hewani yang paling digemari oleh masyarakat (Retnani et al. 2009).

Kebutuhan nutrien yang diperlukan oleh broiler merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk kelangsungan hidup dan produksi. Ransum adalah faktor penentu terhadap pertumbuhan, disamping bibit dan manajemen pemeliharaan. Kandungan protein merupakan komponen utama penyusun ransum. Pada umumnya penyusunan ransum pada unggas didasarkan dengan penentuan tingkat protein kasar. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa protein kasar mengandung nitrogen (N) dari protein dan N yang berasal dari non-protein (NPN). Padahal ternak unggas tidak mampu menggunakan N dari non-protein seperti halnya ternak ruminansia sehingga hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan ransum broiler adalah kandungan asam amino esensial.

Menurut Anggorodi (1995), kualitas ransum ditentukan oleh kandungan asam-asam amino esensial penyusun protein dan kesanggupannya untuk menunjang pertumbuhan ayam. Jika tubuh mendapatkan protein yang berkualitas baik maka tubuh akan mengekskresikan nitrogen yang lebih kecil. Hal ini dikarenakan tubuh mampu meretensi lebih banyak nitrogen sehingga nitrogen dalam ekskreta menjadi lebih sedikit.

Lisin merupakan asam amino kritis yang sering defisien dalam ransum broiler karena sebagian besar bahan pakan penyusun ransum merupakan bahan nabati dengan kandungan asam amino esensial yang rendah. Defisiensi ringan dari asam amino lisin akan mengakibatkan penurunan pertumbuhan sesuai dengan derajat defisiensinya. Defisiensi asam amino lisin yang hebat akan menyebabkan segera berhentinya pertumbuhan dan kehilangan pertumbuhan rata-rata 6-7 persen berat badan per hari (Wahju, 1997).

(10)

commit to user

Penambahan lisin ke dalam ransum cukup penting artinya bagi keseimbangan asam amino untuk mencapai pertumbuhan dan produksi yang baik khususnya apabila bahan ransum ternak sebagian besar tersusun dari bahan nabati. Suplementasi lisin dalam ransum diharapkan mampu meningkatkan kualitas biologis protein sehingga terjadi peningkatan retensi nitrogen dalam tubuh. Peningkatan retensi nitrogen berarti semakin banyak nitrogen yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh ternak.

Dari uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suplementasi lisin dalam ransum rendah protein terhadap konsumsi protein, rasio efisiensi protein, konsumsi nitrogen, ekskresi nitrogen dan retensi nitrogen ayam broiler jantan.

B. Rumusan Masalah

Protein merupakan faktor penentu pertumbuhan ayam broiler yang sangat cepat. Akan tetapi kandungan protein kasar dalam ransum tidak dapat dipakai sebagai dasar penyusunan ransum karena unggas tidak mampu menggunakan N dari non-protein. Oleh karena itu, kualitas protein pakan tidak dapat hanya dilihat dari tinggi rendahnya kandungan protein kasarnya (Prawirokusumo, 1993).

Ketersediaan dan kelengkapan asam amino esensial akan menentukan kualitas protein dalam ransum. Jika tubuh mendapatkan protein yang berkualitas baik maka tubuh akan mengekskresikan nitrogen yang lebih kecil. Hal ini dikarenakan tubuh mampu meretensi lebih banyak nitrogen sehingga nitrogen dalam ekskreta menjadi lebih sedikit. Penambahan asam amino esensial lisin ke

dalam ransum yang rendah kualitas (Parakkasi, 1986) dan kuantitas (Morris, 1970 cit Aisjah et al. 2007) proteinnya dapat menunjang pertumbuhan

ayam pedaging.

Suplementasi lisin dalam ransum diduga mampu meningkatkan nilai biologis protein yang terkandung dalam ransum sehingga jumlah nitrogen yang diretensi oleh tubuh ayam broiler semakin meningkat. Peningkatan retensi nitrogen berarti semakin banyak nitrogen yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh salah satunya untuk pertumbuhan dan pembentukan karkas sehingga efisiensi penggunaan protein ransum juga meningkat. Menurut Labadan et al. (2001)

(11)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

pemberian lisin dengan dosis tinggi pada ransum rendah protein dapat meningkatkan pertumbuhan dan efisiensi pakan pada ayam broiler.

Dari uraian di atas maka penggunaan ransum yang disuplementasi dengan lisin diharapkan mampu meningkatkan retensi nitrogen dan rasio efisiensi protein ayam broiler jantan.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suplementasi lisin dalam ransum rendah protein terhadap konsumsi protein, rasio efisiensi protein, konsumsi nitrogen, ekskresi nitrogen dan retensi nitrogen ayam broiler jantan.

(12)

commit to user

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ayam Broiler

Taksonomi zoologi ayam menurut Yuwanta (2004) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Filum : Chordata Subfilum : Craniata Ordo : Galliformes Genus : Gallus

Spesies : Gallus domesticus

Ayam broiler telah dikenal masyarakat dengan berbagai kelebihannya, antara lain dalam waktu 5-6 minggu sudah siap dipanen. Ayam broiler adalah strain ayam hasil budidaya teknologi yang memiliki karakteristik ekonomis yang mempunyai pertumbuhan cepat dengan konversi pakan yang baik. Ayam broiler merupakan ayam ras yang berasal dari luar negeri yang bersifat unggul sesuai dengan tujuan pemeliharaan sebagai penghasil daging yang telah mengalami perbaikan mutu genetik (Suprijatna et al. 2005).

Menurut Rasyaf (1994) ayam broiler merupakan ayam pedaging yang mengalami pertumbuhan pesat pada umur satu sampai lima minggu. Selanjutnya dijelaskan bahwa ayam broiler yang berumur enam minggu sudah sama besarnya dengan ayam kampung dewasa yang dipelihara selama delapan bulan. Keunggulan ayam broiler tersebut didukung oleh sifat genetik dan keadaan lingkungan yang meliputi pakan, temperatur lingkungan dan pemeliharaan.

Ayam broiler merupakan tipe ayam pedaging yang bersifat tenang, bentuk tubuh besar, pertumbuhan cepat, bulu merapat ke tubuh, kulit putih dan produksi telur rendah (Suprijatna et al. 2005). Ditambahkan oleh Yuwanta (2004), ayam broiler mempunyai sifat bentuk badan segiempat dan dalam, bulu luas dan lebar dengan alas dada bulat, bulu lebat dan longgar, gerakan lamban, shank bulat dan tebal.

(13)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

B. Sistem Pencernaan

Pencernaan adalah serangkaian proses yang terjadi di dalam saluran pencernaan yang meliputi pemecahan bahan pakan menjadi partikel-partikel yang lebih kecil, dari senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana hingga larut dan dapat diabsorbsi lewat dinding saluran pencernaan untuk masuk ke dalam peredaran darah atau getah bening yang selanjutnya diedarkan ke seluruh tubuh yang membutuhkan ataupun untuk disimpan dalam tubuh (Kamal,1994). Menurut Zuprizal dan Kamal (2005), saluran pencernaan ayam terdiri dari rongga mulut (termasuk farink), esofagus (termasuk tembolok), lambung, usus kecil, usus besar (termasuk sekum), dan kloaka. Organ pelengkap dari sistem pencernaan ayam meliputi paruh, lidah, kelenjar saliva, hati dan pankreas. Sedangkan menurut Suprijatna et al. (2005) saluran pencernaan ayam terdiri dari mulut, esophagus, crop, proventrikulus, gizzard, duodenum, usus halus, ceca, rektum, kloaka dan vent. Sementara organ aksesori terdiri dari hati dan pankreas.

