• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAYA BAHASA SAJAK ORANG LAPAR KARYA W.S. RENDRA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAYA BAHASA SAJAK ORANG LAPAR KARYA W.S. RENDRA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

GAYA BAHASA SAJAK ORANG LAPAR

KARYA W.S. RENDRA

Roely Ardiansyah

Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Email: ardiansyah_roely@yahoo.co.id

Abstrak : Teks puisi sajak orang lapar karya W.S Rendra ini menceritakan kehidupan sosial di masyarakat. Berdasar pada fenomena tersebut teks puisi ini disajikan dengan gaya bahasa yang bervariasi. Penggunaan gaya bahasa yang paling dominan adalah metafora. Selain itu, juga terdapat perumpamaan, anafora, hiperbola, ironi, dan sinekdoke (pars pro toto). Variasi gaya bahasa tersebut sudah diterapkan secara maksimal di tiap bait atau baris.

Kata kunci: gaya bahasa, sajak

Abstract: Text rhyme poem by WS Rendra hungry person is telling the social life in the community. Based on these phenomena text of this poem is presented in a style that varies. The use of force is the most dominant language of metaphor. In addition, there is also a metaphor, anaphora, hyperbole, irony, and sinekdoke (pars pro toto). Variations style has been applied to the maximum in each stanza or line.

Keyword: figure of speech, poem

PENDAHULUAN

Teks sastra merupakan wujud objektif paparan bahasa. Paparan itu mengandung sebuah dunia lain. Pada dunia lain itulah letak esensi teks sastra, dan bukan pada teks yang dalam arti umum dinyatakan sebagai wujud konkrit wacana. Berorentasi pada wawasan Derrida, nama lain paling tepat untuk teks sastra adalah archi-ecriture. Pengertian archi-ecriture ialah fenomena kebahasaan yang tidak lagi dapat disebut sebagai bahasa tulis atau bahasa lisan.

Pernyataan di depan menegaskan bahwa pengkajian bahasa dalam sastra merupakan hal terpenting. Karena kajian bahasa dalam sastra tidak mungkin ditinggalkan. Hal itu disebabkan oleh sifat sastra yang bermedium bahasa. Karena bahasa merupakan esensi untuk membangun karya sastra, sebagaimana yang sudah diterapkan oleh W.S. Rendra seniman besar, milik Indonesia, permata

mulia yang miliki kemampuan dan pikiran-pikiran tajam. Dengan demikian, W.S. Rendra selalu mengungkap apa yang dirasa, tanpa rasa takut, sehingga dirinya tetap berekspresi melalui bahasa, yang dikemas dalam bentuk puisi. Oleh sebab itu, hasil karyanya selalu mengkritik pemerintahan, sehingga dirinya pernah dicekal dan dipenjara. Tetapi, W.S. Rendra tidak pernah jera. Rendra adalah empu yang mumpuni, hingga kini dia terus memberi kontribusi atas berbagai pikiran yang benar (http//www.biografi.wsrendra.com). Hal demikian sudah terbukti, khususnya pada puisi “Sajak Orang Lapar” yang ditulis pada bulan Juli 2006, yang bertema tentang sosial yaitu, menceritakan keadaan kelaparan yang dialami oleh masyarakat miskin (http//www.puisiwsrendra.puisi.org.htm).

Berdasar pada uraian di depan, pembahasan ini difokuskan pada

▸ Baca selengkapnya: contoh sajak bahasa sunda karya sendiri

(2)

penggunaan gaya bahasa dalam puisi “Sajak Orang Lapar” karya W.S. Rendra. Karena karya puisi tersebut menunjukkan kesempurnaan dan keberhasilan sebagai puisi. Unsur kesempurnaan yaitu, (1) pilihan kata, (2) gaya bahasa yang digunakannya dalam puisi, (3) dalam membaca puisi dengan sangat bagus, indah, memukau. Unsur keberhasilan, yaitu, (1) mengangkat tema sosial, (2) berbagai tindakan bermakna dan inspiratif telah dilakukan, (3) hingga kini dia terus memberi kontribusi atas berbagai pikiran yang benar (http://www.mualaf.com). Oleh karena itu, dapat dilihat dari hal yang diungkapkan (ide). Lebih-lebih pada penggunaan gaya bahasa sebagai sarana penyajian ide.

