• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLIKASI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 TENTANG PEMBATALAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN TERHADAP STATUS BADAN HUKUM MILIK NEGARA UNIVERSITAS AIRLANGGA Repository - UNAIR REPOSITO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "IMPLIKASI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 TENTANG PEMBATALAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN TERHADAP STATUS BADAN HUKUM MILIK NEGARA UNIVERSITAS AIRLANGGA Repository - UNAIR REPOSITO"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

IMPLIKASI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 TENTANG PEMBATALAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN TERHADAP STATUS BADAN HUKUM MILIK NEGARA

UNIVERSITAS AIRLANGGA

Oleh :

MOCHAMAD MUAMAR NASRULLOH NIM. 030810422

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS AIRLANGGA

(2)

IMPLIKASI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 TENTANG PEMBATALAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN TERHADAP STATUS BADAN HUKUM MILIK NEGARA

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

DOSEN PEMBIMBING PENYUSUN

DRI UTARI CHRISTINA, S.H, LL.M.

NIP. 197905272005012001 NIM. 030810355

MOCHAMAD MUAMAR NASRULLOH

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS AIRLANGGA

(3)

Skripsi ini telah diuji dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Pada tanggal 27 Juni 2012

Tim Penguji Skripsi

Ketua : Endang Sayekti, S.H., M.Hum. ...

Anggota : 1. Dri Utari Christina, S.H., LL.M. ...

2. Dr. Sukardi, S.H., M.H. ...

(4)

“Pemuda berbeda dengan pecundang,

Pemuda suka berjuang, Pecundang

suka berlalu-lalang”

YAKUSA

(Yakin Usaha Sampai)

Yakinlah atas sesuatu yang hendak kau

kerjakan, lalu berusahalah dengan giat

(5)

Alhamdulillah, Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan ridho dan rahmatnya, sehingga penulisan Skripsi ini dapat saya terselesaikan. Tidak lupa shalawat serta salam, penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW. Penulisan

skripsi dengan judul “IMPLIKASI YURIDIS PUTUSAN MAHKAM KONSTITUSI NOMOR 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 TENTANG PEMBATALAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN TERHADAP STATUS BADAN HUKUM MILIK NEGARA UNIVERSITAS AIRLANGGA” ini dilakukan dalam rangka melengkapi tugas dan syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Terselesaikannya penulisan skripsi dan pendidikan S1 Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini tidak lepas dari motivasi, bimbingan yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu perkenankanlah saya menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada Ibu Dri Utari Christina, S.H., LL.M. sebagai dosen pembimbing, yang dalam kesibukannya mau mencurahkan perhatian dan memberi petunjuk mulai dari penyampaian permasalahan penulisan skripsi ini hingga akhir penyusunan skripsi ini.

Pada kesempatan ini pula saya menyampaikan terima kasih yang tulus kepada :\

1. Kedua orang tua saya atas kasih sayang yang tulus, doa, dan dukungan yang tak

pernah putus.

2. Dekanat Fakultas Hukum Universitas Airlangga: Prof. Dr. Muchammad Zaidun,

(6)

Hukum Universitas Airlangga

4. Para dosen penguji, yaitu Endang Sayekti, S.H., M.Hum., Dr. Sukardi, S.H.,

M.H., dan Zendi Wulan Ayu Widhi Prameswari, S.H., LL.M., yang telah

meluangkan waktunya untuk menguji dan memberikan masukan-masukan untuk

perbaikan skripsi ini;

5. Seluruh Civitas Akademika yang membekali ilmu sebagai bekal untuk menjadi

seorang yuris yang baik, dan seluruh dosen pengajar, utamanya dosen pengajar

pada departemen hukum tata negara, serta tak lupa kepada seluruh karyawan yang

membantu penulis menyelesaikan permasalahan administrasi selama masa studi di

Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini;

6. Sahabat-sahabat yang setia mengingatkan dan memberikan semangat dalam

pengerjaan skripsi ini, Nevy Fitriani, Amalia Labiqah, dan Oktaviany.

7. Kawan-kawan seperjuangan , terkhusus Angga, Nanda, Blonthenk, Budi, Wawan,

Zainal, Unyil, Agat, Marshal, Gita, Bagus, Adi, Andin, Chum2 ireng, Faqhi, Iza,

Ebi, wilda dan para kader 2010 terkhusus Raras, Vivi, Ferysta, Agus, Bram,

Chandra, Iga, lely dan Nina serta kader 2011 terkhusus, Chindrong, Em, Hanief

Gresik dan Hanif Madura (Pangeran Jomblo), Eka, Awan, dan Mirza.

8. Kawan-kawan minat pemerintahan yang punya pengalaman suka duka saat

bersama-sama magang di Mahkamah Konstitusi Jakarta, Bertus, Bunga, Yeni,

Inoth, Sista, Vanes, Indos, Aqib, serta teman-teman “Apem Anget” lainnya.

(7)

Iis, dan Dita yang telah memberikan hiburan tersendiri bagi saya.

11.Kawan-kawan Futsal Gamoh, Anas, Nico, Dewo, Farih, Iqbal, Telo, Dicky, Adi,

Chum2 Putih, Tian peng, yang telah memberikan hiburan permainan futsal untuk

menghilangkan kepenatan dalam pengerjaan skripsi.

12.Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat

saya sebutkan satu persatu, Teriring salam dan doa dari lubuk hati saya yang paling

dalam semoga Allah SWT membalas segala budi baik saudara sekalian semoga Allah SWT memberi ganjaran pahala yang sebesar-besarnya.

Pada Akhirnya Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini,

sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi peningkatan

kualitas di kemudian hari dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Surabaya, 23 Juli 2012

(8)

Meninjau Ratio Decidendi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

(9)

Halaman Judul...i

Halaman Pengesahan...ii

Lembar Pengesahan Ujian Skripsi...iii

Halaman Motto...iv

Kata Pengantar...v

Abstrak...viii

Daftar Isi ……….. ix

Daftar Aturan Hukum...……….... xi

Daftar Putusan Pengadilan ………...xii

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ...13

1.3. Metode Penelitian ...13

1.3.1. Tipe Penelitian ...13

1.3.2. Pendekatan Masalah ... 14

1.3.3. Bahan Hukum ... .15

BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 11-14-21-126-136/PUU/2009 ...17

2.1. Pengertian Ratio Decidendi... ... 17

(10)

Pendidikan Nasional dan

Menimbulkan Ketidakpastian Hukum…………24

2.2.2. UU BHP Mensyaratkan Seluruh Penyelenggara Pendidikan Harus Berbentuk Badan Hukum (Penyeragaman Dalam Bentuk BHP)……...28

BAB III AKIBAT HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 TENTANG PEMBATALAN UNDANG-UNDANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN TERHADAP STATUS BADAN HUKUM MILIK NEGARA UNIVERSITAS AIRLANGGA...33

3.1. Pengertian Badan Hukum Pendidikan... ... 33

3.2. Pengertian Badan Hukum Milik Negara... ... 36

3.3. Status Badan Hukum Milik Negara Universitas Airlangga Pasca Pembatalan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan...37

BAB IV PENUTUP...46

4.1. Kesimpulan ... 46

4.2. Saran ... 47

(11)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4301).

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4316).

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 10, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4965).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5226).

