• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

12

Gambar 2. 1 Anatomi Kulit (Dehdashtian et al., 2018) BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kulit

2.1.1 Definisi Kulit

Kulit merupakan salah satu bagian terluar dan yang paling besar dan memiliki peran penting bagi tubuh manusia. Sekitar 15-20% dari total berat badan pada tubuh. Kulit adalah organ yang selalu berubah yang mengandung banyak sel dan struktur khusus (Surini et al., 2018). Kulit memiliki fungsi penting dalam tubuh antara lain sebagai perlindungan terhadap penyerangan fisik, kimia, dan biologis eksternal. Pencegahan kehilangan air berlebih dari tubuh dan berperan dalam termoregulasi. Sistem integumentari dibentuk oleh kulit serta struktur kulit (Dehdashtian et al., 2018).

Warna kulit ditentukan oleh tiga faktor yaitu pigmen melanin yang berwarna coklat dalam stratum basal, derajat oksigenasi darah dan keadaan pembuluh darah dalam dermis yang memberi warna merah serta pigmen empedu dan karoten dalam lemak subkutan yang memberi warna kekuningan (Kalangi, 2013).

2.1.2 Struktur Kulit

Secara histopatologis, kulit tersusun atas 3 lapisan utama, yaitu lapisan epidermis kutikel, lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin) dan lapis subkutis (hipodermis) (Shovyana, H., & Zulkarnain, 2013). Kulit disusun oleh 4 jaringan dasar yaitu : jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan otot, jaringan saraf (Kalangi, 2013).

2.1.2.1 Lapisan Epidermis

Sel epidermis merupakan lapisan epitel skuamosa bertingkat yang terdiri dari dua jenis sel yaitu keratinosit dan sel dendritik. Sel keratinosit memiliki perbedaan

(2)

dari sel dendritik karena pada sel dendritik memiliki jembatan antar sel (penghubung antar sel kulit) dan sejumlah sitoplasma yang cukup besar (Dehdashtian et al., 2018). Menurut morfologi epidermis dibagi menjadi 5 lapisan yaitu lapisan sel basal (stratum germinativum), lapisan sel skuamosa (stratum spinosum), lapisan sel granular (stratum granulosum), lapisan sel cornified (stratum korneum), dan lapisan lusidum (Kalangi, 2013).

Gambar 2. 2 Lapisan Penyusun Epidermis 1. Lapisan Basal

Lapisan basal disebut dengan stratum germinativum, memiliki kandungan keratinosit berbentuk kolom yang menempel pada zona membran basal dengan sumbu panjang dan tegak lurus terhadap lapisan dermis. Sel basal ini membentuk satu lapisan dan mematuhi satu sama lain serta lebih dangkal sel skuamosa melalui sambungan desmosomal. Ciri yang menjadi pembeda lainnya dari sel basal adalah inti yang berbentuk oval atau memanjang berwarna serumap dan adanya pigmen melanin yang ditransfer dari sekitaran melanosit. Lapisan basal juga merupakan lokasi utama sel aktif di epidermis yang memunculkan sel-sel dari lapisan epidermis luar (Dehdashtian et al., 2018).

2. Lapisan Sel Skuamosa

Lapisan sel skuamosa atau stratum spinosum merupakan lapisan sel yang berada di atas lapisan sel basal. Lapisan skuamosa terdiri dari berbagai sel yang berbeda dari segi bentuk, struktur, dan sifat subseluler yang bergantung pada lokasi masing-masing. Sel spinosus suprabasal, misalnya berbentuk polihedral dan memiliki inti bulat, sedangkan sel-sel lapisan spinosus atas umumnya berukuran

(3)

lebih besar ukurannya, menjadi lebih datar saat didorong ke permukaan dari kulit, dan mengandung butiran pipih (Chu, 2008). Butiran lamelar merupakan organel yang terikat membran mengandung glikoprotein, glikolipid, fosfolipid, bebas sterol, dan sejumlah hidrolase asam, termasuk lipase, protease, asam fosfatase, dan glikosidase. Banyaknya enzim hidrolitik menunjukkan bahwa pipih butiran adalah lisosom (Dehdashtian et al., 2018).

3. Lapisan Granulosum

Lapisan granulosum merupakan lapisan paling dangkal yang mengandung epidermis sel hidup, yaitu lapisan granular atau stratum granulosum terdiri dari sel pipih yang menyimpan butiran keratohyaline yang melimpah di sitoplasma mereka. Sel-sel ini bertanggung jawab untuk sintesis dan modifikasi protein lebih lanjut yang terlibat dalam keratinisasi (Chu, 2008). Granular memiliki ketebalan lapisan bervariasi yang sebanding dengan diatas lapisan sel horny. Lapisan granul mungkin hanya terdiri dari 1 sampai 3 lapisan sel yang tebal, sedangkan di bawah telapak tangan dan telapak kaki mungkin merupakan lapisan granular yang memiliki 10 kali ketebalan (Dehdashtian et al., 2018).

4. Lapisan Stratum Corneum

Sel terangsang (corneocytes) dari lapisan kornifikasi menyediakan perlindungan mekanis ke epidermis yang mendasarinya dan penghalang untuk mencegah kehilangan air dan invasi zat asing (Jackson et al., 1993). Corneocytes kaya protein dan rendah konten lipid, dikelilingi oleh matriks lipid ekstraseluler kontinu (Chu, 2008). Sel-sel horny yang besar, datar, dan berbentuk polihedral telah kehilangan nukleusnya selama diferensiasi terminal dan secara teknis dianggap mati. Sifat fisik dan biokimia sel di lapisan kornifikasi bervariasi sesuai dengan posisi untuk mendorong deskuamasi bergerak ke luar (Dehdashtian et al., 2018).

5. Lapisan Lusidum

Lapisan ini dibentuk oleh 2-3 lapisan sel gepeng yang tembus cahaya (lapis bening), dan agak eosinofilik. Tak ada inti maupun organel pada sel-sel lapisan ini. Walaupun ada sedikit desmosom, akan tetapi pada lapisan ini adhesi kurang sehingga pada sajian seringkali tampak garis celah yang memisahkan stratum korneum dari lapisan lain dibawahnya. (Dehdashtian et al., 2018).

(4)

2.1.2.2 Lapisan Dermis

Dermis merupakan sistem yang terintegrasi dari jaringan ikat fibrosa, filamentous, dan amorf. Jaringan ikat yang masuk oleh saraf dan pembuluh darah jaringan, pelengkap dari lapisan epidermis yang tersusun atas lapisan epidermis, fibroblas, makrofag, dan sel mast yang mengakomodasi sel darah merah seperti limfosit, sel plasma, dan leukosit lainnya. Dermis sangat berperan dalam respon terhadap berbagai rangsangan (Dehdashtian et al., 2018).

Dermis terdiri atas stratum papilaris dan stratum retikularis, batas antara kedua lapisan tidak tegas, serta antaranya saling menjalin (Kalangi, 2013). Pada usia tua, dermis mulai menipis dan kehilangan elastisitasnya. Elastisitas dermis dikaitkan dengan jaringan serat protein, termasuk kolagen dan elastin.

1. Stratum Papilaris

Lapisan stratum papilaris tersusun lebih longgar yang ditandai dengan adanya papila dermis yang jumlahnya bervariasi antara 50-250/mm2. Jumlahnya terbanyak dan lebih dalam pada daerah dimana tekanan paling besar, seperti pada telapak kaki. Sebagian besar papila mengandung pembuluh-pembuluh kapiler yang memberi nutrisi pada epitel di atasnya. Tepat di bawah epidermis serat-serat kolagen tersusun rapat (Kalangi, 2013).

2. Stratum Retikularis

Lapisan ini lebih tebal dan dalam. Berkas-berkas kolagen dan sejumlah kecil serat elastin membentuk jalinan yang padat ireguler. Pada bagian lebih dalam, jalinan lebih terbuka, rongga-rongga diantaranya berisi jaringan lemak, kelenjar keringat dan sebasea, serta folikel rambut. Pada kulit wajah dan leher, serat otot skelet menyusupi jaringan ikat pada dermis. Otot-otot ini berperan untuk ekspresi wajah. Lapisan retikular menyatu dengan hipodermis/fasia superfisialis dibawahnya yaitu jaringan ikat longgar yang banyak mengandung sel lemak (Kalangi, 2013).

