• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNSUR RETORIKA DALAM NOVEL MAESTRO KARYA ALEX SUHENDRA (TINJAUAN STILISTIKA) Oleh Sri Marintan Marpaung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNSUR RETORIKA DALAM NOVEL MAESTRO KARYA ALEX SUHENDRA (TINJAUAN STILISTIKA) Oleh Sri Marintan Marpaung"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

UNSUR RETORIKA DALAM NOVEL “MAESTRO” KARYA ALEX SUHENDRA (TINJAUAN STILISTIKA)

Oleh

Sri Marintan Marpaung ABSTRAK

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui unsur-unsur retorika; berupa pemajasan, penyiasatan dan pencitraan dengan tinjauan stilistika pada novel “Maestro” karya Alex Suhendra. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, mengutamakan makna dan konteks, menuntut peran peneliti yang tinggi. Sumber data novel “Maestro” karya Alex Suhendra. Berdasarkan hasil penelitian novel Maestro, adapun unsur- usur retorika yang terdapat dalam novel “Maestro” yaitu: (1) bentuk pemajasan berdasarkan unsur retorika yang terdapat pada novel ”Maestro” yaitu simile, metafora, personifikasi, metonimia, sinekdoke, hiperbola, dan paradoks. (2) bentuk penyiasatan struktur yang terdapat pada novel “Maestro” yaitu, repetisi, anafora, pararelisme, asidenton, polisidenton, antithesis, dan aliterasi, sedangkan klimaks, antiklimaks, dan pertanyaan retoris tidak terdapat pada novel “Maestro”. (3) bentuk-bentuk pencitraan yang terdapat pada novel “Maestro” yaitu citraan penglihatan, pendengaran, citraan gerak, citraan rabaan, dan citraan penciuman.

Kata Kunci: sastra, novel, retorika, stilistika

PENDAHULUAN

Sastra merupakan wahana komunikasi kreatif dan imajinatif. Sastra lahir karena dorongan keinginan dasar manusia untuk mengungkapkan diri, apa yang telah dijalani dalam kehidupan dengan pengungkapan lewat bahasa. Sastra sebagai karya fiksi memiliki pemahaman yang lebih mendalam, bukan sekedar cerita khayal dari pengarang saja, melainkan wujud dari proses kreativitas pengarang ketika menggali dan menuangkan ide yang ada dalam pikirannya. Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik, baik yang didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna (Rosmawati, 2008: 17). Karya sastra hadir sebagai hasil perenungan pengarang terhadap berbagai fenomena kehidupan masyarakat. Sehingga hasil karya itu tidak hanya dianggap sekedar cerita penghayal semata, melainkan perwujudan dari kreativitas pengarang dalam menggali gagasannya.

Karya sastra digunakan pengarang untuk menyampaikan pikirannya tentang hal yang dirasakannya atau dihadapinya; yang berhubungan dengan kehidupan manusia, masyarakat, dan lingkungan dengan penuh bunga-bunga dan aroma. Karenanya, peneliti diharapkan mampu menangkap keindahan didalamnya (Endraswara, 2011: 68). Keindahan yang dimaksud adalah ciptaan pengarang dengan seperangkat bahasa. Karya sastra merupakan

(2)

perwujudan pikiran ke dalam bentuk tulisan melalui bahasa. Pada bahasa sastra tanda dan simbolisme kata-kata merupakan hal yang dipentingkan. Melalui eksplorasi bahasa yang khas, pengarang menampilkan aspek keindahan yang optimal. Bahasa di dalam karya sastra adalah bukan bahasa seperti yang dipakai dalam komunikasi sehari-hari. Bahasa dalam karya sastra lebih banyak ditujukan untuk mendapatkan efek estetis, dan untuk kepentingan itulah, maka bahasa dalam karya sastra disiasati dan dimanipulasi sedemikian rupa sehinga berbeda dengan bahasa nonsastra.