Peraturan Pemerintah 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan

Hukum

Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 2006 tentang Penetapan Universitas Airlangga

menjadi Badan Hukum Milik Negara

(12)

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 Tentang

Pembatalan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Undang-Undang Badan

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung (MA), yang dibentuk melalui perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).1 MK adalah lembaga peradilan yang dibentuk untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam lingkup wewenang yang dimiliki. Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi konstitusional yang dimiliki oleh MK adalah fungsi peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Fungsi MK dapat ditelusuri dari latar belakang pembentukannya, yaitu untuk menegakkan supremasi konstitusi. Oleh karena itu ukuran keadilan dan hukum yang ditegakkan dalam peradilan MK adalah konstitusi itu sendiri yang dimaknai tidak hanya sekedar sebagai sekumpulan norma dasar, melainkan juga dari sisi prinsip dan moral konstitusi, antara lain prinsip Negara hukum dan demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, serta perlindungan hak konstitusional Warga Negara.2

Di dalam penjelasan umum Undang Nomor 23 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) disebutkan

1

Ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001, tanggal 9 November 2001

2

(14)

bahwa tugas dan fungsi MK adalah mengenai perkara ketatanegaraaan atau perkara konstitusional tertentu dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Selain itu, keberadaan Mahkamah Konstitusi juga dimaksudkan sebagai koreksi terhadap pengalaman ketatanegaraan yang ditimbulkan oleh tafsir ganda atas konstitusi.3

1. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;

Wewenang yang dimiliki oleh MK telah ditentukan dalam pasal 24 C UUD NRI 1945, wewenang tersebut meliputi :

2. Memutus sengketa kewenanangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;

3. Memutus pembubaran partai politik dan

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.4

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa MK memiliki kewenangan untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945. Dalam teori tentang pengujian, dibedakan antara pengujian materiil dan pengujian formil. Pembedaan tersebut biasanya dikaitkan dengan perbedaan pengertian antara undang-undang dalam arti materiil dan undang-undang dalam arti formil. Kedua bentuk pengujian tersebut oleh UU MK dibedakan dengan istilah pembentukan undang-undang dan materi muatan

3

A. Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, 2006, hal. 119.

4

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusialisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,

(15)

undang-undang. Pengujian atas materi muatan undang-undang adalah pengujian materiil, sedangkan pengujian atas pembentukannya adalah pengujian formil.5

Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa secara umum, yang dapat disebut sebagai pengujian formil tidak hanya mencakup proses pembentukan undang-undang dalam arti sempit, tetapi juga mencakup pengujian mengenai aspek bentuk undang-undang, dan pemberlakuan undang-undang. Selain itu juga dijelaskan bahwa pengujian formil biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya.6

Pasal 51 ayat (3) huruf b UU MK mengatur mengenai pengujian materiil, dimana dalam ketentuan tersebut diatur bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Mengenai hal tersebut diatur lebih lanjut dalam pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang pedoman beracara dalam perkara pengujian undang-undang (PMK PUU), mengatur mengenai pengujian materiil sebagai berikut : “Pengujian materiil adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan materi muatan

5

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, Jakarta, 2005 (selanjutnya disingkat Jimly Asshiddiqie II), hal. 57.

6

(16)

dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.7

Pemerintah melakukan banyak cara untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, salah satunya adalah dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Akan tetapi ketika pemerintah mengambil langkah untuk merealisasikan UU BHP, banyak terjadi kontroversi yang menyebabkan undang-undang tersebut mengalami pasang surut dalam implementasinya. Demo-demo mahasiswa tidak terelakan untuk meneriakkan aspirasi mereka. Diantaranya adalah demo mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia di depan gedung MK pada tanggal 12 Maret 2009.8 Demo dari Pergerakan Mahasiswa Pro Rakyat Yogyakarta di depan gedung Agung Yogyakarta pada tanggal 21 Juni 2009.9

UU BHP merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Dalam rangka mewujudkan manajemen berbasis sekolah / madrasah dan otonomi perguruan tinggi, Pasal 53 UU Sisdiknas mengamanatkan pembentukan Badan Hukum Pendidikan yang berfungsi memberikan pelayanan pendidikan formal kepada peserta didik, sedangkan tujuannya

7

Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, cet. 1., Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal. 29.

8

Dhoni, “Demo tolak UU BHP” /FOTODemo.Tolak.UU.BHP yang dikunjungi pada 13 Maret 2012

9

Berita Jogja dikutip dar

(17)

adalah untuk memajukan pendidikan nasional dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi. Kemandirian perguruan tinggi yang dilegitimasi dengan UU BHP nantinya akan menciptakan pendidikan yang berkualitas, kredibel, efisien, dan profesional. UU BHP sesungguhnya adalah upaya pemerintah dalam melindungi masyarakat atau peserta didik dari perilaku penyelenggara lembaga pendidikan yang mengutamakan bisnis semata. Namun dalam perkembangannya terjadi pro dan kontra tentang pemberlakauan UU BHP ini.

Bagi kalangan yang pro dengan pemberlakuan UU BHP beralasan bahwa tujuan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan diantaranya adalah untuk mencegah munculnya perguruan tinggi yang status dan kualitasnya tidak jelas. UU BHP ini akan menjadi fondasi agar perguruan tinggi lebih akuntabel, dan mendorong mereka berlomba-lomba meningkatkan mutu, sehingga tidak akan ada lagi universitas abal-abal, yang hanya mencari untung namun kualitasnya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dengan kehadiran UU BHP pemerintah akan dapat menyelenggarakan pendidikan yang pengelolaannya dilakukan secara professional dan bertanggung jawab dengan tidak hanya mencari keuntungan semata.10

Bagi kalangan yang kontra dengan pemberlakuan UU BHP beralasan bahwa UU BHP merupakan bentuk liberalisasi dan komersialisasi dunia pendidikan dan akan menghapus hak Warga Negara Indonesia yang kurang mampu untuk mengikuti

10

(18)

pendidikan, selain itu UU BHP belum sepenuhnya berpihak kepada rakyat. Sebab, kehadiran Undang-Undang ini akan membuat biaya pendidikan yang tinggi. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena tidak semua orang, terutama mereka yang memiliki kemampuan akademis namun tidak memiliki modal untuk kuliah tidak dapat melanjutkan studinya karena biaya masuk perguruan tinggi tidak terjangkau.11

Pemohon dalam hal ini haruslah memiliki legal standing. Pengertian legal standing dikemukakan oleh Harjono adalah keadaan di mana seseorang atau suatu

pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di depan Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan alasan di atas kalangan yang kontra dengan pemberlakuan UU BHP melakukan permohonan uji materiil UU Sisdiknas dan UU BHP terhadap UUD NRI 1945 MK (Penulis dalam hal ini lebih memfokuskan pada UU BHP).

Dalam hal ini MK memperoleh 4 perkara permohonan terkait uji materiil UU Sisdiknas dan UU BHP, yaitu

(a) Perkara Nomor 11/PUU-VII/2009; (b) Perkara Nomor 14/PUU-VII/2009; (c) Perkara Nomor 21/PUU-VII/2009, dan (d) Perkara Nomor 126/PUU-VII/2009.

12

11

Ibid, hal. 43.