2.1.2.3 Hipodermis

Hipodermis adalah lapisan subkutan yang berada dibawah retikulasi. Hipodermis berupa jaringan ikat lebih longgar dengan serat kolagen halus terorientasi terutama sejajar dengan permukaan kulit, dengan beberapa di antaranya menyatu dengan yang dari dermis. Sel-sel lemak di dalam hipodermis lebih banyak

(5)

daripada dalam dermis. Jumlah sel-sel lemak pada hipodermis tergantung dengan jenis kelamin dan keadaan gizi (Kalangi, 2013).

2.2 Fungsi Kulit

Fungsi kulit antara lain (Surini et al., 2018) :

1. Perlindungan : sebagai penghalang anatomi dari patogen dan kerusakan antara lingkungan dalam dan luar.

2. Pengatur Suhu : meningkatkan perfusi dan menghilangkan rasa panas, sementara pembuluh yang menyempit sangat mengurangi aliran darah kulit dan mengurangi panas.

3. Penyimpanan dan sintesis : sebagai pusat penyimpanan lipid dan air.

4. Penyerapan : oksigen, nitrogen, dan karbon dioksida dapat berdifusi ke dalam epidermis dalam jumlah kecil.

5. Tahan air : kulit bertindak sebagai pelindung tahan air sehingga nutrisi penting tidak terbawa keluar dari tubuh.

6. Sensasi : berisi berbagai ujung saraf yang bereaksi terhadap panas dan dingin, sentuhan, tekanan, getaran, dan cendera jaringan.

2.3 Jerawat

Jerawat merupakan suatu proses peradangan kronik yang terjadi pada kelenjar polisebasea dengan ditandai gejala berupa adanya komedo, papul, pustule dan nodul. Penyebaran jerawat yaitu pada bagian tubuh yang mengandung kelenjar sebasues (Arisanty & Dewi, 2018). Pembentukan jerawat terjadi karena adanya penyumbatan folikel oleh sel-sel kulit mati, sebum dan infeksi yang ditimbulkan oleh bakteri. Bakteri yang dapat menyebabkan timbulnya jerawat adalah Propionibacterium acne yang terjadi pada folikel sebasea. Faktor lain yang dapat menyebabkan jerawat adalah produksi minyak yang berlebih pada kulit wajah. Kulit yang terlalu aktif menyebabkan pori-pori tersumbat oleh timbunan lemak yang berlebihan sehingga bakteri penyebab jerawat tumbuh dan memicu terjadinya inflamasi (peradangan) pada kulit (Arisanty & Anita, 2018). P. acnes berperan pada patogenesis jerawat dengan menghasilkan lipase yang memecah asam lemak bebas dari lipid kulit. Asam lemak juga dapat mengakibatkan inflamasi jaringan ketika berhubungan dengan sistem imun dan mendukung terjadinya jerawat P.acnes.

(6)

P.acnes sendiri juga termasuk bakteri yang tumbuh relatif lambat (Afifi et al., 2018).

Peran Propionibacterium acnes pada patogenesis jerawat yaitu dengan memecah trigliserida. Salah satu komponen sebum menjadi asam lemak bebas sehingga terjadi kolonisasi P. Acnes yang dapat mengaktifkan TLRs, PARs dan peptida antimikroba yang kemudian secara reguler mensekresi sitokin proinflamator (IL-1α, IL-1β, IL-6, IL-8, IL-12, TNF-α atau granulocyte macrophage colony stimulating factor) di dalam keratinosit dan sebosit manusia sehingga menyebabkan inflamasi (Beylot et al., 2013). Terapi yang bisa digunakan untuk mengatasi jerawat (acne vulgaris) yaitu terapi farmakologi dan nonfarmakologi. Salah satu terapi farmakologi adalah pemberian obat jerawat topikal yang dapat dikategorikan menjadi dua yaitu obat jerawat tanpa resep dokter yang bisa dijual bebas di pasaran dan obat jerawat dengan resep dokter. Obat jerawat tanpa resep dokter seperti benzoil peroksida, sulfur, dan asam salisilat memiliki efek samping yang dapat mengiritasi dan tidak jarang mengakibatkan parakeratolitik. Obat yang menggunakan resep dokter adalah antibiotik seperti klindamisin, eritromisin, dan tetrasiklin, dimana penggunaan antibiotik dalam jangka panjang akan menimbulkan resistensi atau kebal terhadap antibiotik (Nardianti et al., 2018). Terapi non farmakologi yang dapat digunakan sebagai penyembuhan jerawat salah satunya dengan memanfaatkan keanekaragaman hayati yang memiliki khasiat sebagai obat antibakteri (Arisanty & Anita, 2018).

2.4 Tanaman Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) 2.4.1 Taksonomi Belimbing Wuluh

Sistematika penamaan tanaman belimbing wuluh adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae (tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh) Super Divisio : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisio : Magnoliophyta (berbunga)

Kelas : Dicotyledonae (berkeping dua/dikotil) Subkelas : Rosidae

Ordo : Oxalidales Famili : Oxalidaceae

(7)

Genus : Averrhoa

Spesies : Averrhoa bilimbi Linn (Kumar et al., 2013)

Gambar 2. 3 Tanaman Belimbing Wuluh (Insan et al., 2019) 2.4.2 Morfologi Belimbing Wuluh

Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) merupakan tanaman yang berasal dari daerah Amerika yang beriklim tropis yang dibudidayakan di sejumlah negara seperti Malaysia, Argentina, Australia, Brazil, India, Filipina, Singapura, Thailand, dan Venezuela (Kurniawaty & Lestari, 2016). Di Indonesia khususnya di pulau Jawa belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) dikenal dengan sebutan belimbing sayur. Tanaman ini sudah lama tumbuh di halaman rumah tetapi sebagian besar masyarakat sendiri kurang memanfaatkannya sebagai pengobatan herbal ataupun untuk kecantikan kulit. Bagian tanaman belimbing wuluh yang dapat dimanfaatkan antara lain bagian daun, bunga, buah, dan batang. Belimbing wuluh merupakan salah satu tanaman yang memiliki ketinggian pohon sekitar 5-500 m diatas permukaan air laut atau daratan. Tanaman belimbing wuluh ini sangat mudah untuk tumbuh serta berkembangbiak dengan cara mencangkok bagian batang atau dengan menanam bijinya saja. Belimbing yang usia 3-4 tahun mulai tumbuh buah sebanyak 1.500 buah per satu pohon (Putriana, 2018).

Bagian tanaman yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat adalah buah. Buah belimbing wuluh berbentuk lonjong berwarna hijau muda hingga tua, kekuningan, memiliki rasa asam dan memiliki sisa kelopak bunga diujung buahnya. (Martina et al., 2019). Buah belimbing wuluh dimanfaatkan masyarakat sebagai bumbu masak, penyedap pada makanan dan ramuan herbal. Belimbing wuluh sendiri juga dapat digunakan sebagai pengobatan batuk, sariawan, jerawat, gigi berlubang, dan tekanan darah tinggi. Belimbing wuluh yang memiliki asam organik

(8)

yang tinggi digunakan sebagai pengasam alami dalam pembuatan makanan (Prasetya & Evanuarini, 2019). Belimbing wuluh juga memiliki komponen farmakoseutika yaitu senyawa-senyawa yang bersifat buffer, antibacterial dan antioksidan. Bagian tanaman belimbing wuluh yang digunakan juga memiliki kandungan zat gizi dan manfaat yang berbeda bagi kesehatan (Insan et al., 2019). 2.4.3 Kandungan Belimbing Wuluh

Kandungan kimia yang terdapat pada buah belimbing wuluh yaitu mengandung golongan senyawa minyak menguap oksalat, flavonoid, pektin dan fenol. Belimbing wuluh mengandung unsur kimia yang disebut kalium dan asam oksalat. Kandungan senyawa yang ada di dalam buah belimbing wuluh yaitu flavonoid memiliki manfaat sebagai antibakteri (Nur & Fajar, 2019). Selain itu tanaman belimbing wuluh mengandung senyawa saponin, tannin, glikosida, vitamin C, dan peroksidase. Secara keseluruhan kandungan kimia yang terdapat pada belimbing wuluh terdiri dari asam amino, asam sitrat, sianida 3-O-h-D-glukosida, ion kalium, gula dan vitamin A. Hal ini sangat berpotensi untuk menjadikan belimbing wuluh sebagai sumber pangan yang sangat bermanfaat (Insan et al., 2019).