Gaya Bahasa

Gaya bahasa ialah cara penggunaan bahasa yang dilakukan oleh penutur dalam komunikasi, baik secara lisan maupun tulis untuk menyampaikan gagasan, agar memperoleh efek-efek tertentu. Adapun berbagai efek yang ingin dicapai penutur dalam memilih gaya bahasa yang digunakan antara lain (i) menarik, (ii) kaya, (iii) padat, (iv) jelas, (v) lebih mampu menekankan gagasan yang disampaikan, dan (vi) mampu memberikan efek keindahan (Aminudin, 1991: 266). Berikut penjelasan dari masing-masing efek yang dicapai penutur dalam memilih gaya bahasa:

(1) menarik, bahasa digunakan penyair dalam puisi sangat menarik dan indah sehingga pembaca terpengaruh untuk menafsirkan (Aminudin, 1995: 13).

(2) kaya, dalam puisi sangat banyak makna untuk diinterpretasikan dari berbagai sisi (Aminudin, 1995:27). (3) padat, ialah mengungkapkan

sebanyak mungkin dengan sedikit

kata, maka sering kali disebut teks singkat (Luxemburg, 1987: 87). (4) jelas, maksud dan tujuan yang

disampaikan oleh penyair sangat jelas dan tidak meluas dari ide yang sudah ditentukan (Aminudin, 1995:12).

(5) lebih mampu menekankan gagasan yang disampaikan, tema yang dimaksud oleh penyair mudah dicerna oleh pembaca dan pendengar, sehingga gagasan itu nampak (Aminudin, 1995: 26).

(6) mampu memberikan efek keindahan, ialah terkait dengan manipulasi bentuk yang berhubungan dengan penciptaan paduan bunyi atau efek musikalitas (Aminudin, 1995:7).

Menurut Tirtawirya (1983:11) berpendapat sebuah sajak yang bagus dan sempurna, sesungguhnya bukan objek, tetapi merupakan subjek: sebuah subjek yang mengandung asosiasi, bukan mengandung interpretasi. Hal ini disebabkan oleh pilihan kata dalam puisi lebih cenderung pada makna konotatif, mampu tampil organisme, dan mampu membangkitkan daya bayang (meminjam istilah Lotman dalam Iser, 1987:66).

Di sisi lain Ahmadi (1990:136) berpendapat, bahwa gaya bahasa ialah pemakaian bentuk bahasa dengan cara tertentu untuk maksud-maksud tertentu, sehingga menimbulkan makna tertentu pula. Gaya bahasa dapat dipandang sebagai kenyataan penggunaan bahasa yang istimewa, dan tidak dapat dipisahkan dari cara atau teknik seseorang dalam merefleksikan pengalaman, nilai-nilai, kesadaran pikiran dan pandangannya yang istimewa atau khusus (Ahmadi, 1990:170). Hal ini sejalan dengan pendapat Keraf (2004:113), bahwa pengertian gaya bahasa dibatasi pada cara

(3)

mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian pemakai bahasa.

Adapun jenis gaya bahasa yang digunakan dalam puisi WS Rendra setelah dilakukan analisis, kemudian diklasifikasikan, yaitu, metafora, perumpamaan, anafora, hiperbola, ironi, dan sinekdoke (pars pro toto). Dari masing-masing gaya bahasa tersebut akan dijelaskan sesuai dengan fungsinya dan disertai dengan contoh.

Analisis Gaya Bahasa dalam Teks Puisi

Dalam pembahasan kali ini, menganalisis gaya bahasa yang ditemukan pada puisi “Sajak Orang Lapar” karya W.S. Rendra. Langkah ini dilakukan untuk memahami teks puisi dengan baik.

Metafora

Perbandingan yang implisit di antara dua hal yang berbeda, paling singkat, dan padat (Keraf, 2004: 139). Menurut Moeliono (dalam Tarigan, 1985: 15) berpendapat, metafora adalah perbandingan yang implisit ─ jadi tanpa kata seperti atau sebagai ─ di antara dua hal yang berbeda. Dapat dilihat pada kutipan berikut.

