• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dimiliki oleh orang lain mengenai individu tersebut. Self Perception (persepsi diri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. dimiliki oleh orang lain mengenai individu tersebut. Self Perception (persepsi diri"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Konsep Diri

2.1.1. Definisi Konsep Diri

Konsep diri merupakan penjabaran mengenai diri secara keseluruhan sebagai suatu gambaran bagi orang lain untuk melihat adakah perbedaan pandangan antara individu tentang dirinya sendiri dengan pandangan yang dimiliki oleh orang lain mengenai individu tersebut. Self Perception (persepsi diri sendiri), persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaiannya, serta persepsi individu terhadap pengalamannya akan situasi tertentu.

Fitts (1971) menyatakan konsep diri sebagai "the self as seen, perceived, and experienced by him" dalam hal ini, arti konsep diri menurut Fitts adalah diri sebagaimana dilihat dan dialami atau dirasakan oleh individu itu sendiri. Hal seperti ini merupakan sifat dasar naluriah yang dimiliki oleh setiap individu sebagai pembawaan karakternya sejak lahir. Sebagai respon terhadap orang lain, lingkungannya maupun individu tersebut.

Chaplin (2001) mengatakan bahwa self concept adalah evaluasi individu mengenai diri sendiri, penilaian atau penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Sebagai mana dikatakan Santrock (2002) yang mengartikan konsep diri merupakan evaluasi terhadap domain spesifik dari diri. Selain itu ahli lain mengatakan konsep diri adalah cara individu melihat gambaran

(2)

9

diri sendiri, yang terbentuk berdasarkan pemikiran-pemikiran individu dari interaksinya dengan orang lain.

Konsep diri dapat dibentuk melalui pandangan diri dan pengalaman yang positif. Konsep merupakan aspek yang kritikal dan dasar dari perilaku individu. Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif yang dapat dilihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan. Sedangkan konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang terganggu.

2.1.2. Dimensi-dimensi konsep diri

Fitts (1971) melihat bahwa pengamatan seseorang terhadap dirinya dapat dilihat dari dua dimensi yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal.

1. Dimensi internal

Fitts melihat ada 3 bagian dari diri yaitu: a) Identitas diri

adalah aspek paling mendasar dari konsep diri. Aspek ini adalah ciri mempertanyakan "siapa aku?". Di dalam diri identitas terkumpul seluruh label dan simbol yang digunakan seseorang untuk menggambarkan diri. Dengan bertambah pengalaman, label seseorang akan bertambah. Semua ini menambah pengenalan diri dan menolong menggambarkan diri dalam menjawab pertanyaan identitasnya. Sumber utama diri identitas adalah diri sebagai pelaku. Diri identitas dapat mempengaruhi cara seseorang berinteraksi dengan lingkungan dan juga dengan diri sendiri.

(3)

10

Dengan demikian diri identitas mempunyai hubungan dengan diri pelaku dan hubungan ini secara umum berlaku timbal balik ( Fitts, 1971).

b) Diri sebagai pelaku

Merupakan persepsi seseorang terhadap tingkah lakunya atau caranya bertindak. Dalam melakukan sesuatu seseorang didorong oleh stimulus eksternal dan internal. Konsekuensi dari tingkah laku mempengaruhi dipertahankan atau tidak suatu tingkah laku. Di samping itu juga menentukan apakah suatu tingkah laku baru diabstraksikan, disimbolisasikan atau dimasukkan dalam diri identitas.

c) Diri sebagai penilai

Manusia cenderung menilai sejauh mana hal-hal yang dipersepsikan memuaskan bagi dirinya. Interaksi antara diri identitas, diri pelaku dan integrasi dalam keseluruhan konsep diri meliputi bagian diri yang ketiga yaitu diri sebagai penilai. Diri penilai berfungsi sebagai pengamat dan pemberi nilai standar, pembanding dan terutama sebagai penilai diri. Juga mediator antara dua diri berbeda. Penilaian diberikan pada label-label di dalam diri identitas atau diri pelaku secara terpisah, misalnya Saya pintar" atau "Saya tidak suka melakukan itu". Penilaian belajar dan "saya pintar" berarti orang tersebut memberi label pada keseluruhan diri dan

(4)

11

bukan pada tingkah laku tertentu. Namun orang tersebut bisa juga mengatakan "Saya melakukan itu tapi saya bukan orang yang terbiasa melakukan hal demikian", hal ini berarti, orang tersebut tidak setuju dengan tingkah laku tadi.