Hasil uji fitokimia ekstrak buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) didapatkan sebagai berikut :

Gambar 2. 4 Senyawa buah belimbing wuluh (Andayani et al., 2014). Flavonoid merupakan senyawa yang mudah larut dalam pelarut polar seperti etanol, butanol, dan aseton. Flavonoid golongan terbesar dari senyawa fenol yang memiliki sifat efektif menghambat pertumbuhan virus, bakteri dan jamur (Liantari, 2014). Flavonoid bekerja dengan cara menginaktivasi protein sehingga mengganggu proses metabolisme sel bakteri. Flavonoid juga mampu berikatan dengan protein ekstraseluler dan melakukan kompleksasi dengan dinding sel bakteri dan juga mengganggu membran sel bakteri. Alkaloid berperan sebagai

(9)

antibakteri dengan cara berinteraksi ke dalam dinding sel dan DNA (Andayani et al., 2014).

Fungsi permeabilitas sel bakteri akan terganggu dan sel bakteri akan mengalami lisis yang berakibat pada kematian sel bakteri. Komponen fenol juga dapat menyebabkan kerusakan dinding sel. Saat terjadinya kerusakan membran sitoplasma, ion H+ dari senyawa fenol dan turunannya (flavonoid) akan menyerang gugus polar (gugus fosfat) sehingga molekul fosfolipid akan terurai menjadi gliserol, asam karboksilat dan asam fosfat. Hal ini mengakibatkan membran sitoplasma akan bocor dan pertumbuhan bakteri akan terhambat bahkan sampai kematian bakteri (Liantari, 2014).

Tannin merupakan senyawa metabolit sekunder yang berasal dari tumbuhan yang terpisah dari protein dan enzim sitoplasma. Senyawa tannin tidak larut dalam pelarut non polar, seperti eter, kloroform, dan benzena tetapi mudah larut dalam air, dioksan, aseton dan alkohol serta sedikit larut dalam etil asetat. Tannin merupakan himpunan polihidroksi fenol yang dapat dibedakan dari fenol-fenol lain karena memiliki kemampuan mengendapkan protein (Liantari, 2014). Tannin berfungsi sebagai antibakteri yang memiliki mekanisme kerja yaitu dengan cara berikatan pada protein-protein. Tannin dapat berikatan dengan adhesin, menghambat enzim bakteri, dan kemampuan kompleksasi dengan ion metal sehingga efektif menghambat pertumbuhan bakteri (Andayani et al., 2014).

Triterpenoid merupakan komponen tumbuhan yang memiliki bau dan dapat diisolasi dari bahan nabati dengan cara penyulingan sebagai minyak atsiri. Senyawa ini memiliki kerangka karbon berasal dari 6 satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C asiklik yaitu 30 skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang kebanyakan berupa alkohol, aldehida, atau asam karboksilat. Senyawa ini masuk dalam deret triterpena pentasiklik (Saputra & Anggraini, 2016). Triterpenoid mempunyai senyawa antibakteri yang dapat menghalangi pembelahan sel bakteri dengan cara menghambat sintesis DNA dan sintesis makromolekular. Penghambatan sintesis makromolekular pada bakteri juga dapat menyebabkan kehancuran pada membran sel bakteri (Andayani et al., 2014). Mekanisme aktivitas antibakteri dari triterpenoid yaitu dengan merusak fraksi lipid membran sitoplasma, sehingga akan mengganggu proses terbentuknya membran atau dinding sel.

(10)

Mekanisme kerja antibakteri dari senyawa tannin, flavonoid dan triterpenoid diduga mampu merusak membran sitoplasma dengan mekanisme kerja yang berbeda (Liantari, 2014). Saponin berperan sebagai senyawa antibakteri dengan cara meningkatkan permeabilitas membran sehingga terjadi hemolisis sel bakteri. 2.4.4 Manfaat Buah Belimbing Wuluh

Buah belimbing wuluh mengandung banyak vitamin C alami yang dapat dimanfaatkan sebagai penambah daya tahan tubuh dan perlindungan terhadap berbagai penyakit. Beberapa penyakit yaitu batuk, diabetes, rematik, sariawan, gondongan, sakit gigi, gusi berdarah, jerawat, diare, dan tekanan darah tinggi (Liantari, 2014). Buah belimbing wuluh juga memiliki senyawa flavonoid yang berkhasiat sebagai antibakteri (Hamdanah et al., 2015).

2.5 Ekstrak

Ekstrak merupakan suatu sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020).

2.5.1 Ekstraksi

Ekstraksi merupakan terjadinya proses pemisahan zat aktif suatu bahan menggunakan pelarut selektif dalam prosedur ekstraksi standar. Semakin halus ukuran zat, tentu proses ekstraksi akan lebih optimal. Jenis pelarut yang digunakan dalam ekstraksi terkait dengan polaritas pelarut. Pelarut yang digunakan dalam pembuatan ekstrak buah belimbing wuluh adalah etanol 96%. Pemilihan konsentrasi etanol 96% bahwa semakin tinggi konsentrasi suatu pelarut maka semakin mampu menarik senyawa aktif dengan lebih baik (Andayani et al., 2014). Menurut Zhang et al., (2018) ekstraksi bahan alam berlangsung melalui tahapan berikut:

1. Pelarut menembus ke dalam matriks padat 2. Zat terlarut akan larut dalam pelarut 3. Zat terlarut difusi keluar dari matriks padat 4. Zat terlarut yang diekstraksi dikumpulkan.

(11)

Macam-macam ekstraksi, yaitu :

Maserasi

Maserasi merupakan metode yang paling sederhana, sesuai untuk proses ekstraksi bahan yang tidak tahan pemanasan. Maserasi meliputi perendaman simplisia (kasar atau bubuk) dalam wadah tertutup dengan pelarut dan didiamkan pada suhu kamar selama periode waktu tertentu dengan pengadukan.

Perkolasi

Perkolasi lebih efisien dibandingkan metode maserasi karena proses ini berkelanjutan dimana pelarut secara bertahap diganti dengan pelarut yang baru. Simplisia dibasahi dengan pelarut dan dibiarkan dalam bejana perkolasi, kemudian simplisia tersebut dibilas dengan pelarut yang baru beberapa kali sampai bahan aktif diekstraksi.

Reflux

Metode ekstraksi refluks lebih efisien dibandingkan perkolasi atau maserasi dan membutuhkan waktu dan pelarut yang lebih sedikit. Akan tetapi metode ini tidak dapat digunakan untuk mengekstraksi bahan alam yang termolabil.

Soxhlet

Metode ekstraksi soxhlet dilakukan secara otomatis dan berlanjut dengan efisiensi ekstraksi yang tinggi karena membutuhkan waktu dan pelarut yang lebih sedikit bila dibandingkan maserasi dan perkolasi. Suhu yang tinggi dan waktu ekstraksi yang panjang pada soxhletasi akan meningkatkan kemungkinan degradasi kandungan kimia karena panas. Metode ini banyak digunakan bila senyawa yang diinginkan memiliki kelarutan terbatas dalam pelarut tertentu dan pengotor sukar larut dalam pelarut.

