• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DESA PAKRAMAN KERAMAS DAN KESADARAN HUKUM. undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DESA PAKRAMAN KERAMAS DAN KESADARAN HUKUM. undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG DESA PAKRAMAN KERAMAS DAN KESADARAN HUKUM

1.1. Deskripsi Desa Pakraman Keramas

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab IV Pasal 18 mengamanatkan bahwa Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.

Dalam suatu pemerintahan daerah dikenal adanya desa. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa memberikan definisi Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Desa dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu Desa Dinas dan Desa Adat. Desa dinas adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah

(2)

penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum, termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah, langsung di bawah camat, dan berhak melaksanakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa dinas dikepalai seorang kepala desa. Desa dinas biasanya terdiri dari beberapa banjar atau sekarang dikenal dengan dusun.

Desa Adat dapat ditemukan dalam Peraturan Daerah No 6 Tahun 1986 Pada Pasal 1 huruf (e) yang menyatakan Desa Adat sebagai Desa Dresta adalah Kesatuan masyarakat Hukum Adat di Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan

harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.1

Sebelum penjajahan Belanda, di Bali telah dikenal beberapa istilah yang mempunyai hubungan dengan suatu desa adat, yaitu : Sima, Dresta, Lekita, Paswara, Awig-awig, Karaman atau karma dan Thani. Sima pada mulanya berarti patok atas batas suatu wilayah yang tidak tertulis dan berlaku dalam suatu masyarakat. Dresta pada mulanya berarti pandangan masyarakat mengenai suatu tatakrama pergaulan hidup. Lekita berarti catatan atau peringatan mengenai sesuatu kejadian di masyarakat. Paswara berarti suatu keputusan atau perintah raja mengenai suatu masalah dalam

1 I Made Suasthawa Dharmayuda, 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Di

(3)

masyarakat. Karaman yang kemudian berubah menjadi Krama yang mulanya berarti kumpulan orang-orang tua (orang yang telah berumah tangga) dan berkembang menjadi kumpulan masyarakat, Thani berarti

wilayah suatu desa.2

Istilah tersebut terdapat pula dalam prasasti Bali Kuno dan dalam kesusastraan di Bali, dan yang paling dekat pengertiannya dengan desa adalah Sima dan Karaman atau Krama, oleh karena itu desa adat di Bali sebelumnya bernama desa-krama sedangkan anggota masyarakatnya disebut krama-desa yang sampai saat ini masih hidup dalam masyarakat Hindu di Bali.

Dalam perkembangannya, istilah desa berkembang menjadi desa adat, sehingga pengertian adat dan Pakraman menjadi kabur. Selanjutnya dalam era reformasi di tahun 2003, istilah desa pakraman dikembalikan eksistensinya dan kembali lagi ke konsep aslinya, sehingga desa adat, pakraman dan dresta itu adalah satu dengan istilah yang berbeda.

Desa adat merupakan satu kesatuan masyarakat hukum adat yang diikat oleh adat istiadat atau hukum yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat setempat. Disamping itu, desa adat diikat pula oleh tradisi dan tata krama. Tradisi merupakan kebiasaan luhur dari leluhur yang diwariskan secara turun temurun, sedangkan tata krama adalah etika pergaulan yang juga merupakan norma dalam kehidupan bermasyarakat.

2 I Wayan Surpha, 2002, Seputar Desa Pakraman Dan Adat Bali, PT. OffsetBP, Denpasar,

(4)

Kesatuan masyarakat hukum telah diakui keberadaannya sejak dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 6 tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali, Peraturan Daerah tersebut telah diganti dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman, selanjutnya Perda tersebut diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2003 tentang Revisi Atas Perda Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman.

Pasal 1 ayat (4) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman, menyatakan bahwa :

Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata kraman pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka terdapat beberapa unsur dari desa pakraman, antara lain :

a. desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu dalam ikatan kahyangan tiga.

b. desa pakraman memiliki wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri.

(5)

Secara etimologis, desa pakraman berasal dari kata desa dan pakraman. Desa berasal dari kata “dis” yang artinya patokan atau petunjuk rohani. Sedangkan Pakraman berasal dari kata “grama” yang artinya “Desa” Jadi desa pakraman adalah suatu panguyuban umat Hindu ditingkat desa sebagai wadah bersama untuk mengamalkan ajaran agama Hindu yang dianutnya. Paguyuban yang disebut desa pakraman ini tidak memiliki hubungan struktural formal dengan sistem pemerintahan negara baik dari pemerintahan jaman kerajaan sampai pada jaman kemerdekaan ini.