Gaya penulisan seorang pengarang dapat dipelajari atau dikaji dalam stilistika. Secara garis besar stilistika adalah cabang linguistik yang mempelajari gaya bahasa. Menurut Lecch & Short, stilistika adalah pengertian studi tentang style, kajian terhadap wujud performansi kebahasan, khususnya yang terdapat dalam karya sastra (Nurgiyantoro, 2002: 279). Style, ‘gaya bahasa’ dalam karya sastra merupakan sarana sastra yang turut memberikan kontribusi signifikan dalam memperoleh efek estetik dan penciptaan makna. Studi tentang style tersebut sebenarnya dapat digunakan dalam berbagai penggunaan ragam bahasa, tidak dibatasi pada ragam bahasa sastra saja. Namun, ada kecenderungan analisis stilistika lebih sering digunakan dalam ragam bahasa sastra yang bertujuan untuk menemukan unsur keindahan yang terdapat dalam karya sastra yang akan dikaji. Pada karya sastra, style dipakai pengarang sebagai sarana retorika dengan mengeksploitasi, memanipulasi, dan memanfaatkan segenap bahasa. Yang dimaksud retorika dalam penelitian ini adalah unsur-unsur kebahasaan dan makna yang digunakan oleh pengarang di dalam mengungkapkan ide dan gagasannya secara jelas dan indah sehingga akan tercipta wacana efektif dan khas. Corak sarana retorika tiap karya sastra sesuai dengan gaya bahasa pengarangnya. Masing-masing pengarang memiliki nilai estetis yang berbeda dalam setiap karyanya. Semakin piawai seorang pengarang dalam bermain-main kata, akan semakin indah bahasanya.

Hal itu terlihat, misalnya pada novel Maestro. Dalam novel ini, Alex Suhendra sebagai penulis bercerita tentang perjalanan kehidupan seorang seniman, khususnya teaterawan. Suhendra seorang sastrawan yang berkecimpung di dunia teater. Suhendra sudah terbiasa bergelut di bidang keaktoran dan penyutradaraan, selain itu juga Suhendra menyalurkan darah seninya pada bidang musik dengan menjadi salah satu personil band yang juga tidak lepas dari pengaruh dunia teater. Hal ini menginspirasinya untuk menuangkan ide dan pikirannya dalam bentuk tulisan dengan mencoba menulis sebuah novel. Dengan kata lain, kehidupannya yang bergelut di dunia teater mendorong dan menginspirasinya untuk menulis novel. Suhendra mengemas novelnya dengan apik melalui permainan bahasa. Dari segi pemakaian bahasa, novel ini sangat menarik untuk diteliti karena dalam mencapai efek

(3)

estetisnya banyak memanfaatkan unsur retorika. Selanjutnya, pada novel Maestro, pengarang menceritakan kehidupan seorang teaterawan melalui balutan bahasa yang dikemas oleh pengarangnya dengan sentuhan romantis sehingga menarik untuk dinikmati. Novel Maestro ini juga termasuk novel serius, sehingga diperlukan konsentrasi yang tinggi, kemauan, serta memahami bahasa yang digunakan. Novel sarat dengan nilai estetis dan nilai sastra yang tinggi. Hal ini tak lepas dari pengaruh kehidupan Suhendra yang bergelut dalam dunia teater. Sebagaimana kita ketahui drama dalam bentuk teater sangat berbeda dengan drama-drama televisi pada umumnya. Panggung dunia teater lebih banyak memanfaatkan bahasa-bahasa yang mengandung nilai sastra yang tinggi sehingga terkadang sulit untuk dipahami oleh orang awam dan membutuhkan pemahaman khusus dalam menilainya. Berdasarkan beberapa hal di atas, peneliti merasa tertarik dan ingin mendalaminya dan mengupas lebih mendalam dan lebih memahami isi dari novel “Maesto” karya Alex Suhendra ini. Peneliti memanfaatkan kajian stilistika melalui pendeskripsian unsur-unsur retorika sebagai objek penelitian. Peneliti ingin mengupas lebih dalam dengan menganalisis wacana novel, yaitu bentuk pemajasan, bentuk penyiasatan dan bentuk-bentuk citraannya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian karya sastra melalui analisis dokumen berupa studi pustaka. Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan metode content analysis atau analsis isi. Tujuan content analysis adalah peneliti mencari kedalaman makna yang ada dalam dokumen atau arsip yang diteliti. Dengan demikian, peneliti ini akan menyajikan laporan peneltian yang berisi kutipan-kutipan data untuk mendeskripsikan bagaimana pemanfaatan unsur-unsur retorika dengan tinjauan stilistika pada novel “Maestro” karya Alex Suhendra.

