• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Lahan DAS Batang Pelepat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Lahan DAS Batang Pelepat"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lahan DAS Batang Pelepat Satuan Lahan di DAS Batang Pelepat

Lahan di DAS Batang Pelepat terdiri atas 4 jenis (grup) tanah, yaitu endoaquepts, hapludults, dystrudepts dan kandiudox, tetapi jenis tanah yang dominan adalah grup dystrudepts, yaitu seluas 35 441 ha atau 73.13% (Tabel 16 dan Lampiran 17). Lahan tersebut didominasi oleh kelas lereng >15 – 30% (13 354 ha atau 27.55%) dan kelas lereng >45 – 65% (14 242 ha atau 29.39%). Penggunaan lahan aktual di DAS Batang Pelepat dikelompokkan menjadi penggunaan pertanian (umumnya UTKKS) seluas 15 184 ha atau 31.33% dan non pertanian (hutan, semak belukar dan lahan terbuka) seluas 33 281 atau 68.67% (Tabel 16 dan Lampiran 16).

Berdasarkan peta tanah, peta lereng dan peta penggunaan lahan, DAS Batang Pelepat terbagi menjadi 23 satuan lahan (SL) (Tabel 16 dan Lampiran 19). Berdasarkan karakteristik SL dan kriteria penilaian sifat tanah yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah (1983) pada lampiran 20, umumnya tanah di DAS Batang Pelepat mempunyai tingkat kesuburan sangat rendah hingga rendah. Tingkat kemasaman (pH) tanah tergolong sangat masam hingga masam dan kejenuhan basa (KB) juga tergolong sangat rendah hingga rendah, sehingga berpengaruh terhadap ketersediaan hara tanaman. Kadar bahan organik tanah (BOT) yang tinggi terdapat pada SL yang mempunyai tutupan sangat rapat dan serasah yang tebal, umumnya hutan.

Karakteristik tersebut harus menjadi pertimbangan utama dalam pengembangan pertanian di DAS Batang Pelepat. Agroteknologi perlu dirancang untuk mendukung keberlanjutan pertanian, terutama untuk mengendalikan dampak kesuburan yang sangat rendah hingga rendah dan lereng yang miring hingga curam. Oleh karena itu sebelumnya harus ditentukan kelas kemampuan (Lampiran 21) dan kesesuaian (Lampiran 23) lahan untuk pertanian di DAS Batang Pelepat berdasarkan karakteristik tanah masing-masing SL (Lampiran 20) sehingga lahan dimanfaatkan sesuai dengan potensinya. Kemampuan dan kesesuaian lahan merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam perencanaan atau pengembangan SPB dan sebagai langkah awal dalam penyusunan perencanaan SPK.

(2)

Tabel 16 Karakteristik satuan lahan yang terdapat di DAS Batang Pelepat

Jenis Tanah Penggunaan Lahan

(USDA) dan SPT (ha) (%)

1 Datar (0-3%) Endoaquepts Au.1.1.2.A.0 Dataran banjir bermeander aluvium Monokultur Karet II 1 482 3.06

2 Datar (0-3%) Endoaquepts Au.1.1.2.A.0 Dataran banjir bermeander aluvium Monokultur Kelapa Sawit 147 0.30

3 Landai (>3 - 8 %) Hapludults Tf.10.2.B.2 Peneplain berombak Batuliat Monokultur Karet I 1 098 2.27

4 Landai (>3 - 8 %) Hapludults Tf.10.2.B.2 Peneplain berombak Batuliat Monokultur Kelapa Sawit 841 1.74

5 Datar (0-3%) Hapludults Tf.10.2.B.2 Peneplain berombak Batuliat Monokultur Kelapa Sawit 248 0.51

6 Landai (>3 - 8 %) Hapludults Tf.10.2.B.2 Peneplain berombak Batuliat Sesap Karet 6 026 12.56

7 Agak miring (>8-15 %) Hapludults Tf.10.3.C.3 Peneplain bergelombang Batuliat Monokultur Karet I 70 0.02 8 Agak miring (>8-15 %) Dystrudepts Va.3.2.D.2 Perbukitan vulkanik tua Tuf Andesit Monokultur Kelapa Sawit 60 0.08 9 Agak miring (>8-15 %) Hapludults Tf.10.3.C.3 Peneplain bergelombang Batuliat Monokultur Kelapa Sawit 114 0.28 10 Agak miring (>8-15 %) Dystrudepts Va.3.2.D.2 Perbukitan vulkanik tua Tuf Andesit Sesap Karet 1 979 4.08

11 Miring (>15-30%) Kandiudox Vg.3.2.E.2 Perbukitan vulkanik tua Granit Monokultur Karet I 162 0.33

12 Miring (>15-30%) Kandiudox Vg.3.2.E.2 Perbukitan vulkanik tua Granit Monokultur Kelapa Sawit 144 0.30 13 Agak curam ( >30-45% ) Dystrudepts Vg.3.2.E.3 Perbukitan vulkanik tua Granit Monokultur Karet I 84 0.17 14 Agak curam ( >30-45% ) Dystrudepts Va.3.3.E.3 Pegunungan vulkanik tua Tuf Andesit Monokultur Karet I 61 0.06 15 Miring (>15-30%) Dystrudepts Vg.3.2.E.3 Perbukitan vulkanik tua Granit Monokultur Kelapa Sawit 2 589 5.40 16 Landai (>3 - 8 %) Hapludults Vg.3.2.E.3 Perbukitan vulkanik tua Granit Monokultur Kelapa Sawit 79 0.16

17 Miring (>15-30%) Dystrudepts Va.3.3.E.3 Pegunungan vulkanik tua Tuf Andesit Belukar 1 811 3.74

18 Agak curam ( >30-45% ) Dystrudepts Vg.3.2.E.3 Perbukitan vulkanik tua Granit Belukar 249 0.51

19 Miring (>15-30%) Dystrudepts Vab.3.3.E.3 Pegunungan vulkanik tua Tuf Andesit dan basalt Hutan 8 648 17.84

20 Agak curam ( >30-45% ) Dystrudepts Vg.3.2.E.3 Perbukitan vulkanik tua Granit Hutan 5 738 11.84

21 Agak curam ( >30-45% ) Hapludults Va.3.3.E.3 Pegunungan vulkanik tua Tuf Andesit Hutan 2 548 5.26

22 Curam ( >45-65% ) Dystrudepts Vab.3.3.F.4 Pegunungan vulkanik tua Tuf Andesit dan basalt Hutan 14 242 29.39

23 Datar (0-3%) Endoaquepts Au.1.1.2.A.0 Dataran banjir bermeander aluvium Lahan Terbuka 45 0.09

Total 48 465 100.00

(3)

Kemampuan Lahan di DAS Batang Pelepat

Berdasarkan penilaian terhadap SL, kemampuan lahan di DAS Batang Pelepat tergolong menjadi kelas II, III, IV, VI dan VII dengan faktor penghambat yang dominan berupa drainase yang agak baik (d2) hingga agak buruk (d3),

lereng yang miring (I3) hingga curam (I5) dan erosi yang ringan (e1) hingga sangat

berat (e5) (Tabel 17 dan Lampiran 21). Luas lahan yang dapat digunakan untuk

pertanian tanaman semusim atau arable land (kelas II, III dan IV) hanya 25 792 ha atau 53.22% (Tabel 17 dan Lampiran 22), sedangkan luas lahan pertanian yang ada saat ini adalah 15 184 ha.

Tabel 17 Sebaran kelas kemampuan lahan di DAS Batang Pelepat berdasarkan satuan lahan

Klasifikasi Kemampuan Lahan Satuan Lahan Ha % Luas

II d3 1, 2, 23 1 674 3.45 II e1 3, 4, 5, 6 8 213 16.95 III d2 11 162 0.33 III e1 7, 10 2 049 4.23 III e2 8, 9,16 253 0.52 IV e3 12,17, 18 2 204 4.55 IV e5 15 2 589 5.34 IV I3 19 8 648 17.84 VI I4 13, 14, 20, 21 8 431 17.40 VII I5 22 14 242 29.39

* Angka romawi menunjukkan kelas kemampuan lahan; d = faktor penghambat drainase; e = faktor penghambat erosi; I = faktor penghambat kemiringan lereng; angka latin menunjukkan level faktor penghambat.

Lahan yang saat ini dimanfaatkan sebagai lahan pertanian sudah sesuai dengan kelas kemampuan lahan karena tergolong kelas II, III dan IV, kecuali SL 13 dan 14. Kedua SL ini tergolong kelas VI dengan faktor penghambat utama berupa lereng yang tergolong agak curam (>30 - 45%). Satuan lahan 13 dan 14 saat ini dimanfaatkan sebagai lahan usahatani monokultur karet, padahal sebaiknya lahan kelas VI dimanfaatkan sebagai padang rumput atau dihutankan. Pemanfaatan lahan ini sebagai lahan perkebunan masih dapat dilakukan, namun penutupan permukaan tanah harus baik. Oleh karena itu SL ini sebaiknya dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan dengan sistem tanam campuran seperti agroforestri atau ditanam tanaman kayu-kayuan.

Penggunaan lahan non pertanian di DAS Batang Pelepat saat ini terdiri atas semak belukar dan hutan, bahkan terdapat juga lahan terbuka. Lahan yang saat ini ditutupi oleh semak belukar (SL 17 dengan kemiringan lereng >15 – 30%) dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian karena tergolong kelas IVe3, tetapi harus disertai dengan agroteknologi yang memadai, sedangkan

(4)

63 kemiringan lereng >30 – 45%. Lahan yang masih ditutupi hutan terdiri atas SL 19, 20, 21 dan 22. Berdasarkan hasil penelitian, setiap SL ini masing-masing tergolong kelas IV I3 (SL 19), VI I4 (SL 20 dan 21) dan VII I5 (SL 22). Konversi

penggunaan SL tersebut menjadi lahan pertanian dapat menimbulkan kerusakan lahan yang lebih berat karena faktor penghambat utamanya adalah lereng yang tergolong miring (I3) hingga curam (I5). Oleh karena itu SL tersebut diarahkan

untuk tetap ditutupi hutan, terutama SL 20, 21 dan 22, sedangkan SL 19 dapat dikonversi menjadi lahan pertanian bila disertai dengan agroteknologi yang memadai dan harus disertai pula dengan izin dari Dephut RI.

Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pertanian di DAS Batang Pelepat Kesesuaian Lahan untuk Karet

Berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan untuk karet di DAS Batang Pelepat dapat diketahui bahwa kelas kesesuaian lahan DAS Batang Pelepat untuk karet tergolong S2 (12 141 ha atau 24.54%) dan tergolong S3 seluas 19 463 ha (40.2%). Lahan yang tergolong tidak sesuai (N) mencapai 16 831 ha atau 34.73% (Tabel 18 dan Lampiran 24).