Pemohon yang tidak memiliki legal standing akan

12

(19)

menerima putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan permohonannya tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Legal standing mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan dalam

undang-undang, dan syarat materiil yaitu kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujiannya, sebagaimana diatur dalam pasal 51 ayat (1) UU MK, pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :

a. Perorangan warga negara Indonesia;

b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c. Badan hukum publik atau privat; d. Lembaga Negara.

(20)

No. Perkara Perorangan Badan hukum

11/PUU-VII/2009

1.Aep Saepudin (wirasawasta)

2.Kristiono Iman Santoso (wiraswasta) 3.Sandi Sahrinnurrahman, S.TP (dosen) 4.Mega Yuliana (mahasiswa)

5.Da’I (mahasiswa)

6.A.Shalihin Mudjiono (mahasiswa) 7.Eruswandi (mahasiswa)

8.Utomo Dananjaya (Direktur IER) 9.RR.Citra Retna S (Pengurus Pattiro) 10. Yanti Sriyulianti (wiraswasta)

3.Senja Bagus Ananda (mahasiswa)

_

21/PUU-VII/2009

1.Yura Pratama Yudistira (mahasiswa) 2.Fadiloes Bahar (guru)

3.Lodewijk F. Paat (dosen) 4.Jumono (wiraswasta) 5.Zaenal Abidin (wiraswasta)

1.Yayasan Sarjana Wiyata Tamansiswa

2.Sentra Advokasi Untuk Hak Pendidikan Rakyat (SAHdaR)

3.Pusat Kajian Belajar Masyarakat (PKBM)

4.Serikat Rakyat Miskin Kota

126/PUU-VII/2009

1. Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia 2. Yayasan Rumah Sakit Islam

Indonesia

3. Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar 4. Yayasan Perguruan Tinggi

As-Syafi’iyah 5. Yayasan Trisakti 6. Yayasan Pendidikan

7. Yayasan Universitas Surabaya

8. Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan

9. Yayasan Universitas Profesor Doktor Moestopo

(21)

_

Republik Indonesia

11. Komisi Pendidikan Konferensi Waligereja Indonesia

12. Yayasan Mardi Yuana

13. Majelis Pendidikan Kristen Di Indonesia

Adapun hak dan/atau kewenangan konstitusional para pemohon yang dirugikan oleh berlakunya UU BHP diantaranya adalah :

(22)

Pasal 46 ayat (1) UU BHP “Badan hukum pendidikan wajib menjaring dan menerima Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru” dan Pasal 46 ayat (2) UU BHP “Badan hukum pendidikan wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik Warga Negara Indonesia yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh peserta didik” bertentangan dengan Pasal 31 ayat (3) dan ayat (4) UUD NRI 1945 dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945 karena adanya diskriminasi kelas sosial dalam sistem pendidikan nasional.

Pasal 46 ayat (3) UU BHP “Peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat membayar sesuai dengan kemampuannya, memperoleh beasiswa, atau mendapat bantuan biaya pendidikan” dan Pasal 46 ayat (4) UU BHP “Beasiswa atau bantuan biaya pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditanggung oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan hukum pendidikan” juga telah mengalihkan beban biaya kepada peserta didik dan BHP. Pengalihan ini jelas bertentangan dengan semangat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dalam Pasal 31 ayat (3), ayat (4) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Peserta didik sebagai subyek yang akan dicerdaskan tidak dapat dibebankan biaya dan BHP sendiri secara mutatis

muntadis juga tidak dibebankan untuk menanggung biaya pendidikan oleh karena

(23)

dibebankan untuk menanggung biaya pendidikan merupakan ketentuan yang tidak sejalan dengan tanggungjawab pemerintah untuk menanggung biaya pendidikan.

Pasal 8 ayat (3) UU BHP menyatakan ”Yayasan, perkumpulan, atau badan hukum sejenis yang telah menyelenggarakan satuan pendidikan dasar, pendidikan

menengah, dan atau pendidikan tinggi, diakui sebagai BHP Penyelenggara”

bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yaitu, ”Setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan

yang sama di hadapan hukum”. Dengan adanya UU BHP, yayasan yang telah diakui

sebagai Badan Hukum Penyelenggara harus menjadi Badan Hukum Pendidikan dengan memenuhi kriteria sebagai badan hukum pendidikan, yang artinya secara hukum harus sebagai badan hukum pendidikan bukan sebagai yayasan.

Pasal 10 mengatur bahwa ”Satuan pendidikan yang didirikan setelah Undang-Undang ini berlaku, wajib berbentuk badan hukum pendidikan”

bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menegaskan, “Setiap orang

berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan

berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu” .

(24)

baru sebagai penyelenggara pendidikan. Dengan demikian ”hak hidup” dari yayasan telah ditiadakan.

Terhadap permohonan para pemohon yang berhubungan dengan pasal-pasal UU BHP, MK memandang perlu untuk menggabungkan pemeriksaan perkara pengujian UU Sisdiknas dan UU BHP agar didapatkan suatu putusan yang komprehensif. Dalam Putusannya Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009, MK menyatakan bahwa UU BHP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dengan dibatalkannya UU BHP tentunya menimbulkan beberapa masalah terkait dengan status BHMN yang telah ada pada 7 (tujuh) Perguruan Tinggi di Indonesia diantaranya adalah :

a. Universitas Indonesia (UI) b. Universitas Gajah Mada (UGM) c. Institut Pertanian Bogor (IPB) d. Instutut Teknologi Bandung (ITB) e. Universitas Sumatera Utara (USU) f. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) g. Universitas Airlangga

(25)

1.2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian di atas, maka isu hukum yang akan dikaji dalam penulisan ini adalah :

1. Ratio decidendi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

11-14-21-126-136/PUU-VII/2009

2. Akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 tentang pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan terhadap status Badan Hukum Milik Negara Universitas Airlangga

1.3. METODE PENELITIAN 1.3.1. TIPE PENELITIAN

Tipe penelitian berupa penelitian normatif atau legal research, yaitu suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu yang dihadapi.13 Dengan meneliti dan memahami secara mendalam terhadap literatur-literatur dan sumber-sumber resmi yang dapat dipertanggungjawabkan yang berkaitan dengan judul yang diambil kemudian menghubungkannya dengan fakta-fakta hukum dari teori yang berhubungan dengan penelitian ini untuk mengungkapkan kebenaran yang bertanggung jawab.

13

(26)

1.3.2. PENDEKATAN

Pendekatan yang digunakan guna meneliti hal ini adalah pendekatan kasus (case approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan

perundang-undangan (statute approach).

Pendekatan kasus (case approach) merujuk pada ratio decidendi yaitu alasan-alasan yang mendasari dijatuhkannya suatu putusan oleh hakim. Ratio decidendi inilah yang menunjukkan bahwa ilmu hukum merupakan ilmu yang bersifat prespektif, bukan deskriptif.14

Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu

Adapun putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 mengenai pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang akan dititikberatkan dalam pendekatan ini untuk memecahkan isu hukum yang akan dihadapi.

Pendekatan konseptual (conceptual approach) dilakukan untuk menganalisis konsep Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Pendekatan konseptual ini dilakukan dengan cara menganalisis pendapat-pendapat para sarjana hukum melalui analisis informasi dari jurnal-jurnal atau bahan hukum dari suatu buku maupun website-website yang berkaitan dengan dasar hukum Mahkamah Konstitusi dalam menjatuhkan putusan.