Desa pakraman adalah desa yang dilandasi oleh nilai-nilai religius. Tradisi di Bali mengakui Mpu Kuturan adalah arsitek desa pakraman kira-kira abad ke 10 masehi. Desa pakraman ada dan berlanjut di atas nilai-nilai religius disamping nilai-nilai sosial kemasyarakatan, budaya dan ekonomi. Nilai-nilai religius tersebut bersumber pada ajaran agama Hindu Bali, yang telah mempunyai ciri dan identitas budaya itu sendiri. Ajaran yang abstrak tersebut dibumikan dalam bentuk desa pakraman. Ajaran agama Hindu isinya, desa pakraman wadahnya, agama Hindu mendapat nilai-nilai kongkrit didalam desa pakraman. Desa Pakraman mencakup unsur manusia (Pawongan), wilayah Desa (Palemahan) dan wilayah suci (Parahyangan). Desa pakraman sering juga disebut desa adat, jadi apa yang disebut desa adat dewasa ini sesungguhnya adalah desa pakraman. Desa Pakraman itu pada hahikatnya adalah pengejawantahan ajaran agama Hindu menata umatnya dalam suatu wilayah desa.

(6)

Dalam lontar Mpu Kuturan disebutkan bahwa Mpu Kuturan menyampaikan Raja Bali, berpegang teguh pada agama dalam menata kehidupan kerajaan. Dalam lontar Mpu Kuturan itu disebutkan pula bahwa “Atas kehendak Sang Catur Warna mendirikan tempat pemujaan seperti Pura Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem di desa Pakraman”. Sebagaimana disebutkan dalam lontar Mpu Kuturan yang mendirikan desa pakraman adalah sang Catur Warna, ini berarti desa pakraman adalah wadah untuk mengembangkan empat profesi dan fungsi dalam rangka mewujudkan empat tujuan hidup mencapai dharma, artha, kama, dan moksa. Desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang berhak mengurus atau mengelola rumah tangganya sendiri mempunyai konsekuensi untuk menetapkan seperangkat aturan atau ketentuan hukum yang memuat ketentuan-ketentuan tentang praktek pengelolaan desa pakraman.

1.1.1. Letak Geografis Desa Pakraman Keramas

Desa pakraman umumnya memiliki fungsi untuk menata dan mengatur kehidupan paguyuban dari warga desanya dalam hubungan dengan unsur-unsur yang menjadikan desa tersebut sebagai suatu desa adat, yaitu unsur warganya yang dinamakan Pawongan, unsur wilayah desanya yang dinamakan Palemahan dan unsur tempat-tempat pemujaan bagi warga desanya yang dinamakan Parhyangan, atau secara popular dikenal dengan istilah Tri Hita Karana.

(7)

Desa Pakraman Keramas merupakan salah satu bagian dari wilayah kecamatan Blahbatuh kabupaten Gianyar, dengan jumlah penduduk pada tahun 2014 kurang lebih dari 7979 jiwa, umumnya penduduk Desa Pakraman Keramas adalah bersifat homogen karena dari jumlah penduduknya ampir 95 % beragama hindu, dengan mata pencaharian sebagian besar bekerja pada sektor pertanian, yang memiliki luas wilayah 472 Ha, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

a. Sebelah utara : Desa Adat Pasdalem, Desa Adat Tedung

b. Sebelah timur : Desa Adat Medahan

c. Sebelah selatan : Segara

d. Sebelah barat : Desa Adat Sema dan Patolan

Luas wilayah Desa Pakraman Keramas adalah 472 Km2, yang terdiri dari 1 Desa Pakraman dan 6 Banjar Dinas (Monografi Desa Keramas Tahun 2010)

Nama – nama Banjar Dinas yaitu : 1. Banjar Dinas Biya

2. Banjar Dinas Gelgel 3. Banjar Dinas Palak 4. Banjar Dinas Lodpeken 5. Banjar Dinas Lebah

(8)

1.1.2. Struktur Pemerintahan Desa Pakraman Keramas

Peranan dan fungsi Desa Pakraman Keramas sangatlah penting terhadap taraf hidup warga masyarakatnya hal ini dapat dilihat pada apa yang sudah disediakan oleh desa pakraman kepada masyarakatnya seperti sarana dan prasarana LPD (lembaga Perkreditan Desa), Pasar dan semua itu tidak terlepas dari ketentuan Awig-awig Desa Pakraman Keramas.

Desa Pakraman Keramas terdiri dari 6 (enam) banjar yaitu Banjar Maspait, Banjar Lebah, Banjar Lodpeken, Banjar Palak, Banjar Gelgel dan Banjar Bia. Desa Pakraman Keramas sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dalam ikatan Kahyangan tiga, maka dapat digambarkan bahwa Desa Pakraman Keramas memiliki pura kahyangan tiga yaitu Pura Puseh, Pura Desa dan 4 (empat) Pura Dalem, antara lain Pura Dalem Koripan, Pura Dalem Bia, Pura Dalem Agung, dan Pura Dalem Sakti.

Struktur kelembagaan di Desa Pakraman Keramas disamping kelembagaan administratif pemerintahan desa dan kelembagaan dari desa adat atau pakraman, juga kelembagaan yang muncul atau yang didorong keberadaannya dari motif ekonomi, budaya, kesehatan, pendidikan dan sosial politik. Kelembagaan dari pemerintahan desa antara lain, Pemerintah Desa, BPD, LPM, PKK desa, PKK dusun dari pendidikan seperti, komite sekolah, dan sebagainya.