Tabel 18 Sebaran kelas kesesuaian lahan untuk karet di DAS Batang Pelepat berdasarkan satuan lahan

Kelas Kesesuaian Lahan Satuan Lahan Ha % Luas

S2-wa, eh 1, 2, 7, 8, 9, 10, 14, 23 3 958 8.17 S2-wa, nr 3, 4, 6 7 965 16.44 S2-wa, nr, eh 5 248 0.51 S3-nr 16 79 0.16 S3-eh 17, 19, 21 13 007 26.84 S3-nr, eh 11, 12, 13, 18, 20 6 377 13.16 N-eh 15, 22 16 831 34.73

* S1 = sangat sesuai, S2= cukup sesuai, S3 = sesuai marginal, N = tidak sesuai, wa = ketersediaan air, nr = retensi hara, eh = bahaya erosi.

Faktor pembatas utama untuk pengembangan usahatani karet di kawasan ini adalah ketersediaan air karena curah hujan rata-rata tahunan di DAS Batang Pelepat hanya 2 359.12 mm/tahun, sedangkan karet membutuhkan curah hujan 2 500 – 3 000 mm/tahun. Faktor pembatas lain adalah pH dan kejenuhan basa (KB) tanah yang rendah dan kemiringan lereng dan erosi. Hal ini berkaitan dengan tingkat kesuburan tanah yang rendah hingga sangat rendah (Lampiran 20) dan sebagian besar topografi tergolong berbukit dan bahkan bergunung (Lampiran 18).

(5)

64 Kesesuaian Lahan untuk Kelapa Sawit

Berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan untuk kelapa sawit di DAS Batang pelepat, hanya sekitar 48% (23 213 ha) yang tergolong kelas cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3), sedangkan sekitar 52% (25 262 ha) tergolong kelas yang tidak sesuai (N) untuk kelapa sawit. Faktor pembatas lahan di DAS Batang Pelepat untuk pengembangan kelapa sawit adalah ketersediaan air, KB dan pH yang rendah dan lereng yang tergolong berbukit hingga bergunung (Tabel 19 dan Lampiran 24).

Tabel 19 Sebaran kelas kesesuaian lahan untuk kelapa sawit di DAS Batang Pelepat berdasarkan satuan lahan

Kelas Kesesuaian Lahan Satuan Lahan Luas

Ha % S2-wa, eh 1, 2, 8, 10, 23 3 713 7.66 S2-wa, nr 3, 4, 6 7 965 16.44 S2-wa, nr, eh 5, 7, 9, 16 511 1.05 S3-eh 17, 18, 19 10 708 22.09 S3-nr, eh 11, 12 306 0.63 N-eh 13, 14, 15, 20, 21, 22 25 262 52.12

* S1 = sangat sesuai, S2= cukup sesuai, S3 = sesuai marginal, N = tidak sesuai, wa = ketersediaan air, nr = retensi hara, eh = bahaya erosi.

Kesesuaian Lahan untuk Padi Ladang

Berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan untuk padi ladang di DAS Batang Pelepat, hanya 16 861 ha (34.79%) yang tergolong kelas tidak sesuai (N) untuk padi ladang dengan faktor pembatas lereng yang tergolong miring hingga curam. Lahan yang tergolong kelas cukup sesuai dan sesuai marginal dengan faktor penghambat yang sama (S2-nr,eh dan S3-nr,eh) terdapat seluas 3 713 ha dan 15 025 ha, sedangkan lahan yang tergolong kelas sesuai marginal dengan faktor penghambat pH dan KB rendah (S3-nr) dan kelas sesuai marginal dengan faktor lereng yang tergolong miring hingga curam masing-masing mencapai luas 8 476 ha dan 4 420 ha (Tabel 20 dan Lampiran 24).

Tabel 20 Sebaran kelas kesesuaian lahan untuk padi ladang di DAS Batang Pelepat berdasarkan satuan lahan

Kelas Kesesuaian Lahan Satuan Lahan Ha % Luas

S2-nr, eh 1, 2, 8, 10, 23 3 713 7.66

S3-nr 3, 4, 5, 6, 7, 9, 16, 8 476 17.49

S3-nr, eh 11, 12, 13, 18, 19, 20 15 025 31.00

S3-eh 14, 17, 21 4 420 9.12

N-eh 15, 22 16 861 34.79

* S1 = sangat sesuai, S2= cukup sesuai, S3 = sesuai marginal, N = tidak sesuai, nr = retensi hara, eh = bahaya erosi.

(6)

65 Kesesuaian Lahan untuk Pisang

Berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan untuk pisang sebagian besar lahan (65.15% atau 31 573 ha) di DAS Batang Pelepat tergolong sesuai marginal (S3) dan sebagian lainnya (sekitar 16 892 ha atau 34.85%) tergolong tidak sesuai (N) untuk pisang. Faktor pembatas utamanya adalah KB dan pH tanah yang rendah serta lereng yang tergolong miring hingga curam (Tabel 21 dan Lampiran 24).

Tabel 21 Sebaran kelas kesesuaian lahan untuk pisang di DAS Batang Pelepat berdasarkan satuan lahan

Kelas Kesesuaian Lahan Satuan Lahan Ha % Luas

S3-nr 1,2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 16, 23 12 189 25.15

S3-nr, eh 11, 12, 13, 17, 18, 19, 20, 21 19 384 40

N-eh 14, 15, 22 16 892 34.85

* S1 = sangat sesuai, S2= cukup sesuai, S3 = sesuai marginal, N = tidak sesuai, nr = retensi hara, eh = bahaya erosi.

Penggunaan lahan aktual sudah sesuai dengan kelas kesesuaian lahan untuk beberapa tanaman pertanian tersebut diatas, kecuali SL 15 yang saat ini ditutupi oleh kelapa sawit. Berdasarkan analisis kesesuaian lahan, lahan ini tidak sesuai (N-eh) untuk semua tanaman tersebut diatas dengan faktor penghambat pH dan KB yang rendah (Lampiran 23).

Berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan di DAS Batang Pelepat untuk beberapa tanaman pertanian diatas diketahui bahwa pengembangan pertanian di kawasan ini mempunyai faktor pembatas terutama KB dan pH yang rendah serta lereng yang tergolong miring hingga curam. Berkaitan dengan faktor pembatas tersebut, pengembangan pertanian (UTKKS) berkelanjutan di DAS Batang Pelepat harus disertai dengan agroteknologi yang memadai untuk mengatasi pengaruh negatif faktor pembatas tersebut, terutama pemupukan dan teknik KTA.

Karakteristik Tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat

Usahatani di DAS Batang Pelepat terdiri atas 5 (lima) tipe usahatani karet, yaitu sesap karet I (SK I), sesap karet II (SK II), monokultur karet I (MK I), monokultur karet II (MK II), tumpangsari karet-gaharu (KRG) dan 2 (dua) tipe usahatani kelapa sawit, yaitu monokultur kelapa sawit (MKS) dan tumpangsari kelapa sawit-pisang (KSP). Lahan usahatani karet di DAS Batang Pelepat secara keseluruhan merupakan usahatani karet rakyat. Lahan usahatani karet rakyat umumnya ditanam secara monokultur dan campuran yang dikelola secara tidak intensif (62.43%). Hal ini dapat dilihat dari luas lahan tipe MK II yang mencapai 1

(7)

66 475 ha dan tipe SK seluas 8 005 ha. Luas lahan usahatani karet yang dikelola secara memadai (MK I) hanya 1 482 ha (9.71%). Usahatani kelapa sawit di DAS Batang Pelepat hanya meliputi 27.81% dari luas lahan pertanian atau 4 222 ha. Lahan usahatani kelapa sawit terdiri atas usahatani rakyat seluas 1 633 ha dan perkebunan swasta seluas 2 619 ha. Lahan usahatani rakyat terdiri atas MKS seluas 1 621 ha (99.27%) dan KSP seluas 12 ha (0.73%) (Tabel 22).

Sistem pertanian yang diterapkan oleh petani karet dan kelapa sawit di DAS Batang Pelepat bersifat khas. Secara umum setelah pembukaan lahan dan sebelum tanaman karet dan kelapa sawit menutupi permukaan lahan, petani menanam padi ladang (Oryza sativa) dan pinang (Pinanga kuhlii) sebagai tanaman pagar. Kajian terhadap perbedaan dampak tipe UTKKS terhadap kondisi ekonomi petani dan lingkungan perlu diawali dengan pemahaman terhadap karakteristik agroteknologi setiap tipe UTKKS (Tabel 23).

Tabel 22 Sebaran luas lahan berbagai tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat berdasarkan peta satuan lahan, Tahun 2005

Tipe UTKKS ha Luas Lahan %

- Sesap Karet I - Sesap Karet II - Monokultur Karet I - Monokultur Karet II - Karet-Gaharu*

- Monokultur kelapa sawit - Kelapa sawit- Pisang*

4 321.00 3 684.00 1 482.00 1 475.00 - 4 222.00 -28.46 24.26 9.76 9.71 - 27.81 -

Luas Lahan Pertanian 15 184.00 100.00

* Karet-gaharu dan kelapa sawit-pisang tidak dapat diperlihatkan dalam peta penggunaan lahan dan peta SL karena luasannya yang sangat kecil (masing-masing 40 ha dan 12 ha).

Sumber : Balitbang Pertanian (2005c). Sesap Karet

“Sesap karet” adalah campuran karet dengan tananam hutan, dan merupakan salah satu tipe usahatani karet khas di DAS Batang Pelepat. Tanaman hutan yang ditanam di sela karet berupa manau (Calamus manan Miq.), kayu balam (Palaquium Sp), kayu medang (Litsea Spp) dan kayu sungkai (Peronema canescens). Tanaman hutan ditanam beberapa tahun setelah karet tumbuh, sesuai dengan ketersediaan modal, bibit dan tenaga kerja yang dimiliki petani. Jarak tanam tidak teratur sehingga secara visual menyerupai hutan sehingga sering pula disebut ”hutan karet”. Sistem budidaya pada tipe SK tidak disertai tindakan pemupukan dan pemberantasan hama penyakit dan gulma serta menggunakan bibit sapuan atau lokal.

