• Tidak ada hasil yang ditemukan

31 untuk perhitungan rendeman memiliki berat sebesar gram. Rendemen ikan tubuh layaran dihitung dengan cara persentase perbandingan dari bagian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "31 untuk perhitungan rendeman memiliki berat sebesar gram. Rendemen ikan tubuh layaran dihitung dengan cara persentase perbandingan dari bagian"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Organoleptik Ikan Layaran (Istiophorus sp.)

Penelitian ini menggunakan bahan baku ikan layaran (Istiophorus sp.) yang diperoleh dari TPI Pelabuhan Ratu Kabupaten Sukabumi-Jawa Barat. Ikan layaran yang sudah diperoleh selanjutnya dilakukan pengujian orgenoleptik. Pengujian organoleptik merupakan cara pengujian menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk menilai mutu ikan hidup dan produk perikanan yang segar utuh. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan uji skor, yaitu menentukan tingkat mutu berdasarkan skala angka 1 (satu) sebagai nilai terendah dan angka 9 (Sembilan) sebagai nilai tertinggi dengan menggunakan lembar penilaian (SNI 2346:2011).

Parameter yang diuji pada pengujian organoleptik ikan segar ini terdiri dari mata, insang, lendir permukaan badan, daging, bau dan tekstur. Lembar

penilaian yang digunakan adalah lembar penilaian ikan segar menurut SNI 01-2729.1-2006. Adapun karakteristik organoleptik ikan layaran yang akan

digunakan memiliki bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan dan kornea agak keruh, insang mulai ada diskolorisasi, merah kecoklatan, sedikit lendir, tanpa lendir, lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih dan kurang transparan, sayatan daging kurang cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang dan dinding perut daging utuh, bau netral dan tekstur daging ikan agak padat, agak elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek tulang daging dari belakang.

4.2 Rendemen Ikan Layaran (Istiophorus sp.)

Rendemen merupakan suatu parameter yang digunakan untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu bahan. Semakin besar nilai rendemen maka semakin tinggi pula nilai ekonomis dari produk tersebut, begitu pula sebaliknya, semakin kecil nilai rendemen maka semakin kecil pula nilai ekonomisnya atau keefektivitasan suatu produk atau bahan (Yunizal et al. 1998). Rendemen yang dihitung terdiri dari rendemen ikan layaran, daging lumat ikan layaran dan rendemen surimi ikan layaran pencucian 1 kali. Ikan layaran yang digunakan

(2)

untuk perhitungan rendeman memiliki berat sebesar 20000 gram. Rendemen ikan tubuh layaran dihitung dengan cara persentase perbandingan dari bagian tubuh ikan dengan berat ikan utuh. Rendemen dari tiap bagian ikan layaran dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Rendemen ikan layaran (Istiophorus sp.)

Rendemen terbesar pada tubuh ikan layaran adalah daging dengan nilai sebesar 44,49%. Rendahnya nilai rendemen daging yang diperoleh diduga karena ikan layaran memiliki bentuk tubuh memanjang, kepala berbentuk kerucut dengan paruh panjang, sirip punggung yang lebar seperti layar, banyaknya serat pada bagian daging ikan dan banyaknya bagian daging samping yang terdapat pada tubuh ikan yang cukup sulit untuk diambil. Selain itu, saat proses pemisahan daging dengan serat banyak daging yang terjatuh sehingga sekitar 3% dari tubuh ikan layaran tidak diketahui berupa apa.

Rendemen daging lumat dihitung dengan cara persentase perbandingan berat daging lumat dengan berat daging yang dihasilkan. Berat daging ikan layaran yang dihasilkan adalah sebesar 8898 gram dengan berat daging lumat yang dihasilkan sebesar 7724 gram, sehingga menghasilkan rendemen daging lumat sebesar 86,81 %. Hilangnya sebagian daging ikan setelah dilumatkan dapat dikarenakan adanya daging ikan yang tertinggal dalam grinder saat melakukan proses pelumatan daging.

Rendemen surimi pencucian 1 kali dihitung dengan cara persentase perbandingan berat surimi pencucian 1 kali dengan berat daging lumat yang digunakan. Daging lumat yang digunakan adalah sebesar 3000 gram dan

(3)

menghasilkan berat surimi hasil pencucian 1 kali sebesar 2286 gram, sehingga menghasilkan nilai rendemen surimi sebesar 76,20%. Proses pencucian dapat menyebabkan berkurangnya rendemen yang dihasilkan. Berkurangnya rendemen pada frekuensi pencucian 1 kali adalah sebesar 23,8%. Menurut Venugopal et al. (1994), setelah mengalami poses pencucian maka akan menyebabkan semakin berkurangnya rendemen karena semakin banyak komponen yang akan terlarut bersama air, antara lain protein sarkoplasma, pigmen, lemak dan darah. Menurut Poernomo et al. (2006), akibat adanya proses pemerasan, air yang berada dalam daging giling ikut tereduksi yang menyebabkan berkurangnya bobot daging dari setiap pemerasan, juga terdapatnya daging yang menempel pada kain saring. Menurut Astawan et al. (1996), air pada proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan protein sarkoplasma, sedangkan pencucian menggunakan garam bertujuan untuk melarutkan protein miofibril dan membentuk sol aktomiosin.

4.3 Komposisi Kimia Ikan Layaran (Istiophorus sp.)

Ikan layaran yang sudah diuji secara organoleptik kemudian dipreparasi untuk menghasilkan daging lumat. Daging lumat ikan layaran yang dihasilkan dilakukan pengujian berupa analisis proksimat. Analisis proksimat yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui komposisi kimia daging lumat ikan layaran yang akan digunakan sebagai bahan baku. Hal ini dilakukan karena komposisi kimia ikan sebagai bahan baku sangat berperan terhadap karakteristik produk yang dihasilkan. Komposisi kimia daging lumat ikan layaran dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi kimia ikan layaran (Istiophorus sp.)

No. Komposisi Hasil (%)

1 Kadar air 79,11±0,25

2 Kadar abu 1,09±0,15

3 Kadar protein 12,43±0,02

4 Kadar lemak 0,39±0,02

5 Kadar karbohidrat 6,98±0,39

Tabel 3 menunjukkan bahwa ikan layaran memiliki kadar air yang tinggi, sedangkan kadar abu dan kadar lemak dari ikan layaran rendah. Tingginya kadar air menyebabkan menurunnya kadar lemak secara proporsional. Hal ini sesuai dengan pendapat Yunizal et al. (1998), bahwa kadar air umumnya berbanding terbalik dengan kadar lemak. Kadar lemak yang terkandung dalam daging lumat

(4)

ikan layaran adalah 0,39%. Artinya ikan layaran yang akan digunakan termasuk dalam kelompok ikan kurus. Menurut Adawyah (2008), tidak semua jenis ikan memiliki kandungan lemak yang tinggi, jika kandungan lemak ikan kurang dari 0,5% termasuk dalam kelompok ikan kurus. Kadar abu merupakan komponen penyususn terkecil kedua sebelum kadar lemak. Kadar abu yang terdapat pada daging lumat ikan layaran adalah 1,09%. Kandungan protein pada daging lumat ikan layaran sebesar 12,43%. Ikan yang mengandung lemak rendah rata-rata memiliki protein dalam jumlah besar (Adawyah 2008). Kadar karbohidrat ikan layaran adalah 6,98%. Kadar karbohidrat yang dihasilkan merupakan perhitungan dengan cara pengurangan 100% dengan total rata-rata komponen lain (air, abu, protein dan lemak). Metode ini sering disebut sebagai metode by difference.

4.4 Kadar Air Surimi Ikan Layaran (Istiophorus sp.)

Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat memberikan pengaruh terhadap karakteristik penampakan, tekstur dan cita rasa (Winarno 2008). Kadar air surimi akan mempengaruhi kekuatan gel, pH, sejumlah garam yang ditambahkan, waktu dan proses pemanasan (Utomo 2004). Kadar air yang dihasilkan pada surimi ikan layaran dengan frekuensi pencucian sebanyak 1 kali adalah 78,33%. Nilai kadar air surimi ini termasuk dalam kategori tinggi karena menurut Lanier (1992), standar mutu kadar air surimi adalah 75%. Nilai kadar air surimi yang dihasilkan ini hampir sama dengan hasil penelitian Haryati (2001), yaitu 77,55% dan termasuk dalam kategori tinggi.

Berdasarkan Tabel 3, dapat diketahui bahwa terjadi penurunan kadar air pada daging lumat ikan layaran menjadi surimi sebesar 0,78%. Menurunnya nilai kadar air tersebut diduga karena adanya proses penyaringan menggunakan kain blacu dan pemerasan menggunakan alat pemeras surimi untuk menghilangkan air. Selain itu, dapat juga dikarenakan adanya penambahan garam selama pencucian yang membantu pelepasan air dari daging lumat (Irianto dan Giyatmi 2009). Menurunnya kadar air pada surimi dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kemampuan bahan dalam mengikat air sehingga kekuatan gel akan meningkat. Menurut Huff dan Lonergan (2005), peningkatan nilai kadar air berhubungan dengan menurunnya kemampuan bahan dalam mengikat air sehingga kekuatan gel akan menurun.

