• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Self Efficacy Bekerja Dan Keluarga Dengan Tingkat Konflik Peran Ganda Pada Wanita Dewasa Dini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Self Efficacy Bekerja Dan Keluarga Dengan Tingkat Konflik Peran Ganda Pada Wanita Dewasa Dini"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN SELF EFFICACY BEKERJA DAN KELUARGA DENGAN TINGKAT KONFLIK PERAN GANDA PADA WANITA DEWASA DINI

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan Sarjana Psikologi

Oleh :

SRI NINA YUNITA GINTING

031301052

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN DESEMBER 2007

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur tak henti-hentinya penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah senantiasa memberikan kenikmatan berupa kesehatan, kesabaran, dan kemampuan sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Judul skripsi ini adalah “Hubungan Self Efficacy Bekerja Dan Keluarga Dengan Tingkat Konflik Peran Ganda Pada Wanita Dewasa Dini”. Proposal ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan ujian sarjana psikologi di fafultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Ibunda dan ayahanda yang tercinta, dan juga abang-abangku yang selalu mendukung baik secara materil maupun spirituil sehingga skripsi ini bisa terselesaikan dengan baik.

Penulis pun tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu, antara lain:

1. Bapak dr. Chairul Yoel, sp.A (K), sebagai dekan Fakultas Psikologi USU. 2. Dosen pembimbing skripsi yaitu Ibu Elvi Andriani Y. Amal, M,Si., Psi.

yang telah bersabar dalam membimbing dan memberikan banyak masukan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat menjadi lebih baik. Terima kasih banyak ya Bu.

(3)

iii

4. Ibu Lili, Ibu Ika, Ibu Eti, dan Ibu Echyl, terima kasih atas kesediaannya memberikan kritik, saran, bimbingan serta disksusi untuk penyelesaian skripsi ini. Terima kasih juga atas keramahan yang diberikan.

5. Seluruh staf pengajar psikologi USU, yang telah mengajarkan, dan memberikan pengetahuan mengenai psikologi selama penulis menjalankan studi di Psikologi dan juga seluruh pegawai di lingkungan USU, khususnya Psikologi USU, yang telah membantu dan selalu memudahkan kelancaran administrasi.

6. Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih pada ibu-ibu yang sudah rela meluangkan waktunya untuk mengisi skala penelitian ini. Walaupun kita tidak saling mengenal namun jasa anda sangat besar bagi penyelesaian skripsi ini.

7. Teman-teman baik yang pernah ada Enda, Ayu, Nata, Rahmi, Martina, Surti, Eka, Yeni, Ayu Nadia, Sasa’, Fitri, Nanda, Ika, Aci, Rio, Frans, Ema, Devi, dll. Terima kasih sudah mau jadi temanku setelah selama ini.

8. Buat temen-temen yang lagi skripsi juga, yang sering berbagi pengalaman tentang kesibukan skripsi (saat stres, pusing, oyong, nangis, ketawa sendiri, dan semua sindrome yang dialami khalayak sewaktu skripsi lain yang tidak bisa terspesifikasi). Teman-teman..sabar aja ya !!! Jika saja engkau tahu berapa harga balasan yang diberikan Allah atas kesabaranmu, engkau pasti meminta terus menerus didera masalah agar bisa terus sabar. Tetapi masalah pahala hanya Allah yang tahu makanya kita selalu berdoa agar bisa jauh-jauh dari masalah.

(4)

9. Buat adik-adik junior yang suka bertanya (kapan lulusnya kak..???) kalian sudah memotivasi secara tidak langsung (jadi biar semangat ngerjain skripsi, biar gak malu ditanyain terus...tenang aja, insya Allah kalian akan merasakannya juga).

10. Buat yang bantu sebari skala, sepupuku (Kak Ika, Nova), Novi, Maya, Hilma, Sifa (thanks ya dik sudah bantu nyebarin skala kakak) dan juga makasih buat temen-temen yang sudah membantu mengelengkapi bahan (Kiki, Melda, Yeni).

11. Dan juga buat teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu, stambuk 2003 Psikologi (tetap kompak ya..jangan patah semangat!!) temen-temen dan guru-guru SMU 2 Binjai, dan juga seluruh handai taulan penulis ingin mengucapkan terima kasih banyak atas bantuan yang sudah diberikan selama ini.

Seluruh isi skripsi ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Maka dari itu, penulis memohon maaf bila terdapat kesalahan dan kekurangan dalam karya tulis ini. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan di masa yang akan datang. Dan akhir kata, semoga karya tulis ini memberikan manfaat bagi kita semua, terutama bagi yang membacanya.

Medan, Desember 2007

(5)

v

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi ... v

Daftar Tabel ... xii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

I.A. Latar Belakang Masalah ... 1

I.B. Tujuan Penelitian ... 9

I.C. Manfaat Penelitian ... 10

I.D. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II. LANDASAN TEORI ... 12

II.A. Tingkat Konflik Peran Ganda ... 12

II.A.1. Pengertian Konflik Peran Ganda ... 12

II.A.2. Dimensi-Dimensi Konflik Peran Ganda ... 13

II.A.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Peran Ganda ... 14

II.A.4. Konsekuensi dari Konflik Peran Ganda ... 16

II.A.5. Tingkat Konflik Peran Ganda Pada Wanita Dewasa Dini ... 16

II.B. Self Efficacy Bekerja dan Keluarga ... 17

II.B.1. Pengertian Self Efficacy ... 17 II.B.2. Karakteristik Individu yang Memiliki Self Efficacy

(6)

Tinggi dan Self Efficacy Rendah. ... 18

II.B.3. Dimensi Self Efficacy ... 20

II.B.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Efficacy ... 21

II.B.5. Pengertian Self Efficacy bekerja dan keluarga ... 23

II.B.6. Self Efficacy bekerja dan keluarga pada Wanita Dewasa Dini ... 24

II.C. Masa Dewasa Dini ... 25

II.C.1. Pengertian Masa Dewasa Dini ... 25

II.C.2. Ciri-Ciri Masa Dewasa Dini ... 26

II.C.3. Tugas-Tugas Perkembangan Pada Masa Dewasa Dini 28 II.D. Peran Ganda Wanita ... 28

II.D.1. Pengertian Peran Ganda wanita ... 28

II.D.2. Motivasi Wanita Berperan Ganda ... 31

II.D.4. Hal-Hal yang Dipengaruhi oleh Kehidupan Wanita Berperan Ganda ... 32

II.E. Hubungan Self Efficacy Bekerja dan Keluarga dengan Tingkat Konflik Peran Ganda Pada Wanita Dewasa Dini ... 34

II.F. Hipotesa ... 38

BAB III. METODE PENELITIAN ... 39

III.A. Identifikasi Variable Penelitian ... 39

III.B. Defenisi Operasional Variabel Penelitian ... 40

III.B.1. Self efficacy bekerja dan keluarga ... 40

(7)

vii

III.C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel ... 42

III.C.1. Karakteristik Subjek Penelitian ... 42

III.C.2. Tehnik Pengambilan Sampel ... 43

III.D. Alat Ukur Penelitian ... 43

III.D.1. Skala Self Efficacy Bekerja dan Keluarga ... 44

III.D.2. Skala Konflik Peran Ganda ... 45

III.E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 47

III.E.1. Validitas ... 47

III.E.2. Reliabilitas ... 47

III.E.3. Hasil Uji Coba Alat Ukur Penelitian ... 48

III.E.3.a. Skala Self Efficacy Bekerja dan Keluarga ... 48

III.E.3.b. Skala Tingkat Konflik Peran Ganda ... 51

III.F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 56

III.F.1. Tahap Persiapan ... 54

III.F.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 56

III.F.3. Tahap Pengolahan data ... 57

III. G. Metode Analisa Data ... 58

BAB IV. ANALISA DAN INTERPRETASI DATA ... 59

IV.A. Gambaran Subjek Penelitian ... 59

IV.A.1. Gambaran Subjek Berdasarkan Usia ... 59

IV.A.2. Gambaran Subjek Berdasarkan Penghasilan Perbulan ... 60

IV.A.3. Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 61

(8)

IV.A.4. Gambaran Subjek Berdasarkan Jumlah Pegawai

di Tempat Bekerja ... 62

IV.B. Hasil Penelitian ... 62

IV .B.1. Uji Asumsi ... 62

IV .B.1.a. Uji Normalitas Sebaran ... 62

IV .B.1.b. Uji Linearitas Hubungan ... 63

IV .B.2. Kategorisasi Data Penelitian ... 64

IV .B.2.a Kategosisasi Skor Self Efficacy bekerja dan Keluarga ... 65

IV .B.2.b Kategosisasi Skor Konflik Peran Ganda ... 66

IV.B.3. Hasil Uji Hipotesa ... 67

IV.C. Hasil Tambahan ... 69

IV.C.1 Konflik Peran Ganda Ditinjau Dari Usia ... 69

IV.C.2 Konflik Peran Ganda Ditinjau Dari Penghasilan ... 70

IV.C.3 Konflik Peran Ganda Ditinjau Dari Jenis Pekerjaan ... 70

IV.C.4 Konflik Peran Ganda Ditinjau Dari Jumlah Pegawai di Tempat Bekerja ... 71

BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN ... 73

V.A. Kesimpulan ... 73

V.B. Diskusi ... 75

V.C. Saran ... 80

V.C.1. Untuk Pengembangan Penelitian ... 80

(9)

ix

DAFTAR PUSTAKA ... 82 LAMPIRAN

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue Print Skala Self Efficacy Bekerja dan Keluarga Sebelum Ujicoba ... 45 Tabel 2. Blue Print Skala Tingkat Konflik Peran GandaSebelum Ujicoba .. 46 Tabel 3. Blue Print Skala Self Efficacy Bekerja dan Keluarga Setelah

