PERCERAIAN KARENA GUGATAN ISTRI
(Studi Kasus Perkara Cerai Gugat Nomor : 0597/Pdt.G/2011/PA.Sal Dan Nomor : 0740/Pdt.G/2011/PA.Sal Di Pengadilan Agama Salatiga)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh:
HIMATUL ALIYAH
NIM 21109012
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
PERCERAIAN KARENA GUGATAN ISTRI
(Studi Kasus Perkara Cerai Gugat Nomor : 0597/Pdt.G/2011/PA.Sal DanNomor : 0740/Pdt.G/2011/PA.Sal Di Pengadilan Agama Salatiga)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh:
HIMATUL ALIYAH
NIM 21109012
JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
“
Real success is determined by two factors. Firs is faith, and second is
action”
Kesuksesan sejat i dit entukan oleh dua f akt or. Pert ama adalah keyakinan, dankedua adalah t indakan.
PERSEMBAHAN
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb.
Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada baginda Rasulullah SAW yang selalu kami harapkan syafaatnya. Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan yang dimiliki, sehingga bimbingan, pengarahan dan bantuan telah banyak penulis peroleh dari berbagai pihak. oleh karena itu, penulis mengcapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Imam Soetomo, M.Ag., selaku Ketua STAIN Salatiga;
2. Bapak Haryo Aji Nugroho, S.Sos, MA selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya guna membimbing hingga terselesaikannya skripsi ini;
memberikan dukungan baik materi maupun non-materi; 7. Nur Hidayati,S.pd.I yang selaku memberikan semangat;
8. Teman-teman Syariah angkatan 2009, terutama sabahat peneliti, Ana, Nurul, Dyah, Hanif dan Affah;
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah berperan dan membantu hingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Teriring do’a dan harapan semoa amal baik dan jasa semua pihak tersebut diatas akan mendapat balasan yang melimpah dari Allah SWT.Amin.
Wassalamualaikum wr.wb.
ABSTRAK
Aliyah Himatul. 2013. PERCERAIAN KARENA GUGATAN ISTRI (Studi Kasus
Perkara Cerai Gugat Nomor : 0597/Pdt.G/2011/PA.Sal Dan Nomor: 0740/Pdt.G/2011/PA.Sal Di Pengadilan Agama Salatiga). Skripsi. Jurusan Syariah. Program Studi Ahwal al Syakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Haryo Aji Nugroho, S.Sos, MA
Kata Kunci: Perceraian, Cerai Gugat.
Penulisan sripsi ini dilatar belakangi maraknya cerai gugat istri kepada suami di Pengadilan Agama Salatiga. Pada umumnya perceraian terjadi karena tidak adanya tanggung jawab suami. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana latar belakang sosio-ekonomi pelaku gugat cerai. (2) bagaimana faktor-faktor penyebab cerai gugat. (3) bagaimana dampak cerai gugat bagi istri. (4) bagaimana pertimbangan hakim memutus perkara cerai gugat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) latar belakang pelaku gugat cerai di sebabkan umumnya berasal dari keluarga berstatus sosial ekonomi rendah. (2) faktor-faktor penyebab gugat cerai umumnya di dominasi alasan kurang adanya tanggung jawab suami. (3) dampak perceraian yaitu istri menanggung semua biaya anaknya sendiri tanpa bantuan mantan suami, (hadhanah) anak dipegang oleh ibunya. (4) Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus sebagai alasan tidak ada harapan hidup rukun lagi dalam rumahtangga sebagaimana dalam Pasal 19 (f) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 yang berlaku di Indonesia.
DAFTAR ISI
SAMPUL………..i
LEMBAR BERLOGO………...ii
JUDUL………iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING………...iv
PENGESAHAN KELULUSAN………..v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN………..vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN……….vii
KATA PENGANTAR………..viii
ABSTRAK………...…...ix
DAFTAR ISI………....x
DAFTAR TABEL………..xii
DAFTAR LAMPIRAN……….xiii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….1
B. Penegasan Istilah……….7
C. Fokus Penelitian………..7
D. Tujuan Penelitian……….7
E. Manfaat Penelitian………...8
F. Metode Penelitian………....9
G. Sistematika Penelitian ………...14
BAB II. KERANGKA TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Definisi Perceraian Secara Umum ………16
2. Definisi Perceraian menurut Hukum Islam………...21
3. Prosedur Perceraian………33
5. Dampak Perceraian……….35
B. Kajian Pustaka ……….47
BAB III. PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Data Perceraian……….50
B. Profil Kasus Perceraian……….51
BAB IV. PEMBAHASAN
A. Faktor Penyebab Gugat Cerai ………..63
B. Problematika Dampak Gugat Cerai ……….64
C. Pertimbangan Hakim memutus Perkara ……….……….70
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ………...73
B. Saran ….………74
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran-Lampiran
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Daftar cerai gugat ………....6
Tabel 3.2 Keadaan perkara di Pengadilan Agama Salatiga ………...50
Tabel 3.3 Perkara yang diputus Pengadilan Agama Salatiga ………51
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Lembar konsultasi sripsi
Lampiran II Nota pembimbing
Lampiran III Nilak SKK Mahasiswa
Lampiran IV Daftar pertanyaan
Lampiran V Permohonan izin penelitian
Lampiran VI Jawaban permohonan izin penelitian
Lampiran VII Fotocopi Akta Cerai
Lampiran VIII Salinan putusan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan hal yang sakral bagi manusia yang menjalaninya,
tujuan perkawinan diantaranya untuk membentuk suasana bahagia menuju
terwujudnya ketenangan, kenyamanan bagi suami isteri serta anggota keluarga.
Dalam Islam, perkawinan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan seksual
seseorang secara halal serta untuk melangsungkan keturunannya dalam suasana
saling mencintai (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) antara suami istri. Ini
sesuai dengan bunyi pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yakni: “perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah
warahmah”. (KHI:Pasal 3). Jadi, pada dasarnya perkawinan merupakan cara
penghalalan terhadap hubungan antar dua lawan jenis yang semula diharamkan,
seperti memegang, memeluk, mencium dan berhubungan intim. Allah berfirman
dalam surat Ar Ruum ayat 21:
َو ﻢُﻜَﻨْﯿَﺑ َﻞَﻌَﺟَو ﺎَﮭْﯿَﻟِإ اﻮُﻨُﻜْﺴَﺘِﻟ ﺎًﺟاَوْزَأ ْﻢُﻜِﺴُﻔْﻧَأ ْﻦِﻣ ْﻢُﻜَﻟ ٍتﺎَﯾﻵ َﻚِﻟَذ ﻲِﻓ َّنِإ ًﺔَﻤْﺣَرَو ًةَّدَﻮَﻣ ِﺗﺎَﯾآ ْﻦِﻣ
َﻖَﻠَﺧ ْنَأ ِﮫ ْ ٍمْﻮَﻘِﻟ
َنوُﺮَّﻜَﻔَﺘَﯾ
Artinya:
Imam Syafi’i mengartikan nikah sebagai suatu akad yang dengannya
menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita sedangkan menurut arti
majazi, nikah itu artinya hubungan seksual. Menurut Prof. Ibrahim Hosen, nikah
menurut arti asli dapat juga berarti aqad, dengan nikah menjadi halal hubungan
kelamin antara pria dan wanita. (Ibrahim, 1971:65). Adapun menurut syara’ nikah
adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk
saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah
tangga.(Tihami, 2009:8) Para ulama merinci makna lafal nikah menjadi empat
macam. Pertama, nikah diartikan percampuran suami istri dalam arti kiasan.