Susunan Desa Pakraman Keramas dapat digolongkan kedalam susunan desa pakraman yang jenisnya bertingkat disebabkan bahwa di Desa Pakraman Keramas terdapat terdiri dari enam banjar dan pada

(9)

masing-masing banjar terdapat tempekan tiga sampai lima tempekan, di Desa Pakraman Keramas, tempekan tersebut diistilahkan dengan sebutan subak banjar. Keenam banjar tersebut jumlah tempekannya adalah banjar Maspait terdiri dari empat tempekan (subak banjar), banjar lebah terdiri dari tiga subak banjar, banjar Lodpeken terdiri dari tiga, subak banjar banjar Palak terdiri dari empat subak banjar, banjar Gelgel terdiri dari lima subak banjar, banjar Bia terdiri dari empat subak banjar. Dari masing-masing subak banjar jumlah angotanya kurang lebih dari 40 sampai 50 orang setiap subak banjar.

Salah satu unsur penting terbentuknya masyarakat hukum adat menurut Barend Ter Haar adalah kelompok masyarakat hukum adat yang bertindak sebagai satu kesatuan kedalam maupun keluar. Kelompok masyarakat atau kelompok orang dalam desa pakraman inilah yang disebut unsur pawongan. Kelompok orang yang merupakan satu kesatuan dalam wadah desa pakraman itu disebut pakraman. Pakraman kata dasarnya adalah krama. Krama berasal dari “rama” yang artinya orang tua (orang yang sudah berkeluarga). Anggota desa pakraman adalah orang-orang yang

sudah berkeluarga.3

Anggota desa pakraman inilah yang lazim disebut dengan krama desa. Sistem pakraman di Bali sangatlah beraneka ragam, tetapi dalam garis besarnya dapat di kelompokan dalam dua gari besar, yaitu;

a. Sistem pakraman berdasarkan ngemong karang ayahan;

3

I Ketut Sudantra, 2007, Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa Dalam Kondisi

Dualisme Pemerintahan Desa di Bali, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Udayana,

(10)

Sistem ini umumnya dianut pada desa pakraman yang masih yang sangat kuat pengaruh dari tanah adatnya. ngemong karang ayahan berati “memegang atau menguasai tanah milik desa. Berdasarkan ini maka status keanggotaan desa pakraman akan di bedakan menjadi dua kelompok, yaitu;

1) Kelompok krama yang menguasai tanah milik desa sehingga dikenakan kewajiban (ayahan) penuh kepada desa. Kelompok krama ini disebut dengan krama pengarep atau dengan istilah lainnya sesuai dengan adat (dresta) setempat 2) Kelompok krama yang tidak menguasai tanah desa sehingga

tidak di kenakan kewajiban penuh kepada desa. Kewajiban- kewajiban yang dikenakan terhadapa jenis ini bervariasi antara desa pakraman yang satu dengan desa pakraman yang lainnya sesuai dengan Awig-awig yang berlaku di desa tersebut. Kelompok krama ini disebut krama pengele, krama roban, krama sibakan, dan sebagainya.

b. Sistem Pakraman berdasar mapikurenan

Mapikurenan dapat diartikan sebagai berumah tangga. Berdasarkan sistem ini maka seseorang dapat dikatakan sudah masuk sebagai krama desa adalah apabila yang bersangkutan atau seseorang sudah berumah tangga (kawin) dalam sistem ini tidak ada perbedaan status krama desa seperti dalam sistem ngemong karang ayahan, sehingga semua krama desa

(11)

mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap desa. dalam sistem ini seseorang anak (laki-laki/sentana rajeg) yang telah kawin, secara otomatis menggantikan kedudukan orang tuanya sebagai krama desa. Apabila dalam satu keluarga jumlah anak laki-lakinya memiliki lebih dari satu orang anak laki-laki, maka yang secara otomatis menggantikan untuk meneruskan ayahan orang tuanya adalah anak yang terlebih dahulu menikahlah yang mengganti kewajiban orang tuanya., sedangkan anak lainnya yang belakangan kawin ”ngayahang” ayahannya sendiri sebagai krama desa yang lahir secara otomatis setelah ia kawin.

Pada umumnya desa pakraman di Bali, krama dianggap masuk sebagai anggota desa atau “tedun ngayahin / tuun ngayah” ketika krama tersebut melaksanakan kewajiban desa/banjar) apabila krama telah menikah. Namun waktunya diatur Awig-awig desa yang bersangkutan. Ada desa yang mengggunakan hitungan bulan (sasih) seperti 3 (tiga) atau 6 (enam) bulan setelah perkawinan dilangsungkan. Demikian pula dalam Awig-awig Desa Pakraman Keramas Pawos 8 “Penemayan tedun dados karma desa atau banjar 6 (enam) bulan (nem sasih sesampun upacara pawidhi-widhana). System keanggotaan di Desa Pakraman Keramas, didasarkan pada sistem mapikuren, walaupun keberadaan tanah karang desa masih cukup kuat.