Tipe SK yang terdapat di DAS Batang Pelepat ada 2 macam, yaitu campuran karet-kayu sungkai-manau (SK I) dan campuran karet-kayu balam-

(8)

Tabel 23 Deskripsi karakteristik setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat Tipe UTKKS* permukaan tanah Kondisi tutupan

Agroteknolgi Jarak

Tanam

Populasi & Jenis

Tanaman Pemupukan Penyiangan

Pemberantasan &

Pengendalian HPT Teknik KTA Sesap Karet I Relatif rapat, dengan

serasah = 13.7 ton/ha (BB) dan 5.66 ton/ha (BK) Tidak teratur 500 karet, 100 manau dan 40 sungkai

Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak Ada

Sesap Karet II Relatif rapat, dengan serasah = 13.7 ton/ha (BB) dan 5.66 ton/ha (BK) Tidak teratur 500 karet, 50 balam dan 50 medang

Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak Ada

Monokultur Karet I Relatif terbuka; serasah = 5.8 ton/ha (BB) dan 2.28 ton/ha (BK)

3 m x 7 m 460 karet Sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian

Dilakukan Seperlunya Tidak Ada Monokultur Karet II Rapat tetapi lebih

jarang dibandingkan Sesap karet; Serasah 11.7 ton/ha (BB) dan 4.39 ton/ha (BK)

3 m x 7 m 460 karet Sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian (pada awal tanam dan selanjutnya hanya setiap 5 tahun) Relatif tidak dilakukan, hanya di sepanjang jalan yang ditempuh untuk menyadap karet

Tidak dilakukan Tidak Ada

Karet-Gaharu Relatif terbuka; serasah = 5.8 ton/ha (BB) dan 2.28 ton/ha (BK) 3 m x 7m 460 karet dan 429 gaharu Sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b)

Dilakukan Seperlunya Tidak Ada Monokultur Kelapa

Sawit Sama dengan Monokultur karet II dengan serasah = 13.1 ton/ha (BB) dan 3.95 ton/ha (BK)

8 m x 8 m 141kelapa

sawit Sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b) pada awal tanam dan selanjutnya hanya setiap 5 tahun

Relatif tidak dilakukan, hanya di sepanjang jalan yang ditempuh memanen TBS

Seperlunya Tidak Ada

Kelapa Sawit-Pisang Sama dengan monokultur karet II dan monokultur kelapa sawit ; serasah = 13.1 ton/ha (BB) dan 3.95 ton/ha (BK) 8 m x 8 m 141 kelapa sawit dan 121 pisang Sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b) pada awal tanam dan selanjutnya hanya setiap 5 tahun

Relatif tidak dilakukan, hanya di sepanjang jalan yang ditempuh memanen TBS

Seperlunya Tidak Ada

(9)

kayu medang (SK II). Populasi tanaman pada tipe SK I adalah 500 batang karet, 100 batang manau dan 40 batang kayu sungkai, sedangkan populasi tanaman pada tipe SK II adalah 500 batang karet, 50 batang kayu balam dan 50 batang kayu medang. Penutupan SK terhadap permukaan tanah tergolong rapat karena tumbuhan semak belukar dibiarkan tumbuh menutupi permukaan tanah. Tumbuhan semak belukar yang terdapat pada SK diantaranya adalah rumput jarum (Andropagon acciculatus), rumput teki (Kytlinga monocepela), rumput pahitan (Axohopus compresus), paku resam (Gleichenia linearis), paku sepat (Neprolepis exaltata) dan paku kawatan (Dicranopteris Spp). Berdasarkan pengukuran terhadap berat sampel serasah, total berat basah dan berat kering serasah pada tipe SK masing-masing adalah 13.70 ton/ha dan 5.66 ton/ha (Tabel 23). Sistem budidaya seperti tipe SK mempunyai nilai positif terhadap kondisi hidrologi DAS dan keanekaragaman hayati, tetapi tidak didukung oleh produksi yang optimal (Joshi et al. 2001).

Monokultur karet

Tipe MK di DAS Batang Pelepat karet terdiri atas 2 (dua) tipe, yaitu monokultur yang dikelola intensif (MK I) dan tidak intensif (MK II). Monokultur karet I (MK I) adalah budidaya karet yang ditanam secara monokultur dan pengelolaan yang lebih baik, namun belum disertai dengan teknik KTA. Karet ditanam dengan jarak tanam 3 m x 7 m (460 batang/ha) dan disertai pemupukan, pengendalian dan pemberantasan hama penyakit serta penyiangan. Pemupukan dilakukan sesuai dengan rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b), yaitu urea sebanyak 100 kg/ha, TSP sebanyak 50 kg/ha dan KCl 50 kg/ha setiap tahun. Bibit yang digunakan umumnya juga bibit lokal, hanya sebagian kecil petani yang menggunakan bibit unggul. Penyiangan dilakukan hingga permukaan tanah relatif terbuka, hanya ditutupi oleh sedikit rumput-rumput pendek dan daun-daun karet yang gugur. Berdasarkan pengukuran terhadap sampel serasah, serasah yang menutupi permukaan tanah pada tipe MK I lebih sedikit (5.8 ton/ha berat basah dan 2.28 ton/ha berat kering) dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya (Tabel 23). Kondisi seperti ini menyebabkan permukaan tanah lebih mudah terkikis dan terangkut jika terjadi hujan. Pengangkutan tanah akan diikuti oleh pengangkutan unsur hara tanah dan atau pupuk yang diberikan, terutama jika pupuk diberikan secara sebar. Oleh sebab itu perlu adanya penerapan teknik KTA untuk mengurangi dan mencegah erosi dan meningkatkan efektivitas pemupukan.

(10)

Kr G Kr G Kr

Kr G Kr G Kr

Kr G Kr G Kr

7 m

3 m

Karet pada tipe monokultur karet II (MK II) juga ditanam dengan jarak 3 m x 7 m (460 batang/ha), namun tanaman dibiarkan tumbuh tanpa perawatan yang intensif (tidak seperti pada tipe MK I). Pemupukan juga hanya dilakukan pada saat tanaman belum menghasilkan, namun setelah dilakukan penyadapan (pada umur 6 – 7 tahun) pemupukan hanya dilakukan setiap 5 tahun. Bibit yang digunakan pada tipe MK II ini adalah bibit lokal (Tabel 23). Penyiangan sangat jarang dilakukan sehingga permukaan tanah ditutupi oleh tumbuhan semak belukar. Penutupan permukaan lahan oleh tumbuhan semak belukar dapat menyebabkan persaingan terhadap tanaman karet sehingga produksi lateks tidak optimal. Kerapatan vegetasi yang cukup tinggi akan menghasilkan serasah yang lebih banyak (11.70 ton/ha berat basah dan 4.39 ton/ha berat kering) dibandingkan dengan tipe MK I.

Tumpangsari Karet dan Gaharu

Gaharu merupakan tanaman kehutanan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena harga gubal gaharu mencapai Rp2 000 000/kg (Dephut 2002). Tipe tumpangsari karet-gaharu (KRG) merupakan program Dishutbun Kabupaten Bungo yang diterapkan oleh 20 petani di DAS Batang Pelepat. Tipe KRG terdiri atas 460 batang karet (jarak tanam 3 m x 7 m) dan 429 batang gaharu yang ditanam diantara tanaman karet (Gambar 7).

Gambar 7 Komposisi tanaman karet dan gaharu pada tipe KRG di DAS Batang Pelepat.

Pengelolaan tipe KRG dilakukan secara intensif (seperti pada MK I) dengan penggunaan pupuk sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b). Tanaman gaharu juga diberi pupuk sesuai rekomendasi, yaitu 50 – 150 g urea/pohon, 50 – 150 g TSP/pohon dan 50 – 150 g KCl/pohon. Produksi gaharu diperkirakan mencapai 1 kg gubal, 10 kg kemedangan dan 15 kg abu dari setiap pohon gaharu (Dephut 2002 dan Sumarna 2005).

(11)

Monokultur Kelapa Sawit

Petani di DAS Batang Pelepat umumnya juga menanam kelapa sawit secara monokultur (MKS). Jarak tanam yang digunakan adalah 8 m x 8 m (144 batang/ha), tetapi pengelolaannya juga kurang intensif (Tabel 23). Rumput dan tumbuhan semak belukar dibiarkan tumbuh diantara tanaman kelapa sawit karena penyiangan hanya dilakukan sambil mengambil hasil panen. Adapun berat basah serasah yang menutupi permukaan tanah adalah 13.10 ton/ha dan berat kering serasah sebesar 3.95 ton/ha.

Pemupukan kelapa sawit hanya dilakukan pada saat tanam hingga menjelang tanaman menghasilkan, namun setelah tanaman menghasilkan pemupukan hanya dilakukan setiap 5 tahun (hampir tidak dilakukan). Pupuk yang digunakan untuk kelapa sawit oleh petani adalah NPK (35 kg/ha) dan MgSO4 (15

kg/ha); takaran ini lebih rendah dibandingkan dengan takaran pupuk yang direkomendasikan oleh PPKS Medan (1999) yang telah dikemukakan sebelumnya pada Tabel 4.

Tumpangsari Kelapa Sawit dan Pisang

Usahatani kelapa sawit di DAS Batang Pelepat juga ada yang diterapkan dengan sistem tumpangsari dengan pisang (KSP). Komposisi tanaman untuk satu hektar lahan terdiri dari 144 batang kelapa sawit (jarak tanam 8 m x 8 m) dan 121 batang pisang yang ditanam diantara kelapa sawit (Gambar 8). Pisang dipelihara hingga kelapa sawit menghasilkan (empat tahun pertama) tanpa pemupukan. Seperti halnya MKS, tipe KSP juga tidak dikelola secara intensif dan permukaan lahan juga ditutupi oleh tumbuhan semak belukar.

Gambar 8 Komposisi kelapa sawit dan pisang pada tipe KSP di DAS Batang Pelepat. 8 m KS KS KS KS P P P KS KS KS KS P P P KS KS KS KS 8 m 8 m

(12)

Pengaruh Tipe UTKKS terhadap Sifat-Sifat Tanah di DAS Batang Pelepat Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tipe UTKKS dan hutan berpengaruh secara nyata terhadap beberapa sifat tanah. Selanjutnya berdasarkan uji DNMRT, sifat-sifat tanah pada lahan UTKKS menunjukkan perbedaan dengan sifat-sifat tanah hutan, baik bobot isi (BI), total ruang pori (TRP), pori drainase cepat (PDC), pori drainase lambat (PDL), air tersedia (AT), permeabilitas, kapasitas infiltrasi, persentase agregat, kemantapan agregat maupun kadar C-organik tanah (Lampiran 25).

Tipe MK I mempunyai pengaruh paling buruk terhadap sifat-sifat tanah dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya. Tanah pada tipe MK I mempunyai kepadatan paling tinggi dengan BI sebesar 1.14 g/cm3 dan TRP sebesar 56.98%

dibandingkan dengan tanah pada tipe usahatani lainnya yang mempunyai BI sebesar 0.92 – 1.05 g/cm3 dan TRP sebesar 65.41 – 60.25% dan hutan yang

mempunyai BI sebesar 0.81 g/cm3 dan TRP sebesar 69.43%. Tanah yang

mempunyai kepadatan yang lebih tinggi mempunyai PDL yang lebih tinggi, sebaliknya mempunyai PDC dan AT yang lebih rendah (Tabel 24). Kepadatan tanah tinggi pada tipe MK I menyebabkan tanah mempunyai permeabilitas sebesar 8.34 cm/jam dan kapasitas infiltrasi sebesar 26.43 cm/jam; permeabilitas dan kapasitas infiltrasi ini lebih rendah dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya (Tabel 25).