Kedua, sebaliknya nikah diartikan percampuran suami istri dalam arti sebenarnya
dan akad berarti kiasan. Ketiga, nikah lafal musytarak (mempunyai dua makna
yang sama). Keempat, nikah diartikan adh-damm (bergabung secara mutlak) dan
al-ikhtilath (pencampuran). Dari keterangan tersebut, jelas bahwa nikah
diucapkan pada dua makna yaitu akad pernikahan dan hubungan intim antara
suami dan istri. Nikah menurut syara’ maknanya tidak keluar dari dua makna
tersebut (Azzam, 2009:38).
Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan
maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan
perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk
yang berkehormatan. Islam mengatur masalah perkawinan dengan amat teliti dan
terperinci, untuk membawa umat manusia hidup berkehormatan. Hubungan
manusia laki-laki dan perempuan ditentukan agar didasarkan atas rasa pengabdian
dalam perkawinan semata-mata adalah demi menjaga kehormatan mereka. Namun
moral manusia yang semakin menipis bahkan hilang menjadikan mereka buta
akan hukum yang mengatur dan membatasi hidup mereka. Dengan bangganya
mereka menerobos batas-batas hukum tersebut. Termasuk dalam masalah
perkawinan ini, mereka yang akan melakukan perkawinan berlaku sesuai
keinginannya sendiri. Padahal dalam perkawinan, mereka diatur oleh
kaidah-kaidah hukum yang harus mereka taati. Termasuk didalamnya aturan mengenai
perceraian.
Dewasa ini kemajuan sekarang ini, semakin banyak persoalan-persoalan baru
yang melanda rumah tangga, semakin banyak pula tantangan yang di hadapi
sehingga bukan saja berbagai problem yang dihadapi bahkan kebutuhan rumah
tangga semakin meningkat seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Akibatnya tuntutan terhadap setiap pribadi dalam rumah tangga untuk memenuhi
kebutuhan semakin jelas dirasakan. Kebutuhan hidup yang tidak terpenuhi akan
berakibat menjadi satu pokok permasalahan dalam keluarga, semakin lama
permasalahan meruncing sehingga dapat menjadikan kearah perceraian bila tidak
ada penyelesaian yang berarti bagi pasangan suami isteri. Era globalisasi
merupakan pendukung kuat yang mempengaruhi perilaku masyarakat dan kuatnya
informasi dari melalui media massa elektronik berpengaruh terhadap motif-motif
perceraian. Infotaiment kawin cerai artis, sinetron, berita-berita koruptor, secara
tidak langsung menyuguhkan contoh-contoh negatif yang memicu perubahan
perilaku sosial masyarakat. Tayangan ini memberkontribusi bagi masyarakat
krisis ekonomi pun turut memicu peningkatan perceraian. Dimulai dengan kondisi
masyarakat yang semakin terbebani dengan tingginya harga kebutuhan,
banyaknya kasus pemutusan hubungan kerja oleh banyak perusahan, penurunan
penghasilan keluarga, meningkatnya kebutuhan hidup dan munculah konflik
keluarga.
Perceraian pada hakekatnya adalah suatu proses dimana hubungan suami
isteri tidak ditemui lagi keharmonisan dalam perkawinan. Mengenai definisi
perceraian undang-undang perkawinan tidak mengatur secara tegas, melainkan
hanya menetukan bahwa perceraian hanyalah satu sebab dari putusnya
perkawinan, di samping sebab lain yakni kematian dan putusan pengadilan.
Perceraian ialah penghapusan perkawinan karena keputusan hakim atau tuntutan
salah satu pihak dalam perkawinan itu (Subekti, 1953:42) Dengan berlakunya UU
Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, dimana peraturan itu juga
dijadikan sebagai hukum positif di Indonesia, maka terhadap perceraian diberikan
pembatasan yang ketat dan tegas baik mengenai syarat-syarat untuk bercerai
maupun tata cara mengajukan perceraian, Hal ini di jelaskan dengan ketentuan
pasal 39 UU No 1 Tahun 1974 yaitu:
1. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah
pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak .”
2. Untuk melakukan perceraian harus cukup alasan bahwa antara suami isteri
tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri.”
Ketentuan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam yaitu : “ Perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”
Undang-undang perkawinan prinsipnya memperketat terjadinya
perceraian, dimana perceraian hanya dapat dilaksanakan dihadapan sidang
pengadilan, dengan alasan-alasan tertentu. Putusnya perkawinan dapat terjadi
karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian maka dari berbagi peraturan
tersebut dapat diketahui ada dua macam perceraian yaitu cerai gugat dan cerai
talak Cerai talak hanya berlaku bagi mereka yang beragama Islam dan di ajukan
oleh pihak suami. Cerai talak adalah istilah yang khusus digunakan dilingkungan
Peradilan Agama untuk membedakan para pihak yang mengajukan cerai. Dalam
perkara talak pihak yang mengajukan adalah suami sedangkan cerai gugat pihak
yang mengajukan adalah isteri. Sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 114 bahwa : “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena
perceraian dapat terjadi karena talak ataupun berdasarkan gugatan perceraian.”
Pada dasarnya Undang-undang perkawinan mengatur dan menentukan
tentang alasan-alasan yang dapat digunakan untuk mengajukan perceraian, yaitu :
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa alasan yang sah atau karena alasan yang lain diluar
3) Salah satu pihak mendapat pihak mendapat hukuman penjara selama 5
(lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung.
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau istri.
6) Antara suami-istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkeran dan
tidak ada harapan lagi untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Penulis tertarik meneliti mengenai tingginya perceraian karena gugatan istri.
Pemilihan tempat penelitian di Kota Salatiga ini dikarenakan angka kasus
perceraian yang diajukan oleh pihak istri cukup tinggi.
Hal ini dapat dilihat dari laporan tahunan Pengadilan Agama Salatiga tahun 2011
tentang cerai gugat,
Tabel 1.1 daftar cerai gugat
Bulan Cerai Talak Cerai Gugat
Januari 25 41
Februari 31 58
Maret 39 51
April 27 59
Mei 23 48
Juni 20 42
Juli 33 43
Agustus 15 55
September 31 53
Oktober 31 58
Desember 24 55
Jumlah 329 680
Sumber Data Buku Pendaftaran Cerai Gugat (2011:34)
Perceraian karena gugatan istri ini sangatlah menarik untuk diteliti. Penulis
mencoba mengangkat persoalan apa yang terjadi sehingga masyarakat
mengajukan “PERCERAIAN KARENA GUGATAN ISTRI (Studi Kasus
Perkara Cerai Gugat Nomor : 0597/Pdt.G/2011/PA.Sal Dan Nomor :
0740/Pdt.G/2011/PA.Sal Di Pengadilan Agama Salatiga)
B. Penegasan Istilah
1. Perceraian adalah : penghapusan perkawinan karena keputusan
hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.