2. Dimensi Eksternal

Pengamatan diri dimensi eksternal timbul dalam pertemuan dengan dunia luar, secara khusus hubungan interpersonal. Ada lima bagian diri yang tercakup dalam dimensi eksternal yaitu :

a) Diri fisik

Merupakan persepsi dan perasaan seseorang terhadap keadaan fisik, kesehatan, keterampilan, penampilan diri, seksualitas dan gerak motorik.

b) Diri etika moral

Merupakan persepsi seseorang tentang dirinya ditinjau dari standar pertimbangan nilai-nilai etis dan moral. Selain itu juga berkaitan dengan hubungan seseorang dengan Tuhannya, rasa puas seseorang pada kehidupan keagamaannya, nilai-nilai moral yang dianut berkenaan dengan apa yang baik dan yang jahat dan rasa puas seseorang dalam kehidupan agamanya.

c) Diri personal

Merupakan perasaan individu terhadap nilai-nilai pribadi terlepas dari keadaan fisik dan hubungan dengan orang lain dan sejauh mana ia merasa kuat sebagai pribadi. Misalnya perasaan

(5)

12

diri sebagai orang gembira, orang tenang dan santai atau seorang pembenci.

d) Diri keluarga

Merupakan perasaan dan harga diri seseorang sebagai anggota keluarga dan di tengah-tengah teman-teman dekat. Bagian ini menunjukkan seberapa jauh perasaan seseorang terhadap dirinya sebagai anggota keluarga dan terhadap peran maupun fungsi yang dijalankannya selaku anggota keluarga. e) Diri sosial

Merupakan penilaian seseorang terhadap dirinya dalam berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan lebih luas.

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri

Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya konsep diri seseorang adalah karena orang lain dan rujukan (Reference group). konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi interpersonal, hal ini dikarenakan setiap orang berperilaku sesuai dengan konsep dirinya (Rakhmat, 2001). Faktor lingkungan yaitu bagaimana reaksi orang lain terhadap dirinya atau tingkah lakunya, bagaimana pujian-pujian atas segala prestasi yang dibuatnya ataupun segala hukuman atas segala kesalahan-kesalahannya akan membentuk konsep diri remaja untuk menuju kedewasaan. Selain itu faktor-faktor spesifik seperti jenis kelamin, harapan harapan, suku bangsa, serta nama dan pakaian dapat pula mempengaruhi konsep diri individu (Gunarsa, 2004). Lingkungan,

(6)

13

pengalaman, dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan konsep diri seseorang.

2.1.4 Aspek Konsep Diri

Menurut Berk ada beberapa aspek yang mempengaruhi konsep diri,yaitu :

a. Aspek fisiologis

Aspek fisiologis dalam diri berkaitan dengan unsur-unsur fisik, seperti warna kulit, bentuk, berat atau tinggi badan, raut muka (tampan, cantik, sedang, atau jelek), memiliki kondisi badan yang sehat, normal/cacat dan sebagainya. Karakteristik fisik mempengaruhi bagaimana seseorang menilai diri sendiri, namun tak dipungkiri bahwa orang lain pun menilai seseorang diawali dengan penilaian terhadap hal-hal yang bersifat fisiologis. Walaupun belum tentu benar penilaian awal masyarakat terhadap penampilan fisik untuk dijadikan sebagai dasar respon perilaku seseorang terhadap orang lain.

b. Aspek Psikologis

Aspek-aspek psikologis (psychological aspect) meliputi tiga hal yaitu kognisi (kecerdasan, minat dan bakat, kreativitas, kemampuan konsentrasi), afeksi (ketahanan, ketekunan dan keuletan bekerja, motivasi berprestasi, toleransi stress), dan konasi (kecepatan dan ketelitian kerja, coping stress, resitiensi). Pemahaman dan penghayatan unsur-unsur aspek psikologis tersebut akan mempengaruhi penilaian terhadap diri sendiri. Penilaian yang baik akan meningkatkan konsep diri yang positif (positive self-concept),sebaliknya penilaian yang buruk cenderung akan mengembangkan konsep diri yang negatif (negative self concept).