Tabel 24 Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap kepadatan dan pori tanah di DAS Batang Pelepat, Tahun 2006

Tipe Usahatani dan

hutan (g/cmBI 3) (% Vol) TRP Distribusi Pori (% Volume)

PDC PDL Air Tersedia KR-1(MK I) 1.14 a 56.98 e 12.97 e 19.61 a 15.30 e KR-2(MK II) 0.98 c 63.14 c 16.91 c 17.97 c 21.26 c KR-3 (SK) 0.92 d 65.41 b 18.97 b 17.25 d 24.37 b KS-1(MKS) 1.05 b 60.25 d 15.70 c 18.55 b 20.39 c KS-2 (KSP) 1.04 b 60.88 d 14.40 d 18.79 b 18.61 d Ht (HS) 0.81 e 69.43 e 20.33 a 15.91 e 25.86 a

* BI : Bobot Isi, TRP : total ruang pori, PDC : pori drainase cepat, PDL : pori drainase lambat. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DNMRT).     

 Pengaruh tipe MK I yang buruk terhadap sifat-sifat tanah tersebut dapat

disebabkan oleh kondisi permukaan tanah yang relatif terbuka dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya dan hutan. Kondisi tanah yang terbuka akan mempercepat proses pemadatan tanah. Selain itu jumlah serasah pada tipe MK I lebih sedikit dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya, yaitu 2.28 ton/ha berat kering (Tabel 23) sehingga kadar karbon organik tanah (COT) pada tipe MK I pun hanya 1.36% (Tabel 26) ; padahal kunci untuk mengurangi kepadatan tanah

(13)

adalah mempertahankan ketebalan serasah di permukaan tanah. Serasah dapat berfungsi untuk menjaga kekasaran permukaan tanah, kelembaban dan menyediakan pakan bagi mikroorganisme tanah seperti cacing (Hairiah et al. 2006). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kepadatan tanah (bobot isi) semakin meningkat dengan berkurangnya jumlah serasah (Gambar 9). Peningkatan kepadatan tanah akibat menurunnya jumlah serasah pada gilirannya akan berpengaruh terhadap penurunan permeabilitas dan kapasitas infiltrasi (Gambar 10).

Tabel 25 Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap permeabilitas dan kapasitas infiltrasi tanah di DAS Batang Pelepat, Tahun 2006

Tipe Usahatani dan Hutan Permeabilitas (cm/jam) Kapasitas Infiltrasi (cm/jam)

KR-1(MK I) 8.34 e 26.43 e KR-2(MK II) 41.20 d 30.42 d KR-3 (SK) 99.03 b 58.37 b KS-1(MKS) 50.63 d 32.53 d KS-2 (KSP) 75.89 c 44.31 c Ht (HS) 130.43 a 74.53 a

* Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DNMRT).

Tabel 26 Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap Kadar COT, persentase dan indeks kemantapan agregat tanah di DAS Batang Pelepat, Tahun 2006

Tipe Usahatani

dan Hutan COT (%) % Agregat Agregat Tanah Indeks Kemantapan Agregat

KR-1(MK I) 1.36 e 42.94 e 35.55 e KR-2(MK II) 1.56 d 47.80 d 86.67 d KR-3 (SK) 2.50 b 78.39 b 143.33 b KS-1(MKS) 1.59 d 47.60 d 86.67 d KS-2 (KSP) 1.80 c 56.75 c 110.00 c Ht (HS) 3.10 a 84.82 a 166.67 a

* COT = C-organik tanah; Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DNMRT).    

Berdasarkan hasil penelitian tipe SK mempunyai serasah yang paling banyak dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya, yaitu 5.66 ton/ha berat kering (Tabel 23). Jumlah serasah yang lebih banyak menyebabkan tanah yang ditutupi oleh SK mempunyai kandungan COT sebesar 2.50%; kandungan COT ini menunjukkan perbedaan dengan COT pada tipe usahatani lainnya yang hanya berkisar 1.36 – 1.80% dan hutan yang mempunyai COT sebesar 3.10% (Tabel 26). Hal ini disebabkan karena sistem agroforestri seperti SK mempunyai siklus hara yang berada diantara siklus hara tanah hutan (tertutup) dan siklus hara pada lahan pertanian (terbuka). Sistem agroforestri juga mempunyai sumber dan kualitas bahan organik dan unsur hara tanah yang variatif dan proses penyediaannya berlangsung terus menerus (Hairiah et al. 2007).  

(14)

Y1 = -0.06x + 1.2 R2 = 0.96 Y2 = 2.29x + 54.68 R2 = 0.96 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 KR-1 (2.28) KS-1 (3.95) KS-2 (3.95) KR-2 (4.39) KR-3 (5.66) Ht (9.71) Berat Serasah (ton/ha)

B o b o t Is i ( g /c m 3 ) 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 T o tal R u an g P o ri ( % V o l)

Berat Volume (Y1) T otal Ruang Pori (Y2)

Gambar 9 Pengaruh berat serasah pada setiap tipe UTKKS dan HS terhadap Bobot Isi dan total ruang pori tanah di DAS Batang Pelepat.

Y2 = 9.48X + 11.24 R2 = 0.89 Y1 = 20.60X - 4.51 R2 = 0.78 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00 KR-1 (2.28) KS-1 (3.95) KS-2 (3.95) KR-2 (4.39) KR-3 (5.66) Ht (9.71)

Berat Serasah (ton/ha)

P e rm eab ili tas (c m /j a m ) 0 20 40 60 80 100 120 140 K a pa s ita s Infi ltra s i (c m /ja m ) Permeabilitas (Y1) Kapasitas Infiltrasi (Y2)

  Gambar 10 Pengaruh berat serasah terhadap permeabilitas dan kapasitas infiltrasi

tanah di DAS Batang Pelepat.

Kondisi serasah dan COT yang lebih tinggi menyebabkan tanah yang ditutupi oleh SK mempunyai sifat tanah yang lebih baik dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya. Tanah pada tipe SK mempunyai tingkat kepadatan yang paling rendah (BI sebesar 0.92 g/cm3 dan TRP sebesar 65.41%) sehingga

mempunyai permeabilitas dan kapasitas infiltrasi yang lebih cepat, yaitu 99.03 dan 58.37 cm/jam (Tabel 25). Kandungan COT yang lebih tinggi (2.50%) tersebut juga menyebabkan tanah ini mempunyai persentase (78.39%) dan indeks kemantapan agregat (143.33) yang lebih baik dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya yang hanya mempunyai persentase agregat sebesar 42.94 – 56.75% dan indeks kemantapan agregat sebesar 35.55 – 110.00 (Tabel 26).

(15)

Pengaruh positif SK terhadap sifat-sifat tanah juga didukung oleh sistem perakaran tanaman yang lebih dalam dan kompleks karena tipe SK terdiri atas tanaman yang lebih banyak dan bervariasi dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya. Perkembangan perakaran tanaman juga mampu menekan dan memperenggang agregat tanah yang berdekatan. Penyerapan air oleh akar tanaman dapat menyebabkan dehidrasi, pengkerutan dan terbentuknya rekahan-rekahan kecil. Proses ini juga mendukung terbentuknya pori yang lebih besar (makroporositas). Selain itu banyaknya akar dapat meningkatkan produksi exudant dan akar yang mati juga merupakan sumber bahan organik tanah yang mampu memacu aktivitas mikroorganisme sehingga dapat mengurangi kepadatan tanah (Widianto et al. 2003).

Tanah hutan juga menunjukkan permeabilitas dan kapasitas infiltrasi yang lebih cepat dibandingkan dengan pada lahan UTKKS, yaitu 130.43 dan 74.53 cm/jam (Tabel 25). Hal ini disebabkan karena tanah hutan mempunyai pori yang banyak sejalan dengan tingginya aktivitas biologi tanah serta turnover (penetrasi) perakaran yang lebih dalam. Sistem perakaran vegetasi penyusun hutan sangat mendukung pembentukan pori dan struktur tanah yang lebih baik (Susswein et al. 2001). Tanah hutan juga mempunyai serasah yang lebih banyak dibandingkan dengan tanah pada semua tipe UTKKS, yaitu 19.18 ton/ha (berat basah) atau 9.71 ton/ha (berat kering) (Tabel 23) dan bobot Isi tanah 0.81 g/cm3

(Tabel 24). Jumlah serasah yang lebih banyak juga berpengaruh positif terhadap peningkatan permeabilitas dan kapasitas infiltrasi tanah hutan (Gambar 10).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat-sifat tanah pada lahan UTKKS berbeda dengan sifat-sifat tanah hutan, tetapi sifat-sifat tanah pada lahan UTKKS tersebut masih lebih baik bila dibandingkan dengan sifat-sifat tanah pada lahan pertanian tanaman pangan. Berdasarkan hasil penelitian Juarsah (2008), lahan pertanian tanaman pangan (padi gogo-palawija) mempunyai tingkat kepadatan yang lebih tinggi (BI = 1.22 – 1.30 g/cm3 dan TRP 54.00 – 50.95%), PDC sebesar 12.00 – 12.95%, permeabilitas yang lebih lambat (1.85 – 2.95 cm/jam) dan COT yang lebih rendah yaitu 1.13 – 1.34%.

Pengaruh Tipe UTKKS terhadap Aliran Permukaan dan Erosi di DAS Batang Pelepat

Tipe UTKKS berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi (analisis ragam pada Lampiran 25). Aliran permukaan dan erosi pada tanah dengan tutupan HS lebih kecil dibandingkan dengan aliran permukaan dan erosi pada lahan UTKKS. Aliran permukaan dan erosi pada lahan pertanian yang paling

(16)

tinggi terjadi pada lahan usahatani MK I (6.92 mm atau 28.07% dari jumlah hujan dan 0.58 ton/ha) dan menunjukkan perbedaan dengan aliran permukaan dan erosi pada tipe usahatani lainnya, sedangkan aliran permukaan dan erosi paling rendah terjadi pada tipe SK (3.53 mm atau 14.31% dari jumlah hujan dan 0.12 ton/ha). Aliran permukaan dan erosi yang terjadi pada lahan usahatani karet bervariasi sesuai tipe usahatani, tetapi aliran permukaan dan erosi pada lahan usahatani kelapa sawit (MKS dan KSP) tidak menunjukkan perbedaan satu sama lainnya, yaitu 5.09 mm atau 9.98% dari jumlah hujan dan 0.24 ton/ha pada tipe MKS dan 4.93 mm atau 22.25% dari jumlah hujan dan 0.23 ton/ha pada tipe KSP (Tabel 27).

Tabel 27 Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap aliran permukaan serta erosi tanah di DAS Batang Pelepat, Tahun 2006

Tipe Usahatani dan Hutan

Berat Serasah

(ton/ha)

Aliran Permukaan1 Konsentrasi Sedimen1 (g/l) Erosi1 (ton/ha) (mm) % Hujan KR-1(MK I) 2.28 6.92 a 28.07 8.40 0.58 a KR-2(MK II) 4.39 5.04 b 20.43 4.10 0.21 b KR-3 (SK) 5.66 3.53 c 14.31 3.50 0.12 c KS-1(MKS) 3.95 5.09 b 19.98 4.80 0.24 b KS-2 (KSP) 3.95 4.93 b 22.25 4.60 0.23 b Ht (HS) 9.71 0.12 d 0.49 0.001 1.2x10-6 d

* 1 = berdasarkan rata-rata dari 5 kejadian hujan (curah hujan 24.67 mm).