(5)

4.5 Karakteristik Gel Ikan Layaran (Istiophorus sp.)

Penelitian pembuatan gel ikan bertujuan untuk mengetahui karakteristik sensori, fisika dan kimia dari produk gel ikan layaran dengan bahan baku surimi frekuensi pencucian 1 kali. Penelitian ini berupa pengujian karakteristik sensori (warna, penampakan, aroma, rasa dan tekstur), karakteristik fisik (kekuatan gel, derajat putih, WHC, uji lipat dan uji gigit) dan karakteristik kimia (analisis proksimat dan protein larut garam).

4.5.1 Karakteristik sensori

Karakteristik sensori gel ikan layaran yang dihasilkan dapat diketahui dengan cara melakukan pengujian secara sensori. Pengujian sensori merupakan cara pengujian menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk menilai mutu produk perikanan yang sudah mengalami proses pengolahan. Analisis sensori yang dilakukan adalah uji hedonik untuk mengukur tingkat kesukaan terhadap produk dengan menggunakan lembar penilaian (SNI 2346:2011). Tingkatan-tingkatan dalam lembar penilaian disebut sebagai skala hedonik, dalam analisisnya ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka yang semakin naik menurut tingkat kesukaannya (Rahayu 1998). Hasil analisis sensori gel ikan layaran (Istiophorus sp.) dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil analisis sensori gel ikan layaran (Istiophorus sp.)

No. Parameter Hasil Kriteria

1 Warna 6 Agak suka

2 Penampakan 6 Agak suka

3 Aroma 5 Netral

4 Tekstur 6 Agak suka

5 Rasa 5 Netral

Hasil analisis sensori pada Tabel 4 menunjukkan bahwa parameter warna, penampakan dan tekstur gel ikan layaran hasil penelitian menghasilkan nilai rata-rata sebesar 6 (agak suka). Hasil analisis sensori parameter aroma dan rasa gel ikan layaran hasil penelitian menghasilkan nilai rata-rata sebesar 5 (netral).

4.5.1.1 Warna

Warna mempunyai arti dan peranan yang sangat penting pada komoditas pangan. Diantara sifat-sifat produk pangan yang paling menarik perhatian pada

(6)

konsumen dan paling cepat pula memberi kesan disukai atau tidak disukai adalah sifat warna (Soekarto 1990). Berdasarkan uji hedonik, parameter warna gel ikan layaran menghasilkan nilai rata-rata sebesar 6 (agak suka). Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Pusparani (2003) yang menghasilkan nilai 6 (agak suka) pada parameter warna gel ikan daging merah ikan tuna pada pencucian 1 kali. Warna yang dihasilkan pada gel ikan diduga dipengaruhi oleh adanya proses pencucian sebanyak 1 kali yang dapat melarutkan darah, lemak dan kotoran pada daging ikan. Proses pencucian dapat menyebabkan warna daging yang lebih putih (Suzuki 1981). Menurut Haryati (2001), perlakuan pencucian surimi secara umum mampu memperbaiki nilai penampakan yaitu warna gel ikan yang dihasilkan menjadi lebih putih. Hal tersebut dikarena selama proses pencucian akan terlarut zat-zat yang dapat mempengaruhi warna gel seperti darah, kotoran dan pigmen pada daging.

4.5.1.2 Penampakan

Penampakan produk memegang peranan penting dalam hal penerimaan konsumen karena penilaian awal dari suatu produk adalah penampakannya sebelum faktor lain dipertimbangkan secara visual (Soekarto 1985). Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata penampakan gel ikan layaran hasil penelitian adalah 6. Artinya penampakan gel ikan tersebut berada pada kriteria agak suka. Sedangkan menurut hasil penelitian Haryati (2001), nilai rata-rata penampakan gel ikan layaran dari surimi pencucian 1 kali bernilai 7 (suka). Perbedaan ini dapat dikarenakan pengujian yang digunakan merupakan pengujian yang bersifat hedonik atau tergantung pada tingkat kesukaan panelis sehingga setiap panelis akan memberikan penilaian yang berbeda-beda tergantung tingkat kesukaannya. Menurut Haryati (2001), perlakuan pencucian surimi secara umum mampu memperbaiki nilai penampakan karena selama pencucian terlarut zat-zat yang dapat mempengaruhi warna gel seperti darah, kotoran dan pigmen pada daging.

4.5.1.3 Aroma

Aroma makanan dalam banyak hal menentukan enak atau tidak enaknya makanan, bahkan industri pangan menganggap sangat penting terhadap uji bau karena dapat dengan cepat memberikan hasil penilaian apakah produk disukai

(7)

atau tidak (Soekarto 1985). Nilai rata-rata aroma gel ikan layaran hasil penelitian adalah 5. Artinya gel ikan yang dihasilkan memiliki kriteria netral. Hasil ini menunjukkan bahwa larutnya komponen-komponen flavor yang terkandung dalam daging ikan pada proses pencucian 1 kali masih berada dalam tingkat penerimaan. Menurut penelitian Haryati (2001), nilai rata-rata penerimaan aroma gel ikan layaran pada pencucian 1 kali bernilai 6 (agak suka). Perbedaan ini dapat disebabkan adanya perbedaan tingkat kesukaan pada panelis.

Aroma gel ikan dapat dipengaruhi oleh penambahan bumbu-bumbu dan proses pencucian pada pembuatan surimi sebagai bahan bakunya. Proses pembuatan gel ikan tidak ada penambahan bumbu-bumbu lain kecuali garam. Garam yang ditambahkan hampir tidak berbau sehingga ketika diaplikasikan ke dalam produk gel ikan tidak menimbulkan aroma yang spesifik. Pencucian yang pada pembuatan surimi dilakukan untuk menghilangkan darah, lemak yang dapat menyebabkan warna dan bau yang tidak disukai (Astawan et al. 1996).

4.5.1.4 Tekstur

Tekstur merupakan suatu sifat karakteristik kelenturan dari produk yang berbentuk padat (SNI 2346:2011). Tekstur merupakan karakteristik yang sangat penting bagi produk gel ikan karena memiliki sifat elastisitas dan kekenyalan (Soekarto 1985). Berdasarkan Tabel 4, nilai rata-rata tekstur gel ikan yang dihasilkan adalah 6 (agak suka). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Haryati (2001), gel ikan layaran pada pencucian 1 kali bernilai 6 (agak suka). Hasil ini dapat dipengaruhi oleh adanya proses pencucian selama pembuatan surimi yang dapat membentuk tekstur yang kompak. Proses pencucian dapat menyebabkan tekstur semakin baik karena pada saat proses pencucian akan terjadi penghilangan protein larut air yang dapat menghambat pembentukan gel dan dapat meningkatkan protein larut garam. Menurut Djazuli et al. (2009), protein larut garam berperan penting dalam menentukan mutu fungsional surimi, terutama pembentukan gel dan tekstur.

4.5.1.5 Rasa

Rasa merupakan faktor penting yang menjadi dasar diambilnya keputusan oleh konsumen terhadap diterimanya suatu produk. Apabila sebuah produk

(8)

mempunyai rasa yang tidak enak, maka produk tersebut tidak akan diterima oleh konsumen walaupun warna dan aromanya baik (Winarno 1997). Berdasarkan Tabel 4, nilai rata-rata rasa gel ikan layaran yang dihasilkan adalah 5 (netral). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Haryati (2001), nilai rata-rata gel ikan layaran dari pencucian 1 kali menghasilkan nilai 5 (netral). Hasil ini dapat dipengaruhi oleh adanya frekuensi pencucian pada pembuatan surimi yang dilakukan sebanyak sebanyak 1 kali. Frekuensi pencucian pada pembuatan surimi bertujuan untuk menghilangkan bahan-bahan larut air, lemak dan darah sehingga memperbaiki flavor (Toyoda et al. 1992). Pada pembuatan gel ikan hanya menggunakan garam dan tidak menggunakan tambahan bumbu-bumbu lain, sehingga rasa yang dihasilkan masih berada pada kriteria netral. Garam yang ditambahkan sebesar 2,5% (b/b) pada saat pencampuran berfungsi bukan sebagai bumbu, melainkan untuk meningkatkan kekuatan ionik daging dan mengekstrak aktomiosin sehingga terbentuk sol (Astawan et al. 1996).

4.5.2 Karakteristik fisika

Sifat-sifat fisika biasanya banyak digunakan untuk perincian mutu komoditas dan standarisasi mutu karena sifat-sifat fisik lebih mudah dan lebih cepat dikenali dibandingkan dengan sifat kimia, mikrobiologik dan fisiologik (Soekarto 1990). Analisis fisika yang dilakukan terdiri dari kekuatan gel, derajat putih, WHC, uji lipat dan uji gigit. Hasil analisis fisika gel ikan layaran (Istiophorus sp.) dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil analisis fisika gel ikan layaran (Istiophorus sp.)

No. Parameter Hasil

1 Kekuatan gel (gf) 1870,05±92,56 2 Derajat putih (%) 68,11±0,84

3 WHC (%) 59,45±0,61

4 Uji lipat 3

5 Uji gigit 7

Hasil analisis fisika pada Tabel 5 menunjukkan bahwa gel ikan layaran hasil penelitian memiliki kekuatan gel sebesar 1870,05 gf, derajat putih 68,11% dan nilai WHC 59,45%. Berdasarkan hasil uji hedonik terhadap parameter fisika gel ikan layaran hasil penelitian menunjukkan nilai rata-rata uji lipat sebesar 3 dan uji gigit sebesar 7.