Ujicoba ... 49 Tabel 4. Blue Print Skala Self Efficacy Bekerja dan Keluarga untuk Penelitian

setelah Dilakukan Pengurangan Aitem ... 50 Tabel 5. Blue Print Skala Self Efficacy Bekerja dan Keluarga untuk

Penelitian... ... 51 Tabel 6. Blue Print SkalaTingkatKonflik Peran GandaSetelah Ujicoba ... 52

Tabel 7. Blue Print Skala Tingkat Konflik Peran Ganda untuk Penelitian Setelah Dilakukan Pengurangan Aitem ... 52 Tabel 8. Blue Print Skala Konflik Peran Ganda untuk Penelitian ... 53 Tabel 9. Normalitas Sebaran Variabel Self Efficacy Bekerja dan Keluarga dan Konflik Peran Ganda ... 63 Tabel 10. Deskripsi Skor Skala Self Efficacy Bekerja dan Keluarga ...65 Tabel 11. Kategorisasi Data Empirik Variabel Self Efficacy Bekerja dan Keluarga ... 66 Tabel 12. Deskripsi Skor Skala tingkat Konflik Peran Ganda ... 66 Tabel 13. Kategorisasi Data Empirik Variabel Tingkat

(11)

xi

Tabel 14. Hubungan Antara Self Efficacy Bekerja dan Keluarga dengan Konflik Peran Ganda Pada Wanita Dewasa Dini ... 58 Tabel 15. Tingkat Konflik Peran Ganda Ditinjau Dari Usia ... 59 Tabel 16. Tingkat Konflik Peran Ganda Ditinjau dari Penghasilan Perbulan 70 Tabel 17. Tingkat Konflik Peran Ganda Ditinjau dari Jenis Pekerjaan ... 71 Tabel 18. Tingkat Konflik Peran Ganda Ditinjau dari Jumlah Pegawai di Tempat Bekerja ... 71

(12)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Jumlah Subjek Berdasarkan Tingkatan Usia ... 60 Grafik 2. Jumlah Subjek Berdasarkan Penghasilan Perbulan ... 60 Grafik 3. Jumlah Subjek Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 61 Grafik 4. Jumlah Subjek Berdasarkan Jumlah Pegawai di

(13)

xiii BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah

Masa dewasa dini merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola kehidupan dan harapan sosial yang baru. Seseorang pada masa ini diharapkan dapat memainkan peran baru, seperti peran suami atau istri, orang tua, pencari nafkah, dan mengembangkan sikap, keinginan serta nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya. Penyesuaian diri terhadap kondisi-kondisi ini menjadikan masa dewasa dini merupakan suatu periode khusus dan sulit dari rentang hidup seseorang (Hurlock, 1999).

Setiap rentang kehidupan memiliki tugas-tugas perkembangan. Menurut Hurlock (1999) tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa dini mencakup mendapatkan suatu pekerjaan, memilih pasangan hidup, belajar hidup bersama dengan suami atau istri, mulai membina keluarga, mengasuh anak-anak, mengelola rumah tangga, menerima tanggung jawab sebagai warga negara dan mencari kelompok sosial yang menyenangkan. Tingkat penguasaan tugas-tugas pada tahun-tahun awal masa dewasa dini akan mempengaruhi tingkat keberhasilan pada masa selanjutnya sampai pada tahun-tahun akhir kehidupan mereka.

Hurlock (1999) menyatakan tugas-tugas yang berkaitan dengan pekerjaan dan keluarga merupakan tugas yang sangat banyak, penting, dan sulit diatasi bahkan bagi orang dewasa telah mempunyai pengalaman kerja, telah menikah,

(14)

dan telah menjadi orang tua, mereka masih tetap harus melakukan penyesuaian diri dengan peran-peran tersebut.

Pemenuhan tugas perkembangan dewasa dini khususnya dalam hal pencarian pekerjaan, pendidikan memiliki peran yang sangat penting guna terciptanya kesempatan bagi seseorang untuk mendapat pekerjaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Papalia (2004) bahwa dewasa dini kebanyakan memilih pekerjaan sesuai dengan bidang dalam pendidikannya. Semakin tinggi pendidikan yang mereka capai maka semakin luas kesempatan bekerja.

Perkembangan dan fasilitas pendidikan sekarang ini mengalami peningkatan. Wanita Indonesia mempunyai kesempatan yang semakin besar untuk mengenyam pendidikan tinggi sebagaimana halnya pria (Wanita berperan ganda, 2004). Soeharto (2004) menambahkan bahwa wanita mempunyai keinginan untuk mengembangkan kemampuan dan ilmu yang dimilikinya. Hal ini dapat dilakukan dengan bekerja, baik itu di rumah ataupun di luar rumah.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2003, menyatakan pekerja wanita di Indonesia mencapai 35,37% dari jumlah pekerja secara keseluruhan, yaitu 100.316.007. Wanita yang bekerja sesungguhnya merupakan arus utama di banyak industri (Kebijakan, 2003).

(15)

xv

bahwa kebutuhan finansial atau kebutuhan untuk mendapatkan uang sering kali membuat istri harus bekerja untuk bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarganya.

Wanita bekerja dan sudah berumah tangga memiliki peran yang lebih dari satu yang disebut sebagai peran ganda. Gunarsa dan Gunarsa (2000) menyatakan peran ganda wanita itu terdiri dari, wanita sebagai anggota keluarga, sebagai istri, sebagai pencari nafkah, sebagai ibu rumah tangga, sebagai ibu bagi anak, dan sebagai wanita karir. Fenomena peran ganda lebih sering mendatangkan masalah pada wanita. Pekerjaan banyak berpengaruh pada kehidupan, terutama bagi wanita yang sudah berumah tangga. Pada wanita dewasa dini yang sudah bekerja sekaligus sudah berumah tangga, mereka harus menyesuaikan diri mereka baik itu dengan kehidupan bekerjanya dan juga rumah tangganya. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Sutrisno (dalam Soeharto, 2004) bahwa profil wanita Indonesia pada saat ini digambarkan sebagai wanita yang harus hidup dalam situasi dilematis dimana mereka harus berperan dalam semua sektor, walaupun begitu di sisi lain mereka juga dituntut agar tidak melupakan kodratnya sebagai wanita yang harus tetap memperhatikan keluarganya. Hastomo (2007) berpendapat ada kekurangan dan kelebihan dari ibu yang bekerja. Jika ibu bekerja, anak merasa tidak diperhatikan dan kurang kasih sayang sehingga perilakunya menjadi liar apabila ibu tidak bisa mengatur waktu dan tenaganya secara proposional. Jika ibu tidak bekerja, ia memiliki lebih banyak waktu untuk mengurus rumah tangganya, dan lebih banyak mencurahkan kasih sayangnya kepada anak.

(16)

Ada banyak permasalahan yang bisa ditimbulkan akibat seorang ibu bekerja. Soeharto (2004) menyatakan pelaksanaan peran ganda wanita pada kenyataannya menimbulkan masalah yang tidak sedikit. Peran ganda memungkinkan terjadinya konflik peran dimana suatu perilaku yang diharapkan pada suatu posisi tidak cocok dengan posisi yang lain (Oskamp, 1984). Simon (2002) juga menyatakan wanita bekerja mendapatkan sejumlah implikasi klinis dan efek psikologis ketika bernegosiasi dengan konflik internal dan eksternalnya. Pengalaman konflik wanita bekerja sering menimbulkan depresi, perasaan stres, rasa bersalah, cemburu dan malu (Hammen et al. dalam Simon, 2002).

Beberapa wanita menyadari bahwa konflik yang terjadi bisa berdampak pada pernikahannya. Mereka lebih memilih untuk berhenti bekerja agar bisa tetap fokus pada keluarganya (Anita, 2005). Disamping itu, kebanyakan wanita menuntut motif yang lain yang lebih tinggi tingkatannya adalah motif psikologis dan tuntutan untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapat. Banyak diantara wanita yang tidak kalah berhasil bahkan lebih berprestasi daripada kaum pria. Namun bisakah para wanita menjadi super women yang sukses dalam menjalankan peran gandanya jika kemudian statistik menunjukkan angka kriminalitas, perceraian, perselingkuhan meningkat dikarenakan terabaikannya keluarga sebagai basis pendidikan moral yang utama (Karyatie, 2006).

Artikel yang berjudul "sesungguhnya pada setiap kesulitan terdapat kemudahan" (2007), Biru menceritakan tentang kisahnya yang mempunyai ibu seorang pekerja keras:

(17)

xvii

bekerja. Bahkan untuk ukuran seorang perempuan, pekerjaan yang ia lakukan lebih pantas dilakukan seorang laki-laki. Selama dalam ikatan pernikahan ibuku sepertinya menjadi semakin workaholic, ibu semakin sibuk dengan pekerjaannya dan bepergian ke luar daerah hingga berbulan-bulan menjadi kegiatan rutinnya. Aku dan adikku yang ketika itu masih kecil selalu dititip dan dirawat dengan dua orang babysitter-ku. tak dapat dielakan setelah terjadi beberapa kali pertengkaran akhirnya ibuku meminta cerai dari ayah. Perceraian itu tak dapat dihindari, aku dan adikku yang pada saat itu menjadi korban yang menanggung paling berat akibatnya. “

Penuturan diatas dapat disimpulkan bahwa dengan kesibukan seorang ibu yang bekerja bisa mengganggu keharmonisan keluarga, sampai mengarah ke perceraian. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hastomo (2007) bahwa ibu yang bekerja memiliki pengalaman perceraian yang lebih sering.