Menurut Lofland (dalam Moleong, 2006: 157), “sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, tindakan, dan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen. Berkaitan dengan hal itu pada bagian ini jenis datanya dibagi ke dalam kata-kata, tindakan, dan sumber data tertulis. Sumber data penelitian ini adalah dokumen. Sumber data dokumen yaitu berupa novel Maestro karya Alex Suhendra. Penerbit ANDI, cetakan pertama, Yogyakarta, 2009, yang terdiri dari 314 halaman. Dan disertai jurnal-jurnal, buku-buku, dan artikel-artikel yang mempunyai relevansi untuk memperkuat argumentasi dan melengkapi hasil penelitian sebagai objek penelitiannya adalah data-data yang diperlukan sesuai dengan rumusan masalah dari novel Maestro karya Alex Suhendra.

(4)

Instrumen utama dalam peneltian ini adalah peneliti sendiri dengan instrument pembantu yaitu tabel temuan data, dengan mendeskripsikan atau mencatat, memberi tanda pada bagian-bagian yang merupakan unsur-unsur retorika dalam novel Maestro. Teknik analisis data yang digunakan dalam menganalisis data pada novel Maestro karya Alex Suhendra adalah teknik analisis deskriptif kualitatif. Teknik analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan unsur-unsur retorika pada novel, dengan cara mendeskripsikan teks-teks yang mengandung unsur retorika yang kemudian disusul dengan analisis data teks-teks melalui teknik kajian pustaka dan teknik catat. Adapun prosedur penelitian yang dilakukan terdiri dari beberapa tahap yaitu proses pengumpulan data, proses penyeleksian data, proses menganalisis data yang telah diseleksi, dan terakhir membuat laporan penelitian.

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Beragam aspek unsur-unsur retorika dapat diteliti dengan kajian stilistika dalam novel Maestro, misalnya pemajasan (bahasa figuratif), penyiasatan struktur, dan pencitraan. Peneliti akan memfokuskan penelitian ini pada ke tiga unsur tersebut; 1) pemajasan, yang diklasifikasikan dalam 7 gaya bahasa, 2) penyiasatan struktur, yang diklasifikan dalam 10 gaya bahasa, 3) pencitraan, yang diklasifikasikan pada 5 bentuk citraan.

Bentuk Pemajasan

Menciptakan unsur kepuitisan dalam sebuah prosa dapat dimanfaatkan salah satu sarana kebahasaan, yaitu bahasa bermajas. Majas merupakan salah satu gaya bahasa yang banyak digunakan dalam teks-teks sastra. Adapun gaya bahasa pemajasan berdasarkan unsur retorika yang terdapat pada novel ”Maestro” yaitu simile, metafora, personifikasi, metonimia, sinekdoke, hiperbola, dan paradoks. Berikut ini akan diilustrasika pemajasan simile dan metafora yang terdapat dala novel “Maestro”:

1) Rambutnya mengurai dilekukan punggung yang begitu sempurna itu, seperti air tejun yang jatuh tengkurap dalam palung sungai penuh lumut di bebatuan(Maestro: 113).

2) Dia seorang kutu buku. Hampir semua buku dalam perpustakaannya yang sebesar gudang beras itu dilahapnya. (Maestro: 57).

Pada data (1) keindahan rambut dari tokoh wanita tersebut diibaratkan seperti air terjun, rambutnya digambarkan lurus dan memiliki gelombang halus dibawahnya yang dinyatakan pada konteks yang jatuh tengkurap dalam palung yang bermakna memiliki

(5)