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DNMRT).

Kondisi aliran permukaan dan erosi yang demikian berkaitan dengan kondisi tutupan permukaan lahan dan kepadatan tanah. Tutupan permukaan tanah bergantung pada jumlah serasah, kerapatan dan jenis vegetasi yang menutupi permukaan lahan. Penot dan Budiman (2004) mengemukakan bahwa salah satu nilai positif dari agroforestri karet (SK) adalah kapasitas penutupannya terhadap tanah sehingga dapat mengendalikan erosi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tutupan yang lebih rapat pada sistem tanam polikultur (campuran) dan tutupan permukaan tanah oleh semak belukar pada lahan UTKKS (kecuali MK I) dan hutan mengakibatkan adanya serasah yang lebih banyak (Tabel 27). Berat serasah yang lebih tinggi menyebabkan aliran permukaan dan erosi lebih rendah (Gambar 11A) karena serasah dapat menyumbangkan BOT yang mempunyai kapasitas memegang air (water holding capasity) yang relatif tinggi dan meningkatkan pori makro melalui aktivitas mikroorganisme tanah sehingga kepadatan tanah menurun dan infiltrasi meningkat (Hairiah et al. 2007) dan berfungsi sebagai filter sehingga semakin tinggi berat serasah menyebabkan konsentrasi sedimen semakin menurun (Gambar 11B).

(17)

Pengaruh jumlah serasah terhadap aliran permukaan dan erosi juga berkaitan dengan pengaruhnya terhadap kepadatan tanah. Lahan usahatani dengan tipe MK I relatif terbuka dan mempunyai kepadatan yang lebih tinggi (BI = 1.14 g/cm3) dibandingkan dengan tipe UTKKS lainnya (BI = 0.92 – 1.05 g/cm3)

dan HS (0.81 g/cm3) (Tabel 24). Kondisi ini menyebabkan air lebih lambat

terinfiltrasi ke dalam tanah sehingga aliran permukaan lebih cepat terjadi dan jumlahnya juga akan lebih besar (Gambar 12). Lahan usahatani kelapa sawit (MKS dan KSP) dan MK II mempunyai kondisi tutupan permukaan lahan dan tingkat kepadatan tanah yang sama sehingga aliran permukaan dan erosi yang terjadi pada kedua tipe usahatani kelapa sawit tersebut tidak menunjukkan perbedaan (Tabel 27).

Gambar 11 Pengaruh berat serasah terhadap aliran permukaan dan erosi tanah (A) serta konsentrasi sedimen (B) di DAS Batang Pelepat.

Gambar 12 Pengaruh bobot isi tanah terhadap aliran permukaan dan erosi tanah di DAS Batang Pelepat.

(18)

Data erosi hasil pengukuran langsung tersebut hanya dapat menggambarkan perbedaan erosi antar tipe UTKKS dan hutan, sedangkan erosi keseluruhan pada setiap tipe UTKKS tersebut diprediksi dengan model USLE. Prediksi erosi di DAS Batang Pelepat menunjukkan bahwa penggunaan lahan aktual menyebabkan erosi sebesar 0.84 – 838.31 ton/ha/tahun. Erosi terbesar terjadi pada lahan pertanian yaitu SL 15 dan erosi terkecil terjadi pada lahan non-pertanian (hutan) yaitu SL 22. Secara keseluruhan erosi yang terjadi di DAS Batang Pelepat mencapai 3 433 481.62 ton/tahun atau rata-rata 70.84 ton/ha/tahun. Erosi pada lahan pertanian (2 592 060.13 ton/ha atau rata-rata 170.71 ton/ha/tahun) lebih besar dibandingkan dengan erosi pada lahan non pertanian yang hanya 841 421.48 ton/tahun atau rata-rata 25.28 ton/ha/tahun (Lampiran 27). Erosi pada lahan pertanian tersebut tidak dapat dihindari karena tanah selalu terganggu, tetapi kerusakan lahan dapat dikurangi dengan mengendalikan erosi.

Kerusakan lahan akibat erosi dapat diindikasikan dengan erosi yang lebih besar dibandingkan dengan Etol. Etol setiap SL di DAS Batang Pelepat juga bervariasi antara 5.95 – 43.12 ton/ha/tahun (Gambar 13). Perbedaan Etol setiap SL tersebut disebabkan oleh perbedaan jenis tanah, kedalaman tanah, kedalaman minimum perakaran dan berat volume. Kedalaman tanah di DAS Batang Pelepat berkisar 880 – 1 600 cm dengan faktor yang berkisar 0.80 – 1.00. Kedalaman minimum perakaran bergantung pada penggunaan lahan (jenis tanaman yang menutupi tanah). Lahan yang ditutupi oleh tanaman perkebunan mempunyai kedalaman minimum perakaran 50 cm, sedangkan semak belukar dan hutan masing-masing mempunyai kedalaman minimum perakaran 30 cm dan 90 cm. Perbedaan jenis tanah dan tipe penggunaan lahan menyebabkan bobot isi tanah pun bervariasi antara 0.94 – 0.98 g/cm3 sehingga pada gilirannya

juga berpengaruh terhadap besarnya Etol (Lampiran 28).

Berdasarkan prediksi, erosi yang terjadi pada lahan pertanian umumnya melebihi Etol, kecuali pada SL yang mempunyai kemiringan lereng <8%, yaitu SL 1 (22.23 ton/ha/tahun), SL 3 (12 ton/ha/tahun) dan SL 6 (12.27 ton/ha/tahun) dengan Etol masing-masing sebesar 43.12 ton/ha/tahun pada SL 1 dan 29.44 ton/ha/tahun pada SL 3 dan 6. Ketiga SL tersebut digunakan sebagai lahan pertanian berupa MK I (SL 3), MK II (SL 1) dan SK (SL 6). Erosi terbesar pada lahan pertanian terjadi pada SL 15, yaitu 838.31 ton/ha/tahun, padahal Etolnya hanya 21.31 ton/ha/tahun (Gambar 13A dan Lampiran 27). Satuan lahan (SL) 15

(19)

mempunyai kemiringan lereng 30% dan ditanami kelapa sawit berumur sekitar 4 tahun (lahan relatif banyak yang terbuka). Erosi parit yang berasal dari jatuhan air pelepah daun kelapa sawit telah terlihat pada SL 15.

Prediksi erosi pada lahan non pertanian menunjukkan bahwa hanya SL yang ditutupi oleh hutan yang mempunyai erosi lebih kecil dari Etol, yaitu SL 19, 20, 21 dan 22. Satuan lahan yang terbuka (SL 23) dan yang ditutupi oleh semak belukar (SL 17 dan 18) mempunyai erosi yang juga lebih besar dari Etol (Gambar 13B).

Gambar 13 Prediksi erosi dan Etol pada setiap satuan lahan yang digunakan sebagai lahan pertanian (A) dan non-pertanian (B) di DAS Batang Pelepat.

Berkaitan dengan adanya beberapa tipe UTKKS yang terdapat di DAS Batang Pelepat, prediksi erosi pada lahan pertanian dapat dirinci berdasarkan tipe UTKKS tersebut pada berbagai kemiringan lereng. Prediksi erosi tersebut menunjukkan bahwa erosi yang terjadi berkisar 2.78 – 1 341.29 ton/ha/tahun; sebagian besar erosi tersebut melebihi Etol (21.31 – 43.12 ton/ha/tahun), kecuali erosi yang terjadi pada lereng 2% (2.78 – 22.23 ton/ha/tahun) dan 7% dengan tipe SK sebesar 12.27 ton/ha/tahun (Gambar 14 dan Lampiran 29).

Berdasarkan prediksi erosi akibat penerapan berbagai tipe UTKKS tersebut dapat dikatakan bahwa erosi yang terjadi pada lahan dengan kemiringan lereng 3 – < 8% masih dapat dikendalikan bila ditutupi oleh kanopi

A 22.23 51.79 12.00 51.80 66.80 12.27 26.79 230.97 126.24 46.19 83.57 413.83 195.12 172.86 155.38 43.12 43.12 29.44 29.44 29.44 29.44 26.40 42.90 30.72 28.05 30.72 30.72 21.31 31.33 21.31 15.79 838.31 - 75 150 225 300 375 450 525 600 675 750 825 900 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Sa tu a n La ha n Erosi (ton/ha/thn) Erosi Etol B 357.10 579.95 2.44 2.11 1.61 0.84 186.45 38.80 27.57 21.77 5.95 16.49 9.46 52.25 - 75 150 225 300 375 450 525 600 675 750 825 900 17 18 19 20 21 22 23 S a tua n La ha n Erosi (ton/ha/thn) Erosi Etol

(20)

tanaman yang rapat seperti tipe SK. Tipe SK mempunyai kapasitas penutupan yang lebih rapat (C = 0.10) terhadap pemukaan tanah dibandingkan dengan tipe MK I, MK II, KRG, MKS dan KSP. Tipe MK I mempunyai kapasitas penutupan yang tergolong jarang terhadap pemukaan tanah (C = 0.80), sedangkan MK II, KRG, MKS dan KSP mempunyai kapasitas penutupan yang tergolong sedang terhadap permukaan tanah (C = 0.50). Menurut Suprayogo et al. (2007), peningkatan diversivitas tanaman pohon seperti pada sistem agroforestri multistrata atau penanaman LCC adalah teknik KTA vegetatif yang dapat memulihkan laju infiltrasi dan kondisi makroporositas. Tanaman LCC dapat menjadi sumber serasah sehingga dapat menyumbangkan bahan organik tanah (BOT). Zheng et al. (2004) dan Terra et al. (2006) mengemukakan bahwa peningkatan kandungan karbon organik tanah akibat teknik KTA cenderung menurunkan koefisien erodibilitas tanah dan aliran permukaan.

Gambar 14 Pengaruh penerapan setiap tipe UTKKS pada berbagai kemiringan lereng terhadap erosi di DAS Batang Pelepat.

Penggunaan LCC sangat terbatas pada kemiringan lereng 0 – <15%, sedangkan penggunaannya pada lahan dengan kemiringan lereng ≥ 15% menunjukkan efektivitas yang rendah. Oleh karena itu dalam pengembangan tanaman perkebunan pada lereng yang lebih curam, penerapan LCC juga harus disertai dengan teras gulud atau teras kebun untuk menekan aliran permukaan dan erosi. Teras gulud efektif diterapkan pada lahan dengan kemiringan lereng 10 – 40% dan teras kebun masih efektif diterapkan pada lahan dengan kemiringan 30 – 50% (Ditjen PLA 2007a).