Kamal (1994) menyatakan bahwa saluran pencernaan dapat dipandang sebagai tabung memanjang yang dimulai dari mulut sampai kloaka yang dibagian dalamnya dilapisi oleh membran mukosa. Fungsi saluran pencernaan secara garis besar adalah sebagai tempat pakan ditampung, tempat pakan dicerna, tempat pakan diabsorbsi dan tempat pakan sisa yang akan dikeluarkan.

Sistem pencernaan ayam berbeda dari sistem pencernaan mamalia. Ayam tidak mempunyai lidah, gigi dan pipi sejati tetapi mempunyai paruh sebagai gantinya sehingga pakan yang telah berada di dalam mulut langsung ditelan masuk ke dalam tembolok yang merupakan pembesaran dari esofagus (Kamal, 1994). Saluran pencernaan ayam mempunyai ukuran yang relatif pendek yaitu sekitar 245-255 cm sehingga menyebabkan proses pencernaan berlangsung relatif cepat yaitu berkisar empat jam (Yuwanta, 2004).

Menurut Yuwanta (2004) prinsip pencernaan pada ayam ada tiga macam, yaitu:

1. Pencernaan secara mekanik: pencernaan dilakukan oleh kontraksi otot polos terutama terjadi di gizzard yang dibantu oleh adanya grit.

(14)

commit to user

2. Pencernaan secara kimia (enzimatik): pencernaan dilakukan oleh enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kelenjar saliva di mulut, proventrikulus, pankreas, hati dan enzim dari usus halus. Peranan enzim-enzim tersebut adalah sebagai pemecah ikatan protein, lemak dan karbohidrat.

3. Pencernaan secara mikrobiologik: Pencernaan secara mikrobiologik terjadi dengan adanya mikrobia yang ikut berperan dalam proses pencernaan. Pada ayam pencernaan secara mikrobiologik tidak berperan besar seperti pada ternak yang lain, hanya sedikit ditemukan mikrobia pada tembolok dan usus besarnya.

Mekanisme pencernaan

Pakan yang masuk ke dalam mulut akan langsung ditelan melewati esofagus yang kemudian masuk ke dalam tembolok (crop). Pakan akan disimpan sementara waktu di dalam tembolok dan kemudian dilunakkan sebelum menuju ke proventrikulus. Dari tembolok pakan masuk ke dalam proventrikulus dan akan bercampur dengan getah proventrikulus atau getah lambung. Kemudian pakan masuk ke dalam ventrikulus untuk dihancurkan secara mekanik dengan adanya kontraksi otot ventrikulus yang dibantu oleh adanya grit sehingga pakan berubah bentuk menjadi pasta. Dari ventrikulus, pakan masuk ke dalam duodenum yang dilengkapi dengan pankreas yang menghasilkan getah pankreas dan hati yang menghasilkan cairan empedu. Selanjutnya pakan masuk ke dalam usus kecil dan terjadi absorbsi nutrien yang dilakukan oleh vili-vili usus sedangkan pakan sisa akan menuju ke usus besar dan dikeluarkan melalui kloaka (Kamal, 1994).

Ayam tidak mengeluarkan urine cair karena urine pada ayam mengalir ke dalam kloaka dan dikeluarkan bersama-sama dengan feses berupa asam urat berwarna putih. Feses dan urine sebelum dikeluarkan mengalami penyerapan air sekitar 72-75 persen. Muara waktu yang diperlukan untuk lintas pakan di dalam saluran pencernaan ayam kurang lebih empat jam (Yuwanta, 2004).

C. Ransum

Pakan adalah campuran berbagai macam bahan organik dan anorganik yang diberikan kepada ternak untuk memenuhi kebutuhan nutrien yang diperlukan bagi pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi. Agar pertumbuhan dan

(15)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

produksi maksimal maka jumlah dan kandungan nutrien yang dibutuhkan ayam harus memadai (Suprijatna et al, 2005). Tujuan pemberian pakan pada ternak adalah untuk mengubah bahan pakan menjadi bahan pangan yang mempunyai nilai nutritif yang lebih baik yaitu dari bahan nabati diubah menjadi bahan hewani dengan penggunaan ransum yang efisien (Zuprizal dan Kamal, 2005).

Ransum adalah kumpulan bahan pakan yang layak dimakan oleh ayam dan telah disusun mengikuti aturan tertentu. Aturan itu meliputi nilai kebutuhan nutrien bagi ayam dan nilai kandungan nutrien dari bahan pakan yang digunakan. Penyamaan nilai gizi yang ada di dalam bahan pakan yang digunakan dengan nilai gizi yang dibutuhkan ayam dinamakan teknik penyusunan ransum (Rasyaf, 1994).

Rasyaf (1994) menyatakan bahwa ransum merupakan sumber utama kebutuhan nutrien ayam broiler yang digunakan untuk keperluan hidup pokok dan produksi. Tinggi rendahnya jumlah nutrien yang dibutuhkan ayam secara umum dipengaruhi oleh beberapa macam faktor antara lain: suhu, kelembaban lingkungan dan keturunan. Tingkat kandungan nutrien yang dibutuhkan di dalam ransum ayam dapat diekspresikan dengan unit bobot nutrien per unit bobot ransum (kg nutrien/ kg ransum) ataupun dalam persen dari bobot ransum (Zuprizal dan Kamal, 2005).

Ayam mengkonsumsi ransum untuk memenuhi kebutuhan energi bagi berlangsungnya proses-proses biologis di dalam tubuh secara normal sehingga apabila kebutuhan energi terpenuhi maka ayam akan menghentikan konsumsi pakan. Selain itu, ransum juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan nutrien sebagai bahan bagi terbentuknya material jaringan dalam tubuh untuk produksi daging dan telur. Ransum dengan energi tinggi dikonsumsi lebih sedikit dibandingkan ransum dengan kandungan energi rendah. Namun, ransum dengan energi tinggi lebih efisien daripada ransum yang berenergi rendah yang pada umumya berkualitas rendah (Suprijatna et al. 2005).

D. Protein

Protein adalah unsur pokok alat tubuh dan jaringan lunak tubuh ayam yang diperlukan untuk pertumbuhan, pengelolaan dan produksi serta merupakan bagian semua enzim dalam tubuh. Protein seperti halnya karbohidrat dan lemak

(16)

commit to user

mengandung karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O) akan tetapi sebagai tambahan protein mengandung pula nitrogen (N) dan beberapa protein

mengandung sulfur (S) dan fosfor (P) (Anggorodi, 1995). Menurut Suprijatna et al. (2005) bahwa satu molekul protein tersusun atas ikatan panjang

beberapa asam amino yang disebut ikatan peptida.

Protein merupakan komponen utama jaringan tubuh yang berfungsi untuk pertumbuhan sel, memelihara membran sel, mengatur keseimbangan air dalam jaringan, penyusun antibodi, hormon dan enzim (Prawirokusumo, 1993). Pada proses hidrolisis protein oleh asam, basa atau enzim akan menghasilkan asam amino. Lebih dari 200 macam asam amino yang telah dapat diisolasi dari bahan hidup, tetapi hanya ada 20 macam asam amino saja yang umum dipandang sebagai komponen protein (Kamal, 1994).

Berdasarkan bobot kering, karkas ayam broiler umur tujuh minggu mengandung 65 persen protein. Protein tersebut berasal dari protein dalam pakan yang dikonsumsi. Selama proses pencernaan, protein pakan yang dikonsumsi dipecah menjadi asam amino dan diserap tubuh kemudian disusun kembali menjadi protein jaringan dengan proporsi kandungan asam amino yang berbeda dengan kandungan protein pakan yang dikonsumsi (Suprijatna et al. 2005).