(7)

14 c. Aspek Psiko-sosiologis

Yang dimaksud dengan aspek psiko-sosiologis (psych osocioloyico / aspect) ialah pemahaman individu yang masih memiliki hubungan dengan lingkungan sosialnya. Aspek psiko-sosiologis ini meliputi 3 (tiga) unsur yaitu: orangtua saudara kandung, dan kerabat dalam keluarga. Teman-teman pergaulan (peer-group) dan kehidupan bertetangga. Lingkungan sekolah (guru, teman sekolah, aturan-aturan sekolah). Oleh karena itu, seseorang yang menjalin hubungan dengan lingkungan sosial dituntut untuk dapat memiliki kemampuan berinteraksi sosial (social interaction), komunikasi, menyesuaikan diri (adjustment) dan bekerja sama (cooperation) dengan masyarakat. Tuntutan sosial secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi individu untuk mentaati aturan-aturan sosial. Individu pun juga berkepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui lingkungan sosialnya. Dengan demikian terjadi hubungan mutualisme antara individu dengan iingkungan sosialnya.

d. Aspek Psikoetika dan Moral

Aspek psikoetika dan moral (moral aspect) yaitu suatu kemampuan memahami dan melakukan perbuatan berdasarkan nilai-nilai etika dan moralitas. Setiap pemikiran, perasaan, dan perilaku individu harus mengacu pada nilai-nilai kebaikan, keadilan, kebenaran, dan kepantasan. Oleh karena itu, proses penghayatan dan pengamatan individu terhadap nilai-nilai moral tersebut menjadi sangat penting, karena akan dapat menopang keberhasilan seseorang dalam melakukan kegiatan penyesuaian diri dengan orang lain.

(8)

15 2.1.5 Konsep Diri Positif dan Negatif 2.1.5.1 Konsep Diri Positif

Menurut Rakhmat (2005) orang yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan lima hal, yaitu:

a. Ia yakin akan kemampuannya mengatasi masalah b. Ia merasa setara dengan orang lain

c. Ia menerima pujian tanpa rasa malu

d. Ia menyadari, bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat

e. Ia mampu memperbaiki dirinya karena sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.

2.1.5.2 Konsep Diri Negatif

Rakhmat (2005) mengungkapkan ada empat tanda orang yang memiliki konsep diri negatif, yaitu:

a. Ia peka pada kritik

b. Responsif sekali terhadap pujian c. Merasa tidak disenangi orang lain d. Bersikap pesimis terhadap kompetisi 2.2. Konformitas

2.2.1. Definisi Konformitas

Konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada (Baron dan Byrne, 2005). Sedangkan menurut Wade dan Tavris (2007), konformitas yaitu

(9)

16

melakukan tindakan atau mengadopsi sikap sebagai hasil dari adanya tekanan kelompok yang nyata maupun yang persepsikan. Santrock (2007), mengatakan bahwa konformitas terjadi apabila individu mengadopsi sikap atau perilaku orang lain karena merasa didesak orang lain (baik desakan nyata atau hanya bayangannya saja).

Sehingga konformitas merupakan usaha terus menerus dari individu untuk selalu selaras dengan norma-norma yang diharapkan oleh kelompok (Sarwono, 2005). Namun Myers (1996) mendefinisikan konformitas sebagai perubahan perilaku atau kepercayaan sebagai hasil tekanan kelompok yang bersifat nyata maupun bayangan.

Seperti dijelaskan Baron dan Byrne (2005) tekanan untuk melakukan konformitas berakar dari kenyataan bahwa di berbagai konteks ada aturan - aturan eksplisit ataupun tak terucap yang mengindikasikan bagaimana kita seharusnya atau sebaiknya bertingkah laku. Aturan - aturan ini dikenal sebagai norma social (social norms) dan aturan - aturan ini seringkali menimbulkan efek yang kuat pada tingkah laku kita.

Dari kedua penjelasan diatas tentang tindakan penyesuaian (konformitas), dapat dipahami bahwa individu seringkali mengabaikan otoritasnya bertindak dan berkehendak sesuai kemauannya dikarenakan pengaruh dalam kelompok untuk bertindak secara kolektif sangat kuat. Kuat tidaknya pengaruh kelompok pada tindakan konformitas individu tergantung penilaian subjek terhadap norma yang berlaku. Ketika berada dalam suatu masyarakat, kita diikat oleh norma yang

(10)

17

berlaku dalam masyarakat tersebut sehingga tindakan tindakan yang kita lakukan dibatasi oleh norma tersebut.

2.2.2. Bentuk-bentuk Konformitas

Sarwono (2005) mengatakan bahwa terdapat dua bentuk konformitas yaitu: a). Menurut (compliance)

Adalah konformitas yang dilakukan secara terbuka sehingga terlihat oleh umum walaupun hatinya tidak setuju. Misalnya, turis asing memakai selendang dipinggangnya agar dapat masuk ke pura di Bali, menyantap makanan yang disuguhkan nyonya rumah walaupun tidak suka, memeluk cium rekan arab walaupun merasa risih. Kalau perilaku menurut ini adalah terhadap suatu perintah, namanya adalah ketaatan (obedience), misalnya anggota tentara yang menembak musuh atas perintah komandannya, dan mahasiswa baru memakai baju compang camping dalam acara perpeloncoaan atas perintah seniornya.