Dilihat dari fenomena diatas dengan meningkatnya jumlah wanita berperan ganda hal akan menimbulkan banyak kemungkinan meningkatnya permasalahan rumah tangga. Dua peran antara dirumah dan di pekerjaan yang berbeda bisa mengarah pada munculnya konflik peran ganda.

Greenhause dan Beutell (dalam David, 2003) mendefinisikan konflik peran ganda adalah salah satu bentuk konflik antar peran dimana tekanan-tekanan dari pekerjaan dan keluarga satu sama lain tidak saling cocok. Hal ini terjadi jika permintaan satu peran mengganggu seseorang dalam berpastisipasi atau melakukan performansi peran yang lainnya Selanjutnya Noor (2002) menambahkan ketika seseorang menggunakan waktu dan energi yang berlebihan terhadap peran bekerja maka peran dalam keluarga akan mengalami kesulitan, dan begitu juga sebaliknya, ketika seseorang menggunakan waktu yang berlebihan dan energi terhadap peran dalam keluarga maka peran bekerja akan mengalami kesulitan.

(18)

Hammer et al. (dalam Noor, 2002) menyatakan meskipun antara pria dan wanita bisa mengalami konflik peran antara keluarga dan pekerjaan, wanita memiliki lebih banyak konflik dari pada pria. Konflik antara permintaan kerja dan peran keluarga meningkat hanya terjadi pada wanita, mulai dari perannya dalam mengatur rumah tangga, rumah dan anak-anak.

Simon (2002) menyatakan pengalaman konflik pada wanita bekerja merupakan hal yang kompleks. Ibu bekerja mempunyai tanggung jawab ganda pada peran-peran mereka sebagai ibu, pekerja, dan istri. Matlin (2004) menambahkan bahwa pekerjaan dapat mempengaruhi tiga komponen dari kehidupan ibu bekerja, yaitu pernikahan, anak, dan penyesuaian diri. Wanita sering kali mendapat ketidakadilan dalam pembagian tugas rumah tangga. wanita lebih sering memasak, mencuci baju, mencuci piring dan belanja dari pada pria. Berkenaan dengan pengasuhan anak, Rini (2002) menyatakan bahwa puncak masalah biasanya dialami oleh para ibu bekerja yang mempunyai anak kecil yaitu balita atau batita. Semakin kecil usia anak, maka semakin besar tingkat stres yang dirasakan. Rasa bersalah karena meninggalkan anak untuk seharian bekerja, merupakan persoalan yang sering dipendam oleh para ibu yang bekerja.

(19)

xix

dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan sendiri. Prioritas peran ini bisa menimbulkan konflik jika tidak sesuai dengan harapan dari pelakunya. Kedua, pembagian kerja secara seksual di dalam rumah yang tidak seimbang. Wanita masih mempunyai tanggung jawab yang lebih tinggi terhadap peran di rumah, baik sebagai orang yang melakukan pekerjaan rumah tangga maupun sebagai ibu dan peran ini tidak berkurang walaupun mereka bekerja (Hochschild et al. dalam Hardyastuti, 2001). Dikatakan oleh Ray dan Miller (dalam Hardyastuti, 2001) bahwa penggunaan waktu untuk wanita dan lelaki tidak sama. Pada umumnya wanita mengintegrasikan antara kepentingan profesi, individu, dan keluarga, sedangkan lelaki secara tradisi menggunakan kepentingan pribadi untuk mendukung kepentingan profesinya. Ketiga, lelaki memisahkan urusan kerja dan rumah, artinya lelaki menganggap bahwa persoalan di rumah bukan urusannya maka dari itu ia menganggap hal itu merupakan urusan wanita (dalam Hardyastuti, 2001).

Tuntutan peran yang dijalankan oleh ibu yang bekerja dipengaruhi oleh motivasi ibu dalam melaksanakan semua tugasnya. Menurut Santrock (2004) self efficacy memiliki hubungan dengan motivasi intrinsik seseorang dalam melaksanakan suatu tugas tertentu dimana Bandura (1997) mendefinisikan self efficacy sebagai keyakinan individu terhadap kemampuannya yang akan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi dan kondisi tertentu.

Berdasarkan pembagiannya self efficacy dibagi dua bentuk yaitu self efficacy yang rendah dan self efficacy yang tinggi. Individu yang memiliki self efficacy yang rendah merasa dirinya tidak berdaya, tidak mampu mengatasi

(20)

peristiwa dalam hidupnya, merasa yakin bahwa usaha yang dilakukannya akan sia-sia, cepat sedih, apatis, gelisah dan ketika menemukan kesulitan mereka akan berhenti berusaha. Jadi orang yang memiliki self efficacy yang rendah cenderung tidak dapat menangani masalahnya sendiri, sedangkan orang-orang yang memiliki self efficacy yang tinggi yakin bahwa mereka dapat menangani secara efektif peristiwa dan keadaan yang sedang dihadapi, karena keyakinan terhadap kesuksesan dalam mengatasi segala rintangan dan selalu gigih berusaha, serta percaya pada kemampuan diri sendiri (dalam Schultz, 1994). Lahey (2004) menambahkan bahwa seseorang yang mempersepsikan dirinya mampu memiliki self efficacy untuk menyelesaikan tantangan-tantangan besar, mereka akan berusaha, dan lebih sukses dalam mencapai tujuannya. Sebaliknya seseorang yang mempunyai self efficacy yang rendah tidak akan mau diberi tanggung jawab tertentu karena takut tidak mampu menyelesaikan tugas. Meskipun persepsi seseorang terhadap self efficacy dipelajari dari yang orang lain katakan, dari kegagalan dan kesuksesan, dan dari sumber lain, self efficacy mempengaruhi seseorang dari dalam diri sendiri.

(21)

xxi

efficacy bekerja dan keluarga yang rendah maka tingkat konflik peran ganda yang dialaminya tinggi.

Penelitian ini dilakukan di Barat dan ingin dilakukan ulang oleh peneliti atas dasar perbedaan budaya dan sebagai tambahan bahwa kebudayaan itu sendiri mempengaruhi self efficacy (Bandura, 1997). Kebudayaan Barat yang berbeda dengan Indonesia dimana nilai individualistis masyarakat Barat lebih diutamakan (Hogg, 2002). Masyarakat Barat cenderung melakukan segala sesuatunya sendiri, dan lebih mandiri, sedangkan kebudayaan Timur bersifat lebih kolektif (Hogg, 2002) dimana dukungan dari orang lain merupakan hal yang penting yang juga berpengaruh ke dalam faktor yang mempengaruhi tingkat konflik peran ganda yang dirasakan oleh wanita berperan ganda dimana dengan tingginya dukungan keluarga akan mengurangi tingkat konflik peran gandanya (Stonner, 1990).

Atas dasar hal yang dikemukakan di atas maka tujuan peneliti adalah ingin meneliti apakah ada hubungan self efficacy bekerja dan keluarga dengan tingkat konflik peran ganda pada wanita dewasa dini.

I.B. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan data secara langsung dan lebih terperinci mengenai hubungan self efficacy bekerja dan keluarga dengan tingkat konflik peran ganda pada wanita dewasa dini.

(22)

I. C. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan terutama dalam dalam bidang psikologi perkembangan terutama yang berkaitan dengan hubungan self efficacy bekerja dan keluarga dengan tingkat konflik peran ganda pada wanita dewasa dini.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi para wanita yang berperan ganda khususnya wanita dewasa dini dalam mengangani masalah konflik peran ganda yang sering dialaminya sehingga dapat membantu untuk dapat menyeimbangkan dua peran yang berbeda antara di rumah dan di tempat kerja. Penelitian ini juga memberikan informasi bagi wanita berperan ganda akan pentingnya introspeksi diri sebelum membuat keputusan terhadap suatu masalah khususnya masalah yang ditimbulkan akibat peran ganda.

(23)

xxiii I. D. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah : Bab I : Pendahuluan

Bab I berisi tentang uraian mengenai latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bab II berisi uraian mengenai beberapa teori yang digunakan dalam mendekati permasalahan penelitian yang meliputi, konflik peran ganda, self efficacy bekerja dan keluarga, wanita dewasa dini, peran ganda wanita, hubungan self efficacy bekerja dan keluarga dengan tingkat konflik peran ganda pada wanita dewasa dini dan hipotesa penelitian.

Bab III : Metode Penelitian

Bab III berisi uraian mengenai identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional variabel penelitian, populasi, sampel dan metode pengambilan sampel, alat ukur penelitian, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisa data.

Bab IV : Analisa dan interpretasi data

Bab IV berisi mengenai gambaran subjek penelitian, hasil penelitian, dan hasil tambahan.

Bab V : Kesimpulan, diskusi, dan saran

Bab V berisi kesimpulan, diskusi, dan saran.

(24)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Tingkat Konflik Peran Ganda II.A.1. Pengertian Konflik Peran Ganda

Greenhaus dan Beutell (1985) mendefinisikan konflik peran ganda sebagai suatu bentuk konflik antar peran dimana tekanan-tekanan dari pekerjaan dan keluarga saling tidak cocok satu sama lain. Seseorang akan menghabiskan waktu yang lebih untuk digunakan dalam memenuhi peran yang penting bagi mereka, oleh karena itu mereka bisa kekurangan waktu untuk peran yang lainnya. Hal ini bisa meningkatkan kesempatan seseorang untuk mengalami konflik peran.