Protein kasar atau crude protein adalah kandungan protein suatu bahan pakan/pangan dengan mengalikan 6,25 dengan kandungan nitrogennya. Kandungan N suatu bahan pakan dapat diketahui dari analisis proksimat yaitu dengan analisis Kjeldahl. Protein kasar tidak hanya mengandung true protein atau asam amino saja, tetapi juga mengandung nitrogen non-protein (NPN). Oleh karena itu, kualitas protein pakan tidak dapat hanya dilihat dari tinggi rendahnya kandungan protein kasarnya (Prawirokusumo, 1993).

Sifat-sifat protein didasarkan pada sifat asam-asam aminonya yang meliputi: jumlah asam-asam amino yang basa atau asam, kandungan kelompok ion-ion, jumlah dan besar relatif dari pusat hidrofobiknya, ada atau tidak adanya karbohidrat, lipida atau fosfat, dan apakah protein tersebut “ligand” yang dapat membentuk “chelate” dengan satu atau lebih unsur-unsur mineral yang polivalen (Wahju, 1997).

(17)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

Tinggi rendahnya nilai biologis protein tergantung dari jumlah, macam dan imbangan asam amino essensial yang menyusunnya. Semakin banyak macam dan semakin serasi imbangan asam amino yang menyusunnya, maka semakin tinggi pula nilai biologis protein tersebut. Selain itu, semakin banyak macam bahan pakan yang digunakan sebagai sumber protein maka akan memberikan nilai biologis yang tinggi pula. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh saling melengkapi dari berbagai macam protein (Zuprizal dan Kamal, 2005).

Asam amino adalah unit dasar dari struktur protein. Semua asam amino sekurang-kurangnya mempunyai satu gugus asam karboksil (-COOH) dan satu gugus amino (-NH2) pada posisi alfa dari rantai karbon yang asimetris, sehingga dapat terjadi beberapa isomer. Walaupun lebih dari 100 jenis asam amino yang berbeda yang telah diisolasi dari bahan-bahan biologi, tapi hanya ada 25 jenis yang sering dijumpai dalam protein. Dengan adanya dua gugusan tersebut, asam amino dapat bertindak sebagai buffer yang berfungsi menahan perubahan pH. Asam amino dapat digolongkan ke dalam dua macam yaitu asam amino esensial dan asam amino nonesensial. Asam amino esensial adalah asam amino yang tidak dapat atau kurang cukup disintesis oleh tubuh sedangkan asam amino nonesensial adalah asam amino yang dapat disintesis oleh tubuh dalam jumlah yang cukup (Abun, 2006).

Menurut Wahju (1992) bahwa suatu bahan sumber protein dikatakan berkualitas baik apabila persentase protein tercerna tinggi sehingga mencukupi kebutuhan sintesa protein karena adanya satu atau lebih asam amino esensial yang berarti sebagian besar kandungan proteinnya dapat dimanfaatkan oleh ternak. Ditambahkan oleh Parakkasi (1986), istilah kualitas protein ditentukan oleh ketersediaan dan jumlah asam-asam amino essensial di dalam protein yang dihubungkan dengan kebutuhan ternak. Beberapa protein meskipun mempunyai daya cerna tinggi, tetapi jika secara kualitas tidak mencukupi kebutuhan sintesa protein dalam tubuh karena kurang atau tidak tersedianya satu atau lebih asam amino essensial maka dapat disebut sebagai protein kualitas rendah. Menurut Anggorodi (1995) bahwa kualitas protein ditentukan oleh asam amino esensial dan kesanggupannya untuk menunjang pertumbuhan ayam.

(18)

commit to user

Suprijatna et al. (2005) menyatakan bahwa protein diperlukan sebagai material pembentukan jaringan dan produk (daging dan telur). Selain itu, protein juga merupakan sumber energi meskipun bukan yang utama karena memerlukan proses yang kompleks. Menurut Zuprizal dan Kamal (2005), ayam pedaging membutuhkan protein antara lain untuk pertumbuhan jaringan, pertumbuhan bulu dan untuk pemeliharaan.

Wahju (1992) menyatakan bahwa jumlah protein yang dibutuhkan untuk mencukupi nitrogen dalam penggunaan biosintesa asam-asam amino non esensial dapat segera terpenuhi dengan hampir semua macam ransum yang secara ekonomis sudah mengandung kebutuhan asam-asam amino esensial. Menurut NRC (1994), kebutuhan protein minimal dalam ransum ayam broiler fase starter sebesar 23 persen dan fase finisher sebesar 20 persen.

Kebutuhan ayam akan protein dihitung berdasarkan jumlah minimal untuk dapat mencapai pertumbuhan atau produksi yang maksimal. Jumlah minimal yang dibutuhkan tersebut harus terdapat di dalam ransum yang dikonsumsi. Oleh karena konsumsi ransum bergantung pada kandungan energi maka penentuan protein harus berimbang dengan energi dalam ransum (Suprijatna et al. 2005). Di dalam penyusunan ransum, pemberian protein yang berlebihan sangat tidak dibenarkan. Selain tidak ekonomis, hal ini dikarenakan protein yang berlebihan tidak dapat disimpan di dalam tubuh akan tetapi dipecah dan nitrogennya dikeluarkan lewat ginjal. Pemberian ransum yang kaya protein menyebabkan naiknya suhu tubuh, feses berbau busuk dan ginjal akan bekerja lebih berat (Kamal, 1994).

Menurut Wahju (1992), kebutuhan protein per hari ayam broiler dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, protein untuk pertumbuhan jaringan yang dihitung dengan mengalikan pertambahan berat badan per hari (gram) dengan 0,18 (karkas mengandung 18 persen protein) dan dibagi dengan 0,67 (efisiensi protein / retensi nitrogen sebesar 67 persen). Kedua, protein untuk hidup pokok yang dihitung dengan mengalikan berat badan (gram) dengan 0,0016 dan membaginya lagi dengan 0,67. Ketiga, protein untuk pertumbuhan bulu yaitu pada ayam umur 3 minggu bulu merupakan 4 persen dari berat badan dan akan

(19)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

meningkat menjadi 7 persen pada umur 4 minggu kemudian sesudah itu relatif tetap. Bulu mengandung kurang lebih 82 persen protein. Dengan demikian kebutuhan protein untuk pertumbuhan bulu dapat dihitung dengan cara mengalikan persentase berat bulu (0,04 atau 0,07) dengan pertambahan berat badan dalam gram dan mengalikan lagi dengan 0,82 kemudian dibagi dengan 0,67.

E. Lisin

Dalam penyusunan ransum, idealnya semua asam amino esensial dan kandungan nitrogen cukup terpenuhi guna sintesis asam amino nonesensial dalam tubuh. Apabila ransum defisien asam amino esensial maka akan mengakibatkan pertumbuhan terhambat dan tingkat produksi yang buruk. Selain itu juga menyebabkan pertumbuhan bulu menjadi lambat dan penimbunan lemak karkas meningkat. Oleh karena itu, dalam penyusunan ransum hendaknya kandungan protein dan asam amino esensial tercukupi. Meskipun protein ransum sesuai kebutuhan, tetapi jika defisien akan asam amino esensial maka akan berdampak pada efisiensi penggunaan protein yang menurun (Supijatna et al. 2005).