2. Cerai Gugat adalah : gugatan perceraian diajukan oleh istri atau
kuasanya melalui Pengadilan Agama.
C.Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diungkapkan, maka perlu dibuat
rumusan masalah yang berhubungan dengan penelitian ini. Hal ini dimaksudkan
untuk menjawab permasalahan yang terkait dengan tema, yaitu:
1. Bagaimana Latar belakang sosio-ekonomi pelaku Cerai Gugat?
2. Apakah faktor-faktor penyebab Cerai Gugat?
3. Bagaimana dampak Cerai Gugat bagi istri?
4. Bagaimana pertimbangan Hakim memutus perkara Cerai Gugat?
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui diskripsi Latar belakang sosio-ekonomi pelaku
Cerai gugat.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan Cerai
gugat.
3. Untuk mengetahui dampak perceraian bagi istri dan anak.
4. Untuk mengetahui pertimbangan hakim memutus perkara cerai
gugat pada dua kasus penelitian ini.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
a) Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan wawasan
kasus dan memberikan sumbangan informasi praktik-praktik
Hukum Islam khususnya dalam masalah hukum Perceraian yang
berkembang di Masyarakat..
b) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan Ilmiah
bagi penelitian-penelitian selanjutnya tentang perkembangan
faktor-faktor penyebab perceraian dan proses penanganan
perceraian dalam praktek yang dialami perempuan.
c) Penelitian ini dapat menjadi bahan kajian mencari solusi ilmiah
mengenai angka perceraian khususnya cerai gugat atau
meminimalisir dampaknya.
Sebagai bahan acuan upaya pemecahan masalah yang di hadapi oleh masyarakat
dalam penyelesaian kasus perceraian. Sebagai bahan acuan dalam upaya
pemecahan masalah yang di hadapi oleh masyarakat, dalam penyelesaian kasus
perceraian yang jelas-jelas Perceraian merupakan hal yang dibenci oleh Allah
SWT.
1) Manfaat bagi hakim dapat memperkaya pertimbangan sosiologis
dalam memutuskan perkara cerai gugat.
2) Manfaat bagi ulama agar menambah wawasan tentang
problematika cerai gugat untuk disampaikan kepada masyarakat.
3) Manfaat bagi pasangan suami istri agar mereka memperbaiki
kehidupan pernikahan mereka.
4) Manfaat bagi mereka pelaku cerai gugat agar lebih tahu
dampaknya.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan pendekatan
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, bertujuan untuk memahami
keadaan atau fenomena, dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa,
dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Dalam penelitian kualitatif,
metode yang biasa digunakan adalah wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan
dokumen. (Moleong, 2006:6)
Penelitian ini adalah usaha untuk mengetahui atau mendalami kasus-kasus
dipandang cocok untuk mengekpresikan temuan kasus-kasus perceraian melalui
paparan diskripsi. Data diskripsi mampu mengungkap realita sebab musabab dan
proses perceraian mereka.
Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan fenemenologis. Pendekatan
fenemenologis mengangkat pengalaman pelaku berbagai jenis dan tipe subjek
yang ditemui (Moleong, 2006:14) Pendekatan fenemenologi menempatkan
pikiran-pikiran pelaku perceraian sebagai penjelasan realistic tentang kasus yang
mereka alami. Pelaku perceraian adalah mereka yang paling tahu akan keadaan
yang mereka alami sendiri.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian kasus perceraian ini dilakukan di kota Salatiga, dengan pertimbangan
bahwa di wilayah Pengadilan Agama Salatiga cukup tinggi diantaranya kasus
perceraian banyak diajukan pihak istri, terdapat 680 Kasus perceraian yang
diajukan oleh istri (cerai gugat) dalam kurun Tahun 2011 sehingga dengan data
tersebut penulis tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang melatar belakangi cerai
gugat.
3. Sumber Data
a. Data Primer
Merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan dengan mengadakan
peninjauan langsung pada obyek yang diteliti. Data ini didapat dari pelaku, atau
(Moleong, 2006:157) Dalam hal ini penulis melakukan penelitian terhadap dua
pelaku cerai gugat yang sudah di putus di Pengadilan Agama Salatiga.
b. Data Sekunder
Merupakan data yang diperoleh melalui studi pustaka yang bertujuan untuk
memperoleh landasan teori yang bersumber dari Al-Quran, Al-Hadist,
perundang-undangan, buku dan literatur sebagai materi yang di bahas.
4. Prosedur Pengumpulan Data
a. Penelitian Lapangan
Yaitu metode pengumpulan data dengan cara terjun langsung ke dalam obyek
penelitian, dalam pengumpulan data lapangan ini penulis menggunakan metode
yaitu:
1. Observasi
Observasi adalah studi yang disengaja, sistematis tentang fenomena sosial
gejala-gejala psikis, dengan jalan pengamatan. Observasi adalah penelitian yang
dilakukan dengan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap obyek
yang diteliti. (Narbuko, 1997:37) dalam hal ini penulis melakukan observasi
secara berkesinambungan terhadap responden di lapangan guna mendapatkan data
latar belakang, sosio-ekonomi pelaku cerai gugat dan perkembangan kehidupan
2. Wawancara
Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal, jadi semacam percakapan
untuk memperoleh informasi. (Nasution, 2001:25) Disini penulis mengumpulkan
data dengan cara melakukan tanya jawab secara langsung kepada dua pelaku
perceraian sebagai informan yang banyak untuk mengetahui permasalahan yang
pernah dihadapi mereka. Kedua informan ini semuanya adalah perempuan yang
pernah melakukan cerai gugat kepada suami masing-masing.
3. Dokumentasi
Yaitu mencari dan mengumpulkan data pendukung berupa foto saat proses
pernikahan,surat-surat dokumen bila ada, kartu identitas subyek dan para
informan, dan dokumen lain yang diperlukan untuk menunjang penelitian yang
dilakukan.
b. Penelitian Kepustakaan
Yaitu suatu metode pengumpulan data dengan cara membaca atau mempelajari
buku peraturan perundang-undangan dan sumber kepustakaan lainya yang
berhubungan dengan obyek penelitian. (Hadikusuma, 1991:80) Metode ini
digunakan untuk mengumpulkan data sekunder mengenai permasalahan yang ada
relavansinya dengan obyek yang diteliti, dengan cara menelaah atau membaca
yang ada hubunganya dengan masalah yang dibahas. Data pendukung ini penting
dalam rangka penulisan sripsi ini.