gelombang arus pada permukaan palung. Data-data diatas merupakan contoh bentuk gaya bahasa simile yang terdapat pada novel “Maestro” yaitu berupa penggunaan kata seperti, karena membandingkan dua hal secara eksplisit atau menyatakan sesuatu sama dengan hal lain dengan menggunakan kata pembanding. Bentuk simile yang terdapat pada novel “Maetro” yaitu hanya menggunakan kata perbandingan seperti, yang berupa perumpamaan pada makhluk hidup, dan pada benda. Sedangkan pada data (2) di atas juga dapat dikategorikan sebagai majas metafora karena membandingkan orang lain dengan seekor kutu buku. Kalimat di atas merupakan sebuah bentuk perbandingan antara hewan pengerat dan manusia. Adapun kata dia dalam kalimat di atas ialah tokoh yang perankan oleh Om Sangkoro sedang kutu buku adalah sejenis hewan pengerat yang gemar melahap/mengerat buku hingga buku tersebut menjadi rusak dan hancur. Adapun makna dari kalimat dia seorang kutu buku adalah Om Sangkoro merupakan seeseorang yang sangat gemar membaca buku sehingga memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas tentang dunia panggung. Pada data pertama diatas pengarang menggunakan sebuah bentuk perbandingan antara hubungan sosial manusia, dengan hewan yang ditandai dengan kata adalah, sedangkan pada data kedua membandingkan manusia dengan hewan pengerat yang ditandai dengan kata seorang yang dipergunakan secara implisit (tak langsung) dengan tidak menyertakan kata-kata pembandingnya.

Selanjutnya juga terdapat majas personifikasi dan metonimia. Berikut ini akan dipaparkan ilustrasi dari penggunaan majas personifikasi dan metonimia dalam novel “Maestro”;

3) Satu pemantik huruf bergerak memukul kertas. Pitanya masih berfungsi. Huruf M menancap di kertas (Maestro: 20).

4) Om Sangkoro mengeluarkan semua barang-barangku dari dalam bagasi Volkswagen kuningnya, lalu dengan sedikit susah payah, kuangkat sendiri barang bawaanku menaiki semenan anak tangga hingga sampai di latai dua (Maestro:15).

Data (3) di atas termasuk dalam majas personifikasi karena ditemukan kata acuannya bukan manusia akan tetapi diberi ciri insani. Pada data (3) di atas kata bergerak dan memukul merupakan tindakan yang dapat dilakukan manusia untuk tujuan-tujuan tertentu. Kata pemantik dalam kalimat diatas merupakan kata benda. Namun pemantik adalah sebuah bagian dari mesin tik yang berfungsi untuk membentuk atau merangkai kata menjadi huruf dengan bantuan manusia. dalam kalimat ini diibaratkan seperti manusia yang dapat bergerak dan memukul kertas. Sedangkan data (4) di atas juga dapat dikategorikan sebagai majas

(6)

metonimia karena menggunakan nama yang sudah terkenal pada benda tersebut. Volkekswagen pada kalimat di atas merupakan kendaraan roda empat atau disebut juga dengan mobil dan dikenakan di luar dari pada tubuhnya. Mobil tersebut bermerek Volkswagen, dan telah dikenal secara meluas she hingga lebih sering disebutkan mereknya. Adapun makna kalimat data di atas adalah tokoh Sangkoropada novel digambarkan sedang mengeluarkan barang-barang dari bagasi mobilnya.

Selain itu juga terdapat majas sinekdoke, hiperbola, dan paradoks. Berikut ini akan dipaparkan ilustrasi dari penggunaan majas sinekdoke, hiperbola, dan paradoks dalam novel “Maestro”;

5) Aku adalah segalanya dalam panggung dan segalanya dalam panggung adalah diriku (Maestro: 25).

6) Tapi, kemudian tibalah giliranku: sebuah pertunjukan monolog perdana, membuat mata semua orang, bahkan senior-seniorku melongo dengan iler yang terus menerus menetes dari sela-sela taring mereka yang mulai karatan dan siap patah kapan saja. Sejak itu aku adalah seorang aktor teater (Maestro: 25).

7) Aku berdandan seperti ini setiap hari. Kemana pun dan kapan pun. Aku juga selalu mengenakan pakaian-pakaian yang diprosuksi wanita. Aku cantik. Aku sadar terlalu anggun sebagai laki-laki. Orientasi seksualku masih normal tentu saja. Tapi aku malas pacaran (Maestro:34)

Kalimat data (5) di atas dapat dikategorikan sebagai sinekdoke pras pro toto yang mana aku (sebagian) dan segalanya (keseluruhan), totum pro parte yang mana segalanya dalam panggung (keseluruhan) dan diriku (untuk sebagian). Makna kalimat tersebut ialah tokoh utama merasa memiliki segala keahlian dalam dunia panggung atau teater dan sebaliknya; segalanya dalam dunia teater telah dia kuasai. Pada kalimat pertama yang mengandung pemajasan sinekdoke di atas, hanya memanfaatkan sinekdoke pras pro toto yaitu sebagian untuk mewakili keseluruhan.