Sifat karakteristik lisin sintetis (L-Lisin HCl) menurut Zuprizal (2006) :

Nama kimia : L-α, E-diaminocaproic acid monohidrochloride Rumus empirik : C6H14O2N2HCl

Bobot molekul : 182,69 Suhu dekomposisi : 253 – 256 °C

Kelarutan : 65 g dalam 100 ml air pada suhu 20 °C Kadar nitrogen : 15,3 persen

Kadar protein kasar : 95,6 persen Energi (unggas) : 3.990 kcal ME/kg

Lisin adalah salah satu dari asam amino esensial yang sangat dibutuhkan oleh ayam broiler untuk pertumbuhan yang sangat cepat. Lisin merupakan asam amino kritis kedua yang harus ditambahkan dalam ransum setelah metionin karena sering defisien dalam ransum. Lisin mempunyai banyak kegunaan dalam tubuh, dan zat tersebut terkumpul dalam plasma darah apabila ransum cukup atau diperkuat oleh asam amino tersebut (Anggorodi, 1995). Menurut Ganong (2003)

(20)

commit to user

cit Hutapea (2003) bahwa pembentukan kolagen sangat membutuhkan adanya asam amino hidroksilisin, sedangkan hidroksilisin tersebut berasal dari asam amino lisin dalam ransum yang dihidroksilasi. Asam amino lisin sudah dapat diproduksi dalam bentuk garam HCl dengan kemurnian 98,5 persen L-lisin HCl atau 78,8 persen lisin. Hasil sintetis lisin berasal dari fermentasi bahan-bahan: tetes, asam asetat, protein hidrolisat, garam ammonium, vitamin, mineral mikro, ammonia dan HCl (Zuprizal, 2006).

Morris (1970) cit Aisjah et al. (2007) menyatakan bahwa melengkapi asam amino esensial ke dalam ransum yang rendah kandungan proteinnya akan menunjang pertumbuhan ayam pedaging. Hasil penelitian Hutapea (2003) menunjukkan bahwa pemberian lisin pada ayam broiler sebesar 0,3 persen dari ransum mampu meningkatkan rat-rata pertambahan bobot badan harian sebesar 3,21 g/ekor/hari. Widyani et al. (1998) cit Hutapea (2003) melaporkan bahwa kebutuhan lisin untuk broiler di Indonesia adalah 1,44 persen dari ransum pada fase starter dan 1,19 persen pada fase finisher.

Suplementasi lisin dalam ransum berfungsi meningkatkan sintesis protein tubuh sehingga dapat meningkatkan laju pertumbuhan, pertambahan bobot badan dan efisiensi ransum ayam broiler serta dapat meningkatkan kandungan protein karkas (Labadan et al. 2001). Defisiensi ringan dari asam amino esensial (lisin) akan mengakibatkan penurunan pertumbuhan sesuai dengan derajat defisiensinya. Defisiensi asam amino lisin yang hebat akan menyebabkan segera berhentinya pertumbuhan dan kehilangan pertumbuhan rata-rata 6-7 persen berat badan per hari (Wahju, 1997).

F. Retensi Nitrogen

Keseimbangan nitrogen (N) dalam tubuh dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan protein untuk hidup pokok, pertumbuhan dan produksi serta dapat digunakan untuk mengetahui kualitas protein atau nilai biologis dari protein (Zuprizal dan Kamal, 2005). Lebih lanjut dijelaskan bahwa baik tidaknya kualitas protein dalam ransum ternak ditentukan oleh besar kecilnya nitrogen yang dapat diserap melalui pengukuran retensi nitrogen atau satu-satuan seperti nilai biologis, rasio efisiensi protein (PER) dan neraca nitrogen.

(21)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

Banyaknya nitrogen yang diretensi dalam tubuh ternak akan mengakibatkan ekskreta mengandung sedikit nitrogen urin dan energi yang kecil dibandingkan dengan ternak yang tidak meretensi nitrogen. Semakin tinggi jumlah protein yang dikonsumsi maka semakin tinggi kandungan protein yang dikeluarkan melalui urin dan feses (Wahju, 1992). Ditambahkan oleh Sutardi (1980) cit Praceka (2008) bahwa tidak semua nitrogen yang dikonsumsi dapat diretensi, tetapi sebagian dibuang melalui feses dan urin, sedangkan nitrogen yang diekskresikan tidak semua berasal dari nitrogen bahan makanan yang tidak diserap tetapi berasal dari peluruhan sel mukosa usus, empedu maupun saluran pencernaan. Menurut Wahju (1992), ayam broiler mampu meretensi nitrogen sebesar 67 persen.

Retensi nitrogen yaitu selisih antara nilai konsumsi nitrogen dengan nilai nitrogen yang diekskresikan setelah dikoreksi dengan nilai ekskresi nitrogen endogenus (Sibbald dan Wolynetz, 1985 cit Praceka, 2008). Zuprizal dan Kamal (2005) menyatakan bahwa retensi akan positif apabila N yang dikonsumsi lebih banyak dibandingkan dengan yang keluar melalui feses dan urine sedangkan retensi akan negatif apabila N yang dikonsumsi lebih sedikit dibandingkan dengan yang keluar melalui feses dan urine. Bila konsumsi dan pengeluaran N sama disebut neraca N dalam tubuh seimbang. NRC (1994) cit Praceka (2008) menjelaskan bahwa jika nitrogen tidak diretensi, maka nitrogen akan muncul sebagai asam urat dengan nilai koreksi sebesar 34,4 kj/g atau 8,22 kkal/g. Retensi nitrogen yaitu nilai energi yang dihasilkan ketika asam urat dioksidasi secara sempurna.

Tingkat retensi nitrogen bergantung pada konsumsi nitrogen dan energi metabolis ransum, akan tetapi peningkatan energi metabolis ransum tidak selalu diikuti oleh peningkatan retensi nitrogen. Konsumsi nitrogen yang meningkat diikuti dengan peningkatan retensi nitrogen, akan tetapi tidak selalu diikuti dengan peningkatan bobot badan, jika energi ransum rendah. Pada tingkat protein yang sama, pertambahan bobot badan meningkat dengan energi dalam ransum yang semakin tinggi. Peningkatan retensi nitrogen berarti semakin banyak nitrogen yang dimanfaatkan oleh tubuh ternak (Wahju, 1997).

(22)

commit to user

Nilai retensi bervariasi untuk masing-masing unggas, tergantung dari kemampuan unggas untuk menahan nitrogen di dalam tubuh dan tidak dikeluarkan sebagai nitrogen dalam urin dan feses (Sibbald dan Wolynetz, 1985 cit Praceka, 2008). Terdapat hubungan yang nyata antara retensi nitrogen dengan pertambahan bobot badan. Dengan meningkatnya retensi nitrogen maka pertambahan bobot badan akan meningkat dan begitu juga sebaliknya (Wahju, 1992).

G. Rasio Efisiensi Protein

Menurut Wahju (1992), Rasio Efisiensi Protein (PER) merupakan metode pengukuran kualitas protein yang paling tua yang dihitung dari pembagian pertambahan berat badan dengan konsumsi protein. Metode ini telah banyak digunakan untuk menghitung kualitas protein dan untuk mengukur nilai bahan ransum sumber protein. Prawirokusumo (1993) menyatakan bahwa analisa PER didasari suatu pengertian bahwa semua protein digunakan untuk pertumbuhan sehingga perhitungannya merupakan rasio antara jumlah gram weight gain dengan jumlah protein yang dikonsumsi. Tillman et al. (1991) menyatakan bahwa nilai rasio efisiensi protein akan bervariasi sesuai dengan sumber protein yang berbeda terutama terhadap asam amino essensial. Protein ransum yang berkualitas baik akan meningkatkan pertambahan berat badan setiap unit protein yang dikonsumsi dibandingkan dengan protein ransum yang berkualitas rendah. Menurut Zuprizal dan Kamal ( 2005) bahwa rasio efisiensi protein merupakan salah satu metode pengukuran baik tidaknya kualitas protein dalam ransum ternak yang ditentukan oleh besar kecilnya nitrogen yang mampu digunakan untuk pertumbuhan. Menurut Zuprizal dan Kamal (2005), efisiensi penggunaan protein pada ayam broiler sebesar 64 persen.