b). Penerimaan (acceptance)

Adalah konformitas yang disertai perilaku dan kepercayaan yang sesuai dengan tatanan sosial, misalnya berganti agama sesuai kepercayaan sendiri, memenuhi ajakan teman-teman untuk membolos. 2.2.3. Aspek Konformitas

Menurut (Sears dkk,1999) perilaku inidividu yang menunjukkan konformitas yaitu seperti :

1. Kekompakan

Kekompakan dimulai dari rasa ketertarikan individu pada kelompok tertentu, yang mendorongnya untuk terus menjadi anggota

(11)

18

kelompok tersebut, antara lain dengan bertemu secara intens dan berperilaku selaras dengan anggota kelompok yang lain.

2. Kesepakatan

Kesepakatan ditunjukkan dengan memiliki pendapat yang sama, baik karena percaya pada kelompok, ataupun karena takut mendapatkan tekanan dari kelompok jika memiliki pendapat yang berbeda.

3. Ketaatan

Ketaatan adalah perilaku patuh mengikuti putusan kelompok, meskipun individu sebenarnya tidak menyetujuinya.

2.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konformitas

Menurut Sarwono (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi konformitas adalah:

a). Keterpaduan (cohesiveness)

Keterpaduan atau kohesi (cohesiveness) adalah perasaan “kekitaan” antara anggota kelompok. Semakin kuat rasa keterpaduan atau “kekitaan” tersebut, semakin besar pengaruhnya pada perilaku individu.

b). Ukuran Kelompok

Berdasarkan dari percobaan dari Milgram, dkk (dalam Sarwono, 2005) dapat disimpulkan bahwa semakin besar kelompok, semakin besar pula pengaruhnya.

(12)

19 c). Suara Bulat

Dalam hal harus dicapai suara bulat, satu orang atau minoritas yang suaranya paling berbeda tidak dapat bertahan lama. Mereka merasa tidak enak dan tertekan sehingga akhirnya mereka menyerah pada pendapat kelompok mayoritas.

d). Status

Semakin tinggi status orang yang menjadi contoh, maka semakin besar pengaruhnya bagi orang lain untuk konform atau patuh. e). Tanggapan Umum

Perilaku yang terbuka, yang dapat didengar atau dilihat lebih mendorong konformitas dari pada perilaku yang hanya dapat didengar dan diketahui oleh orang tertentu saja (Myers dalam Sarwono, 2005). f). Komitmen Umum

Orang yang tidak mempunyai komitmen apa-apa kepada masyarakat atau orang lain lebih mudah konform daripada yang sudah pernah mengucapkan suatu pendapat (Deutsch & Gerrard dalam Sarwono, 2005).

2.2.5 Dasar pembentuk Konformitas

Menurut Myers (2005) terdapat dua dasar pembentuk konformitas, yaitu: a.Pengaruh normatif

Yaitu penyesuaian diri dengan keinginan atau harapan orang lain untuk mendapatkan penerimaan. Myers (2005) menambahkan bahwa dalam pengaruhi ini, individu berusaha untuk mematuhi standar norma yang ada di dalam

(13)

20

kelompok. Apabila norma ini dilanggar, maka efeknya adalah penolakan ataupun pengasingan oleh kelompok pada individu.

b. Pengaruh informasional,

Yaitu adanya penyesuaian individu ataupun keiginan individu untuk memiliki pemikiran yang sama sebagai akibat dari adanya pengaruh menerima pendapat maupun asumsi pemikiran kelompok, dan beranggapan bahwa informasi dari kelompok lebih kaya daripada informasi milik pribadi, sehingga individu cenderung untuk konform dalam menyamakan pendapat atau sugesti.

2.3. Remaja

Menurut Santrock (2003), remaja adalah masa perkembangan transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Papalia dkk. (2004) menyatakan bahwa remaja adalah suatu periode yang panjang sebagai proses transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Umumnya, remaja dikaitkan dengan mulainya pubertas, yaitu proses yang mengarah pada kematangan seksual, atau fertilitas yang merupakan kemampuan untuk reproduksi. Kemudian ditambahkan lagi bahwa remaja dimulai dari usia 11 atau 12 tahun sampai 19 atau 20 tahun.