Pawos 5 kaping (1) Awig-awig Desa Pakraman Keramas, “ krama desa inggih punika kula warga sane maagama hindu, ngamong karang desa, utawi kulawarga sane maagama hindu jumenek ngenahin karang gunakaya

(12)

wiadin medunungan ring sejoroning pelemahan desa adat keramas” (karma desa merupakan keluarga yang beragama hindu yang menempati tanah desa atau tanah milik pribadi atau numpang dalam wilayah Desa Pakraman Keramas.

Sistem pemerintahan Desa Pakraman Keramas menganut sistem pemerintahan tunggal, yaitu dipimpin oleh seorang bendesa, yang dibantu oleh petajuh, penyarikan, petengen, kasinoman, dan kelian-kelian banjar. Prajuru Desa Pakraman Keramas di pilih melalui paruman agung (rapat yang di hadiri oleh seluruh warga desa).

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman, tugas desa pakraman antara lain :

1. Membuat Awig-awig; 2. Mengatur krama desa;

3. Mengatur pengelolaan harta kekayaan desa;

4. Bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan;

5. Membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada

khususnya, berdasarkan "paras-paros, sagilik-saguluk,

salunglung-sabayantaka" (musyawarah mufakat); 6. Mengayomi krama desa.

(13)

Dalam Pasal 6 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman, menyebutkan wewenang desa pakraman antara lain :

1. Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar krama desa sesuai dengan Awig-awig dan adat kebiasaan setempat;

2. turut serta menentukan setiap keputusan dalam

pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayahnya

terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana;

3. melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakraman. Aturan tersebut berkembang dan hidup di dalam kehidupan masyarakat dan diterima dalam masyarakat sebagai suatu keharusan oleh anggota masyarakat. Mereka menganggap akan pentingnya suatu pembatasan, dikarenakan pada suatu kehidupan yang bebas tanpa batas tidak dikenal di dalam kehidupan bermasyarakat, maka masyarakat sangat dipandang perlu adanya pembatasan guna ketertiban kehidupannya dan terselenggaranya kepentingan anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya.

1.1.3. Awig-awig Desa Pakraman Keramas

Desa Pakraman di Bali memiliki ciri-ciri yang bersifat khusus dan tidak dijumpai pada jenis masyarakat hukum adat lainnya. Ciri khusus tersebut berkaitkan dengan landasan filosifis ajaran agama hindu yang di

(14)

sebut dengan konsep Tri Hita Karana yang menjiwai kehidupan masyarakat hukum adat di Bali. Tri Hita Karana secara literlijk berarti tiga (tri) penyebab (karana) kebahagian (hita). Dalam keyakinan umat Hindu di Bali, kesejahteraan umat manusia di dunia ini akan dapat dicapai apabila terjadi keharmonisan hubungan antara unsur-unsur Tri Hita Karana tersebut, yakni: a. Keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang

Maha Esa;

b. Keharmonisan hubungan antara manusia dengan sesama;

c. Keharmonisan hubungan antara manusia dengan dengan alam semesta.

Hubungan tersebut secara kongkret dapat dilaksanakan dengan suasana tertib, aman dan damai (trepti, sukerta, sekala niskala), dan miliki perangkat aturan adat yang ada dalam masyarakat hukum adat di Bali

disebut dengan Awig-awig.4

Sama halnya didalam sebuah negara yang memiliki undang-undang atau hukum dasar yang mengatur kehidupan warganya dan sebuah organisasi yang memiliki anggaran dasar rumah tangga yang digunakan sebagai pedoman dalam menjalankan organisasinya, desa pakraman juga merupakan sebuah lembaga adat yang mempunyai anggaran dasar rumah tangga sendiri. Desa pakraman di Bali memiliki sebuah aturan adat yang digunakan sebagai aturan khusus untuk mengatur kehidupan masyarakat

4 I Ketut Sudantra, 2001, “Pola Penyelesaian Persoalan-Persoalan Hukum Oleh Desa

(15)

adat dalam wilayah kehidupan desa pakraman diluar kehidupan desa dinas yang berpedoman pada hukum nasional/negara.