Pada data (6) tersebut di atas menggunakan gaya bahasa hiperbola karena mengandung suatu pernyataan yang melebih-lebihkan dari keadaan yang sebenarnya. Kalimat di atas dapat dikategorikan sebagai hiperbola sebab pernyataan di atas sangat dilebih-lebihkan dari segi jumlah, dengan menyatakan senior-seniorku yang merupakan orang-orang yang lebih berpengalaman dari si tokoh utama yaitu Makkah. Sedangkan sela-sela taring

(7)

mereka yang mulai karatan dan siap patah, yang dimaknai dengan orang-orang yang iri sekaligus terkagum-kagum dengan penampilan Makkah.

Sedangkan pada data (7) di atas memiliki empat kalimat paradoks sekaligus, dikategorikan sebagai paradoks karena mengandung pertentangan makna yang banyak. Keempat kalimat bercetak miring diciptakan oleh pengarang untuk menggambarkan banyaknya paradoks yang dalam kalimat-kalimat tersebut. Adapun makna dari kalimat pertama di atas adalah aku juga selalu mengenakan pakaian-pakaian yang diprduksi wanita yaitu tokoh aku (Makkah) adalah seorang laki-laki yang gemar memakai pakaian perempuan. Makna dari kalimat dua di atas adalah aku cantik adalah menganggap dirinya memiliki kecantikan seperti seorang wanita, meskipun dia adalah lelaki. Selanjutnya kalimat ke tiga adalah aku sadar aku terlalu anggun sebagai laki-laki yang bermakna meskipun dia seorang laki-laki namun Makkah memilki keanggunan seperti layaknya seorang wanita. Dan pada kalimat terakhir orientasi seksualku masih normal tentu saja, tapi aku malas pacaran, yang bermakna Makkah mengakui dirinya sebagai pria normal, hanya saja dia enggan untuk berpacaran karena tidak ingin terikat pada orang lain. Kalimat-kalimat diatas memiliki banyak pertentangan, tokoh utama (Makkah) membandingkan dirinya dengan wanita meskipun pada kenyataannya, dia adalah seorang lelaki normal.

Bentuk Penyiasatan Struktur

Selain pemajasan juga terdapat penyiasatan struktur dalam unsur retorika. Pembicaraan tentang struktur kalimat sebagai bagaian dari retotika ini lebih ditujukan pada bangunan struktur kalimat yang menonjol tersebut, struktur yang barang kali merupakan suatu bentuk penyimpangan untuk memeperoleh efek tertentu khususnya efek estetis dan efeknya terhadap pembaca. Adapun bentuk penyiasatan struktur yang terdapat pada novel “Maestro” ini yaitu, repetisi, anafora, pararelisme, asidenton, polisidenton, antitesis, dan aliterasi. Berikut ini akan dipaparkan ilustrasi dari penggunaan majas repetisi, anafora, dan pararelisme dalam novel “Maestro”;

8) Hari-hari sepulang sekolah dan hari minggu menjadi hari-hari yang begitu sunyi, tanpa tembang, tanpa kisah Kresna, dan kreta kencana, tanpa Arjuna dan bidadari penggoda, tanpa Abimanyu dan tubuhnya yang berubah menjadi landak saat kematiannya tiba, dan juga tanpa Parikesit (Maestro: 5).

9) Seperempat wajahnya menatapku, seperempat lagi tersaput bayangan lampu studio, seperempat lainnya terbingkai dalam rambut putihnya, dan seperempat terakhir

(8)

bersembunyi entah dimana mirip adegan perpisahan di film-film bisu era Charlie Chaplin (Maestro: 161).

10) “Aku rindu rumah. Aku rindu Madinah. Aku rindu Eyang Putriku yang telah tiada” (Maestro:230).

Kalimat data (8) di atas dapat dikategorikan sebagai repetisi sebab terdapat perulangan kata yang dianggap penting untuk memberi penekanan yaitu dengan mengulang kata hari. Pengulangan ini memberikan tekanan pada kata tersebut bahwa hari-hari yang dilewatinya begitu sunyi dan sepi semenjak nenek Makkah meninggal. Selain itu juga terdapat perulanga kata tanpa yang mana perulangansini member tekanan pada kata tersebut dia (Makkah) lewati tanpa kisah dongeng. Jadi makna kalimat tersebut ialah Makkah meras kesungyian sejak neneknya meninggal, sebab tidak ada lagi yang mendongeng dan menembang untuk dirinya dan adiknya (Madinah). Jenis repetisi yang dipakai dalam konteks ini adalah, repetisi yang berada diawal dan ditengah. Sehingga penekanannya terasa pada awal kalimat dan tengah kalimat.