2.6 Antibakteri

Antibakteri merupakan suatu senyawa yang digunakan untuk menghambat bakteri atau patogen. Antibakteri biasanya terdapat didalam suatu organisme yang berperan sebagai metabolit sekunder. Mekanisme senyawa antibakteri secara umum dilakukan dengan cara merusak dinding sel, mengubah permeabilitas membran, mengganggu sintesis protein, dan menghambat kerja enzim. Senyawa yang berperan dalam merusak dinding sel antara lain fenol, flavonoid, dan alkaloid (Septiani et al., 2017).

(12)

2.7 Sistem Penghantaran Obat

Obat merupakan senyawa yang mengalami metabolisme dalam tubuh. Obat baru dapat bereaksi secara efektif ketika mencapai tempat kerja (reseptor) dengan waktu yang sesuai. Awalnya kebanyakan dosis obat menjadi penentu efektivitas dari suatu pengobatan tanpa memperhatikan secara klinik efektivitas obat dan pengawasan toksisitas dari peningkatan dosis obat. Teknologi baru dengan sistem pelepasan obat dapat menjadi salah satu alternatif untuk memperbaiki efektivitas dari molekul obat (Saltzman, 2001).

Sistem penghantaran obat yang memiliki sifat biodegradable nanopartikel telah menjadi hal umum untuk dijumpai karena memiliki kelebihan yang diberikan, seperti dapat meningkatkan stabilitas obat, dapat mencapai target yang spesifik ke dalam sel maupun jaringan, serta dapat memodifikasi pelepasan. Ukuran kecil dari nanopartikel terbukti dapat meningkatkan kapasitas obat yang ada dalam sistem pembawa obat dan ukuran nanopartikel dapat meningkatkan laju pelepasan obat ke dalam jaringan disertai hidrasi yang dilakukan pada stratum korneum (Savitry & Wathoni, 2017).

Obat-obat yang berukuran nanopartikel dengan zat aktif yang didistribusikan ke reseptor setelah pemberian secara parenteral, peroral atau dermal dapat lepas secara terkontrol dengan menggunakan pembawa obat. Adanya pembawa obat dapat dicapai pemanfaatan obat secara optimal dengan meminimalkan efek sampingnya sehingga efek samping yang ditimbulkan oleh penggunaan obat tidak perlu dikhawatirkan. Beberapa macam pendekatan pada sistem penghantaran obat yang digunakan untuk pelepasan obat mencangkup nanokapsul, nanopartikel, mikropartikel, liposom dan niosom (Saltzman, 2001).

Salah satu alternatif pengembangan formulasi dalam pembuatan vesikel seperti liposom adalah dengan hidrasi campuran kolesterol dan surfaktan nonionik salah satunya adalah niosom. Niosom terbukti sebagai pembawa obat berbagai rute seperti IM, IV, subkutan, okular, dan transdermal. Beberapa obat telah mampu dibuat dalam bentuk niosom seperti sediaan topikal yaitu estradiol, tretinoin, ditranol, dan enoksin (Manosroi et al., 2003). Niosom merupakan analog liposom yang tersusun dari maltodekstrin dan surfaktan non ionik yang memiliki struktur bilayer yang dapat menjerap senyawa hidrofob, lipofob, dan ampifilik. Sistem

(13)

penghantaran niosom digunakan sebagai peningkat penetrasi (vesicular enhancer) untuk meningkatkan penetrasi bahan aktif agar dapat dengan mudah menembus membran kulit yang kaya akan lipid (bersifat nonpolar) dengan bahan aktif yang merupakan senyawa yang bersifat polar (Fatmawaty et al., 2016).

2.8 Niosom

Gambar 2. 5 Struktur niosom (Muzzalupo & Tavano, 2015)

Niosom adalah sistem pembawa yang berukuran nanometer (nanocarrier) (Muzzalupo & Tavano, 2015). Niosom merupakan sistem vesikuler pembawa obat baru yang dapat digunakan sebagai pengiriman obat berkelanjutan, terkontrol dan menembus target dengan baik. Niosom memiliki struktur dua lapis dari permukaan aktif. Niosom terdiri dari surfaktan nonionik dan kolesterol yang memberikan struktur dan molekul yang stabil. Struktur bilayer yang stabil secara termodinamika terbentuk ketika surfaktan dan kolesterol dicampur dengan benar. Pembentukan niosom terjadi ketika zat aktif dalam permukaan nonionik berkumpul sendiri. Niosom dapat digunakan sebagai pengiriman obat hidrofilik dan hidrofobik. Jebakan obat hidrofilik dalam niosom dapat terjadi di pusat atau dapat diserap pada permukaan lapisan ganda. Sedangkan hidrofobik memasuki struktur bilayer dengan cara partisi ke dalamnya (Bhardwaj et al., 2020).

Niosom mempunyai struktur unik yang digunakan sebagai sistem vesikular yang dapat merangkum zat hidrofilik dan lipofilik. Surfaktan yang biasa digunakan dalam sistem penghantaran obat yang potensial termasuk ester dan analog sorbitan, surfaktan berbasis gula, polioksietielena, poligliserol, kadang-kadang selain aditif membran, seperti kolesterol atau turunannya. Surfaktan nonionik lebih disukai karena tidak menyebabkan iritasi. Pembentukan vesikular membutuhkan bantuan dari beberapa bentuk energi, seperti melibatkan hidrasi campuran surfaktan yang nantinya mampu memperkecil ukuran opsional untuk mendapatkan dispersi koloid. Karena kemampuan yang potensial sebagai sistem pembawa terapi, vesikel ini telah banyak digunakan sebagai sistem penghantaran obat untuk mencapai target obat,

(14)

pelepasan terkontrol, dan peningkatan permeasi Niosom mampu bertindak sebagai reservoir terapi yang bertindak sebagai pengiriman obat (Muzzalupo & Tavano, 2015).

Toksisitas niosom terkait adanya komponennya yang berupa surfaktan nonionik ternyata lebih biokompatibel dan lebih sedikit toksik daripada surfaktan anionik, amfoterik, dan kationik. Berdasarkan dari jenis obat, surfaktan, penyakit, dan bagian anatomi yang terlibat, niosom dapat diberikan melalui berbagai rute yaitu intravena, intramuskular, oral, subkutan, paru, transdermal, rute intraperitoneal dan vagina (Muzzalupo & Tavano, 2015). Niosom juga memiliki kelebihan antara lain biaya produksi yang relatif murah, stabilitas tinggi membuat penyimpanan mudah dibanding liposom. Niosom secara kimia stabil, dapat menjerap obat yang bersifat hidrofilik dan hidrofobik dalam lapisan air atau membran. Niosom juga memiliki toksisitas yang rendah adanya sifat nonionik (VM et al., 2018)(Tarekegn et al., 2010).

2.8.1 Kelebihan Niosom

Niosom memiliki stabilitas kimiawi yang lebih stabil, aktivitas osmotik dan waktu penyimpanan yang lebih lama, niosom kurang beracun dan lebih kompatibel karena tidak membawa muatan apapun, niosom dapat tergradasi oleh sistem biologis dan tidak bisa memberikan reaksi imunogenik, niosom dapat diberikan oleh hampir semua jalur pengiriman (per oral, parenteral, transdermal, okular, pulmonal), niosom dapat digunakan untuk menembus target, terkontrol, serta pengiriman obat yang baik (Bhardwaj et al., 2020). Niosom juga memiliki sifat yang fisiko kimia antara lain bentuk, fluiditas, dan ukurannya. Niosom mudah untuk dikontrol dengan cara mengubah komposisi struktural dan metode produksinya. Kelebihan lain adalah memiliki sistem penghantaran niosom yang mampu merangkum sejumlah besar bahan dan volume vesikuler kecil. Struktur dari niosom dapat melindungi bahan obat dari faktor heterogen yang ada di dalam maupun diluar tubuh, sehingga niosom dapat digunakan sebagai sistem penghantaran obat yang baik (Muzzalupo & Tavano, 2015).

(15)

Tabel II 1 Perbedaan Sistem Penghantaran Niosom dengan Sistem Penghantaran Lainnya (Reddy et al., 2015).