5. Metode Analisa Data
Setelah data dikumpulkan dengan lengkap, tahapan berikutnya adalah tahap
analisa data. Pada tahap ini data akan dimanfatkan sedemikian rupa sehingga
diperoleh kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalaan
yang diajukan dalam penelitian. Setelah jenis data yang dikumpulkan maka
analisa data dalam penelitian ini bersifat kualitatif. Adapun metode analisa data
yang dipilih adalah model analisa interaktif. Didalam model analisa interaktif
menurut Miles dan Huberman (dalam Sutopo,2006:43) terdapat tiga komponen
pokok berupa:
a. Reduksi data
Reduksi data adalah sajian analisa suatu bentuk analisis yang mempertegas,
memperpendek, membuat fokus, membuang hal yang tidak penting dan mengatur
sedemikian rupa sehinga kesimpulan akhir dapat dilakukan.
b. Sajian Data
Sajian data adalah suatu rakitan organisasi informasi yang memungkinkan
kesimpulan riset dapat dilakukan dengan melihat suatu penyajian data. Peneliti
akan mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu
pada analisis ataupun tindakan lain berdasarkan pengertian tersebut,
Penarikan kesimpulan yaitu kesimpulan yang ditarik dari semua hal yang terdapat
dalam reduksi data dan sajian data. Pada dasarnya makna data harus di uji
validitasnya supaya kesimpulan yang diambil menjadi lebih kokoh. Adapun
proses analisisnya adalah sebagai berikut : Langkah pertama adalah
mengumpulkan data, setelah data terkumpul kemudian data direduksi artinya
diseleksi, disederhanakan, menimbang hal-hal yang tidak relevan, kemudian
diadakan penyajian data yaitu rakitan organisasi informasi atau data sehingga
memungkinkan untuk ditarik kesimpulan.
Apabila kesimpulan yang ditarik kurang mantap dan terdapat kekurangan data
maka penulis dapat melakukan lagi pengumpulan data. Setelah data-data
terkumpul secara lengkap kemudian diadakan penyajian data lagi yang susunanya
dibuat sistematis sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan berdasarkan data
tersebut.
6. Pengecekan Keabsahan Data
Peneliti menggunakan triangulasi sebagai teknik untuk mengecek keabsahan data.
Di mana dalam pengertiannya triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan
data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil
wawancara terhadap objek penelitian (Moloeng, 2004:330). Pengecekan
keabsahan data ini dilakukan dengan cara membandingkan berbagai dokumen,
oservasi dan mencari informasi dari berbagai pihak yaitu pelaku perceraian dan
saksi yang terlibat dalam kasus perceraian tersebut.
Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang arah dan tujuan penulisan
penelitian, maka secara garis besar dapat di gunakan sistematika penulisan
sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN : Bab ini berisi Latar Belakang Masalah,
Permasalahan, Penegasan Istilah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode
Penelitian yang berisi tentang Pendekatan dan Jenis Penelitian, Lokasi Penelitian,
Sumber Data, Prosedur Pengumpulan Data, Kehadiran Peneliti, Analisis Data,
Pengecekan Keabsahan Data, Tahap-tahap Penelitian, dan terahir yakni
Sistematika Pembahasan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA : Bab ini berisi tinjauan umum tentang Perceraian,
Definisi Perceraian, Hukum Perceraian, Konsep Cerai Gugat, Sebab-sebab
Perceraian, Dampak-dampak Perceraian, Syarat Administrasi, penelitian serupa
sebelumnya.
BAB III : dalam bab ini memaparkan seluruh hasil penelitian yang peneliti
lakukan meliputi keaadaan perkara perceraian di pengadilan agama Salatiga,
pasangan pelaku perceraian dan data yang berkaitan dengan kasus perceraian
dengan informan penelitian.
BAB IV : bab ini berisi analisis praktek perceraian, berupa faktor-faktor penyebab
perceraian, proses perceraian, dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi.
BAB V PENUTUP : berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran yang
BAB II
KERANGKA DAN KAJIAN PUSTAKA
A.Kerangka Teori
1. Perceraian Dalam Perundang-undangan No. 1 Th 1974 Dan Kompilasi
Hukum Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang No. 1
Tahun1974 mengatur putusnya hubungan perkawinan sebagaimana berikut :
1. Putusnya Hubungan Perkawinan
a. Pasal 113 KHI, menyatakan perkawinan dapat putus karena :
1) Kematian
2) Perceraian, dan
3) Atas putusan pengadilan
b. Pasal 115 KHI dan Pasal 39 ayat 1 UU No. 1 / 1974 menyatakan :
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
Agama,setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dantidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
c. Pasal 114 KHI menyatakan :
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi
karena talak atau berdasarkan gugatan cerai.
2. Alasan-alasan Perceraian
Alasan-alasan perceraian termuat dalam pasal 116 KHI dan pasal39 ayat 1
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain yang diluar kemampuanya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekerasan atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak.
h. Pemeliharaan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
3. Macam dan Cara Pemutusan Hubungan Perkawinan
Inpres RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI menyebutkan tentang
macam-macam talak dan cara pemutusan sebagaimana berikut:
Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama yang
menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131 KHI.
b. Pasal 118 dalam KHI memuat :
Talak raj.’i adalah talak ke satu atau kedua, dalam talak ini suami
berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah.
c. Pasal 119 dalam KHI memuat :
Talak ba.’in shughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh
akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam keadaan
iddah.
Talak ba.’in shughra sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah :
1) Talak yang terjadi qabla ad-dukhul.
2) Talak dengan tebusan atau khuluk.
3) Talak yang dijatuhkan oleh pengadilan agama.
d. Pasal 120 dalam KHI menyatakan :
Talak ba.’in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya.
Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali
kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri menikah
dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da ad-dukhul
dan habis masa iddahnya.
Talak sunni adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan
terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci
tersebut.
f. Pasal 122 dalam KHI memuat :
Talak bid.’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan
pada waktu isteri dalam keadaan haid, atau isteri dalam keadaan
sucitapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
g. Pasal 123 dalam KHI memuat :
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan
didepan sidang pengadilan.
h. Pasal 124 dalam KHI memuat :
Khuluk harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan
pasal 116 KHI.
4. Proses Mengajukan Cerai Gugat
Inpres RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI menyebutkan tentang proses
mengajukan cerai gugat sebagaimana berikut :
4.1 Pasal 132 dalam KHI
a. Gugatan perceraian diajukan isteri atau kuasanya pada Pengadilan
Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat
kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin
b. Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, ketua
Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut kepada
tergugat melalui perwakilan Indonesia setempat.
4.2 Pasal 133 dalam KHI
c. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf b
dalam KHI dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung
sejak tergugat meninggalkan rumah.
d. Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau
menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali berumah tanggal bersama.
4.3 Pasal 134 dalam KHI
Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf f
dalamKHI dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi pengadilan
agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan
setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat
dengan suami isteri tersebut.
4.4 Pasal 135 dalam KHI
Gugatan perceraian karena alasan suami mendapat hukuman penjara 5
(lima) tahun atau hukumannya lebih berat sebagai dimaksud dalam
pasal 116 huruf c dalam KHI, maka untuk mendapatkan putusan
perceraiansebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan
putusan pengadilan yang memutuskan putusan disertai keterangan
yang menyatakan bahwaputusan itu telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
a. Selama berlangsung gugatan perceraian atas permohonan penggugat
atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin
ditimbulkan, pengadilan agama dapat mengizinkan suami isteri untuk
tidak tinggal dalam satu rumah.
b. Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan
penggugat atau tergugat, pengadilan agama dapat :
1) Menentukan hal-hal yang harus ditanggung oleh suami.
2) Menentukan hal-hal yang perlu untuk dijamin terpeliharanya
barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau
barang-barang yang menjadi hak isteri.