Awig-awig berasal dari kata “wig” yang artinya rusak sedangkan “awig” artinya tidak rusak atau baik. Jadi Awig-awig dimaknai sebagai sesuatu yang menjadi baik. Secara harfiah Awig-awig memiliki arti suatu ketentuan yang mengatur tata krama pergaulan hidup dalam masyarakat

untuk mewujudkan tata kehidupan yang ajeg di masyarakat.5

Kehidupan masyarakat di Bali tersusun dalam satu kesatuan desa adat (desa pakraman) yang mempunyai hukum sendiri yang disebut Awig-awig. Setiap desa adat mempunyai Awig-awig, yang berlandaskan falsafah Tri Hita Karana (tiga dasar kebahagian) yakni Parhyangan, Palemahan, Pawongan.6

Konsepsi inilah yang dituangkan kedalam aturan-aturan baik secara tertulis maupun tidak tertulis sehingga menimbulkan suatu pengertian, bahwa Awig-awig adalah peraturan-peraturan hidup bersama bagi krama di desa adatnya, untuk mewujudkan kehidupan yang aman, tentram, tertib, dan sejahtera di desa adat. Awig-awig itu memuat aturan-aturan dasar yang menyangkut wilayah adat, krama desa adat, keagamaan serta sanksi. Awig-awig desa adat, merupakan hukum adat yang mempunyai fungsi untuk

5 I Wayan Surpa, Op.cit., hal. 50.

6 I Nyoman Sirtha, 2002, Paper Presentation : Socialization Program on Bali Cultural

Heritage Awareness (Dialogue and Campaign : Temu wicara Kepedulian Pelestarian Warisan Budaya Bali), Bali Kuna, Denpasar, hal. 4.

(16)

mengatur dan mengendalikan prilaku warga masyarakat dalam pergaulan hidupnya guna mencapai ketertiban dan ketentraman masyarakat. Selain itu Awig-awig juga berfungsi untuk mengintegrasikan warga masyarakat dalam suatu persatuan dan kesatuan yang hidup bersama, sedangkan arti penting Awig-awig adalah merupakan pengikat persatuan dan kesatuan krama desa guna menjamin kekompakan dan keutuhan dalam manyatukan tujuan bersama mewujudkan kehidupan yang aman, tertib, dan sejahtera.

Pasal 1 angka (11) Perda Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman menyatakan :

Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan atau krama banjar adat yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara dan Dharma Agama di desa pakraman atau banjar pakraman masing-masing.

Berdasarkan pengertian Awig-awig tersebut di atas, terdapat karakteristik Awig-awig. Adapun karakteristik yang dapat ditemui dalam Awig-awig, adalah :

1. Bersifat Sosial Religious

Untuk membuat sebuah Awig-awig harus menentukan hari baik, waktu, tempat dan orang suci yang akan membuatnya, hal ini dimaksudkan agar Awig-awig itu memiliki kharisma dan jiwa/taksu. Awig-awig yang ada di desa Pakraman tidak saja mengatur masalah Bhuwana Alit (kehidupan sosial) tapi juga mengatur Bhuwana Agung (kehidupan alam semesta). Hal inilah

(17)

yang mendorong masyarakat Bali sangat percaya dan yakin bahwa Awig-awig ataupun pararem tidak saja menimbulkan sanksi sekala (lahir) juga sanksi niskala (batin).

2. Bersifat Konkret

Hukum adat mengandung prinsip yang serba konkret, nyata, jelas, dan bersifat luwes. Kaedah hukum adat dibangun berdasarkan asas pokok saja, sedangkan pengaturan yang bersifat detail diserahkan pada pengolahan asas-asas pokok itu dengan memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat. Jadi dari sini akan muncul peraturan adat lain seperti pararem sebagai aturan tambahan yang berisi petunjuk pelaksana, aturan tambahan, dan juga bisa saja sanksi tambahan yang belum ada, sudah tidak efektif atau belum jelas pengaturannya dalam Awig-awig.

3. Bersifat Dinamis

Hukum adat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Ketika masyarakat berubah karena perkembangan jaman, hukum adat ikut berkembang agar mampu mengayomi warga masyarakat dalam melakukan hubungan hukum dengan sesamanya.

4. Bersifat Kebersamaan atau Komunal

Dalam Hukum Adat Bali tidak mengenal yang namanya hakim menang kalah, namun yang ada adalah hakim perdamaian. karena hukum adat Bali lebih mementingkan rasa persaudaraan dan kekeluargaan. Setiap individu mempunyai arti penting di dalam

(18)

kehidupan bermasyarakat, yang diterima sebagai warga dalam lingkungan sosialnya. Dengan demikian, hukum adat menjaga keseimbangan kepentingan bersama dengan kepentingan pribadi. Dalam Awig-awig desa Pakraman menjaga keseimbangan tiga aspek kehidupan manusia merupakan hal terpenting serta inilah yang membedakan Awig-awig dengan hukum adat lainnya. Masyarakat Bali dikenal sebagai masyarakat yang memiliki sifat komunal dan kekeluargaan dalam kehidupan kesehariannya, artinya manusia menurut hukum adat setiap individu mempunyai arti penting di dalam kehidupan bermasyarakat mempunyai ikatan yang erat, rasa kebersamaan ini meliputi seluruh lapisan hukum adat.