Metode Keuntungan Kerugian

Niosom Vesikel surfaktan non ionik,biodegradasi, dan biokompatibel (Sudheer & Kaushik, 2015). Pengiriman obat yang membus target, dapat dikendalikan, dan berkelanjutan (Bhardwaj et al., 2020)

Suspensi niosom kurang stabil karena obat dapat terhidrolisis, kebocoran obat dalam jebakan dan membentuk agregat niosom bisa terjadi (Bhardwaj et al., 2020)

Liposom Vesikel fosfolipid,

Biokompatibel, biodegradasi

Kurangnya kemampuan untuk menetrasi ke dalam kulit, kurang stabil Proliposom Vesikel fosfolipid, lebih

stabil dibanding liposom

Kurang penetrasi, menyebabkan agregasi dan fusi dari vesikel

2.8.2 Mekanisme Kerja Niosom sebagai Peningkat Permeasi

Mekanisme kerja niosom yaitu meningkatkan permeasi pada kulit dengan cara melakukan perubahan fungsi penghalang stratum korneum, sehingga terjadinya gangguan reversibel dari pengurangan susunan lipid, mengakibatkan kehilangan air transepidermal, yang dapat meningkatkan hidrasi stratum korneum dan melonggarkan struktur selulernya yang padat, adsorpsi niosom pada permukaan kulit (Muzzalupo & Tavano, 2015).

(16)

Gambar 2. 6 Mekanisme Kerja Niosom di Kulit (Muzzalupo & Tavano, 2015). Adsorpsi niosom menuju permukaan sel terjadi tanpa adanya internalisasi baik komponen air maupun lemak. Hal itu terjadi karena adanya tarikan atau kekuatan fisik atau akibat dari ikatan reseptor yang spesifik pada ligan yang ada di membran vesikel dan transfer obat dari vesikel kulit. Disisi lain, niosom berfusi dengan membran sel, menghasilkan pencampuran lengkap dari struktur niosom dengan sitoplasma. Kemudian niosom akan ditelan oleh sel (endositosis), lisozim akan masuk dalam sitoplasma yang akan mencerna struktur niosom, sehingga pelepasan bahan akan terperangkap dalam medium (Muzzalupo & Tavano, 2015). 2.8.3 Bahan dalam Formulasi Niosom

2.8.3.1 Surfaktan Niosom

Komponen utama yang digunakan untuk pembuatan niosom yaitu surfaktan. Surfaktan yang digunakan pada niosom yaitu surfaktan nonionik. Surfaktan nionik ini merupakan molekul aktif permukaan bersifat ampifilik yang memiliki kepala kutub dan ekor nonpolar. Surfaktan nonionik membawa muatan yang lebih stabil, kompatibel, dan kurang beracun dibandingkan dengan surfaktan anionik, kationik dan amfoter. Komponen aktif menyebabkan lebih sedikit hemolisis dan iritasi pada permukaan seluler. Komponen ini dapat digunakan untuk meningkatkan permeabilitas, meningkatkan kelarutan, sebagai bahan pembasah dan pengemulsi (Bhardwaj et al., 2020).

Surfaktan nonionik mampu menghambat p-glikoprotein yang dapat meningkatkan penyerapan dan penargetan yang tepat. Surfaktan nonionik tidak memiliki muatan apapun di kepala kutub. Hal ini digunakan sebagai pengiriman

(17)

obat ketika kecepatan, durasi atau lokasi yang harus dikontrol. Surfaktan nonionik memiliki kemampuan terhadap pembentukan vesikel surfaktan apapun tergantung pada keseimbangan hidrofilik-lipofilik (HLB), nilai parameter (CPP), dan suhu transisi serum-liquid (TC) (Bhardwaj et al., 2020)

2.8.3.2 Kolesterol

Kolesterol merupakan suatu zat aditif penting dalam pembuatan formulasi niosom. Keberadaan kolesterol dapat mempengaruhi banyak sifat niosom. Salah satunya dapat mempengaruhi permeabilitas dan kekakuan membran, efisiensi penjeratan, kemudahan rehidrasi niosom dari beku-kering, stabilitas, waktu penyimpanan, dan toksisitas. Jika kolesterol yang digunakan dengan surfaktan HLB rendah, maka dapat meningkatkan stabilitas vesikel dan jika HLB lebih dari 6 maka dapat membantu dalam pembentukan vesikular bilayer. Penambahan kolesterol dapat meningkatkan viskositas. Kolesterol dan surfaktan nonionik yang digunakan dengan perbandingan rasio 1:1 M (Bhardwaj et al., 2020).

2.9 Metode Pembuatan Niosom 2.9.1 Sonication

Dalam metode ini melibatkan penambahan surfaktan atau kolesterol dalam pelarut organik dan obat dalam larutan air. Larutan obat akan dicampur dengan larutan surfaktan dan akan dihomogenkan selama 3-6 menit menggunakan suhu 60o C (Sudheer & Kaushik, 2015).

2.9.2 Hand Shaking Method (Thin Film Hydration)

Dalam metode ini melibatkan pembentukan lapisan kering tipis dalam labu rota. Surfaktan dan kolesterol akan larut dalam pelarut organik. Kedua larutan dicampur dan campuran tersebut akan diuapkan dibawah tekanan (divakum) pada suhu yang yang ditentukan agar membentuk lapisan tipis di bagian dinding labu alas bulat. Setelah diuapkan larutan tersebut dihidrasi dengan penambahan larutan aquadest atau larutan dapar dan sonikasi agar membentuk niosom (Sudheer & Kaushik, 2015).

2.9.3 Trans-membrane pH Gradient Drug Uptake Process

Dalam metode ini menggunakan teknik hidrasi lapis tipis. Metode ini menggunakan kolesterol dan surfaktan yang dilarutkan pada pelarut organik seperti eter atau kloroform. Kemudian diuapkan dibawah tekanan yang rendah untuk

(18)

membentuk lapisan kering tipis. Hasil dihidrasi dengan 300mM asam sitrat (pH 4.0) dengan pencampuran pusaran (vortex mixing). Vesikel yang terbentuk dibiarkan membeku dan cair beberapa kali kemudian disonikasi untuk mendapatkan niosom. Larutan obat yang ada pada fase air akan ditambahkan ke dalam suspensi niosom dan di vortex. pH suspensi niosom disesuaikan dengan nilai pH 7.0-7.2 dengan 1M disodium fosfat. Kemudian dipanaskan hingga suhu 60oC selama 10 menit agar membentuk vesikel multilamelar yang diinginkan (Sudheer & Kaushik, 2015). 2.9.4 Reverse Phase Evaporation (REV)

Metode yang dilakukan hampir sama dengan Trans-membrane pH Gradient Drug Uptake Process. Serum yang sudah terbentuk kemudian disonikasi dengan penambahan sedikit larutan buffer fosfat dan fase organik yang dihilangkan pada suhu 40oC untuk membentuk niosom yang memiliki viskositas tinggi. Niosom kental kemudian diencerkan dengan penambahan larutan garam penyangga fosfat pada suhu 60oC selama 10-15 menit (Sudheer & Kaushik, 2015).

2.9.5 Ether Injection Method

Metode ini digunakan dengan pembuatan vesikula unilamellar besar, kolesterol dan surfaktan dilarutkan dengan pelarut organik. Kolesterol dan surfaktan, larutan organik yang mengandung obat ditambahkan dan kemudian disuntikkan ke fase cair dan disonikasi dengan magnetic stirrer pada pertahanan suhu 60oC dengan pengadukan yang kontinyu agar terbentuk suspensi niosom (Sudheer & Kaushik, 2015).

2.9.6 Karakteristik Niosom

Niosom yang terbentuk kemudian dievaluasi sesuai dengan morfologi permukaan, distribusi ukuran partikel (indeks polidispersi), zeta potensial, efisiensi penjerapan obat serta stabilitas selama penyimpanan. Karakteristik niosom sangatlah penting untuk niosom karena faktor-faktor yang terjadi tidak hanya dipengaruhi laju enkapulasi dan stabilitas niosom, namun juga berpengaruh signifikan pada kinerja obat secara in vitro (Sudheer & Kaushik, 2015).