Paden dan Buchler (dalam Simon, 2002) mendefinisikan konflik peran ganda merupakan konflik peran yang muncul antara harapan dari dua peran yang berbeda yang dimiliki oleh seseorang. Di pekerjaan, seorang wanita yang profesional diharapkan untuk agresif, kompetitif, dan dapat menjalankan komitmennya pada pekerjaan. Di rumah, wanita sering kali diharapkan untuk merawat anak, menyayangi dan menjaga suaminya.

(25)

xxv

Jadi dari beberapa pengertian di atas konflik peran ganda adalah salah satu bentuk konflik antar peran yang diakibatkan pekerjaan dan keluarga saling tidak cocok satu sama lain, kewajiban pekerjaan yang mengganggu kehidupan rumah tangga, permintaan, waktu dan ketegangan dalam keluarga yang disebabkan harapan dari dua peran yang berbeda.

II.A.2. Dimensi-Dimensi Konflik Peran Ganda

Menurut Greenhause dan Beutell (dalam David, 2003) konflik peran ganda itu bersifat bi-directional dan multidimensi. Bi-directional terdiri dari :

1. Work-family conflict yaitu konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab pekerjaan yang mengganggu tanggung jawab terhadap keluarga.

Netemeyer et el. (dalam Hennessy, 2005) mendeskripsikan work-family conflict sebagai suatu bentuk konflik antar peran dimana secara umum permintaan, waktu dan ketegangan yang diakibatkan oleh pekerjaan mengganggu tanggung jawab terhadap keluarga.

Jadi dapat disimpulkan work-family conflict sebagai konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab pekerjaan yang mengganggu tanggung jawab keluarga dimana secara umum permintaan waktu dan ketegangan yang diakibatkan oleh pekerjaan yang mengganggu tanggung jawab keluarga. 2. Family-work conflict yaitu konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab

terhadap keluarga mengganggu tanggung jawab terhadap pekerjaan. Netemeyer et el. (dalam Hennessy, 2005) mendeskripsikan family-work conflict sebagai suatu bentuk konflik antar peran dimana secara umum

(26)

permintaan, waktu dan ketegangan dalam keluarga mengganggu tanggung jawab pekerjaan.

Jadi dapat disimpulkan family-work conflict adalah konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab terhadap keluarga mengganggu tanggung jawab terhadap pekerjaan dimana secara umum permintaan, waktu dan ketegangan dalam keluarga mengganggu tanggung jawab pekerjaan.

Menurut Greenhause dan Beutell (dalam David, 2003) multidimensi dari konflik peran ganda muncul dari masing-masing direction dimana antara keduanya baik itu work-family conflict maupun family-work conflict masing-masing memiliki 3 dimensi yaitu: time-based conflict, strain-based conflict, behavior-based conflict.

Greenhaus dan Beutell (dalam Hennessy, 2005) mendefinisikan tiga dimensi dari konflik peran ganda, yaitu:

1. Time-based conflict, yaitu konflik yang terjadi karena waktu yang digunakan untuk memenuhi satu peran tidak dapat digunakan untuk memenuhi peran lainnya artinya pada saat yang bersamaan seorang yang mengalami konflik peran ganda tidak akan bisa melakukan dua atau lebih peran sekaligus.

(27)

xxvii

3. Behavior-based conflict, yaitu konflik yang muncul ketika pengharapan dari suatu perilaku yang berbeda dengan pengharapan dari perilaku peran lainnya. Sebagai contoh, seorang wanita yang merupakan manajer eksekutif dari suatu perusahaan mungkin diharapkan untuk agresif dan objektif terhadap pekerjaan, tetapi keluarganya mempunyai pengharapan lain terhadapnya. Dia berperilaku sesuai dengan yang diharapkan ketika berada di kantor dan ketika berinteraksi di rumah dengan keluarganya dia juga harus berperilaku sesuai dengan yang diharapkan juga.

II.A.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Peran Ganda

Stoner et al. (1990) menyatakan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi konflik peran ganda, yaitu:

1. Time pressure, semakin banyak waktu yang digunakan untuk bekerja maka semakin sedikit waktu untuk keluarga

2. Family size dan support, semakin banyak anggota keluarga maka semakin banyak konflik, dan semakin banyak dukungan keluarga maka semakin sedikit konflik.

3. Kepuasan kerja, semakin tinggi kepuasan kerja maka konflik yang dirasakan semakin sedikit.

4. Marital and life satisfaction, ada asumsi bahwa wanita bekerja memiliki konsekuensi yang negatif terhadap pernikahannya.

5. Size of firm, yaitu banyaknya pekerja dalam perusahaan mungkin saja mempengaruhi konflik peran ganda seseorang.

(28)

II.A.4. Konsekuensi dari Konflik Peran Ganda

Konflik ibu bekerja, seringkali mengarah pada simptom klinis seperti depresi, perasaan stres, bersalah, agresi, iri, dan malu (Hammen et al. dalam Simon, 2002). Perasaan depresi ditemukan lebih bersifat kronis dan berulang pada wanita dibanding pria, dengan waktu yang dihabiskan wanita mengalami depresi rata-rata 21 % seumur hidup (Simon, 2002).

Beberapa peneliti menemukan bahwa ada hubungan antara konflik peran ganda dengan psychological distress dan kesejahteraan. Sebagai contoh, Schwartzberg dan Dytell (dalam Hennessy, 2005) mengatakan ada pengaruh pekerjaan dan stres keluarga terhadap kesejateraan psikologis. Selanjutnya penelitian mengarah pada perbedaan gender dan penelitian terbaru menemukan bahwa wanita menunjukkan level distres yang lebih tinggi yang berhubungan dengan peran ganda (Cleary dalam Hennessy, 2005).

II.A.5. Tingkat Konflik Peran Ganda Pada Wanita Dewasa Dini

. Hammer et al. (dalam Noor, 2002) menyatakan meskipun antara pria dan wanita bisa mengalami konflik antara keluarga dan pekerjaan, wanita melaporkan lebih banyak konflik dari pada pria. Konflik antara permintaan kerja dan peran keluarga meningkat hanya terjadi pada wanita, mulai dari perannya dalam mengatur rumah tangga, rumah dan anak-anak.

(29)

xxix

wanita dewasa dini memainkan peran baru, seperti peran istri, dan orang tua, sedangkan di kantor, wanita dewasa dini merupakan seorang pekerja yang harus memenuhi tuntutan perannya sebagai seorang pekerja. Selanjutnya Hurlock (1999) menambahkan bahwa masa dewasa dini merupakan suatu periode sulit yang membutuhkan penyesuaian diri yang tinggi.

Peran sebagai orang tua yang dijalankan oleh dewasa dini berkenaan dengan ciri-ciri masa dewasa dini yaitu masa reproduksi. Banyak orang sudah mulai berperan sebagai orang tua pada awal usia dua puluhan atau awal usia tiga puluhan. Rini (2002) menyatakan bahwa masalah berkenaan dengan pengasuhan anak biasanya dialami oleh para ibu bekerja yang mempunyai anak kecil yaitu balita atau batita.

II.B. Self Efficacy Bekerja dan Keluarga II.B.1. Pengertian Self Efficacy

Menurut Schultz (1994), self efficacy adalah perasaan kita terhadap kecukupan, efisiensi, dan kemampuan kita dalam mengatasi kehidupan.

Bandura (1997) menyatakan bahwa self efficacy adalah keyakinan individu terhadap kemampuan mereka akan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi dan kondisi tertentu. Selanjutnya Lahey (2004) mendefinisikan self efficacy adalah persepsi bahwa seseorang mampu melakukan sesuatu yang penting untuk mencapai tujuannya. Hal ini mencakup perasaan mengetahui apa yang dilakukan dan juga secara emosional mampu untuk melakukannya.

(30)

Bandura (dalam Salim, 2001) menyatakan bahwa self efficacy adalah keyakinan, persepsi, kekuatan untuk mempengaruhi perilaku seseorang, kepercayaan bahwa “aku bisa” untuk dapat mengatasi situasi dan menghasilkan hasil yang positif akan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi dan kondisi tertentu.

Jadi dapat disimpulkan bahwa self efficacy adalah perasaan, keyakinan, persepsi, kepercayaan terhadap kemampuan mengatasi suatu situasi tertentu yang nantinya akan berpengaruh pada cara individu mengatasi situasi tersebut.

II.B.2. Karakteristik Individu yang Memiliki Self Efficacy Tinggi dan Self Efficacy Rendah

Individu yang memiliki self efficacy tinggi, yakni bahwa mereka mampu menangani secara efektif peristiwa dan situasi yang mereka hadapi. Karena merasa yakin terhadap kesuksesan dalam mengatasi rintangan, mereka tekun dalam menyelesaikan tugas-tugas. Individu yang demikian percaya pada kemampuan diri yang mereka miliki daripada individu yang memiliki self efficacy rendah dan hanya sedikit menunjukkan keragu-raguan. Mereka memandang kesulitan dan rintangan sebagai tantangan bukan ancaman dan suka dengan situasi baru (Schultz, 1994).

(31)

xxxi

efficacy yang rendah sekali tidak akan mau berusaha untuk menanggapi masalahnya karena mereka berpikir bahwa tidak ada sesuatu pun yang mereka lakukan yang akan membuat perbedaan (Schultz, 1994).