Bait ke-1

kelaparan adalah burung gagak yang licik dan hitam

Bait ke-1, kelaparan adalah suatu keadaan yang benar-benar tidak mampu dalam memenuhi kebutuhan perut. Hal itu disebabkan oleh kondisi ekonomi keluarga yang terpuruk. Apabila keadaan itu dibiarkan dan tidak ada solusi, maka berdampak pada kemiskinan, tindak kejahatan, serta yang paling tragis lagi adalah kematian.

Burung gagak adalah jenis burung yang mempunyai ciri-ciri, yaitu warna bulunya hitam, suaranya tidak merdu

(serak), dan muncul di malam hari. Jenis burung yang satu ini diyakini dan diinterpretasikan oleh masyarakat sebagai pertanda buruk. Keburukan itu ditandai dengan suara burung gagak yang khas, dan muncul pada saat malam hari. Hal demikian dihubungkan dengan datangnya kematian yang terjadi pada salah satu warga berada di sekitar lingkungan masyarakat. Namun, pertanda itu tidak bisa dihilangkan hingga saat ini dan sudah membudaya, serta melekat dipikiran masyarakat. Jika pada bait 1 terdapat kata Kelaparan dan kalimat burung gagak yang licik dan hitam dianalogikan pada kondisi sekarang yang ada dimasyarakat, maka kelaparan akan berdampak pada kematian. Oleh karena itu, burung gagak merupakan simbol buruk yang disosialisasikan di masyarakat sebagai pertanda kematian. Dengan demikian, kematian masal dan kejahatan yang disebabkan oleh kelaparan, sewaktu-waktu bisa saja terjadi.

Bait ke-2 o Allah !

burung gagak menakutkan dan kelaparan adalah burung gagak

selalu menakutkan

Bait ke-2, burung gagak menakutkan artinya, menampakkan ekspresi wajah dan suara yang menyeramkan saat muncul di masyarakat. Kelaparan adalah burung gagak selalu menakutkan. Kalimat itu menunjukkan kondisi kelaparan yang terjadi pada burung gagak, sehingga tingkah lakunya beringas, berteriak dengan suara yang keras, berterbangan, dan berkeliaran mencari mangsa untuk dimakan demi memenuhi kebutuhan perutnya. Keadaan yang demikian menjadi takut bagi binatang lainnya yang berada di lingkungan sekitar. Akibat dari ketakutan tersebut mereka berlarian ke sana kemari,

(4)

agar tidak menjadi sasaran untuk dimakan oleh burung gagak (burung gagak selalu menakutkan). Hal itu juga bisa saja terjadi pada manusia. Apabila dianalogikan manusia, maka keduanya memiliki sikap dan sifat yang sama. Kesamaan itu terwujud oleh kalimat selalu menakutkan maksudnya melambangkan sesuatu yang perlu diwaspadai oleh banyak orang.

Berdasar pada penjelasan di depan, budaya di Indonesia mulai jaman dulu, hingga sekarang. Burung gagak selalu diindentikkan atau dikaitkan dengan hal kematian dan kejahatan yang terjadi di masyarakat. Namun, budaya itu tidak bisa diubah seiring dengan perkembangan jaman. Oleh karena itu, masyarakat masih tetap meyakininya sampai saat ini. Oleh sebab itu, kelaparan patut ditakuti dan harus diantisipasi. Dengan demikian, kalimat pada bait ke-2 menggambarkan keadaan sosial yang tercermin di masyarakat.