2.9.6.1 Ukuran Partikel

Pengamatan ukuran partikel diamati menggunakan alat pengukuran partikel dilakukan dengan Particle Size Analyzer (PSA). Ukuran partikel yang sesuai dengan ukuran proporsional dari sediaan niosom berkisar antara 20nm-50nm.

(19)

Semakin kecil ukuran niosom maka semakin banyak jumlah obat yang akan kontak dengan kulit (Fatmawaty et al., 2016). Ukuran partikel diukur dengan elektron transmisi mikroskop lebih kecil dari metode hamburan cahaya dinamis dynamic light scattering (DLS) (Bhardwaj et al., 2020).

2.9.6.2 Distribusi Ukuran Partikel (PI)

Distribusi ukuran partikel ditentukan dengan menggunakan metode particle size analyzer (PSA). Distribusi ukuran partikel dinyatakan sebagai indeks polidispersitas (PI). Polidispersi indeks merupakan suatu parameter distribusi ukuran yang menggambarkan tingkat keseragaman ukuran partikel pada suatu komponen. Semakin kecil nilai polidispersi indeks yang didapatkan maka suatu komponen memiliki tingkat keseragam ukuran distribusi partikel (Nuryanti et al., 2018). Indeks polidispersi dinyatakan memiliki keseragaman ukuran partikel yang baik apabila memiliki nilai indeks polidispersi yaitu kurang dari 0,3 (Wu et al., 2012).

2.9.6.3 Zeta Potensial

Analisis sampel niosom dilakukan menggunakan Malvern ZetaSizer (Malvern Instruments Ltd., Malvern, Inggris). Niosom memiliki nilai zeta potensial negatif (Najlah et al., 2014). Zeta potensial merupakan suatu komponen partikel yang berada pada permukaan suatu sistem koloid. Zeta potensial semakin tinggi akan memberikan peluang untuk terjadinya interaksi antara partikel satu dengan yang lain atau terjadi suatu penggabungan partikel dari kecil ke besar (flokulasi) semakin kecil (Ferdiansyah et al., 2017). Nilai zeta potensial dari suatu nanopartikel digunakan untuk mengetahui karakteristik sifat muatan permuakaan dari nanopartikel. Karakteristik tersebut akan mempengaruhi suatu stabilitas dari nanopartikel (Mohanraj & Chen, 2007).

Nilai zeta potensial yang tinggi (positif atau negatif) mencegah terjadinya agregasi dari partikel, minimal nilai zeta potensial ±30 mV atau mendekati 30 mV sudah cukup untuk stabilitas yang baik dari nanodispersi. Adanya zeta potensial yang tinggi menimbulkan gaya tolak-menolak dan adanya stabilisasi secara elektrik dari dispersi nanopartikel. Namun, apabila nilai zeta potensial dari suatu partikel terlalu kecil, akan terjadi gaya tarik-menarik yang lebih besar dibandingkan gaya

(20)

gaya tolak menolak sehingga memicu terjadinya koagulasi dan flokulasi (Amalia et al., 2015).

2.9.6.4 Efisiensi Penjerapan

Efisiensi penjerapan umumnya dikatakan sebagai persentase (%) jebakan obat. Metode ini digunakan dengan cara memisahkan obat yang tidak terjerat menggunakan metode sentrifugasi (Surini & Joshita Djajadisastra, 2018). Kemudian vesikel dipecahkan menggunakan 50% n-propanol atau 0,1% triton X-1000. Maka dibutuhkan vesikel yang terpecah untuk dianalisis kandungan obat. Efisiensi penjerapan dinyatakan sebagai (Sudheer & Kaushik, 2015) :

Efisiensi penjerapan = (Jumlah obat yang terperangkap / Jumlah total obat yang ditambahkan) x 100

2.10 Serum

Serum merupakan suatu sediaan atau produk perawatan kulit dengan zat aktif berkonsentrasi tinggi yang mampu menembus kulit lebih dalam untuk memberikan obat ke dalam kulit, memiliki viskositas rendah, dan mampu memberikan penghantaran obat dengan membentuk lapisan film tipis pada permukaan kulit (Ojha et al., 2019). Serum memiliki keuntungan yaitu zat aktif yang terkandung pada serum lebih banyak daripada sediaan lain sehingga serum lebih cepat dan lebih efektif untuk mengatasi masalah pada kulit. Serum yang digunakan juga memberikan efek yang baik antara lain untuk mengangkat, mencerahkan (meremajakan), melembabkan, memberi nutrisi, sebagai antiinflamasi, dan anti stress. Pengaplikasian serum diberikan secara topikal dengan cara dioleskan pada bagian wajah, leher, kelopak mata (Thakre, 2017). Keuntungan lain dari penggunaan serum pada kulit yaitu membuat kulit terasa halus, kencang, mencerahkan kulit wajah, dapat mengecilkan pori-pori pada kulit, meningkatkan efek yang dapat melembabkan kulit, serta memiliki efek yang lebih baik. Bentuk sediaan serum yang yang berbasis serum dianggap memberikan kenyamanan pada kulit karena memiliki kandungan air yang tinggi sehingga dapat menghidrasi kulit dan mudah menyebar saat diaplikasikan (Surini et al., 2018).

(21)

2.11 Tinjauan Bahan

2.11.1 Sorbitan Fatty Acid Esters ( Span 60) (Rowe et al., 2009)

Pemerian yang dimiliki Span 60 yaitu krim padat seperti lilin atau serbuk berwarna krem hingga kuning atau cairan berwarna putih, memiliki bau dan rasa yang khas. Fungsi Span 60 sebagai Dispersing agent, emulsifying agent, nonionic surfactant, solubilizing agent, suspending agent, wetting agent. Nama lain Span 60 antara lain : Ablunol S-60; Polycon S60K; Lamesorb SMS, 6-oktadekanoat; anhydrosorbitol monostearate; Drewsorb 60K; GlycomulSKFG; Armotan MS; Atlas 110K; Sorbitan stearate.

Gambar 2. 7 Rumus bangun Span 60 (Rowe et al., 2009)

Memiliki rumus kimia yaitu C24H46O6. Kelarutan Span 60 yaitu larut atau

terdispersi dalam minyak, larut dalam banyak pelarut organik, tidak larut dalam air, namun dapat didispersikan dengan air hangat. Span 60 dapat digunakan sebagai emulsi yang larut air dalam minyak (1%-15%), emulgator emulsi minyak dalam air (1%-10%), dan surfaktan nonionik. Memiliki rentang pH 5-10, titik lebur 50-60oC serta kestabilitas yaitu pembentukan sabun bertahap dengan penambahan asam atau basa kuat, ester sorbitan stabil dalam asam atau basa lemah. Ester sorbitan harus disimpan dalam wadah yang tertutup baik dan di tempat yang sejuk dan kering. 2.11.2 Polysorbate 60 (Rowe et al., 2009)

Pemerian dari Tween 60 yaitu cairan minyak berwarna kuning, memiliki bau khas dan rasa hangat, agak pahit. Tween 60 berfungsi sebagai Dispersing agent; emulsifying agent; nonionic surfactant; solubiliz- ing agent; suspending agent; wetting agent. Nama lain antara lain : Atlas 70K; Capmul POE-S; Cremophor PS 60; polisorbatum 60; Polioksietilen 20 starat, Tween 60; Tween 60K.

(22)

Gambar 2. 8 Rumus bangun Tween 60 (Rowe et al., 2009)

Rumus molekul Tween 60 adalah C64H126O26. Kelarutan dari Tween 60 yaitu

larut dalam pelarut ethanol, tidak larut dalam minyak, larut dalam air. Dapat digunakan sebagai emulgator emulsi air dalam minyak (1%-15%), emulgator emulsi minyak dalam air (1%-10%), dan surfaktan nonionik. Rentang pH Tween yaitu 6-8 dengan titik lebur 149oC. Kestabilitas Tween 60 yaitu stabil terhadap

elektrolit asam dan basa lemah, saponifikasi bertahap terjadi dengan asam dan basa kuat.