2. Pengertian PerceraianDalam Fiqh Islam
a. Pengertian Talak
Talak diambil dari kata “ithlak” yang menurut bahasa artinya
“melepaskan atau meninggalkan”. Menurut syara’, talak yaitu:
m
ﱠﺰﻟ ا ِﺔَﻄِﺑ َﺮﻟ
ِﺔﱠﯿِﺟ ْو ﱠﺰﻟ ا ِﺔَﻗ َﻼَﻌْﻟا ُء ﺎَﮭْﻧ ِاَو ِج اَو
Melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri.
Jadi talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga
setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi
suaminya. (Ghazaly, 2006:191)Namun ini berlaku untuk talak ba’in untuk
raj’i seorang suami masih diperbolehkan ruju’ kepada istri sebanyak dua
Lafal talak telah ada sejak zaman Jahiliyah. Syara’ datang untuk
menguatkannya bukan secara spesifik atas umat ini. Penduduk Jahiliyah
menggunakannya ketika melepas tanggungan, tetapi dibatasi tiga kali.
Hadis diriwayatkan dari Urwah bin Zubair berkata: “Dulunya manusia
menalak istrinya tanpa batas dan bilangan.” Seseorang yang menalak istri,
ketika mendekati habis masa menunggu, ia kembali kemudian menalak
lagi begitu seterusnya kemudian kembali lagi dengan maksud menyakiti
wanita, Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki pada zaman Jahiliyah
menalak istrinya kemudian kembali sebelum habis masa menunggu.
Andaikata wanita di talak seribu kali kekuasaan suami untuk kembali
masih tetap ada. Maka datanglah seorang wanita kepada Aisyah ra.
Mengadu bahwa suaminya menalaknya dan kembali tetapi kemudian
menyakitinya. (Azzam, 2009:255)
Menurut syara’ yang dimaksud talak ialah memutuskan tali
perkawinan yang sah, baik seketika atau di masa mendatang oleh pihak
suami dengan mengucapkan kata-kata tertentu atau cara lain yang
menggantikan kedudukan kata-kata tersebut. Menurut bahasa, talak berarti
menceraikan atau melepaskan (Umar, 1986:386)Kata “talak” dalam
bahasa Arab berasal dari kata “thalaqa- yutahliku-thalaqaqan” yang
bermakna melepas atau mengurai tali pengikat. Baik tali pengikat itu
bersifat kongkrit seperti pengikat kuda maupun bersifat abstrak seperti tali
perkawinan. Kata talak merupakan isim masdar dari kata
bermakna “irsal” dan “tarku”yaitu melepaskan dan meninggalkan.
Menurut Sabiq (2009:2) Kata Talak berasal dari kata thalaq adala h
al-ithlaq, artinya melepaskan atau meninggalkan. Dalam syariat Islam, talak
artinya melepaskan ikatan pernikahan atau mengakhirinya
b. Dalil disyariatkan talak
Dalil disyariatkan talak adalah Alquran, sunnah, dan ijma’. Dalam Alquran
Allah berfirman:
Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (QS. Al-Baqoroh :229)
Ulama sepakat bolehnya talak, ungkapannya menunjukkan
bolehnya talak sekalipun makruh. Akad nikah sebagaimana yang kami
sebutkan dilaksanakan untuk selamanya sampai akhir hayat. Agar suami
istri dapat membangun rumahtangga sebagai pijakan berlindung dan
bersenang-senang di bawah naungannya dan agar dapat mendidik
anak-anaknya dengan pendidikan yang baik. (Azzam, 2009:257)
Oleh karena itu, hubungan antara suami istri adalah hubungan yang
tersuci dan terkuat. Tidak ada dalil yang menunjukkan kesuciannya dari
pada Allah menyebutkan akad antara suami istri sebagai janji yang berat
(mitsaq ghalizh) sebagaimana firman Allah: Dan mereka (isteri-isterimu
telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS.An-Nisa’(4):
diremehkan dan direndahkan. Segala sesuatu yang melemahkan hubungan
ini dibensi Islam karena mengakibatkan luputnya manfaat dan hilangnya
maslahat antara pasangan suami istri tersebut. Telah kami isyaratkan pada
hadist Rasulullah.
ْق َﻼﱠﻄﻟا ُﷲا َﻰﻟِإ ِل َﻼَﺤْﻟ ا َﺾَﻐْﺑ َأ
)
ﻢﻛ ﺎﺤﻟاو ﮫﺟ ﺎﻣ ﻦﺑاو دواد ﻮﺑا هاور
(
Artiya:
Sesuatu perkawinan yang dibenci oleh Allah adalah talak/perceraian. (Ibnu Majah jus 1)
Siapa saja manusia yang menghendaki rusaknya hubungan antara
suami istri, dalam pandangan Islam ia keluar dari padanya dan tidak
memiliki sifat kehormatan. Rasulullah bersabda: Tidak tergolong kami
orang yang merusak hubungan suami istri terhadap suaminya. (Azzam,
2009:257)
Sedangkan ijma’ menyepakati bahwa hubungan suami istri adalah
hubungan tersuci dan terkuat, maka hubungan ini tidak boleh diremehkan dan
direndahkan. Keduanya harus berusaha menggapai mawadah warrahmah
dalam menjalani biduk rumah tangga.
c. Hukum Talak Dalam Islam
Pada prinsipnya asalnya, talak itu hukumnya makruh berdasarkan
ْق َﻼﱠﻄﻟا ُﷲا َﻰﻟِإ ِل َﻼَﺤْﻟ ا َﺾَﻐْﺑ َأ
Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah Azza wajalla adalah talak (Ibnu Majah jus 1)
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum talak, pendapat yang
lebih benar adalah makruh jika tidak ada hajat yang menyebabkannya,
karena talak berarti kufur terhadap nikmat Allah, mengkufuri nikmat Allah
haram hukumnya. Talak tidak halal karena darurat misalnya suami ragu
terhadap perilaku istri atau hati sang suami tidak ada rasa tertarik pada istri
karena Allah Maha Membalikkan segala hati. Jika tidak ada hajat yang
mendorong talak kufur terhadap nikmat Allah secara murni dan buruk
adab terhadap suami, hukumnya makruh.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat tentang hukum talak
secara rinci. Menurut mereka hukum talak terkadang wajib dan terkadang
haram dan sunnah. Al-Baijarami berkata: Hukum talak ada lima yaitu
adakalanya wajib seperti talaknya talaknya orang yang bersumpah ila’
(bersumpah tidak mencampuri istri) atau dua utusan dari keluarga suami
dan istri, adakalanya haram seperti talak bid’ah dan adakalanya sunnah
seperti talaknya orang yang lemah, tidak mampu melaksanakan hak-hak
pernikahan. Demikian juga sunnah, talaknya suami yang tidak ada orang
tua yang bukan memberatkan, karena buruk akhlaknya dan ia tidak tahan
hidup bersamanya, tetapi ini tidak mutlak karena umumnya wanita seperti
seperti burung gagak yang putih kedua sayap dan kedua kakinya. Hadis
ini sindiran kelangkaan wujudnya Al-A’shamm artinya putih kedua
sayapnya atau kedua kakinya dan atau salah satunya.
Ulama Hanabilah (penganut mazhab Hambali) memperinci hukum
talak sebagai berikut haram, mubah, dan kadang-kadang dihukumi sunnah.