(9)

4.5.2.1 Kekuatan gel

Kekuatan gel merupakan daya tahan bahan untuk pecah akibat gaya tekan yang diberikan. Daya tahan pecah gel merupakan batas elastis gel yang

menunjukkan besarnya daya tahan gel terhadap deformasi saat gel menjadi sobek (Matz 1959 diacu dalam Poernomo et al. 2006). Berdasarkan Tabel 5, kekuatan

gel yang dihasilkan pada gel ikan layaran hasil penelitian adalah 1870,05 gf. Nilai kekuatan gel yang dihasilkan sudah termasuk dalam kriteria yang tinggi. Menurut Uju et al. (2004), proses pencucian pertama sudah dapat meningkatkan kekuatan gel yang tajam dan sudah dapat mencapai tingkat maksimum.

Tingginya kekuatan gel dapat dikarenakan adanya pengaruh peningkatan kandungan protein miofibril dan rendahnya kandungan lemak dalam daging. Protein ini mempunyai kemampuan pembentukan gel yang terbentuk dengan adanya proses penggilingan, pemanasan dan pemberian garam (Pomeranz 1991 diacu dalam Uju et al. 2004). Adanya penambahan garam dan proses pemanasan pada pembuatan gel ikan menyebabkan protein miofibril larut dan kemudian membentuk gel. Menurut Reinheimer et al. (2010), peningkatan konsentrasi protein dapat menyebabkan peningkatan kekuatan gel serta kandungan lemak yang relatif tinggi dapat menurunkan kekuatan gel. Proses pencucian pada pembuatan surimi dapat melarutkan protein sarkoplasma serta zat-zat lain sebagai penghambat pembentukan gel, sedangkan bagian yang tidak terlarut adalah protein miofibril yang berperan dalam pembentukan gel. Komponen-komponen yang dapat mengganggu pembentukan gel terutama lemak, protein larut air (sarkoplasma), darah dan kotoran-kotoran lainnya (Suzuki 1981).

4.5.2.2 Derajat putih

Nilai derajat putih dihasilkan dari nilai L, dengan notasi L menyatakan parameter kecerahan suatu produk. Semakin tinggi nilai derajat putih berarti produk tersebut semakin mendekati standar (putih). Hasil pengukuran derajat putih gel ikan layaran pada Tabel 5 menunjukkan hasil sebesar 68,11%. Nilai derajat putih yang dihasilkan ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Sekarwiyati (2000) dengan nilai derajat putih gel ikan layaran dari surimi pencucian 1 kali sebesar 31,75%. Nilai derajat putih dapat dipengaruhi oleh adanya proses pencucian pada pembuatan surimi. Menurut Suzuki (1981),

(10)

proses pencucian dilakukan untuk mendapatkan warna putih dan menghilangkan protein sarkoplasma yang mengganggu pembentukan gel. Menurut Poernomo et al. (2006), saat proses pencucian dan pemerasan berlangsung, semua kotoran, lemak, darah dan protein sarkoplasma dapat terlarut bersama dengan air pencucian sehingga warna gel ikan semakin bersih dan putih.

4.5.2.3 Water holding capacity (WHC)

Daya mengikat air adalah kemampuan daging untuk mengikat air yang ada dalam bahan maupun yang ditambahkan selama proses pengolahan, atau kemampuan struktur bahan untuk menahan air bebas dari struktur tiga dimensi protein (Zayas 1997 diacu dalam Chairita 2008). Nilai rata-rata WHC gel ikan layaran hasil penelitian menunjukkan nilai sebesar 59,45%. Semakin tinggi kandungan protein maka akan semakin banyak air yang terikat dan mengakibatkan nilai WHC pun meningkat. Menurut Kramlich (1971) diacu dalam Granada (2011), daya ikat air sangat dipengaruhi oleh kandungan air, protein, dan penggunaan garam. Jumlah garam yang ditambahkan dalam pembuatan emulsi daging berkisar antara 1-5%. Semakin banyak garam yang digunakan maka dapat mengakibatkan tingginya daya mengikat air. Hal ini dapat disebabkan karena garam dapat memperluas ruang antar filament dalam protein miofibril sehingga terjadi pengembangan diameter miofibril dan menyebabkan semakin banyaknya air yang diikat oleh protein miofibril (Ockerman 1983 diacu dalam Poernomo et al. 1999). Menurut Huff dan Lonergan (2005), peningkatan nilai kadar air berhubungan dengan menurunnya kemampuan bahan dalam mengikat air sehingga kekuatan gel akan menurun. Surimi yang digunakan sebagai bahan baku mengalami penurunan kadar air sehingga dapat meningkatkan daya mengikat air dan kekuatan gel.

4.5.2.4 Uji lipat

Uji lipat secara luas digunakan di industri-industri karena uji tersebut sederhana dan dengan cepat dapat menunjukkan kekuatan dan elastisitas gel (Hastings et al. 1990). Nilai rata-rata uji lipat gel ikan layaran hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 5. Nilai yang diperoleh tersebut adalah sebesar 3. Artinya gel ikan yang dihasilkan memiliki kriteria sedikit retak bila dilipat satu kali. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Pusparani (2003) yang menghasilkan nilai uji

(11)

lipat sebesar 3,5. Hasil tersebut diduga akibat menurunnya sifat kelarutan protein miofibril sehingga hanya sebagian protein yang terekstrak oleh garam. Miofibril sangat berperan dalam penggumpalan dan pembentukan gel pada daging ikan yang diolah (Erdiansyah 2006). Penurunan kelarutan protein terbukti pada saat penggilingan daging surimi dengan penambahan garam, pasta ikan yang terbentuk bergerombol sehingga mempersulit pencetakan. Kejadian tersebut menyebabkan adanya rongga-rongga udara yang dapat mempengaruhi nilai uji lipat gel ikan yang dhasilkan (Haryati 2001). Semakin baik hasil uji lipat (makin sukar retak), maka mutu gel ikan yang dihasilkan pun semakin baik (Santoso et al. 1997). Hasil uji lipat gel ikan masih termasuk dalam kisaran mutu cukup baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Lee (1984) yang menyatakan bahwa uji pelipatan dengan nilai tiga menunjukkan tingkat elastisitas yang cukup baik.

4.5.2.5 Uji gigit

Uji gigit merupakan cara pengujian mutu gel ikan secara sensori. Pengujian ini dilakukan dengan cara memotong sampel anatar gigi sen atas dan gigi sen bawah (Poernomo et al. 2006). Berdasarkan Tabel 5, hasil uji gigit gel ikan layaran hasil penelitian adalah 7 (agak kuat). Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Sekarwiyati (2003) dengan nilai uji gigit sebesar 6 pada gel daging merah ikan tuna pada pencucian 1 kali. Perbedaan ini dapat disebabkan adanya perbedaan jenis daging ikan yang digunakan. Menurut (Park 2000), pencucian dapat meningkatkan kekuatan gel surimi sehingga diduga juga berpengaruh terhadap nilai uji gigit yang dihasilkan. Surimi yang baik adalah surimi yang memiliki kekuatan gel yang tinggi. Menurut Kaba (2006), proses pencucian yang dilakukan dapat menghilangkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel pada daging lumat. Hasil yang diperoleh sudah dapat menunjukkan bahwa frekuensi pencucian 1 kali pada pembuatan surimi ikan layaran sudah dapat menghasilkan produk gel ikan yang baik dan melebihi standar penerimaan produk komersial. Menurut Tan et al. (1987) diacu dalam Chairita (2008), nilai kisaran yang dapat diterima terhadap uji gigit untuk produk-produk komersial berada pada kisaran nilai 5-6.

(12)

4.5.3 Karakteristik kimia

Analisis kimia dilakukan untuk mengetahui karakteristik kimia dari gel ikan layaran dari bahan baku surimi frekuensi pencucian 1 kali. Analisis kimia yang dilakukan terdiri dari analisis proksimat dan protein larut garam. Hasil analisis kimia gel ikan layaran (Istiophorus sp.) dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil analisis kimia gel ikan layaran (Istiophorus sp.)

No. Parameter Hasil (%)

1 Kadar air 73,08±0,14

2 Kadar abu 2,96±0,00

3 Kadar protein 13,01±0,00

4 Kadar lemak 0,60±0,00

5 Kadar karbohidrat 10,35±0,14 6 Protein larut garam 3,87±0,03

Tabel 6 menunjukkan hasil analisis proksimat dan protein larut garam pada gel ikan layaran dari surimi frekuensi pencucian 1 kali. Berdasarkan data diatas, diketahui bahwa gel ikan layaran hasil penelitian memiliki kadar air sebesar 73,08%, kadar abu 2,96%, kadar protein 13,01%, kadar lemak 0,60%, kadar karbohidrat 10,35% dan kadar protein larut garam sebesar 3,87%.

4.5.3.1 Kadar air

Air merupakan komponen paling penting dalam makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur dan cita rasa. Bahan makanan mengandung kadar air dalam jumlah yang berbeda-beda. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan daya terima, kesegaran serta daya simpan (Winarno 2008). Kandungan air yang terkandung pada gel ikan layaran dari bahan baku surimi pencucian 1 kali adalah 73,08%. Kadar air gel ikan yang dihasilkan bila dibandingkan dengan kadar air surimi nilainya lebih rendah (78,33%). Penurunan nilai kadar air tersebut adalah 5,25%. Hal tersebut diduga adanya penambahan garam pada saat pembuatan gel ikan. Menurut Brorgstrom (1965) diacu dalam Haryati (2001), adanya penggaraman dalam daging ikan mampu mendenaturasi larutan koloid protein sehingga terjadi koagulasi yang dapat membebaskan air. Hasil kadar air surimi ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Haryati (2001) dengan kadar air gel ikan layaran pencucian 1 kali sebesar 75,41%.

(13)

4.5.3.2 Kadar abu

Bahan makanan terdiri dari bahan organik dan air sekitar 95%, sisanya terdiri dari unsur mineral yang dikenal sebagai unsur anorganik (kadar abu). Bahan-bahan organik terbakar saat proses pembakaran, namun zat anorganiknya tidak karena itulah disebut abu (Winarno 2008). Nilai kadar abu gel ikan dari surimi pencucian 1 kali dapat dilihat pada Tabel 6. Kadar abu yang dihasilkan adalah 2,96%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Haryati (2001) yang menghasilkan nilai kadar abu sebesar 2,49% pada gel ikan layaran dari surimi pencucian 1 kali. Kandungan abu menggambarkan jumlah mineral total yang terdapat pada makanan. Kandungan abu dapat berasal dari mineral makro atau zat organik pada ikan dan garam yang ditambahkan (Winarno 2008). Abu yang terdapat dalam daging umumnya terdiri dari fosfor, kalsium, iron, magnesium, sulfur, sodium dan potassium (Rosa et al. 2007). Garam mempunyai unsur-unsur mineral seperti NaCl, MgCl, Na2SO4, CaCl2 hingga KCl sehingga dapat meningkatkan kadar abu bahan pangan yang ditambahkan garam (Budiono 2010).

4.5.3.3 Kadar protein

Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh, karena zat ini di samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein adalah sumber asam-asam amino ynag mengandung unsur-unsur C, H, O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat (Winarno 2008). Nilai kadar protein gel ikan layaran dari surimi pencucian 1 kali dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai kadar protein gel ikan layaran hasil penelitian adalah 13,01%. Kadar protein ini terbilang cukup tinggi. Adanya peningkatan kadar protein setelah menjadi gel ikan diduga dikarenakan adanya proses pencucian yang dapat meningkatkan aktivitas protein miofibril seiring dengan terlarutnya golongan protein sarkoplasma. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh adanya penggaraman pada pembuatan gel ikan. Menurut Brorgstrom (1965) diacu dalam Haryati (2001), adanya penggaraman dalam daging ikan mampu mendenaturasi larutan koloid protein sehingga terjadi koagulasi yang dapat membebaskan air. Rendahnya kandungan air tersebut dapat meningkatkan proporsi dari nilai kadar protein karena terjadinya koagulasi.

(14)

4.5.3.4 Kadar lemak

Lemak merupakan bahan penghasil energi terbesar dibandingkan dengan unsur gizi lainnya. Lemak juga merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan kadar karbohidrat dan kadar protein. Satu gram lemak dapat menghasilkan 9 kkal/gram, sedangkan satu gram karbohidrat dan protein hanya menghasilkan 4 kkal/gram (Winarno 2008). Berdasarkan Tabel 6, kadar lemak gel ikan layaran hasil penelitian adalah 0,60%. Kadar lemak yang rendah dikarenakan kadar lemak merupakan kandungan gizi terkecil dari kelima kandungan gizi yang lainnya. Rendahnya kadar lemak yang dihasilkan diduga karena adanya proses pencucian pada pembuatan surimi yang digunakan sebagai bahan baku. Proses pencucian dapat menghilangkan komponen-komponen pengganggu seperti darah, lemak dan substansi lainnya (Kaba 2006). Kandungan lemak pada daging pun akan semakin menurun ketika frekuensi pencucian ditingkatkan (Pattaravivat et al. 2008). Pengurangan kadar lemak pada proses pembuatan gel sangat diperlukan karena lemak termasuk salah satu faktor yang dapat menghambat pembentukan gel (Nielsen dan Pigott 1994).

4.5.3.5 Kadar karbohidrat

Karbohidrat mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, seperti rasa, warna, tekstur dan lain-lain. Kadar karbohidrat merupakan komponen penyusun terbesar setelah protein (Winarno 2008). Nilai kadar karbohidrat gel ikan dari surimi pencucian 1 kali dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai rata-rata kadar karbohidrat gel ikan yang dihasilkan adalah 10,35%. Hal ini dapat terjadi karena kadar air dan kadar protein gel ikan layaran yang diperoleh bernilai rendah. Hal tersebut juga diikuti dengan rendahnya kandungan lemak dan abu, sehingga kadar karbohidrat dapat meningkat. Kadar karbohidrat dihitung dengan menggunakan metode by difference, yaitu suatu analisis di mana kandungan karbohidrat termasuk serat kasar diketahui bukan melalui analisis tetapi melalui perhitungan dengan cara pengurangan 100% dengan total rata-rata komponen lain (air, abu, protein dan lemak) (Winarno 2008). Nilai kadar air dan kadar protein pada gel ikan bernilai rendah, sehingga kadar lemak, kadar abu dan kadar karbohidrat pada gel ikan akan meningkat.

(15)

4.5.3.6 Protein Larut Garam (PLG)

Protein larut garam (PLG) yaitu protein miofibril yang terdiri dari aktin, miosin dan protein regulasi tropomiosin, troponin, dan aktinin. Gabungan aktin dan miosin membentuk aktomiosin yang sangat berperan dalam pembentukan gel. Protein larut garam sangat berperan dalam proses pembentukan gel, diakibatkan terjadinya agregasi antara aktin dan miosin pada saat diekstrak (Suzuki 1981). Berdasarkan data pada Tabel 6, nilai rata-rata protein larut garam gel ikan hasil penelitian adalah sebesar 3,87%.

Kandungan protein larut garam atau miofibril dapat dipengaruhi oleh proses pencucian pada pembuatan surimi. Pada saat proses pencucian diduga sebagian protein miofibril dapat ikut terlarut dalam air pencucian dan ikut menempel pada kain saring blacu pada saat pemerasan. Menurut Suzuki (1981), proses pencucian tidak hanya melarutkan protein sarkoplasma, tetapi juga menyebabkan protein ikan seperti miofibril dan stroma dalam tubuh ikan mengalami degradasi menjadi komponen yang lebih sederhana. Komponen sederhana ini kemudian larut bersama air. Namun, jika dibandingkan dengan hasil penelitian Pusparani (2003) dengan nilai PLG sebesar 1,13% pada pencucian 1 kali daging merah ikan tuna, hasil ini masih tergolong tinggi.

4.6 Karakteristik Bakso Ikan Layaran (Istiophorus sp.)

Bakso ikan layaran pada penelitian ini menggunakan surimi frekuensi pencucian satu kali sebagai bahan bakunya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik sensori, fisika dan kimia. Pada penelitian ini dilakukan pula pengujian terhadap karakteristik bakso ikan komersial yang terdapat dipasaran. Hal ini dilakukan untuk membandingkan bakso ikan layaran hasil penelitian dengan bakso ikan komersial yang di jual dipasaran, sehingga diharapkan bakso ikan yang dihasilkan memiliki karakteristik yang sama atau lebih baik dari bakso ikan komersial. Bakso ikan komersial yang digunakan sebagai pembanding terdiri dari dua jenis, yaitu bakso ikan komersial 1 dari bahan baku daging lumat ikan dan bakso ikan komersial 2 dari bahan baku surimi.

(16)

4.6.1 Karakteristik sensori

Karakteristik sensori bakso ikan dapat diketahui dengan cara melakukan pengujian organoleptik secara sensori. Analisis sensori yang dilakukan adalah uji hedonik, yang digunakan untuk mengukur tingkat kesukaan terhadap produk dengan menggunakan lembar penilaian (SNI 2346:2011). Menurut SPI-Kan-PPO-1978 diacu dalam Chaidir (2001), batas pengolahan nilai minimum suatu produk adalah 5, artinya bila produk perikanan yang diuji memperoleh nilai sama atau lebih kecil dari 5, maka produk tersebut dinyatakan tidak lulus standar. Hasil analisis sensori bakso ikan layaran hasil penelitian dan bakso ikan komersial dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Hasil analisis sensori bakso ikan Parameter Bakso ikan

layaran Bakso ikan komersial 1 Bakso ikan komersial 2 Warna 7 5 7 Penampakan 7 4 7 Aroma 6 4 7 Tekstur 6 4 7 Rasa 6 4 7 Tabel 7 menunjukkan bahwa bakso ikan layaran hasil penelitian memiliki

nilai rata-rata uji hedonik yang sama pada parameter warna dan penampakan, sedangkan pada parameter aroma, tekstur dan rasa menghasilkan nilai rata-rata yang lebih rendah. Bakso ikan komersial 1 memiliki nilai rata-rata uji hedonik yang paling rendah dari setiap parameter pengujian jika dibandingkan dengan bakso ikan layaran hasil penelitian dan bakso ikan komersial 2.

4.6.1.1 Warna

Warna merupakan salah satu aspek penting bagi makanan. Suatu bahan yang dinilai bergizi, enak dan teksturnya sangat baik tidak akan dibeli apabila memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya (Winarno 1997). Menurut SNI 01-3819-1995, bakso ikan harus mempunyai warna yang normal dan putih tanpa warna asing lainnya.

Berdasarkan Tabel 7, bakso ikan layaran hasil penelitian dan bakso ikan komersial 2 memiliki nilai rata-rata penerimaan warna yang sama yaitu 7 (suka), sedangkan bakso ikan komersial 1 memiliki nilai rata-rata organoleptik warna

(17)

sebesar 5 (netral). Hasil ini menunjukkan bahwa bakso ikan layaran pada penelitian ini sudah memiliki karakteristik sensori warna yang sama dengan bakso ikan komersial yang banyak dijual. Padahal pembuatan bakso ikan layaran pada penelitian ini hanya menggunakan surimi frekuensi pencucian 1 kali dan tidak menggunakan bahan kimia untuk menstabilkan warna seperti yang ditambahkan pada pembuatan bakso ikan komersial 2, yaitu berupa skuestran. Sekuestran atau zat pengikat logam merupakan bahan penstabil yang digunakan dalam berbagai pengolahan bahan makanan, senyawa ini dapat membantu menstabilkan warna, cita rasa dan tekstur (Winarno 2008). Rendahnya tingkat penerimaan warna bakso ikan komersial 1 dikarenakan bakso tersebut tidak menggunakan bahan baku surimi yang dalam pembuatannya dilakukan proses pencucian, tetapi menggunakan bahan baku berupa daging lumat ikan. Proses pencucian pada pembuatan surimi dapat memperbaiki warna daging ikan (Irianto dan Giyatmi 2009), sehingga bakso ikan yang dihasilkan dapat mempunyai warna putih sesuai dengan standar SNI 01-3819-1995. Menurut Astawan et al. (1996) dalam penelitiannya juga meyatakan bahwa tahap pencucian memberikan warna yang lebih putih.

4.6.1.2 Penampakan

Penampakan produk memegang peranan penting dalam hal penerimaan konsumen karena penilaian awal dari suatu produk adalah penampakannya sebelum faktor lain dipertimbangkan secara visual. Meskipun penampakannya tidak menggunakan tingkat kesukaan konsumen secara mutlak, tetapi penampakan juga mempengaruhi penerimaan konsumen (Soekarto 1985).

Nilai rata-rata penampakan bakso ikan layaran hasil penelitian dan bakso ikan komersial dapat dilihat pada Tabel 7. Nilai rata-rata penampakan bakso ikan layaran hasil penelitian dan bakso ikan komersial 2 memiliki nilai yang sama yaitu 7 (suka), sedangkan nilai rata-rata penampakan bakso ikan komersial 1 adalah 4 (agak tidak suka). Hasil ini menunjukkan bahwa bakso ikan layaran dari bahan baku surimi pencucian 1 kali dan bakso ikan komersial 2 lulus uji organoleptik. Rendahnya tingkat penerimaan bakso ikan komersial 1 diduga karena penampakan dari bakso ikan komersial 1 kurang cemerlang sehingga tidak memberikan daya tarik atau selera. Menurut hasil penelitian Chaidir (2001),

(18)

panelis menunjukkan respon kesukaan terhadap bentuk bakso yang bulat utuh, halus, cemerlang (tidak kusam), dan menarik (menimbulkan selera). Pembuatan bakso secara manual juga dapat ikut mempengaruhi respon panelis terhadap penampakan. Walaupun bakso ikan layaran pada penelitian ini dibuat secara manual, tetapi bakso ikan yang dihasilkan ini sudah dapat memberikan hasil yang baik. Hal ini sudah termasuk dalam keunggulan produk bakso ikan layaran yang dihasilkan.

4.6.1.3 Aroma

Aroma merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap suatu produk. Pada umumnya bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak menggunakan berbagai ramuan atau campuran

empat bau utama yaitu harum, asam, tengik dan hangus (Winarno 2008). Menurut SNI 01-3819-1995, bakso ikan harus memiliki aroma normal khas ikan.

Berdasarkan Tabel 7, dapat diketahui bahwa bakso ikan layaran hasil penelitian memiliki nilai rata-rata aroma sebesar 6 atau agak suka. Nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Uju et al. (2004) dengan nilai aroma bakso ikan layaran pencucian 1 kali sebesar 5 atau netral. Bakso ikan komersial 1 mempunyai nilai rata-rata sebesar 4 atau agak tidak suka dan bakso ikan komersial 2 sebesar 7 atau suka. Hasil ini menunjukkan bahwa bakso ikan layaran yang dihasilkan masih berada pada tingkat penerimaan kesukaan panelis dan telah lulus uji organoleptik. Rendahnya nilai aroma bakso ikan komersial 1 diduga karena bau amis daging lumat ikan yang digunakan masih tercium menyengat, sehingga panelis kurang menyukainya. Bakso ikan komersial 1 ini juga tidak menggunakan surimi sebagai bahan bakunya, dimana bahan baku yang digunakan tersebut hanya dicuci dan tidak menggunakan cara pencucian untuk dapat menghasilkan surimi. Menurut Fardiaz (1985), fungsi pencucian antara lain adalah membersihkan darah, lendir, protein yang larut dalam air (sarkoplasma), pigmen dan untuk memperbaiki bau yang dihasilkan.

4.6.1.4 Tekstur

Tekstur bakso ikan yang cenderung lebih disukai konsumen adalah bakso ikan yang mempunyai tekstur yang kompak, tidak liat atau membal, tidak ada

(19)

serat daging, tanpa duri atau tulang, tidak lembek, tidak basah berair serta tidak rapuh (Wibowo 2006). Berdasarkan SNI 01-3819-1995, bakso ikan harus mempunyai tekstur yang kenyal.

Nilai rata-rata tekstur bakso ikan layaran dapat dilihat pada Tabel 7. Nilai rata-rata tekstur bakso ikan layaran hasil penelitian adalah 6 atau agak suka. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Uju et al. (2004) dengan nilai tekstur sebesar 5 atau netral. Hasil tersebut juga berbeda dengan bakso ikan komersial 1 dengan nilai rata-rata tekstur sebesar 4 atau agak tidak suka, sedangkan nilai rata-rata tekstur bakso ikan komersial 2 sebesar 7 atau suka. Tingginya nilai rata-rata tekstur bakso ikan komersial 2 dapat dikarenakan adanya penambahan sekuestran. Sekuestran merupakan bahan tambahan makanan yang dapat membantu menstabilkan warna, cita rasa dan tekstur (Winarno 2008). Bakso ikan layaran hasil penelitian dan bakso ikan komersial 2 memiliki tekstur yang lebih baik karena pengaruh penggunaan surimi sebagai bahan bakunya. Tekstur pada bakso ikan dapat dipengaruhi oleh kandungan protein miofibril. Pada proses pencucian dalam pembuatan surimi, protein sarkoplasma akan terlarut sehingga kandungan protein miofibril akan meningkat. Menurut Djazuli et al. (2009), protein larut garam berperan sangat penting dalam menentukan mutu fungsional surimi, terutama pembentukan gel dan tekstur.

4.6.1.5 Rasa

Rasa merupakan faktor yang mempengaruhi penilaian terhadap suatu produk dapat diterima atau tidak oleh konsumen. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa lain (Winarno 2008). Berdasarkan SNI 01-3819-1995 bakso ikan harus mempunyai rasa yang gurih. Nilai rata-rata penilaian rasa bakso ikan layaran adalah 6, yang berarti agak disukai. Hasil ini lebih tinggi dari hasil penelitian Uju et al. (2004) dengan nilai rasa bakso ikan layaran pencucian 1 kali sebesar 5 atau netral. Nilai rata-rata rasa bakso ikan hasil penelitian lebih tinggi dari bakso ikan komersial 1 dan lebih rendah dari bakso ikan komersial 2. Bakso ikan komersial 1 menghasilkan nilai rata-rata rasa sebesar 4 yang berarti agak kurang suka dan bakso ikan komersial 2 menghasilkan nilai rata-rata sebesar 7 yang berarti suka.

(20)

Rasa suatu produk dapat dipengaruhi oleh adanya penambahan bumbu saat proses pembuatannya. Menurut Tarwotjo (1998), bumbu yang digunakan dapat memberi rasa dan aroma pada masakan, serta mempunyai pengaruh sebagai bahan pengawet makanan. Bumbu-bumbu yang digunakan pada bakso ikan layaran hasil penelitian adalah garam 2,5%, bawang merah goreng 2,5%, bawang putih 4% dan lada 1%. Pada adonan bakso ikan komersial 2 ditambahkan gula, mononatrium glutamate dan sekuestran sehingga menghasilkan tingkat penerimaan yang tinggi. Rendahnya nilai rata-rata rasa bakso ikan komersial 1 diduga karena banyaknya penambahan tepung tapioka. Menurut Koswara et al. (2001), penambahan tepung yang terlalu tinggi akan menutup rasa daging sehingga rasa bakso kurang disukai konsumen.

Mononatrium glutamat atau MSG adalah garam natrium dari asam glutamat dan merupakan senyawa cita rasa serta dapat menyebabkan sel reseptor rasa lebih peka sehingga dapat menikmati rasa dengan lebih baik. Sekuestran atau zat pengikat logam merupakan bahan penstabil yang digunakan dalam berbagai pengolahan bahan makanan dan membantu menstabilkan warna, cita rasa dan tekstur. Gula atau pemanis berfungsi untuk meningkatkan cita rasa dan aroma, memperbaiki sifat-sifat fisik, sebagai pengawet serta memperbaiki sifat-sifat kimia (Winarno 2008). Garam yang digunakan sebanyak 2-3% memiliki fungsi untuk memperbaiki cita rasa, melarutkan protein dan sebagai pengawet (Widyaningsih dan Murtini 2006).

4.6.2 Karakteristik fisika

Sifat-sifat fisika biasanya banyak digunakan untuk perincian mutu komoditas dan standarisasi mutu karena sifat-sifat fisik lebih mudah dan lebih cepat dikenali atau diukur dibandingkan dengan sifat-sifat kimia, mikrobiologik dan fisiologik (Soekarto 1990). Analisis fisika dilakukan terhadap kekuatan gel, derajat putih, WHC, uji lipat dan uji gigit pada produk bakso ikan dengan bahan baku surimi pada pencucian 1 kali. Hasil analisis fisika bakso ikan hasil penelitian dan bakso komersial dapat dilihat pada Tabel 8.

(21)

Tabel 8 Hasil analisis fisika bakso ikan Parameter Bakso ikan

Layaran Bakso ikan komersial 1 Bakso ikan komersial 2 Kekuatan gel (gf) 849,90±72,27 2219,20±68,02 1171,85±24,11 Derajat putih (%) 64,58±0,02 61,17±0,00 73,44±0,03 WHC (%) 63,57±0,03 63,28±1,66 60,95±0,74 Uji lipat 3 2 4 Uji gigit 7 5 8

Tabel 8 menunjukkan bahwa bakso ikan layaran hasil penelitian memiliki nilai derajat putih, WHC, uji lipat dan uji gigit lebih tinggi dari bakso ikan komersial 1, tetapi memiliki nilai kekuatan gel lebih rendah. Bakso ikan layaran memiliki nilai WHC lebih tinggi dari bakso ikan komersial 2 dan memiliki nilai lebih rendah pada kekuatan gel, derajat putih, uji lipat, dan uji gigit.

4.6.2.1 Kekuatan gel

Kekuatan gel merupakan daya tahan bahan untuk pecah akibat gaya tekan yang diberikan. Daya tahan pecah gel merupakan batas elastis gel yang

menunjukkan besarnya daya tahan gel terhadap deformasi saat gel menjadi sobek (Matz 1959 diacu dalam Poernomo et al. 2006). Besarnya kekuatan gel sangat

bergantung pada spesies ikan, kondisi ikan pada saat penangkapan, prosedur penanganan dan pengolahan, serta kondisi penyimpanan (Lou et al. 2008). Nilai kekuatan gel bakso ikan layaran hasil penelitian adalah 849,90 gf. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan bakso ikan komersial 1 yang mempunyai nilai kekuatan gel sebesar 2219,20 gf dan bakso ikan komersial 2 sebesar 1171,85 gf. Menurut hasil penelitian Uju et al. (2004), kekuatan gel bakso ikan layaran pada pencucian 1 kali adalah 900 gf. Perbedaan nilai kekuatan gel yang dihasilkan diduga dipengaruhi oleh adanya perbedaan perlakuan pada proses pencucian yang nantinya dapat berpengaruh pada pembentukan gel.

Pembentukan gel dapat dipengaruhi oleh suhu air yang digunakan saat proses pencucian dan kandungan protein miofibril yang terkandung dalam daging ikan. Penggunaan air pencucian yang bersuhu 5-10oC akan berpengaruh terhadap pembentukan gel dan penambahan garam juga turut berperan di dalamnya (Poernomo et al. 2006). Protein miofibril mempunyai kemampuan dalam pembentukan gel yang terbentuk dengan adanya proses penggilingan, pemanasan dan pemberian garam (Pomeranz 1991 diacu dalam Uju et al. 2004). Adanya

(22)

pemberian garam pada pembuatan bakso ikan menyebabkan protein ini larut dan kemudian membentuk gel. Selain itu, dapat juga disebabkan hilangnya beberapa komponen dalam daging ikan yang dapat menghambat proses pembentukan gel. Komponen penghambat pembentukan gel tersebut antara lain protein sarkoplasma, lemak dan darah (Lee 1994). Tingginya nilai kekuatan gel pada bakso ikan komersial 1 dan bakso ikan komersial 2 diduga dikarenakan adanya penambahan bahan penguat untuk dapat membentuk gel yang kuat dan elastis serta penggunaan tepung tapioka dalam jumlah yang cukup banyak.

4.6.2.2 Derajat putih

Derajat putih bakso ikan dilakukan dengan Chromameter minolta, yaitu analisis warna secara objektif yang mengukur warna yang dipantulkan oleh permukaan sampel yang diukur. Nilai derajat putih dihasilkan dari nilai L, notasi L menyatakan parameter kecerahan suatu produk pangan. Derajat putih bakso ikan layaran hasil penelitian adalah 64,58%. Menurut penelitian Uju et al. (2004), nilai derajat kecerahan bakso ikan layaran pada pencucian 1 kali adalah sebesar 86,31%. Perbedaan ini diduga karena adanya perbedaan jumlah komponen-komponen yang terlarut pada saat proses pencucian pada pembuatan surimi yang dapat mempengaruhi nilai derajat putih pada bakso ikan. Menurut Poernomo et al. (2006), pada saat proses pencucian dan pemerasan berlangsung, semua kotoran, lemak, darah dan protein sarkoplasma dapat terlarut bersama dengan air pencucian sehingga warna gel ikan semakin bersih dan putih. Nilai derajat putih bakso ikan layaran yang dihasilkan ini lebih tinggi dibandingkan dengan bakso ikan komersial 1, tetapi lebih rendah daripada bakso ikan komersial 2. Nilai derajat putih bakso ikan komersial 1 sebesar 61,17%, sedangkan bakso ikan komersial 2 sebesar 73,44%.

Tingginya nilai derajat putih pada bakso ikan komersial 2 daripada bakso ikan layaran yang dihasilkan diduga karena proses pencucian pada pembuatan surimi sebagai bahan bakunya lebih dari 1 kali pencucian. Semakin banyak frekuensi pencucian yang dilakukan, zat-zat yang terlarut tersebut akan semakin banyak dan mengakibatkan warna surimi akan semakin bersih dan semakin disukai panelis (Suzuki 1981). Adanya penambahan tepung tapioka yang juga dapat digunakan sebagai bahan pengisi dalam pembuatan bakso ikan dapat juga

(23)

berfungsi sebagai bahan pembantu pewarna putih (Radiyati dan Agusto 2008). Rendahnya nilai derajat putih pada bakso ikan komersial 1 diduga karena bakso ikan komersial 1 tidak menggunakan surimi sebagai bahan bakunya, melainkan menggunakan daging lumat ikan yang hanya dicuci terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan masih terdapatnya komponen-komponen yang dapat menghambat pembentukan warna putih pada bakso ikan yang dihasilkan. Menurut Suzuki (1981), proses pencucian dilakukan untuk mendapatkan warna putih dan untuk menghilangkan protein sarkoplasma yang mengganggu pembentukan gel.

4.6.2.3 Water holding capacity (WHC)

Daya mengikat air adalah kemampuan daging untuk mengikat air yang ada dalam bahan maupun yang ditambahkan selama proses pengolahan, atau kemampuan struktur bahan untuk menahan air bebas dari struktur tiga dimensi protein (Zayas 1997 diacu dalam Chairita 2008). Water Holding Capacity (WHC) atau daya mengikat air merupakan salah satu faktor yang berperan terhadap mutu bakso ikan, seperti tekstur, warna dan sifat sensori (Chairita 2008). Nilai WHC bakso ikan layaran dan bakso ikan komersial dapat dilihat pada Tabel 8.

Nilai WHC bakso ikan layaran yang diperoleh adalah sebesar 63,57%. Nilai WHC ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai WHC bakso ikan komersial 1 dan bakso ikan komersial 2 yaitu 63,28% dan 60,95%. Daya ikat air sangat dipengaruhi oleh kandungan air, protein dan penggunaan garam. Semakin tinggi kandungan protein maka akan semakin banyak air yang terikat dan mengakibatkan nilai WHC pun akan meningkat (Kramlich 1971 diacu dalam Granada 2011). Jumlah garam yang ditambahkan di dalam pembuatan emulsi daging berkisar anatar 1-5%. Semakin banyak garam yang digunakan maka dapat mengakibatkan tingginya daya mengikat air (Kramlich 1971 diacu dalam Poernomo et al. 1999). Hal ini dapat disebabkan karena garam dapat memperluas ruang antar filament dalam protein miofibril sehingga terjadi pengembangan diameter miofibril dan menyebabkan semakin banyaknya air yang diikat oleh protein miofibril tersebut (Ockerman 1983 diacu dalam Poernomo et al. 1999).

(24)

4.6.2.4 Uji lipat

Uji lipat merupakan salah satu pengujian sensori awal bertujuan untuk menentukan serta memastikan kekuatan gel dan elastisitas surimi oleh para panelis (Shaviklo 2006). Nilai rata-rata uji lipat bakso ikan layaran yang dihasilkan adalah 3 (grade B). Artinya sedikit retak bila dilipat satu kali. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Sekarwiyati (2000), bahwa bakso ikan layaran dengan surimi pada pencucian 1 kali menghasilkan nilai uji lipat sebesar 3 atau sedikit retak bila dilipat satu kali. Hasil ini masih tergolong cukup baik, karena menurut Lee (1984) hasil uji pelipatan dengan nilai 3 menunjukkan tingkat elastisitas yang cukup baik.Hasil uji lipat bakso ikan layaran ini lebih tinggi dari bakso ikan komersial 1 dengan nilai uji lipat sebesar 2 (grade C), artinya retak bila dilipat satu kali dan lebih kecil dari bakso ikan komersial 2 yaitu 4 (grade A), artinya tidak retak bila dilipat satu kali.

Menurunnya sifat kelarutan protein miofibril akibat adanya proses pencucian diduga dapat menyebabkan hanya sebagian protein yang terekstrak oleh garam. Miofibril sangat berperan dalam penggumpalan dan pembentukan gel pada daging ikan yang diolah (Erdiansyah 2006). Penurunan kelarutan protein terbukti pada saat penggilingan daging surimi dengan penambahan garam, pasta ikan yang terbentuk bergerombol sehingga mempersulit dalam percetakan. Kejadian tersebut menyebabkan adanya rongga-rongga udara yang dapat mempengaruhi nilai uji lipat bakso ikan layaran yang dhasilkan (Haryati 2001).

4.6.2.5 Uji gigit

Uji gigit merupakan salah satu pengujian sensori awal bertujuan untuk mengevaluasi resiliensi surimi oleh para panelis. Uji gigit dilakukan dengan cara menggigit bagian contoh yang memiliki ketebalan ± 5 mm dengan menggunakan gigi bagian depan dan dikonversikan ke dalam tabel yang telah disediakan (Shaviklo 2006). Berdasarkan Tabel 8, nilai rata-rata uji gigit pada bakso ikan layaran memiliki nilai sebesar 7, artinya agak kuat. Sedangkan bakso ikan komersial 1 adalah 5, artinya agak lunak dan uji gigit bakso ikan komersial 2 adalah 8, yang berarti kuat.

Uji gigit digunakan untuk mengukur tingkat elastisitas secara sensori, keelastisan ini berhubungan dengan kekuatan gel. Pencucian pada pembuatan

(25)

surimi dapat meningkatkan kekuatan gel sehingga diduga juga berpengaruh terhadap nilai uji gigit yang dihasilkan. Rendahnya nilai uji gigit bakso ikan komersial 1 dapat dikarenakan bahan baku yang digunakan berupa daging lumat ikan sehingga protein sarkoplasma masih terkandung dalam jumlah yang cukup banyak dan dapat menghambat pembentukan gel. Lebih tingginya nilai uji gigit bakso ikan komersial 2 dapat juga dikarenakan adanya penambahan gula. Gula berfungsi untuk memperbaiki sifat-sifat fisika makanan (Winarno 2008). Nilai uji gigit yang dihasilkan pada ketiga bakso ini masih berada pada kisaran uji gigit yang dapat diterima. Menurut Tan et al. (1987) diacu dalam Chairita (2008), melaporkan bahwa nilai kisaran yang dapat diterima terhadap uji gigit untuk produk-produk komersial ada pada kisaran nilai 5-6.

4.6.3 Karakteristik kimia

Analisis kimia yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat), analisis protein larut garam dan analisis nilai pH. Hasil analisis kimia bakso ikan hasil penelitian dan bakso ikan komersial dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Hasil analisis kimia bakso ikan Parameter Bakso ikan

Layaran Bakso ikan komersial 1 Bakso ikan komersial 2 Kadar air (%) 68,62±0,05 59,44±0,16 73,79±0,05 Kadar abu (%) 1,39±0,01 2,27±0,12 2,16±0,00 Kadar protein (%) 10,44±0,00 5,01±0,00 7,88±0,01 Kadar lemak (%) 0,59±0,01 4,02±0,13 0,84±0,02 Kadar karbohidrat (%) 18,91±0,01 29,24±0,09 15,32±0,01 PLG (%) 2,83±0,01 3,89±0,02 0,37±0,00 Nilai pH 5,60±0,02 5,62±0,02 6,62±0,01

Hasil analisis kimia pada Tabel 9 menunjukkan bahwa bakso ikan layaran hasil penelitian memiliki kadar air dan kadar protein yang lebih tinggi dari bakso ikan komersial 1 dengan nilai kadar abu, kadar lemak, kadar karbohidrat, protein larut garam dan nilai pH yang lebih rendah, sedangkan jika dibandingkan dengan bakso ikan komersial 2, bakso ikan layaran memiliki kadar protein, kadar karbohidrat dan protein larut garam yang lebih tinggi dengan kadar air, kadar abu, kadar lemak dan nilia pH yang lebih rendah.

(26)

4.6.3.1 Kadar air

Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Semua bahan makanan mengandung air dalam jumlah berbeda-beda, baik itu bahan makanan hewani maupun nabati. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran dan daya tahan bahan (Winarno 2008).

Nilai kadar air bakso ikan layaran dan bakso ikan komersial dapat dilihat pada Tabel 9. Nilai kadar air bakso ikan layaran hasil penelitian adalah 68,62%. Hasil ini lebih kecil dari hasil penelitian Uju et al. (2004) dengan nilai kadar air bakso ikan layaran pada surimi pencucian 1 kali sebesar 77,50%. Bakso ikan komersial 1 memiliki nilai kadar air sebesar 59,44% dan bakso ikan komersial 2 sebesar 73,79%. Menurut SNI 01-3819-1995, kadar air maksimal untuk bakso ikan yaitu 80%. Kadar air bakso ikan layaran hasil penelitian dan bakso ikan komersial masih berada pada batas maksimal SNI bakso ikan. Rendahnya nilai kadar air pada bakso ikan komersial 1 diduga disebabkan adanya perbedaan komposisi bahan-bahan yang digunakan. Kadar air pada bakso ikan dapat dipengaruhi oleh adanya penambahan pati dan garam. Bahan makanan yang mengandung pati tinggi umumnya mengalami penurunan kadar air. Penurunan kadar air akibat mekanisme interaksi pati dan protein sehingga air tidak dapat diikat secara sempurna karena ikatan hidrogen yang seharusnya mengikat air telah dipakai untuk interaksi pati dan protein ikan (Manullang et al. 1995). Menurut Brorgstrom (1965) diacu dalam Haryati (2001), adanya penggaraman dalam daging ikan mampu mendenaturasi larutan koloid protein sehingga terjadi koagulasi yang dapat membebaskan air.

4.6.3.2 Kadar abu

Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. Unsur mineral juga dikenal sebagai zat organik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat organiknya tidak, karena itulah yang disebut abu (Winarno 2008). Berdasarkan Tabel 9, nilai kadar abu bakso ikan layaran adalah sebesar 1,39%. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan kadar abu bakso ikan komersial 1 dan bakso ikan komersial 2 yaitu 2,27% dan 2,16%. Kadar abu dari

(27)

bakso ikan hasil penelitian dan kedua bakso ikan komersial masih berada pada batas persyaratan kadar abu bakso ikan menurut SNI 01-3819-1995, yaitu maksimal 3%.

Tingginya kadar abu bakso menunjukkan bahwa tingginya komponen-komponen yang tidak terlarut dalam bakso dan salah satunya adalah komponen-komponen anorganik atau mineral yang hasil pembakarannya disebut abu. Kandungan abu dapat berasal dari kandungan mineral makro atau zat organik pada ikan dan garam yang ditambahkan (Winarno 2008). Mineral yang tidak larut berasosiasi dengan protein, karena mineral terutama berasosiasi dengan bagian non lemak dan daging tak berlemak biasanya memiliki kandungan mineral atau abu yang tinggi. Abu yang terdapat dalam daging umumnya terdiri dari fosfor, kalsium, iron, magnesium, sulfur, sodium dan potassium (Rosa et al. 2007). Garam mempunyai unsur-unsur mineral seperti NaCl, MgCl, Na2SO4, CaCl2, KCl sehingga dapat meningkatkan kadar abu bahan pangan yang ditambahkan garam (Budiono 2010).

Tingginya kadar abu pada bakso ikan komersial 1 diduga karena bahan baku yang digunakan adalah daging lumat ikan dan tidak dilakukan proses pencucian seperti pencucian pada pembuatan surimi, sedangkan tingginya kadar abu bakso ikan komersial 2 diduga karena adanya penambahan bahan lain yang memiliki kandungan mineral yang tinggi. Hal ini dikarenakan dengan adanya proses pencucian seharusnya nilai kadar abu yang dihasilkan lebih rendah. Menurut Hendriawan (2002), semakin banyak pencucian maka garam-garam terlarut akan semakin banyak terbuang bersama air pencucian sehingga kadar abu yang dihasilkan semakin menurun.

4.6.3.3 Kadar Protein

Protein mempunyai kegunaan yang sangat penting dalam tubuh, diantaranya adalah pembongkaran molekul protein untuk mendapatkan energi atau unsur senyawa nitrogen atau sulfur untuk reaksi metabolisme lainnya (Buckle 1987). Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsure-unsur C, H, O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat (Winarno 2008).

Kadar protein bakso ikan layaran hasil penelitian adalah sebesar 10,44%. Hasil ini lebih tinggi dari hasil penelitian Uju et al. (2004) dengan kadar protein

(28)

bakso ikan layaran pada surimi pencucian 1 kali sebesar 9%. Kadar protein bakso ikan menurut SNI 01-3819-1995 adalah minimal 9%. Kadar protein bakso ikan layaran yang dihasilkan pada penelitian ini lebih tinggi dari batas minimal yang telah ditetapkan. Selain itu, bakso ikan layaran yang dihasilkan pada penelitian ini juga lebih tinggi dari kadar protein bakso ikan komersial 1 dan bakso ikan komersial 2 dengan masing-masing kadar protein sebesar 5,01% dan 7,88%.

Hal ini menunjukkan bahwa bakso ikan layaran ini mempunyai keunggulan yang lebih dibandingkan dengan bakso ikan komersial yang banyak di jual. Bakso ikan yang bermutu baik memiliki kandungan protein yang tinggi, karena protein merupakan zat makanan yang amat penting bagi tubuh, selain berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur tubuh (Winarno 1997). Tingginya kadar protein bakso ikan layaran ini diduga karena persentase daging surimi yang digunakan lebih tinggi daripada persentase jumlah tepung. Semakin banyak tepung yang digunakan maka jumlah daging ikan yang digunakan akan semakin sedikit, sehingga kadar protein akan semakin rendah karena daging ikan merupakan sumber protein yang lebih dominan dibandingkan dengan tepung.

4.6.3.4 Kadar lemak

Lemak merupakan pangan berenergi tinggi karena setiap gramnya mengandung lebih banyak energi daripada karbohidrat dan protein (Buckle 1987). Satu gram minyak atau lemak dapat menghasilkan 9 kkal, sedangkan karbohidrat dan protein menghasilkan 4 kkal/gram (Winarno 2008).

Nilai kadar lemak bakso ikan layaran dan bakso ikan komersial dapat dilihat pada Tabel 9. Nilai kadar lemak bakso ikan layaran yang diperoleh adalah sebesar 0,59%, sedangkan bakso ikan komersial 1 sebesar 4,02% dan bakso ikan

komersial 2 sebesar 0,84%. Nilai maksimal kadar lemak bakso ikan menurut SNI 01-3819-1995 adalah maksimal 1,0%. Nilai kadar lemak bakso ikan layaran

dari bahan baku surimi pencucian 1 kali dan bakso ikan komersial 2 masih berada dibawah nilai maksimal kadar lemak bakso ikan yang telah ditetapkan, sedangkan nilai kadar lemak bakso ikan komersial 1 sudah melebihi batas maksimal kadar lemak bakso ikan yang sudah ditetapkan. Tingginya kadar lemak bakso ikan komersial 1 dapat dipengaruhi oleh kandungan lemak pada daging lumat ikan

(29)

yang digunakan. Daging lumat ikan yang tidak diberikan perlakuan pencucian akan menghasilkan kadar lemak yang tinggi. Menurut Kaba (2006), proses pencucian dapat menghilangkan komponen-komponen pengganggu, seperti darah, lemak dan substansi lainnya.

4.6.3.5 Kadar karbohidrat

Karbohidrat mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, seperti rasa, warna, tekstur dan lain-lain. Kadar karbohidrat merupakan komponen penyusun terbesar setelah protein. Karbohidrat berfungsi untuk mencegah terjadinya pemecahan protein yang berlebih, kehilangan mineral dan membantu metabolism lemak dan protein (Winarno 2008).

Kadar karbohidrat bakso ikan layaran dan bakso komersial dapat dilihat pada Tabel 9. Nilai kadar karbohidrat bakso ikan layaran adalah sebesar 18,91%. Nilai tersebut lebih rendah dari bakso ikan komersial 1 yaitu 29,24% dan lebih tinggi dari bakso ikan komersial 2 yaitu 15,32%. Tingginya kadar karbohidrat pada bakso ikan dapat disebabkan karena adanya penambahan pati yang berfungsi sebagai bahan pengisi dalam pembuatan bakso ikan. Bahan pengisi ini mempunyai kandungan protein rendah, sedangkan kandungan karbohidrat tinggi. Bahan pengisi yang digunakan dalam pembuatan bakso pada umumnya adalah tepung tapioka. Tepung tapioka ini memiliki kandungan karbohidrat sebesar 86,9% (Departemen RI 1979 diacu dalam Haryanto dan Pangloli 1992). Menurut Usmiati (2009), semakin banyak tapioka yang ditambahkan maka kandungan karbohidrat akan semakin tinggi. Selain itu, dapat juga dikarenakan kadar karbohidrat diuji dengan metode by difference melalui perhitungan dengan cara pengurangan 100% dengan total rata-rata komponen lain (air, abu, protein dan lemak) (Winarno 2008).

4.6.3.6 Protein Larut Garam (PLG)

Protein larut garam adalah protein miofibril yang terdiri dari aktin, miosin dan protein regulasi (tropomiosin, troponin dan aktinin). Pengukuran jumlah protein larut garam dilakukan untuk mengetahui kandungan protein miofibril dalam surimi yang berperan dalam pembentukan gel yang diakibatkan oleh terjadinya agregasi antara aktin dan miosin pada saat diekstrak (Suzuki 1981).

(30)

Nilai kadar protein larut garam (PLG) pada bakso ikan layaran dan bakso ikan komersial dapat dilihat pada Tabel 9.

Nilai protein larut garam bakso ikan layaran hasil penelitian adalah 2,83%. Hasil ini lebih kecil dari nilai protein larut garam yang dihasilkan pada bakso ikan komersial 1 yaitu sebesar 3,89%, tetapi lebih besar dari bakso ikan komersial 2 yaitu sebesar 0,37%. Rendahnya nilai kadar protein larut garam pada bakso ikan komersial 2 diduga karena proses pencucian yang dilakukan dalam pembuatan suriminya dilakukan secara berulang-ulang sehingga protein miofibril menjadi ikut terlarut dalam air pencucian. Sedangkan tingginya nilai kadar protein larut garam pada bakso ikan komersial 2 diduga karena bahan baku yang digunakan berupa daging lumat sehingga kandungan protein miofibril masih cukup banyak. Menurut Lin dan Park (1996), protein miofibril dapat terlarut karena degradasi miosin dan dapat hilang dengan pencucian yang berulang-ulang.

4.6.3.7 Nilai pH

Pengukuran nilai pH bertujuan untuk mengetahui sifat suatu produk pangan apakah bersifat asam, netral atau basa. Derajat keasaman atau pH merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kekuatan gel. Gel yang elastis tidak dapat dibentuk jika daging ikan berada pada kisaran di luar pH 6-8 (Shimizu et al. 1992).

Nilai pH bakso ikan layaran adalah 5,60, sedangkan bakso ikan komersial 1 sebesar 5,62 dan bakso ikan komersial 2 sebesar 6,62. Rendahnya nilai pH bakso ikan layaran diduga disebabkan oleh adanya formulasi bahan-bahan selain daging yang mempunyai pH rendah. Nilai pH juga dapat dipengaruhi oleh kondisi awal bahan baku yang erat kaitannya dengan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai pH seperti kesegaran ikan, metode penangkapan ikan, musim, spesies ikan dan tipe bakteri yang tumbuh (Haryati 2001). Ikan layaran yang digunakan termasuk ikan berdaging merah yang memliki nilai pH rendah. Menurut Shimizu et al. (1992), ikan berdaging merah pada umumnya memiliki pH yang rendah hingga mencapai pH 5,6-5,8. Hal inilah yang diduga dapat mempengaruhi nilai pH pada bakso ikan yang dihasilkan.

Gambar

Gambar 8 Rendemen ikan layaran (Istiophorus sp.)
Tabel 4 Hasil analisis sensori gel ikan layaran (Istiophorus sp.)
Tabel 7 Hasil analisis sensori bakso ikan   Parameter  Bakso ikan
Tabel 9 Hasil analisis kimia bakso ikan   Parameter  Bakso ikan

Referensi

Dokumen terkait

Tulisan ini bertujuan ingin memahami pola pembelajaran karakter di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pamekasan. Peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif. Sedangkan

Motif prososial yang ada dalam diri mahasiswa Program Studi Keperawatan akan berguna bagi profesi yang ditekuninya kelak yaitu menjadi seorang perawat

Menambahkan dan mengubah posisi objek untuk merepresentasikan konsep Pemrograman berorientasi objek 3.1.1 Menanimasikan konsep pemrograman berorientasi objek dengan

Qur’an(Studi Komparatif Pada MIN Demangan dan Griya Al Qur’an Madiun). Ponorogo: Pendidikan Agama Islam Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 2017. Penelitian

Latihan yang di- berikan untuk meningkatkan power tungkai pe- silat remaja dengan bentuk latihan pliometrik dimana beban yang diberikan berasal dari be- ban dalam

Hasil yang diharapkan Hasil Pengujian Ket. 1 Mengosongkan nama kategori, lalu mengklik tombol ‘Simpan’ Data kategori: Sistem akan menampilkan pesan “Please select

Hal ini dikarenakan dengan penggoyangan Temperatur dalam pendingin lebih merata dan Temperatur didalam box aluminium(tempat ikan) dengan Temperatur didalam pendingin

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan masukan bagi kepala Organisasi Perangkat daerah (OPD) di kabupaten Wonogiri dalam memahami Pengaruh