2.11.3 Kolesterol (Rowe et al., 2009)

Pemerian kolesterol yaitu bentuk putih atau kuning samar hampir tidak berbau, daun seperti mutiara, jarum, bubuk atau butiran. Jika terpapar cahaya dan udara dalam waktu lama akan berubah menjadi kuning hingga coklat. Fungsi Kolesterol adalah Emollient; emulsifying agent. Nama lain kolesterol yaitu Cholesterolum, cholesterin.

Gambar 2. 9 Rumus bangun kolesterol (Rowe et al., 2009)

Rumus molekul kolesterol yaitu C27H46O.Kelarutan kolesterol adalah larut

dalam aseton, minyak serta methanol, praktik tidak larut dalam air memiliki titik lebur 147-150oC.Stabilitas kolesterol yaitu stabil dan harus diperbaiki dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya.

2.11.4 Polyethylene glycol (Rowe et al., 2009)

PEG banyak digunakan dalam berbagai formulasi farmasi, termasuk preparat parenteral, topikal, optalmik, rektal, dan oral. PEG telah digunakan secara

(23)

eksperimental dalam matriks polimer yang dapat terurai secara hayati yang digunakan dalam sistem pelepasan terkontrol. PEG berfungsi sebagai Ointment base, plasticizer, solvent. Nama lain dari PEG antara lain Carbowax, Polioksietilen glikol, Pluriol E, Lutrol E, Penjaga carbowax, Lipoxol, PASAK, makrogola.

Gambar 2. 10 Rumus bangun PEG (Rowe et al., 2009)

Kelarutan PEG adalah larut dalam air dan larut dalam semua proporsi lainnya, larut dalam aseton, benzena, gliserin, dan glikol, sedikit larut dalam senyawa minyak. Kestabilitas PEG yaitu stabil di udara dan larutan, meskipun dengan kadar berat molekul kurang dari 2000 bersifat higroskopis, tidak tengik. Dapat disterilkan dengan autoklaf, filtrasi.

2.11.5 Natrium Benzoat (Rowe et al., 2009)

Pemerian natrium benzoat adalah butiran putih atau kristal, bubuk sedikit higroskopis. Tidak berbau atau sedikit bau kemenyan dan memiliki rasa manis dan asin yang tidak sedap. Fungsi natrium benzoat sebagai Antimicrobial preservative. Nama lainnya adalah benzoat soda, asam natrium benzoat, sodii benzoas, natii benzoas, garam natrium asam benzoat.

Gambar 2. 11 Rumus bangun Natrium Benzoat (Rowe et al., 2009)

Natrium benzoat memiliki rumus molekul yaitu C7H5NaO2. Kelarutannya

yaitu larut dalam etanol dengan perbandingan 1:75. Natrium benzoat memiliki

rentang pH antara 2-5. Kestabilitas natrium benzoat yaitu larutan berair yang dapat disterilkan dengan autoklaf atau filtrasi.

2.11.6 Carbopol (Rowe et al., 2009)

Pemerian dari carbopol 940 adalah bubuk berwarna putih, granul, halus, asam, higroskopis dengan sedikit berbau khas. Fungsi carbopol sebagai controlled release agent, emulsifying agent, suspending agent, stabilizing agent, emulsion

(24)

stabilizer. Nama lainnya adalah Acrypol, carboxy polymethylene, carbopol, Carbopola, polymer, tego Carbopol, carboxyvinyl.

Gambar 2. 12 Rumus bangun Carbopol (Rowe et al., 2009)

Rumus molekul carbopol yaitu COOH. Carbopol memiliki kelarutan yaitu

dapat bercampur dalam air dan gliserin, setelah netralisasi, dalam etanol (95%). Tidak larut tetapi hanya membengkak sampai tingkat yang luar biasa, merupakan mikroserum yang berikatan silang tiga dimensi dan memiliki titik lebur 260oC.

Stabilitas carbopol yaitu bahan higroskopis yang stabil dan dapat dipanaskan pada suhu dibawah 104oC hingga 2 jam tanpa mempengaruhi efisiensi pengentalannya. Bila suhu berlebihan dapat menyebabkan perubahan warna dan penurunan stabilitas.

Carbopol dapat digunakan sebagai pengikat dengan konsentrasi yaitu 0,75%-3,0%, digunakan sebagai basis serum dengan konsentrasi 0,5%-2,0%, digunakan pada sediaan cair sebagai pengemulsi dengan konsentrasi 0,1%-0,5%, serta sebagai suspending agent 0,5%-1,0%.

2.11.7 Triethanolamine (Rowe et al., 2009)

Pemerian TEA yaitu cairan kental berwarna bening, tidak berwarna hingga kuning pucat yang memiliki sedikit bau amoniak. Fungsi TEA sebagai Alkalizing agent, emulsifying agent. Nama lainnya adalah TEA, trietinolamin, amina, trolaminum, tris (hidroksietil).

Gambar 2. 13 Rumus bangun TEA (Rowe et al., 2009)

TEA memiliki rumus molekul yaitu C6H15NO3. Kelarutan TEA yaitu larut

dalam aseton, metanol, air, benzena, etil eter dan karbon tetrakloride. TEA memiliki pH yaitu 10,5 dalam 0,1 N larutan serta titik lebur antara 20-21oC. Stabilitas TEA bisa berubah menjadi coklat apabila terpapar udara dan cahaya. Kadar TEA 85%

(25)

cenderung bertingkat di bawah 15oC, homogenitas dapat dipulihkan dengan pemanasan dan pencampuran sebelum digunakan. Harus disimpan dalam wadah kedap udara terlindung dari cahaya, di tempat sejuk dan kering.

2.11.8 Propilenglikol (Rowe et al., 2009)

Propilenglikol memiliki pemerian yaitu cairan bening, tidak berwarna, kental, praktis tidak berbau, dengan rasa manis, sedikit tajam hampir menyerupai gliserin. Propilenglikol berfungsi sebagai antimicrobial presernative, disinfectant, humektan, plasticizer, solvent, stabilizing agent. Nama lainnya adalah 1,2; Dihydroxypropane; E1520; 2-Hydroxypropanol; methyl ethyl-ene glycol; propylenglycolum (Rowe et al., 2009).

Gambar 2. 14 Rumus bangun propilenglikol (Rowe et al., 2009)

Propilenglikol memiliki rumus molekul yaitu C3H8O2. Kelarutan propilen

glikol yaitu dapat bercampur dengan aseton, kloroform, etanol (95%), gliserin, dan air; kemudian larut pada 1 dalam 6 bagian eter, tidak larut dengan minyak mineral ringan atau minyak tetap, tetapi akan melarutkan beberapa minyak esensial. Kestabilitas propilenglikol yaitu pada suhu dingin, propilenglikol stabil dalam wadah tertutup baik, tetapi pada suhu tinggi, di tempat terbuka, cenderung mengoksidasi, menghasilkan produk-produk seperti aspropionaldehida, asam laktat, asam piruvat, dan asam asetat. Propilen glikol secara kimiawi stabil bila dicampur dengan etanol (95%), gliserin, atau air; larutan encer dapat disterilkan dengan autoklaf. Pada sediaan topikal dapat digunakan sebagai humektan yaitu ≈15%, digunakan pada sediaan larutan dan setengah padat 15%-30%. Propilen glikol dapat digunakan sebagai solvent atau cosolvent sebesar 10%-30% untuk larutan aerosol, 10%-25% untuk larutan oral, 1-%-60% untuk parenteral, dan 5%-80% untuk topikal (Rowe et al., 2009).

2.11.9 Metil Paraben (Rowe et al., 2009)

Pemerian metil paraben yaitu kristal tak berwarna atau bubuk kristal putih, tidak berbau atau hampir tidak berbau, dan memiliki rasa sedikit terbakar. Metil paraben berfungsi sebagai antimicrobial preservative. Nama lain metil paraben

(26)

yaitu metagin; methyl chemosept; methyl parasept, aseptoform M, 4-hydroxybenzoic acid methyl ester; uniphen P-23.