Karakteristik lainnya dari Awig-awig yakni tidak seperti hukum nasional atau hukum barat yang jarang mengakomodir dimensi sosiologis, hukum adat sebaliknya lebih mengakomodir dimensi sosiologis. Dengan demikian, dalam pembangunan hukum nasional, hukum adat menjadi bahan-bahan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, sedangkan lembaga-lembaga hukum adat seperti lembaga keamanan tradisional yang disesuaikan dengan perkembangan zaman dapat digunakan dalam penegakan hukum.

Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan atau krama banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam

(19)

pelaksanaan Tri Hita Karana, sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama desa pakraman/banjar pakraman masing-masing. Awig-awig tertulis umumnya memuat hal-hal pokok saja. Ketentuan lebih lanjut sebagai penjabaran Awig-awig dituangkan dalam Perarem (keputusan rapat yang memiliki kekuatan hukum mengikat, baik yang merupakan penjabaran dari susbtansi Awig-awig yang sudah ada maupun aturan hukum baru yang belum diatur dalam Awig-awig). Dari definisi tersebut dapat ditegaskan bahwa desa pakraman dan Awig-awig merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Ada desa pakraman berarti ada Awig-awig.

Awig-awig ini menjadi bagian dari hukum adat Bali yang bersumber serta dilandasi oleh ajaran-ajaran agama Hindu dan tradisi-tradisi yang hidup dalam masyarakat.

Pasal 7 Perda No 6 Tahun 1986 mengatur :

1. Setiap desa adat agar memiliki Awig-awig tertulis,

2. Awig-awig desa adat tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 8 Pearuran daerah Nomor 6 Tahun 1986 mengatur :

1. Awig-awig desa adat dibuat dan disahkan oleh krama desa adat, 2. Awig-awig desa adat dicatatkan di Kantor Bupati/Walikota Madya

(20)

Pasal 9 mengatur

Sanksi yang diatur dalam Awig-awig tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan rasa keadilan dalam masyarakat.

Dalam penjelasan Pasal 8 disebutkan prosedur pembuatan Awig-awig desa adat. Awig-awig desa adat digarap oleh desa adat yang bersangkutan sampai terbentuk rancangan. Rancangan Awig-awig tersebut kemudian disampaikan kepada Bupati/Walikota Madya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan untuk mendapatkan persetujuan. Setelah mendapat persetujuan Bupati/Walikota Madya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan barulah Awig-awig desa adat tersebut disahkan oleh krama adat.

Penjelasan Pasal 9, dalam melaksanakan sanksi Awig-awig supaya dilaksanakan secara bertahap, bersifat mendidik, dan tetap menjaga kesucian wilayah desa adat yang bersangkutan.

Pengaturan tentang Awig-awig ditemukan di Pasal 11 yang mengatur (1) Setiap desa Pakraman menyuratkan Awig-awignya.

(2) Awig-awig desa Pakraman tidak boleh bertentangan dengan agama, Pancasila, UUD 1945, dan hak asasi manusia.

Pasal 12 mengatur

(1) Awig-awig desa Pakraman dibuat dan disahkan oleh krama desa pakraman melalui paruman desa Pakraman.

(2) Awig-awig desa pakraman dicatatkan di kantor Bupati/Wali Kota masing-masing.

(21)

Awig-awig dibuat dan ditetapkan oleh krama desa berdasarkan kesepakatan bersama dan ditaati oleh krama desa itu sendiri. Yang terpenting dari Awig-awig ini merupakan pengikat persatuan dan kesatuan krama desa guna menjamin kekompakan dan keutuhan dalam menyatukan tujuan bersama, mewujudkan kehidupan yang aman, tentram, tertib, dan sejahtera demi kedamaian desa.

Awig-awig merupakan aturan pokok yang mengatur pergaulan warganya dalam menciptakan suasana aman, damai dan rukun. Awig-awig Desa Pakraman Keramas terdiri dari 8 sarga (bab) dan 88 pawos (pasal), yang dapat dirinci sebagai berikut :

a. Sarga I indik Aran Lan Wawidangan Desa, terdiri atas 2 pawos b. Sarga II indik Patitis Lan Pamikukuh, terdiri atas 2 pawos

c. Sarga III indik Sukerta Tata Krama, terdiri atas 6 palet dan 32 pawos

d. Sarga IV indik Sukerta Tata Agama, terdiri atas 5 palet dan 25 pawos

e. Sarga V indik Sukerta Tata Pawongan, terdiri atas 4 palet dan 21 pawos

f. Sarga VI indik Wicara Lan Pamidana, terdiri atas 2 palet dan 3 pawos

g. Sarga VII indik Nguwah Nguwuhin Awig-awig, terdiri atas 2 pawos

(22)

Bentuk-bentuk pelanggaran adat yang terdapat dalam Awig-awig Desa Pakraman Keramas tersebar dalam pawos-pawos pada setiap bab yaitu bab (sarga) mengenai sukerta tata Pakraman/pawongan, palemahan, dan parhyangan.