(21)

Karakteristik Sosial Ekonomi DAS Batang Pelepat Karakteristik Petani Karet dan Kelapa Sawit di DAS Batang Pelepat

Berdasarkan hasil penelitian, jumlah rumah tangga (RT) tani di DAS Batang Pelepat adalah 2 014 atau sekitar 93.50% dari jumlah KK yang ada di DAS Batang Pelepat. Petani di DAS Batang Pelepat sebagian besar (91.04%) adalah petani karet dan sebagian kecil (8.96%) petani kelapa sawit yang menerapkan beberapa tipe usahatani, yaitu SK I (31.34%), SK II (25.87%), MK I (9.95%), MK II (22.95%), KRG (0.99%), MKS (8.46%) dan KSP (0.50%) (Tabel 28).

Tabel 28 Sebaran jumlah petani karet dan kelapa sawit berdasarkan tipe usahatani di DAS Batang Pelepat, Tahun 2006

Tipe UTKKS Jumlah

Orang % Sesap Karet I Sesap Karet II Monokultur Karet I Monokultur Karet II Karet-Gaharu

Monokultur Kelapa Sawit Kelapa Sawit-Pisang 63 52 20 46 2 17 1 31.34 25.87 9.95 22.89 0.99 8.46 0.50 Jumlah 201 100.00

Sebaran jumlah petani berdasarkan tipe UTKKS menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil petani yang mengelola tanaman secara memadai (MK I dan KRG). Pengelolaan usahatani yang tidak memadai di DAS Batang Pelepat disebabkan oleh keterbatasan modal tunai. Berdasarkan hasil penelitian, petani di DAS Batang Pelepat memiliki modal sebesar Rp6 000 000/KK (Rp2 000 000 modal tunai dan Rp4 000 000 modal tenaga kerja setara dengan 250 HOK). Keterbatasan modal pula yang menyebabkan petani hanya mampu mengelola sebagian lahan (2 ha) yang dimilikinya, walaupun petani memiliki lahan rata-rata 5 ha/KK (Tabel 29).

Table 29 Sebaran luas kepemilikan lahan dan luas lahan usahatani per KK pada setiap desa di DAS Batang Pelepat, Tahun 2006

Desa Luas Lahan yang dimiliki (ha) Luas Lahan usahatani (ha) Batu Kerbau Baru Pelepat Rantel Balai jaya Rantau Keloyang 4.22 5.26 6.78 6.29 5.18 2.50 1.50 2.00 1.50 2.00 Rata-Rata 5.28 1.90

(22)

Petani juga mempunyai tingkat pendidikan (formal) yang tergolong rendah karena sebagian besar (76.12%) petani hanya lulusan sekolah dasar (SD) dan bahkan sekitar 0.99% petani tidak pernah menempuh pendidikan formal (Tabel 30). Tingkat pendidikan yang relatif rendah merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya tingkat adopsi petani di kawasan ini terhadap agroteknologi usahatani, selain modal yang terbatas.

Tabel 30 Sebaran tingkat pendidikan petani karet dan kelapa sawit di DAS Batang Pelepat, Tahun 2006

Tingkat Pendidikan Orang % Jumlah

Tidak sekolah SD SLTP SLTA Perguruan Tinggi 2 153 8 32 6 0.99 76.12 3.98 15.92 2.99 Jumlah 201 100.00

Pengaruh Tipe UTTKS terhadap Produksi Tanaman Produksi Karet

Produksi karet di DAS Batang Pelepat bervariasi antara 652.17 – 1 362.75 kg lateks/ha/tahun; sesuai dengan tipe usahatani. Tipe SK mulai berproduksi pada umur 8 tahun dan umur produktif mencapai 30 tahun, tetapi produksinya tergolong rendah, yaitu 652.17 kg lateks/ha/tahun. Karet pada tipe MK I dan KRG mulai berproduksi pada umur 6 tahun, tetapi umur produktifnya hanya 25 tahun dengan produksi 1 362.75 kg lateks/ha/tahun dan lebih tinggi dibandingkan dengan produksi pada SK dan MK II yang masing-masing hanya 652.17 dan 822.25 kg lateks/ha/tahun (Tabel 31).

Tabel 31 Sebaran produksi karet, kelapa sawit dan tanaman sela pada setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat

Jenis Tanaman

Produksi Tanaman pada setiap Tipe Usahatani

SK I SK II MK I MK II KRG MKS KSP 1. Kareta 2. Manaub 3. Sungkaic 4. Medangc 5. Balamc 6. Gaharud 7. Klp. Sawite 8. Pisangf 9. Padig 10. Pinangh 11. Ky.Karetc 652.17 4110 40 - - - - - 1 250 700 100 652.17 - - 50 50 - - - 1 250 700 100 1 362.75 - - - - - - - 1 250 700 100 822.25 - - - - - - - 1 250 700 100 1 362.75 - - - - 680 - - 1 250 700 100 - - - - - - 11 000 - 1 250 700 - - - - - - - 11 000 737.5 1 250 700

-* a = dalam kg lateks/ha dan b = dalam kg manau panjang 6 m/ha/tahun, c = m3 kayu

bulat/ha/tahun, d = kg gubal/ha/tahun, e = kg TBS/ha/tahun, f = kg buah segar/ha/tahun, g = kg GKG/ha/tahun dan h = kg biji kering/ha/tahun.

(23)

Produksi karet maksimum pada setiap tipe usahatani juga dicapai pada waktu (umur tanaman karet) yang berbeda. Produksi karet pada tipe SK mencapai maksimum pada umur 20 tahun (1 100 kg lateks/ha), sedangkan produksi maksimum pada tipe MK II tercapai pada umur 15 tahun (1 500 kg lateks/ha) dan pada tipe MK I dan KRG tercapai pada umur 13 tahun (1 700 kg lateks/ha). Produksi karet maksimum pada tipe MK I dan KRG dapat diperoleh selama 3 tahun, yaitu umur tanaman 13 – 15 tahun setelah tanam (Gambar 15 dan Lampiran 13).

Produksi karet pada semua tipe usahatani juga masih tergolong rendah dibandingkan dengan standar atau potensi produksi karet, yaitu 1 737.5 kg lateks/ha/tahun dengan produksi maksimum pada tahun sadap ke 9 (umur 14 tahun setelah tanam), yaitu sebesar 2 350 kg lateks/ha (Anwar 2006). Rendahnya produksi karet disebabkan karena pengelolaan yang belum memadai, sedangkan perbedaan produksi pada setiap tipe UTKKS disebabkan oleh perbedaan sistem pengelolaannya.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 P roduks i K a re t ( k g l a te k s /ha) S e sa p  K a re t

Mon o ku ltur K a re t II

Mon o ku ltur K a re t I d a n K a re t‐G a h a ru

Umur Tanaman (tahun)

Gambar 15 Perbandingan sebaran produksi karet berdasarkan umur tanaman pada setiap tipe usahatani karet di DAS Batang Pelepat

Produksi Kelapa Sawit

Produksi kelapa sawit di DAS Batang Pelepat hanya sekitar 11 000 kg TBS/ha/tahun; produksi ini masih di bawah potensi produksi TBS pada lahan kelas S3 yang mencapai 22 000 kg TBS/ha/tahun (Tabel 31). Produksi TBS bervariasi sesuai umur tanaman dan mencapai produksi maskimum pada umur yang berbeda. Teknik budidaya kelapa sawit aktual mengakibatkan produksi maksimum tercapai pada umur tanaman 14 tahun, tetapi penerapan agroteknologi yang ideal pada lahan dengan kelas kesesuaian S3

(24)

mengakibatkan produksi maksimum tercapai pada umur tanaman 9 – 13 tahun (Gambar 16 dan Lampiran 13). Tipe usahatani kelapa sawit di DAS Batang Pelepat menerapkan sistem tanam monokultur (MKS) dan tumpangsari (KSP), namun belum disertai dengan agroteknologi yang memadai. Kedua tipe usahatani kelapa sawit tersebut menghasilkan jumlah produksi TBS yang sama.

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Umur Tanaman (tahun)

P ro duk s i TBS ( k g /ha )

Potensi Produksi pada Kelas Kesesuaian Lahan S3 Produksi Aktual

Gambar 16 Perbandingan sebaran produksi TBS berdasarkan umur tanaman di DAS Batang Pelepat dengan potensi produksi pada lahan kelas S3.

Produksi Tanaman Sela

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa produksi padi ladang sebagai tanaman sela hanya mencapai 1 250 kg GKG/ha/tahun dan produksi pinang adalah sekitar 700 kg biji kering/ha/tahun. Pisang adalah pilihan komoditi yang ditanam secara tumpangsari dengan kelapa sawit yang mempunyai kapasitas produksi 80 tandan pada tahun pertama dan 170 tandan pada tahun kedua hingga tahun keempat, sehingga produksi rata-rata mencapai 147.5 tandan/ha/tahun atau 737.75 kg/ha/tahun (Tabel 31 dan Lampiran 13).

Tanaman kehutanan berupa manau yang dijadikan tanaman sela pada tipe SK I mencapai produksi rata-rata 4.11 ton/ha (dari 100 batang manau/ha) dan kayu sungkai dengan populasi 40 batang/ha dapat menghasilkan 40 m3 kayu

bulat/ha. Berat jenis kayu sungkai menurut Martawijaya (2005a) adalah 0.63 g/cm3 sehingga 40 m3/ha kayu bulat tersebut setara dengan 25.20 ton/ha kayu

bulat. Tanaman kehutanan lainnya yang digunakan sebagai tanaman sela pada usahatani karet adalah kayu medang dan kayu balam. Kedua jenis tanaman ini ditemukan pada SK II dengan populasi masing-masing 50 batang/ha dengan produksi sekitar 50 m3 kayu bulat/ha. Menurut Martawijaya (2005b), berat jenis

(25)

kayu medang dan balam adalah 0.56 g/cm3 sehingga 50 m3/ha kayu bulat

tersebut setara dengan 11.20 ton/ha kayu bulat (Tabel 31 dan Lampiran 13). Selain tanaman sela, kayu karet yang sudah tua juga memberi kontribusi terhadap pendapatan petani. Berdasarkan hasil penelitian setiap hektar kebun karet rakyat dapat menghasilkan sekitar 100 m3 kayu karet (Tabel 31).

Pengaruh Tipe UTKKS terhadap Pendapatan dan Kelayakan Usahatani di DAS Batang Pelepat

Berdasarkan analisis usahatani dapat diketahui bahwa pendapatan petani karet berkisar Rp5 800 000 hingga 59 360 000/ha/tahun. Pendapatan tertinggi akan diperoleh dari tipe KRG, tetapi saat ini tanaman belum menghasilkan, sedangkan pendapatan terendah diperoleh dari tipe MK II, yaitu Rp5 800 000/ha/tahun. Tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat mempunyai struktur biaya, penerimaan dan pendapatan yang berbeda karena dikelola dengan agroteknologi yang berbeda (Tabel 32 dan Lampiran 30).