(23)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

III. MATERI DAN METODE

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kandang yang berlokasi di Desa Keyongan RT 02 RW 06 Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali yang dimulai pada 02 sampai 30 Agustus 2011. Analisis bahan percobaan dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Jurusan Peternakan dan Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

B. Bahan dan Alat Penelitian

1. Ternak

Ayam broiler jantan umur 11 hari strain Lohmann MB 202 Grade Platinum dari PT. Multi Breeder Adirama Indonesia Tbk. berjumlah 100 ekor dengan bobot badan 198,34 ± 33,85 gram.

2. Ransum

Ransum yang digunakan dalam penelitian ini adalah ransum basal yang disuplementasi lisin dalam berbagai tingkat sesuai dengan perlakuan. Ransum basal yang digunakan terdiri dari jagung kuning, bekatul, bungkil kedelai, Meat

Bone Meal (MBM), minyak sawit, premix, metionin, garam dan grit.

Tabel 1. Kebutuhan nutrien ayam broiler

No. Nutrien (persen) Starter

(1-21 hari)

Finisher (21-42 hari)

1. Metabolisme Energi (Kkal/kg) 3200,00 3200,00

2. Protein Kasar 23,00 20,00 3. Serat Kasar 4,00 5,00 4. Lemak 6,00 6,00 5. Ca 1,00 0,90 6. P 0,45 0,35 7. Lisin 1,10 1,00 8. Metionin 0,50 0,38 Sumber : NRC (1994)

(24)

commit to user

Tabel 2. Kandungan nutrien bahan ransum ransum perlakuan

No Bahan

Ransum

Nutrien (persen)

BK ME2)

(Kkal/Kg)

PK SK LK Ca2) Pter2) Lis2) Met2)

1. Jagung1) 86,01 3275,00 6,37 0,46 2,39 0,02 0,07 0,28 0,18 2. Bekatul1) 90,41 3179,00 8,63 18,51 4,13 0,20 0,07 0,27 0,26 3. B. Kedelai1) 90,18 2230,00 40,57 2,20 0,53 0,24 0,21 2,56 0,60 4. MBM2) 86,00 2150,00 50,40 1,40 8,40 10,30 5,10 2,60 0,69 5. M. Sawit2) - 9000,00 - - 100 - - - - 6. Premix3) - - - 50,00 15,00 - - 7. Lisin sintetis4) - - - 78,88 - 8. Metionin2) - - - 99,00

Sumber : 1)Hasil Analisis Lab. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, UNS (2011)

2)

NRC (1994)

3) Mineral B12 (Produksi Eka Farma Semarang)

4) ADM L-Lysin HCl (Produksi Archer Daniel Midland Company, USA)

Tabel 3. Susunan ransum perlakuan fase starter.

Hasil perhitungan dari Tabel 2.

No Bahan ransum Persen

P0 P1 P2 P3 1. Jagung 53,00 53,00 53,00 53,00 2. Bekatul 11,00 11,00 11,00 11,00 3. Bungkil kedelai 26,00 26,00 26,00 26,00 4. MBM 7,00 7,00 7,00 7,00 5. Minyak sawit 2,00 2,00 2,00 2,00 6. Premix 0,40 0,40 0,40 0,40 7. Garam 0,20 0,20 0,20 0,20 8. Grit 0,20 0,20 0,20 0,20 9. Metionin 0,20 0,20 0,20 0,20 10. Lisin sintetis 0,00 0,13 0,25 0,38 Jumlah 100,00 100,13 100,25 100,38 Kandungan nutrien: 1. ME (Kkal/Kg) 2995,74 2992,75 2989,76 2986,78 2. Protein kasar 18,40 18,38 18,36 18,34 3. Serat kasar 2,95 2,95 2,94 2,94 4. Lemak kasar 3,96 3,96 3,95 3,95 5. Ca 1,00 1,00 1,00 1,00 6. P tersedia 0,51 0,51 0,51 0,51 7. Lisin 1,02 1,12 1,22 1,32 8. Metionin 0,52 0,52 0,52 0,52

(25)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

Tabel 4. Susunan ransum perlakuan fase finisher

Hasil perhitungan Tabel 2. 3. Kandang dan Peralatan

1. Kandang

Penelitian ini menggunakan 20 petak kandang dengan ukuran (1 x 1 x 0,5) m3 dimana setiap petak kandang diisi dengan lima ekor ayam. Bahan untuk sekat kandang terbuat dari bambu.

2. Peralatan

Peralatan yang digunakan antara lain :

1) Tempat ransum terbuat dari bambu dan minum terbuat dari plastik masing-masing berjumlah 20 buah yang ditempatkan 1 buah pada setiap petak kandang.

2) Termometer

Termometer ruang untuk mengetahui suhu ruang kandang dalam satuan derajat celcius.

No Bahan Ransum Persen

P0 P1 P2 P3 1. Jagung 52,00 52,00 52,00 52,00 2. Bekatul 22,00 22,00 22,00 22,00 3. Bungkil kedelai 19,00 19,00 19,00 19,00 4. MBM 4,50 4,50 4,50 4,50 5. Minyak sawit 1,00 1,00 1,00 1,00 6. Premix 1,00 1,00 1,00 1,00 7. Garam 0,20 0,20 0,20 0,20 8. Grit 0,20 0,20 0,20 0,20 9. Metionin 0,10 0,10 0,10 0,10 10. Lisin sintetis 0,00 0,13 0,25 0,38 Jumlah 100,00 100,13 100,25 100,38 Kandungan nutrien: 1. ME (Kkal/Kg) 3012,83 3009,82 3006,82 3003,82 2. Protein kasar 15,18 15,16 15,15 15,13 3. Serat kasar 4,79 4,79 4,78 4,78 4. Lemak kasar 3,31 3,31 3,30 3,30 5. Ca 1,06 1,06 1,06 1,06 6. P tersedia 0,47 0,47 0,47 0,47 7. Lisin 0,80 0,90 1,00 1,10 8. Metionin 0,39 0,39 0,39 0,39

(26)

commit to user

3) Timbangan

Timbangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan merk SHUMA kapasitas tiga kg dengan kepekaan satu gram untuk menimbang ransum dan ayam broiler.

4) Lampu pijar

Lampu pijar 15 watt sebanyak 20 buah yang ditempatkan satu buah untuk setiap petak kandang.

5) Vaksin, vitamin dan antibiotik

Selama pemeliharaan dilakukan vaksinasi menggunakan vaksin ND B1, Gumboro dan ND La sota. Dilakukan program pemberian vitamin berupa Caprivit dan Vitastress serta antibiotik merk Trimezyn. Tabel 5. Program pemberian vaksin

6) Alat tulis

Digunakan untuk pencatatan selama penelitian.

C. Persiapan Penelitian

1. Persiapan Kandang

Sebelum dilakukan pemeliharaan, kandang terlebih dahulu dibersihkan dan didesinfeksi menggunakan formalin dengan perbandingan 1 : 30 liter air. Dilakukan pengapuran lantai dan penyekatan kandang, pencucian tempat ransum dan minum dengan merendamnya dalam larutan antiseptik kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Sekam yang akan digunakan sebagai litter didesinfeksi dengan Antisep. Kandang

brooder disiapkan untuk memelihara DOC sampai umur 10 hari sebelum

dikelompokkan dalam perlakuan.