Ilustrasi data (9) diatas juga merupakan penyiasatan struktur anafora karena terdapat perulangan pada kata pertama dalam satu kalimat. Pengulangan ini memberikan tekanan yang merupakan konsdisi sebahagian dari tubuh dan posisi posisi sesorang. Tokoh yang digambarkan adalah Raya. Adapun makan kalimat dari kutipan di atas adalah tokoh Raya dengan posisi berdiri dan yang tampak hanya setengah dari bagian tubuhnya. Bentuk anafora yang terdapat pada penelitian ini adalah anafora yang berupa perulangan awal kalimat dan perulangan kalimat-kalimat berikutnya.

Sedangkan data (10) kalimat di atas dapat dikategorikan sebagai pararelisme sebab gagasan yang ingin disampaikan dibungkus dengan pola yang mirip, yang mana memakai pola S-P-O. Melalui pola ini lebih mempermudah pembaca untuk mengerti maknanya. Bentuk pararelisme yang terdapat pada penelitian ini adalah pararelisme yang berupa pengulangan ungkapan yang sama pada satu kalimat, dan pengulangan pengungkapan pada kalimat-kalimat berikutnya.

Berikut ini akan dipaparkan ilustrasi dari penggunaan majas asidenton,dan polisidenton dalam novel “Maestro”;

11) “Akhirnya kulepas sabuk pengaman, membuka pintu, menutupnya kembali, lalu berdiri dibelakangnya” (Maestro:82).

(9)

12) “Dan warna siripnya yang gemerlapan menarik perhatianku untuk terus melihat gambar-gambar dan beberapa nama latin dari spesies dan genusnya yang aku yakin sangat sulit dibaca dandihafalkan orang kebanyakan” (Maestro:145).

Data (11) kalimat di atas dapat dikategorikan sebagai asidenton sebab kata kulepas, membuka, dan menutup, merupakan kata-kata yang memiliki posisi yang sederajat, yang seharusnya dihubungkan dengan kata sambung atau konjungsi. Meskipun tidak dihubungkan dengan kata sambung, tetapi makna kalimat tersebut dapat diterima. Makna kalimat tersebut adalah mengilustrasikan kegiatan seseorang, sembari melepas, membuka dan menutup sabuk pengamannya lalu kembali berdiri di belakang pintu. Dan pada data (12) gaya bahasa polisidenton merupakan kebalikan dari asidenton, yakni dihubungkan satu sama lain dengan kata penghubung seperti memakai kata sambung dan untuk menekankan maknanya.

Selain itu juga terdapat majas antitesis dan alitersai. Berikut ini akan dipaparkan ilustrasi dari penggunaan majas antitesis dan aliterasi dalam novel “Maestro”;

13) “Aku semakin jauh dari mela, tapi semakin dekat dengan Tiffani” (Maestro:185).

14) “……tak ada dengung ngung ngung ngung ngung” (Maestro:230).

Sedangkan pada data (13) kalimat di atas dapat dikategorikan sebagai antitesis sebab yang digunakan berlawanan arti. Konteks semakin jauh dan semakin dekat merupakan dua hal yang berlawanan arti, semakin jauh merupakan keadaan yang berjarak dan saling menghindar, sedangkan semakin dekat adalah keadaan yang semakin rapat dan intim. Penyiasatan struktur terakhir ditunjukkan pada data (14) di atas yang dapat dikategorikan sebagai aliterasi sebab karena memilki kesamaan fonem yang berada di tengah, awal dan akhir kata. Makna dari kalimat ini yaitu bunyi dengung yang dipertegas dengan pengulangan fonem-fonem tersebut di atas.