14

(27)

hukum yang sedang ditangani serta dengan memahami hierarki dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan. 15

1.3.3. BAHAN HUKUM

Bahan hukum terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Adapun bahan hukum primer yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan berupa :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;

b. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301).

c. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316).

d. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4965).

e. Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, (Lembaran

15

(28)

Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226).

f. Peraturan Pemerintah 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum

g. Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 2006 tentang Penetapan Universitas Airlangga menjadi Badan Hukum Milik Negara

h. PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan

Selain peraturan perundang-undangan, terdapat pula putusan dari badan peradilan, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009.

(29)

BAB II

RATIO DECIDENDI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009

2.1. PENGERTIAN RATIO DECIDENDI

Ratio decidendi adalah alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim

untuk sampai kepada putusannnya. Menurut Goodheart, ratio decidendi dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta materiil. Fakta-fakta tersebut berupa orang, tempat, waktu, dan segala yang menyertainnya asalkan tidak terbukti sebaliknya. Perlunya fakta materiil tersebut diperhatikan karena baik hakim maupun para pihak akan mencari aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta tersebut.16 Kusumadi Pudjosewojo sendiri mendefinisikan ratio decidendi sebagai faktor-faktor yang sejati (material fact), faktor-faktor yang essensiil yang justru mengakibatkan keputusan menjadi seperti itu.17

Di dalam hukum Indonesia yang menganut civil law system, ratio decidendi tersebut dapat dilihat dalam konsiderans “menimbang” pada “Pokok Perkara”. Ratio tersebut bukan tidak mungkin merupakan pilihan dari berbagai kemungkinan yang ada. Ratio dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta materiil dan putusan yang didasarkan atas fakta itu.18

16

Ibid, hal. 119.

17

Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Aksara Baru, 1976, hal. 30.

18

(30)

Ratio decidendi tidak hanya penting dalam sistem dimana hakim terikat

keputusan hakim yang terlebih dahulu (precedent), akan tetapi juga di negara bertradisi civil law system seperti Indonesia. Istilah hukum ini digunakan dalam masyarakat hukum yang merujuk prinsip hukum, moral, politik dan sosial yang digunakan pengadilan sehingga sampai membuat keputusan demikian. Setiap kasus memiliki ratio decidendi, alasan yang menentukan atau inti-inti yang menentukan putusan. Kadang ratio decidendi jelas terlihat dalam suatu putusan, akan tetapi terkadang pula perlu dijelaskan.19

Ketika melihat sebuah putusan pengadilan, ratio decidendi berdiri sebagai dasar

hukum atas dasar putusan dijatuhkan. Ratio decidendi secara hukum mengikat

pengadilan yang lebih rendah melalui doktrin stare decisis, tidak seperti obiter dicta,

seperti komentar yang dibuat sehubungan dengan kasus yang mungkin relevan atau

menarik, tetapi tidak menarik dari keputusan hukum. Ratio decidendi dapat dikatakan

mengikat untuk masa depan. Beberapa ahli mengatakan bahwa dissenting opinion juga

termasuk obiter dicta, bahkan dalam perkembangan, yang semula obiter dicta dalam

perkara lain, di kemudian hari dapat menjadi ratio decidendi.20

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pertimbangan hukum yang panjang lebar dari suatu putusan tidak semuanya merupakan ratio decidendi dari putusan

19

Miftahul Huda, “Ratio Decidendi”, Majalah Konstitusi No.48-Januari 2011, Mahkamah Konstitusi, 2011, hal. 45.

20

(31)

tersebut. Namun, membutuhkan ketelitian juga untuk menemukan ratio decidendi sebagai dasar dalam mengambil keputusan yang tepat di kemudian hari.

2.2. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009

Ratio decidendi yang dimaksud dalam skripsi ini adalah ratio decidendi dari

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 tentang pembatalan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP).

Adapun amar putusan MK Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 adalah sebagai berikut :

a. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

b. Menyatakan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) sepanjang frasa, “... bertanggung jawab” adalah konstitusional sepanjang dimaknai “... ikut bertanggung

jawab”, sehingga pasal tersebut selengkapnya menjadi, “Setiap warga

negara ikut bertanggung jawab terhadap keberlangsungan

penyelenggaraan pendidikan”;

(32)

Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301), sepanjang frasa, “...yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya”, bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga Pasal 12 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi, “Mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi”;

d. Menyatakan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) konstitusional sepanjang frasa “badan hukum pendidikan” dimaknai sebagai sebutan fungsi

penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu;

e. Menyatakan Penjelasan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

(33)

Republik Indonesia Nomor 4301) sepanjang frasa, “... bertanggung jawab” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat kecuali dimaknai,

“... ikut bertanggung jawab”;

g. Menyatakan Pasal 12 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301), sepanjang frasa, “...yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya”, tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat;

h. Menyatakan Penjelasan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

i. Menyatakan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4965) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

(34)

Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4965) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

k. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya; l. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya..

Sebelum memutus pokok permohonan yang berkaitan dengan UU BHP dalam perkara a quo, MK menganggap perlu lebih dahulu untuk merujuk Putusan Mahkamah Nomor 021/PUU-IV/2006 tanggal 22 Februari 2007;

a. Bahwa Putusan Mahkamah Nomor 021/PUU-IV/2006 tanggal 22 Februari 2007 adalah putusan terhadap permohonan pengujian materiil Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas;

b. Bahwa pada saat permohonan diperiksa dan putusan dijatuhkan oleh Mahkamah, UU BHP sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas belum dibuat oleh pembentuk Undang- Undang;

c. Bahwa oleh karena itu Mahkamah belum dapat menemukan kerugian konstitusional para Pemohon karena UU BHP belum dibuat sehingga tidak terdapat substansi Undang-Undang yang akan diuji oleh Mahkamah yang oleh karenanya permohonan para Pemohon prematur sehingga Mahkamah memutuskan permohonan tidak dapat diterima;

(35)

1. Aspek fungsi negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (Alinea Keempat Pembukaan), kewajiban negara dan pemerintah dalam bidang pendidikan sebagaimana ditentukan Pasal 31 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), serta hak dan kewajiban warga negara dalam bidang pendidikan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28 ayat (1) UUD NRI 1945;

2. Aspek filosofis yakni mengenai cita-cita untuk membangun sistem pendidikan nasional yang berkualitas dan bermakna bagi kehidupan bangsa, aspek sosiologis yakni realitas mengenai penyelenggaraan pendidikan yang sudah ada termasuk yang diselenggarakan oleh berbagai yayasan, perkumpulan, dan sebagainya, serta aspek yuridis yakni tidak menimbulkan pertentangan dengan peraturan perundang undangan lainnya yang terkait dengan badan hukum;

3. Aspek pengaturan mengenai badan hukum pendidikan dalam undang-undang dimaksud haruslah merupakan implementasi tanggung jawab negara dan tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindar dari kewajiban konstitusional negara di bidang pendidikan, sehingga tidak memberatkan masyarakat dan/atau peserta didik;

(36)

Ratio Decidendi MK membatalkan UU BHP adalah sebagai berikut :

a. UU BHP tidak menjamin tujuan pendidikan nasional dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

b. UU BHP mensyaratkan seluruh penyelenggara pendidikan harus berbentuk badan hukum pendidikan dengan karakteristik BHP (penyeragaman dalam bentuk BHP).