Umur (hari) Vaksin yang diberikan Cara Pemberian

4 ND B1 Tetes mata

12 Gumboro B Air minum

(27)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

2. Persiapan Ayam

DOC sebanyak 100 ekor terlebih dahulu ditimbang untuk mengetahui berat badan awal dan ditempatkan pada kandang brooder kemudian diberikan air gula 2 persen. Sampai dengan umur 10 hari, ayam diberi ransum jadi produksi PT. Japfa Comfeed Indonesia Tbk. Pemberian ransum perlakuan dimulai pada umur 11 hari.

3. Penentuan Petak Kandang

Penentuan petak kandang dilakukan secara acak yaitu dengan cara pengundian.

4. Persiapan Ransum dan Perlakuan

Dilakukan pencampuran bahan ransum yang berupa jagung kuning, bekatul, bungkil kedelai, MBM, minyak sawit, premix, metionin, garam, dan grit sesuai dengan persentase pada Tabel 3 dan Tabel 4. Selanjutnya dilakukan suplementasi lisin dalam ransum sesuai perlakuan.

D. Cara Penelitian

1. Macam Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. 2. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah dengan empat perlakuan ransum, masing-masing diulang lima kali dan setiap ulangan terdiri dari lima ekor ayam. Adapun perlakuannya sebagai berikut :

P0 : Ransum basal (kontrol)

P1 : Ransum basal + 0,1 persen lisin

P2 : Ransum basal + 0,2 persen lisin

P3 : Ransum basal + 0,3 persen lisin

3. Peubah yang diamati dalam penelitian: a. Konsumsi protein (gram).

Konsumsi protein diperoleh dengan cara mengalikan jumlah konsumsi ransum dengan kandungan protein ransum perlakuan (Wahju, 1992).

(28)

commit to user

b. Rasio efisiensi protein.

Dihitung dari pembagian antara pertambahan bobot badan dengan jumlah protein yang dikonsumsi (Wahju, 1992).

c. Konsumsi nitrogen (g/ekor/hari)

Nilai ini diperoleh dengan cara mengalikan jumlah konsumsi bahan pakan dengan kandungan protein kasar bahan pakan perlakuan (Anindyka, 2011).

d. Ekskresi nitrogen (gran/ekor/hari).

Nilai ini diperoleh dengan mengalikan jumlah ekskreta dengan kandungan nitrogen pada ekskreta (Anindyka, 2011).

e. Retensi nitrogen (persen)

Retensi nitrogen yang dihitung merupakan persentase selisih jumlah nitrogen yang dikonsumsi dengan jumlah nitrogen dalam ekskreta yang dikoreksi dengan nilai nitrogen endogenus (Wahju, 1997).

4. Pelaksanaan penelitian

Penelitian dilaksanakan selama 29 hari dan pengambilan data mengenai ekskresi dan retensi nitrogen dilakukan selama tiga hari terakhir masa pemeliharaan. Untuk menghitung ekskresi dan retensi nitrogen digunakan ayam broiler umur 35 hari sebanyak 40 ekor. Untuk pengukuran nilai nitrogen endogenus, ekskreta diambil dari 4 ekor ayam yang dipuasakan selama tiga hari dengan pemberian air minum secara ad-libitum.

Metode pengambilan data retensi nitrogen dilakukan dalam dua periode. Periode pertama, yaitu masa pemuasaan ayam. Sebelum dipuasakan, ayam ditimbang untuk mengetahui bobot badan awal. Periode pemuasaan ayam adalah penghentian pemberian ransum tanpa menghentikan pemberian air minum yang bertujuan untuk mengosongkan saluran pencernaan dari sisa-sisa ransum sebelumnya. Pemuasaan ini dilakukan selama 24 jam untuk memastikan ransum sebelumnya tidak terdapat di dalam saluran pencernaan.

(29)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

Periode kedua adalah periode pemberian perlakuan. Pada masa ini setelah ayam dipuasakan, kemudian ditimbang untuk mengetahui bobot ayam setelah pemuasaan. Setelah itu ayam dimasukkan dalam kandang yang sudah dilengkapi dengan plastik penampung ekskreta dibawah kandang dan dilakukan pemberian ransum sesuai perlakuan.

Penampungan ekskreta dilakukan setiap 24 jam selama tiga hari dan dilakukan penyemprotan H2SO4 0,01N setiap dua jam untuk mencegah

penguapan nitrogen. Ekskreta hasil penampungan dibersihkan dari bulu dan kotoran lainnya, kemudian ditimbang dan selanjutnya dikeringkan dengan sinar matahari. Ekskreta yang sudah kering kemudian dianalisis kandungan nitrogennya.

E. Cara Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis menggunakan analisa variansi berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah untuk mengetahui adanya pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati. Apabila hasil analisis data penelitian berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan Uji Ortogonal Kontras untuk membandingkan perbedaan antar empat perlakuan (Hanafiah, 2002).

Analisis Statistik

Model matematika yang digunakan adalah sebagai berikut :

Keterangan :

Yij = nilai pengamatan pada satuan perlakuan ke-i ulangan ke-j µ = nilai tengah perlakuan ke-i

ti = pengaruh perlakuan ke-i

εij = kesalahan (galat) percobaan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j

(30)

commit to user

23

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Konsumsi Protein

Rata-rata jumlah konsumsi protein ayam broiler jantan hasil penelitian disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Rata-rata konsumsi protein selama penelitian (gram/ekor/hari)

Perlakuan Ulangan Rata-rata

1 2 3 4 5

P0 12,94 13,47 12,47 15,14 13,32 13,47

P1 12,77 14,22 14,29 13,33 12,73 13,47

P2 13,26 15,33 12,16 15,44 14,70 14,18

P3 16,18 13,69 14,00 16,20 14,12 14,84

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa suplementasi lisin sampai taraf 0,3 persen dalam ransum rendah protein berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap konsumsi protein ayam broiler jantan. Konsumsi protein yang berbeda tidak nyata pada masing-masing perlakuan dalam penelitian ini diduga disebabkan karena konsumsi ransum pada masing-masing perlakuan yang relatif sama. Konsumsi protein adalah jumlah protein yang masuk ke dalam tubuh yang diperoleh dengan mengalikan konsumsi ransum dengan kandungan protein ransum. Pada tingkat kandungan protein dalam ransum sama maka konsumsi protein dipengaruhi oleh jumlah konsumsi ransum (Wahju, 1992).

Hutapea (2003) menyatakan bahwa unggas mempunyai kemampuan memilih ransum sehingga akan mempengaruhi kandungan protein dan atau kandungan asam amino yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhannya. Widyani et al. (2001) menyatakan bahwa ayam akan melakukan kompensasi makan lebih banyak pada tingkat nutrien yang lebih rendah untuk memenuhi kebutuhan. Salah satunya ransum dengan kandungan asam amino esensial yang lebih rendah akan dikonsumsi lebih banyak untuk kompensasi guna memenuhi kebutuhan asam amino esensial (Widyani et al. 1989). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ransum (kontrol) dengan kandungan protein dan lisin 18,14 persen; 1,02 persen pada fase starter dan 15,18 persen; 0,8 persen pada fase

(31)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

kompensasi nutrien (asam amino lisin) walaupun angka tersebut lebih rendah dari rekomendasi NRC (1994) yaitu sebesar 1,1 persen untuk fase starter dan 1,0 persen untuk fase finisher. Menurut Kim et al. (1997) cit Hutapea (2003) total kebutuhan lisin untuk ayam broiler sebesar satu persen dari ransum.