Individu dengan self efficacy yang tinggi percaya bahwa mereka dapat mengubah lingkungan mereka, sedangkan orang yang memiliki self efficacy yang rendah selalu menganggap bahwa mereka tidak mampu melaksanakan tugas (Feist & Feist, 2002).

Lahey (2004) menyatakan bahwa seseorang yang mempersepsikan dirinya mampu atau memiliki self efficacy yang tinggi dalam menerima tantangan-tantangan lebih besar, akan menggunakan usaha yang lebih, dan lebih sukses dalam mencapai tujuan. Sebaliknya seseorang yang mempunyai self efficacy yang rendah tidak akan mau dipromosikan karena takut tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas pada jabatan tertentu.

Individu yang meragukan kemampuannya dalam aktifitas tertentu akan menjauhkan diri dari tugas-tugas yang sulit. Mereka akan mengurangi usaha mereka atau cepat menyerah saat menghadapi rintangan. Mereka memiliki aspirasi yang rendah dan komitmen yang lemah terhadap tujuan yang ingin mereka capai. Dalam situasi yang sulit, mereka memikirkan kekurangan diri mereka, beratnya tugas tersebut, dan konsekuensi dari kegagalannya. Pemikiran yang kacau tersebut semakin menurunkan usaha dan pemikiran analitis mereka dengan mengalihkan perhatian mereka dari aktifitasnya. Mereka lambat untuk memulihkan kembali perasaan mampu mereka setelah mengalami kegagalan karena mereka cenderung mendiagnosa performansi yang tidak memadai sebagai

(32)

bakat yang kurang baik, maka kegagalan membuat mereka menjadi hilang kepercayaan akan kemampuan mereka. Mereka mudah menjadi korban stres dan depresi (Bandura, 1997).

Sebaliknya kepercayaan akan kemampuan yang kuat meningkatkan fungsi sosial kognitif seseorang. Individu dengan self efficacy yang tinggi menganggap tugas-tugas sulit sebagai tantangan untuk dihadapi bukan sebagai ancaman yang perlu dihindari. Mereka menetapkan sendiri tujuan yang menantang dan komitmen yang kuat terhadapnya. Mereka menanamkan usaha yang kuat terhadap apa yang mereka lakukan dan meningkatkan lagi usaha ketika mereka gagal. Mereka mengatribusikan kegagalan mereka dengan usaha yang kurang memadai dan cepat memulihkan rasa mampu dengan keyakinan bahwa mereka mampu mengkontrolnya. Hal ini meningkatkan performansi mereka, mengurangi stres, menurunkan kerentanan terhadap depresi (Bandura, 1997).

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa karakteristik individu yang mempunyai self efficacy yang tinggi adalah:

1. Percaya pada kemampuan diri yang mereka miliki

2. Menganggap tugas yang sulit sebagai tantangan untuk dihadapi bukan sebagai ancaman yang perlu dihindari.

3. Mengontrol diri untuk mencapai tujuan.

Karakteristik individu yang mempunyai self efficacy yang rendah adalah: 1. Memandang mereka tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan tugas 2. Menganggap tugas yang sulit sebagai sebuah ancaman

(33)

xxxiii II.B.3. Dimensi Self Efficacy

Bandura (1997) menyatakan bahwa self efficacy dibedakan atas tiga dimensi, dimensi tersebut adalah:

1. Level/magnitude, yaitu penilaian kemampuan individu pada tugas yang sedang dihadapinya. Dimensi ini mengacu pada tingkat kesulitan suatu masalah yang dipersepsikan berbeda dari masing-masing individu. Ada yang menganggap masalah itu sulit ada juga yang menganggap masalah itu mudah untuk dilakukan. Apabila individu merasa sedikit rintangan yang dihadapi maka masalah tersebut mudah ditangani.

2. Generality. Mengacu pada penilaian efficacy individu berdasarkan aktivitas keseluruhan tugas yang pernah dijalaninya.

3. Strength. Mengacu pada ketahanan dan keuletan individu dalam menyelesaikan masalah. Individu yang memiliki keyakinan yang kuat tehadap kemampuannya untuk menyelesaikan masalah akan terus bertahan dalam usahanya meskipun banyak kesulitan dan tantangan.

II.B.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Efficacy

Bandura (1997), mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi self efficacy, yaitu:

1. Budaya

Budaya mempengaruhi self efficacy melalui nilai (value), kepercayaan (belief), dan self regulatory process yang berfungsi sebagai sumber penilaian self efficacy dan juga sebagai konsekuensi dari keyakinan akan self efficacy.

(34)

2. Gender

Perbedaan gender berpengaruh terhadap self efficacy. Wanita lebih memiliki self efficacy yang tinggi dalam mengelola perannya.

3. Sifat dari tugas yang dihadapi

Kompleksitas dari kesulitan tugas yang dihadapi oleh seseorang mempengaruhi penilaian individu terhadap kemampuan yang dimilikinya dalam menyelesaikan tugas tersebut, semakin kompleks dan sulit suatu tugas yang dihadapi oleh individu maka semakin rendah individu tersebut menilai diri dan kemampuannya, sebaliknya jika individu merasa bahwa ia menghadapi tugas yang mudah dan sederhana, maka semakin tinggi individu tersebut menilai tentang diri dan kemampuannnya.

4. Insentif eksternal (reward) yang diterima individu dari orang lain

Jika individu berhasil mengerjakan tugasnya dengan baik dan diberi reward yang positif oleh orang lain akan meningkatkan self efficacy, semakin besar reward tersebut semakin besar self efficacy.

5. Status atau peran individu dalam lingkungan

Seseorang yang memiliki status yang lebih tinggi akan memperoleh derajat kontrol yang lebih besar, sehingga self efficacy yang dimilikinya juga tinggi, sedangkan orang yang memiliki status yeang lebih rendah akan memiliki self efficacy yang rendah juga.

6. Informasi tentang kemampuan diri

(35)

xxxv

menjadi lebih tinggi apabila seseorang memperoleh informasi positif tentang kemampuan dirinya, sebaliknya self efficacy individu akan menurun apabila individu tersebut memperoleh informasi yang negatif tentang kemampuan yang dimilikinya.

Lahey (2004) menambahkan, meskipun persepsi seseorang terhadap self efficacy dipelajari dari yang orang lain katakan, dari kegagalan dan kesuksesan, dan dari sumber lain, self efficacy mempengaruhi seseorang dari dalam diri sendiri.

Jadi dapat disimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi self efficacy adalah budaya, gender, sifat dari tugas yang dihadapi, insentif eksternal yang diterima individu dari orang lain, status atau peran individu dalam lingkungan, informasi tentang kemampuan diri, kegagalan dan kesuksesan, namun disamping itu self efficacy mempengaruhi seseorang dari dalam diri sendiri.

II.B.5. Pengertian Self Efficacy Bekerja dan Keluarga

Sesuai dengan kesimpulan sebelumnya yang diambil dari beberapa tokoh bahwa self efficacy adalah perasaan, keyakinan, persepsi, kepercayaan terhadap kemampuan mengatasi suatu situasi tertentu yang nantinya akan berpengaruh pada cara individu mengatasi situasi tersebut. Bekerja menurut Netemeyer et el., (dalam Hennessy, 2005) adalah segala kegiatan yang dilakukan yang berhubungan dengan pekerjaan untuk memperoleh penghasilan. Khairuddin (1997) mendefinisikan keluarga sebagai kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi yang menciptakan peranan-peranan sosial bagi suami dan istri,

(36)

ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan. Netemeyer et el., (dalam Hennessy, 2005) menambahkan kegiatan dalam keluarga mencakup pelaksanaan peran-peran yang dilakukan misalnya sebagai orang tua, sebagai pasangan, dan kegiatan lain yang dilakukan di keluarga.

Jadi dapat disimpulkan bahwa self efficacy bekerja dan keluarga adalah perasaan, keyakinan, persepsi, ataupun kepercayaan terhadap kemampuan untuk mengatasi situasi ketika melakukan segala kegiatan yang dilakukan yang berhubungan dengan pekerjaan untuk memperoleh penghasilan dan juga mampu menghadapi situasi lain yang berhubungan dengan peranannya sebagai anggota keluarga.

II.B.6. Self Efficacy Bekerja dan Keluarga pada Wanita Dewasa Dini

Bandura membagi masa dewasa menjadi dua kelompok yaitu, masa dewasa muda dan dewasa pertengahan. Self efficacy penting pada masa dewasa muda yakni dalam hal penyesuaian terhadap perkawinan dan peningkatan karir. Individu yang mempunyai self efficacy rendah tidak akan mampu berhadapan dengan situasi sosial dan gagal menyesuaikan diri (dalam Schultz, 1994).

(37)

xxxvii

pertamanya. Ada kemungkinan self efficacy memiliki hubungan dengan dukungan sosial dan ketegangan peran (role strain), dimana dukungan bisa didapat dari pasangan, keluarga, atau teman kerja dimana bisa meningkatkan secara efektif permintaan terhadap peran yang bervariasi, dan bisa mengurangi role strain itu sendiri (dalam Erdwins et al., 2001).

Menurut Bandura (1997) self efficacy pada masa dewasa meliputi penyesuaian pada masalah perkawinan dan peningkatan karir. Bekerja dan berkeluarga merupakan tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa dini. Di antara sekian banyak tugas-tugas perkembangan dewasa dini, tugas-tugas yang berkaitan dengan pekerjaan dan keluarga merupakan tugas yang sangat banyak, penting, dan sulit diatasi (Hurlock, 1999).

Bandura (1997) menyatakan wanita yang memiliki peran sebagai ibu rumah tangga dan wanita karir akan memiliki self efficacy yang tinggi dibandingkan dengan pria bekerja.