Talak wajib misalnya talak dari hakam perkara syiqaq, yakni perselisihan
suami istri yang sudah tidak bias didamaikan lagi, dan kedua pihak
memandang perceraian sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan
persengketaan mereka. Termasuk talak wajib ialah talak dari orang yang
melakukan ila, terhadap istrinya setelah lewat empat bulan.
Adapun talak yang diharamkan,yaitu talak yang tidak diperlukan.
Talak ini dihukumi haram karena akan merugikan suami dan istri serta
tidak ada manfaatnya.Talak mubah terjadi hanya apabila diperlukan,
misalnya karena istri sangat jelek, pergaulannya jelek, atau tidak dapat
diharapkan adanya kebaikan dari pihak istri. Apabila pernikahan
dilanjutkan pun tidak akan mendapat tujuan apa-apa. Talak mandubatau
talak sunnah, yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri yang sudah
keterlaluan yang telah melanggar perintah-perintah Allah, misalnya
meninggalkan sholat atau kelakuannya sudah tidak dapat diperbaiki lagi
atau istri sudah tidak menjaga kesopanan dirinya. (Tihami, 2009:250)
Secara garis besar ditinjau dari boleh atau tidaknya rujuk
kembali, talak di bagi menjadi dua yaitu :
1) Talak Raj’i
Talak Raj’i yaitu thalaq dimana suami masih mempunyai hak untuk rujuk kepada istrinya, dimana istri dalam keadaan sudah digauli. Hal ini sesuai dengan Qs Al-Baqarah : 229 yang berbunyi :
ß kecuali kalau keduaanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah (Tihami, 2009 :233).
2) Talak Ba’in
Talak Ba’in adalah talak yang memisahkan sama sekali hubungan
suami istri. Talak Ba’in terbagi menjadi dua bagian:
a) Talak ba’in sughra, yaitu talak yangmenghilangkan hak-hak
rujuk dari bekas suaminya, tetapi tidak menghilangkan nikah baru
kepada bekas istrinya. Artinya bekas suami boleh mengadakan
akad nikah baru dengan bekas istri, baik dalam masa iddahnya
maupun sesudah berakhir masa iddahnya.
Yang termasuk dalam talak ba’in sughra ialah :
2) Talak dengan penggantian harta atau yang disebut Khulu’
3) Talak karena aib (cacat badan), karena salah seorang di
penjara, talak karena penganiayaan, atau yang semacamnya
Hukum talak bain shugra:
1. Hilangnya ikatan nikah antara suami dan istri
2. Hilangnya hak bergaul bagi suami istri termasuk berkhalwat
(menyendiri berdua-duaan)
3. Masing-masing tidak saling mewarisi manakala meninggal
4. Bekas istri, dalam masa iddah, berhak tinggal di rumah bekas
suaminya dengan berpisan tempat tidur dan mendapat nafkah
5. Rujuk dengan akad dan mahar yang baru
b) Talak ba’in kubra, ialah talak yang mengakibatkan hilangnya hak
ruju’ kepada bekas istri, walaupun kedua bekas suami istri itu
masih ingin melakukanya, baik diwaktu iddah maupun
sesudahnya. Yang termasuk dalam thalaq ba’in kubra adalah:
perceraian yang mengandung unsur sumpah seperti ila, zihar, dan
li’an
Sebagian ulama berpendapat yang termasuk talak bainkubra
adalah segala macam perceraian yang mengandung unsur-unsur
seperti: ila, zihar, dan li’an
Hukum talak bain kubra:
1. Hilangnya ikatan nikah antara suami dan istri
2. Hilangnya hak bergaul bagi suami istri termasuk berkhalwat
3. Bekas istri, dalam masa iddah, berhak tinggal di rumah bekas
suaminya dengan berpisah tempat tidur dan mendapat nafkah
4. Suami haram kawin lagi dengan istrinya, kecuali bekas istri
telah kawin dengan laki-laki lain.
Maksudnya apabila seorang suami menceraian istrinya
dengan talak tiga, maka perempuan itu tidak boleh dikawini lagi
sebelum perempuan tersebut menikah dengan laki-laki
lain.Apabila suami yang telah terlanjur menjatuhkan talak sampai
tiga kali terhadap istri, tiba-tiba menyesal, tidak boleh minta
kepada seorang untuk mengawini bekas istrinya itu, dengan
permintaan setelah berlalu beberapa waktu dan setelah terjadi
persetubuhan supaya menceraikan istrinya, guna memungkkinkan
kawin lagi dengan suami pertama itu. Dalam hubungan ini hadis
Nabi riwayat Ahmad, Abu Dawud, Turmudzi, Nasai, dan Ibnu
Majah dari Ali memperingatkan, ‘Allah mengutuk laki-laki
muhallil (mengawini perempuan untuk menghalalkan perkawinan
kembali dengan bekas suaminya lama) dan laki-laki yang
menyuruh orang lain kawin sebagai muhallilnya. (Basyir,
1999:81)
Di tinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak itu, talak dibagi
menjadi tiga macam sebagai berikut:
a. Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan
1. Istri yang ditalak sudah pernah digauli, bila dijatuhkan terhadap
istri yang belum pernah digauli tidak termasuk talak sunni.
2. Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah di talak, yaitu
dalam keadaan suci dari haid. Menurut ulama Syafi’iyah,
perhitungan iddah bagi wanita berhaid ialahtiga kali suci, bukan
tiga kali haid. Talak terhadap istri yang telah lepas
haid(menopause) atau belum pernah haid, atau sedang hamil, atau
karena suami meminta tebusan (khulu’), atau ketika istri dalam
haid, semuanya tidak termasuk talak sunni.
3. Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci, baik di
permulaan, di pertengahan maupun di akhir suci, kendati beberapa
saat lalu datang haid.
4. Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci di mana itu
dijatuhkan. Talak yang dijatuhkan oleh suami ketika istri dalam
keadaan suci dari haid tetapi pernah digauli, tidak termasuk talak
sunni.
b. Talak Bid’i, yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan
dengan tuntunan sunnah, tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni.
Termasuk talak bid’i:
1. Talak, yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid (menstruasi)
baik dipermulaan haid maupun di pertengahannya.
2. Talak yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci tetapi
c. Talak la sunni wala bid’i, yaitu talak yang tidak termasuk kategori
talak sunni dan tidak pula termasuk talak bid’i yaitu:
1. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli.
2. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid, atau
istri yang telah lepas haid.
3. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.
Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata-kata yang digunakan
sebagai ucapan talak, maka talak dibagi menjadi dua macam, sebagai
berikut:
a. Talak Syarih, yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata yang jelas
dan tegas, dapat dipahami sebagai pernyataan talak atau cerai seketika
diucapkan, tidak mungkin dipahami lagi.
Beberapa contoh talak syarih ialah seperti suami berkata kepada
istrinya:
1. Engkau saya talak sekarang juga, engkau saya ceraikan sekarang
juga.
2. Engkau saya firaq sekarang juga, engkau saya pisahkan sekarang
juga.