2.2.1. UU BHP TIDAK MENJAMIN TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL DAN MENIMBULKAN KETIDAK PASTIAN HUKUM

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa bentuk BHPP dan BHPPD yang diatur dalam UU BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional dan menimbulkan ketidakpastian hukum, karena dengan adanya UU BHP misi pendidikan formal yang menjadi tugas pemerintah di Indonesia akan dilaksanakan oleh BHPP dan BHPPD. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berhasil atau tidaknya pendidikan formal di Indonesia akan tergantung kepada kinerja BHPP dan BHPPD.21

Untuk melaksanakan UU BHP diperlukan banyak usaha karena akan terjadi suatu perubahan yang sangat luas dan mendasar dalam sistem penyelenggaraan pendidikan dan akan melibatkan banyak pihak. Pemerintah harus menerbitkan BHPP didirikan oleh pemerintah dengan Peraturan Pemerintah atas usul Menteri, sedangkan BHPPD didirikan oleh pemerintah daerah dengan Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota.

21

(37)

Peraturan Pemerintah untuk membentuk BHPP, pemerintah daerah seluruh Indonesia harus menerbitkan Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota untuk menetapkan BHPPD, dan masyarakat penyelenggara pendidikan harus melakukan penyesuaian dengan ketentuan baru, yang berarti tidak saja membutuhkan biaya ekonomi, tetapi juga waktu serta biaya sosial yang tinggi. Dalam pembentukan BHPP, pemerintah harus melepaskan banyak kekayaan negara untuk menjadi harta terpisah BHPP. Demikian pula halnya dengan pemerintah daerah yang juga harus melepaskan aset daerah untuk dijadikan harta kekayaan BHPPD.22

Dengan adanya UU BHP akan berpotensi menimbulkan persoalan baru dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, yaitu pemerintah akan disibukkan dengan urusan pembentukan wadah baru yaitu BHPP dan BHPPD daripada menangani hal-hal yang lebih substansial dalam bidang pendidikan yang lebih penting yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.23

1. Menanggung biaya bagian dari tanggung jawab bersama dengan pemerintah untuk menyediakan biaya investasi (vide Pasal 41 ayat (5) UU BHP).

Selain itu tanggung jawab BHPP untuk mencukupi kebutuhan dana pendidikan tidak ringan karena BHPP dan BHPPD harus :

Pasal 41 ayat (5) UU BHP menyatakan :

22

Ibid., hal. 388.

23

(38)

“Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan.”

2. menutup kekurangan biaya operasional sebesar 2/3 karena peserta didik menanggung 1/3 dari biaya operasional (vide Pasal 41 ayat (4) UU BHP).

Pasal 41 ayat (4) UU BHP menyatakan:

“Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung paling sedikit 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah berdasarkan standar pelayanan minimal untukmencapai Standar Nasional Pendidikan.”

3. menyediakan beasiswa (vide Pasal 40 ayat (3) UU BHP). Pasal 40 ayat (3) UU BHP menyatakan :

“Badan hukum pendidikan menyediakan anggaran untuk membantu peserta didik Warga Negara Indonesia yang tidak mampu membiayai pendidikannya, dalam bentuk:

a. Beasiswa;

b. Bantuan biaya pendidikan; c. Kredit mahasiswa; dan/atau

d. Pemberian pekerjaan pada mahasiswa.’

(39)

yaitu 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional. Adapun pengertian biaya operasional telah dirumuskan disebutkan dalam penjelasan Pasal 41 ayat (6) UU BHP. Yang dimaksud dengan “biaya operasional” adalah biaya yang digunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan. Dengan adanya rumusan penjelasan ini maka besarnya biaya operasional akan ditentukan oleh variabel biaya yang digunakan dalam proses pendidikan yang akan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan, akan tetapi di dalam UU BHP tidak mengandung ketentuan yang memberi delegasi kepada peraturan perundangundangan lain untuk menetapkan biaya operasional tersebut. Ketiadaan rumusan tentang biaya operasional akan menyebabkan ketidakpastian dari UU BHP ini. Oleh karena itu demi kepastian hukum hal itu harus ditetapkan dalam UU karena akan menjamin kepastian hak peserta didik.24

Pada dasarnya argumentasi yang dikemukakan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi tersebut dapat diterima, terlebih lagi mengingat pentingnya pendidikan bagi warga Negara, akan tetapi konsep dalam UU BPH juga memiliki hal yang positif untuk tujuan pendidikan nasional. Dalam UU BHP pengelola pendidikan wajib menyediakan 20% tempat bagi anak-anak kurang mampu dalam bentuk beasiswa. Dengan demikian justru dengan UU BHP ini nasib anak-anak miskin untuk mendapatkan pendidikan hingga perguruan tinggi lebih terjamin. Dalam merekrut anak-anak miskin calon penerima beasiswa tersebut perguruan tinggi tidak lagi

24

(40)

sekadar menunggu, mereka harus jemput bola ke sekolah-sekolah (SMP dan SMA) untuk menjaring anak-anak miskin yang berprestasi hingga mencapai 20% dari total jumlah mahasiswa yang diterima. UU BHP sangat menguntungkan masyarakat sebab transparansi terjaga khususnya dalam bidang pendanaan. Biaya investasi, beasiswa, bantuan biaya pendidikan sepenuhnya menjadi tanggungjawab pemerintah, sedangkan mahasiswa yang tidak mendapat tanggungan beasiswa hanya menanggung maksimum 1/3 dari biaya operasional pendidikan.25

Dalam pertimbangannya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi tidak menemukan alasan yang mendasar diperlukannya penyeragaman penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dalam bentuk badan hukum pendidikan sebagaimana diatur dalam UU BHP. Keperluan praktis dalam pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan tidak cukup menjadi alasan

Ketidakpastian hukum yang dikhawatirkan oleh MK mengenai penentuan variable besarnya biaya operasional sebenarnya bisa diatasi dengan pembentukan sebuah peraturan pelaksana dari UU BHP ini untuk menjamin kepastian hak peserta didik dalam hal pembiayaan pendidikan meskipun tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang lama dalam pembuatan sebuah peraturan.

2.2.2. UU BHP MENSYARATKAN SELURUH PENYELENGGARA PENDIDIKAN HARUS BERBENTUK BADAN HUKUM (PENYERAGAMAN DALAM BENTUK BHP)

25

(41)

pembenar untuk mengurangi hak konstitusional warga negara. Asumsi pemerintah bahwa dirinya dapat secara praktis mengawasi penyelenggara pendidikan tersebut untuk jangka waktu yang lama justru dapat menguras energi karena kesibukan administratif yang luar biasa, sehingga pemerintah akan kehabisan waktu untuk mengawasi apakah penyelenggara pendidikan di seluruh pelosok Indonesia telah sesuai dengan ketentuan UU BHP ataukah tidak. Pekerjaan ini dapat menyita perhatian pemerintah yang justru seharusnya difokuskan untuk berusaha membuka kesempatan agar warga negara dapat menikmati pendidikan secara luas.26

26

Putusan Mahkamah Konstitusi.op.cit, h. 387.