II.C. Masa Dewasa Dini

II.C.1. Pengertian Masa Dewasa Dini

Menurut Hurlock (1999), Adult berasal dari bahasa latin, yaitu “adultus” yang artinya telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna yaitu menjadi dewasa. Adult atau masa dewasa terbagi atas tiga bagian yaitu: (a) dewasa dini, (b) dewasa madya, dan (c) dewasa akhir. Masa dewasa dini merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa muda diharapkan memainkan peran baru, seperti peran

(38)

suami/istri, orang tua, dan pencari nafkah, dan mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru yang sesuai dengan tugas-tugas baru ini. Penyesuaian diri terhadap tugas-tugas baru tersebut menjadikan periode ini dijadikan suatu periode khusus dan sulit dari rentang hidup seseorang. Menurut Papalia (2004) batasan usia masa dewasa dini adalah 20-40 tahun.

II.C.2. Ciri-Ciri Masa Dewasa Dini

Hurlock (1999) mengemukakan ciri-ciri masa dewasa dini, yaitu: 1. Masa pengaturan

Pada masa ini terdapat istilah settle down dimana seseorang pada masa dewasa dini mengurangi kebebasannya dan menerima tanggung jawab sebagai orang dewasa.

2. Masa reproduktif

Seseorang pada masa dewasa dini setelah mereka menikah mereka kemudian akan mempersiapkan diri untuk berperan sebagai orang tua.

3. Masa bermasalah

Mereka dituntut untuk mandiri dalam hal penyelesaian masalah baik itu penyesuaian terhadap perkawinan, peran sebagai orang tua, dan karir.

4. Masa ketegangan emosional

(39)

xxxix 5. Masa keterasingan sosial

Pola kehidupan orang dewasa seperti karir, rumah tangga menyebabkan hubungan dengan kelompok sebaya menjadi renggang dan akan menimbulkan keterpencilan sosial. Hal ini sesuai dengan apa yang disebut oleh Erikson (dalam Hurlock, 1999) sebagai krisis keterasingan.

6. Masa komitmen

Perubahan tanggung jawab terhadap pola hidup baru, tanggung jawab baru dan komitmen baru akan menjadi landasan komitmen di kemudian hari. 7. Masa ketergantungan

Hal ini terjadi terutama dalam bidang ekonomi, masih tergantung kepada orang tua, lembaga pendidikan yang memberi beasiswa, ataupun lembaga pemerintah yang memberikan pinjaman biaya pendidikan.

8. Masa perubahan nilai

Nilai pada masa kanak-kanak dan remaja berubah menurut kacamata orang dewasa. Hal ini dikarenakan pengalaman dan hubungan sosial yang luas. 9. Masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru

Masa dewasa dini merupakan periode yang paling banyak menghadapi perubahan. Gaya-gaya hidup baru yang paling menonjol yaitu berada pada peran orang tua dan perkawinan. Persiapan gaya hidup baru jarang sekali dilakukan sebelumnya baik itu di pendidikan maupun di rumah. Demikian pula orang-orang muda masa kini jarang sekali dipersiapkan agar mampu memikul tanggung jawab sebagai orang tua dan pencari nafkah di luar rumah.

(40)

10. Masa kreatif

Bentuk kreatifitas tergantung pada minat dan kemampuan individual disalurkan melalui hobi atau pekerjaan. Meskupun demikian, kesempatan ini banyak terhalang karena tugas-tugas rumah tangga dan pengasuhan anak.

II.C.3. Tugas-Tugas Perkembangan Pada Masa Dewasa Dini

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999) masa dewasa dini mempunyai tugas-tugas perkembangan, terdiri dari:

1. Mulai bekerja 2. Memilih pasangan

3. Belajar hidup dengan tunangan 4. Mulai membina keluarga 5. Mengasuh anak

6. Mengelola rumah tangga

7. Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara 8. Mencari kelompok sosial yang menyenangkan

II.D. Peran Ganda Wanita

II.D.1. Pengertian Peran Ganda Wanita

(41)

xli

Peran biasanya dilihat serangkaian rumusan yang membatasi perilaku-perilaku yang diharapkan dari pemegang kedudukan tertentu (Riddle & Thomas, dalam Sarlito, 2000).

Seseorang yang memiliki peran ganda berarti seseorang tersebut memiliki peran yang lebih dari satu pada saat bersamaan. Menurut Newman dan Newman (2005) peran yang individu mainkan merupakan pola perilaku yang merupakan pengharapan dari masyarakat.

Jadi dapat disimpulkan bahwa peran ganda adalah lebih dari satu pola perilaku yang dimiliki oleh seorang individu yang merupakan pengharapan dari masyarakat.

Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2000) peran ganda wanita terdiri dari: 1. Wanita sebagai anggota keluarga: memberi inspirasi tentang gambaran arti

hidup dan peranannya sebagai wanita dan anggota keluarga.

2. Wanita sebagai istri: membantu suami dalam menentukan nilai-nilai yang akan menjadi tujuan hidup yang mewarnai hidup sehari-hari dan keluarga: a. menjadi kekasih suami

b. menjadi pengabdi dalam membantu meringankan beban suami

c. menjadi pendamping suami, bila perlu membina relasi-relasi dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial, menghadapi, mengatasi masalah baik diatasi sendiri atau bersama-sama

d. menjadi manajer keuangan yang dilimpahkan oleh suami.

(42)

3. Wanita sebagai pencari nafkah

Wanita untuk kepuasan diri bisa menunjukkan kemampuannya dengan bekerja. Wanita yang berambisi tinggi, sesudah menikah bisa juga ingin tetap mengejar karir. Dalam kenyataaannya, ada wanita yang perlu bekerja di luar atau di dalam rumah untuk meringankan beban suami atau untuk mengamalkan kemampuannya setelah selesainya pendidikan, sambil menambah penghasilkan keluarga.

4. Wanita sebagai ibu rumah tangga:

a. mengatur seluruh penghasilan kehidupan dan kelancaran rumah tangga. b. Mengatur dan mengusahakan suasana rumah yang nyaman.

5. Wanita sebagai ibu bagi anak.

a. menjadi model tingkah laku anak yang mudah diamati dan ditiru

b. menjadi pendidik: memberi pengarahan, dorongan dan pertimbangan bagi perbuatan-perbuatan anak untuk membentuk perilaku

c. menjadi konsultan: memberi nasehat, pertimbangan, pengarahan dan bimbingan

d. menjadi sumber informasi: memberikan pengetahuan, pengertian dan penerangan

(43)

xliii

membentuk hari depan dengan kesadaran penuh akan kemanusiaan dan sifat hakikinya.

II.D.2. Motivasi Wanita Berperan Ganda

Wanita berperan ganda dengan perannya sebagai pekerja sekaligus ibu rumah tangga memiliki motivasi tertentu untuk melakukan peran gandanya tersebut. Menurut Egelman (2004) ada sejumlah ganjaran yang akan didapatkan oleh seorang ibu yang bekerja baik dalam segi sosial maupun psikologis:

1. Status, maksudnya dengan bekerja seseorang memperoleh kebanggaan dengan apa yang sudah diraihnya di dunia kerja.

2. Pencapaian pendidikan, maksudnya pendidikan yang tinggi membuat wanita berharap mereka akan diberikan balasan yang lebih di dunia kerja.

3. Jenjang karir. Setelah selesai dari kuliahnya, wanita merasa pekerjaan merupakan jenjang karir tahap lanjut yang perlu dilalui.

4. Kesempatan. Sekarang sudah banyak kesempatan yang muncul dari pekerjaan yang dulunya hanya oleh ditekuni oleh laki-laki saja.

5. Uang, maksudnya banyak ibu bekerja karena alasan uang untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga.

(44)

II.D.4. Hal-Hal yang Dipengaruhi oleh Kehidupan Wanita Berperan Ganda Menurut Matlin (2004) pekerjaan dapat mempengaruhi tiga komponen dari kehidupan wanita, yaitu:

1. Pernikahan

Dalam pelaksanaan tugas rumah tangga wanita sering diperlakukan tidak adil dalam hal pembagian tugas rumah tangganya. Menurut Galinsky et al. (dalam Matlin, 2004) wanita lebih sering dari pada pria dalam hal memasak, mencuci baju, mencuci piring dan belanja sedangkan pria hanya membantu ketika memperbaiki peralatan rumah tangga yang rusak.

2. Anak

Menurut Parke dan Buriel (dalam Papalia, 2004) kepuasan ibu terhadap status pekerjaannya, dapat membuat ia menjadi orang tua yang lebih efektif. Anak-anak usia sekolah dari ibu yang bekerja cenderung untuk hidup dalam rumah yang lebih terstruktur dan cenderung lebih mandiri (Bronfrenbrenner & Crouter, dalam Papalia, 2004) dari pada anak-anak dari ibu yang berada di rumah tangga seharian penuh.

Hoffman et al.(dalam Matlin, 2004) ibu melakukan 60% dan 90% dari tugas perawatan anak dan mereka lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dibandingkan dengan ayah (Dryden et al. dalam Matlin, 2004).