Apabila suami menjatuhkan talak terhadap istri dengan talak syarih
maka menjadi jatuhlah talak dengan sendirinya, sepanjang
diucapkannya itu dinyatakan dalam keadaan sadar dan atas
kemauannya sendiri.
b. Talak kinayah, yaitu talak dengan mempergunakan kata sindiran, atau
1. Engkau sekarang telah jauh dari diriku.
2. Selesaikan sendiri segala urusanmu.
3. Janganlah engkau mendekati aku lagi.
4. Keluarlah engkau dari rumah ini sekarang juga.
5. Pergilah engkau dari tempat ini sekarang juga.
6. Susullah keluargamu sekarang juga.
7. Pulanglah kerumah orang tuamu sekarang.
8. Beriddahlah engkau dan bersihkanlah kandunganmu itu.
9. Saya sekarang telah sendirian dan hidup membujang.
10. Engkau sekarang telah bebas merdeka, hidup sendirian.
Ucapan-ucapan tersebut mengandung kemungkinan cerai dan
mengandung kemungkinan lain.Tentang kedudukan talak dengan
kata-kata kinayah atau sindiran ini sebagaimana dikemukakan oleh
Taqiyuddin Al-Husaini, bergantung kepada niat suami. Artinya, jika
jika suami dengan kata-kata tersebut bermaksud menjatuhkan talak
maka menjadi jatuhlah talak itu, dan jika suami dengan kata-kata
tersebut tidak bermaksud menjatuhkan talak maka talak tidak jatuh.
(Ghazaly, 2006:195)
3. Prosedur Perceraian
a. Pendaftaran Perkara
1. Pendaftaran perkara
Surat gugatan/ permohonan dibuat dengan kelengkapan yang sudah
2. Penunjukkan majelis hakim oleh ketua pengadilan
3. Penetapan hari sidang oleh ketua majlis
4. Pemanggilan para pihak
b. Pemeriksaan Di Muka Sidang
Sidang pertama sangat penting, karena akan menentukan beberapa hal;
1. Jika tergugat/termohon telah dipanggil secara patut, ia/kuasa
hukumnya tidak hadir, ia akan diputus verstek
2. Jika penggugat/pemohon yang tidak hadir, ia diputus dengan
digugurkan perkaranya
3. Sanggahan (eksepsi) relatif hanya boleh diajukan disidang pertama
4. Gugat balik (reconvencie) hanya boleh diajukan disidang pertama
c. Jalannya Persidangan
1. Panitera mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan
kesiapan sidang, hakim memasuki ruang sidang
2. Ketua majlis membuka sidangdibuka dan terbuka untuk umum kecuali
ditentukan lain oleh UU
3. Ketua majlis menanyakan identitas pihak-pihak
4. Ketua majlis menganjurkan damaijika damai tercapai dibuatkan akta
perdamaian sifatnya sama dengan putusan dan berlaku nebis in idem.
Bila tidak damai, sidang dilanjutkan
5. Pembacaan surat gugatan
6. Jawaban surat gugatan
7. Replik
9. Pembuktian
10. Konklusi
11. Putusan
4. Prosedur Cerai Gugat
a. Prosess pemantapan niat, menyediakan dana dan waktu. Bagaimana
perceraian merupakan keputusan yang membutuhkan pemikiran yang
serius, kedewasaan bertindak serta niat yang kuat untuk menjalaninya mau
tidak mau perceraian akan mengakibatkan dampak yang serius baik secara
psikologis, yuridis dan lainya. Namum juga kepada anak dan
keturunannya. Untuk itu kemantapan niat harus dibutuhkan pula tentang
penyediaan dana untuk mengajukan permohonan gugat cerai.
b. Meminta pertimbangan dari beberapa orangterdekat sekalipun orang sudah
memantapkan niatnya untuk mengajukan permohonan gugat cerai, namun
tidak ada salahnya bila meminta pendapat dari sejumlah orang terdekat
paling tidak untuk memperkuat alasan perceraian.
c. Menentukan perlu tidaknya kuasa hukum atau pengacara, harus di
pertimbangkan cecara matang. Tidak hanya terkait dengan dana untuk
membayar jasa pendampingnya, namun juga mengingat efektifitas
menggunakan kuasa hukum, keberadaan kuasa hukum sangat membantu
dalam kelancaran proses perkara.
d. Mengajukan surat pemberitahuan atas surat permohonan perceraian, bila
semua sudah disiapkan, dan niat mengajukan gugatan perceraian sudah
e. Melakukan proses sidang perceraian
Proses sidang perceraian bisa dilakukan bila gugatan atau permohonan
cerai sudah didaftarkan dalam register oleh Panitera Pengadilan yang
berwenang mengadilinya. Kemudian Ketua Pengadilan akan menunjuk
Majelis Hakim yang bertugas untuk menyidangkan kasus tersebut.
Sekalipun menentukan jadwal sidang pertama dari gugatan tersebut:
5. Pembatalan Perkawinan
1. Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan
Menurut Undang-Undang perkawinan, pada prinsipnya perkawinan
dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan. Hal ini diatur di dalam pasal 22, sedangkan
yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu diatur di dalam
pasal 23 Undang-undang Perkawinan terdiri dari:
a. Para keluarga dalam garis keturunan terus keatas dari suami atau
isteri.
b. Suami atau isteri
c. Pejabat yang berwewenang hanya selama perkawinan belum
diputuskan
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-Undang
ini dan setiap orang yang mempunya kepentingan hukum secara
langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah
Demikian pula menurut pasal 24 ditegaskan : barang siapa karena
perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak
dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan
perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat 2
dan Pasal 4 undang-undang ini.
Undang-undang Perkawinan mengatur tempat diajukannya
permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam
daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal
kedua suami istri, suami atau istri. (Sudarsono, 2005:106)
1. Syarat-syarat pembatalan perkawinan
Menurut pasal 22 UUP perkawinan dapat dibatalkan apabila
para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan.Pengertian ‘dapat” pada pasal ini diartikan bisa batal atau
bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya
masing-masing tidak menentukan lain.
pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan,
menurut pasal 21 UUP ialah:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari
suami atau iatri
b. Suami atau istri
c. Pejabat yang berwewenang hanya selama perkawinan
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16
Undang-Undang ini dan setiap orang yang mempunyai
kepentingan hokum secara langsung terhadap
perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan
itu putus.
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan
salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya
perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru,
dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4
Undang-Undang ini (pasal 24). Permohonan pembatalan perkawinan
diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan
dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau
istri.
2. Akibat Putusnya Perkawinan Menurut KHI
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
(Pasal 149 KHI)
a) Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya baik
berupa uang/benda, kecuali bekas istrinya dijatuhi talakQobla
dhukhul.
b) Memberikan nafkah, maskan dan kiswan kepada bekas istri
selama masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in
c) Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh bila
Qobla dhukul.
d) Memberikan biaya hadlanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 th.
Bekas suami berhak melakukan rujuk kepada bekas istrinya yang
masih dalam iddah. Bekas istri selama dalam masa idaah wajib
menjaga dirinya, tidak menerima pinangan, dan tidak menikah dengan
pria lain. Bekas istri berhak mendapat nafkah iddah dari bekas
suaminya kecuali bila ia nusyuz.