Bait ke-3

kelaparan adalah pemberontakan adalah penggerak gaib

Bait ke-3, kalimat kelaparan adalah pemberontakan, maksudnya keadaan kelaparan bisa menimbulkan berbagai sikap negatif. Misalnya, pembunuhan, perampokan, pencurian, tindakan anarkis, dan melawan pemerintahan yang sah. Tindakan yang demikian berdampak buruk dan muncul disebagian kalangan masyarakat yang sebabkan oleh kelaparan. Tetapi, semua itu bergantung pada individu manusia. Kalimat pada baris yang ke-2, yakni adalah penggerak gaib maksudnya, sikap pemberontakan itu muncul dengan sendirinya, dan tanpa disadari oleh manusia. Hal itu terjadi dan dipicu oleh keadaan masyarakat yang semakin terpuruk atau kemiskinan dan kelaparan sebagai penyebab utama. Oleh karena itu,

hatinya tergerak untuk melakukan perlawanan dan pembunuhan terhadap orang lain yang memiliki tingkat ekonominya mapan. Hal itu disebabkan oleh kecemburuan sosial.

Hubungan antara pemberontakan dan penggerak gaib memang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Karena perilaku tersebut merupakan dasar utama dari tindakan buruk yang dilakukan oleh manusia. Di samping itu pula, terbentuk dalam perlawanan yang ditujukan pada penguasa. Penguasa di sini digambarkan, yakni pemerintahan yang mementingkan kedudukan dan jabatan, dengan harapan memperoleh materi sebanyak mungkin tanpa memperhatikan keadaan rakyatnya. Oleh sebab itu, keadaan rakyat semakin terpuruk, sehingga timbullah kelaparan yang berkepanjangan. Apabila tidak cepat diantisipasi, maka berdampak buruk bagi kelangsungan hidup di masyarakat, yaitu ingin melakukan pembunuhan, perampokan dan pencurian. Sikap yang demikianlah membuat masyarakat tidak bisa tenang dan berbagai konflik selalu bermunculan.

Bait ke-4

kelaparan adalah batu-batu karang di bawah wajah laut yang tidur adalah mata air penipuan

adalah pengkhianatan kehormatan

Bait ke-4, kelaparan adalah batu-batu karang di bawah wajah laut yang tidur. Kata kelaparan adalah keadaan perut kosong tanpa makan atau tidak bisa makan di dalam kehidupan sehari-hari. Kalimat batu-batu karang di bawah wajah laut yang tidur, yaitu menggambarkan keadaan batu karang berbentuk tajam yang terletak di dasar laut dengan posisi tenang, dan besar kecilnya tidak sama. Ketajaman batu karang tersebut apabila dipegang oleh tangan, maka menimbulkan rasa sakit.

(5)

Apabila hal itu dihubungkan dengan fenomena sekarang, maka tergambar keadaan atau kehidupan yang tenang itu bisa saja berubah. Misalnya, tekanan ekonomi yang berdampak pada kemiskinan, sehingga terjadi kesenjangan sosial di masyarakat. Maksud lain, jika kelaparan itu dibiarkan atau tidak diperhatikan dan cepat ditangani, maka masyarakat bisa melakukan tindakan anarkis atau bertindak diluar prikemanusiaan terhadap sesama manusia. Hal ini bisa saja terjadi.

Kalimat mata air bersinonim sumber, sedangkan kata penipuan bersinonim kebohongan yang dilakukan oleh seseorang demi kepentingan pribadi. Jika digabungkan menjadi satu kalimat adalah mata air penipuan, maka menggambarkan keadaan yang terpaksa. Keadaan terpaksa tersebut bisa melakukan penipuan kepada siapa saja, dan sumber (mata air) utama atau penyebabnya adalah kelaparan yang terjadi pada dirinya.

Kalimat adalah pengkhianatan kehormatan maksudnya, kehormatan merupakan kedudukan paling tinggi yang dimiliki oleh semua manusia. Kata pengkhianatan adalah kepercayaan yang telah amanatkan pada seseorang, tetapi yang diberi amanat melakukan tindakan menyimpang atau tidak sesuai dengan ketentuan yang telah disepakatinya. Di samping itu pula, maksud dari kalimat adalah pengkhianatan kehormatan, yaitu harga dirinya dipertaruhkan demi memperoleh kenikmatan dan kesejahteraan hidup secara pribadi. Meskipun, harus mengorbankan orang lain dengan cara meminta-minta atau menipu.