3. Penyesuaian diri a. Ketegangan Peran

(45)

xlv

mereka mengalami kesulitan untuk melakukan berbagai peran yang berbeda pada saat yang bersamaan (Cleveland et al. dalam Matlin, 2004). b. Kesehatan Fisik

Barnett et al. (dalam Matlin, 2004) menyatakan bahwa ketegangan peran dapat mengarah pada menurunnya kesehatan fisik. Meskipun begitu, data menyarankan bahwa wanita bekerja lebih sehat dari pada yang tidak. Ada satu kelompok wanita yang secara substansial mengalami permasalahan kesehatan, yaitu wanita yang memiliki sedikit pendapatan dan pekerjaan tanpa balasan, banyak anak dan suami yang tidak suportif (dalam Matlin, 2004).

c. Kesehatan Mental

Untuk beberapa wanita, peran ganda dijadikan sebagai efek penyeimbang, khususnya sebagai penyeimbang stres yang dialami karena permasalahan keluarga. Yoder (dalam Matlin, 2004) menyatakan keuntungan peran ganda lebih banyak dari pada ketidakuntungannya, mereka terlihat lebih bahagia dan memiliki penyesuaian yang baik (Barnett et al. dalam Matlin, 2004). Namun penelitian terbaru menemukan bahwa wanita berperan ganda menunjukkan level distres yang lebih tinggi (Cleary dalam Hennessy, 2005).

(46)

II.E. Hubungan Self Efficacy Bekerja dan Keluarga dengan Tingkat konflik peran ganda pada Wanita Dewasa Dini

Masa dewasa dini merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola kehidupan dan harapan sosial yang baru. Seseorang pada masa ini diharapkan dapat memainkan peran baru, seperti peran suami atau istri, orang tua, pencari nafkah, dan mengembangkan sikap, keinginan serta nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya.

Hurlock (1999) menyatakan tugas-tugas yang berkaitan dengan pekerjaan dan keluarga merupakan tugas yang sangat banyak, penting, dan sulit diatasi bahkan bagi orang dewasa telah mempunyai pengalaman kerja, telah menikah, dan telah menjadi orang tua, mereka masih tetap harus melakukan penyesuaian diri dengan peran-peran tersebut.

Pemenuhan tugas perkembangan dewasa dini khususnya dalam hal pencarian pekerjaan, pendidikan memiliki peran yang sangat penting guna terciptanya kesempatan bagi seseorang untuk mendapat pekerjaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Papalia (2004) bahwa dewasa dini kebanyakan memilih pekerjaan sesuai dengan bidang dalam pendidikannya. Semakin tinggi pendidikan yang mereka capai maka semakin luas kesempatan bekerja.

(47)

xlvii

mengenyam pendidikan tinggi sebagaimana halnya pria (Wanita berperan ganda, 2004).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2003, menyatakan pekerja wanita di Indonesia mencapai 35,37% dari jumlah pekerja secara keseluruhan, yaitu 100.316.007 (Dinas Kesehatan, 2003).

Jumlah pekerja wanita tersebut terdiri dari wanita yang sudah menikah dan wanita yang belum menikah. Wanita yang bekerja dan sudah menikah berarti mereka memiliki peran yang lebih dari satu, yaitu di rumah dan di tempat kerja. Peran wanita yang lebih dari satu yaitu sebagai ibu, istri, dan pekerja disebut sebagai peran ganda (Gunarsa & Gunarsa, 2000). Oskamp (1984) mengemukakan bahwa semua orang memang sering menempati banyak peran pada saat yang bersamaan.

Fenomena peran ganda lebih sering mendatangkan masalah pada wanita, terutama bagi wanita yang sudah berumah tangga. Profil wanita Indonesia pada saat ini digambarkan sebagai wanita yang harus hidup dalam situasi dilematis dimana mereka harus berperan dalam semua sektor tanpa melupakan kodratnya sebagai wanita yang harus tetap memperhatikan keluarga (dalam Soeharto, 2004).

Bem et al. (dalam Simon, 2002) menyatakan bawa ibu bekerja mempunyai tanggung jawab ganda pada peran-peran mereka sebagai ibu, pekerja, dan istri. Matlin (2004) menambahkan wanita sering kali mendapat ketidakadilan dalam pembagian tugas rumah tangga. wanita seperti memasak, mencuci baju, mencuci piring dan belanja dari pada pria.

(48)

Pelaksanaan peran ganda wanita pada kenyataannya menimbulkan masalah yang tidak sedikit (Soeharto, 2004). Peran ganda memungkinkan terjadinya konflik peran dimana suatu perilaku yang diharapkan pada suatu posisi tidak cocok dengan posisi yang lain (Oskamp, 1984). Simon (2002) menyatakan wanita bekerja mendapatkan sejumlah implikasi klinis dan efek psikologis ketika bernegosiasi dengan konflik internal dan eksternalnya. Pengalaman konflik wanita bekerja sering menimbulkan depresi, perasaan stres, rasa bersalah, cemburu dan malu (Hammen et al. dalam Simon, 2002).

Greenhause dan Beutell (1985) menyatakan bahwa konflik peran ganda terjadi jika permintaan satu peran mengganggu seseorang dalam berpastisipasi atau melakukan performansi peran yang lainnya. Selanjutnya Noor (2002) menambahkan ketika seseorang menggunakan waktu dan energi yang berlebihan terhadap peran bekerja maka peran dalam keluarga akan mengalami kesulitan, dan begitu juga sebaliknya, ketika seseorang menggunakan waktu yang berlebihan dan energi terhadap peran dalam keluarga maka peran bekerja akan mengalami kesulitan.

(49)

xlix

rendah dan sebaliknya, memiliki self efficacy pekerjaan dan keluarga yang rendah maka konflik peran ganda yang dialaminya tinggi.

Di antara sekian banyak tugas perkembangan orang dewasa dini, tugas-tugas yang berkaitan dengan pekerjaan dan hidup keluarga merupakan tugas-tugas yang sangat banyak, penting, dan sulit diatasi (Hurlock, 1999). Tugas-tugas ini jika dihubungan peran sebagai orang tua dimana kelahiran anak menjadi awal munculnya peran baru dan peran orang tua menjadi sangat penting pada masa ini untuk terwujudnya pertumbuhan dan perkembangan bayi menjadi anak yang sehat dikemudian hari.

Menurut Bandura (1997) self efficacy pada masa dewasa meliputi penyesuaian pada masalah perkawinan dan peningkatan karir. Penelitian yang dilakukan oleh Erdwins et al. (2001) ternyata diketahui bahwa ada hubungan antara self efficacy bekerja dan keluarga dengan konflik peran ganda. Hubungan antara dua konstruk ini bersifat negatif yang artinya apabila seorang individu memiliki self efficacy bekerja dan keluarga yang tinggi maka konflik peran ganda yang dialaminya rendah dan sebaliknya apabila individu memiliki self efficacy bekerja dan keluarga yang rendah maka konflik peran ganda yang dialaminya tinggi.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa self efficacy bekerja dan keluarga memiliki hubungan dengan konflik peran ganda pada wanita dewasa dini. Untuk menyesuaikan diri dengan peran barunya sebagai pekerja dan anggota keluarga dimana konflik peran ganda sering muncul, self efficacy bekerja

(50)

dan keluarga yang dimiliki bisa mempengaruhi tingkat konflik peran ganda yang dialami oleh wanita dewasa dini.

II.F. Hipotesa

(51)

li BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan unsur penting didalam penelitian ilmiah, karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitan tersebut dapat dipertanggungjawabkan hasilnya (Hadi, 2000). Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat korelasional yaitu penelitian yang bertujuan untuk melihat hubungan antara dua variabel yang diprediksi memiliki hubungan. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai: identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan sampel penelitian, metode pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian dan metode analisis data.

III.A. Identifikasi Variable Penelitian

Untuk dapat menguji hipotasa peelitian terlebih dahulu diidentifikasikan variabel-variabel penelitian. Dalam penelitian ini variabel-variabel yang digunakan terdiri dari:

1. Variabel Bebas (IV) : Self Efficacy Bekerja dan Keluarga 2. Varibel Tergantung (DV) : Tingkat Konflik Peran Ganda

(52)

III.B. Defenisi Operasional Variabel Penelitian III.B.1. Self Efficacy Bekerja dan Keluarga

Self efficacy bekerja dankeluarga adalah keyakinan akan kemampuan diri sendiri ketika mengerjakan tugas-tugas yang berhubungan dengan pekerjaan guna memperoleh penghasilan dan juga tugas-tugas lain yang berhubungan dengan peranannya sebagai anggota keluarga.

Skala self efficacy dalam penelitian ini merupakan penggabungan dari dua buah skala sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Erdwins et al. (2005) sebelumnya, yaitu skala self efficacy bekerja dan keluarga.

Masing-masing skala disusun berdasarkan tiga dimensi self efficacy yang dikemukakan oleh Bandura (1997), yaitu:

1. Level/ magnitude, yaitu penilaian kemampuan individu pada tugas yang sedang dihadapinya.

2. Generality, yang mengacu pada penilaian efficacy individu berdasarkan aktivitas keseluruhan tugas yang pernah dijalaninya.

3. Strength, mengacu pada ketahanan dan keuletan individu dalam menyelesaikan masalah pada tugas-tugasnya.

(53)

liii III.B.2. Tingkat Konflik Peran Ganda

Konflik peran ganda adalah salah satu bentuk konflik antar peran yang diakibatkan peran dalam pekerjaan dan keluarga saling tidak cocok satu sama lain. Menurut Greenhause dan Beutell (dalam David, 2003) konflik peran ganda itu bersifat bi-directional dan multidimensi. Bi-directional terdiri dari :

1. Work-family conflict yaitu konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab dalam pekerjaan mengganggu tanggung jawabnya dalam keluarga.

2. Family-work conflict) yaitu konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab dalam keluarga mengganggu tanggung jawab terhadap pekerjaan.