UU BHP mengansumsikan bahwa penyelenggara pendidikan mempunyai kemampuan yang sama, akan tetapi dalam prakteknya tidaklah demikian. Tentunya terdapat perbedaan kemampuan antara penyelenggara pendidikan di kota dan di daerah.

UU BHP mengharuskan yayasan, perkumpulan dan badan hukum lain sejenis yang menyelenggarakan pendidikan formal, harus menjadi badan hukum pendidikan penyelenggara yang selanjutnya disebut BHP Penyelenggara dan mendapat pengakuan sebagai badan hukum pendidikan (vide Pasal 1 angka (5) UU BHP). Pasal 1 angka (5) UU BHP menyatakan:

(42)

Dalam hal mana yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang belum menyesuaikan tata kelola tetap dapat menyelenggarakan pendidikan, namun harus menyesuaikan tata kelolanya dalam jangka waktu 6 (enam) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan (vide Pasal 67 ayat (2) UU BHP). Pasal 67 ayat (2) UU BHP menyatakan:

“Yayasan, perkumpulan atau badan hukum lain sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyesuaikan tata kelolanya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, paling lambat 6 (enam) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.”

Apabila sudah melebihi batas waktu 6 (enam) tahun yayasan, perkumpulan atau badan hukum lain belum menyesuaikan tata kelolanya maka akan terkena sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (1) UU BHP. Pasal 62 ayat (1) UU BHP menyatakan:

“Pelanggaran terhadap Pasal 40 ayat (3), Pasal 41 ayat (7), ayat (8), dan ayat (9), Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 47 ayat (3), Pasal 65 ayat (2), Pasal 66 ayat (2), dan Pasal 67 ayat (2) dikenai sanksi administratif.”

(43)

Selain itu yayasan, perkumpulan, dan badan hukum lain yang sejenis tidak boleh lagi menyelenggarakan pendidikan karena satuan pendidikan yang didirikan setelah Undang-Undang ini berlaku wajib berbentuk badan hukum pendidikan (vide Pasal 10 UU BHP). Pasal 10 UU BHP menyatakan: “Satuan pendidikan yang didirikan setelah Undang-Undang ini berlaku, wajib berbentuk badan hukum pendidikan”.

Dengan adanya ketentuan pasal 10 UU BHP tersebut maka yayasan, perkumpulan, dan badan hukum lain yang sejenis akan kehilangan hak konstitusionalnya untuk menyelenggarakan pendidikan. Bahwa dengan ketentuan tersebut UU BHP telah merugikan yayasan, perkumpulan, dan badan hukum lain yang sejenis selaku penyelenggaraan pendidikan, merugikan orang tua murid. merugikan peserta didik, dan yang secara lebih fundamental lagi merugikan pencapaian tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.27

Sebenarnya konsep penyeragaman penyelenggara pendidikan yang diatur dalam UU BHP juga memiliki efek yang positif. Penyeragaman tersebut dimaksudkan dalam rangka penertiban lembaga pengelola pendidikan. Banyak pihak yang memakai yayasan atau satuan pendidikan lain dalam penyelenggaraan pendidikan dengan kedok mendidik bangsa tetapi sejatinya melakukan komersialisasi pendidikan untuk kepentingan dirinya sendiri dan kelompoknya. Penggunaan kedok yayasan atau satuan pendidikan lain dengan berlindung di balik kegiatan pendidikan

27

(44)

adalah dengan memanfaatkan sifat kesosialan dari lembaga yayasan tersebut, dimana yayasan atau satuan usaha pendidikan banyak diberikan insentif dan kemudahan-kemudahan di bidang perijinan dan perpajakan. Pihak yang memanfaatkan yayasan dalam penyelenggaraan pendidikan pada hakikatnya adalah hanya mencari keuntungan semata.28

Tidak sedikit pula ada oknum yang memanfaatkan lembaga pengelolaan pendidikan untuk menadah dana-dana hibah baik dari dalam maupun luar negeri. Dana-dana tersebut bukannya untuk mengembangkan pendidikan tetapi malah digunakan untuk kepentingan pribati atau golongan untuk misi-misi tertentu di luar misi pendidikan. Praktik-praktik semacam itu tentunya sangat merugikan dan mencoreng misi utama pendidikan, sehingga perlu ditertibkan dengan melakukan penyeragaman pengelola pendidikan dalam wadahbadan hukum pendidikan. Dengan wadah badan hukum pendidikan tersebut, maka aspek akuntabilitas dan transparansi dapat dilakukan. Ada kewenangan dari pemerintah untuk melakukan pengawasan atas badan hokum pendidikan serta ada sanksi hukum yang tegas jika terjadi pelanggaran atas aspek akuntabilitas dan transparansi tersebut.29

28

Hadi Subhan, “Salah Pemahaman Tentang UU BHP”

(45)

BAB III

AKIBAT HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 TENTANG PEMBATALAN UNDANG-UNDANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN TERHADAP STATUS BADAN HUKUM

MILIK NEGARA UNIVERSITAS AIRLANGGA

3.1. PENGERTIAN BADAN HUKUM PENDIDIDKAN

Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan hukum bagi penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal, yang berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.30 BHP bertujuan memajukan pendidikan nasional dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi.31

BHP didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan, harus ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan.32

Pengelolaan pendidikan formal secara keseluruhan oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip:33

a. otonomi, yaitu kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non-akademik;

30

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, Ps. 1 angka 1.

(46)

b. akuntabilitas, yaitu kemampuan dan komitmen untuk mempertanggungjawabkan semua kegiatan yang dijalankan badan hukum pendidikan kepada pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;

c. transparansi, yaitu keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan standar pelaporan yang berlaku kepada pemangku kepentingan;

d. penjaminan mutu, yaitu kegiatan sistemik dalam memberikan layanan pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan, serta dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan secara berkelanjutan;

e. layanan prima, yaitu orientasi dan komitmen untuk memberikan layanan pendidikan formal yang terbaik demi kepuasan pemangku kepentingan, terutama peserta didik;

f. akses yang berkeadilan, yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada calon peserta didik dan peserta didik, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonominya;

g. keberagaman, yaitu kepekaan dan sikap akomodatif terhadap berbagai perbedaan pemangku kepentingan yang bersumber dari kekhasan agama, ras, etnis, dan budaya;

(47)

i. partisipasi atas tanggung jawab negara, yaitu keterlibatan pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan pendidikan formal untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan tanggung jawab negara.

Bentuk badan hukum pendidikan satuan pendidikan terdiri atas BHPP, BHPPD, dan BHPM. BHPP didirikan oleh Pemerintah dengan peraturan pemerintah atas usul Menteri. BHPPD didirikan oleh pemerintah daerah dengan peraturan gubernur atau peraturan Bupati/Walikota. BHPM didirikan oleh masyarakat dengan akta notaris yang disahkan oleh Menteri.34

Pendirian badan hukum pendidikan harus memenuhi persyaratan bahwa badan hukum pendidikan yang akan didirikan tersebut mempunyai:35

34

Ibid, Ps. 7.

35

Ibid, Ps. 11 angka 1.

a. pendiri;

b. tujuan di bidang pendidikan formal; c. struktur organisasi; dan

d. kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pendiri.