Jadi, secara implisit kelaparan bisa membuat manusia menjadi tenang, tetapi bisa juga bersikap beringas. Karena kelaparan, sisi ketenangan bisa terusik, sehingga mengubah dirinya bertindak menghalalkan segala cara tanpa

mempedulikan rasa kemanusiaan. Bahkan, mengorbankan harga dirinya. Demi memperoleh kehidupan yang cukup.

Bait ke-5

meletakkan kehormatannya di tanah

karena kelaparan kelaparan adalah iblis kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran

Bait ke-5, Maksud bait di atas adalah akibat kelaparan disebagian masyarakat, sehingga menjadi peminta-minta (pengemis) dan mengorbankan harga diri untuk mencukupi kebutuhannya (meletakkan kehormatannya di tanah).

Kata kelaparan dan iblis, merupakan dua kata yang saling berhubungan, serta menimbulkan sebab akibat. Misalnya; maksud dari kata iblis adalah suatu perilaku yang lebih jahat daripada setan. Sifat yang demikian tanpa disadari dilakukan oleh manusia. Sifat iblis muncul disebabkan oleh kelaparan yang menjadi penyebab utama. Kondisi yang demikian bisa saja melakukan tindak kejahatan atau sebagai penindas (perampok). Oleh sebab itu, kondisi kelaparan sangat rawan akan tindak kriminal.

Bait ke-6

kelaparan adalah tangan-tangan hitam

Bait ke-6, kalimat “tangan hitam” bukan berarti tangan yang berwarna hitam, melainkan tangan hitam yang dimaksud yaitu, tangan yang penuh dengan perbuatan kejam dan tidak mengenal belas kasihan. Misalnya, pembunuhan, perampokan, dan penipuan. Semua tindakan itu bisa dilakukan karena dirinya dalam keadaan kelaparan.

Bait ke-7 o Allah !

(6)

kami berlutut

mata kami adalah mata Mu

Bait ke-7, maksud dari bait di atas adalah berdoa memohon kepada Tuhan, agar semua ini segera berakhir. Itupun sudah dilakukan. Namun, masih tetap saja diberi kelaparan. Baris ke-2 dan 3 merupakan bentuk protes dari seorang hamba kepada Tuhannya. Selain itu, ada kalimat mata kami adalah mata Mu maksudnya, dialog atau komunikasi batin seorang hamba dengan Tuhannya. Isi dialog: “apakah Kamu (Allah) tidak melihat hamba-Mu yang sedang menderita kelaparan yang cukup lama, sehingga perut ini sudah tidak tahan lagi menahan rasa lapar, dengan perut yang perih karena tidak makan”. Isi dialog tersebut secara tersirat tergambar di bait ke-7.

Bait ke-9 dan 10 sama

kelaparan adalah burung gagak jutaan burung gagak

Bait ke-9 dan 10, dua kalimat di atas menggambarkan jumlah orang yang sedang kelaparan semakin banyak dan bertambah. Apabila dianalogikan mempunyai maksud, jumlah penduduk yang sedang kelaparan semakin bertambah banyak, sehingga masyarakat menjadi resah dan sudah tidak mampu beraktifitas dan berbuat apa-apa. Hal itu akan menimbulkan jumlah kematian kian bertambah.

Jadi, fungsi gaya bahasa metafora pada bait ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9 dan 10 bertujuan mengkonkritkan kata “kelaparan”, yang disertai dengan dampak dan penyebab kelaparan itu sendiri yang diekspresikan melalui kata atau kalimat yang penuh dengan makna untuk diimajinasikan dan dikiaskan, sehingga menimbulkan pencitraan. Dengan demikian, maksud dan tujuan

penyair dalam menyampaikan pesan menjadi tercapai dan mudah dipahami. Perumpamaan

Perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang sengaja dianggap sama (Tarigan, 1985: 9). Dapat dilihat pada kutipan berikut.

Bait ke-1

jutaan burung-burung gagak bagai awan yang hitam

Bait ke-1, berjumlah jutaan burung gagak yang berterbangan di langit pada saat awan yang cerah, dan tiba-tiba menjadi gelap karena matahari ditutupi oleh burung gagak, sehingga berwarna hitam. Jika hal itu dikaji dari sisi pertama, warna hitam merupakan simbol kematian atau keadaan duka cita. Kedua, jutaan burung gagak berterbangan di langit yang akan menimbulkan suara yang keras dan saling bersautan.

Kedua baris pada bait ke-1 merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, bisa diumpamakan kelaparan yang terjadi di masyarakat luas, baik di kota-kota besar maupun pelosok pedesaan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pengangguran dan kurangnya lapangan kerja yang belum terpenuhi, sehingga untuk makan sehari-hari saja tidak mampu, apalagi untuk memenuhi kebutuhan hidup selanjutnya. Dengan demikian, dapat menimbulkan banyak korban meninggal dikarenakan kelaparan. Hal ini merupakan gambaran keadaan yang buruk bagi kehidupan umat manusia.

Bait ke-9

bagai awan yang hitam menghalang pandangku ke sorga Mu

(7)

Bait ke-10

bagai awan yang hitam menghalang pandangku ke sorga Mu

Bait ke-9 dan 10 memiliki maksud yang sama, kalimat bagai awan yang hitam, maknanya berbeda dengan kalimat bagai awan yang hitam pada bait ke-1. Maksud dari kalimat bagai awan yang hitam pada bait ke-9 dan 10 ini berkaitan erat dengan tindakan yang disebabkan oleh keadaan dan kondisi yang serba memprihatinkan. Kalimat bagai awan yang hitam yaitu, menggambarkan keadaan berduka atau kematian, tindakan kejahatan, dan perlakuan yang tidak adil. Artinya, keadaan masyarakat miskin sedang kelaparan semakin terpuruk yang disebabkan oleh ketidakadilan dalam hal perlakuan, sehingga tindak kejahatan yang dilakukan oleh mereka semakin tak terkendali. Hal demikian tidak dapat dihindari lagi.

Kalimat menghalang pandangku masuk ke sorga Mu yaitu, dari tindakan yang buruk itu, sehingga mereka tidak bisa melihat sesuatu dengan jelas, tidak dapat pula berpikir jernih melalui akal sehat dalam mengambil tindakan, dan keputusan. Hal itu tampak jika menginginkan sesuatu, maka harus melakukan tindakan yang tidak baik. Tindakan itu dilakukan karena putus asa. Oleh karena itu, dapat merugikan diri sendiri. Apabila hal itu dilakukan secara terus-menerus, maka tidak akan memperoleh kenikmatan materi yang sesuai dengan keinginan. Seharusnya mereka berusaha untuk mengubah diri menjadi lebih baik.

Jadi, kata ‘bagai’ yang digunakan pada bait ke-1, 9 dan 10 yang ada dalam gaya bahasa perumpamaan difungsikan untuk menggambarkan keadaan dan suasana kelaparan yang berdampak banyaknya jumlah kematian, terutama yang dialami oleh masyarakat miskin.

Anafora

Gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat (Keraf, 2004: 127). Selain itu, Tarigan (1985: 192) berpendapat, bahwa gaya bahasa repetisi yang berupa pengulangan kata pertama pada tiap baris atau tiap kalimat dapat dilihat pada kutipan berikut.

Bait ke-4

adalah mata air penipuan

adalah pengkhianatan kehormatan

Bait ke-5

kelaparan adalah iblis kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran

Bait ke-7

ini juga mulut Mu ini juga hati Mu dan ini juga perut Mu perut Mu lapar, ya Allah perut Mu menggenggam tawas Bait ke-4, kata “adalah” diulang sampai dua kali, karena berfungsi untuk menjelaskan kalimat “di bawah wajah laut yang tidur” sehingga memperoleh jawaban kalimat “mata air penipuan”. Demikian pula, pada kalimat “pengkhianatan kehormatan” juga menggunakan kata “adalah”. Hal ini menandakan bahwa tiga kalimat saling berkaitan dan memiliki makna.

Bait ke-5, kalimat “kelaparan adalah iblis” diulang hingga dua kali. Karena kalimat tersebut berfungsi untuk menekankan bahwa kelaparan itu bisa bersikap seperti iblis. Contoh sifat iblis yang merasuki jiwa manusia ialah sifat yang tidak bisa mengendalikan diri dan melakukan tindakan kejam apabila dalam keadaan terdesak.

Bait ke-7, “ini juga” diulang sampai tiga kali. Karena kata tersebut berfungsi untuk menegaskan

(8)

kepemilikkan yang diciptakan oleh Tuhan dan berkaitan dengan bagian tubuh, baik luar maupun dalam. Mulai dari perut, hati, dan mulut. Bagian-bagian itu merupakan bentuk penegasan ciptaan dari Allah. Di samping itu, akhiran ‘Mu’ juga berfungsi untuk menggantikan nama Tuhan, sehingga kata “perut Mu”, fungsinya sama dengan “ini juga”, yaitu untuk menegaskan atau bentuk protes kepada Allah. Kenapa hal ini bisa terjadi padahal bagian tubuh ini adalah ciptaan Tuhan, sehingga teridentifikasi secara tersirat “mengapa engkau biarkan hamba-MU kelaparan”.

Hiperbola

Gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebih-lebihan dengan membesar-besarkan sesuatu hal (Keraf, 2004: 135). Selain itu, Tarigan (1985: 55), menyatakan hiperbola berfungsi memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan, dan pengaruhnya. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.

Bait ke-5

seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu

melihat bagaimana tangannya sendiri

meletakkan kehormatannya di tanah

Bait ke-5, dua kalimat di atas pengertian “pengemis merupakan yang keadaan sedih dan kelaparan”. Maksud penyair menggunakan gaya bahasa pada kalimat di atas adalah untuk melebih-lebihkan. Di samping itu pula, menggambarkan pengemis yang lemah dengan seorang pemuda yang gagah dalam keadaan bisa menangis kesedihan. Kalimat “pemuda gagah” itu mewakili jutaan orang kelaparan. Secara objektif, pemuda yang gagah saja bisa menangis,

apalagi pemuda yang tidak gagah atau kurus, lemah, dan sakit-sakitan mungkin kondisi jiwanya malah lebih parah daripada pemuda gagah itu.

Bait ke-7

perut Mu menggenggam tawas dan pecahan-pecahan gelas kaca

Bait ke-7, dua kalimat antara “perut Mu menggengam tawas” dan “dan pecahan-pecahan gelas kaca” sangat melebih-lebihkan, sehingga dapat menggambarkan atau melambangkan keadaan masyarakat yang lapar dan mengadu kepada Tuhannya. Dengan demikian, kedua kalimat itu bermakna kondisi perutnya yang terasa muntah, perih, dan terluka akibat kelaparan yang terlalu lama.

Ironi

Gaya bahasa yang mengimplikasikan sesuatu yang nyata

berbeda, bahkan ada kalanya bertentangan dengan yang sebenarnya. Ironi ringan merupakan suatu bentuk humor, tetapi ironi berat atau ironi keras biasanya suatu bentuk sarkasme atau satire. Walaupun pembatasan yang tegas di antara beberapa hal itu sangat sulit dibuat dan jarang sekali memuaskan orang (Tarigan, 1985: 61). Di sisi lain Keraf (2004: 127) berpendapat, bahwa gaya bahasa ironi merupakan suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam raingkaian kata-katanya. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.

Bait ke-6

yang memasukkan segenggam tawas

ke dalam perut para miskin

Bait ke-6, maksud gaya bahasa di atas menceritakan keadaan miskin yang tidak bisa makan, sehingga apapun yang

(9)

ada disekitarnya bisa saja dimakan, mungkin bisa juga sisa-sisa makanan orang lain. Tindakan itu tidak mempedulikan kesehatan diri sendiri.

Baris ke-1 dan 2, merupakan kalimat berisi tentang sindiran yang berkaitan dengan perutnya sendiri dalam keadaan perih dan mual. Karena tidak mampu membeli makanan.

Sinekdoke (pars pro toto)

Semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (Keraf, 2004: 142). Di sisi lain Tarigan (1985: 124) berpendapat, sinekdoke merupakan majas yang menyebutkan makna bagian sebagai pengganti nama keseluruhannya, atau sebaliknya. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.