Menurut Greenhause dan Beutell (dalam David, 2003) multidimensi dari konflik peran ganda muncul dari work-family conflict maupun family-work conflict yang masing-masing memiliki 3 dimensi yaitu: time conflict, strain conflict, behavior conflict.

Konflik peran ganda dalam penelitian ini akan diungkap dengan menggunakan alat ukur berupa skala yang disusun berdasarkan tiga dimensi konflik peran ganda yang dikemukakan oleh Greenhaus dan Beutell (dalam Hennessy, 2005) yaitu:

1. Time-based conflict, yaitu konflik yang terjadi karena pada saat yang bersamaan seseorang tidak bisa memenuhi peran yang lebih dari satu.

2. Strain-based conflict, yaitu ketegangan yang dihasilkan oleh salah satu peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan perannya yang lain.

(54)

3. Behavior-based conflict, yaitu konflik yang muncul ketika perilaku yang diharapkan dari suatu peran berbeda dengan perilaku yang diharapkan dari peran lainnya.

Semakin tinggi skor skala konflik peran ganda, maka semakin tinggi tingkat konflik peran ganda yang dirasakan individu dan sebaliknya semakin rendah skor skala konflik peran ganda maka semakin rendah tingkat konflik peran ganda yang dirasakan individu.

III.C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah wanita dewasa dini yang sudah bekerja dan berkeluarga dengan usia 20-40 tahun. Mengingat keterbatasan peneliti untuk menjangkau keseluruhan populasi, maka peneliti hanya memilih sebagian dari keseluruhan populasi yang dijadikan subjek penelitian yang disebut sampel. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat digeneralisasikan kepada populasinya. Sebagaimana menurut Hadi (2000) menyatakan bahwa syarat utama agar dapat dilakukan generalisasi adalah sampel yang digunakan dalam penelitian harus dapat mencerminkan keadaan populasinya atau dengan kata lain harus benar-benar representatif.

III.C.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. wanita

(55)

lv

3. sudah menikah dan memiliki pekerjaan di luar rumah 4. memiliki anak minimal 1

5. memiliki suami

III.C.2. Tehnik Pengambilan Sampel

Adapun upaya untuk memperoleh sampel penelitian yang representatif dan tepat, maka tehnik pengambilan sampel yang digunakan adalah non probabilitas (besarnya peluang anggota populasi untuk terpilih sebagai sampel tidak diketahui) secara incidental sampling karena pemilihan sampel atas dasar kebetulan responden berada pada tempat yang sama saat survey sedang berlangsung dan bersedia dijadikan subjek penelitian berdasarkan kriteria yang ditentukan oleh peneliti. Dalam hal ini jika peneliti menemukan individu yang sesuai dengan subjek penelitian, maka peneliti langsung menjadikannya sebagai sampel penelitian.

III.D. Alat Ukur Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode self report berupa skala sikap. Metode skala digunakan mengingat data yang ingin diukur berupa konstruk atau atribut psikologis yang dapat diungkap secara tidak langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem pernyataan (Azwar, 2003).

Skala disusun berdasarkan model skala Likert. Prosedur penskalaan dengan model Likert didasari dua asumsi yaitu (1) setiap pernyataan sikap yang

(56)

disepakati sebagai termasuk pernyataan yang favorable (mendukung) atau yang unfavorable (tidak mendukung); (2) jawaban dari individu yang mempunyai sikap positif harus diberi bobot (nilai) yang lebih tinggi daripada oleh responden yang mempunyai sikap negatif.

Skala yang digunakan dalam penelitian ini ada dua buah skala yaitu (1) skala self efficacy bekerja dan keluarga dan (2) skala tingkat konflik peran ganda.

III.D.1. Skala Self Efficacy Bekerja dan Keluarga

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur self efficacy bekerja dan keluarga dirancang sendiri oleh peneliti berdasarkan dimensi-dimensi self efficacy yang dikemukakan oleh Bandura (1997), yaitu level, generality, dan strength.

(57)

lvii

(ATS) bernilai 4, Tidak Setuju (TS) bernilai 5, dan Sangat Tidak Setuju (STS) bernilai 6.

Tabel 1.

Blue Print Skala Self Efficacy Bekerja dan Keluarga Sebelum Uji Coba

No. Skala Dimensi Aitem

Level/magnitude 1, 7, 9, 11, 17, 19, 27

Level/magnitude 25, 35, 45, 37, 47, 65, 75

III.D.2. Skala Tingkat Konflik Peran Ganda

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur tingkat konflik peran ganda adalah skala tingkat konflik peran ganda yang dirancang sendiri oleh peneliti berdasarkan dimensi-dimensi konflik peran ganda yang dikemukakan oleh Greenhaus dan Beutell (dalam Hennessy, 2005) yaitu, time-based conflict, strain-based conflict, dan behavior-based conflict.

Setiap dimensi diuraikan dalam sejumlah aitem pernyataan yang mengungkapkan tingkat konflik peran ganda disajikan dengan metode skala Likert dan disajikan dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Pernyataan dalam hal ini mengungkap intensitas kejadian. dalam bentuk pernyataan yang favourable (F) sebanyak 52 soal. Masing-masing pernyataan memiliki enam pilihan angka yang

(58)

bergerak antara pilihan jawaban Tidak Pernah (TP) yang bernilai 1 dan Sangat Sering (SS) yang bernilai 6.

Pilihan angka 2 sampai 5 menunjukkan intensitas kejadian yang dirasakan subjek antara Tidak Pernah (TP) dan Sangat Sering (SS). Semakin ke kanan angka yang dipilih subjek maka semakin sering hal tersebut terjadi pada subjek.

Semakin tinggi skor yang dicapai oleh subjek penelitian berarti semakin tinggi intensitas kejadian, sebaliknya semakin rendah skor yang dicapai oleh subjek penelitian berarti semakin rendah intensitas kejadian.

Tabel 2.

Blue Print Skala Tingkat Konflik Peran GandaSebelum Uji Coba

No. Bi-Direction Dimensi Nomor Aitem Jumlah

1. Work-family conflict

Time-based conflict 1, 6, 11, 16, 21, 26, 31, 36, 41

9

Strain-based conflict 3, 8, 13, 18, 23, 28, 33, 38, 43, 48

10

Behavior-based conflict 5, 10, 15, 20, 25 30, 35, 40

8

2 Family-work conflict

Time-based conflict 4, 9, 14, 19, 24 29, 34, 39, 44

9

Strain-based conflict 42, 45, 46, 47, 49, 50, 51, 52

8

Behavior-based conflict 2, 7, 12, 17, 22, 27, 32, 37

8

Jumlah 52

(59)

lix III.E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

Hal-hal yang dilakukan saat melakukan uji coba alat ukur ini adalah : III.E.1. Validitas

Validitas adalah ukuran mengenai seberapa cermat suatu tes melakukan fungsi ukurnya artinya alat ukur memang mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur. Validitas skala self efficacy bekerja dan keluarga; dan tingkat konflik peran ganda dicapai dengan cara validitas isi (content validity). Validitas isi menunjukkan sejauhmana aitem-aitem dalam tes mencakup keseluruhan kawasan isi yang hendak diukur. Pengertian mencakup keseluruhan kawasan isi tidak saja berarti tes itu harus komprehensif akan tetapi isinya harus pula tetap relevan dan tidak keluar dari batasan tujuan pengukuran. Pengujian validitas isi ini tidak menggunakan komputasi statistik.

Sebelum melakukan penyusunan alat ukur, peneliti menentukan terlebih dahulu kawasan isi dari self efficacy bekerja dan keluarga; dan tingkat konflik peran ganda. Kemudian peneliti akan membuat aitem-aitem yang bertujuan untuk mengungkap kawasan isi tersebut dan selanjutnya peneliti melakukan pengujian validitas isi dengan melakukan analisis rasional atau profesional judgment.

III.E.2. Reliabilitas

Pengujian reliabilitas ini akan menghasilkan reliabilitas dari (1) skala self efficacy bekerja dan keluarga dan (2) skala konflik peran ganda. Menurut Hadi (2000) reliabilitas alat ukur menunjukkan derajat keajegan atau konsistensi alat

Gambar

Tabel 1. Bekerja dan Keluarga Sebelum Uji Coba
Tabel 2.   Skala Tingkat Konflik Peran Ganda
Tabel 3.  Bekerja dan Keluarga Setelah Uji Coba
Tabel 4.  Bekerja dan Keluarga untuk Penelitian setelah
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Alhamdulilahhirobil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, taufiq, hidayah serta rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan

Sistem authority control yang akan dikembangkan terdiri atas Entity Relation- ship Diagram (ERD) pengatalog dan ERD operator. Operator mempunyai tiga ERD, yaitu

Terdapat kubus ABCDEFGH dimana titik P adalah titik tengah garis FG, dan Jika terdapat Bola yang didalamnya kubus tersebut sehingga semua titik sudutnya

Dalam hal ini perlu adanya perubahan sosial yang memberi arah bahwa pendidikan merupakan pendekatan dasar dalam proses perubahan, untuk itu

Banyak pengalaman yang kita dapatkan dari tokoh-tokoh kelas dunia, sehingga buku ini layak untuk dibaca dan dapat memberikan inspirasi terutama bagi

Berdasarkan analisa multiple regression diketahui bahwa idealized influence, intellectual stimulation, dan laissez-faire berpengaruh signifikian pada cognitive dan relational

Daya saing jagung yang diperoleh masih rendah disebabkan dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output (subsidi pupuk, tarif impor jagung dan penetapan harga