Seorang remaja berada pada batas peralihan antara kehidupan anak dan dewasa. Meskipun tubuhnya kelihatan dewasa, tetapi bila ia bertindak seperti orang dewasa ia belum dapat menunjukkan kedewasaannya. Pengalaman untuk menjadi dewasa masih belum banyak sehingga dapat terjadi hal-hal seperti :

(14)

21

a. Kegelisahan merupakan suatu keadaan yang membuat remaja sulit untuk menguasai diri karena mereka mempunyai banyak keinginan yang tidak selalu dapat dipenuhi.

b. Pertentangan ini timbul ketika terjadi perbedaan dengan orangtua yang membuat remaja ingin melepaskan diri dari orangtuanya, namun di sisi lain mereka belum berani mengambil resiko untuk dapat berdiri sendiri.

c. Berkeinginan besar mencoba segala hal yang belum diketahuinya. Mereka ingin mengetahui berbagai hal melalui usaha-usaha yang dilakukan dalam berbagai bidang. Contohnya, mereka ingin mencoba apa yang dilakukan oleh orang dewwasa, seperti memakai hijab mengikuti trend. (Gunarsa 2012)

2.4. Hijab

Menurut bahasa arab, hijab berarti tirai (kain penutup). Hijab secara lughoh berarti tirai atau dinding adalah perlindungan wanita islam dari pandangan laki-laki (terutama yang bukan muhrim). Salah satu prinsip dasar islam adalah perwujudan suatu sistem yang suci, sehingga islam senantiasa berusaha mendidik setiap anggota masyarakat, pria maupun wanita untuk menjaga kesucian mereka. Sistem hijab adalah peraturan-peraturan yang merupakan elaborasi tindakan-tindakan yang boleh atau tidak boleh dilakukan dalam sosialisasi antara pria dan wanita. Hijab tak terbatas pada perintah bagi wanita untuk menutup kepala dan wajah saja, melainkan suatu sistem yang menyeluruh yang menjadi panduan-panduan dasar bagi pria dan wanita dalam bermu’amalah untuk membangun masyarakat.

(15)

22

2.5. Hubungan antara Konformitas dengan Konsep Diri

Hubungan antara konformitas dengan konsep diri adalah upaya seseorang untuk menentukan suatu hal yang positif atau negatif untuk dirinya sendiri dalam mengikuti suatu norma yang ada dalam suatu kelompok di dalam hal penggunaan trend hijab pada Remaja.

2.6. Kerangka Pemikiran

Hurlock (1999) mengungkapkan bahwa remaja akan dapat mengatasi kesukaran yang dialaminya dalam usaha penyesuaian diri terhadap kelompok teman sebaya, jika remaja tersebut dapat menerima keadaan dirinya sendiri yaitu bagaimana remaja tersebut memandang dan menilai dirinya baik fisik, motivasi, kelemahan, kepandaian dan kegagalannya. Dengan kata lain dibutuhkan konsep yang baik pada diri individu tersebut karena konsep diri menjadi salah satu faktor yang mengarahkan perilaku remaja.

Konformitas sebagai bentuk perilaku untuk menyesuaikan diri dengan kelompok dapat terjadi hanya sebagai perilaku yang tampak atau hanya permukaan saja, tetapi konformitas dapat pula diinternalisasikan oleh seseorang. Perilakunya dengan kelompok, pikiran, perasaan ataupun sikapnya mengarah setuju dan selaras dengan kelompoknya. Sarwono (1999) membagi konformitas menjadi dua tipe, yaitu: (a) Compliance atau public compliance, (b) Acceptance atau private acceptance.

(16)

23

Konformitas Konsep Diri

2.7. Hipotesis

Hipotesanya yaitu ada pengaruh positif yang signifikan antara konformitas dengan konsep diri pengguna trend hijab pada remaja.

1. Dimensi Internal 2. Dimensi Eksternal Kekompakan

Kesepakatan

Referensi

Dokumen terkait

Merupakan jenis kemiskinan dimana seorang individu atau masyarakat memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan, sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok

Hasil menunjukkan bahwa sikap terhadap perubahan, uang, daya saing, kewirausahaan, dukungan lingkungan, hambatan lingkungan dan lingkungan sekolah memiliki hubungan

Kebijakan-kebijakan tersebut meliputi cara atau strategi tertentu yang sifatnya protektif untuk menyelamatkan dan melindungi perekonomian dalam

 Capaian persentase perkara pidana Perikanan yang tidak mengajukan upaya hukum banding sebesar 0% diperoleh dari perbandingan realisasi (0%) dengan target yang

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Muhammadiyah Surakarta Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non- exclusive

Pada penelitian ini didapatkan beberapa sampel yang berbeda antara hasil penilaian klasifikasi TIRADS dengan klasifikasi BETHESDA, yang mana pada penilaian TIRADS

menunjukkan, antara proses diferensiasi produk penerbit dan produsen paper proses diferensiasi produk kita bisa ditemukan zona abu-abu, antarmuka pelanggan, dimana