1.2. Deskripsi Kesadaran Hukum Masyarakat

1.2.1. Definisi Kesadaran Hukum

Secara harfiah kata “kesadaran” berasal dari kata “sadar”, yang berarti insyaf, merasa, tahu dan mengerti. Jadi, kesadaran adalah keinsyafan atau merasa mengerti atau memahami segala sesuatu.

Kesadaran berarti tidak akan terlepas dari masalah psikis. Psikis merupakan totalitas segala peristiwa kejiwaan baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Kesadaran berkaitan pula dengan manusia sebagai individu dan anggota masyarakat. Dengan kesadaran yang dimiliki oleh setiap individu, maka ia

dapat mengendalikan diri atau menyesuaikan diri pada setiap kesempatan serta dapat menempatkan dirinya sebagai individu dan anggota masyarakat. Sebagai individu ia akan mengetahui dan memperhatikan dirinya sendiri, sedangkan sebagai anggota masyarakat, ia akan mengadakan kontak dengan orang lain sehingga timbul interaksi diantara mereka.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka kesadaran merupakan sikap/perilaku mengetahui atau mengerti dan taat pada aturan serta

(23)

ketentuan perundang-undangan yang ada. Selain itu juga, kesadaran dapat diartikan sebagai sikap/perilaku mengetahui atau mengerti dan taat pada adat istiadat serta kebiasaan hidup dalam masyarakat. Dengan demikian kesadaran adalah suatu proses kesiapan diri untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, menanggapi hal tertentu dengan didasari atas pengertian, pemahaman, penghayatan dan pertimbangan-pertimbangan nalar dan moral disertai kebebasan sehingga dapat dipertanggunmgjawabkan secara sadar.

Sementara itu, untuk merumuskan pengertian hukum tidaklah mudah, karena hukum itu meliputi banyak segi dan bentuk sehingga satu pengertian tidak mungkin mencakup keseluruhan segi dan bentuk hukum. Selain itu, setiap orang atau ahli akan memberikan arti yang berlainan sesuai dengan sudut pandang masing-masing yang akan menonjolkan segi-segi tertentu dari hukum.

Utrecht merumuskan pengertian hukum sebagai himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati.

Affandi mengatakan bahwa hukum adalah kumpulan peraturan yang harus ditaati dan dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat, apabila mengabaikan peraturan tersebut maka kepada pelanggar harus dijatuhi hukuman.

Berdasarkan kedua pendapat di atas, penulis memandang bahwa hukum itu memuat aturan mengenai hal yang layak dan tidak layak untuk

(24)

dilakukan menurut pendapat umum yang seharusnya ditaati dan dipatuhi.Selain itu juga, hukum mengatur segala tingkah laku manusia di dalam pergaulannya di masyarakat.

Berdasarkan pengertian hukum tersebut di atas, pada dasarnya terdapat titik persamaannya yaitu bahwa di dalam hukum terdapat beberapa unsur, diantaranya :

a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat;

b. Peraturan itu dibuat dan ditetapkan oleh badan-badan resmi yang berwajib;

c. Peraturan itu bersifat memaksa;

d. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.

Hukum berlaku di masyarakat dan ditaati oleh masyarakat karena hukum memiliki sifat memaksa dan mengatur. Hukum dapat memaksa seseorang untuk menaati tata tertib yang berlaku di dalam masyarakat dan terhadap orang yang tidak menaatinya diberikan sanksi yang tegas.

Pada umumnya kesadaran hukum dikaitkan dengan ketaatan hukum atau efektivitas hukum. Dengan kata lain kesadaran hukum menyangkut masalah apakah ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat. Agar terjadi suatu keserasian yang profesional antara hukum yang diterapkan dengan kesadaran hukum dari masyarakat, maka peraturan itu sendiri harus rasional dan dilaksanakan dengan prosedur yang

(25)

teratur dan wajar. Kesadaran hukum merupakan interdepedensi mental dan moral yang masing-masing tergantung pada egonya manusia.

Kesadaran hukum merupakan keadaan dimana tidak terdapatnya benturan-benturan hidup dalam masyarakat. Masyarakat dalam kehidupan seimbang, serasi dan selaras. Kesadaran hukum diterima sebagai kesadaran bukan diterima sebagai paksaan, walaupun ada pengekangan dari luar diri manusia atau masyarakat sendiri dalam bentuk perundang-undangan.

Di samping itu juga, Purbacaraka dan Sorjono Soekanto mengartikan kesadaran hukum sebagai keyakinan/kesadaran akan kedamaian pergaulan hidup yang menjadi landasan regel mating (keajegan) maupun beslissigen (keputusan) itu dapat dikatakan sebagai wadahnya jalinan hukum yang mengendap dalam sanubari manusia.

Kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu, apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan dengan membedakan antara hukum dengan tidak hukum, antara yang seyogyanya

dilakukan dan tidak dilakukan. Kesadaran terhadap suatu aturan yang lahir dan

hidup serta mengikat pada kehidupan masyarakat adalah merupakan suatu syarat dalam menciptakan suatu hubungan kehidupan masyarakat yang tertib, aman, dan tentram, hal ini mengingat masyarakat merupakan suatu proses kehidupan yang berkembang sehingga aturan-atuaran itu hidup dan di harapkan dapat menyesuaikan terhadap perkembangan masyarakat itu sendiri.