Bentuk Pencitraan

Unsur yang ketiga pada retorika adalah pencitraan. Pencitraan adalah kumpulan citra, yang digunakan untuk melukiskan gambaran angan dari panca indera yang dituang dalam bentuk karya sastra baik dengan mempergunakan bahasa kias maupun deskripsi secara harfiah. Bentuk-bentuk pencitraan yang terdapat pada novel “Maestro” yaitu citraan penglihatan, pendengaran, citraan gerak, citraan rabaan dan citraan penciuman. Berikut ini akan dipaparkan ilustrasi dari citraan penglihatan, pendengaran, dan gerak dalam novel “Maestro”;

(10)

15) “Lampu neon terus berkedip. Kadang menyilaukan, kadang temaram, dan hanya sebentar ia menyala terang. Saat itulah aku bisa melihat keseluruhan isi kamar, menyeramkan” (Maestro:18).

16) “Ia mencetek saklar, tapi bunyinya tak kudengar karena suara bersinku” (Maestro:17).

17) “Satu pemantik huruf bergerak memukul kertas” (Maestro:20).

Data (15) kalimat di atas dapat dikategorikan sebagai citraan penglihatan sebab pengarang berusaha menggambarkan suasana kamar yang menyeramkan, dengan kondisi lampu yang tidak stabil, kadang hidup dan mati. Melalui penggambaran tersebut pembaca seolah-olah dapat melihat suasana kamar yang menyeramkan yang disebabkan oleh pencahayaan yang remang-remang. Selanjutnya pada data (16) kalimat di atas dapat dikategorikan sebagai citraan pendengaran sebab pengarang ingin menggambarkan bunyi dari saklar yang dihidupkan namun tertimpa oleh kerasnya suara dari bersin si tokoh utama. Melalui gambaran tersebut pembaca mampu membayangkan seolah-olah mendengar bunyi cetekan saklar dan bunyi suara bersin yang menimpanya. Dan pada data (17) kalimat di atas dapat dikategorikan sebagai citraan gerak sebab melalui gambaran ini pembaca dapat membayangkan pemantik huruf yang mampu bergerak untuk memukul kertas.

Selain itu juga terdapat majas sinekdoke, hiperbola, dan paradoks. Berikut ini akan dipaparkan ilustrasi dari penggunaan majas asidenton, polisidenton, antithesis dan aliterasi dalam novel “Maestro”;

18) “Aku bisa merasakan panas menyengat kulitku” (Maestro:147).

19) “Aku mencium aroma perasan kulit jeruk bali, wangi detergen, plastic, musilago, dan sumbu kompor yang terbakar” (Maestro:299).

Data (18) kalimat di atas dapat dikategorikan sebagai citraan rabaan sebab melalui gambaran ini pengarang menggambarkan panas pada kulit yang disebabkan oleh sengatan cahaya matahari sehingga pembaca dapat membayangkan seolah-olah merasakan panas kulit akibat sengatan matahari. Sedangkan data (19) pada kalimat di atas dapat dikategorikan sebagai citraan penciuman sebab melalui penggambaran ini pembaca seolah-olah dapat mencium aroma perasan kulit jeruk bali, wangi detergen, plastik, musilago, dan sumbu kompor yang terbakar seperti yang dilukiskan pada tokoh utama.

(11)

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil pembahasan, dapat disimpulkan bahwa novel Maestro menggunakan unsur-unsur retorika berupa bentuk pemajasan, bentuk penyiasatan struktur, dan bentuk pencitraan. Adapun unsur- usur retorika yang terdapat yaitu; 1) bentuk pemajasan berdasarkan unsur retorika yang terdapat pada novel ”Maestro” yaitu simile, metafora, personifikasi, metonimia, sinekdoke, hiperbola, dan paradoks. 2) bentuk penyiasatan struktur yang terdapat pada novel “Maestro” yaitu, repetisi, anafora, pararelisme, asidenton, polisidenton, antitesis dan aliterasi. Sedangkan klimaks, antiklimaks, dan pertanyaan retoris tidak terdapat pada novel “Maestro”. 3) bentuk-bentuk pencitraan yang terdapat pada novel “Maestro” yaitu citraan penglihatan, pendengaran, citraan gerak, citraan rabaan dan citraan penciuman. Pemanfaatan bentuk-bentuk retorika membuat pengungkapan maksud menjadi lebih menarik, lebih hidup, dan lebih mengesankan. Selain itu, keunikan atau kekhasan pemilihan dan pemakaian kosa kata pada novel Maestro juga membuat deskripsi cerita tersebut menjadi semakin menarik dan memiliki nilai estetik, sehingga hal tersebut membuat syle tersendiri yang menjadi ciri khusus Alex Suhendra dalam menuangkan setiap ide melalui karya sastranya. Selain itu latar kehidupan pengarang sebagai teaterawan atau aktor dalam panggung teater juga berperan serta dalam mewujudkan kekhasan kosakata dan pemilihan gaya yang diungkapkan melalui deskripsinya.