3. Akibat Perceraian karena Cerai Gugat diatur dalam pasal 156
Kompilasi
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadlanah dari ibunya
kecuali ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan
oleh:
1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2. Ayah;
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah;
6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
c. Apabila pemegang hadlanah dan tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, maka Pengadilan Agama dapat
memindahkan kepada kerabat lain
d. Semua biaya hadlanah dan nafkah menjadi tanggung jawab ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak itu dewasa
dan dapat mengurus dirinya sendiri dalam usia 21 tahun
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadlanah dan nafkah anak,
Pengadilan memberikan putusan berdasarkan a,b,c,d
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan
anak-anak yang tidak turut padanya. (Ramulyo, 1996:163)Harta bersama
dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 96,97
2. Sebab-sebab Putusnya Perkawinan
Suatu perkawinan menjadi putus adalah karena talak baik talak
mati atau hidup. Sedangkan talak itu sendiri hanya berhak dilakukan oleh
suami. Talak bukan merupakan kesewenang-wenangan seorang suami
sebagai senjata untuk memutus ikatan perkawinan dengan istrinya, namun
jatuhnya talak bisa disebabkan beberapa alasan. Alasan-alasan itu bisa
datang dari suami maupun istri sehingga mengakibatkan talak. Ada
beberapa sebab perceraian yang dirumuskan oleh para ulama klasik.
perkawinan selain talak yaitu khulu’, fasakh, syiqaq, nusyuz, ila’, dzihar,
li’an yang akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Khulu’Menurut bahasa kata khulu’berarti tebusan. Karena istri menebus
dirinya dari suaminya dengan mengembalikan apa yang pernah dia terima.
Sedangkan menurut istilah khulu’ berarti talak yang diucapkan istri dengan
mengembalikan mahar yang pernah dibayarkan oleh suaminya.Artinya
tebusan itu dibayar kembali kepada suaminya agar suaminya dapat
menceraikannya. Menurut fiqh pun demikian, khulu’ berarti perceraian
yang dilakukan lelaki terhadap istrinya dengan mendapatkan harta tebusan
(iwadh). (Ghazali, 2006:220) Dasar hukum disyari’atkan khulu’ ialah
dalam surat Al-Baqarah ayat 229 sebagai berikut:
ß dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari Sesutu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hokum-hukum Allah”.
b. Zhihar Dalam bahasa Arab, zhihar berasal dari kata zhahrun yang artinya
ucapan suami kepada istrinya yang berisi menyerupakan punggung istri
dengan punggung ibu suami. Ucapan zhihar pada masa jahiliyah
dipergunakan oleh suami yang bermaksud mengharamkan menyetubuhi
istri dan berakibat menjadi haramnya istri bagi suami dan laki-laki
selainnya untuk selamanya. Untuk itu Islam menjadikan zhihar sebagai
perkara yang berakibat hukum duniawi. Adapun dasar hukum adanya
zhihar adalah dalam surat Al-Mujadalah ayat 2 sebagai berikut:
ttûïÏ%©!$# “orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain
hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan
Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”.
c. Ila’ Kataila’ menurut bahasa artinya sumpah. Sedangkan menurut istilah,
ila’ adalah sumpah suami dengan menyebut nama Allah atau sifat-Nya
yang tertuju kepada istrinya untuk tidak mendekati istrinya itu, baik secara
mutlak ataudibatasi dengan ucapan selamanya, atau dibatasi empat bulan
atau lebih.Dasarhukum pengaturan ila’ surat Al-Baqarah ayat 226-227
“kepada orang-orang yang meng-illa’ istrinya, diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber’azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.
Meng-ilaa' isteri Maksudnya: bersumpah tidak akan mencampuri
isteri. dengan sumpah ini seorang wanita menderita, karena tidak
disetubuhi dan tidak pula diceraikan. dengan turunnya ayat ini, Maka
suami setelah 4 bulan harus memilih antara kembali menyetubuhi isterinya
lagi dengan membayar kafarat sumpah atau menceraikan.
d. Li’an Kata li’an diambil dari kata al-la’nu yang berarti jauh dan laknat atau
kutukan. Menurut syara’ li’an adalah sumpah yang diucapkan oleh suami
ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian
bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada
sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima
laknat Allah jika dia berdusta. Dasar hukum li’an dalam surat An-Nisa’ 6-7
“ dan ujilahanak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka
telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan
janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas
kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.Yakni: Mengadakan penyelidikan terhadap mereka tentang keagamaan, usaha-usaha mereka, kelakuan dan lain-lain sampai diketahui bahwa anak itu dapat dipercayai”.
e. Syiqaq adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami istri sedemikian
rupa, sehingga antara suami istri terjadi pertentangan pendapat dan
pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan
kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya.
Sebab-sebab terjadi Syiqaq antara lain sebagaiberikut :
- Antara suami isteri mempunyai watak, sehingga tidak
dapatdipertemukan, dan masing-masing mempertahankanwataknya
dan tidak mau mengalah.
- Disebabkan oleh suami, misanya perlakuan suami yangamat
sewenang-wenang terhadap isteri, hingga amat beratbagi isteri untuk
f. Fasakh kata fasakh berarti merusakkan atau membatalkan. Jadi, fasakh
sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau
membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung. Fasakh dapat
terjadi karena terdapat hal-hal yang membatalkan akad nikah yang
dilakukan dan dapat pula terjadi karena suatu hal yang baru dialami
sesudah akad nikah dilakukan.
Contoh fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi dalam akad nikah
1. Setelah akad nikah ternyata istrinya adalah saudara sesusuan.
2. Setelah akad nikah ternyata istrinya masih mempunyai hubungan
perkawinan dengan orang lain atau dalam masa idah talak laki-laki
lain.
Contoh fasakh karena hal-hal mendatang setelah akad nikah
1. Suami istri beragama Islam tiba-tiba suami murtad, dan tidak mau
kembali lagi beragama Islam maka hubungan perkawinan mereka
diputuskan sebab terdapat penghalang perkawinannya.
2. Apabila suami melakukan zina dengan ibu atau anak istrinya atau istri
melakukan zina dengan ayah atau anak suaminya, perkawinan mereka
dibatalkan sebab antar suami istri terdapat hubungan mahram semenda
yang menghalangi terjadinya perkawinan.(Basyir, 1999:86)
Di dalam buku nikah di Indonesia pada takliq talak dijelaskan bahwa
seorang wanita (istri) boleh meminta fasakh (minta supaya diceraikan)
oleh pengadilan Agama apabila suami sewaktu-waktu :
ü Tidak memberi nafkah wajib kepada isteri selama tiga bulan
berturut-turut.
ü Menyakiti badan atau jasmani isteri.
ü Membiarkan atau tidak pedulikan isteri selama enam bulan
berturut-turut.
Demikian agamaIslam memberikan hak fasakh kepada seorang wanita,
jika dia tidak ridha karena :
ü Membawa madarat baginya dengan perpisahan itu.
ü Akan menjerumuskan dirinya kepada yang diharamkan Allah
(antara lain berbuat serong).
ü Merasa tergantung, terkatung-katung karena disia-siakan oleh
suami.
Fasakh dengan keputusan pengadilan dapat juga diminta oleh istri
dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Suami sakit gila.
2. Suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan
sembuh.
3. Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk melakukan
hubungan kelamin.
4. Suami jatuh miskin sehingga tidak mampu memenuhi kewajiban
nafkah istri.
5. Istri merasa tertipu, baik mengenai nasab keturunan, kekayaan atau