(48)

3.2. PENGERTIAN BADAN HUKUM MILIK NEGARA

Badan Hukum Milik Negara (BHMN) memiliki sifat yang sama dengan Badan Hukum Pendidikan (BHP) yaitu didasarkan pada prinsip nirlaba. BHMN bertujuan untuk:

a. menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian;

b. mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional;

c. mendukung pembangunan masyarakat madani yang demokratis dengan berperan sebagai kekuatan moral yang mandiri;

d. mencapai keunggulan kompetitif melalui penerapan prinsip pengelolaan sumber daya sesuai dengan asas pengelolaan yang profesional.

Prasyarat untuk dapat ditetapkan sebagai BHMN mencakup kemampuan: a. menyelenggarakan pendidikan tinggi yang efisien dan berkualitas;

b. memenuhi standar minimum kelayakan finansial;

c. melaksanakan pengelolaan Perguruan Tinggi berdasarkan prinsip ekonomis dan akuntabilitas.

(49)

oleh dan disesuaikan dengan kebutuhan Perguruan Tinggi dengan memperhatikan efisiensi, otonomi, dan akuntabilitas.

Meskipun memiliki sifat yang sama dengan BHP, BHMN dan BHP memiliki beberapa perbedaan diantaranya adalah BHP mencakup jalur pendidikan formal yang terstruktur dan berjenjang yang meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, sedangkan BHMN hanya mencakup Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang memenuhi standart kelayakan untuk menjadi BHMN.

3.3. STATUS BADAN HUKUM MILIK NEGARA UNIVERSITAS AIRLANGGA PASCA PEMBATALAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG UNDANG-UNDANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN

Universitas Airlangga (Unair) diresmikan pendiriannya oleh Ir. Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia pada tanggal 10 November tahun 1954 yang bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan. Dalam sejarah pendidikan tinggi di Indonesia, Unair tercatat sebagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang ketiga setelah Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gajah Mada (UGM) sehingga Unair merupakan PTN pelopor di kawasan Indonesia Timur.

(50)

Unair menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dengan dibentuknya Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2006 tentang Penetapan Universitas Airlangga menjadi Badan Hukum Milik Negara (PP 30/2006). PP 30/2006 tersebut ditandatangani oleh Wakil Presiden M. Jusuf Kalla dan Menteri Hukum, HAM, dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra pada tanggal 14 September 2006.36

Dua hari sebelum PP 30/2006 disahkan, telah disahkan pula Statuta Unair yakni Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 33 Tahun 2006 tentang Statuta Unair (Permendiknas 33/2006). Akan tetapi karena PP 30/2006 sebagai sumber hukum yang lebih tinggi telah disahkan, maka Permendiknas 33/2006 secara otomatis tidak berlaku lagi dan sejak tanggal 14 September 2006 Status Unair sudah menjadi perguruan tinggi BHMN.37

36

Bambang Edi Santosa, “Habis Gelap, Terbitlah Terang”, Warta Unair, No. 18 Th. II, Agustus-September 2006, hal. 2

37

Ibid.

Berdasarkan perubahan status tersebut, secara bertahap struktur organisasi dan pengelolaan universitas harus segera disesuaikan. Proses perubahan status tersebut telah menuntut perubahan tata kelola yang meliputi sistem, struktur organisasi, dan mekanisme yang menjamin pengelolaan institusi secara transparan dan akuntabel.

(51)

Selain membatalkan UU BHP, MK juga membatalkan penjelasan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Penjelasan Pasal 53 ayat 1 UU sisdiknas berbunyi:

“Badan hukum pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, antara lain berbentuk badan hukum milik negara (BHMN).”

Pembatalan UU BHP dan penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas ini menimbulkan polemik mengenai status BHMN 7(tujuh) perguruan tinggi di Indonesia yaitu Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan juga tentunya Universitas Airlangga.

Dalam penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas yang telah dibatalkan oleh MK terdapat kata badan hukum milik negara (BHMN). Tentunya hal ini menimbulkan pertanyaan dari berbagai pihak mengenai status BHMN yang dimiliki oleh perguruan tinggi di Indonesia apakah status BHMN tersebut ikut batal karena menyesuaikan dengan batalnya UU BHP dan penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU sisdiknas ataukah tidak.

(52)

bersumber dari PP No. 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai badan hukum (PP 61/1999) yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).38

Unair ditetapkan menjadi BHMN melalui PP 30/2006 tentang penetapan Unair sebagai BHMN. PP 30/2006 tersebut sama sekali tidak terkait dengan UU BHP karena Unair menjadi BHMN pada tahun 2006 sementara UU BHP baru lahir di tahun 2009.39

Dalam Putusan MK Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 tentang pembatalan UU BHP, MK sama sekali tidak membatalkan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas. MK hanya memberikan penafsiran bahwa yang dimaksud dengan badan hukum pendidikan adalah suatu fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu. Maksud MK tersebut adalah sebagaimana tertulis dalam fundamentum petendi (dasar pertimbangan) putusan yaitu bahwa badan hukum pendidikan tidak bisa diseragamkan tetapi dalam bentuknya masing-masing. Hal ini berarti penyelenggaraan pendidikan harus berbentuk badan hukum tetapi bukan badan hukum yang seragam dalam bentuk BHP.40

Oleh karena MK telah menafsirkan atau menjelaskan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas, maka penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas tersebut dihapuskan oleh

38

M. Hadi Shubhan, “Pembatalan UU BHP Tidak Berpengaruh Pada BHMN Unair”, Warta Unair, No. 55 Th. VI, Maret 2010, hal. 14

39

Ibid.

40

(53)

MK sebab penjelasannya harus mengikuti penjelasan MK. Penyebutan BHMN dalam penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU sisdiknas hanyalah menyebutkan sebuah contoh (permisalan) badan hukum pendidikan dan bukanlah merupakan dasar hukum adanya BHMN sehingga tidak serta merta dibatalkannya penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas oleh MK menjadikan batalnya status BHMN 7 (tujuh) perguruan tinggi di Indonesia termasuk Universitas Airlangga.

Menurut MK, badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan bisa bermacam-macam, seperti yayasan, perkumpulan, dan juga tentunya BHMN sebagai salah satu bentuk dari badan hukum. Sehingga putusan MK tersebut justru menguatkan eksistensi BHMN sebagai salah satu penyelenggara pendidikan seperti juga badan hukum yang lain misalnya, yayasan dan perkumpulan.

(54)

jika ada peraturan yang dikeluarkan organ setara yang mencabutnya atau dibatalkan oleh putusan pengadilan. Asas ini dikenal dengan nama contrarius actus.41

Dalam kelanjutannya Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan ( PP 66 Tahun 2010). PP 66 Tahun 2010 mengganti beberapa ketentuan dalam PP 17 Tahun 2010 serta menyisipkan beberapa pasal diantara Pasal 220 dan pasal 221, yaitu Pasal 220A,

Dalam ketentuan penutup Pasal 221 PP No. 17 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa PP No. 60 Tahun 1999 dan PP No. 61 Tahun 1999 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, tidak otomatis mencabut berlakunya PP perguruan tinggi BHMN, karena memahami ketentuan penutup harus dikaitkan dengan ketentuan peralihan yang dalam Pasal 220 PP No. 17 Tahun 2010 dinyatakan bahwa Peraturan Pelaksana dari PP No. 60 Tahun 1999 dan PP No. 61 Tahun 1999 masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan peraturan pemerintah ini.