Hasil ini sesuai dengan penelitian Rezaei et al. (2004) yang menyebutkan bahwa suplementasi lisin sampai taraf 3,0 gr/kg tidak mempengaruhi konsumsi ransum sehingga menyebabkan konsumsi protein yang tidak berbeda pada ayam broiler. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Silitonga (2003) bahwa penambahan asam amino lisin dan metionin sebesar 20 persen dari rekomendasi NRC (0,22 persen dari ransum) tidak memberikan pengaruh terhadap konsumsi protein itik persilangan Mojosari Alabio.

B. Rasio Efisiensi Protein

Rata-rata rasio efisiensi protein ayam broiler jantan hasil penelitian disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Rata-rata rasio efisiensi protein hasil penelitian

Perlakuan Ulangan Rata-rata

1 2 3 4 5

P0 3,08 3,17 3,10 3,12 3,31 3,16

P1 3,52 3,37 3,27 3,30 3,41 3,37

P2 3,30 3,84 3,43 3,29 3,51 3,47

P3 3,53 3,40 2,89 3,50 3,53 3,37

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa suplementasi lisin sampai taraf 0,3 persen dalam ransum rendah protein berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap rasio efisiensi protein ayam broiler jantan. Rasio efisiensi protein yang berbeda tidak nyata ini diduga disebabkan karena pertambahan berat badan dan konsumsi protein antar perlakuan yang berbeda tidak nyata. Sesuai dengan pendapat Parakkasi (1986); Prawirokusumo (1993); Tillman et al. (1991) dan Wahju (1992) bahwa rasio efisiensi protein mencerminkan penggunaan protein untuk pertumbuhan sehingga pertambahan berat badan dan besarnya jumlah protein yang dikonsumsi berpengaruh terhadap tingkat efisiensi protein. Penelitian Aisjah et al. (2007) menunjukkan bahwa ayam broiler yang mempunyai

(32)

commit to user

pertumbuhan dan konsumsi protein yang sama mengakibatkan efisiensi protein yang tidak berbeda.

Tillman et al. (1991) menyatakan bahwa nilai rasio efisiensi protein akan bervariasi dengan sumber protein yang berbeda karena komposisi protein bervariasi terhadap ketersediaan asam amino esensial. Dengan tingkat efisiensi protein yang relatif sama pada masing-masing perlakuan menunjukkan bahwa suplementasi lisin sampai taraf 0,3 persen diduga belum dapat meningkatkan kualitas dari ransum perlakuan sehingga jumlah protein yang digunakan untuk pertumbuhan menjadi relatif sama.

Suplementasi lisin dalam ransum belum mampu digunakan secara optimal untuk meningkatkan sintesis protein tubuh. Hal ini diduga disebabkan oleh suplementasi lisin belum dapat meningkatkan keserasian imbangan asam-asam amino esensial penyusun ransum sehingga kualitas ransum pada masing-masing perlakuan sama. Menurut Harper (1992) cit Hutapea (2003) bahwa sintesis protein tubuh ditentukan oleh ketersediaan asam amino dari ransum sesuai dengan distribusi yang dibutuhkan untuk sintesis protein. Tillman et al. (1991) bahwa kualitas protein yang rendah dapat mengakibatkan lambatnya pertumbuhan dan tingginya kadar protein dalam feses karena protein yang dikonsumsi tidak banyak diserap dan digunakan oleh tubuh.

Hasil penelitian ini tidak sependapat dengan hasil penelitian Aisjah et al. (2007) yang menunjukkan bahwa suplementasi asam amino metionin

berpengaruh nyata terhadap rasio efisiensi protein ayam pedaging. Penelitian Hutapea (2003) bahwa perlakuan penambahan lisin sebesar 0,3 persen dapat menaikkan rasio efisiensi protein yang lebih baik sebesar 21,09 persen dibandingkan perlakuan tanpa penambahan lisin dalam ransum ayam pedaging.

(33)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

C. Konsumsi Nitrogen

Rata-rata jumlah konsumsi nitrogen ayam broiler jantan hasil penelitian disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Rata-rata konsumsi nitrogen hasil penelitian (gram/ekor/hari)

Perlakuan Ulangan Rata-rata

1 2 3 4 5

P0 3,13 2,98 3,01 3,29 3,08 3,10

P1 2,83 3,08 2,96 3,18 2,95 3,00

P2 3,13 3,34 3,24 3,33 3,30 3,23

P3 3,11 3,22 3,20 3,23 2,78 3,11

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa suplementasi lisin sampai taraf 0,3 persen dalam ransum berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap konsumsi nitrogen. Konsumsi nitrogen yang berbeda tidak nyata pada masing-masing perlakuan diduga disebabkan oleh konsumsi ransum yang relatif sama. Suplementasi lisin sampai taraf 0,3 persen dalam ransum rendah protein tidak mampu meningkatkan kualitas ransum secara keseluruhan sehingga menyebabkan konsumsi ransum menjadi relatif sama pada masing-masing perlakuan. Pada kandungan protein sama, konsumsi ransum yang relatif sama menyebabkan konsumsi nitrogen juga berbeda tidak nyata.

Menurut Anindyka (2011) jika konsumsi ransum rendah maka jumlah konsumsi nitrogen juga akan rendah dan begitu juga sebaliknya. Konsumsi ransum dipengaruhi oleh tingkat energi ransum, kondisi lingkungan, kandungan nutrien, stress, besar tubuh, kuantitas dan kualitas ransum. Lebih lanjut dijelaskan bahwa konsumsi nitrogen juga dipengaruhi oleh kandungan protein dalam ransum. Kualitas dan kuantitas kandungan protein yang sama akan menyebabkan jumlah nitrogen yang dikonsumsi menjadi tidak berbeda. Menurut Winter dan Funk (1960) cit Abun dan Rusmana (2006) bahwa ransum yang mempunyai kandungan protein dengan kualitas yang baik menyebabkan palatabilitasnya tinggi, sehingga menyebabkan konsumsi ransum menjadi meningkat dan pada akhirnya konsumsi nitrogen juga menjadi meningkat.

(34)

commit to user

D. Ekskresi Nitrogen

Rata-rata jumlah ekskresi nitrogen ayam broiler jantan hasil penelitian disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Rata-rata ekskresi nitrogen hasil penelitian (gram/ekor/hari)

Perlakuan Ulangan Rata-rata

1 2 3 4 5

P0 1,90 2,23 2,18 2,44 2,31 2,21

P1 2,02 2,46 2,18 2,49 2,29 2,29

P2 2,09 2,33 2,29 2,58 2,35 2,33

P3 2,38 2,35 2,52 2,55 2,46 2,46

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa suplementasi lisin sampai taraf 0,3 persen dalam ransum rendah protein berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap ekskresi nitrogen. Nilai ekskresi nitrogen tiap perlakuan yang berbeda tidak nyata diduga disebabkan karena konsumsi protein dan retensi nitrogen pada masing-masing perlakuan yang berbeda tidak nyata. Menurut Wahju (1992) dan Suprijatna et al. (2009) bahwa semakin tinggi jumlah protein yang dikonsumsi maka semakin tinggi pula kandungan protein yang dikeluarkan melalui urin dan feses. Oleh karena itu, konsumsi protein pada masing-masing perlakuan yang relatif sama diduga menyebabkan jumlah ekskresi nitrogen menjadi sama pula.