Diversifikasi tanaman pada tipe UTKKS memberikan kontribusi terhadap pendapatan usahatani. Berdasarkan analisis usahatani diketahui bahwa pendapatan pada tipe usahatani campuran lebih tinggi dibandingkan pendapatan pada usahatani monokultur. Pendapatan pada tipe SK dan KRG lebih tinggi dibandingkan dengan monokultur karet dan pendapatan dari tipe KSP lebih tinggi dibandingkan dengan MKS. Pendapatan yang diperoleh petani karet lebih kecil dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh oleh petani kelapa sawit. Petani MKS mempunyai pendapatan sekitar Rp8 000 000 dan petani KSP mempunyai pendapatan sekitar Rp8 100 000 (Tabel 32).

Tabel 32 Distribusi biaya, penerimaan dan pendapatan serta kebutuhan luas lahan minimal (Lmin) setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat

Tipe UTKKS Biaya Penerimaan Pendapatan Lmin

Juta Rp/ha/tahun Juta Rp/ha/tahun Juta Rp/ha/tahun (ha) Sesap Karet I Sesap Karet II Monokultur Karet I Monokultur Karet II Karet-Gaharu (TBM)* Monokultur K.Sawit Kelapa sawit-Pisang 1.24 1.10 1.95 1.42 2.74 1. 00 1.16 7.36 6.90 9.79 6.87 62.10 9.00 9.26 6.12 5.80 7.84 5.45 59.36 8.00 8.10 2.94 3.10 2.30 3.30 0.30 2.25 2.22

* Hasil Prediksi karena tanaman belum menghasilkan

Berdasarkan hasil penelitian PKHL di DAS Batang Pelepat adalah Rp18 000 000/KK. Pendapatan petani karet dan kelapa sawit di DAS Batang Pelepat yang berasal dari 2 ha lahan belum dapat memenuhi PKHL, kecuali petani yang menerapkan tipe KRG (Gambar 17). Tingginya pendapatan dari tipe KRG

(26)

disebabkan oleh tingginya nilai ekonomi gubal gaharu (Rp2 000 000/kg), namun pengembangannya sangat dibatasi oleh pengetahuan petani untuk mengelola tanaman tersebut karena petani hanya terbiasa mengelola tanaman karet. Pengembangan tipe KRG di DAS Batang Pelepat masih bergantung pada fasilitas pemerintah, padahal menurut Sinukaban (2007b) pertanian berkelanjutan harus dapat dikembangkan oleh petani secara mandiri.

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00 Kemiringan Lereng (%) P e nda pa ta n ( J ut a R upi a h/ 2 ha /t a hun ) Pendapatan SK I 12.24 12.24 12.24 12.24 Pendapatan SK II 11.60 11.60 11.60 11.60 Pendapatan MK I 15.68 15.68 15.68 15.68 Pendapatan MK II 10.92 10.92 10.92 10.92 Pendapatan KRG 118.72 118.72 118.72 118.72 Pendapatan MKS 16.00 16.00 16.00 16.00 Pendapatan KSP 16.20 16.20 16.20 16.20 PKHL 18.00 18.00 18.00 18.00 2% 7% 14% 30%

Gambar 17 Pengaruh tipe UTKKS pada lahan seluas 2 ha terhadap pendapatan petani berdasarkan kelas kemiringan lereng di DAS Batang Pelepat.

Berdasarkan perbandingan PKHL dan pendapatan dari setiap tipe UTKKS dapat diketahui bahwa untuk memenuhi PKHL petani harus mengelola lahan yang lebih dari 2 ha, kecuali petani KRG (0.30 ha). Luas lahan minimal yang dibutuhkan petani untuk mencapai PKHL berkisar antara 2.20 – 3.30 ha (Tabel 32), sesuai tipe UTKKS yang dipilih. Pemanfaatan seluruh lahan yang dimiliki petani (5 ha) mengakibatkan petani dapat memenuhi PKHL, namun saat ini petani tidak memiliki modal yang cukup untuk mengelola seluruh lahan yang dimilikinya dan akan semakin meningkatkan luas lahan terdegradasi.

Ketercapaian PKHL melalui usahatani merupakan salah satu indikator keberhasilan usahatani atau menunjukkan keberlanjutan suatu usahatani. Selanjutnya PKHL digunakan sebagai salah satu indikator penilaian keberlanjutan UTKKS di DAS Batang Pelepat dan PKHL tersebut juga digunakan sebagai salah satu target (target pendapatan) dalam optimalisasi UTKKS berkelanjutan dengan PTG.

(27)

Kelayakan UTKKS juga dapat dinilai berdasarkan analisis kelayakan terhadap masing-masing tipe UTKKS. Hasil analisis tersebut juga menunjukkan bahwa tipe SK dan MK II tidak layak. Tipe usahatani yang layak adalah MK I, KRG, MKS dan KSP yang hanya diterapkan oleh sebagian kecil petani (Tabel 33 dan Lampiran 30). Hasil analisis kelayakan UTKKS sesuai dengan kondisi masyarakat (petani) di DAS Batang Pelepat yang umumnya belum dapat memenuhi kebutuhan hidup secara layak (masih miskin). Pendapatan sebagian besar masyarakat tergantung pada UTKKS (93.50% atau 2 014 KK), terutama tipe SK (57.21%) dan MK II (22.89%). Hasil analisis kelayakan menunjukkan bahwa tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat masih memerlukan penyempurnaan agroteknologi agar penanaman investasi petani pada UTKKS menguntungkan dan memberikan keuntungan yang layak bagi petani.

Tabel 33 Pengaruh tipe UTKKS terhadap tingkat kelayakan usahatani di DAS Batang Pelepat

Tipe UTKKS B/C NPV (Juta Rp) IRR (%)

Sesap Karet I Sesap Karet II Monokultur Karet I Monokultur Karet II Karet-Gaharu (TBM) Monokultur Kelapa Sawit Kelapa sawit-Pisang 0.99 0.77 1.40 0.96 16.08 3.26 3.15 -0.10 -3.42 8.29 0.76 529.09 31.89 33.41 11.96 10.65 15.01 11.68 57.40 26.47 28.00

Perencanaan UTKKS Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat

Alternatif Tipe dan Agroteknologi UTKKS Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat

Berdasarkan analisis pengaruhnya terhadap erosi dan pendapatan serta kelayakan usahatani diatas, semua tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat dinilai tidak berkelanjutan sehingga perlu dilakukan penyempurnaan terhadap tipe UTKKS yang sudah ada melalui perbaikan agroteknologi yang dapat diterima dan diterapkan petani sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki. Semua tipe UTKKS (kecuali KRG) di DAS Batang Pelepat dapat dijadikan alternatif dalam pemilihan usahatani berkelanjutan yang local based yang disertai dengan 2 skenario agroteknologi.

Skenario Agroteknologi 1 (SA1)

Skenario agroteknologi 1 (SA1) adalah pengaturan jarak tanam pada tipe SK (untuk penanaman baru), penerapan teknik pemupukan dan KTA (Tabel 34). Pupuk yang digunakan untuk karet adalah urea, TSP dan KCl dengan takaran

(28)

Tabel 34 Deskripsi skenario agroteknologi 1 (SA1) dan skenario agroteknologi 2 (SA2) pada setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat Skenario Agroteknologi 1 (SA1)

Tipe UTKKS* Jarak Tanam

Populasi & Jenis

Tanaman Pemupukan Penyiangan

Pemberantasan &

Pengendalian HPT Teknik KTA Sesap Karet I 3 m x 7 m** 460 karet, 128

manau dan 128 sungkai

Sesuai rekomendasi Balitbang

Pertanian (2005b) Seperlunya Seperlunya LCC + Kontur (3-14%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 – 30%) Sesap Karet II 3 m x 7 m** 460 karet,

128 balam dan 128 medang

Sesuai rekomendasi Balitbang

Pertanian (2005b) Seperlunya Seperlunya LCC + Kontur (3-14%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 – 30%) Monokultur

Karet 3 m x 7 m 460 karet Sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b) Seperlunya Seperlunya LCC + Kontur (3-14%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 – 30%) Monokultur

Kelapa Sawit 8 m x 8 m 141kelapa sawit Sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b) Seperlunya Seperlunya LCC + Kontur (3-14%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 – 30%) Kelapa

Sawit-Pisang

8 m x 8 m 141 kelapa sawit dan 121 pisang

Sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b)

Seperlunya Seperlunya LCC + Kontur (3-14%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 – 30%) Skenario Agroteknologi 2 (SA2)

Tipe UTKKS* Jarak Tanam

Populasi & Jenis

Tanaman Pemupukan Penyiangan

Pemberantasan &

Pengendalian HPT Teknik KTA Sesap Karet I 3 m x 7 m** 460 karet, 128

manau dan 128 sungkai

Rekomendasi BPP Sembawa (2003)

Seperlunya Seperlunya LCC + Kontur (3-14%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 – 30%) Sesap Karet II 3 m x 7 m** 460 karet,

128 balam dan 128 medang

Rekomendasi BPP Sembawa

(2003) Seperlunya Seperlunya LCC + Kontur (3-14%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 – 30%) Monokultur

Karet 3 m x 7 m 460 karet Rekomendasi BPP Sembawa (2003) Seperlunya Seperlunya LCC + Kontur (3-14%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 – 30%) Monokultur

Kelapa Sawit 8 m x 8 m 141kelapa sawit Rekomendasi PPKS Medan (1999) Seperlunya Seperlunya LCC + Kontur (3-14%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 – 30%) Kelapa

Sawit-Pisang

8 m x 8 m 141 kelapa sawit dan 121 pisang

Rekomendasi PPKS Medan (1999) untuk kelapa sawit dan rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b) untuk pisang

Seperlunya Seperlunya LCC + Kontur (3-14%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 – 30%) * Setiap tipe UTKKS tetap menerapkan penanaman Padi Ladang sebagai tanaman sela pada 2 tahun pertama dan Pinang sebagai tanaman pagar.

(29)

88 masing-masing 100, 50 dan 50 kg/ha/tahun, sedangkan untuk kelapa sawit digunakan pupuk NPK sebanyak 0.22 – 0.45 kg/pohon/tahun dan MgSO4

sebanyak 0.10 – 0.40 kg/pohon/tahun (Balitbang Pertanian 2005b). Pemberian pupuk pada SA1 pada lereng 3 – 14% disertai dengan penerapan LCC dan sistem tanam menurut kontur (CP = 0.05 – 0.08) (Hammer 1986, diacu dalam Arsyad 2006) dan pada lereng 15–30% disertai dengan penerapan LCC serta teras gulud atau teras kebun (CP = 0.0102) (Balitbang Pertanian 2005b). Teknik KTA ini sesuai dengan nilai CPmaks pada setiap kemiringan lereng, yaitu 0.24

(pada lereng 7%), 0.06 (pada lereng 14%) dan 0.01 pada lereng 30% (Lampiran 31).