Bait ke-8 o Allah !

betapa indahnya sepiring nasi panas

semangkuk sop dan segelas kopi hitam

Bait ke-8, gaya bahasa sinekdoke (pars pro toto) hanya muncul sekali pada teks puisi ini. Namun, digunakan untuk memberi kesan. Misalnya, klausa betapa indahnya sepiring nasi panas sama halnya dengan impian atau angan-angan pada saat kelaparan. Selain itu, juga berfungsi sebagai wakil untuk menyebutkan satu porsi makanan seperti pada kalimat “sepiring nasi panas”, “semangkok sop”, dan “segelas kopi hitam”.

Di samping itu, bait ke-8, juga menceritakan keadaan kelaparan dan merindukan makanan yang nikmat. Namun, hal itu hanya angan-angan yang jauh dari dirinya. Pada akhirnya semua itu hanya tinggal impian. Dengan demikian, gaya bahasa sinekdoke (pars pro toto) dalam puisi ini menandakan keseluruhan keadaan yang benar-benar

serba kekurangan dan bermakna implisit ketakberdayaan.

PENUTUP

Puisi Sajak Orang Lapar karya W.S. Rendra ini telah berhasil tampil sebagai puisi yang sempurna. Hal ini bisa dilihat dari penggunaan gaya bahasa, baik yang tercermin dalam kalimat maupun kata, sehingga bahasa dalam puisi ini tampak sangat padat, kental dan kompleks. Oleh karena itu, kata dan kalimat tampil dengan kompleks, serta penuh penafsiran.

Di samping itu pula, gaya bahasa dalam puisi ini lebih banyak didominasi oleh metafora. Selain itu, ada jumlah gaya bahasa yang sangat sedikit, misalnya: perumpamaan, anafora, hiperbola, ironi, dan sinekdoke (pars pro toto). Di samping itu, ada pula diksi yang jumlahnya lebih banyak dan ditampilkan dengan makna asosiasi sedih, tragis, serta kelam. Hal ini berkaitan erat dengan ide pokok yang ingin disampaikan dalam puisi ini, yakni tentang keteragisan, kesedihan, dan khususnya, kelaparan atau cerita yang menyedihkan dialami oleh masyarakat miskin. Di sisi lain kondisi secara umum bangsa ini seperti yang tercermin pada judul puisi yang ditampilkan oleh WS Rendra. Dengan demikian, jelaslah bahwa puisi ini bisa mencapai kesatuan bentuk (cara pengungkapan) dan isi (hal yang diungkapkan). Hal tersebut merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh karya sastra yang ingin mencapai keindahan yang sempurna.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1990. “Gaya Bahasa dan

Pengembangan Model Pengkajiannya“ dalam Majalah

Puitika Nomor: 02 tahun I Malang: IKIP Negeri.

Aminuddin. 1991. Pengembangan Aspek Semantis Lambang Kebahasaan sebagai Dasar Identifikasi dari Klasifikasi Kode dalam Teks Sastra”. Makalah Temu Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia II Dosen PTS dan PTN se-Jawa Timur. Malang: IKIP Budi Utomo. 21 Desember.

Aminuddin. 1995. Stilistika: “Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra”. Semarang: IKIP Semarang Press.

Ahmadi, Mukhsin. 1990. Dasar-dasar Komposisi Bahasa Indonesia. Malang: Yayasan Asah Asih Asuh. Iser, Wolfgang. 1987. The Act Of

Reading A Theory of Aesthetic Response. London: The Jhons Hopkins University Press.

Keraf, Gorys. 2004. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Luxemburg, J V ed al. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa.

Pradopo, Rahmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Rendra, WS. 2006. “Sajak Orang Lapar”. (http://www./puisiws

rendra/puisi.org./WSRendra.htm) diunduh pada 15 September 2007. Rendra, WS.

(http://www./biografi-wsrendra.htm) diunduh pada 15 September 2007.

Rendra, WS. (http://www.mualaf. comPHP-Nuke) diakses pada 15 September 2007.

Tirtawirya, Putu Arya. 1983. Apresiasi Puisi dan Prosa. Ende Flores: Nusa Indah.

Referensi

Dokumen terkait