Dalam hukum perundang-undangan secara normatif makna ketentuan peralihan adalah memuat penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat peraturan perundang-undangan baru mulai berlaku, agar peraturan perundang-undangan tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum (Butir 100 Lampiran UU No. 10 Tahun 2004).

41

(55)

Pasal 220B, Pasal 220C, Pasal 220D, Pasal 220E, Pasal 220F, Pasal 220G, Pasal 220H, Pasal 220I. Adapun pasal yang berkaitan dengan tata kelola BHMN adalah Pasal 220 H yang menyatakan bahwa tata kelola 7 (tujuh) perguruan tinggi masih tetap berlaku asalkan tidak bertentangan dengan PP ini.

Atas dasar adanya ketentuan tersebut maka PP 7 perguruan tinggi BHMN masih berlaku dan masih tetap eksis untuk dijadikan payung hukum tata kelola masing-masing 7 (tujuh) perguruan tinggi yang berstatus BHMN. Payung hukum tata kelola 7 (tujuh) perguruan tinggi BHMN adalah sebagai berikut:

1. Universitas Indonesia (Peraturan Pemerintah Nomor 152 Tahun 2000 tentang penetapan UI sebagai BHMN)

2. Universitas Gajah Mada (Peraturan Pemerintah Nomor 153 Tahun 2000 tentang penetapan UGM sebagai BHMN)

3. Institut Pertanian Bogor (Peraturan Pemerintah Nomor 154 Tahun 2000 tentang penetapan IPB sebagai BHMN)

4. Institut Teknologi Bandung (Peraturan Pemerintah Nomor 155 Tahun 2000 tentang penetapan ITB sebagai BHMN)

5. Universitas Sumatera Utara (Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2003 tentang penetapan USU sebagai BHMN)

6. Universitas Pendidikan Indonesia (Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2004 tentang penetapan UPI sebagai BHMN)

(56)

Selain itu Pasal 220A (1) menyatakan bahwa pengelolaan pendidikan yang dilakukan oleh Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Sumatera Utara, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Airlangga masih tetap berlangsung sampai dilakukan penyesuaian pengelolaannya berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan dalam ayat (2) menyatakan penyesuaian pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 3 (tiga) tahun sebagai masa transisi sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.

Universitas Airlangga tetap berstatus Perguruan Tinggi BHMN sampai berakhirnya masa transisi pada 28 September 2013. Jika Undang-Undang Perguruan Tinggi yang baru telah disahkan sebelum berakhirnya masa transisi maka tata kelola Universitas Airlangga harus mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang Perguruan Tinggi tersebut.42

Dengan demikian pasca pembatalan UU BHP oleh MK tidak ada keraguan apapun mengenai landasan hukum terhadap eksistensi dan tata kelola perguruan tinggi yang berbentuk BHMN termasuk BHMN Universitas Airlangga karena pembatalan UU BHP sama sekali tidak mengkaitkan dengan status BHMN perguruan tinggi dan justru penafsiran MK terhadap pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas malah

42

(57)

menguatkan BHMN sebagai salah satu bentuk badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan.43

43

(58)

BAB IV PENUTUP

4.1. KESIMPULAN

1. Ratio Decidendi Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) adalah UU BHP tidak menjamin tujuan pendidikan nasional dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Dengan adanya UU BHP akan berpotensi menimbulkan persoalan baru dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, yaitu pemerintah akan disibukkan dengan urusan pembentukan wadah baru yaitu BHPP dan BHPPD daripada menangani hal-hal yang lebih substansial dalam bidang pendidikan yang lebih penting yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Selain itu UU BHP mensyaratkan seluruh penyelenggara pendidikan harus berbentuk badan hukum pendidikan dengan karakteristik BHP (penyeragaman dalam bentuk BHP). Penyeragaman penyelenggara pendidikan hanya akan menimbulkan kekacauan dan permasalahan baru dalam dunia pendidikan di Indonesia karena banyak penyelenggara pendidikan dan kelompok masyarakat termasuk peserta didik yang menolak adanya penyeragaman penyelenggara pendidikan.

(59)

sekali tidak mengkaitkan dengan status BHMN perguruan tinggi dan justru penafsiran MK terhadap pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas malah menguatkan BHMN sebagai salah satu bentuk badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan. Jadi dapat dikatakan bahwa pembatalan UU BHP oleh MK tidak berdampak pada ststus BHMN Universitas Airlangga.

4.2. SARAN

1. Setelah melihat Ratio Decidendi yang dikemukakan oleh MK, Pemerintah sebaiknya segera melakukan kajian yang mendalam untuk membuat peraturan baru yang mengatur tata kelola pendidikan yang sejalan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dengan memperhatikan eksistensi lembaga pendidikan yang telah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan lainnya, hak dan kewajiban konstitusional setiap warga negara, hak asasi manusia, serta mengakomodasi keberagaman yang ada dalam hal pendidikan.

(60)

DAFTAR BACAAN

BUKU

Asshiddiqie, Jimly, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, Jakarta, 2005.

---, Konstitusi dan Konstitusialisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

Fadjar, A. Mukthie, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, 2006.

Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa Pemikiran Hukum Dr. Harjono, S.H., M.C.L, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008.

Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, 2010.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Predia Media Group, Jakarta, 2008.

Pudjosewojo, Kusumadi, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Aksara Baru, Jakarta 1976.

JURNAL

Nurdin,“Pro Kontra UU BHP”, Jurnal Administrasi Pendidikan,Vol. IX 1 April, Jakarta, 2009

MAJALAH

(61)

Santosa, Bambang Edi, “Habis Gelap, Terbitlah Terang”, Warta Unair, No. 18 Th. II, Agustus-September 2006

Shubhan, M. Hadi, “Pembatalan UU BHP Tidak Berpengaruh Pada BHMN Unair”, Warta Unair, No. 55 Th. VI, Maret 2010

INTERNET

Dhoni, “Demo tolak UU BHP”

/FOTODemo.Tolak.UU.BHP yang dikunjungi pada 13 Maret 2012

Berita Jogja dikutip daryang dikunjungi

Referensi

Dokumen terkait

Pemeliharaan berkala yang bersifat perbaikan dimaksudkan untuk memperbaiki sebagian prasarana sungai yang telah mengalami kerusakan agar kembali berfungsi sesuai dengan

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 102/PUU-XIII/2015 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan

Sinergi Pecalang Segara sebagai representasi desa adat dengan pihak Yayasan Karang Lestari, ilmuwan, relawan, pengusaha, dan masyarakat dalam upaya konservasi ekosistem perairan

Bergulirnya program PUGAR di satu sisi membawa manfaat bagi penerimanya, tetapi di sisi lain juga dirasakan belum mengangkat kondisi petambak garam tradisional

bahwa dengan terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa penjelasan Pasal 124 Undang - Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nmor 14 Tahun 1985 Tentang

Soal selidik dibina (lihat lampiran 1) untuk kajian yang akan diisi sendiri oleh responden merangkumi perkara penting yang berkaitan iaitu status sosioekonomi, persepsi terhadap