(26)

Soerjono Soekanto menyatakan kesadaran hukum adalah sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam

masyarakat yang bersangkutan.7

Sudikno Mertokusumo juga mempunyai pendapat tentang pengertian kesadaran hukum, yaitu kesadaran tentang apa yang seyogyanya \ lakukan atau perbuat atau yang seyogyanya tidak kita lakukan atau perbuat terutama terhadap orang lain. Ini berarti kesadaran akan kewajiban hukum

masing-masing terhadap orang lain.8

Paul Scholten juga mempunyai pendapat tentang arti kesadaran hukum yaitu kesadaran hukum diartikan sebagai kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan dimana membedakan antara hukum dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak

dilakukan.9

7 Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, Edisi Pertama, CV.

Rajawali, Jakarta, hal, 152

8 Sudikno Mertokusumo, 1981, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat, Cetakan

Pertama, Edisi Pertama, Liberty, Yogyakarta, hal. 3

9

Paul Scholten: Algemeen Deen, Hlm. 166 N.V. Uitgeversmaatschappij W.E.J Tjeenk

Willink 1954, Kutipan diambil dari buku Sudikno Mertokusumo, 1981, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat, Cetakan Pertama, Edisi Pertama, Liberty, Yogyakarta, hal. 2

(27)

Berdasarkan ketiga pendapat tersebut, jelas bahwa kesadaran hukum mempunyai peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat.

1.2.2. Indikator Kesadaran Hukum

Untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum masyarakat terdapat empat indikator yang dijadikan tolok ukur yaitu :

1. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness) 2. Pemahaman Hukum (law acquaintance)

3. Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum (legal attitude)

4. Pola-pola perikelakuan hukum (legal behaviour).10

Setiap indikator tersebut menunjukkan tingkat kesadaran hukum tertentu mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi. Indikator-indikator dari kesadaran hukum hanyalah dapat terungkapkan apabila seseorang mengadakan penelitian secara seksama terhadap gejala tersebut. Indikator-indikator tersebut sebenarnya merupakan petunjuk-petunjuk yang relatif nyata tentang adanya taraf kesadaran hukum tertentu.

Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Pengetahuan tersebut erat kaitannya dengan perilaku yang dilarang ataupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum. Disamping itu pula, pengetahuan hukum juga berkaitan dengan asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahui isi suatu peraturan manakala peraturan tersebut telah diundangkan.

10 Ibid., hal. 140.

(28)

Pemahaman hukum diartikan sebagai sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Dengan kata lain, pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan suatu peraturan dalam hukum tertentu serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut. Dalam hal pemahaman hukum, tidak disyaratkan seseorang harus terlebih dahulu mengetahui adanya suatu aturan tertulis yang mengatur suatu hal. Akan tetapi yang dilihat disini adalah bagaimana persepsi mereka dalam menghadapi berbagai hal yang ada kaitannya dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Pemahaman ini biasanya diwujudkan melalui sikap mereka terhadap tingkah laku sehari-hari.

Sikap hukum diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati. Suatu sikap hukum akan melibatkan pilihan masyarakat terhadap hukum yang sesuai nilai-nilai yang ada dalam dirinya sehingga akhirnya masyarakat menerima hukum berdasarkan penghargaan terhadapnya.

Pola perilaku hukum merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum, karena di sini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat. Dengan demikian sampai seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah mendapat bantuan zakat produktif usaha mikronya sekarang sudah semakin besar dan berkembang baik, hasil dari usaha produktif tersebut bisa untuk mencukupi kebutuhan

Seiring dengan namanya, maka aktiviti yang dijalankan menerusi kelab ini adalah berlandaskan kepada kelima-lima prinsip Rukun Negara yang bermatlamat agar ianya dihayati dan

Mia (2012:30)  Keramahan dan kesopanan karyawan terhadap para konsumen  Kesiap siagaan karyawan dalam membantu para konsumen  Keramahan dan kesopanan

Evaluasi perkembangan kinerja di bagian produksi memerlukan suatu pengukuran produktivitas dengan tujuan mengetahui tingkat produktivitas di bagian produksi yang

Catatan: Anda tidak diharuskan membaca materi-materi yang disarankan yang tidak tersedia dalam bahasa Anda. Pelajaran Judul Bacaan

Berbuat baik kepada kedua orangtua ialah dengan cara mengasihi, memelihara, dan menjaga mereka dengan sepenuh hati serta memenuhi semua keinginan mereka selama tidak

Kegiatan pembelajaran tersebut berjalan 2 jam pelajaran akan tetapi diselingi dengan pemberian reward kepada anak dan pembelajaran dilakukan sesuai dengan

Sehubungan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi