• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membangun Karakter Remaja Melalui Nilai Budaya Saprahan Di Desa Sengawang Kabupaten Sambas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Membangun Karakter Remaja Melalui Nilai Budaya Saprahan Di Desa Sengawang Kabupaten Sambas"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Izhar Salim , Daniel, Agus Purwanto, Rino| 66

Membangun Karakter Remaja Melalui Nilai Budaya Saprahan Di Desa

Sengawang Kabupaten Sambas

Izhar Salim1, Daniel2, Agus Purwanto3, Rino4

1234

Prodi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan, Universitas Tanjungpura Pontianak

izhar.salim@fkip.untan.ac.id1, daniel18@student.untan.ac.id2

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai karakter yang terdapat di dalam budaya saprahan, terutama dalam membangun karakter remaja yang ada di Desa Sengawang, Kecamatan Teluk Keramat, Kabupaten Sambas. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif deskriptif dalam menggambarkan kondisi saprahan yang dilaksanakan di desa Sengawang, kabupaten Sambas, serta mengobservasi dan mewawancarai masyarakat setempat. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu observasi dan dokuentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat nilai karakter yang terkandung dalam budaya Saprahan diantaranya religius, tanggung jawab, demokrasi, dan peduli sosial, serta diharapkan budaya Saprahan ini dapat menjadikan remaja sebagai individu yang memiliki karakter agar terciptanya lingkungan masyarakat yang sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di lingkungan setempat, hingga budaya Saprahan dapat dijadikan sebagai kearifan lokal yang perlu dilestarikan agar terjaga keberadaan budaya ini.

Kata Kunci: Budaya; Saprahan; Nilai Karakter

ABSTRACT

This study aims to describe the character values contained in the Saprahan culture, especially in building the character of teenagers in Sengawang Village, Teluk Keramat District, Sambas Regency. This study uses a descriptive qualitative approach in describing the conditions of the saprahan carried out in Sengawang village, Sambas district, as well as observing and interviewing the local community. Data collection techniques used are observation and documentation. The results of the study indicate that there are character values contained in the Saprahan culture including religious, responsibility, democracy, and social care, and it is hoped that this Saprahan culture can make adolescents as individuals who have character in order to create a community environment that is in accordance with the norms and rules that apply in the community. the local environment, until the Saprahan culture can be used as local wisdom that needs to be preserved in order to maintain the existence of this culture.

Keywords: Culture; Saprahan; Character Value

PENDAHULUAN

Budaya merupakan suatu hal yang selalu berubah serta dapat berkembang mengikuti perubahan zaman yang ada, dikarenakan budaya dibangun dan direkontruksi oleh setiap individu atau manusia (Larasati, 2018), salah satunya di Indonesia, bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki keberagamanan dan aneka budaya yang ada, serta memiliki keberagaman suku bangsa dimana setiap suku bangsa yang ada terdapat perbedaan dan memiliki ciri khas masing-masing yang terdapat dalam setiap bahasa daerahnya, adat istiadat, kebiasaan, dan hal lainnya yang memperkaya keanekaragaman dari budaya tersebut (Prayogi & Danial, 2016). Budaya juga dimaksudkan sebagai susunan yang sudah terintegrasi dengan perilaku manusia seperti

(2)

Izhar Salim , Daniel, Agus Purwanto, Rino| 67

perkataan, perbuatan, dan pikiran serta bergantung kepada setiap kapasitas yang ada di dalam setiap individu untuk menyimak serta meneruskan pengetahuannya kepada generasi selanjutnya (Sumarto, 2019), yang tujuannya menjadikan setiap masyarakat yang ada memiiki aturan, pengarah, pengendalian di dalam melaksanakan atau tidak melaksanakan suatu tindakan atau kegiatan tertentu (Triyanto, 2018).

Budaya merupakan suatu cara hidup, ataupun warisan sosial yang didapat dari setiap individu dari dalam kelompoknya, dan menjadikan suatu kebiasaan yang sudah terpola dengan baik, serta secara fungsional, hal ini saling terkait antara individu yang satu dengan individu yang lain yang membentuk suatu kelompok lebih luas atau kategori sosial tertentu (Mahdayeni et al., 2019). Dari hal tersebut, sudah seharusnya budaya perlu dilestarikan. Indonesia yang memiliki kenaekaragaman budaya tersebut, sudah seharusnya hal tersebut dijadikan sebagai motivasi dan perlu dibanggakan serta menjadikan tantangan bagi masyarakat di Indonesia agar tetap mempertahankan dan mewarisi setiap budaya yang ada hingga ke generasi yang selanjutnya (Ermawan, 2017). Namun, seiring perubahan dan perkembangan zaman saat ini, nilai budaya yang ada mulai bergeser sedikit demi sedikit (Nismawati & Nugroho, 2021). Kebudayaan di Indonesia saat ini sudah banyak mengalami perubahan, hal ini diakibatkan karena faktor dari masyarakat itu sendiri yang menginginkan adanya suatu perubahan dan perubahan tersebut terjadi sangat pesat dikarenakan adanya unsur globalisasi yang sudah masuk ke dalam budaya di Indonesia (Nahak, 2019).

Globalisasi dapat diartikan sebagai percepatan yang cakupannya menyangkut seluruh dunia, sehingga menyebabkan setuap budaya antar bangsa seakan-akan menjadi hilang (Estuningtyas, 2018). Di era ini juga terjadi proses kebudayaan yang ditunjukkan melalui kecenderungan yang menjadi sama di dalam sosial maupun budaya (Hasni et al., 2021). Selain itu, dalam perkembangan globalisasi, dimana perkembangan yang sangat pesat saat ini menyebabkan masalah yang kompleks, terutama di dalam bidang kebudayaan, seperti lunturnya budaya-budaya asli dari suatu negara ataupun suatu wilayah, menurunnya rasa percaya diri akan budaya sendiri, dan terjadinya pengikisan nilai budaya yang ada, sehingga menyebabkan perubahan yang signifikan menuju destruksi (Surahman, 2016). Perubahan yang terjadi khususnya terhadap remaja dapat dilihat kepada unsur kebudayaan, bahwa perubahan ini dapat dikatakan sebagai perubahan perilaku yang dapat dilakukan dengan mudah seperti dalam hal berkomunikasi, berpakaian, makan, dan masuk identitas budaya seseorang. Seakan-akan remaja tersebut lupa akan budayanya sendiri, dan lebih senang menerapkan kebudayaan asing dalam kehidupan sehari-hari (Nurrizka, 2016). Apabila setiap masyarakat yang ada tidak mampu dalam menghadapi perkembangan globalisasi yang menyebabkan degradasi, maka hal ini akan berakibat pada lunturnya nilai semangat, serta menghambat pembangunan dan pengembangan dalam suatu bangsa dan negara (Tapung, 2016).

Mengatasi permasalahan globalisasi, bahwa pentingnya cara alternatif dalam mengatasi dampak negatif dari globalisasi yaitu melalui pengembangan nilai-nilai karakter berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal (Putri, 2020). Kearifan lokal yaitu suatu bentuk yang didasari dengan nilai-nilai kebaikan sehingga dipercaya dan diterapkan serta dijaga keberlangsungannya di dalam rentang waktu yang lumayan lama serta telah menjadi suatu kebiasaan turun-temurun oleh sekelompok orang di dalam lingkungan atau wilayah tertentu yang telah menjadi tempat tinggal kelompok tersebut serta dipandang dengan memiliki nilai serta memiliki manfaat yang tersendiri di dalam kehidupan masyarakat (Njatrijani, 2018), dan kearifan lokal tidak hanya berlaku secara lokal saja, dan hal ini bersifat lintas budaya yang menyebabkan terbentuknya nilai-nilai budaya yang

(3)

Izhar Salim , Daniel, Agus Purwanto, Rino| 68

sifat dan cakupannya nasional (Affandy, 2017). Kearifan lokal juga termasuk sebagai suatu nilai, dimana nilai tersebut melekat dan sudah ada di dalam lingkungan masyarakat melalui proses yang begitu kompleks dan durasi yang lama, sehingga nilai tersebut dapat menciptakan pola kehidupan yang seimbang di dalam kehidupan masyarakat dan menciptakan kesejahteraan yang ada di dalam masyarakat (Daniah, 2016). Salah satu kearifan lokal yang ada dan menjadi ciri khas di daerah Sambas yaitu budaya Saprahan.

Saprahan merupakan asal kata “Saprah” yang berarti berhampar yakni dapat diartikan sebagai budaya makan secara bersama. Dalam tradisi ini memiliki suatu tata cara pelaksanaan tradisi yang telah diwariskan secara turun-temurun salah satunya tata cara duduknya yang bersila di atas lantai secara berkelompok yang terdapat enam orang di dalam satu kelompoknya. Angka enam di dalam satu kelompok disimbolkan sebagai rukun Iman yang jumlahnya sebanyak enam (Martijo & Juniardi, 2021), dan tradisi ini lazimnya dilaksanakan di setiap acara-acara atau kegiatan seperti pernikahan atau pelaksanaan adat lainnya (Putri, 2019). Dalam saprahan, semua makanan diatur dan disusun dengan baik di atas kain Saprah yang berwarna putih atau kuning. Lambang warna putih dan kuning adalah simbol warna Melayu yang artinya kesucian terkait dengan warna putih dan kehormatan terkait dengan warna kuning. Lauknya yang berjumlah lima memiliki arti sebagai rukun Islam. Terdapat juga dua sendok dalam mengambil lauk tersebut dan diartikan sebagai simbol dua kalimat syahadat (Martijo & Juniardi, 2021). Meskipun tradisi ini dilakukan dengan proses yang durasinya lumayan lama dan masyarakat luar memandang tradisi ini rumit untuk dilaksanakan, tetapi bagi masyarakat terutama etnik Melayu di Kalimantan Barat, tradisi ini sudah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari (Wahab et al., 2020).

Dalam hal ini, terdapat nilai-nilai karakter yang terkandung dari budaya saprahan ini, dimana karakter merupakan salah satu hal yang penting dan tidak lepas dengan nilai dan norma yang sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari (Samrin, 2016), sehingga budaya saprahan ini menjadi sangat penting untuk dilestarikan agar keberadaannya di dalam masyarakat tetap ada. Oleh sebab itu, hal ini sudah seharusnya dilakukan agar generasi khususnya generasi muda tetap memiliki identitas sebagai sebuah bangsa di tengah arus budaya global saat ini yang terjadi (Martijo & Juniardi, 2021). Berdasarkan pemaparan diatas, maka peneliti melakukan penelitian dalam melihat nilai karakter yang terkandung dalam budaya saprahan ini, dan nilai yang terdapat dalam budaya saprahan ini diharapkan dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari guna menciptakan masyarakat yang sesuai dengan norma dan nilai positif yang sudah disepakati bersama-sama.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif, bahwa metode penelitian kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2019), serta metode ini diharapkan dapat menggambarkan kepada peneliti untuk meneliti setiap obyek yang alamiah, serta peneliti dijadikan sebagai instrumen kunci (Sugiyono, 2016). Teknik pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini yaitu observasi, yaitu dengan cara melakukan pengamatan secara langsung di lapangan sesuai dengan obyek yang diteliti. Dokumentasi yang digunakan yaitu dengan kajian literatur/kepustakaan, dokumen, dan sumber tertulis lainnya yang memiliki kaitan dengan kebutuhan data dan informasi pada penelitian ini. Penelitian ini mengambil lokasi pada

(4)

Izhar Salim , Daniel, Agus Purwanto, Rino| 69

Desa Sengawang, Kecamatan Teluk Keramat, Kabupaten Sambas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Budaya Saprahan di Desa Sengawang Kabupaten Sambas

Budaya Saprahan sudah menjadi budaya yang sudah dilaksanakan turun-temurun dan masih terjaga kelestariannya, serta sangat penting dilakukan khususnya di masyarakat Sambas, hingga hal inilah yang menyebabkan peran tokoh masyarakat sangat penting dalam melakukan edukasi hingga pemahaman terkait pelaksanaan budaya Saprahan mengenai nilai-nilai kebudayaan dan karakter yang terkandung dalam budaya Saprahan (Saputra, 2019). Kondisi budaya Saprahan sangat penting untuk diperhatikan terutama dalam era globalisasi agar budaya Saprahan ini boleh dilestarikan sampai seterusnya.

Gambar 1. Terlihat Bapak-bapak yang menjadi seksi Petadang sedang mempersiapkan lauk-pauk sebelum diangkat ke emper-emper atau tempat

penyajian lauk-pauk

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2021)

Berdasarkan gambar diatas terlihat bapak-bapak yang sedang mempersiapkan lauk-pauk pada seksi petadang. Seksi Petadang merupakan salah satu seksi petugas pernikahan adat melayu sambas yang bertugas dalam memastikan cukupnya nasi untuk para tamu, selain itu ditambah lagi dengan membantu Seksi Bemasak dalam menyediakan lauk-pauk yang jumlah cukup banyak biasa hingga 5-6 jenis lauk-pauk, biasanya juga terkadang sampai 7 jenis lauk-pauk tergantung dari besar kecilnya jumlah saprahan yang dibuat.

(5)

Izhar Salim , Daniel, Agus Purwanto, Rino| 70

Gambar 2. Bapak-bapak sedang menata lauk-pauk di Emper-emper (Tempat Penyajian Lauk Pauk) sebelum diantar kepada para tamu diacara

pernikahan

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2021)

Berdasarkan gambar diatas, terlihat bapak-bapak sedang menata lauk-pauk di Emper-emper sebelum dibawa kepada para tamu undangan. Emper-emper merupakan tempat penyajian lauk-pauk sebelum diangkat ke tarub atau rumah tempat para tamu undangan. Penataan diatas Emper-emper biasanya hanya khusus dilakukan oleh bapak-bapak saja. Emper-emper biasanya terbuat dari bambu atau papan yang di bentuk menjadi meja atau hanya di letakkan di teras rumah tetangga.

Gambar 3. seorang Bapak yang menjadi seksi air minum sedang menuangkan air kedalam gelas yang telah disusun diatas Redang

(nampan)

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2021)

Berdasarkan gambar diatas, terlihat seorang bapak yang menjadi Seksi Air Minum sedang menuangkan air kedalam gelas sebelum dibawa oleh Penyurung (pengangkat saprahan). Seksi Air Minum biasanya hanya dilakukan oleh 1 orang saja dan khusus dilakukan oleh Bapak-bapak.

Gambar 4. Para remaja dan bapak-bapak sedang mengangkat saprahan pada seksi Pesurung atau pengangkutan Saprahan dari Emper-emper ke

tarub dan kerumah tempat tamu acara pernikahan (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2021)

Berdasarkan gambar diatas, terlihat para remaja dan bapak-bapak sedang mengankat saprahan pada Seksi Pesurung. Seksi Pesurung memiliki tugas dalam

(6)

Izhar Salim , Daniel, Agus Purwanto, Rino| 71

mengangkat Baki besar yang isinya lauk-pauk untuk diantar ke dalam tarub sekaligus pengatur saprahan dimajelis tarub. Seksi Pesurung biasanya dilakukan oleh para remaja atau bapak-bapak yang sudah ditentukan orang-orangnya jauh-jauh hari sebelum acara dimulai. Biasanya yang diangkat oleh petugas pesurung ada empat macam, yaitu saprahan, nasi, pingan (piring) dan air minum.

Gambar 5. Para tamu undangan perempuan sedang menikmati hidangan lauk-pauk bersaprah ditarub

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2021)

Berdasarkan gambar diatas, terlihat para tamu undangan perempuan sedang berkumpul ditarub untuk menikmati hidangan lauk-pauk saprahan yang sudah disajikan oleh Seksi Besurung. Pada sesi makan-makan ini di bagi menjadi dua tempat yaitu tarub laki-laki dan perempuan.

Gambar 6. Para tamu undangan laki-laki sedang membaca zikir albarzanji

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2021)

Berdasarkan gambar diatas, terlihat para tamu undangan laki-laki sedang membaca

Zikir Albarzanji. Kitab Albarzanji merupakan seni kasidah yang berisi tentang

pujian-pujian terhadap nabi Muhammad SAW, yang dilantuntan dengan irama tertentu didalam majelis tarub pada saat pesta pernikahan. Biasanya para tamu undangan ini di hadiri oleh orang-orang penting, seperti Kepala Desa, Kepala Dusun, DPRD, Bupati, Pak Haji, Pak RT, Pak RW, Dan Lain Sebagainya.

(7)

Izhar Salim , Daniel, Agus Purwanto, Rino| 72

Gambar 7. Para petugas pada seksi Bebasok sedang mencuci piring (Pingan) sisa makan tamu undangan acara nikahan

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2021)

Berdasarkan gambar diatas, terlihat para petugas Seksi Bebasok sedang mencuci piring (Pinggan). Seksi Bebasok merupakan seksi dimana petugas bertugas untuk mencuci piring saprahan apabila para tamu undangan selesai menyantap hidangan lauk-pauk. Biasanya seksi bebasok tidak di bedakan laki-laki maupun perempuan, kecil atau besar, anak perjaka (orang bujang) atau anak gadis (anak dare) yang penting piring atau pinggan bisa bersih saja, itu sudah cukup. Hal itu merupakan tujuan utama diperlukannya petugas

Seksi Bebasok ini.

B. Nilai karakter yang terkandung dalam budaya Saprahan

1. Religius

Budaya saprahan sangat erat akan nilai-nilai religious yang terkandung didalamnya, terlebih dengan nuansa islam, seperti proses didalam saprahan yaitu pembacaan zikir nazam albarzanji. Pembacaan zikir nazam albarzanji merupakan seni kasidah yang berisi tentang pujian-pujian terhadap nabi Muhammad SAW, yang dilantuntan dengan irama tertentu didalam majelis tarub pada saat pesta pernikahan.

Pembacaan zikir nazam albarzanji pada budaya saprahan wajib untuk dilakukan dan biasanya di baca atau dibawakan oleh orang-orang tua di kampung seperti pada acara sunatan, tempung tawar, khitanan, dan pernikahan. Pada acara pernikahan di Desa Sengawang Kabupaten Sambas juga membaca zikir albarzanji. Pada pembacaan zikir nazam albarzanji mengandung nilai pendidikan karakter yang sangat berpengaruh pada remaja khususnya remaja Desa Sengawang Kabupaten Sambas, hal ini dapat terlihat dengan adanya pembacaan zikir nazam albarzanji pada saprahan di acara pernikahan membuat para remaja menjadi selalu teringat kepada allah, cinta kepada rasulnya, maupun dengan manusia melalui silahturahmi dengan masyarakat.

Dengan membaca atau mendengarkan lantunan ayat demi ayatnya membuat remaja menjadi pribadi yang taat. Meskipun pada acara-acara saprahan yang membacanya orang-orang tua saja namun pesan atau motivasi didalamnya sangat berkesan kepada para remaja-remaja yang mendengarnya khususnya yang ada di Desa Sengawang Kabupaten Sambas.

2. Tanggung Jawab

Budaya saprahan tidak terlepas dari sistem pembagian tugas kerja. Biasanya pada pembagian tugas ini dilakukan jauh-jauh hari sebelum hari pernikahan atau khitanan dilaksanakan, serta pada pembagian kerja tersebut pasti ada seorang pemimpin atau orang yang dituakan untuk mengarahkan kerja.

(8)

Keilmuan Sosiologi Pendidikan Vol. 8, Nomor 2, Juli 2021

Izhar Salim , Daniel, Agus Purwanto, Rino| 73

saprahan pernikahan khususnya semua masyarakat kampung akan dilibatkan didalamnya baik itu laki-laki atau perempuan, yang tua ataupun yang muda. Jika sudah mendapatkan tugasnya masing-masing maka semua yang berpartisipasi harus bisa memegang tanggung jawab atau amanah dari tuan rumah kepada mereka. Hal ini bukan hanya dirasakan oleh orang tua namun juga dirasakan oleh para remaja di desa sengawang kabupaten sambas yang dilibatkan didalamnya. Mereka harus memegang tanggung jawab masing-masing, misalnya ada yang menjadi seksi pesurung, membuat tarub, membuat pentas band, dan lain sebagainya. Dari acara-acara tersebut membuat nilai karakter pada remaja akan muncul dengan sendirinya, serta membuat para remaja memiliki pribadi yang penuh tanggung jawab dan konsisten didalam bertindak. Terbukti dengan adanya para remaja atau karang taruna di Desa Sengawang yang memiliki semangat dan etos membantu yang tinggi, dan ketika diamanahkan sesuatu tanggung jawab semuanya akan memegangnya dengan sepenuh hati. Tidak ada yang pilih-pilih akan tugas yang mereka emban semua terlihat sama dan harus di selesaikan dengan bersama-sama atau kerjasama.

3. Demokrasi

Kelompok sosial sangat erat kaitannya dengan pembagian struktur-struktur kelompok. Hal ini sangat dirasakan pada acara budaya saprahan pada pernikahan di Desa Sengawang Kabupaten Sambas. Para masyaratnya jauh-jauh hari sebelum hari pernikahan sudah mengadakan rapat (malam rapat) atau pertemuan untuk melakukan pembagian ranah kerja atau siapa yang menjadi pemimpin didalam setiap bagian-bagian rangakian acara nya.

Bukan hanya orang-orang tua saja yang terlibat, remaja juga dilibatkan didalam menyukseskan acara ini. Biasanya remaja yang tergabung ke dalam karang taruna ikut membantu atau meringankan beban para orang tua yang menjadi seksi-seksi pada acara tersebut. Hal ini membuat remaja memiliki sikap pemimpin, dewasa, tenang, mau bekerja sama, dan saling menurunkan ego masing-masing. Karena pada karakter pribadinya sudah terbentuk nilai-nilai demokrasi dari kebiasaan yang dilakukan ketika akan berpartisipasi pada acara saprahan. Dan juga bukan hanya terhenti pada ketika ada acara saja tetapi akan menjadi kebiasaan dalam kegidupan sehari-hari.

4. Peduli Sosial

Masyarakat melayu sambas masih memiliki sistem gotong royong dan semangat saling membantu yang masih tinggi. Ini terlihat ketika ada acara pernikahan. Masyarakat saling membantu, saling bekerja sama dalam menyukseskan acara pernikahan tersebut. Hal ini juga dilaksanakan oleh masyarakat Desa Sengawang Kabupaten Sambas.

Pada saat acara pernikahan, masyarakat Desa Sengawang saling bahu-membahu membantutun rumah yang menyelenggrakan acara pernikahan. Tak terkecuali para remaja dan pemuda Desa Sengawang. Antara masyarakat tua dan remaja sudah terbagi tugas yang jelas. Di Desa Sengawang sendiri, para remaja dan pemuda mendapat tugas sebagai seksi penyurung dan seksi angkat saprahan. Hal ini bertujuan agar para remaja terlatihkan terbiasa untuk peka dan peduli dengan apa yang dilakukan di desa mereka.

PENUTUP

Saprahan merupakan adat istiadat yang sudah dilakukan secara turun temurun dan dilakukan dengan sekelompok masyarakat yang ada di lingkungan tersebut. Nilai yang terkandung dalam budaya Saprahan merupakan nilai karakter yang dimana nilai karakter ini sangat penting, terutama dalam kehidupan bermasayarakat sehari-hari, karena nilai

(9)

Izhar Salim , Daniel, Agus Purwanto, Rino| 74

karakter yang ada dalam budaya Saprahan dapat melahirkan suatu sikap yang sesuai dengan norma, baik norma sosial, agama, hingga adat-istiadat yang sudah dilestarikan turun-temurun.

DAFTAR PUSTAKA

Affandy, S. (2017). Penanaman nilai-nilai kearifan lokal dalam meningkatkan perilaku keberagaman peserta didik. Jurnal Atthulab, 2(2), 192–207.

Daniah. (2016). Kearifan lokal (local wisdom) sebagai basis pendidikan karakter. Pionir:

Jurnal Pendidikan, 5(2).

Ermawan, D. (2017). Pengaruh globalisasi terhadap eksistensi kebudayaan daerah di Indonesia. Jurnal Kajian Lemhannas RI, 32, 5–12.

Estuningtyas, R. D. (2018). Dampak globalisasi pada politik, ekonomi, cara berfikir dan ideologi serta tantangan dakwahnya. Jurnal An-Munzir, 2.

Hasni, Nur, M. I., Fauziah, N., & Purwanto, A. (2021). Dilema identitas kebudayaan dalam tradisi ma’tinggoro tedong ala suku Toraja di era turisfikasi. Jurnal Sosialisasi, 8(1), 7–15.

Larasati, D. (2018). Globalisasi budaya dan identitas: pengaruh dan eksistensi hallyu (KoreanWave) versus westernisasi di Indonesia. Jurnal Hubungan Internasional,

9(1), 109–120.

Mahdayeni, Alhaddad, M. R., & Saleh, A. S. (2019). Manusia dan kebudayaan (manusia dan sejarah kebudayaan, manusia dalam keanekaragaman budaya dan peradaban, manusia, dan sumber penghidupan). Tadbir: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam,

7(2), 154–165.

Martijo, E. R., & Juniardi, K. (2021). Urgensi penanaman nilai-nilai budaya berbasis tradisi saprahan dalam pembelajaran sejarah lokal di Kota Pontianak. Swadesi: Jurnal

Pendidikan Dan Ilmu Sejarah, 11(1), 59–73.

Moleong, L. J. (2019). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). PT. Remaja Rosda

Karya.

Nahak, H. M. I. (2019). Upaya melestarikan budaya Indonesia di era globalisasi. Jurnal

Sosiologi Nusantara, 5(1), 65–76.

Nismawati, & Nugroho, C. (2021). Pelestarian akulturasi adaptasi budaya mapalus daerah Minahasa Sulawesi Utara. Jurnal Sosialisasi, 8(1), 45–52.

Njatrijani, R. (2018). Kearifan lokal dalam perspektif budaya kota Semarang. Gema

Keadilan, 5(1), 16–31.

Nurrizka, A. F. (2016). Peran Media Sosial di Era Globalisasi Pada Remaja di Surakarta Suatu Kajian Teoritis dan Praktis Terhadap Remaja dalam Perspektif Perubahan Sosial. Jurnal Analisa Sosiologi, 5(1), 28–37.

Prayogi, R., & Danial, E. (2016). Pergeseran nilai-nilai budaya pada suku Bonai sebagai Civic Culture di kecamatan Bonai Darussalam kabupaten Rokan Hulu provinsi Riau.

Jurnal Humanika, 23(1), 61–79.

Putri, A. E. (2019). Analisis kebutuhan bahan ajar berbasis literasi digital nilai-nilai kearifan lokal pada tradisi saprahan di Pontianak. Yupa: Historical Studies Journal,

3(1), 1–7.

Putri, A. E. (2020). Analisis Kebutuhan Bahan Ajar Berbasis Literasi Digital Nilai-Nilai Kearifan Lokal pada Tradisi Saprahan di Pontianak. Yupa: Historical Studies Journal,

3(1), 1–7. https://doi.org/10.30872/yupa.v3i1.132

Samrin. (2016). Pendidikan karakter (sebuah pendekatan nilai). Jurnal Al-Ta’dib, 9(1), 120–143.

(10)

Izhar Salim , Daniel, Agus Purwanto, Rino| 75

Saputra, L. (2019). Peran tokoh masyarakat dalam melestarikan tradisi saprahan di desa Pusaka kecamatan Tebas. Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran Khatulistiwa, 8(9). Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta.

Sumarto. (2019). Budaya, pemahaman dan penerapannya “aspek sistem religi, bahasa, pengetahuan, sosial, kesenian, dan teknologi.” Jurnal Literasiologi, 1(2), 144–159. Surahman, S. (2016). Determinisme teknologi komunikasi dan globalisasi media terhadap

seni budaya Indonesia. Jurnal Rekam, 12(1), 31–42.

Tapung, M. M. (2016). Pendidikan multikultural dan relevansinya bagi penguatan nasionalisme bangsa Indonesia. Jurnal Wawasan Kesehatan, 1(1), 60–87.

Triyanto. (2018). Pendekatan kebudayaan dalam penelitian pendidikan seni. Jurnal

Imajinasi, 12(1), 65–76.

Wahab, Erwin, & Purwanti, N. (2020). Budaya saprahan melayu sambas: asal usul, prosesi, properti dan pendidikan akhlak. Arfannur: Journal of Islamic Education,

Gambar

Gambar 1. Terlihat Bapak-bapak yang menjadi seksi Petadang sedang  mempersiapkan lauk-pauk sebelum diangkat ke emper-emper atau tempat
Gambar 2. Bapak-bapak sedang menata lauk-pauk di Emper-emper  (Tempat Penyajian Lauk Pauk) sebelum diantar kepada para tamu diacara
Gambar 5. Para tamu undangan perempuan sedang menikmati  hidangan lauk-pauk bersaprah ditarub
Gambar 7. Para petugas pada seksi Bebasok sedang mencuci piring  (Pingan) sisa makan tamu undangan acara nikahan

Referensi

Dokumen terkait

Nilai Rf ini memiliki perbedaan yang cukup besar antara ekstrak dengan pembanding kuersetin sedangkan nilai Rf pembanding kuersetin pada literatur 0,51 perbedaan

Sedangkan hasil uji reliabilitas dengan dengan menggunakan Alpha Cronbach terhadap 10 item pertanyaan dari variabel Loyalitas Karyawan, menunjukkan bahwa nilai Alpha Cronbach’s

Menurut Assauri (1999:4) mendefinisikan pemasaran: “Sebagai usaha menyediakan dan menyampaikan barang dan jasa yang tepat kepada orang-orang yang tepat pada tempat dan waktu

BPRS Artha Mas Abadi dalam penetapan bagi hasil deposito berjangka dengan akad mudharabah belum sesuai dengan syariah dikarenakan cara penetepan keuntungan yang

1. Penelitian ini untuk mengetahui bagaimana keterampilan berbicara mahasiswa yang menggunakan metode Braindis-Buzz Group untuk meningkatkan keterampilan berbicara

Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi tingkat pengetahuan masyarakat Binaan Putri Kasih di Tanjung Sari Surabaya tentang posisi ergonomi dalam pencegahan nyeri

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang penulis paparkan dalam penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa variabel kualitas produk, harga dan kualitas pelayanan