Penerapan SA1 menyebabkan erosi pada setiap tipe UTKKS lebih kecil dibandingkan dengan tanpa penerapan agroteknologi (Lampiran 31) dan bahkan erosi dapat dikendalikan hingga lebih kecil Etol. Erosi pada SK I dan SK II sebesar 0.61 – 3.46 ton/ha/tahun, pada MK sebesar 4.91 – 27.72 ton/ha/tahun dan pada MKS dan KSP sebesar 3.07 – 17.32 ton/ha/tahun, sedangkan Etol berkisar 21.31 – 43.12 ton/ha/tahun (Gambar 18 dan 19). Penyempurnaan agroteknologi yang dilengkapi dengan teknik KTA yang efektif mengendalikan erosi (sesuai kemiringan lereng) pada gilirannya dapat mempertahankan produktivitas lahan.

Gambar 18 Pengaruh penerapan SA1 pada setiap tipe UTKKS terhadap pendapatan dan erosi pada lahan seluas 2 ha dengan kemiringan lereng yang berbeda di DAS Batang Pelepat.

(30)

89

Gambar 19 Pengaruh penerapan SA1 pada setiap tipe UTKKS terhadap pendapatan dan erosi pada lahan seluas 5 ha dengan kemiringan lereng yang berbeda di DAS Batang Pelepat. Penerapan SA1 mengakibatkan peningkatan biaya usahatani karena adanya perbaikan agroteknologi berupa pemupukan dan teknik KTA. Biaya pemupukan meningkat sesuai peningkatan takaran yang direkomendasikan, sedangkan biaya teknik KTA meningkat sesuai dengan jenis teknik KTA yang digunakan. Menurut Ditjen PLA Deptan (2007b), penerapan LCC membutuhkan biaya sebesar Rp425 000/ha, yang terdiri atas biaya upah tenaga kerja sebesar Rp 400 000 (setara 16 HOK) untuk penanamannya dan bibit LCC senilai Rp25 000/ha, serta Rp150 000/tahun (setara 6 HOK/tahun) untuk pemeliharaannya, sedangkan pembuatan teras gulud atau teras kebun membutuhkan biaya upah tenaga kerja sebesar Rp2 000 000/ha (80 HOK) dan pemeliharaannya membutuhkan biaya tenaga kerja sebesar Rp150 000 – 250 000/tahun (6 – 10 HOK).

Perbaikan agroteknologi UTKKS melalui penerapan SA1 mengakibatkan produksi tanaman juga meningkat dibandingkan dengan produksi tanaman yang tidak menerapkan agroteknologi. Produksi karet mencapai 1 362.75 kg lateks/ha/tahun atau 0.00 – 108.97%, kelapa sawit mencapai 20 052.17 kg TBS/ha/tahun (84.11%), manau mencapai 5 260 kg/ha (27.98%) dan kayu

(31)

90 sungkai, balam serta medang mencapai 128 m3/ha (156 – 220%) (Tabel 35).

Peningkatan produksi karet dan kelapa sawit dapat diketahui berdasarkan hasil survei terhadap petani yang sudah menerapkan takaran pemupukan tersebut, sedangkan peningkatan produksi tanaman sela diperkirakan berdasarkan penambahan populasi tanaman dan pengelolaan usahatani karet secara memadai dapat meningkatkan produksi kayu karet hingga 300 m3/ha kayu bulat

(Ditjenbun 2007).

Tabel 35 Sebaran produksi tanaman karet, kelapa sawit dan tanaman sela pada setiap tipe UTKKS akibat penerapan SA1 di DAS Batang Pelepat

Jenis Tanaman Produksi Tanaman pada setiap Tipe Usahatani

SK I SK II MK I MKS KSP Kareta Manaua Sungkaib Medangb Balamb Gaharua Klp. Sawita Pisanga Padia Pinanga Kayu Karetb 1 362.75 5 260.00 128.00 - - - - - 1 250.00 700.00 300.00 1 362.75 - - 128.00 128.00 - - - 1 250.00 700.00 300.00 1 362.75 - - - - - - - 1 250.00 700.00 300.00 - - - - - - 20 052.00 - 1 250.00 700.00 - - - - - - - 20 052.00 737.50 1 250.00 700.00 -

* a = dalam kg lateks/ha dan b = dalam kg manau panjang 6 m/ha/tahun, c = m3 kayu bulat/ha/tahun, d = kg gubal/ha/tahun, e = kg TBS/ha/tahun, f = kg buah segar/ha/tahun, g = kg GKG/ha/tahun dan h = kg biji kering/ha/tahun.

Peningkatan produksi tanaman akibat penerapan SA1 pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan petani menjadi Rp13 380 000 – 16 350 000/ha/tahun, meskipun biaya yang dikeluarkan untuk usahatani juga meningkat (Rp1 290 000 – 2 440 000/ha). Pendapatan petani bervariasi sesuai tipe UTKKS dan agroteknologi yang diterapkan pada berbagai kemiringan lereng, yaitu Rp16 100 000 – 16 350 000/ha/tahun (SK I), Rp15 560 000 – 15 830 000/ha/tahun (SK II), Rp13 380 000 – 13 640 000/ha/tahun (MK), Rp 13 450 000 – 13 720 000/ha/tahun (MKS) dan Rp14 010 000 – 14 280 000/ha/tahun (KSP). Pendapatan paling tinggi dapat dicapai dengan menerapkan tipe SK I, sedangkan yang paling rendah dapat dicapai dengan hanya menerapkan tipe MK (Tabel 36). Pemanfaatan sebagian (2 ha) atau seluruh (5 ha) lahan milik petani dengan menerapkan SA1 mengakibatkan petani memperoleh pendapatan sebesar Rp26 740 000–81 750 000/tahun; pendapatan ini telah melampaui PKHL yang mencapai Rp18 000 000/KK (Gambar 18 dan Gambar 19).

Berdasarkan pendapatan dari setiap tipe UTKKS yang dapat melampaui PKHL (pada lahan seluas 2 ha dan 5 ha) tersebut, berarti untuk memenuhi PKHL di DAS Batang Pelepat petani cukup mengelola lahan yang kurang dari 2 ha.

(32)

91 Berdasarkan perbandingan PKHL di DAS Batang Pelepat (Rp18 000 000/KK) dan pendapatan yang diperoleh dari setiap tipe UTKKS per hektar akibat penerapan SA1 dapat ditentukan kebutuhan lahan minimal yang harus dikelola petani sesuai dengan tipe UTKKS yang dipilih. Kebutuhan lahan minimal untuk setiap tipe UTKKS pun bervariasi sesuai dengan kemiringan lereng, yaitu 1.10 – 1.35 ha karena pendapatan yang diperoleh pada setiap tipe UTKKS pun bervariasi sesuai kemiringan lereng atau disesuaikan dengan teknik KTA yang diterapkan (Tabel 37).

Tabel 36 Pengaruh penerapan SA1 terhadap biaya, penerimaan dan pendapatan pada setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat

Tipe UTKKS

Biaya (Juta Rp/ha) Penerimaan (Juta Rp/ha)

Pendapatan (Juta Rp/ha)

KTA0* KTA1* KTA2* KTA0* KTA1* KTA2*

SK I 1.44 1.45 1.71 17.80 16.35 16.34 16.10

SK II 1.29 1.30 1.56 17.12 15.83 15.82 15.56

MK 2.16 2.17 2.44 15.80 13.64 13.63 13.38

MKS 1.88 1.89 2.15 15.60 13.72 13.71 13.45

KSP 1.89 1.90 2.16 16.17 14.28 14.27 14.01

* KTA0 = tanpa teknik KTA pada lereng 0 – 2%, KTA1 = LCC dan sistem tanam menurut kontur (CC) pada lereng 3 – 14% dan KTA2 = LCC dan teras gulud atau teras kebun pada lereng 15 – 30%.

Tabel 37 Pengaruh penerapan SA1 terhadap kebutuhan luas lahan minimal setiap tipe UTKKS pada berbagai kemiringan lereng di DAS Batang Pelepat

Tipe UTKKS Luas Lahan pada setiap Kemiringan Lereng (ha)

2% 7% 14% 30% Sesap Karet I

Sesap Karet II Monokultur Karet Monokultur Kelapa Sawit Kelapa Sawit-Pisang 1.10 1.14 1.32 1.31 1.26 1.10 1.14 1.32 1.31 1.26 1.10 1.14 1.32 1.31 1.26 1.12 1.16 1.35 1.34 1.28

Berdasarkan analisis kelayakan usahatani, semua tipe UTKKS berkelanjutan yang dicapai melalui penerapan SA1 layak dan menguntungkan. Hal ini dapat dilihat dari indikator kelayakan investasi usahatani (B/C, NPV dan IRR). Kelayakan investasi setiap tipe UTKKS bervariasi sesuai dengan kemiringan lereng karena biaya dan penerimaan usahatani pada setiap kemiringan lereng juga berbeda (Lampiran 30). Berdasarkan analisis kelayakan usahatani, tipe SK I mempunyai tingkat kelayakan yang lebih tinggi (B/C = 1.76 – 3.50, NPV = Rp14 125 266.17 – 43 147 341.60 dan IRR = 36.72 – 43.16%) dibandingkan dengan tipe UTKKS lainnya (Tabel 38).

Peningkatan pendapatan, penurunan erosi dan analisis kelayakan usahatani tersebut menunjukkan bahwa indikator keberlanjutan pada setiap tipe UTKKS dapat dicapai dengan menerapkan SA1. Peningkatan pendapatan dan

Gambar

Tabel 16 Karakteristik satuan lahan yang terdapat di DAS Batang Pelepat
Tabel 17  Sebaran kelas kemampuan lahan di DAS Batang Pelepat berdasarkan satuan lahan  Klasifikasi Kemampuan Lahan  Satuan Lahan  Luas
Tabel 23 Deskripsi karakteristik setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat  Tipe UTKKS * Kondisi tutupan
Gambar 8 Komposisi kelapa sawit dan pisang pada tipe KSP di DAS Batang Pelepat.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengukuran kandungan nitrat dan fosfat ketiga stasiun pengamatan dimuara sungai Salo’ Tellue menunjukan kisaran yang layak untuk budidaya rumput laut.Ditinjau

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana dasar hukum atau syarat-syarat untuk pengakuan atas suatu Negara oleh PBB, bagaimana perubahan status

Dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8, terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan

kerja JFP di dalam organisasi pemerintah. 1 ) Penjelasan umum Peraturan Pemerintah nomor 40 Tahun 2010 menyatakan bahwa Penetapan Instansi Pembina Jabatan Fungsional

Di Kota Pekanbaru pada Oktober 2016, andil inflasi disumbang oleh lima kelompok pengeluaran, yakni kelompok bahan makanan dengan andil sebesar 0,55 persen,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa formula KSB (kemiri sunan 25% + bandotan 5%) pada konsentrasi 10 ml/ l menghasilkan nilai persentase serangan PBK terendah, sedangkan formula

Berangkat dari usulan tersebut kemudian menjadi dasar pertimbangan yang mampu melahirkan sebuah lembaga pendidikan terbesar di Sulawesi Selatan, yaitu Daru

Setelah dilakukan pengkajian mendalam melalui proses analisis di atas, maka diyakini bahwa hipotesis penelitian yang menyatakan tunjangan profesi dan motivasi