Gambar 2. 15 Rumus bangun metil paraben (Rowe et al., 2009)

Rumus molekul metil paraben yaitu C8H8O3. Titik lebur metil paraben yaitu

dengan rentang antara 125o-128oC. Kestabilitas metil paraben yaitu larutan berair pada pH 3-6 dapat disterilkan dengan autoklaf pada suhu 120oC selama 20 menit

tanpa dekomposisi. Larutan berair pada pH 3-6 stabil (dekomposisi kurang dari 10%) hingga sekitar 4 tahun pada suhu kamar, sementara larutan encer pada pH 8 atau lebih mengalami hidrolisis cepat (10% atau lebih setelah sekitar 60 hari suhu ruang penyimpanan). Metil paraben digunakan sebagai pengawet antimikroba untuk kosmetik, produk makanan, dan formulasi farmasi. Keefektifan pengawet dapat dinaikkan dengan penambahan propilen glikol sebesar 2-5%, atau dengan paraben dikombinasi bahan antimikroba lain seperti imidurea. Konsentrasi metil paraben yang digunakan untuk sediaan topikal yaitu 0,02-0,3%.

2.11.10 Natrium Metabisulfit (Rowe et al., 2009)

Pemerian natrium metabisulfit yaitu kristal prismatik yang tidak berwarna atau sebagai bubuk kristal berwarna putih krem yang memiliki theodorof sulfur dioksida dan rasa asam, garam. Natrium metabisulfit mengkristal dari air dingin sebagai hidrat yang mengandung tujuh molekul air. Natrium metabisulfit digunakan sebagai antimicrobal preservative dan antioxidant. Natrium metabisulfit digunakan sebagai antioksidan dalam formulasi farmasi sediaan dalam bentuk oral, parenteral, dan topikal pada konsentrasi 0,01-1,0% b/v. Natrium metabisulfit digunakan dalam sediaan asam, untuk sediaan basa, natrium metabisulfit biasanya lebih disukai. Nama lain dari natrium metabisulfit yaitu natrii metabisulfis, sodium acid sulfite, E223, dis-odium salt, natrii disulfis, disodium disulfite, disulfurous acid.

(27)

Gambar 2. 16 Rumus bangun natrium metabisulfit (Rowe et al., 2009) Rumus molekul natrium metabisulfit yaitu Na2S2O5. Natrium metabisulfit

memiliki pH yaitu rentang antara 3,5-5,0 5% dengan larutan pada suhu 20oC. Kelarutan natrium metabisulfit yaitu sedikit larut dalam etanol 95%, larut bebas dalam gliserin, 1 dalam 1,9 bagian air. Saat terpapar udara dan kelembapan, natrium metabisulfit dioksidasi perlahan menjadi natrium sulfat dengan hancurnya kristal. Penambahan asam kuat ke padatan akan melepaskan sulfur dioksida. Dalam air, natrium metabisulfit segera diubah menjadi ion natrium dan bisulfit. Larutan natrium metabisulfit encer juga terurai di udara, terutama pada pemanasan. Larutan yang telah disterilkan secara otomatis harus diisi ke dalam wadah yang telah diganti dengan gas yang tidak dimasukkan seperti nitrogen.

2.11.11 Aquadest

Menurut Farmakope edisi III pemerian aquadest yaitu cairan jernih, tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau. Nama lain dari aquadest yaitu aquadestilata (air suling). Berat molekul aquadest yaitu 18,02 dan memiliki rumus bangun H2O yang banyak digunakan sebagai pelarut bahan.

2.12 Evaluasi Karakteristik Fisiko Kimia Sediaan Serum 2.12.1 Uji Organoleptis

Uji organoleptis merupakan pengujian subjektif. Uji organoleptis dapat dilakukan dengan pengamatan secara langsung bentuk, warna dan bau dari sediaan yang dibuat (Danimayostu et al., 2017). Sifat-sifat tersebut akan berhubungan dengan kenyamanan pengguna. Sediaan yang dihasilkan sebaiknya memiliki warna yang menarik serta bau yang menyenangkan.

2.12.2 Uji Homogenitas

Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui homogenitas dari bahan aktif dan bahan sediaan tambahan lainnya (Nurdianti et al., 2018).

2.12.3 Uji pH

Uji pH bertujuan untuk mengetahui apakah sediaan yang dihasilkan berada pada rentang pH kulit yaitu 4,5-7,0. Apabila pH terlalu basa dapat mengakibatkan

(28)

kulit menjadi kering, sedangkan apabila pH terlalu asam dapat menyebabkan terjadinya iritasi pada kulit (Mukhlishah et al, 2016).

2.11.4 Uji Viskositas

Uji viskositas bertujuan untuk menentukan nilai kekentalan suatu zat. Semakin tinggi nilai viskositasnya maka semakin tinggi tingkat kekentalan zat tersebut (Ardana et al., 2015). Untuk rentang viskositas sediaan serum yaitu 230-1150 cPs (Mardhiani et al., 2017). Uji viskositas sediaan dilakukan menggunakan alat viskometer Brookfield. Spindle yang dicelupkan ke dalam sediaan uji memiliki ukuran yang berbeda untuk rentang kekentalan tertentu yang umumnya dilengkapi dengan kecepatan rotasi.

2.11.5 Uji Daya Sebar

Pengujian daya sebar bertujuan untuk mengetahui seberapa baik sediaan yang menyebar di permukaan kulit, karena akan mempengaruhi absorbsi obat dan kecepatan pelepasan zat aktif pada tempat pemakaiannya. Suatu sediaan dinyatakan baik dan lebih disukai apabila dapat menyebar dengan mudah di kulit dan nyaman pada saat dipakai. Daya sebar sediaan yang baik yaitu pada rentang 5-7 cm (Ardana et al., 2015).

Uji daya sebar berkaitan dengan pengaplikasian sediaan serum pada kulit wajah serta acceptability konsumen. Daya sebar suatu sediaan berbanding terbalik dengan viskositas. Semakin tinggi viskositas, maka daya sebar semakin rendah dan begitupun sebaliknya, semakin rendah viskositas maka daya sebar semakin tinggi. Semakin besar daya sebar yang diberikan oleh suatu sediaan, maka kemampuan zat aktif untuk menyebar dan kontak dengan kulit semakin luas (Mardhiani et al., 2017).

Gambar

Gambar 2. 1 Anatomi Kulit (Dehdashtian et al., 2018) BAB II
Gambar 2. 2 Lapisan Penyusun Epidermis  1.  Lapisan Basal
Gambar 2. 3 Tanaman Belimbing Wuluh (Insan et al., 2019)  2.4.2 Morfologi Belimbing Wuluh
Gambar 2. 5 Struktur niosom (Muzzalupo & Tavano, 2015)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian yang dilakukan dari empat informan terhadap pelaksanaan kebijakan KTR di SMPN 07 Pekanbaru diketahui dari ke empat informan ini seluruhnya

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan–kesulitan yang dialami siswa kelas VII SMP PGRI Arjosari dalam menyelesaikan persoalan aljabar yang berkaitan dengan konsep dan prinsip

Perawat manajer adalah perawat yang berperan melaksanakan fungsi manajemen dalam pelayanan / asuhan keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan dan

Efusi pleura (adanya cairan di ruang pleura) yang muncul lebih sedikit pada Efusi pleura (adanya cairan di ruang pleura) yang muncul lebih sedikit pada anak-anak dibandingkan orang

Berdasarkan hasil yang didapat dalam penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa metode Certainty Factor memiliki keefektifan sebesar 71.43 % dalam hal mendiagnosa

merupakan tahap membuat sistem informasi menggunakan framework Laravel sesuai perancangan proses pada tahap kedua. 4) Tahap keempat: Pengujian sistem dan Analisis

Variable length subnet mask (VLSM) atau disebut juga subnetting merupakan beberapa metode penciptaan alamat untuk subnet Kelas A, B, atau alamat C dengan membagi satu

Apa yang dilakukan Qatar baik dalam dukungannya terhadap sejumlah kelompok yang menjadi ancaman negara-negara Teluk dan juga relasi dekatnya dengan Iran berakumulasi