Sutardi (1980) cit Praceka (2008) menyatakan bahwa tidak semua nitrogen yang dikonsumsi dapat diretensi, tetapi sebagian dibuang melalui ekskreta. Lebih lanjut dijelaskan bahwa nitrogen yang diekskresikan tidak semua berasal dari nitrogen ransum yang tidak diserap tetapi berasal dari peluruhan sel mukosa usus, empedu maupun saluran pencernaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suplementasi lisin pada masing-masing perlakuan belum mampu meningkatkan retensi dan pemanfaatan nitrogen oleh tubuh sehingga menyebabkan jumlah nitrogen yang dibuang dalam ekskreta menjadi relatif sama. NRC (1994) menyatakan bahwa jika nitrogen ransum yang diretensi lebih banyak dalam tubuh ternak maka akan mengakibatkan ekskreta mengandung sedikit nitrogen. Tillman et al. (1991) bahwa kualitas protein yang rendah dapat mengakibatkan lambatnya pertumbuhan dan tingginya kadar protein dalam feses karena protein yang dikonsumsi tidak banyak diserap dan digunakan oleh tubuh.

(35)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

Suplementasi lisin dalam ransum belum mampu meningkatkan pemanfaatan protein oleh tubuh sehingga jumlah protein yang terbuang berupa nitrogen ekskreta pada masing-masing perlakuan menjadi relatif sama.

E. Retensi Nitrogen

Rata-rata persentase retensi nitrogen ayam broiler jantan hasil penelitian disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Rata-rata retensi nitrogen hasil penelitian (persen)

Perlakuan Ulangan Rata-rata

1 2 3 4 5

P0 41,81 27,88 29,66 28,18 27,21 30,95

P1 31,26 22,22 27,87 23,78 26,28 26,28

P2 36,04 33,16 32,36 25,19 31,83 31,72

P3 25,93 29,08 23,73 23,12 25,46 25,46

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa suplementasi lisin sampai taraf 0,3 persen dalam ransum rendah protein berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap retensi nitrogen. Nilai retensi nitrogen yang berbeda tidak nyata antar perlakuan diduga disebabkan karena konsumsi protein pada masing-masing perlakuan yang berbeda tidak nyata. Tingkat retensi nitrogen bergantung pada jumlah konsumsi protein (Wahju, 1997; Abun, 2006; Suprijatna, 2009), energi metabolis (Wahju, 1997) dan kualitas ransum (Abun, 2006). Suplementasi lisin sampai taraf 0,3 persen dalam ransum belum mampu meningkatkan konsumsi protein sehingga jumlah nitrogen yang masuk dalam tubuh relatif sama. Menurut Wahju (1992) dan Suprijatna (2009) yang menyatakan bahwa konsumsi nitrogen yang tidak berbeda akan diikuti dengan tingkat retensi nitrogen yang tidak berbeda pula.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa retensi nitrogen bernilai positif walaupun nilainya lebih kecil dari yang dikemukakan oleh Wahju (1992) bahwa ayam broiler mampu meretensi nitrogen sebesar 67 persen. Retensi nitrogen menunjukkan keefektifan ternak dalam menyerap nitrogen (Anindyka, 2011). Retensi nitrogen merupakan pencerminan dari kualitas protein yang ditentukan oleh besar kecilnya nitrogen yang dapat ditahan (diretensi) oleh tubuh (Zuprizal dan Kamal, 2005).

(36)

commit to user

Suplementasi lisin sampai taraf 0,3 persen dalam ransum rendah protein belum mampu meningkatkan kualitas protein ransum sehingga jumlah nitrogen yang mampu diretensi oleh tubuh relatif sama. Hal ini diduga disebabkan karena suplementasi lisin dalam penelitian ini belum dapat meningkatkan keserasian imbangan asam-asam amino esensial penyusun ransum sehingga kualitas ransum pada masing-masing perlakuan P0 (kontrol), P1, P2 dan P3 tidak berbeda. Menurut Zuprizal dan Kamal (2005) bahwa kualitas ransum tidak hanya dapat dilihat dari jumlah dan macam asam amino esensial penyusun protein, akan tetapi kualitas ransum ditentukan juga oleh keserasian asam amino esensial penyusun protein. Menurut Winter dan Funk (1960) cit Abun dan Rusmana (2006) bahwa ransum yang mempunyai kandungan protein dengan kualitas yang baik menyebabkan palatabilitasnya tinggi, sehingga konsumsi ransum meningkat dan akibatnya nilai retensi nitrogennya semakin meningkat pula.

Hal lain yang diduga menyebabkan nilai retensi nitrogen berbeda tidak nyata adalah daya cerna protein pada masing-masing ransum perlakuan yang relatif sama. Wahju (1997) menyatakan bahwa daya cerna protein dalam ransum dapat mempengaruhi tingkat nitrogen yang diretensi. Menurut Abun (2006) bahwa retensi nitrogen merupakan perluasan pengukuran daya cerna dengan mengukur kehilangan-kehilangan lain karena penggunaan nitrogen ransum. Menurut Wahju (1992) bahwa suatu bahan sumber protein dikatakan berkualitas baik apabila persentase protein tercerna tinggi sehingga mencukupi kebutuhan sintesa protein karena adanya satu atau lebih asam amino esensial yang berarti sebagian besar kandungan proteinnya dapat dimanfaatkan oleh ternak. Suplementasi lisin dalam ransum tidak mampu meningkatkan daya cerna protein sehingga jumlah nitrogen yang dapat diretensi oleh tubuh pada tiap perlakuan relatif sama.

(37)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

V. KESIMPULAN

1. Suplementasi lisin sampai taraf 0,3 persen dalam ransum rendah protein tidak dapat meningkatkan konsumsi protein, konsumsi nitrogen, rasio efisiensi protein dan retensi nitrogen ayam broiler jantan.

2. Suplementasi lisin sampai taraf 0,3 persen dalam ransum rendah protein tidak dapat menurunkan jumlah ekskresi nitrogen ayam broiler jantan.

Gambar

Tabel 1. Kebutuhan nutrien ayam broiler
Tabel 2. Kandungan nutrien bahan ransum ransum perlakuan
Tabel 4. Susunan ransum perlakuan fase finisher
Tabel 7. Rata-rata rasio efisiensi protein hasil penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan telah berakhirnya masa sanggah terhadap Pengumuman Hasil Kualifikasi Nomor : 602.1/07/Pokja Bappeda/Perencanaan-SS/IV/2013, tanggal 12 April 2013 untuk paket

Baja (St.42) adalah baja yang mempunyai kekuatan atau tegangan tarik maksimum lebih kurang 42 N/mm 2 .Penelitian ini bertujuan untuk menemukan perubahan kekuatan

Dari kedua poin yang dicanangkan oleh Kemendikbud itu dapat dipahami bahwa kedua poin itu menekankan agar peserta didik menjadi pribadi yang peduli pada

Bagi hutan yang berstatus sebagai Hutan Larangan Adat Rumbio yang memiliki potensi untuk ikut ambil bagian, namun saat ini Hutan Larangan Adat belum

Begitu pula dengan makna gramatikal, dideskripsikan pada leksikon yang yang berbentuk kata jadian, meliputi kata berimbuhan, kata ulang, dan kelompok kata

Peneliti etnografi selalu tertarik dengan mata pencaharian suatu suku bangsa, karena suatu mata pencaharian berhubungan erat dengan usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup..

Limbah Plastik Untuk Gagang Pisau” Jurusan Fakultas Teknik Universitas

52 Pemantapan   LPJ   APBD   kepada   Bendahara   Penerima, Pengeluaran,   PPK,   Pembuku   dalam   rangka   Penyusunan Laporan Keuangan.