Hendaknya hasil penelitian ini dapat masukan yang bermanfaat baik pihak-pihak terkait untuk mengikatkan pemahaman tetang sastra khususnya bagi pengajaran bahasa dan sastra Indonesia. Selain itu hendaknya masyarakat khusus yang meminati sastra turut serta membaca novel ini, sebab di dalam karya novel ini terkandung nilai-nilai estetis dan penuh makna. Dan dengan adanya novel ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi dan inspirasi bagi pengarang-pengarang novel atau karya sastra lainnya, untuk meningkatkan karya sastrnya. Karena novel Maestro sendiri di dalamnya memiliki manfaat pembelajaran bersastra yaitu membantu keterampilan bahasa, membuka wasasan tentang stilistika, dan memengembangkan cipta dan rasa dengan bahasa-bahasa yang romantis.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Bahasa

Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Bandung: IKIP Semarang Press

Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS

(12)

Keraf, Gorys. 2007. Diksi Dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Manurung, P. 2012. Metodologi Penelitian. Jakarta: Halaman Moeka

Publishing

Napitupulu, Delvi. 2008. Telaah Prosa. Medan: FBS Unimed

Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkaji Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Universty Press

Purba, Antilan. 2005. Stilistika: Kaji Bahasa Karya Sastra. Medan: FBS Unimed

Purba, Antilan : 2008. Telaah Prosa. Medan: FBS Unimed

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2008. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan Uraian Sederhana tentang Gaya Bahasa atau Majas. Jakarta: Indonesia Tera

Sinurat, Tingkos. 2012. Diktat: STILISTIKA. Medan. Unimed Susanto, Dwi. 2011. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: CAPS Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo

Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Penerbit Angkasa Waluyo, Herman J.1991. Teori Dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga

Wellek Rene dan Austin Waren.1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum

WS, Hasanuddin. 2002. Membaca Dan Menilai Sajak: Pengantar Pengkajian dan Interpretasi. Bandung: Angkasa Bandung

Yuwana Setya, dkk. 2000. Pendekatan Stilistik Dalam Puisi Jawa Modern Dialek Using. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional

Sumber lain;

Stilistika. BASASTRA Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra Indonesia dan Pengajarannya Volume 1 no.2. URL: http://jurnal.fkip.uns.ac.id/ISSN 12302-6405. di unduh 26 Juli 2013

Referensi

Dokumen terkait

(1) pelaku utama yang melaksanakan agribisnis sesuai dengan produk/komoditi yang diperlukan pasar dan telah ditetapkan melalui pertemuan rembugtani Desa; (2) bersedia

KJPP yang kantor perwakilannya telah ditutup dan dinyatakan tidak berlaku tetap dapat mengajukan permohonan pembukaan kantor perwakilan dengan memenuhi ketentuan

Pemberian tepung tauge dalam formulasi pakan buatan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap persentase kematangan telur tahap akhir dengan nilai pertambahan

Gejala umum akibat serangan bakteri antara lain gerakan ikan lemah, gerakan abnormal, produksi lendir berkurang setelah ikan yang terinfeksi mengeluarkan lendir yang

Melalui penelitian ini akan dilakukan pemetaan positioning dari B2B2C Zalora, Berrybenka, VIPplaza dan Etclo terhadap atribut website design, reliability,

penerapan metode halaqah tarbiyah dalam menumbuhkan jiwa kepemimpinan. santri di Pesantren As-Syifa Al-Khoeriyyah

Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain, terutama dengan cara menyatukan orang-orang untuk menghadapi tantangan dalam meraih tujuan (Chapman

Smash yang dilakukan pada pertandingan tanggal 22 November 2017 oleh oleh Unit Kegiatan Mahasiswa putri bolavoli Universitas Negeri Surabaya sering kali mengalami